JEBULNYA semua manusia itu feminim pada fondasi gendernya! Itulah
antara lain hasil penelusuran Hasthari E Pamintasih, aktifis Pelangi, Malang, Jawa Timur. Pelangi adalah kelompok diskusi di bawah pendampingan Ratna Indraswari Ibrahim, perempuan penulis yang cerpen-cerpennya "sarat" dengan pesan pemberdayaan perempuan dan atau perempuan-perempuan yang bukan saja tetap survive tetapi "tahan banting" menghadapi ketertindasan atas keperempuanan mereka sendiri. Hastari - dengan berbagai ragam rujukan para pakar di sekitar gender, psikologi, biologi, seksualitas dll terkait semisal Bem (1987), Feldman (1994), Carter (1991), Epperson (1988), Liebert dan Sprafkin (1988), McDonald (1989), Morgan (1982), Carlson (1994), Hofstede (1983), Fleming, Vaccarino, Tambosso dan Chen (1979), .Maccoby dan Jacklin (1974), Eagly dan Carli (1981), Eagly (1989), Allen (1965), Ganong (1979), serta Wiesner dan Sheard (1933) - coba menganalisis kericuhan soal kodrat dalam jalinan struktur sosial. Untuk itu, Hastari berangkat dari fisiologi gender sebagaimana adanya, atau mungkin amat gemas ingin menunjukkan "das sollen"nya, yang lalu ia konfrontasikan pada struktur sosial. Ternyata penuh mitos sosial yang cuma memojokkan perempuan. Dan penelusuran lebih menemukan, ternyata semua manusia, jadi lelaki juga, pada dasarnya feminim. Lelaki itu jadi maskulin gara-gara salah urus dari faktor luar ialah struktur sosial dengan segala rekayasanya yang manipulatif. FISIOLOGI GENDER Dengan pendekatan fisiologi gender, debat kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan bisa dibuat transparan. Fisiologis, mereka memang berbeda. Tetapi tidak tepat kalau perbedaan itu digunakan sebagai pembenaran untuk memarjinalkan perempuan. Perempuan termarjinal terutama karena stigma-stigma sosial yang telah terinternalisir ke dalam struktur sosial masyarakat, seringkali cuma karena mitos. Maka, dibutuhkan sikap pemetaan yang lugas. Hal-hal mana yang memang secara kodrati membedakan perempuan dari laki-laki, dan mana yang cuma stigma sosial. Secara kodrati - fisiologi gender- berbagai penelitian membuktikan bahwa organ kelamin manusia tidak berbeda semenjak awal. Pada periode awal perkembangan janin, embrional, fetus kelamin maskulin dan feminin identik. Lalu, setelah penelusuran perkembangan embrio yang penuh terminologi teknis, ditemukan hal terpenting dalam fisiologi gender. Ternyata untuk menjadi lelaki, masih butuh tambahan sesuatu, ialah hormon androgen. Sedang untuk jadi perempuan tidak butuh apa-apa. Dus, diktum klasik "kecenderungan alam adalah untuk menghasilkan perempuan" terbukti. Fitrah sejati manusia adalah feminin. Sifat maskulin fisik laki-laki terjadi karena pada masa puber seorang bocah laki-laki mengalami defemininasi dan maskulinasi. Dus, bikinan! Tidak alamiah. Pada perempuan, tidak ada femininisasi dan de-maskulinisasi. Proses yang sama berlaku dalam fisiologi proses terbentuknya perilaku maskulin/feminin. Dengan kata lain, sifat dasar setiap individu adalah feminin. Bagaimana dengan "perilaku" maternal dan paternal? Belum bisa dijelaskan secara pasti mengenai dua "takdir" tersebutl. Hanya secara empirik data hasil penelitian, bisa didapatkan empat petunjuk yang menarik. Pertama, tidak ada bukti adanya kaitan langsung sistem hormon terhadap perilaku maternal, meski hormon seksual tertentu mungkin mempengaruhi perilaku maternal, tetapi sistem hormon tidak mengendalikan perilaku tersebut. Kedua, terbukti bahwa perilaku maternal dikendalikan oleh sistem saraf pusat yang merupakan pusat pengendalian perilaku dan perkembangan emosi. Ketiga, terbukti mamalia tikus virgin bisa menerima dan mau merawat bayi-bayi tikus dari induk lain yang ditempatkan bersama mereka tanpa stimuli hormon seksual. Keempat, terbukti perilaku paternal pengasuhan anak oleh jenis jantan terdapat pada mamalia primata kelas tinggi, ialah monyet, termasuk pada manusia. Dengan demikian, pengasuhan anak sebagai tanggung jawab perempuan saja, secara gender keblinger. "Seekor" mamalia jantan manusia yang bersikeras menyerahkan pengasuhan anak cuma kepada sang ibu, menandai lelaki itu membenarkan diri belum sampai ke golongan primata kelas tinggi monyet. Masih di kelas lebih rendah. MITOS MITOS STRUKTUR SOSIAL Berdasar berbagai literatur di atas, Hastari juga menemukan, secara umum lebih banyak budaya yang menampakkan sikap kagum terhadap maskulin, ialah terhadap simbol-simbol yang mewakili kekuatan, kekuasaan, kekayaan dan aneka kelebihan duniawi. Kenyataan masih banyak perempuan lebih puas jika merasa dirinya cantik daripada cerdas, menandai internalisasi budaya maskulin yang lebih terperangah pada kemolekan wajah katimbang kecemerlangan benak. Artinya, terjadi kemenangan budaya maskulin. Padahal diktum klasik medis menyatakan, kecenderungan alam menghasilkan perempuan. Jika sifat dasar manusia adalah feminin, bagaimana lalu berubah menjadi maskulin? Karena faktor luar. Yaitu, secara fisiologis berupa efek hormonal. Dan secara psikologis, dengan maskulinisasi dan defeminisasi melalui proses pembelajaran terutama dengan sosialisasi nilai, norma dan kepercayaan bersama suatu komunitas. Pada tingkat individual, perilaku terbentuk melalui afeksi dan kognisi. Di tingkat sosial, perilaku kelompok terbentuk dari suatu kesepakatan atas standar dan keyakinan anggota-anggota kelompok tersebut. Proses sosialisasinya melalui konformitas atau ikut-ikutan, tekanan, dan kepatuhan karena perintah. Dalam kaitannya dengan gender, yang paling berperan adalah konformitas. Pembentukan perilaku juga dipengaruhi vicarious learning, observasi terhadap perilaku orang lain. Konsep psikologi tentang isu gender menunjukkan struktur sosial-lah yang paling berperan dalam memarjinalkan perempuan. Ini semata-mata didasarkan pada apa yang disebut peran gender, yang sejatinya hanya harapan yang stereotip, persepsi masyarakat, dan samasekali bukan kebenaran. Tapi sialnya, justru itulah yang berlaku. Yang ujungnya membuat lelaki jatuhnya serba kepenak, sambil memarjinalkan perempuan. KENYATAAN Kajian teoretis di atas makin kuat, sebab telah ditunjang pembuktian uji-coba tentang efek lingkungan terhadap perilaku gender. Misalnya, empat bukti yang ditemukan berikut. Pertama, perlakuan yang tidak sama kepada anak-anak atas nama gender, misal dengan memberikan baju biru untuk anak laki-laki dan merah muda untuk anak perempuan. Kedua, buku bacaan anak seringkali menggambarkan peran stereotip, perempuan itu tenang, dan anak laki-laki penuh aksi fisik. Ketiga, mayoritas program televisi menggambarkan perempuan dalam peran stereotip seperti ibu rumah tangga atau sekretaris. Keempat, dalam sistem pendidikan ternyata murid laki-laki lima kali lebih banyak menerima perhatian dari guru. Mahasiswa laki-laki lebih sering menerima kontak mata dari dosennya. Sosialisasi wacana gender juga sangat mengarahkan pengertian anak akan persepsi gender masyarakat. Skema gender menggariskan perilaku, ini layak bagi laki-laki dan itu cocok untuk perempuan. Akibatnya, jika anak lelaki ogah menyulam, alasannya bukan karena sulit bekerja dengan benang dan jarum, melainkan dia merasa tidak cocok untuk melakukan itu. Padahal, bisa saja karena dia malas atau nggak telaten. DIKEBIRI SAJA Pada akhir penelusurannya, Hastari mendiskripsikan salah satu cara untuk 'mengebiri' skema gender. Ini dengan jalan mendorong anak untuk menjadi androginik, ialah kondisi di mana peran gender melintasi karakteristik yang dianggap tipikal bagi kedua jenis kelamin. Tetapi androginitas bukan berarti menghapus perbedaan perempuan dan laki-laki. Konsep ini menekankan perbedaan lebih didasarkan atas pilihan yang dibuat secara bebas, atas dasar karakteristik manusia, bukan sekedar batasan artifisial oleh masyarakat yang cuma menekankan kepantasan yang tak ada parameternya itu. Bagaimana cara mendorong ke arah androginitas, belum diterangkan. Mungkin lupa? ***** L Murbandono Hs Rakyat Biasa Warganegara RI Tinggal di Hilversum, Nederland
CATATAN Yang berkeberatan memperoleh kiriman tulisan kami mohon memberi tahu. Alamat email Anda akan kami hapus dari daftar kami. Penulis.