You are on page 1of 5

SUBSIDI DAN KEMATIAN NURANI

Oleh: Nia Kurniati

Pemerintah akan segera mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Rencana ini secara
prinsip telah disetujui DPR sehingga sekitar Bulan Maret 2011 akan segera dilaksanakan.
Beberapa argumen penting yang diajukan pemerintah dan para pendukungnya adalah;
Pertama, pengaruh kenaikan harga minyak di pasaran dunia (kini berkisar US$ 50 dan
bahkan tidak mustahil meroket ke US$ 100), Jika harga minyak naik maka besaran subsidi
juga naik hingga mencapai lebih dari Rp 70 trilyun.

Jawaban ini tampak logis sehingga DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat turut
menyutujuinya. Padahal ini adalah bagian dari bentuk pangalihan tanggungjawab pemerintah
kepada rakyatnya. Dimanapun, tugas pemerintah adalah memberi subsidi (kata lain dari
fasilitas dan kemudahan) kepada rakyatnya. Kata "memberi" sejatinya cenderung
menyesatkan. Karena selama ini yang selalu “memberi” adalah rakyat kepada pemerintah
dalam bentuk pajak yang mencapai sekitar 80% dari APBN. Terdapat beragam bentuk
subsidi, seperti; Tax holiday, yang diberikan kepada perusahaan yang akan berinvestasi di
sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Di Amerika orang mengenal social security,
semacam biaya hidup yang ditanggung negara jika seseorang kehilangan pekerjaan dan jika
jatuh miskin. Bahkan nilai subsidi untuk sektor pertanian di Amerika dan Eropa termasuk
tinggi.

Menjelang kajatuhan Presiden Soeharto, pemerintah memberikan subsidi bagi dunia


perbankan dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bentuk subsidi lainnya
adalah: penjaminan bank. Jika sebuah bank ditutup karena bangkrut, meski bank itu bank
swasta, pemerintah akan membayar dana nasabahnya. Itulah yang terjadi sejak 1998 hingga
sekarang, kasus penutupan Bank Global belum lama ini merupakan salah satu buktinya.

Jumlah subsidi BBM yang diberikan pemerintah sebenarnya kecil -sekitar 10% jika
dibandingkan dengan subsidi yang diberikan kapada dunia perbankan- dalam bentuk BLBI.
Padahal yang menikamati subsidi BBM adalah 99% rakyat Indonesia, sementara subsidi
perbankan hanya dinikmati oleh segelintir konglomerat dan orang-orang kaya yang punya
deposito di bank. Jadi jika benar subsidi BBM akan dicabut, patut ditanyakan kemana
Pemerintah dan DPR berpihak, kepada kelompok miskin yang jumlahnya tiga puluhan juta
berdasarkan versi BPS atau ratusan juta berdasarkan versi Bank Dunia ataukah pada
kelompok kaya yang jumlahnya hanya beberapa puluh orang?

Subsidi adalah simbol eksistensi pemerintah, jika pemerintah enggan memberikan subsidi
kepada rakyatnya berarti memberikan jalan kepada swasta untuk sepenuhnya mengelola
negara. Jika negara telah dikelola oleh swasta berarti pemerintah ternegasikan dalam
pengelolaan negara. Karena itu pemberian subsidi oleh pemerintah kepada rakyatnya
bukanlah sinterklas akan tetapi bentuk lain dari penyaluran hak rakyat yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah.

Kedua, adanya krisis energi sehingga subsidi BBM harus dicabut. Perlu ditegaskan bahwa
tidak sejengkal pun tanah di bumi Nusantara ini yang tidak mengandung karunia Allah
sehingga negeri ini dijamin tidak kekurangan energi. Indonesia memiliki banyak sumber-
sumber energi yang beragam jenisnya. Mulai dari minyak, gas, batu bara, panas bumi
(geothermal), sampai nuklir. Belum lagi energi terbarukan lainnya seperti angin, air,
matahari, biofuel, dan biogas. Semuanya tersebar merata di hampir seluruh wilayah Indonesia
dari Sabang sampai Merauke.

Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan
energi yang tidak cukup. Atau pun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit.
Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik. Mengapa demikian?
Jawabannya, karena sumber persediaan dan hasil energi di dalam negeri dijual ke luar negeri
secara masif dan biaya pengadaan BBM impor yang tidak efisien. Sumber-sumber
ketidakefisienan itu berdasarakan temuan BPK tahun 2007 dan 2008 antara lain; (a) Dalam
pengadaan minyak mentah dan BBM, Pertamina cenderung mengimpornya melalui jasa
rekanan yang sarat dengan manipulasi sehingga menjadi mahal. (b) Pertamina lebih banyak
menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal. (c)

Dalam jumlah tertentu Pertamina lebih memilih untuk mengimpor daripada menggunakan
produksi dalam negeri yang tidak membutuhkan biaya pengapalan. (d) Pertamina mengimpor
BBM karena keterbatasan kapasitas kilang yang hanya sebesar 1 juta barel per hari, hanya
memenuhi 63% kebutuhan dalam negeri. Padahal dengan memproduksi sendiri biayanya
akan lebih murah sehingga harga BBM yang dijual akan lebih rendah.
Ketiga, subsidi BBM salah sasaran karena banyak dinikmati oleh kelompok kaya dan harga
BBM murahlah yang mendorong pemborosan energi. Argumen ini perlu dipertanyakan.
Karena fakta di lapangan menunjukan bahwa orang kaya yang memakai mobil bagus dan
mewah 'tidak didesain' untuk mengkonsumsi premium yang disubsidi. Kelompok kaya yang
rasional dan tidak nakal dipastikan akan mengkonsumsi pertamax ketimbang premium. Jadi,
fakta di lapangan, selama ini menunjukan bahwa premium bersubsidi dinikmati oleh
golongan menengah ke bawah seperti pegawai menengah biasa, pengusaha menengah dan
kecil yang notabene adalah lapisan terbesar rakyat Indonesia.

Karena itu menurut hemat saya pencabutan subsidi untuk mobil plat hitam akan berdampak
sangat besar karena perbedaan harga yang drastis (dari Premium Rp 4,500 ke Pertamax Rp
6,800). Ada kemungkinan angkutan plat kuning beralih profesi menjadi penjual premium di
pasar gelap. Dengan mengambil margin Rp 1,000 saja, jika berhasil menjual 50 liter, sopir
bisa mengantongi Rp 50 ribu tanpa harus bersusah payah mencari penumpang. Masyarakat
dipastikan terkena imbasnya susah mendapatkan angkutan umum karena angkutan umumnya
akan beralih profesi menjadi pengangkut BBM. Hal ini sangat mungkin juga terjadi di sektor
perikanan. BBM yang seharusnya digunakan untuk kapal penangkap ikan digunakan untuk
kepentingan lain.

Selama ini pemakai BBM bersubsidi adalah pekerja golongan menengah ke bawah,
pengusaha kecil dan menengah, serta angkutan umum. Jumlah golongan ini secara nalar
statistik adalah mayoritas. Jika subsidi dicabut dipastikan berdampak sistemik karena akan
memicu inflasi dimana harga-harga kebutuhan pokok diluar BBM akan naik secara drastis.
Kenaikan harga yang tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan dipastikan memperlemah daya
beli masyarakat. Akibatnya rakyat kecil tetap menderita sementara bagi yang kaya tidak akan
berdampak signifikan.

Minyak dan gas adalah dua komoditas yang paling penting di dunia. Laju industrialisasi
bergantung pada tingkat ketersediaan energi. Bahkan pertanian modern bergantung pada gas
alam sebagai bahan baku pembuat pupuk. Sumber-sumber itu sangat penting untuk
kehidupan masyarakat, yang berarti bahwa keuntungannya harus dinikmati bersama oleh
masyarakat dan tidak dapat diprivatisasi. Bahkan bagi masyarakat yang lemah secara
ekonomi subsidi adalah keniscayaan. Agar mereka tetap bisa menikmati hidup dan produktif
menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi negara.
Selain itu, hal yang paling mendasar adalah bahwa energi merupakan hak umum (public
ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, negara harus bisa menjamin
kebutuhan rakyat akan energi dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Karena
itu, pengelolaan energi harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan
bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri.

Untuk memenuhi konsumsi domestik rakyatnya, negara bisa menempuh dua kebijakan:
Pertama, mendistribusikan minyak, gas dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga
murah. Kedua, mengambil keuntungan dari pengelolaan energi untuk menjamin kebutuhan
rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk terpenuhinya
sandang, papan dan pangan.

Dengan begitu, negara benar-benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak
diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu
bukan hanya akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi
negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan
energinya sebagai kekuatan diplomasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Rusia terhadap Uni
Eropa dan AS.

Untuk itu, pengembangan infrastruktur energi yang diperlukan untuk menjamin kebutuhan
rakyat harus terus menerus dilakukan. Negara juga harus memastikan agar energi yang
diproduksinya tidak keluar dari negara apalagi jatuh ke tangan negara-negara kapitalis yang
bermental penjajah. Selain itu, pengembangan infrastruktur energi juga akan menciptakan
berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari
kemiskinan. Pada gilirannya pengembangan energi akan memberikan efek luar biasa dengan
merangsang ekonomi tumbuh dimana industri penyulingan, industri manufaktur, industri
militer, agroindustri, agrobisnis, agroforesty dan sektor transportasi berkembang. Semuanya
membutuhkan energi termasuk lapisan miskin masyarakat Indonesia.

Negara harus mampu menunjukan empati dan kasih sayangnya secara nyata pada kelompok
miskin ini dengan tetap memberikan subsidi energi (BBM maupun gas). Subsidi adalah
instrumen simbolik negara kepada rakyatnya. Subsidi adalah kekuatan eksistensial negara
kepada rakyatnya, besaran subsidi negara yang diberikan kepada rakyatnya adalah cermin
bahwa negara tersebut kuat dan pemerintahnya peduli. Mencabut subsidi berarti memberikan
jalan pada kematian nurani pengelola negeri ini. Karena pajak yang diperah negara dari
keringat rakyatnya tidak diimbangi dengan besaran subsidi yang layak untuk melumasi roda
kehidupan rakyatnya. Penulis adalah Ibu Rumah Tangga. Pengamat Sosial dan Keagamaan.

You might also like