Professional Documents
Culture Documents
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Perum Kodam, Bekasi
Berat badan : 62 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : Purnawirawan TNI AD
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 25 September 2010
No. CM : 35 94 14
Tanggal pemeriksaan : 3 Oktober 2010
1
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
Asma : Disangkal
Alergi obat-obatan dan makanan : Penisilin
Diabetes : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Jantung : Disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit jantung, hipertensi, asma, penyakit paru-paru, diabetes,
penyakit ginjal, dan gangguan pembekuan darah pada keluarga pasien.
F. Riwayat Operasi dan Anestesi:
Belum pernah dioperasi sebelumnya.
G. Riwayat Kebiasaan Pasien :
Merokok : Aktif, ± 2-3 batang per hari sejak 10 tahun yang lalu
Narkotik : Disangkal
Alkohol : Disangkal
F. Lain-Lain :
Gigi palsu : Disangkal
Gigi goyang : Disangkal
Konsumsi obat-obatan tertentu : Disangkal
2
A. Status Generalis
- Kulit : Sawo matang
- Kepala : Simetris, normochepal, distribusi rambut merata
- Muka : Simetris, tidak ada jejas
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+) normal
- Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-)
- Mulut/Gigi : Bibir tidak kering, lidah bersih, carries (-), Mallampati 2
- Telinga : Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Deviasi trakea (-)
- Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe
Pemeriksaan Thorax
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II LMC sinistra
Batas atas kanan : ICS II LPS dextra
Batas bawah kiri : ICS V LMC sinistra
Batas bawah kanan : ICS IV LPS dextra
Auskultasi : Suara jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis,
retraksi tidak ada, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri,
3
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler normal
Suara tambahan (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tidak membuncit, darm contour (-), darm steifung
(-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, defans
muscular (-), massa abdomen (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior Kanan : Edem (+) di daerah proximal, sianosis (-), tonus cukup,
nyeri tekan (+) di daerah sekitar sendi coxae, mobilitas
terbatas
Superior Kiri : Edem (-), sianosis (-), tonus cukup
Inferior Kanan : Edem (-), sianosis (-), tonus cukup
Inferior Kiri : Edem (-), sianosis (-), tonus cukup
B. Status Lokalis
Regio Femoral Dextra
- Inspeksi : terdapat edema pada daerah proximal
- Palpasi : nyeri tekan (+) di daerah sekitar sendi coxae
Kimia
Ureum : 57mg/dl (20 - 50 mg/dl)
Kreatinin : 1,6 mg/dl (0,5 - 1,5 mg/dl)
Natrium : 141 mEq/l (135 - 145 mEq/l)
Kalium : 4,4 mEq/l (3,5 - 5,3 mEq/l)
Klorida : 103 mEq/l (97 - 107 mEq/l)
Gula darah sewaktu: 102 mg/dl (70 - 100 mg/dl)
Koagulasi
Masa perdarahan : 1’ 25’’
Masa pembekuan : 2’ 20’’
(4 Oktober 2010)
AGD
pH : 7,5 (7,37 – 7,45)
pCO2 : 23,8 mmHg (32 – 46 mmHg)
pO2 : 79,4 mmHg (71 – 104mmHg)
HCO3 : 18,8 mEq/l (21 – 29 mEq/l)
Base Excess: -2,1 mEq/l (-2 – 2 mEq/l)
O2 Sat : 97% (94 – 98%)
2. Pemeriksaan Echokardiografi
a. Left Ventrikel hipokinetik, Ejection Fraction 50%
b. Katup Mitral normal
c. Katup Aorta sklerosis
Kesan: Sesuai dengan CAD, fungsi left ventrikel normal, Acc pro-op
3. Pemeriksaan thorax foto
Kesan: dalam batas normal
4. Pemeriksaan foto pelvis
Kesan: terdapat fraktur pada leher femur
5. Pemeriksaan Fungsi Paru
Kesan: Pasien dapat di operasi dengan anestesi umum dengan toleransi resiko ringan
Anjuran: Dilakukan analisa gas darah
V. RESUME
6
Pasien laki-laki berusia 70 tahun datang dengan keluhan nyeri pada pangkal paha
sebelah kanan. Pasien berjalan dengan menyeret kakinya. Pasien memiliki riwayat trauma
jatuh ketika di kamar mandi dan bertumpu pada pinggang kanannya.
Pasien tidak memiliki penyakit penyerta. Pasien tidak pernah di operasi
sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan golongan penisilin.
Alergi makanan tidak ada. Pasien merupakan perokok aktif sejak 10 tahun yang lalu
dengan frekuensi ± 2 – 3 batang per hari. Kebiasaan minum alkohol dan narkoba
disangkal pasien. Tidak ada gigi goyang/ gigi palsu. Saat ini pasien tidak sedang
mengkonsumsi obat-obatan apapun.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan KU pasien tampak sakit ringan, kesadaran
compos mentis. TB/BB 165 cm/62 kg. TD 140/80 mmHg, Nadi 88x/ menit, Frekuensi
Napas 18x/ menit, Suhu 36°C. Pasien dengan Mallampati 2. Pemeriksaan kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, thoraks, dan abdomen dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status lokalis regio femoral dextra didapatkan adanya edema pada proximal
dan adanya nyeri tekan pada daerah sekitar sendi coxae.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium pada tanggal 25 September, 27
September, dan 4 Oktober didapatkan adanya nilai abnormal pada kadar ureum 58 mg/dl,
gula darah sewaktu 105 mg/dl, dan dari hasil AGD pH 7,5, pCO2 23,8 mmHg, HCO3 18,8
mEq/l yang menunjukkan terjadinya alkalosis respiratorik dengan kompensasi parsial.
Dari pemeriksaan echokardiolografi didapatkan kesan adanya CAD namun masih
memungkinkan untuk dilakukan operasi dengan resiko ringan. Dari pemeriksaan paru
juga didapatkan kesimpulan resiko operasi ringan.
7
IX. RENCANA ANESTESI
Anestesi Regional Epidural
X. PRE OPERASI
a. Persiapan Alat
Epidural set
- Jarum epidural no 18
- Epidural catheter
- Catheter connector
- Epidural filter 0.2u
- Spuit 10cc + Spuit 25cc Mesin anestesi
- Sfigmomanometer digital
- Oksimeter
- Monitor EKG
- Infus set dan cairan infus – Ringer Laktat
- Cairan antiseptik
- Kateter urin
- Kassa
- Krim chloramphenicol
- Plester
- Laringoskop
- ETT no 7 dan 7,5
8
- Guedel
- Suction
c. Persiapan pasien :
1. Informed consent : bertujuan untuk memberitahu kepada pasien tindakan
medis apa yang akan dilakukan kepada pasien bagaimana pelaksanaannya,
kemungkinan hasilnya, dan resiko tindakan yang akan dilakukan.
2. Surat persetujuan operasi : merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien
tidak akan mengajukan tuntutan.
3. Pasien dipuasakan sejak pukul 22.00 WIB tanggal 3 Oktober 2010 tujuannya
untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan
untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung
yang akan membahayakan pasien.
4. Pasien diberikan premedikasi Ceftriaxon 2 gr IV 1 jam sebelum operasi pada
tanggal 4 Oktober 2010 sebagai profilaksis terjadinya infeksi akibat operasi
terbuka.
5. Pengosongan kandung kemih pada pagi harinya.
6. Pembersihan wajah dan kuku pasien dari kosmetik agar tidak mengganggu
pemeriksaan selama anestesi, misalnya bila ada sianosis. Bila ada gigi palsu
9
sebaiknya dilepaskan agar tidak mengganggu kelancaran proses intubasi dan
bila ada perhiasan sebaiknya diberikan kepada keluarga pasien.
7. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
8. Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD = 140/80 mmHg, Nadi = 88
x/menit, Suhu = 360C, RR = 18 x/menit
Pukul 15.45
- Infus RL 2 diganti infus RL 3
- TD 95/50, Nadi 78x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 16.00
- TD 68/38, Nadi 75x/menit, Saturasi O2 99%
11
- Diberikan efedrin 10 mg melalui intravena untuk menaikkan tekanan
darah
Pukul 16.15
- TD 72/43, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
- Diberikan efedrin 10 mg untuk menaikkan tekanan darah
Pukul 16.30
- Infus RL 3 diganti RL 4
- TD 80/52, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 16.45
- TD 90/55, Nadi 82x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 17.00
- TD 98/60, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 17.15
- Infus RL 4 diganti infus koloid 1
- TD 90/58, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
- Diberikan ondansetron 4 mg untuk mengatasi mual muntah yang
biasanya terjadi post-op
Pukul 17.30
- TD 94/58, Nadi 78x/menit, Saturasi O2 99%
- Diberikan MO 2mg + bupivacain 0,5% 15 mg untuk analgesi post- op
melalui kateter epidural
Pukul 17.45
- TD 88/46, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
- Diberikan efedrin 10 mg untuk menaikkan tekanan darah
Pukul 17.50
- Infus koloid diganti infus RL 5
Pukul 18.00
- Pembedahan selesai
- TD 112/65, Nadi 84x/menit, Saturasi O2 99%
12
Pukul 18.05
- Monitor EKG, tensimeter digital, pulse oksimetri, dan nasal kanul
dilepaskan
- TD 115/62, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
- Pasien dibawa ke ruang pemulihan
Terapi cairan
Berat badan = 62 kg
Lama puasa = 14 jam
Kebutuhan cairan pasien per jam :
4 x 10 = 40 cc
2 x 10 = 20 cc
1 x 42 = 42 cc
--------------------- +
= 102 cc/jam
Lama puasa pasien 14 jam(dimulai pukul 22.00 tanggal 3 Oktober 2010 sampai pukul 12.00
tanggal 4 Oktober 2010)
Kebutuhan cairan pada jam pertama = 50% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam
= 714 cc + 372 cc + 102 cc
= 1188 cc
Kebutuhan cairan pada jam kedua = 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam
= 357 cc + 372 cc + 102 cc
= 831 cc
13
Kebutuhan cairan pada jam ke tiga = 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam
= 357 cc + 372 cc + 102 cc
= 831 cc
RL II 500 ml
RL III 500 ml
RL IV 500 ml
Koloid 500 ml
RL V 100 ml +
2500 ml
1800 ml
Pengawasan Anestesi
Anestesi dilakukan mulai pukul 14.30. Pembedahan dimulai pukul 15.00 dan selesai pada
pukul 18.00.
14
- Tekanan darah :2
- Aktivitas :1
- Warna kulit :2
Total score =9
Pasien boleh pindah ke ruang perawatan
XIII. FOLLOW UP
Dari follow up pasien pada tanggal 6 Oktober 2010, pasien telah sadar penuh,
bising usus +, sehingga infus dihentikan. TD : 140/70 mmHg; Nadi 80x/menit; Napas
20x/menit.
Pasien mengaku luka operasi masih terasa sakit jika digerakkan. Kateter epidural
masih terpasang.
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien dengan diagnosis anestesi status fisik ASA kelas II, dan
dengan diagnosis bedah fraktur tertutup leher femur kanan durencanakan pembedahan
hemiarthroplasty panggul kanan.
15
Anestesia epidural pada pasien ini bertujuan untuk anestesia dan analgesia pada
pembedahan dan analgesia post operatif. Hal ini sesuai dengan indikasi pembedahan,
antara lain:1
Pada pasien ini terjadi penurunan tekanan darah beberapa kali selama
pembedahan berlangsung. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya intake cairan
yang diberikan mengingat lamanya puasa yang dilakukan yang mencapai 14 jam.2
Pada pelaksanaan anestesi epidural pada pasien ini tidak dilakukan tes dosis.
Seharusnya walaupun posisi jarum pada ruang epidural sudah dapat dipastikan melalui
tes loss of resistance, tes dosis tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan salah
memasukkan ke dalam vena epidural sehingga efek samping yang buruk yang dapat
mengakibatkan cardiac arrest dapat dicegah.
Selain itu, pada penggunaan obat analgesia melalui kateter epidural yang
bertujuan sebagai tata laksana nyeri pasca operasi digunakan bupivakain 0,5 %,
seharusnya cukup digunakan bupivakain dengan konsentrasi 0,125 %.
16
Teknik anestesi epidural pada pasien ini dilakukan dalam posisi left lateral
dekubitus didahului dengan membuat garis imajiner antara L3-L4 karena lokasi
pembedahan di daerah femur.
Untuk mengetahui apakah jarum sudah masuk ke ruang epidural, dilakukan tes
“loss of resistance” dengan menggunakan NaCl dalam spuit 10 cc yang disuntikkan
melalui jarum epidural dan memberikan hasil (+).Tes dosis tidak dilakukan. Hal ini
dilakukan hanya apabila dokter anestesi yakin bahwa jarum telah masuk ruang epidural.
Setelah itu, dipasang kateter epidural melalui jarum epidural sebagai introducer ke dalam
ruang epidural. Kemudian jarum dicabut dan kateter epidural diberikan krim
chloramphenicol dan ditutup dengan kassa lalu diplester. Kemudian pasien diberikan
bolus menggunakan Bupivakain 0.5% sebanyak 70 mg melalui kateter epidural. Selama
proses anestesi, monitor tanda-tanda vital harus tetap diperhatikan.
Teknik anestesia epidural pada pasien ini bekerja secara maksimal karena pasien
tidak merasakan sakit selama operasi dan setelah operasi selesai.
1. Lidokain 2%
Pemberiannya ditujukan untuk anestesia blok (epidural dan spinal),
infiltrasi, topikal, dan obat anti-aritmia
17
Lidokain 2% untuk blok sensorik dan motorik
Onset 20 menit, durasi 60 – 120 menit
Untuk anestesia epidural, lidokain untuk operasi jangka waktu sedang
Mudah diserap dari tempat suntikan dan dapat melewati sawar darah
otak
Efek samping : mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental,
koma, dan kejang2
2. Bupivakain 0.5%
Obat anestesi lokal golongan amida yang toksisitasnya rendah dengan
potensi tinggi
Konsentrasi efektif minimal 0.125%
Untuk blok sensorik epidural diperlukan 0.375% dan pembedahan
0.75%
Onset lambat, durasi 4 - 8 jam
Setelah suntikan kaudal, epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak
dicapai dalam 45 menit kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3 – 8
jam
Metabolisme utama di hepar, sedangkan hasil metabolit diekskresi
lewat urine dan sebagian kecil diekskresi dalam bentuk utuh
Bersifat miotoksik pada sistem muskuloskeletal2
3. Morfin
Termasuk opioid golongan agonis.
Terhadap SSP punya 2 sifat, yaitu depresi dan stimulasi.
Dengan pemberian dosis besar, pada sistem-jantung merangsang vagus
dan menyebabkan bradikardia. Menyebabkan hipotensi ortostatik.
Pada sistem respirasi dapat menyebabkan konstriksi bronkus.
Dikontra-indikasikan pada kasus asma dan bronkitis kronis. Pada
sistem saluran cerna menyebabkan konstipasi, tidak dianjurkan untuk
18
pasien dengan gangguan empedu karena dapat menyebabkan kolik.
Pada sistem ginjal, dapat menyebabkan retensi urin.
Dapat menyebabkan toleransi. Dapat kembali normal setelah puasa
morfin 1-2 minggu.
Efek samping : alergi (jarang), mual muntah, pruritus.
Dapat diberikan secara SC, IM, IV, epidural, dan intratekal.
Dimetabolisme di hepar dan diekskresikan lewat ginjal.
Dosis untuk nyeri sedang : 0.1-0.2 mg/kgBB
Dosis untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg IV dan dapat diulang
Dosis untuk nyeri pasca bedah/ nyeri persalinan 2-4 mg epidural atau
0.05-0.2 mg intratekal. Dapat diulang 6-12 jam.2
4. Midazolam
Digunakan sebagai premedikasi, obat induksi dan maintanance dalam
anestesi umum.
Digunakan sebagai obat sedasi dalam anestesi lokal, prosedur
diagnostik dan di dalam ICU
Dosis sedasi 2 mg IV dalam 30 detik dan 2 menit kemudian diikuti
pemberian 0,5 – 1 mg bila sedasi tidak adekuat. Biasa digunakan
antara 2,5 – 7,5 mg.
Kontra indikasi pada glaucoma dan bayi prematur
Dapat menyebabkan mual, muntah, nyeri kepala, cegukan (hiccoughs),
spasme laring, dispnoe, halusinasi, ataxia, skin rash.2
5. Ephedrin
Merupakan obat simpatomimetik
Biasanya digunakan sebagai stimulan, dekongestan, dan juga
menatalaksanaan hipotensi dalam bidang anestesi
Dosis 10 – 25 mg; dapat diberikan dosis tambahan setiap interval 5 –
10 menit. Dosis maksimal 150 mg/hari
Kontraindikasi: Glaukoma sudut tertutup, hipertiroid, hipertensi,
kehamilan, pasien yang dianestesi dengan halotan atau siklopropane,1
19
Terapi cairan
Berat badan = 62 kg
Lama puasa = 14 jam
= 102 cc/jam
Lama puasa pasien 14 jam(dimulai pukul 22.00 tanggal 3 Oktober 2010 sampai pukul 12.00
tanggal 18 April 2010)
Kebutuhan cairan pada jam pertama = 50% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam
= 714 cc + 372 cc + 102 cc
= 1188 cc
Kebutuhan cairan pada jam kedua = 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam
= 357 cc + 372 cc + 102 cc
= 831 cc
Kebutuhan cairan pada jam ke tiga = 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam
= 357 cc + 372 cc + 102 cc
= 831 cc
20
Cairan yang diberikan selama anestesi : RL I 400 ml
RL II 500 ml
RL III 500 ml
RL IV 500 ml
Koloid 500 ml
RL V 100 ml +
2500 ml
1800 ml
Sisa keperluan cairan ¼ puasa dan cairan maintenance per jam akan dikejar dengan infus RL
post-operatif.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anestesia epidural adalah salah satu bentuk dari anestesia regional dan merupakan
salah satu bentuk teknik blok neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas daripada
anestesia spinal. Epidural blok dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak,
21
servikal atau sacral (yang lasim disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas
penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia
post operatif dan untuk penanggulangan nyeri kronis.1
Onset dari epidural anestesia (10-20 menit), lebih lambat dibandingkan dengan
anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang relatif lebih
encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat simpatis dan serat
motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia tanpa blok motorik. Hal
ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan dan analgesia post operasi.1
Ruang epidural lebih sulit dan berisiko untuk dijangkau. Teknik epidural paling
cocok untuk analgesia daerah dada, abdomen, pelvis, atau tungkai; kurang cocok untuk
daerah leher, lengan; dan tidak mungkin dilakukan pada daerah kepala (karena persarafan
kepala langsung keluar dari otak via saraf-saraf kranial, bukan melalui medula spinalis
via ruang epidural.2
23
Waspada – Kontra Indikasi Relatif
Ada beberapa kondisi di mana risiko epidural lebih tinggi dari normal, termasuk di
dalamnya, yaitu :
Pasien menolak
Gangguan pembekuan darah atau sedang dalam pengobatan anti-koagulan (contoh :
warfarin dan heparin standar) – risiko untuk terjadinya hematoma yang dapat
menekan medula spinalis
Infeksi di daerah dekat fokus insersi – risiko terjadinya meningitis atau abses epidural
Infeksi pada aliran darah yang dapat menyebar via kateter ke sistem saraf pusat.
Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK), karena dapat berujung pada herniasi batang
otak
24
Hipovelemia yang tidak terkoreksi, yang ditambah blokade simpatis oleh epidural
dapat menyebabkan kolapsnya sirkulasi.2,3
C. Anatomi
Ruang epidural adalah bagian dari kanalis vertebralis yang tidak terisi oleh
duramater dan isinya. Ruang epidural merupakan ruang potensial yang terletak di antara
dura dan periosteum yang membatasi bagian dalam kanalis vertebralis, terbentang dari
foramen magnum ke sakral hiatus. Cabang-cabang saraf anterior dan posterior dari
medula spinalis menyeberangi ruang ini untuk bergabung di foramen intervertebralis
untuk membentuk saraf-saraf segmentalis. Batas anterior ruang epidural terdiri atas
ligamentum longitudinalis posterior yang membungkus korpus vertebra, dan diskus
intervertebralis. Batas lateral oleh periosteum pedikel vertebra dan foramina
intervertebralis. Di posterior, dibatasi oleh periosteum dari permukaan anterior lamina
dan prosesus artikularis beserta ligamentum-ligamentum penghubungnya, periosteum
dari cabang spina, dan ruang interlamina yang diisi oleh ligamentum flavum. Ruang
epidural berisi pleksus vena dan jaringan lemak yang berhubungan dengan lemak di
ruang paravertebra.3
D. Persiapan
Setiap epidural yang ingin dikerjakan, tidak boleh dilupakan tentang manajemen
jalan napas dan resusitasi. Fasilitas untuk memonitor tekanan darah dan nadi juga harus
tersedia. Diharuskan mendapat informed consent dari pasien, setelah sebelumnya pasien
25
dijelaskan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan pra-bedah
harus dilakukan lengkap seperti pada anestesia umum.
Perhatian khusus pada status kardiovaskular pasien, karena lesi vaskular dapat
menyulitkan dalam meningkatan cardiac output sebagai respon terhadap vasodilatasi
akibat blokade simpatis. Punggung juga harus diperiksa. Pemeriksaan laboratorium
tentang status koagulasi pasien penting jika adanya koagulasi/terapi antikoagulasi
meragukan. INR (PT), APTT, dan jumlah platelet harus dalam nilai normal. Jika ada
keraguan tentang fungsi platelet, konsultasi ke dokter hematologi dianjurkan.
Perlengkapan juga harus dicek ulang. Kanulasi vena tepi dengan kanula large
bore (16G) merupakan kewajiban. Kulit harus dibersihkan dengan alkohol/ iodine. Duk
steril harus dipasang, dan operator harus menggunakan perlengkapan steril lengkap,
termasuk jas, masker, dan sarung tangan.3
E. Perlengkapan
Set epidural modern steril dan disposabel. Obat-obatan juga harus steril dan baru.
Jarum epidural yang digunakan biasanya 16-18G, panjang 8 cm dengan garis penanda
berjarak 1 cm, dan ujung melengkung 15-30°. Yang lebih sering digunakan adalah jarum
Tuohy dan Huber. Biasanya jarum ini juga memiliki “sayap”, sehingga memungkinkan
kontrol yang lebih baik.3
Kateter berbentuk pipa plastik kecil. Kateter model lama memiliki lubang di
ujungnya (end-hole), tetapi cenderung tersumbat. Kateter yang lebih baru (side-hole)
memiliki ujung yang tumpul tetapi terdapat 3 atau lebih lubang di batang kateter dekat
ujungnya. Hal ini tidak hanya membantu menyebarkan obat anestesia lebih merata, tetapi
juga mengurangi kejadian sumbatan.2
26
Pasien dalam posisi duduk atau posisi lateral (berbaring miring). Pasien
yang duduk kemudian diminta untuk membungkukkan tubuh untuk meningkatkan
kurvatura tulang belakang. Pasien yang berbaring juga diminta untuk menekuk
lutut hingga menyentuh dagu untuk alasan yang sama.2
Kulit diinfiltrasi dengan zat anestetik lokal seperti lidokain di lokasi yang
sudah diidentifikasi. Fokus insersi biasanya di garis tengah (median), meskipun
pendekatan lain, seperti pendekatan paramedian kadang juga digunakan,
khususnya pada pasien-pasien usia tua.
27
percaya diri bahwa mereka benar telah dekat dengan ruang epidural. Hal ini
khususnya sangat penting pada daerah thoraks, di mana medula spinalisnya lebih
besar (dibandingkan lumbal), dan risiko tertusuknya dura serta trauma medula
spinalis lebih besar.2
Ada banyak teknik yang digunakan untuk mencapai ruang epidural. Tetapi
yang paling populer ialah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.4
28
Pada teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang diisi
NaCl sampai terlihat ada tetes NaCl yang menggantung. Dengan
mendorong jarum epidural perlahan-lahan secara lembut sampai terasa
membus jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya tetes
NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang
epidural, dilakukan uji dosis.4
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur
adrenalin 1 : 200,000.
Jika tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak
jarum atau kateter benar
Jika terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang
subarachnoid karena terlalu dalam
Jika terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.4
F.5. Penempatan kateter
Kateter biasanya difiksasi pada kulit dengan plester atau kasa supaya tidak
tertekuk.2
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
29
Suntikan yang terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural
mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri
kepala, dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.4
Blok parsial + ++
Blok lengkap - -
Intensitas dari blok saraf ditentukan dari konsentrasi obat anestetik lokal
yang digunakan. Sedangkan volume obat menentukan tingkat penyebaran obat
(level mana). Sebagai contoh, 15 ml 0.1% bupivakain dapat memberikan efek
analgesia yang baik bagi wanita yang sedang melahirkan, tetapi tidak mencukupi
untuk tindak bedah. Sebaliknya, 15 ml 0.5% bupivakain dapat memberikan blok
yang cukup untuk pembedahan. Karena volume yang digunakan pada kedua kasus
adalah sama, penyebaran obat, dan tinggi level yang terkena efek, adalah sama.1
31
Semakin tua umur, semakin sedikit volume obat yang diperlukan untuk
mencapai level blok yang diinginkan, diduga akibat penurunan ukuran dan
compliance ruang epidural.
Tinggi badan pasien memiliki korelasi dengan volume obat, di mana
pasien yang lebih tinggi memerlukan volume obat yang lebih besar.
Hanya ada sedikit korelasi berat badan dengan volume obat yang
diperlukan, meskipun pada pasien obesitas, ruang epidural dapat
terkompresi, sehingga lebih sedikit volume yang diperlukan. Keadaan lain
yang berhubungan adalah pasien dengan asites, tumor intra abdomen yang
besar, dan kehamilan tua.3
4. Postur
Efek gravitasi selama pengaplikasian blok telah diketahui mempengaruhi
penyebaran obat dan area yang terblok. Pada posisi duduk, lumbal bawah dan
sakral cenderung lebih terblok, sedangkan pada posisi lateral dekubitus (tiduran
miring), cabang saraf pada sisi tersebut lebih terblok.3
5. Penggunaan vasokonstriktor
Belum ada bukti penambahan vasokonstriktor pada obat anestetik lokal
dapat memperpanjang efek epidural. Penambahan adrenalin pada bupivakain
ternyata tidak memperpanjang efek anestesia, sedangkan penambahan adrenalin
(1:200,000) pada lignokain, dapat memperpanjang durasi. Meskipun begitu,
vasokonstriktor dapat mengurangi absorpsi sistemik obat anestesi lokal, dan
mengurangi risiko toksik.3
32
Untuk efek yang lebih panjang, infus kontinu dapat digunakan, jika tersedia alat-
alatnya, seperti contoh di bawah (pompa infus epidural dengan sufentanyl di dalam
kotak).1
Larutan yang biasa digunakan sebagai analgesia setelah melahirkan atau post-
operatif yaitu ropivakain 0.2% atau bupivakain 0.125%, dengan tambahan fentanyl 2µl,
dengan laju antara 2-14 mL/jam, setelah loading dose untuk menghasilkan blokade saraf.1
Ada beberapa studi yang menyatakan bahwa bolus otomatis yang intermiten
memberikan efek yang lebih baik dibanding teknik infus, meskipun dosis total antara
keduanya sebanding.1
I. Obat-Obat Anestesia
Pasien yang menerima anestesia epidural untuk pengobatan nyerinya biasanya
menerima kombinasi obat anestesia lokal dan opioid. Kombinasi ini bekerja lebih baik
dibanding dengan salah satu jenis saja. Namun, pada dasarnya, pemilihan obat
bergantung pada indikasi anestesia epidural:
Anestesia pembedahan – membutuhkan blokade sensoris yang lebih dalam dan
blokade motorik sedang sampai dalam. Untuk mencapai ini, diperlukan lokal
anestesia konsentrasi kuat (lidokain 2% 10 – 20mL, dengan atau tanpa adrenalin 1
:200,000), atau bupivakain 0.5% 10 – 20mL.
Saat melahirkan, sering digunakan bupivakain 0.1 – 0.25% sebanyak 5-10 ml,
blok motorik yang tidak terlalu kuat
Untuk analgesia pasca operasi digunakan bupivakain konsentrasi yang lebih
lemah (0.1 – 0.166%, dengan atau tanpa opioid dosis rendah) yang diberikan
secara bolus, infus drip, atau PCEA (Patient Controlled Epidural Analgesia)
terbukti aman dan efisien bila diberikan dengan menggunakan pompa infus.1,2
I.1. Obat Anestesi Lokal
33
Obat anestesi lokal yang biasanya dipakai yaitu, lidokain, bupivakain, ropivakain,
dan kloroprokain.2
34
Sedang – Berat
I.2. Opioid
Sistem kardiovaskular
35
Hilangnya fungsi simpatik dari jantung, menyebabkan turunnya frekuensi nadi
dan tekanan darah
Sistem respiratorik
Dosis anestesia epidural yang sangat besar atau dengan tingkatan blok yang
tinggi, dapat menyebabkan paralisis otot-otot interkostal dan diafragma (yang
bertanggung jawab untuk respirasi) akibat blokade saraf frenikus
Sistem gastrointestinal
Blokade pada saraf simpatis akan menyebabkan saraf parasimpatis (vagus dan
sakral) menjadi lebih dominan, dan mengakibatkan peristaltis aktif dan relaksasi
sfingter, dan kontraksi intestinal
Sistem endokrin
Sistem urogenital
Retensi urin sering terjadi pada anestesia epidural. Hipotensi berat dapat
mengurangi laju filtrasi glomerulus bila blokade saraf simpatis cukup tinggi untuk
menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Sensasi untuk berkemih juga hilang,
sehingga diperlukan pemasangan kateter urin selama durasi epidural. 1,2
Analgesia yang efektif tanpa kebutuhan akan opioid sistemik
36
Insidensi dari masalah respirasi post-operatif dan infeksi dada dapat dikurangi
Insidensi infark miokardial (serangan jantung) post-operatif dapat dikurangi
Respon stres terhadap pembedahan dapat dikurangi
Motilitas usus dapat ditingkatkan dengan cara blokade sistem saraf simpatik.
Mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.1
Saraf-saraf penghantar nyeri paling sensitif terhadap efek epidural, yang artinya
epidural yang baik dapat menyediakan analgesia tanpa mempengaruhi kekuatan otot atau
sensori lain. Semakin besar dosis, semakin besar efek samping yang dihasilkan. Sebagai
contoh : wanita yang sedang melahirkan digunakan epidural kontinu yang pada 85%
kasus memberikan analgesia yang baik tanpa mengurangi kemampuannya untuk bergerak
di ranjang. Jika ia memerlukan Sectio, ia diberikan dosis bupivakain epidural yang lebih
besar. Setelah beberapa menit, ia tidak bisa lagi menggerakkan kakinya, atau merasakan
abdomennya. Jika tekanan darahnya turun hingga di bawah 80/50, ia diberikan bolus
intravena efedrin/ infus phenylephrine untuk mengkompensasi.2
37
L. Komplikasi
1. Tidak adanya blokade nyeri (gagal blok), terjadi pada 1:20 kasus, atau 5%. 15%
mengalami kegagalan parsial. Jika hal ini terjadi, epidural dapat diulang lagi.1
Faktor yang berhubungan dengan gagalnya blok :
Obesitas
Multipara
Riwayat kegagalan epidural sebelumnya
Penggunaan udara untuk mencapai ruang epidural daripada N20, saline, atau
lidokain
Pengguna opiat5
2. Tusukan berdarah (1 : 30-50). Sangat mudah terjadinya trauma pada vena epidural
oleh karena jarum. Pada pasien dengan pembekuan darah yang normal, hal ini sangat
jarang terjadi (1:100.000). Pada pasien dengan koagulopati, terdapat risiko terjadinya
epidural hematoma. Jika darah tertarik ke arah jarum, dokter biasanya akan
melakukan epidural di level lain.
3. Pada 5% pasien dapat terjadi tertusuknya duramater (dan arachnoid) secara tidak
sengaja sehingga timbul sakit kepala (1-3:100) karena kedalaman ruang epidural pada
lumbal yang hanya 3-5 mm. Hal ini berakibat bocornya cairan serebrospinal ke ruang
epidural, sehingga terjadi PDPH (Post Dural Puncture Headache). PDPH bisa berat
dan menetap selama beberapa hari, bahkan kadang hingga berbulan-bulan. Hal ini
disebabkan karena berkurangnya tekanan cairan serebrospina yang ditandai dengan
eksaserbasi ketika pasien mengangkat kepalanya dari posisi tiduran. Jika amat berat,
dapat diobati dengan epidural blood patch (darah pasien dimasukkan ke dalam ruang
epidural lewat jarum epidural lain sehingga menyumbat yang bocor), namun
kebanyakan kasus resolusi secara spontan.
38
4. Kateter salah tempat, masuk ke dalam vena (jarang, <1:300), dapat menyebabkan
kejang dan henti jantung pada dosis besar (1:10.000).
5. Kateter masuk ke ruang subarachnoid (<1:1000). Jika kateter tidak sengaja masuk ke
ruang subarachnoid, biasanya cairan serebrospinal dapat diaspirasi dari kateter
(biasanya memang harus dilakukan aspirasi). Meski begitu, jika hal ini tidak disadari,
dapat berujung pada blok tinggi, atau pada kasus yang lebih jarang “total spinal” di
mana obat anestesia menuju batang otak, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
kejang.
9. Paraplegia (1:250,000)
10. Arachnoiditis
DAFTAR PUSTAKA
39
3. Visser, Leon. 2001. Epidural Anaesthesia. Practical Procedure Issue 13, Article 11.
Diunduh dari URL : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm. Akses
tanggal 5 Oktober 2010.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi, ed 2. 2007.
Jakarta : FKUI
5. Agaram, R et al. 2009. Inadequate Pain Relief with Labor Epidurals : A Multivariate
Analysis of Associated Factors. Int J Obstet Anesth 2009.18(1):10-4
40