You are on page 1of 16

Presentasi Referat Kepada Yth,

Rabu, 23 April 2008 .................................

ASPEK NEUROPSIKIATRI
PADA PENYAKIT PARKINSON

Penyaji : dr. Taufik Mesiano


: dr. Dini
: dr. Ferdila
Moderator : dr. Heriani Sp.KJ (K)
Narasumber : dr. Richard Budiman Sp.KJ (K)
Pembahas : 1. dr. Imelda
2. dr. Yenny Sinambela
3. dr. Profitasari

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
2008

ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Abstrak
Manajemen pasien dengan penyakit Parkinson tahap lanjut sangatlah menantang kita
dalam penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbul komplikasi gejala psikosis,
yang disertai dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan
penanganan pasien PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang
lebih besar bagi kita untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya
gejala neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul
hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut.
Kata kunci : Penyakit Parkinson, komplikasi neuropsikiatri, manajemen

Pendahuluan
Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dideskripsikan secara lengkap gejalanya
oleh seorang dokter dan geologis dari Inggris yaitu James Parkinson sekitar 2 abad yang
lalu (1817) melalui monografnya An Essay on the Shaking Palsy. Atas jasa dari Arvid
Carlsson sebagai pemenang Nobel Prize, saat ini kita mengetahui lebih dalam lagi
mengenai prinsip kelainan penyakit Parkinson yaitu hilangnya fungsi dopamine (DA) dan
pengobatan menggunakan levodopa sebagai metoda pengobatan yang dipakai, setidaknya
saat ini kita telah mencapai suatu tahap pengertian dimana kelainan yang terjadi dan
bagaimana cara memperbaikinya.1
Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegenerative progresif yang
disebabkan karena proses degenerasi spesifik neuron-neuron dopaminergik ganglia
basalis terutama di substansia nigra pars kompakta yang disertai inklusi sitoplasmik
eosinofilik (badan lewy). Penyakit Parkinson adalah tipe tersering dari suatu keadaan
Parkinsonism, lebih kurang 80% dari seluruh kasus. Selain itu penyakit Parkinson juga
merupakan penyakit neurodegenerative tersering kedua setelah demensia Alzheimer.2,3
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit Parkinson tidak diketahui. Pada
umumnya PD muncul pada usia 40-70 tahun, rata-rata diatas usia 55 tahun, lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2. Suatu kepustakaan
menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit Parkinson terjadi pada ras Kaukasian di

2
Amerika Utara dan ras Eropa (0,98 % hingga 1,94%); menengah terdapat pada ras Asia
(0,018 %) dan prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika (0,01 %). 3,4
PD terdapat 4 manifestasi gejala utama motorik : tremor saat istirahat, rigiditas,
bradikinesia (berkurang atau lambatnya suatu gerakan), dan instabilitas postural.1,5 Selain
itu pada PD juga terdapat gejala non motorik yang termasuk didalamnya adalah gangguan
sensoris dan otonom serta gangguan neurobehavioral (neuropsikiatri) seperti depresi,
ansietas, dan psikosis yang akan kita bahas lebih lanjut di dalam tulisan ini.5

Gejala Klinis Penyakit Parkinsons : Hubungannya terhadap Psikopatologi

Gejala Motorik
Penyakit Parkinson ditegakkan diagnosis secara pasti melalui ditemukannya :
degenerasi dan hilangnya sel saraf berpigmen di substansia nigra (pars compacta) dan
badan inklusi (Badan Lewi) intraneuronal di substansia nigra. Penyakit ini dapat
ditegakkan secara klinis yang timbul berupa trias motorik : 1) tremor saat istirahat, 2)
rigiditas, dan 3) bradikinesia/akinesia ( berkurang atau lambatnya suatu gerakan).
Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan kombinasi gejala spesifik yang
timbul, namun terdapat heterogenitas pada setiap individu dan tidak ada yang spesifik.
Salah satu klasifikasi yang dipakai untuk penegakkan diagnosis PD secara klinis yaitu
melalui kriteria dari Hughes 5,6:
 Possible
Terdapat salah satu dari gejala utama : resting tremor, rigiditas, bradikinesia,
kegagalan refleks postural
 Probable
Kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural) atau satu dari
tiga gejala pertama yang tidak simetris (dua dari empat tanda motorik)
 Definite
Kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang
tidak simetris (tiga tanda kardinal) dan responsif terhadap pengobatan levodopa.

3
Lebih jauh lagi gejala klinis tidak terjadi pada awal penyakit Parkinson dan dapat
terjadi kesalahan diagnosis dengan menganggapnya sebagai suatu fenomena depresi.
Sebagai salah satu contoh kasus seorang pasien di poliklinik, teman-temannya
menyatakan kepada dokter bahwa sekitar 10 tahun sebelum diagnosis PD ditegakkan,
pasien ini dikatakan tidak pernah tersenyum setiap di foto.
Pada suatu seri penelitian klinis paling akhir menunjukkan bahwa gejala klasik
tremor pada pasien PD terjadi sekitar 70 % pada awal penyakit, dan sekitar 5 % nya
datang dengan depresi atau nervousness. Pada penelitian yang sama, terdapat subgroup
penelitian mengalami gejala somatik yang bervariasi, yaitu terdapatnya muka topeng atau
kelelahan, yang dapat disalah persepsikan sebagai gejala primer depresi dibanding
sebagai PD. 5,6
Gejala-gejala yang terjadi pada pasien berhubungan dengan trias motorik pada
PD, beberapa diantaranya bertumpang tindih dengan terjadinya suatu gangguan mood.
PD dapat dianggap sebagai suatu kelainan primer depresi, dan terjadinya depresi menjadi
tidak dikenali pada pasien PD. Dan setelah dua keadaan klinis tersebut terdeteksi akan
timbul kesulitan dalam menentukan manakah yang menjadi fenomena klinis motor
primer atau patologi primer psikiatrik. (lihat table 1). Sebagai contoh, bradikinesia juga
dikenal sebagai komponen didalam depresi, dan biasa dideskripsikan sebagai retardasi
psikomotor. 5,6
Gejala tremor yang terjadi pada sekitar 80 % pasien dengan penyakit Parkinson,
dapat menjadi suatu komponen yang signifikan pada gejala ansietas. Beberapa pasien
juga melaporkan adanya tremor anggota dalam tubuh yang juga dapat berhubungan
dengan ansietas. Tremor yang timbul pada awal dari PD menjadi sulit dikenali sebagai
suatu gejala PD bila tidak disertai gejala motorik lainnya. Rigiditas ditandai adanya
peningkatan tonus saat pergerakan pasif, dapat juga bermanifestasi dalam bentuk seperti
keram otot ataupun nyeri. Adanya rigiditas meimbulkan suatu kelainan dalam berjalan
dan mengganggu postur tubuh, refleks posisi tubuh yang menghilang, gangguan
keseimbangan bahkan kejadian jatuh pada pasien PD sering terjadi seiring dengan
progresivitas penyakit. Gejala lainnya seperti disartri, gangguan visual dan
genitourinarius, gangguan tidur, kulit berkeringat dan berminyak, edema, konstipasi,
parestesia, kelelahan dan penurunan rasa penciuman juga dapat terjadi pada keadaan PD

4
tingkat lanjut. Fenomena-fenomena tersebut dapat terjadi sebagai gangguan mood dan
terapi antidepresan. 5,6

TABEL 1. Gejala Umum pada Penyakit Parkinson dan Depresi Mayor


Penyakit Parkinson Depresi Mayor
Motor Bradikinesia Psikomotor
Postur terhenti +/- Postur terhenti
Muka topeng Afek terbatas/depresi
Kognitif Gangguan Memori Gangguan Memori
Gangguan konsentrasi Gangguan konsentrasi
Indecisiveness Indecisiveness
Vegetatif Energi berkurang Energi berkurang
Fatigue Fatigue
Gangguan tidur Gangguan tidur
Nafsu makan berubah Nafsu makan berubah
Somatik Gangguan fisik Gangguan fisik

Gangguan Kognitif
Dalam perkembangan penyakitnya, PD dapat menyebabkan gangguan kognitif
yang bervariasi tingkat keparahannya. Penyebabnya adalah multifaktorial, menyangkut
didalam sistem dopamin di subkortikal – frontal dan sistem ekstrastriatum.Gangguan
kognitif (disfungsi eksekutif, visuospasial, memori, dan atensi) pada pasien PD dapat
menimbulkan hendaya pada pasien dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari ataupun
kegiatan rumah tangga serta dapat membuat pasien menjadi tertekan. Terdapatnya
gangguan mood yang terjadi, menyertai, atau mengikuti perubahan kognitif dapat
mengganggu dalam penilaian gangguan fungsi kognitif yang terjadi dan gangguan yang
terjadi seakan lebih berat daripada kenyataannya. Sekitar 25 % pasien berkembang
menjadi demensia tipe Alzheimer dengan terdapatnya afasia, apraksia, dan defisit
memori. Sementara depresi dapat terjadi bersamaan pada pasien PD dengan demensia,
keluarga dan klinisi yang melihat terjadinya kurangnya sosialisasi pada pasien
menganggapnya sebagai suatu kelainan depresi dibandingkan suatu keadaan hendaya
fungsi kognitif sehingga pasien diberikan obat-obatan antidepresan.
Pengenalan gejala demensia pada PD sangatlah penting bagi klinisi karena pada
pasien-pasien ini sangat rentan dalam pemberian obat-obatan psikoaktif yang dapat

5
mengakibatkan terjadinya delirium, dan lebih jauh lagi sebagai penyebab nursing home
pada pasien PD.6

Terapi Komplikasi Motorik dan yang berhubungan


Kebanyakan medikasi antiparkinson dapat mengurangi gejala-gejala motorik
melalui peningkatan availabilitas dopamine, dimana saat ini sedang berkembang terapi-
terapi yang baru. Walaupun begitu dengan medikasi obat-obatan tersebut dapat
menyebabkan komplikasi seperti delirium, perubahan mood, dan psikosis. Suatu
prekursor dopamine yaitu levodopa merupakan terapi yang efektif untuk mengkontrol
gejala motorik pada PD. Pemberian levodopa ini biasanya dikombinasikan dengan
pemberian preparat carbidopa, yang merupakan enzim penghambat metabolisme
dopamine di perifer. Bromokriptin, pergolide, dan agen-agen yang baru seperti
pramipexole dan ropinirole merupakan agonis reseptor dopamine, yang cara kerjanya
meningkatan aktifitas dopamine paska sinap. Deprenyl atau selegeline, suatu penghambat
oxidase-B monoamine, dan talcapone, suatu penghambat transferase katecolamin, bekerja
menghambat metabolisme dopamine dan meningkatkan sinaps dopamine. Amantadin dan
agen antikolinergik seperti trihexiphenidyl dan benztropine juga digunakan untuk
mengkontrol gejala motorik.6
Penggunaan obat-obatan tersebut jangka panjang dan kombinasi progresifitas PD
lama kelamaan akan mempengaruhi stabilitas mood. Selain itu perkembangan penyakit
menyebabkan terjadinya fluktuasi periode ‘on’ dan ‘off’ motorik pasien yang
mengakibatkan peningkatan kebutuhan dosis yang lebih tinggi lagi untuk mengatasinya.6
Fluktuatif gejala motorik yang terjadi pengaruhnya sangat bervariasi pada pasien
PD, tergantung kemampuan pasien dalam mentoleransi fluktuasi motorik yang terjadi.
Pada beberapa pasien fluktuatif motorik ini menyebabkan suatu keadaan distress,
disabilitas, disfigur atau memalukan, berbeda-beda antara tiap pasien. Pandangan pasien
terhadap fluktuasi motorik yang terjadi ini dipengaruhi oleh keadaan jiwa dan
kemampuan kognitif seseorang. Emosi dapat mencetuskan suatu keadaan fluktuasi
motorik, walaupun pada beberapa pasien fluktuasi terjadi tanpa suatu pencetus.6
Suatu reaksi psikologis dapat berpengaruh terhadap fluktuasi motorik, perubahan
mood berhubungan erat dengan terjadinya fluktuasi motorik, diperkirakan mekanisme

6
utama dari dopaminergik. Biasanya, pasien akan mengalami perubahan mood menjadi
depresi atau ansietas pada periode off dan menjadi neutral atau mood meningkat pada
periode on. Pada laporan lainnya mendeskripsikan suatu keadaan iritabel, apatis,
halusinasi, psikosis, berteriak-teriak, dan tumpulnya kognisi saat periode off dan
hiperseksualitas, hipomanik selama periode on. Manajemen pengobatan gangguan mood
yang berhubungan dengan fluktuasi motorik pada pasien PD sangat sulit. Manajemen
pengobatan yang diberikan harus memperhatikan rejimen antiparkinson yang diberikan,
dan penentuan adanya gangguan mood.6
Terapi operatif pada pasien PD telah dimulai lebih kurang 30 tahun yang lalu, dan
sangat membantu dalam mengontrol gejala yang timbul serta komplikasi yang terjadi.
Palidotomi merupakan terapi pilihan pada pasien PD dengan diskinesia dan fluktuasi
motorik. Talamotomi dikerjakan untuk mengatasi tremor pada pasien PD dan kondisi
esensial tremor lainnya atau multiple sclerosis. Beberapa analisis palidotomi dapat
mengurangi kejadian ansietas dan depresi tetapi tidak berhubungan dengan perbaikan
motorik. Terapi mutakhir lainnya yang tidak terlalu invasive yaitu deep brain stimulation
(DBS), semacam pacemaker yang ditanamkan pada otak yang memberi impuls listrik ke
thalamus atau globus palidus yang dapat diatur kebutuhannya dalam mengatasi tremor
yang terjadi.6

Komplikasi Psikiatrik
Selama bertahun-tahun, diperkirakan fenomena psikiatrik yang terjadi pada PD,
seperti perubahan afek, dikatakan berhubungan dengan berkurangnya dopamine dan
gangguan motorik. Setelah ditemukannya penggunaan terapi levodopa pada tahun 1960,
hampir dua pertiga pasien PD mengalami gangguan afektif yang persisten, walaupun
telah diberikan terapi antiparkinson, dan perubahan mood yang terjadi sulit diperbaiki
dengan terapi antidepresan. Jadi dapat dikatakan penyebab utama gangguan psikiatrik
pada PD disebabkan oleh kelainan neurodegeneratif, selain itu reaksi psikologis terhadap
keadaan klinis yang terjadi harus pula dipertimbangkan. Perkembangan PD menjadi suatu
tahap yang lebih lanjut didasari oleh kehilangan saraf-saraf dopaminergik di substansia
nigra dan efek sekunder pada proyeksi pada sistem yang menyangkut nucleus kaudatus,
putamen (striatum), frontal dan bagian dari girus cinguli. Berdasarkan hal tersebut,

7
bervariasinya gejala motorik dan non motorik pada PD dan hubungan diantara gejala
tersebut merupakan hasil dari terjadinya disfungsi sirkuit kortiko-basal ganglia-
thalamus.6
Selain hilangnya neuron dopaminergik pada PD juga terjadi degenerasi pada
neuron-neuron noradrenergik di lokus seruleus, neuron serotonergik di bagian dorsal dari
raphe, dan saraf kolinergik di nucleus basalis dan sistem proyeksinya.Tingkat kehilangan
saraf pada saraf-saraf tersebut diperkirakan menjadi penyebab dari heterogennya gejala
motorik, kognitif, dan psikiatrik yang terjadi pada pasien PD. Hal ini telah dibuktikan
oleh Paulus dan Jellinger yang menunjukkan terjadinya perbedaan pola neuropatologis
yang terjadi pada pasien PD yang rigid-akinetik dibandingkan dengan PD dengan
dominant tremor.
Pada penelitian serial oleh peneliti yang sama menunjukkan pada pasien PD
dengan demensia terjadi lesi yang sama dengan tipe Alzheimer dan kehilangan sebagian
saraf di daerah medial dari substansia nigra, sedangkan pada pasien dengan depresi
terjadi kehilangan saraf yang besar pada raphe bagian dorsal. Walaupun begitu pada
pasien dengan psikosis tidak terjadi kelainan neuropatologis yang spesifik.6
Hubungan antara fenomena motorik, kognitif, dan psikiatrik pada pasien dengan
PD merupakan tantangan bagi para klinisi untuk melakukan penilaian psikopatologi pada
pasien. Sulitnya penilaian psikopatologi pada PD juga terjadi akibat berfluktuasinya efek
pengobatan psikoaktif ditambah dengan perkembangan progresif dari penyakit. Oleh
karenanya para klinisi harus lebih melakukan anamnesa yang lebih dalam pasien
mengenai kondisi psikiatrik pasien sebelumnya, riwayat keadaan keluarga, temperamen,
mekanisme koping , keadaan sosial dan kejadian penting yang terjadi dalam hidupnya.

Gangguan Mood
Pasien dengan PD idiopatik sekitar 90 % nya mengalami komplikasi psikiatrik,
termasuk didalamnya gangguan mood mayor (depresi mayor, distimia, atau gangguan
bipolar); gangguan penyesuaian; gejala ansietas disabling, perubahan mood yang
dicetuskan oleh obat, rasa sedih patologis, demensia; keadaan apatis; atau delirium.
Gangguan mood yang berfluktuasi (perubahan mood dari mood depresi menjadi
hipomani yang dapat terjadi beberapa kali sehari) diperkirakan terjadi pada 7 % hingga

8
21 % pasien PD. Perubahan mood ini diasanya terjadi mengikuti fluktuasi motorik, pada
saat pasien mengalami mood yang rendah (bercampur dengan keadaan depresi-ansietas)
terjadi pada saat periode off dan mood yang normal atau meningkat (euphoria dan
hipomanik) terjadi pada periode on. Namun, fluktuasi mood ini juga dapat terjadi tanpa
disertai fluktuasi motorik pada beberapa pasien. 6,7

Depresi
Depresi mayor terjadi hampir 40 % pada pasien dengan PD, angka kejadian
tersebut bervariasi dari tiap studi yang ada yaitu dari 4% hingga 70 %. Depresi mayor
terjadi pada hampir setengahnya pasien dengan depresi, sedangkan lainnya disertai
gangguan penyesuaian, distimia atau kelainan bipolar. Intensitas gejala depresi mayor
secara umum terjadi dari sedang hingga berat dan sering bersamaan dengan gejala
ansietas. Secara umum, studi yang ada tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara
onset umur dan lamanya PD, riwayat anggota keluarga dengan gangguan mood, atau
riwayat pasien dengan episode depresi sebelumnya.6,7
Isu yang berkembang saat ini adalah apakah sindrom depresi mayor PD
merupakan reaksi dari disabilitas motorik atau apakah sindrom yang terjadi merupakan
perkembangan intrinsik proses PD. Dari studi yang ada belum ada yang dapat
menjelaskan secara jelas mengenai hubungan keadaan tersebut.7,8
Terlihat dengan jelas hubungan antara mood dan fenomena motorik sangatlah
kompleks. Menariknya adalah perbaikan motorik dengan obat-obatan tidak diikuti
dengan perbaikan mood, tetapi keberhasilan pengobatan depresi berhubungan dengan
perbaikan fungsi motorik. Dalam beberapa studi menunjukkan hubungan antara
perbaikan dari suatu episode depresi dan gangguan kognitif setelah mendapatkan
pengobatan gangguan mood. 6,7,8
Beberapa studi menunjukkan implikasi serotonin terhadap terjadinya depresi pada
PD. Studi neurokimia menunjukkan turunnya jumlah metabolit serotonin (5-HIAA) baik
di perifer dan sentral, yang terjadi perbaikan gejala depresi dengan terapi serotonergik,
dan penurunan pengikatan platelet-imipramin pada pasien PD dengan depresi. Pada studi
neuroimaging pada pasien PD dengan depresi menunjukkan hipometabolisme relatif di

9
daerah kaudatus dan orbito-frontal inferior dan bagian medial lobus frontal dibandingkan
pasien PD tanpa depresi dan subyek kontrol.9

Apatis
Gejala apatis dapat timbul pada PD dengan gejala depresi mayor. Terdapat dua
studi yang menelaah apatis yang terjadi pada PD. Pada studi sebelumnya, depresi dan
apatis dapat timbul bersamaan pada sekitar 30 % sample, dan 12 % hingga 16 % pasien
hanya mengalami apatis saja. Dibandingkan dengan pasien PD yang eutimik, tidak
terdapat perbedaan bermakna dalam usia, jenis kelamin, lamanya menderita PD, atau
beratnya gangguan motorik tetapi pada pasien dengan sindoma apatis terjadi relative pada
usia lanjut dibandingkan dengan PD yang disertai depresi.6,7
Keadaan apatis merupakan analogi dari aspek PD itu sendiri, seperti keadaan
bradiphrenia dan bradikinesia, diperkirakan beberapa gejala kognitif, behavioral, dan
motorik pada PD saling berhubungan patofisiologinya. Sebagai buktinya yaitu keadaan
bradiphrenia berhubungan dengan hilangnya neuron pada lokus seruleus yang
berimplikasi terjadinya disfungsi noradrenergik.6,7

Emosionalisme
Pada beberapa studi mendapatkan suatu keadaan meningkatnya frekuensi
menangis atau labilnya emosi pada pasien PD disbanding pada subyek kontrol. Keadaan
emosi yang timbul pada PD merupakan suatu keadaan sentimental yang tinggi dan
berlebihan yang tidak sesuai, tidak dimotivasi dan tidak disadari. Biasanya berlangsung
singkat, tetapi sering mereka sampai timbul air mata. Keadaan menangis yang berlebihan
pada PD dapat terjadi sebagai tanda depresi mayor, inkontinensia emosional (dikenal
sebagai tertawa atau menangis patologis), delirium, atau dengan penggunaan
benzodiazepine. Pasien sering mendeskripsikan keadaan emosional yang berlebihan dan
tidak terkontrol biasanya dicetuskan melalui berbagai stimulus positif ataupun negatif,
sebagai contoh adegan di televisi yang membuat sedih, hal-hal pengkhawatiran tentang
masa depan, atau melihat orang sedang berbuat kebaikan. Pada beberapa pasien,
emosionalitas ini membuat suatu keadaan yang sangat memalukan secara sosial, yang
menimbulkan fobia bagi pasien. Dari segi pasien sendiri dan atau keluarganya

10
menyimpulkan bahwa menangis ini berarti mereka “mengalami depresi” dan hal ini harus
disadari keadaan ini sering terjadi pada PD, bahkan tanpa disertai sindroma depresi
sekalipun. Pemeriksaan yang seksama mengenai keadaan emosional pasien PD
menunjukkan hampir 40 % pasien mengalami peningkatan keadaan menangis sejak onset
PD, dan 11 % nya keadaan emosionalnya lebih pervasif. Tidak ada hubungan yang pasti
antara emosionalitas dan gangguan kognitif atau sindroma depresi mayor.6

Ansietas
Keadaan ansietas merupakan masalah umum terjadi pada pasien PD, tetapi sering
kurang diperhatikan mengenai fenomena ini. Ansietas ini dapat terjadi ‘berdiri sendiri’
atau merupakan suatu gejala depresi, secara klinis keadaan ansietas terjadi pada sekitar
40 % pasien PD. Secara umum gejala yang timbul dapat berupa kelainan umum ansietas,
fobia sosial, dan kelainan panik, yang prevalensinya rata-rata sekitar 25 % pada beberapa
studi. Sindroma tersebut dapat terjadi sebelum atau menyertai sindroma depresi mayor,
dan dapat terjadi setelah keadaan depresi diterapi. Disamping itu semua, kita sebagai
klinisi haruslah memilah apakah keadaan ansietas yang terjadi akibat respon psikologis
yang masih bias ditolerir karena akibat gejala motorik yang timbul atau apakah suatu
keadaan yang lebih personal.Sindroma ini juga dapat terjadi secara independent akibat
kadar levodopa yang berfluktuasi. Disfungsi otonom yang merupakan komplikasi yang
umum pada pasien PD disamping suatu keadaan status psikiatrik, juga dapat berhubungan
dengan keadaan ansietas atau depresi. Berdasarkan hal tersebut, keluhan somatik (flusing,
dizziness, sering berkemih, atau perubahan dari denyut jantung) harus dievaluasi lebih
hati-hati karena dapat terjadi kesalahan diagnosis (dan salah terapi), bila hal tersebut
mewakili dari sindroma afektif.6,7
Sindroma ansietas pada PD tampaknya berhubungan dengan penyakit otak yang
mendasari, dengan implikasi disfungsi noradrenergik. Pada beberapa studi menunjukkan
sindroma ansietas mendahului onset dari gejala motorik, tetapi juga dapat timbul
setelahnya. Studi lain juga memaparkan mengenai hubungan antara gejala panik dan
fluktuasi pengobatan antiparkinson dan gejala motorik, tetapi hubungan yang jelas antara
ansietas dan tingkat disabilitas, gejala motorik, dan pengobatan dengan dopaminergik
belum dipublikasikan.Walaupun begitu, sindroma ansietas pada PD dapat mewakili

11
perbedaan lokasi patologi pada PD. Pada analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa
kemampuan kognitif pada pasien PD dengan keadaan ansietas relatif lebih baik dibanding
tanpa keadaan ansietas, terutama mengenai pemeriksaan yang berhubungan dengan
proses kognitif lobus frontal.6,7,8

Psikosis
Halusinasi dan delusi terjadi pada 40 % pasien PD dan merupakan penyebab
utama penempatan pasien di tempat perawatan. Gejala halusinasi yang sering timbul
berupa halusinasi visual pada sekitar 15 % hingga 40 % pada suatu studi cross-
sectionally. Prevalensi pada suatu studi komunitas kejadian halusinasi sekitar 9,8%
dengan insight yang baik dan 6% mengalami halusinasi berat atau delusi. Delusi sangat
jarang terjadi biasanya terjadi disertai dengan halusinasi dengan prevalensi yang
bervariasi yaitu sekitar 3 % hingga 30%. Halusinasi auditorik dilaporkan terjadi pada 8 %
hingga 13 % pasien dan dapat tidak terdiagnosis. 6,7
Psikosis yang timbul berhubungan dengan pengobatan dopaminergik, sekitar 20
% pada pasien PD. Psikosis dapat timbul secara spontan atau berhubungan dengan
gangguan kognitif, fluktuasi periode “on” dan “off”, gangguan mood, pengobatan
psikoaktif, dan atau keadaan delirium. Gejala psikosis yang timbul secara umum dapat
dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama terdiri dari gejala halusinasi visual berupa
gambaran ‘binatang’ atau ‘orang’ yang terjadi dengan rasa sensasi yang jelas dan disertai
insight. Tipe yang kedua halusinasi atau delusi yang terjadi menjadi persisten tetapi
dengan hilangnya insight. Pada grup yang ketiga, halusinasi atau delusi terjadi pada
keadaan delirium. 6,7,9
Halusinasi dan delusi juga terjadi sebagai gejala dari depresif mayor atau gejala
manik, hal ini merupakan diagnosis yang harus diperhatikan pada saat pasien dalam
keadaan agitasi. Pada suatu studi pada populasi tentang psikosis menunjukkan adanya
hubungan antara gejala psikotik dan umur, tahap perkembangan, dan subgrup diagnostik
dari PD, beratnya depresi, dan gangguan kognitif, dimana pengobatan antiparkinson tidak
dibedakan diantara pasien PD dengan atau tanpa psikosis. Penemuan ini menunjukkan
patologi pada otak yang dipengaruhi sangatlah luas pada pasien dengan keadaan psikosis
dan menyangkal adanya pendapat mengenai perkembangan psikosis akibat pengobatan

12
antiparkinson. Adanya defisit kolinergik pada psikosis pasien PD telah menjadi
wacana.6,7,9
Patofisiologi psikosis pada PD tidak diketahui secara pasti (table 2). Laporan
terjadinya psikosis pada pasien PD sering timbul pada penggunaan terapi levodopa.4
Semua agen, termasuk agonis dopamine, amantadin, dan levodopa dapat menyebabkan
4
psikosis dan mengalami perbaikan dengan penurunan dosis. Hal inilah yang menjadi
pemikiran bahwa psikosis yang terjadi akibat sekunder hipersensitifitas reseptor
dopamine di regio mesokortikal dan mesolimbik yang diakibatkan stimulasi berlebihan
dari pengobatan dopaminergik. Teori lain mengatakan, adanya ketidakseimbangan antara
sistem dopaminergik dan serotonergik akibat pengobatan dengan dopaminergik yang
menurunkan kadar serotonin atau stimulasi yang berlebihan dari reseptor serotonergik
karena terapi dopaminergik. Teori lainnya yaitu psikosis yang berkaitan dengan defisiensi
kolinergik yang biasanya terjadi pada pasien PD dengan gangguan kognitif, dikatakan
defisiensi kolinergik memegang peranan terjadinya psikosis.6,7,9

Tabel 2
Faktor Resiko terjadinya Psikosis pada PD
Faktor Primer
Terapi Dopaminergik
Dopamin agonis (pergolid, bromokriptin, rapinirole, pramipexole), L-dopa Catechol-O-
methyltransferase inhibitor (entacapone, tolcapone)
Faktor Tambahan
Pengobatan Psikoaktif
o Agen antiparkinson : antikolinergik, selegeline, amantadin
o Agen lain : benzodiazepine, antikolinergik lain, antihistamin, steroid, opiate
Kelainan Medis lain
Kondisi sistemik, dehidrasi, nyero, trauma intracranial yang tidak terdeteksi atau fraktur,
infeksi akut atau subakut (ISK, pneumonia, konstipasi, selulitis)
Kondisi Komorbiditas Neuropsikiatrik
Gejala depresi, sindroma depresi, demensia, penyalahgunaan L-dopa
Gangguan tidur

Terapi
Suatu petunjuk terapi dari data-data empiris dalam menangani terapi kondisi
psikiatrik pada pasien PD sangat sedikit; data yang ada berupa laporan uji klinis terbuka

13
atau studi deskriptif. Pada suatu meta-analisis terakhir hanya terdapat 12 uji klinis terapi
depresi pada pasien PD namun kualitas literature ini sangatlah lemah. Lebih jauh lagi,
diantara uji klinis tersebut tidak menggunakan obat-obatan antidepresi yang baru dari
satu dekade terakhir. Hal yang sama terjadi pada terapi psikosis pada pasien PD, kecuali
pada suatu studi yang baru, dengan sample besar, multisenter, buta ganda, dengan kontrol
plasebo yang menunjukkan efikasi dengan menggunakan clozapin dosis kecil (6,25 mg –
50 mg/day). Mengenai terapi behavioral atau obat-obatan pada keadaan ansietas,
emosional, atau apatis pada pasien PD belum dilakukan studi lebih lanjut.5,6,7
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian obat-obatan psikotropik pada
pasien PD untuk mengatasi gejala-gejala psikiatrik adalah penyakit otak yang mendasari
dan usia pasien yang sebagian besar adalah usia lanjut yang mudah timbul efek samping.
Selain itu pengobatan psikiatrik meningkatkan risiko gejala motorik dan gejala gangguan
kognitif. Pada setiap pasien, langkah pertama yang perlu dilakukan termasuk
memperhatikan obat antiparkinson dan terapi medis yang lain, eliminasi polifarmasi yang
tidak penting, dan meminimalisasi fluktuasi pengobatan dan efek samping obat-interaksi
obat.5,6,7
Berdasarkan data ilmiah yang terbatas mengenai penggunaan agen antidepresan
pada pasien PD, pengobatan yang diberikan biasanya berdasarkan efek samping yang
akan muncul. Efikasi parsial ditunjukkan pada pemberian antidepresan trisiklik seperti
nortriptilin, yang menghambat reuptake serotonin-norepinephrin, dan bupropion, yang
menghambat norepinefrin dan reuptake serotonin. Penggunaan terapi electroconvulsive
merupakan salah satu pilihan terapi yang aman dan efektif untuk depresi pada pasien PD.
7,9

Secara umum, penggunaan benzodiazepine kurang baik ditoleransi untuk terapi


ansietas, agitasi, atau gangguan tidur yang berhubungan dengan depresi karena
memberikan efek yang kurang baik pada fungsi kognitif. Penggunaan benzodiazepine
hanya disarankan pada suatu keadaan akut agitasi yang berat membahayakan bagi pasien
dan orang lain; pemberian antipsikotik tidak terlalu efektif walaupun quetiapine dapat
memberi efek yang memuaskan. Pemberian haloperidol tidak direkomendasikan pada
pasien PD karena dapat menginduksi parkinsonisme yang berat. Pemberian odansentron,

14
merupakan inhibitor serotonin 5-HT3, secara intravena, intrmuskular atau secara oral
dapat membantu keadaan emergensi. 5,6,9
Pengobatan psikosis pada pasien dengan PD secara umum harus memperhatikan
obat-obatan antiparkinson, menentukan masalah yang disertai dengan ansietas dan
gangguan tidur, edukasi pasien dan caregiver, dan bila diperlukan pemberian obat
antipsikosis. Penggunaan agen atipikal (clozapin, olanzapin, quetiapine, dan risperidon)
menunjukkan efektifitasnya pada dosis rendah untuk tatalaksana psikosis. Sayangnya
kebanyakan pasien tidak mentoleransi efek konfusi/delirium, sedasi atau meningkatnya
gejala Parkinson. Penggunaan agen kolinergik (donepezil) dapat menurunkan gejala
psikosis pada PD, yang mengimplikasi mekanisme dopaminergik.7
Penentuan dosis dan lamanya pengobatan dapat mempengaruhi respon terapi dan
efek samping yang timbul. Biasanya pasien respon dengan dosis kecil clozapin 6,25 mg –
12,5 mg perhari malam hari, tetapi beberapa pasien membutuhkan dan standar toleransi
atau dosis yang lebih tinggi. Clozapin merupakan standar emas agen antipsikotik yang
digunakan pada pasien dengan PD. Obat lain yang merupakan pilihan utama yaitu
quetiapin dengan dosis inisial 6,25 – 25 mg, malam hari. Dosis efektif pada pasien
dengan PD yaitu 50-75 mg perhari, tapi pada beberapa pasien membutuhkan dosis hingga
400 mg perhari. 7

Kesimpulan
Manajemen pada pasien dengan PD tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam
penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbulnya gejala psikosis, yang disertai
dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien
PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita
untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala
neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul
hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Zigmond MJ and Burke RE. Pathophysiology of Parkinson’s Disease.
Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress. Ch 123 p 1781-
1793
2. Cheryl HW. Diagnosis and managements Parkinsons Disease 2nd ed.
Professional Communications Inc. 1999
3. Rowland LP. Merrit’s Neurology 11th edition. Philadelphia. Lippincott Williams
& Wilkins.2005: 828-845
4. Tan LCS, Venketasubraniam, Hong CY, et.al. Prevalence of Parkinsons Disease
in Singapore.Neurology 2004; 62; 1999-2004
5. Fahn S and Ford B. Medical Treatment of Parkinson’s Disease and its
Complications in Neurological Therapeutics Principles and Practice vol 2 part 2.
Martin Dunitz. United Kingdom. 2003. p 2447-2482
6. Marsh Laura. Neuropsychiatric aspects of Parkinson’s Disease. Psychosomatics
41:1, January – February 2000.
7. Ferreri F. Agbokou C. Gauthier S. Recognition and management of
neuropsychiatric complications in Parkinson’s disease. CMAJ 2006;
175(12):545-52
8. Hanagasi HA dan Emre M. Management of the Neuropsychiatric and Cognitive
Symptoms in Parkinson’s Disease. Practical Neurology 2002;2;94-102
9. Marsh Laura. Psychosis in Parkinson’s Disease. Primary Psychiatry
2005;12(7):56-62

16

You might also like