You are on page 1of 2

Sabtu, 09 Januari 2010

Pengembangan teknologi batu bara cair bertujuan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Dengan
menggunakan teknologi konversi brown coal liquefaction, batu bara pun “diubah” menjadi minyak. Semakin menipisnya
pasokan bahan bakar minyak bumi (BBM) dari fosil mendorong pengembangan energi alternatif.

Salah sa tu energi alternatif yang poten sial dikembangkan ialah batu ba ra. Adapun salah satu metode pengembangan
bahan bakar batu bara ialah pencairan batu bara. Pengembangan teknologi itu juga tengah dilakukan di Indonesia.

Teknologi pencairan baru bara merupakan salah satu bentuk pe manfaatan batu bara berperingkat rendah agar memiliki
nilai tambah.

Pasokan batu bara di Tanah Air terbilang besar, yakni sekitar 36,3 miliar ton dan tersebar di Jawa, Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan, dan Papua. Mineral organik itu bahkan menempati posisi ketiga setelah gas bumi sebagai sumber energi
terbesar.

Karenanya, tidak heran jika batu bara memiliki prospek yang bagus sebagai cadangan energi pada masa mendatang.
Sumatra merupakan daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia dengan jumlah pasokan mencapai 24,7 miliar ton.
Dari jumlah itu sekitar 22,4 miliar ton batu bara terdapat di Provinsi Sumatra Selatan.

Dilihat dari jenisnya, batu bara terdiri dari tiga, yakni lignite, subbituminous, dan bituminous. Ketiga jenis batu bara itu
memiliki kualitas yang tidak sama lantaran adanya perbedaan kandungan air dan abu.

Semakin tinggi kandungan air, maka kualitasnya pun akan semakin rendah. Batu bara dengan kualitas rendah disebut juga
batu bara berperingkat rendah.

Sekitar 85,2 persen batu bara di Indonesia tergolong batu bara berperingkat rendah dengan kadar air tinggi, mencapai 35
persen dan nilai kalor yang rendah, mencapai empat ribu kkal/kg.

Dengan kualitas seperti itu batu bara sulit dijadikan komoditas ekspor. Penggunaannya pun terbatas, misalnya untuk
pembangkit listrik di dalam negeri.

Batu bara lignite dan sub-bitu minous yang tergolong berperingkat rendah banyak ditemukan di Sumatra Selatan. Lantaran
nilai ekonomisnya rendah, batu bara itu jarang dilirik pembeli. Ujung-ujungnya batu bara lignite teronggok begitu saja
lantaran sulit terjual.

Berpijak dari kondisi tersebut, tim peneliti dari Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatra Selatan mengembangkan
teknologi pemanfaatan batu bara berkualitas rendah menjadi minyak bumi.

Tim yang terdiri dari Novia, Lia Cundari, dan Enggal Nurisman itu menerapkan teknologi konversi dengan proses improved
brown coal liquefaction (BCL). Batu bara yang dimanfaatkan berasal dari Tanjung Enim, Sumatra Selatan.

Mengurai Ikatan Kimia Pada dasarnya batu bara dan minyak bumi merupakan senyawa yang tersusun dari unsur karbon
dan hidrogen.

Bentuknya yang padat menjadikan berat molekul batu bara tinggi dan kandungan hidrogennya lebih kecil dibandingkan
minyak bumi. Rasio mol hidrogen terhadap karbon dalam batubara 0,5 sampai 1,1.

Rasio itu lebih kecil jika dibandingkan dengan minyak bumi yang berada di kisaran 1,48 sampai 1,94. Oleh karena itu,
struktur kimia batu bara harus diubah agar bisa dikonversikan menjadi bahan bakar cair.

Novia menjelaskan secara kimiawi, proses pencairan batubara ialah mengubah bentuk hidrokarbon dari bentuk kompleks
menjadi rantai karbon lurus seperti pada minyak bumi.

Oleh karena itu tim peneliti memotong ranti karbon dengan cara mendekomposisi panas pada temperatur tinggi.

Usai proses pemotongan, rantai hidrokarbon pun akan menjadi radikal bebas. Agar radikal bebas itu tidak bergabung
dengan radikal bebas lainnya, peneliti mengikatnya dengan gas hidrogen. “Karena itu proses pencairan batu bara dan
pengikatan hidrogennya disebut dengan proses hidrogenisasi,” papar Novia.

Batubara berkualitas rendah, lanjut Novia, sangat mudah menghasilkan radikal bebas. Alhasil, batu bara jenis itu sangat
reaktif dan mudah dicairkan. Teknologi yang digunakan mengaplikasikan BCL yang bisa mencairkan batu bara secara
langsung.

Batubara terkonversi menjadi cair melalui pemutusan ikatan karbon (C-C) dan C-heteroatom se cara rermolitik atau
hidrolitik, sehingga melepaskan molekulmolekul karbondioksida (CO2), hidrogen sulfi da (H2S), amonia (NH3), dan air
(H2O).

Proses pencairan batu bara banko itu dilakukan dalam instalasi reaktor Coal Liquefaction Centre di laboratorium milik Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berada di Serpong, Tangerang, Banten.

Proses pencairan batu bara tersebut harus melalui enam tahap, yaitu feed preparation, pre-heating, reacting process,
analisis produk gas, destilasi liquid product, dan ekstraksi solvent.

Pada tahap preparasi (feed preparation) dipersiapkan bahan baku, semisal batu bara, katalis, dan solvent (heavy oil). Pada
tahap itu ukuran partikel batu bara dikurangi hingga berukuran standar.

Ukuran batu bara lignit, misalnya, digerus hingga mencapai 200 mesh dan ukuran katalis dikurangi sedemikian rupa hingga
mencapai satu mikromilimeter.

Sebelum reaktor diaktifkan, peneliti melakukan tes untuk meminimalisasi kebocoran selama reaksi kimia berlangsung.
Selanjutnya, katalis dan batu bara yang telah halus itu dicampur dengan solvent heavy oil kemudian diaduk secara merata
supaya tercampur selama 30 menit.

Setelah itu adukan dimasukkan ke reaktor. Selain adukan, gas hidrogen dimasukkan pula ke dalam reaktor dengan tekanan
28 mega pascal (MPa).

Hidrogen yang digunakan menggunakan katalis limonit soroa ko. Ka talis itu dianggap berkualitas lebih baik dibandingkan
dengan katalis sintesis (FeOOH) dan katalis dasar besi konvesionnal pirit (FeS2). Fungsi katalis ialah menjembatani reaksi
antara gas hidrogen dan slurry (batu bara dan pelarut).

Adapau hidrogen berfungsi un tuk menghidrogenasi senyawa aromatis, mempromosikan reaksi pemutusan ikatan kimia,
menstabilkan radikal berbas, serta mencegah reaksi retrogesif (repolimerisasi) produk-produk terlarut.

Tahap selanjutnya ialah preheating untuk mempersiapkan reaktor mencapai temperatur reaksi. Kenaikan suhu akan
mempercepat reaksi dan kecepatan pelarutan batu bara. Suhu yang digunakan berada pada kisaran 350 sampai 400
derajat celcius.

Biasanya proses pencairan batu bara memakan waktu sekitar satu jam. Setelah satu jam, reaktor didinginkan dan
berangsur-angsur temperatur akan turun hingga 200 derajat celcius agar campuran material tercampur merata dalam
reaktor.

Setelah pendinginan, tahapan berikutnya ialah analisis terhadap gas dan adukan batu bara (coal slurry product). Analisis
gas dilakukan dengan gas kromatografi untuk mengamati komposisi gas produk yang terbentuk dari proses tersebut. Batu
bara yang telah dicairkan bentuknya berupa light oil, medium oil, dan heavy oil.
vic/L-2

You might also like