Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia disebabkan oleh keberpihakan
penegak hukum kepada kepentingan kapital dan kurang responsif terhadap problem
keadilan sosial. Dibutuhkan penanaman paradigma dan penyusunan agenda upaya
penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup terkait masa depan generasi penerus
Indonesia. Konsepnya adalah “eco-government, eco-society and eco-law action based
on eco-law system (gerakan pemerintahan, sosial dan hukum berdasarkan sistem
hukum lingkungan), di mana respon, kekuatan dan kesadaran masyarakat merupakan
cara alternatif dalam penegakan hukum lingkungan.
PENDAHULUAN
Sejarah kerusakan ekologi dunia dapat dibaca dari fenomena hujan asam pernah
terjadi di Manchester, Inggris, kota penting dalam Revolusi Industri. Pada tahun 1852,
Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara.
Pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak melakukan penelitian
mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat
meningkat di tahun 1990-an setelah di New York Times memuat laporan dari Hubbard
Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.1
Prof. David Orr dari Oberlin College menyampaikan bahwa jumlah sperma para
lelaki di dunia menurun 50 persen sejak tahun 1938, air susu perempuan sering
mengandung lebih banyak racun dibandingkan yang diizinkan dalam susu yang dijual
perusahaan susu. Toksin yang menular saat kehamilan mempengaruhi kekebalan bayi
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan_asam
2 | P a g e 2
yang tak berdosa. Hampir 80 persen hutan Eropa rusak karena hujan asam.2 Kita dapat
menyebut fenomena itu sebagai akibat kekejaman terhadap ekologi, suatu perlakuan
yang tidak adil kepada alam, karena mengotorinya dengan dalih kepentingan ekonomi.
Indonesia juga mempunyai problem ekologi yang cukup berat. Laju kerusakan
hutan mencapai 1,1 juta hektar pertahun berdasarkan data pemerintah tahun 2009.
Menteri Kehutanan menyatakan penyebabnya adalah banyak kawasan hutan yang telah
beralih menjadi pertambangan dan perkebunan. Dampaknya juga pada percepatan
pemanasan global (global warming).3
Dampak buruk global warming dan pertambangan sudah dirasakan. Tahun 2007
Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Syamsul Maarif, mengatakan bahwa kenaikan air laut
di Indonesia mencapai sekitar 0,5 sentimeter per tahun atau 10 sentimeter dalam 20
tahun. Prof. Syamsul menunjukkan data, Indonesia semula memiliki 17.504 pulau, kini
tinggal 17.480 pulau, karena tenggelam akibat naiknya air laut dan penambangan yang
menyebabkan permukaan pulau makin rendah. Prof. Syamsul tidak bicara peran
pemerintah, tapi dia berharap peran masyarakat dengan pernyataan, "Karena itu, seluruh
penghuni pulau kecil harus sadar bagaimana mengelola pulaunya."4
Berbagai aktivitas yang melanggar kaidah hukum lingkungan selama ini tidak
memperoleh penyelesaian yang baik. Tragedi semburan lumpur Lapindo merupakan
sebuah contoh pelanggaran hukum administrasi negara dengan cara pemberian izin yang
melanggar hukum tata ruang dan jarak pengeboran dengan sarana umum serta
pemukiman penduduk. Terjadi pelanggaran aspek-aspek teknik dalam pelaksanaan
pengeboran sehingga mengakibatkan kecelakaan yang berujung pada semburan lumpur
panas yang menghancurkan belasan desa/kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan
Porong, Tanggulangin dan Jabon di Sidoarjo Jawa Timur.5
Perkara pidana kasus lumpur Lapindo dihentikan Kepolisian RI. Gugatan
YLBHI dan WALHI juga gagal. Putusan pengadilan menyatakan semburan lumpur
2
Daniel C. Maguire, Energi Suci (terj. Ali Noer Zaman), Pohon Sukma, Yogyakarta, 2004, hal. 8‐
9.
3
Edan! 1,1 Juta Hektar, Laju Kerusakan Hutan Indonesia, Kompas, 27 Nopember 2009.
4
Perubahan Iklim Dunia ‐ Masa Depan Pulau Kecil, Kiamat Kecil Negara Kepulauan, Gatra Edisi
Khusus Beredar Kamis, 22 November 2007.
5
Laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam masalah semburan lumpur
panas Sidoarjo, tertanggal 29 Mei 2007.
3 | P a g e 3
Lapindo disebabkan gempa Yogyakarta, berdasarkan pendapat empat ahli yang diajukan
pihak Lapindo Brantas Inc. Kasus ini juga menimbulkan tanda tanya besar, termasuk
dalam perspektif hukum acaranya sebab menggunakan keterangan ahli sebagai alat
bukti dalam hukum acara perdata adalah melanggar standard pembuktian menurut pasal
1886 KUHPerdata dan pasal 164 HIR. Hakim malah mengabaikan Laporan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) tanggal 29 Mei 2007 dalam kasus Lapindo yang mestinya
merupakan alat bukti akta otentik.6
Sedangkan dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, hakim Pengadilan Negeri
Manado Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mnd juga membebaskan para terdakwa dari
Newmont Minahasa Raya. Hakim berpendapat bahwa bahwa asas subsidiaritas harus
diterapkan. Hakim juga menyatakan tidak terbukti bahwa Teluk Buyat tercemar,
berdasarkan alat bukti hasil riset CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organization), WHO (World Health Organization) dan National Institute for
Minamata Disease (NIMD) yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004.7
Namun, The New York Times membeberkan informasi bersumber dari Mr.
Moran seorang ahli di Amerika Serikat, bahwa studi CSIRO yang dibiayai Newmont
telah menemukan kandungan konsentrasi merkuri dalam sedimen dekat dua area
pembuangan limbah sebesar 446 dan 678 parts per million. Sedangkan survei WHO,
menurut Dr. Jan Speets seorang penasihat teknis WHO, merupakan studi yang sangat
dangkal dan tidak menggunakan cara yang ilmiah untuk menentukan penyebab
penyakit-penyakit di desa Buyat Pante atau apakah teluk Buyat tercemar. Ia berkata
bahwa studi yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan.8
Hal senada disampaikan oleh Mineral Policy Institute, Australia yang
menyatakan bahwa temuan-temuan CSIRO sesungguhnya menunjukkan bahwa sedimen
di dasar Teluk Buyat telah terkontaminasi oleh limbah tambang (tailing) dengan
kandungan arsen yang mencapai 10 sampai 20 kali lipat lebih tinggi dari acuan sedimen
dasar laut Australia/Selandia Baru serta acuan ambang batas yang mungkin
6
Subagyo, Lumpur lapindo dan Hukum Usang, opini, Kompas, 31 Mei 2010.
7
Unofficial Transcript of the Ruling Read Out in Manado Court on 24‐April‐2007, dari
Richardness.org, dan Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2009, hal. 133‐137.
8
Jane Perlez, Report Heightens Pollution Dispute at Indonesian Bay, berita, The New York
Times, 9 Nopember 2004.
4 | P a g e 4
menimbulkan dampak beracun (Probable toxic Effects Level) yang diterapkan oleh
Amerika Serikat dan Kanada.9
Karena adanya kontroversi hasil-hasil riset tersebut, pemerintah Indonesia
membentuk Tim Terpadu. Hasil penelitian Tim Teknis (yang menjadi bagian Tim
Terpadu tersebut) menyimpulkan ada pelanggaran hukum perizinan yang dilakukan
Newmont terkait ketiadaan izin pembuangan limbah tailing yang merupakan bahan
berbahaya dan beracun (B3) dan menyimpulkan pencemaran Teluk Buyat disebabkan
perbuatan Newmont.10 Berdasarkan hasil kerja penelitian Tim tersebut maka tanggal 24
Nopember 2004 Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Lingkungan Hidup
secara resmi mengumumkan bahwa Teluk Buyat telah tercemar.11
Kita dapat melihat betapa ambigunya watak pemerintahan Indonesia. Di sisi lain
mereka menunjukkan keprihatinan terhadap problem ekologi yang kian berat, tapi di
tempat lain mereka leluasa memberikan izin-izin eksploitasi dengan cara-cara
melanggar kaidah administrasi negara, membuka akses terjadinya kejahatan ekologi.
Kementerian Lingkungan Hidup juga merasa prihatin, dalam siaran persnya
tanggal 16 Desember 2010 yang menyatakan:
Selama penerapan UU Nomor 23 Tahun 1997 hingga saat ini, masih banyak pelaku
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum.
Kalaupun berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat
memenuhi rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d
2010 yang sampai disidangkan di pengadilan, hakim memutuskan 5 kasus vonis
penjara, 14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan.12
Efektivitas hukum lingkungan masih belum dapat diandalkan. Masa depan nasib
lingkungan hidup Indonesia kian terancam. Nasib generasi masa depan dipertaruhkan.
Ketika sumber daya alam kelak kian habis dan langka, diikuti dengan persoalan
lingkungan yang mengikutinya, negara ini akan mengalami kemunduran dan generasi
Indonesia di masa depan akan menjadi korban.
2. Rumusan Masalah
13
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar‐dasar Ilmu Hukum Normatif (terj. Raisul
Muttaqien), Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2007, hal. 257‐258.
6 | P a g e 6
kegiatan penciptaan hukum karena akan menghasilkan norma individual (putusan yang
mengikat pihak-pihak yang diadili).
Bellefroid mendefinisikan sistem hukum sebagai suatu rangkaian kesatuan
peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya.14
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa dalam pembahasan hukum dan sistem
hukum senantiasa mengandung tiga komponen, yakni struktur, substansi dan kultur
hukum. Komponen “struktur” terdiri dari keseluruhan institusi hukum dan aparatur
penegaknya. “Substansi” merupakan keseluruhan aturan hukum, asas-asas hukum baik
tertulis maupun tak tertulis termasuk putusan pengadilan. Sedangkan “kultur hukum”
berwujud opini-opini, kepercayaan-kepercayaan kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan
cara bertindak dari para penegak hukum dan warga masyarakat.15
Sebelum kita masuk pembahasan sistem hukum Indonesia, ada baiknya dilakukan
perbandingan secara umum tentang sistem hukum di dunia. Sistem hukum Indonesia
sering dikaitkan dengan sistem hukum Belanda karena pengaruh hukum Belanda yang
pernah menjajah Indonesia. Sedangkan sistem hukum Belanda merupakan sistem civil
law yang terkenal dengan corak positivistik. Sistem hukum ini dianut negara-negara
Eropa Kontinental.
Namun, ahli hukum Belanda bernama Paul Scholten sejak lama mengenalkan
konsep sistem hukum yang terbuka (openbaar system van het rechts). Scholten
mengatakan, barangsiapa yang berusaha memperoleh pengetahuan tentang tata hukum
dari tempat lain, tidak akan pernah cukup hanya dengan mempelajari undang-undang,
tapi juga harus mengetahui tentang putusan pengadilan, hakim yang menerapkan
hukum, pada saat yang sama dengan itu membentuk hukum baru.16
Konsep tersebut menjadi kenyataan ketika tanggal 31 Desember 1919 Hoge Raad
(Mahkamah Agung) Belanda membuat tafsir baru dalam putusannya tentang pengertian
yuridis perbuatan melawan hukum dengan pengertian luas. Hukum tidak lagi dipandang
sebatas undang-undang, tapi juga termasuk hukum tidak tertulis.
14
Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 2.
15
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang‐undang (Legisprudence), Volume 1, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 204.
16
Paul Scholten, De Structuur Der Rechtswetenschap (Struktur Ilmu Hukum), (terj. B. Arief
Sidharta), Alumni, Bandung, 2005, hal. 73‐74.
7 | P a g e 7
Di belahan bumi lain juga ada sistem hukum common law yang berkembang di
Inggris abad ke-11 yang juga dikenal dengan unwritten law, merupakan hukum
kebiasaan dan adat setempat. Undang-undang yang dibuat hanya mengatur pokok-
pokoknya saja. Dalam sistem common law ini hakim pengadilan menggunakan prinsip
“membuat hukum sendiri” (case law atau judge made law). Sistem hukum ini diikuti
oleh negara-negara bekas jajahan, dominion, termasuk berpengaruh di Kanada dan
Amerika Serikat.17
Prof. Achmad Ali menyatakan bahwa para ahli perbandingan hukum melihat
sistem hukum Indonesia ini masuk kategori mixed law (sistem hukum campuran) karena
memberlakukan sistem hukum perundang-undangan, hukum Islam, dan Hukum Adat.18
Tetapi dengan melihat perkembangan yang ada, tampaknya hampir tak ada
negara di dunia ini yang sistem hukumnya tak tercampur, akibat dari pergaulan hukum
global, munculnya tatanan hukum Internasional yang mempengaruhi sistem hukum
masing-masing negara. Keadaan baru tersebut direspon oleh teori hukum baru bernama
triangular concept of legal pluralism yang dikemukakan oleh Werner Menski, seorang
profesor hukum dari University of London. Teori ini menyajikan suatu pemikiran
kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori hukum di dunia
globalisasi ini, dengan menyoroti kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini.
Menski memandang bahwa teori-teori Barat terlalu sempit dan eurosentris. Ia
mengombinasikan secara interaktif teori hukum alam modern, positivisme dan sosiologi
hukum, guna membahas pluralisme hukum yang merupakan realitas global.19
Saya lebih condong kepada pendapat bahwa sistem hukum Indonesia disebut
sebagai sistem hukum Pancasila. Sistem hukum Pancasila ini dapat saja menerima
sistem hukum dari manapun asalkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang hendak
mewujudkan negara Indonesia yang berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan
beradab, berkesatuan Indonesia, berdemokrasi Pancasila dan berkeadilan sosial. Dengan
demikian sistem hukum Indonesia dapat menerima asas-asas hukum asing yang sesuai
dengan Pancasila dan menolak prinsip-prinsip yang bertentangan dengan Pancasila, atau
menggunakannya dengan cara penyesuaian dalam penerapannya.
17
H. Riduan Syahrani, Kata‐kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hal.
240.
18
Achmad Ali, op.cit., hal. 203.
19
Ibid, hal. 184‐186.
8 | P a g e 8
Jika kita melihat substansi dalam sistem hukum Indonesia, hukum dapat
dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah
pembuatan dan pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The State’s Law), Hukum
Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek (The
Professional’s Law).20
Untuk menyingkat uraian, saya akan langsung menuju pada sistem hukum
kekuasaan kehakiman yang akan menjadi acuan bagaimana hukum praktik (The
Professional’s Law) itu diterapkan, sebab norma hukum umum itu akan terwujud dalam
norma indidual dalam bentuk putusan-putusan hakim, jika terdapat perkara yang harus
diselesaikan melalui pengadilan.
Di zaman Orde Lama dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948
tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan dan Undang-
undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung, menentukan bahwa para hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam
masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.
Zaman Orde Baru, diterbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang juga memuat sistem hukum yang sama,
bahwa para hakim diwajibkan menegakkan hukum dan keadilan termasuk dengan jalan
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (pasal pasal 27 ayat 1). Di era
reformasi, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999. Selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tetap menganut sistem hukum peradilan yang
mewajibkan para hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat 1).
Tahun 2009 undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 yang menganut sistem yang sama, yakni mewajibkan para hakim untuk
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat (pasal 5 ayat 1). Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa
sistem hukum Indonesia bersifat terbuka, responsif, memberi kewenangan hakim
20
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar‐Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta,
2005, hal. 4.
9 | P a g e 9
melakukan penemuan hukum, lebih berorientasi pada keadilan sosial. Prinsip inilah
yang harus dipahami oleh para penegak hukum dalam menerapkan hukum Indonesia.
Tetapi salah satu problem dalam memahami paradigma ini adalah masih adanya
fakultas hukum yang berparadigma positivisme sehingga melahirkan para sarjana
hukum yang kurang mampu dalam merespon perubahan kebudayaan masyarakat dan
pola-pola baru perilaku manusia modern.
Sistem hukum lingkungan merupakan bagian dan satu kesatuan dalam sistem
hukum Indonesia, sehingga sistem hukum lingkungan tidak dapat dilepaskan dari
kerangka besar sistem hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.
Dengan memahami uraian tentang sistem hukum Indonesia di depan, kita sudah dapat
mengidentifikasi bahwa substansi hukum Indonesia berupa peraturan perundang-
undangan yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.
Pada masa pemerintahan reformasi, pedoman konstitutif sistem hukum
lingkungan ditentukan dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menentukan: “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Serta pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan: “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Indonesia baru mempunyai undang-undang pokok tentang lingkungan setelah
adanya Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang sering dianggap sebagai tonggak pertama
hukum lingkungan global. Tahun 1982 barulah diundangkan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No. 4 Tahun 1982). Undang-undang ini sudah bicara tentang konsep pembangunan
berwawasan lingkungan untuk meningkatkan mutu hidup sebagaimana disebut di pasal
1 angka 18. Undang-undang tersebut juga menentukan tujuan terwujudnya manusia
Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup (Pasal 4). Dalam Penjelasan Umum-nya
eksplisit dijelaskan bahwa Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan hukum
10 | P a g e 10
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan
melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber
daya agraria/sumber daya alam.” Prinsip dasar pengakuan kearifan lokal ditentukan
pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yang menentukan, “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat asli Indonesia sudah mempunyai sistem
kearifan lokal berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Kelestarian lingkungan
merupakan salah satu inti kearifan lokal hukum adat. Namun hingga tahun 2006,
berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), baru ada tiga
masyarakat hukum adat yang dilindungi, yaitu Badui, Kampung Naga, dan Tengger
yang semuanya berada di pulau Jawa. Padahal, ada 6300 masyarakat hukum adat di
Aceh, 700 di Sumatera, dan 1000 di Bali.21
Sistem hukum lingkungan hidup Indonesia sesungguhnya dapat menjawab
realitas globalisasi. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 termuat asas-asas atau prinsip
hukum global, nasional dan kearifan lokal. Hal ini sesuai dengan teori hukum baru
bernama triangular concept of legal pluralism yang dikemukakan oleh Werner Menski
tersebut. Hanya saja, asas subsidiaritas yang diwajibkan dalam UU No. 32 Tahun 2009
perlu dieliminasi, meski asas ini diterapkan secara terbatas, yakni pada tindak pidana
lingkungan hidup formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi, dan gangguan (Penjelasan Umum angka 6).
Asas subsidiaritas ini juga diberlakukan secara imperatif dalam penyelesaian
sengketa perdatanya. Pasal 84 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 menentukan bahwa
upaya hukum melalui pengadilan hanya dapat dijalankan jika upaya-upaya hukum luar
pengadilan tidak memperoleh penyelesaian.
Saya berpendapat, sebelum adanya perubahan UU No. 32 Tahun 2009 guna
menghilangkan asas subsidiaritas, para penegak hukum boleh menerobos atau tidak
melaksanakan asas tersebut berdasarkan alasan-alasan ideologis yang saya kemukakan
berikut ini.
Pertama, asas subsidiaritas dalam hukum lingkungan bertolak belakang dengan
orientasi perlindungan HAM dalam hukum lingkungan yang dianut UUD 1945 dan UU
No. 32 Tahun 2009. Penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium menjadi
21
Masyarakat Adat Menjadi Penyelamat Lingkungan, Tempo Interaktif, 2 Agustus 2006.
13 | P a g e 13
penting diterapkan, terutama dengan cara pengenaan denda yang maksimum bagi
korporasi yang melakukan kejahatan ekologi guna memaksa dan menumbuhkan
kesadaran bahwa tindak pidana lingkungan merupakan pelanggaran HAM.
Saya sepakat dengan gagasan Polly Higgins agar kejahatan terhadap lingkungan
masuk sebagai kehajatan kemanusiaan yang dapat diadili di International Criminal
Court (ICC).22 Terutama apabila daya rusaknya besar atau berpotensi merusak kesehatan
masyarakat luas baik secara langsung atau di masa depan, jika upaya hukum di tingkat
nasional menemui jalan buntu. Akibat-akibat pembuangan limbah beracun dan emisi tak
terkendali akan timbul di masa depan, bukan secara langsung, dan mengancam
siapapun. Para pelaku kejahatan ekologi juga bisa berbentuk korporasi multinasional.
Kedua, kepentingan hukum dalam bidang lingkungan hidup meskipun juga
terdapat unsur keperdataan tapi bersifat publik, karena menyangkut kepentingan
bersama atas sumber daya alam. Filsuf Barat sendiri semacam John Locke mempercayai
bahwa alam semula merupakan milik semua orang, bukan tak ada yang memiliki,
karena Tuhan telah memberikannya kepada manusia sebagai milik bersama.23 Apalagi
dalam sistem hukum Indonesia sudah jelas pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa
sumber daya alam itu merupakan hak kolektif publik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia,
persoalan lingkungan hidup sama pentingnya dengan agenda pemberantasan korupsi,
terorisme, dan perdagangan narkotika, yang tidak menggunakan asas subsidiaritas.
Ketiga, penerapan asas subsidiaritas melanggar asas equality before the law
karena memberikan prioritas dan kelonggaran atau keistimewaan hukum bagi pelaku
usaha yang melakukan kejahatan ekologi. Padahal kejahatan ekologi justru lebih
berbahaya dan akibatnya lebih luas, menjangkau masa depan meskipun hanya persoalan
pelanggaran baku mutu lingkungan. Akumulasi pelanggaran baku mutu lingkungan
dalam area yang luas, secara terus-menerus, sama halnya dengan menabung racun yang
akan mengorbankan generasi masa depan.
Asas subsidiaritas berasal dari hukum Barat yang bercorak liberal dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan kaum borjuis, dengan cara meminimalisasi peran negara
dan menyerahkan urusan kepada pihak-pihak yang berkepentingan lebih dulu. Prinsip
22
http://en.wikipedia.org/wiki/Ecocide
23
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer – Kajian Khusus Atas Teori‐teori
Keadilan (terj. Agus Wahyudi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 158.
14 | P a g e 14
seperti ini hanya cocok untuk hubungan-hubungan hukum privat yang bersifat
individual. Padahal hukum lingkungan mengatur hak atas lingkungan yang baik dan
sehat yang harus diakui sebagai hak asasi manusia secara kolektif, bukan
individualistis.24
Dalam melihat tujuan asas subsidiaritas ini penting untuk melihat tumbuhnya
sejarah negara hukum di Barat, di mana negara hukum modern dikaitkan dengan
dinamika perkembangan ekonomi, didorong oleh sistem produksi ekonomi waktu itu,
yaitu munculnya industrialisasi, kapitalisme dan golongan borjuis. Prof. Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa hukum progresif tidak bersikap a priori terhadap hukum
liberal, tapi banyak juga yang tidak diinginkan.25
Untuk mengatasi cara penerapan asas subsidiaritas tersebut, sistem hukum
nasional memberi kewenangan kepada para hakim untuk membuat konstruksi hukum
guna menerobos asas subsidiaritas jika dianggap penting, dengan tujuan untuk
memberikan hak keadilan kepada masyarakat. Sebab bagaimanapun juga UU No. 32
Tahun 2009 adalah norma hukum yang dalam penerapannya harus sesuai dengan norma
dasarnya yakni Pancasila dan UUD 1945.
Sistem hukum lingkungan tersebut telah memandu sistem hukum nasional
menjadi sebuah green law system atau eco-law system, yakni sistem hukum yang
berbasis lingkungan. Sistem hukum demikian itu sebagai konsekuensi dari perubahan
UUD 1945 yang oleh Prof. Jimly Asshiddiqie disebut sebagai Green Constitution. Prof.
Jimly menunjukkan letak konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam konstitusi
Indonesia yakni pada pasal 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut.26
1. Paradigma
27
Fakta tersebut terungkap dalam perkara pajak Newmont Minahasa Raya, Putusan Pengadilan
Pajak No. Put.04584/BPSP/M.III/18/2001.
28
Daniel C Maguire, opcit, hal. 35.
16 | P a g e 16
Kelangkaan) yang berbunyi, “Untuk mendapatkan barang yang langka maka orang
harus mengorbankan sesuatu lebih dulu.”29
Itulah seharusnya yang dapat menjadi pangkal pikir ekologis dalam ilmu
ekonomi, bahwa manusia wajib menghemat sumber daya alam. Kerakusan dan
pemborosan pemanfaatan sumber daya alam terbukti menimbulkan bencana. Cara pikir
ekologi merupakan mata rantai yang tak terputus, ada hubungan sebab-akibat dalam
rangkaian panjang, secara langsung dan tak langsung. Itulah bahwa ekologi tak lepas
dari kosmologi. Jalan pikiran kita dalam memahami beberapa prinsip ilmu ekonomi
sudah dipandu oleh prinsip pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yakni kebersamaan
(kolektivitas), efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian dan menjaga kesimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi bukan melakukan perkawinan dengan ekologi, tapi ekonomi memang
bagian dan hidup dalam ruang ekologi. Manusia sebagai aktor ekonomi lahir berbahan
alam, lalu hidup di alam, bergantung alam dan mati disemayamkan di alam. Ekonomi
tak akan dapat hidup di luar semesta. Alam semesta ini adalah lingkungan. Barangsiapa
yang memisahkan ekonomi-ekologi maka itu pelanggaran hukum kodrat, sama halnya
melakukan pembunuhan ilmiah yang berakibat pada kematian keadilan dan
kemanusiaan. Bangsa Indonesia menyebut tanah airnya sebagai Ibu Pertiwi. Siapa yang
merusaknya berarti durhaka. Ini realitas yang harus dipahami.
Jika paradigma itu terlepas dari pikiran kita, pencemaran dan kerusakan
lingkungan bukan hanya melanda bumi, tapi kelak juga menimpa tata surya. Kelak di
bulan dan planet-planet akan ada konsesi tambang yang diperebutkan keserakahan
manusia. Dengan ilmu ekonomi yang beraliran positivistik, mengasingkan diri dari
persoalan kemanusiaan, menganggap preservasi sumber daya alam sebagai inefisiensi,
maka ilmu ekonomi terapan akan terus mengobarkan penjajahan dan penghancuran
dengan merampok slogan kebaikan yang bernama “pembangunan.”
Salah satu tesis tentang paradigma pembangunan yang dikemukakan dan dikritik
Johan Galtung, mendefinisikan pembangunan sebagai kegiatan pemuasan progresif
kebutuhan-kebutuhan alam manusia dan non-manusia yang dimulai dari mereka yang
29
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, Pendakatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan
Makro, Edisi I Cet. ke‐8,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 77.
17 | P a g e 17
30
Johan Galtung, Peace Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban, ( terj. Asnawi dan Safruddin), Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 283‐285.
31
Katherine Yih, Yang Merah dan Yang Hijau: Perspektif Kiri Dalam Memahami Ideologi,
terjemahan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial,
Jakarta, 2005, hal. 36.
32
Aminuddin Kirom et al, Tambang dan Kemiskinan: Kasus‐kasus Pertambangan di Indonesia
2001‐2003, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 2005, hal. Vii.
33
Daniel C Maguire, op.cit., hal. 31.
18 | P a g e 18
34
Surna T. Djajaningrat, Kebijaksanaan Dan Hukum Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dilihat Dari Aspek Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Hukum Lingkungan Tahun IV No. 1, September
1997, Jakarta, hal. 8‐9.
35
Siti Maemunah, et al, RIO + 10: Pertambangan dan Penghancuran Berkelanjutan, Jaringan
Advokasi Tambang, Jakarta, 2001, hal. 6‐18.
19 | P a g e 19
Dengan pendidikan kita akan menyingkirkan dan memotong jalan pemikiran pintas
yang individualistik yang cenderung mengkhianati sesama dan negara dengan
“memperdagangkan” keahlian dalam cara-cara yang tidak bermoral, membungkus
kejahatan intelektual dengan pemalsuan ilmiah.
limbah terpadu, menyusun area pemukiman bebas polusi dan banjir, membatasi usia
kendaraan bermotor dan lain-lain. Mekanismenya dimulai dengan penetapan regulasi-
regulasi dan keputusan-keputusan daerah yang sesuai dengan sistem hukum lingkungan.
Seluruh kebijakan yang diambil melibatkan partisipasi masyarakat.
Penggalangan partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan ekoregion
sesuai dengan karakteristik ekologis masing-masing wilayah, memperhatikan kearifan
lokal, menjadikan kekuatan masyarakat lokal sebagai pemelihara dan penjaga fungsi
serta daya dukung lingkungan hidup dengan membentuk lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
Lembaga-lembaga kemasyaratan ini sekaligus berfungsi untuk membina dan
menjadi mitra perekonomian masyarakat agar ketergantungannya terhadap sumber daya
alam sekitarnya tidak bersifat destruktif. Kemapanan ekonomi sosial yang mandiri,
menuju ke arah perekonomian nasional mandiri, tidak akan membutuhkan investasi dari
luar yang cenderung egois dan bersifat merusak ekologi. Ini amanat pasal 33 ayat (4)
UUD 1945 tersebut. Program ini dijalankan konsisten melalui sistem pembinaan di
tempat. Ada para tenaga ahli dan teknis yang mendampingi masyarakat, bekerjasama
dengan organisasi-organisasi nonpemerintah dan perguruan tinggi.
Negara ini harus mempunyai konsep yang tegas, berfokus pada spesifikasi
penguatan kemampuan tertentu. Spesifikasi ekonomi pertanian, peternakan, kerajinan
dan perikanan (darat dan laut) serta perdagangan harus diwujudkan, sambil
mengembangkan kemandirian energi alternatif nonfosil. Kegiatan produksi sumber
bioenergi (nonfosil) dapat dikelola menjadi kegiatan ekonomi sosial.
Kemandirian dan ketahanan dalam bidang pangan, energi dan air ini harus
menjadi agenda yang serius dijalankan mengingat kian tingginya tingkat ketergantungan
nasional pada pangan dan krisis energi yang seringkali mendera kita. Pembangunan
penguatan dan kemandirian masyarakat ini termasuk untuk mengembalikan salah satu
peran mereka sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan
sekitar mereka seperti sediakala.
Menurut John Kretzman dan John McKnight, berdasarkan pengalamannya di
Amerika Serikat, dalam menyusun keswasembadaan masyarakat yang kuat maka
kuncinya adalah dilakukan pemetaan seluruh kekayaan sumber daya alam, manusia,
kelembagaan mereka, lalu memadukan dan mengerahkannya sedemikian rupa, sehingga
22 | P a g e 22
36
Colin Hines, opcit, hal. 94‐95.
37
Daniel C Maguire, opcit, hal. 102.
38
Emma Kirwan, Menciptakan Platform Kota‐Desa untuk Ketahanan Pangan, majalah Salam
No. 25, Oktober 2008, hal. 18 – 21.
23 | P a g e 23
itu ditetapkan wilayah konservasi tetap (permanen) tanpa syarat setelah melakukan
pemetaan wilayah rawan bencana dan rawan geologis. Ini untuk menghindari
inkonsistensi seperti yang selama ini terjadi di mana wilayah-wilayah cagar alam dan
hutan lindung dikorbankan sebagai wilayah konsesi pertambangan yang tentu saja akan
mengeliminasi fungsi konservasinya.
Ketiga agenda di atas terkait dengan upaya-upaya pencegahan dan pemeliharaan
serta perlindungan lingkungan hidup dengan menggunakan instrumen hukum nasional
dan hukum masing-masing daerah dengan mengakomodasi kearifan lokal.
Dalam agenda upaya penegakan hukumnya dilakukan penyusunan nota
kesepahaman penegakan hukum. Nota kesepahaman ini dibuat untuk mengatasi agar
dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan yang dilakukan instansi satu dengan
yang lain, pusat dan daerah, tidak terjadi perbedaan-perbedaan tafsir hukum, baik
hukum materiil dan formilnya, yang dapat menghambat peran dan fungsi penegakan
hukum. Nota kesepahaman ini juga berfungsi untuk membangun paradigma secara
bersama-sama sesuai dengan sistem hukum lingkungan Indonesia.
Pada zaman Orde Baru pernah dibuat Keputusan Bersama MAKEHJAPOL
(Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai
pedoman penegakan hukum dalam menjalankan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Cara seperti itu layak ditiru dalam agenda penegakan hukum lingkungan yang memang
akan lebih rumit berkaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis dan ilmiah di bidang
kimia, fisika, biologi dan geologi serta sosial
Lembaga-lembaga penegakan hukum lingkungan, baik itu Kementerian
Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, para Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Organisasi Advokat
perlu secara bersama-sama merumuskan hal-hal yang dapat disepakati. Sedangkan hal-
hal yang tidak dapat disepakati akan diserahkan pada proses penanganan perkara yang
berlangsung hingga adanya putusan pengadilan ataupun penyelesaian lainnya.
Agenda penyusunan nota kesepahaman penegakan hukum lingkungan juga
melakukan inventarisasi norma-norma hukum lingkungan global, nasional dan lokal,
juga melakukan pendalaman ilmu hukum lingkungan secara bersama bersama, evaluasi
secara berkala, misalnya evaluasi semesteran guna menganalisis dan memecahkan
bersama masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penegakan hukum.
24 | P a g e 24
39
Colin Hines, op.cit., hal. 6.
25 | P a g e 25
bagi masyarakat itu. Solidaritas sosial melahirkan hukum.40 Maka, gerakan sosial
menyelamatkan ekologi (eco-society action) harus dipandang sebagai fenomena hukum
tersendiri yang diberi tempat.
Ketika penegak hukum lemah dalam menjalankan fungsinya, maka respon
masyarakat untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dengan kearifan lokal
mereka haruslah dianggap sebagai upaya-upaya menegakkan hukum lingkungan hidup.
Ini yang dapat disebut sebagai “penegakan hukum oleh kesadaran masyarakat.”
Friedmann dalam karyanya Legal Theory menyatakan bahwa sumber hukum satu-
satunya adalah “kesadaran hukum rakyat.”41
Nota kesepakatan penegakan hukum lingkungan juga harus memberi akses bagi
cara baru dalam suatu upaya hukum. Dengan asas pertanggungjawaban kepada generasi
mendatang maka siapapun diberikan akses untuk melakukan suatu upaya hukum yang
bertindak untuk dan atas nama generasi masa depan. Model upaya hukum ini saya
namakan sebagai prinsip “gugatan membela masa depan” (future lawsuit). Masa depan
itu adalah keberlangsungan kehidupan di alam ini. Melihat potensi kerugian ekologis
akibat kerusakan atau pencemaran yang luas maka siapapun secara moral berhak
mewakili masa depan.
Pada prinsipnya, setiap orang atau badan atau grup yang kegiatannya berdampak
pada sumber daya alam harus menjamin bahwa generasi masa depan tidak menjadi
korban atas tindakan dan kegiatan di masa kini. Dengan demikian apa yang digugat oleh
subyek hukum yang mewakili masa depan intinya adalah tentang jaminan keadilan dan
kelestarian ekologis itu sendiri, baik berupa tindakan pencegahan ataupun pemulihan
pencemaran dan kerusakan lingkungan serta dana garansi pembiayaan pemeliharaan
lingkungan yang harus dibayarkan kepada Bank Ekologi (Eco-Bank).
Bank Ekologi juga menjadi tempat-tempat donasi sosial hasil penggalangan dana
dalam gerakan preservasi lingkungan hidup. Selain untuk membiayai preservasi
ekologi, dananya juga didayagunakan dengan dipinjamkan untuk usaha-usaha yang
sifatnya noneksploitatif yang mempunyai akibat preservasi ekologi, misalnya usaha-
usaha produksi pertanian dan peternakan ramah lingkungan serta produksi sumber
energi alternatif yang membantu pemulihan ekologi.
40
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 210.
41
H. Riduan Syahrani, op.cit., hal. 10.
26 | P a g e 26
PENUTUP
1. Simpulan
a. Sistem hukum lingkungan hidup Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
yang memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan global, nasional dan mengakui
kearifan lokal, yang merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum nasional
berorientasi pada kepastian hukum, HAM dan keadilan, sebagaimana dirumuskan
dalam UU No. 32 Tahun 2009. Sistem hukum lingkungan demikian itu bersifat
responsif. Kelemahan undang-undang dapat diatasi dengan peran para hakim untuk
menjalankan kewenangan menciptakan atau menemukan hukum yang sesuai dengan
nilai kebenaran dan keadilan sosial.
b. Implementasi sistem hukum lingkungan Indonesia adalah dengan cara membangun
paradigma baru tentang ilmu pengetahuan yang berbasis lingkungan hidup, terutama
mengonstruksi ilmu ekonomi agar bernurani, mengakui prinsip keadilan sosial
sesuai dengan ekonomi Pancasila, memikirkan nasib generasi masa depan. Agenda
penyelamatan lingkungan hidup Indonesia demi keberlangsungan hidup generasi
masa depan yang layak dijalankan dengan gerakan pemerintah, sosial dan hukum
ekologi berdasarkan sistem hukum lingkungan (eco-government, eco-society and
eco-law action based on eco-law system). Agenda tersebut dijalankan sekurang-
kurangnya dengan melakukan (1) Penataan pemerintahan berbasis lingkungan
hidup; (2) Penggalangan partisipasi dan penguatan masyarakat; (3) Penetapan
wilayah-wilayah konservasi sumber daya alam; (4) Penyusunan nota kesepahaman
penegakan hukum; dan (5) Penggalangan dan pendayagunaan dana ekologi.
Efektivitas hukum lingkungan tergantung dari aparatur negara termasuk penegak
hukumnya. Apabila upaya aparatur negara lemah dalam penegakan hukumnya maka
partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam aksi untuk upaya penyelamatan
lingkungan juga harus dianggap sebagai upaya penegakan hukum lingkungan oleh
masyarakat. Selain itu, hukum harus memberikan akses upaya hukum bagi subyek
hukum masa kini dengan dasar moral untuk mewakili masa depan, berdasarkan asas
pertanggungjawaban generasi sekarang kepada generasi masa depan, di mana
27 | P a g e 27
aktivitas generasi sekarang harus memberi garansi bahwa generasi masa depan tidak
menjadi korban akibat perilaku hidup dan tindakan generasi sekarang.
2. Saran
a. Gerakan revolusi paradigma dalam ilmu pengetahuan berbasis ekologi seyogyanya
dijadikan bahan-bahan pendidikan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga
Perguruan Tinggi, selain adanya upaya-upaya pengorganisasian masyarakat untuk
penyelamatan lingkungan hidup.
b. Institusi pendidikan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kualitas
para intelektual hendaknya menyusun etika bagi para tenaga kependidikannya agar
tidak melakukan konspirasi pemalsuan kajian ilmiah dengan para pelaku usaha.
Untuk itu disusun suatu badan eksaminasi akademik untuk merespon maraknya
penggunaan para ahli untuk kepentingan korporasi di pengadilan.
REFERENSI
1. Buku
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
Volume 1, Kencana, Jakarta, 2009.
Colin Hines, A Global Look to the Local, Replacing Economic Globalization with
Democratic Localisation (Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi
Demokrasi), terjemahan Roem Topatimasang, InsistPress, Yogyakarta, 2005.
Daniel C. Maguire, Sacred Energy (Energi Suci), terjemahan Ali Noer Zaman,
Pohon Sukma, Yogyakarta, 2004.
Johan Galtung, Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and
Civilization (Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban), terjemahan Asnawi dan Safruddin, Pustaka Eureka, Surabaya,
2003.
Katherine Yih, Yang Merah dan Yang Hijau: Perspektif Kiri Dalam Memahami
Ideologi, terjemahan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Lembaga
Pembebasan Media dan Ilmu Sosial, Jakarta, 2005.
Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.
2. Jurnal
3. Majalah
4. Putusan Pengadilan
http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan_asam
Subagyo, Lumpur Lapindo dan Hukum Usang, opini, Kompas.com, 31 Mei 2010.
6. Lain-lain dokumen
Hasil Studi Aspek Hukum Kasus Pencemaran/Perusakan Teluk Buyat, Tim Teknis
dari Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di
Desa Buyat Pante dan Desa Ratatotok Timur Kabupaten Minahasa Selatan,
Provinsi Sulawesi Utara, Jakarta, 8 Nopember 2004.