You are on page 1of 2

Asma` Binti Asad Al-Furat

Beliau adalah Asmâ` binti Asad bin al-Furât al-Qayrawâniyyah…putri seorang ulama
dan Qadli dari benua Afrika serta shahabat bagi dua orang Imam, yaitu Abu Yusuf dan
Malik bin Anas.

Beliau tumbuh di bawah penggamblengan ayahnya sendiri dan merupakan putri


satu-satunya. Ternyata, sang ayah dapat mendidiknya dengan baik dan mengasah
otaknya dengan ilmu dan hikmah. Beliau selalu menghadiri majlis pengajian yang
diadakan sang ayah di rumahnya, berpartisipasi di dalam bertanya dan berdebat
sehingga kemudian dikenal sebagai wanita yang memiliki keutamaan, periwayat
hadits dan ahli fiqih berdasarkan madzhab Ahli Iraq yang merupakan basis para
penganut dan shahabat Abu Hanifah.

Ketika Asad, sang ayah memegang jabatan sebagai komandan tentara yang
dipersiapkan untuk menaklukkan pulau Shiqalliyyah (Cecilia) pada masa
pemerintahan Ziyadah -1, para penduduk sudah berduyun menyambut
panggilannya, bendera-bendera dan panji-panji telah dikibarkan serta genderang
telah ditabuh, keluarlah Asmâ` untuk mengucapkan kata perpisahan kepada sang
ayah dan ikut mengantarnya hingga sampai di suatu tempat bernama Sûsah (Sousa).
Beliau diam disini hingga para prajurit menaiki kapal perang dan dan kapal
bertuliskan Bismillâhi Majr'eha wa mursâha telah berlayar meninggalkan dermaga.

Asad, seorang Qadli yang juga komandan, mendapatkan kemenangan besar dan
berhasil menaklukkan benteng pulau tersebut sehingga apa yang disumbangkannya
tersebut telah ditorehkan sejarah untuknya sepanjang masa. Dia gugur sebagai
syahid pada tahun 213 H tatkala melakukan pengepungan terhadap kota Sarqusah,
ibukota kekaisaran Romawi di Cecilia. Ketika itu, panji berada di tangan kirinya
sementara pedang telah terpancang di tangan kanannya sembari melantunkan
firman Allah Ta'ala "Idza Jâ`a nashrullâhi wal Fath " (surat an-Nashr).

Sepeninggal sang ayah, Asmâ` menikah dengan salah seorang murid ayahnya yang
bernama Muhammad bin Abi al-Jawâd yang kemudian menggantikan posisinya pada
jabatan sebagai Qadli. Lalu dia juga mengepalai al-Masyîkhah al-Hanafiyyah
(Perguruan Madzhab Hanafiy) di negeri Afrika pada tahun 225 H, kemudian
meninggalkan jabatan tersebut dan mendapatkan batu ujian dari khalifah ketika itu
yang menuduhnya mencuri uang titipan, lantas memenjarakannya.

Manakala sang suami masih berada di dalam penjara, datanglah sang isteri, Asmâ`
menghadap Qadli yang baru sembari berkata, "Saya akan membuat suami saya
membayar harta yang dia dituduh mencurinya ini untuk dirinya sendiri."
Sang Qadli menjawab, "Jika dia mau mengakui bahwa itu adalah harta tersebut atau
sebagai ganti darinya, aku akan melepaskannya."
Namun Ibn Abi al-Jawâd menolak untuk mengakuinya sementara sang Qadli pun
enggan melepaskannya.

Setelah tak berapa lama, sang Qadli tersebut pun dipecat sehingga suami Asmâ` ini
kembali lagi memangku jabatan tersebut. Sekalipun begitu, dia tidak membuat
perhitungan dengan tindakan pendahulunya tersebut terhadap dirinya. Ini adalah
suatu sikap yang mulia dan terhormat darinya.
Asmâ` masih tetap diagung-agungkkan dan dibangga-banggakan oleh semua
kalangan di komunitas semasa hidupnya hingga beliau wafat pada sekitar tahun 250
H.

Sumber Bacaan Terkait :


1. Syahîrât at-Tûnisiyyât karya Hasan Husniy 'Abdul Wahhab, hal.45-47
2. ad-Dîbâj al-Mudzhab Fî Ma'rifah A'yân 'Ulamâ` al-Madzhab karya Ibn Farhûn al-
Malikiy, hal.305-306

(Diterjemahkan dari buku Faqîhât 'Alimât karya Muhammad Khair Yusuf, Hal.29-31)

You might also like