You are on page 1of 5

c   


c  
        
 

Bagai makan buah simalakama. Itulah peribahasa yang dapat menggambarkan kondisi
perburuhan di negeri ini, khususnya di kota industri Bekasi. Buruh (pekerja), khususnya buruh
perempuan, dihadapkan pada pilihan yang serba sulit. Satu sisi, mereka mempertahankan bekerja
karena alasan desakan kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi, meski upah yang
diperoleh selalu membuat gigit jari. Sebaliknya, jika melepas mata pencaharian ini ±bagi mereka
yang belum mampu menggali potensi diri- kebingungan hidup semakin menjadi.
Jika kita amati, potret kesejahteraan buruh perempuan dari dulu hingga kini tidak bertambah
terang, tetapi tampak semakin buram. Tengoklah aksi-aksi demonstrasi yang terjadi, menghias
setiap Hari Buruh diperingati, frekuensinya semakin tinggi. Seperti, aksi buruh perempuan sebuah
industri garmen di Sumatera Utara pada awal Maret yang menyerukan protes ketidakadilan PHK
oleh perusahaan tanpa pemberian hak mereka sejak sepuluh bulan lalu; aksi demonstrasi buruh di
Yogyakarta dan Solo yang memprotes lemahnya komitmen pemerintah untuk mengangkat derajat
buruh perempuan; dan aksi buruh perempuan di Purwakarta dan Kabupaten Bekasi mengadukan
nasib mereka yang di-PHK sepihak-mendadak oleh perusahaan dan menjadi korban sistem kontrak
selama puluhan tahun.
Apa yang dikeluhkan buruh perempuan lebih memprihatinkan daripada buruh laki-laki.
Mereka meminta perbaikan kesejahteraan (baca: hak keperempuanan, kelayakan gaji/ upah sebagai
buruh perempuan, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, dll) serta kepastian kerja (Ô 

). Akan tetapi, solusi yang disimpulkan dari waktu ke waktu sama: memperbaiki
komunikasi dan koordinasi antara tiga lembaga (tripartit) serikat buruh (serikat pekerja),
perusahaan, dan pemerintah. Tetapi, bagaimana hasilnya? Tidak ada komitmen yang pasti.
Berdasarkan fakta di lapangan kita bisa melihat bahwa permasalahan buruh perempuan,
sekali lagi, belum jua menuju titik terang.         

           . Sampai saat ini sebagian besar perusahaan
di Bekasi belum meningkatkan upah kerja bagi buruh laki-laki maupun perempuan. Gaji (upah
pokok) saja masih diabaikan, terlebih lagi dengan upah lembur, jaminan jasa produksi, jaminan
kesehatan, dan tunjangan-tunjangan lain. Padahal, berdasarakan SK Gubernur Jawa Barat No:
561/Kep.1665- Bangsos/2009 Upah Minimum Kerja (UMK) sudah di atas satu juta rupiah. Bahkan,
revisi terbaru ketentuan UMK Kabupaten Bekasi di tahun 2011 adalah UMK Rp 1.286.421 untuk
industri garmen, UMSK II Rp 1.376.470 untuk kelompok    elektronik, dan UMSK I Rp
1.414.163 untuk kelompok automotif, kimia dan elektronik.
Apa yang dikeluhkan teman-teman buruh perempuan di PT Argopantes kiranya sama
dengan yang dialami Mudi (45). Meskipun berstatus sebagai karyawan tetap, selama belasan tahun
gaji mereka sangat kecil, tidak seimbang dengan beban kerja yang ditanggung, serta belum bisa
untuk menutupi semua kebutuhan ekonomi keluarga. Bersama teman-temannya, ayah satu anak
yang masih tinggal di rumah kontrakan ini hanya menggigit jari menunggu janji kenaikan gaji yang
tak kunjung terealisasi dari bulan Januari hingga kini. Diperparah, tunjangan apapun tak pernah
dinikmati. Mereka terpaksa mempertahankan bekerja di perusahaan tersebut mengingat tingkat
pendidikan dan usia yang tak memungkinkan diterima di perusahaan lain seperti tempatnya bekerja.
Aturan-aturan rekrutmen karyawan di mana-mana serba ketat, serba sulit.
Sebut pula Murniati (29), karyawati pabrik garmen PT SPK di Bekasi Timur Kota Bekasi,
mengaku masa kerjanya sudah delapan tahun. Gajinya hanya sesuai upah minimum kota (UMK)
Bekasi Rp 985.000 per bulan pada tahun 2009. Dengan upah kerja yang rendah itu, Murniati harus
mengontrak rumah secara bersama-sama dengan empat temannya agar kebutuhan lain bisa
dicukupi.
Memang tidak semua bernasib seperti Mudi atau Murniati, beberapa buruh di beberapa
perusahaan sudah bisa menikmati kenaikan gaji atau tunjangan yang manusiawi. Tapi, Mudi dan
Murniati juga potret kecil dari ratusan buruh yang bernasib hampir sama atau bahkan lebih parah
daripada mereka. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit, untuk terus bekerja dengan
penghasilan kurang atau keluar dari perusahaan dengan konsekuensi yang tak mudah untuk
ditanggung.
Menyoal kesejahteraan perempuan, sampai saat ini standar kebutuhan hidup minimum
(KHM) ±sebagai salah satu dasar pertimbangan upah minimum± masih didasarkan pada kebutuhan
(laki-laki) lajang, tidak tercantum kebutuhan rutin perempuan seperti kebutuhan kesehatan
perempuan. Selain upah kerja, kesejahteraan buruuh perempuan seharusnya juga tercermin dalam
bentuk jaminan kesehatan reproduksi dan jaminan keselamatan kerja. Sampai saat ini perjuangan
tersebut masih diabaikan. Kasus di lapangan sudah banyak. Apa yang dialami oleh dua buruh
perempuan PT Takita yang berlokasi di Cikarang, Yulistianingsih (28) dan Evy Ristiasari (35)
adalah contoh kesewenang-wenangan itu. Mereka dituduh memalsukan bukti biaya pengobatan
kesehatan sehingga dijerat dengan pasal 378 KUHP dan divonis lima bulan penjara oleh Pengadilan
Negeri Bekasi.

          
   
     
. Pada tahun 2003
pemerintah mengeluarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menerapkan
·     
(· ). Dengan regulasi ini perusahaan dilegalkan untuk menerapkan
sistem kerja kontrak (   ). Karena kebijakan itulah, perusahaan bertambah semena-mena
dalam merekrut dan memberhentikan karyawan. Sudah banyak korban akibat pemberlakuan
ketetapan ini. Sebutlah, Juju Juhariah,   bagian produksi sebuah perusahaan elektronik di
Kawasan Jababeka. Ia bersama 11 temannya yang masih berstatus karyawan kontrak di-PHK secara
sepihak tanpa alasan yang jelas dan dipotong gajinya selama dua bulan terakhir.
Lagi-lagi, banyak buruh lain yang merasakan kondisi serupa dengan Juju dan kawan-kawan.
Beberapa karyawan bagian distribusi sebuah pabrik minuman terbesar di Bekasi kerap mendapat
perlakuan kasar dari para pimpinan dan di-PHK secara sepihak oleh perusahaan (  
  ,
08/12/09). Kini, ada di antara mereka yang masih menyisir jalan dari satu perusahaan ke perusahaan
lain berharap diterima lagi bekerja. Ada pula yang memulai usaha mandiri dengan berdagang,
mengajar, dan lain-lain.
Fenomena-fenomena di atas sudah cukup menjadi bukti bahwa sistem kontrak ±yang
dipayungi secara hukum oleh pemerintah- sangat tidak berkeadilan gender, tetapi lebih
menguntungkan perusahaan sebagai majikan (penyedia lapangan kerja). Perusahaan memiliki
kewenangan yang luas untuk merekrut dan memberhentikan karyawan sesuai aturan perusahaan.
Ada semacam monopoli oleh perusahaan. Jika kontrak kerja habis, perusahaan dengan mudah bisa
mendapatkan karyawan baru sesuai kualifikasi yang dibutuhkan, tanpa harus memperpanjang
kontrak kerja dengan tenaga kerja lama. Hal ini tentu sangat berpotensi pada gerakan pemiskinan
perempuan.
Di sisi lain, sistem kontrak juga mempersempit daya tawar buruh wanita. Ketentuan-
ketentuan yang diberlakukan oleh perusahaan kerap kali menimbulkan pilihan sulit bagi calon
karyawan atau karyawan lama yang hendak memperpanjang kontrak kerja. Alhasil, daripada
menganggur, mereka memilih menerima bekerja di perusahaan meski dengan kesejahteraan yang
tak sesuai harapan.
         
 
 
        
 
      Sedianya serikat buruh dibentuk sebagai usaha yang diharapkan bisa
menjembatani antara buruh, perusahaan dan pemerintah melalui LKS Tripartit Nasional untuk
menyelesaikan persoalan buruh. Sayangnya, beberapa hasil penelitian memperlihatkan masih
banyak buruh perempuan yang tidak mengetahui kerja-kerja atau fungsi serikat buruh (Saptari &
Holzner, 1997; Setia, 2003). Keterlibatan mereka dalam serikat buruh tidak bisa diartikan langsung
sebagai kesadaran akan manfaat dan pentingnya keterwakilan dalam serikat buruh, mengingat
motivasi partisipasi yang sangat beragam, di antaranya faktor pertemanan.
Menurut Koordinator Komite Solidaritas Nasional -aliansi beberapa serikat buruh dan
pemerhati perburuhan- Anwar Ma'ruf, kini fungsi serikat buruh menjadi kabur. Beberapa pengurus
elit serikat buruh sudah terkooptasi oleh pemerintah dan perusahaan (Ê  ). Mereka
lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum buruh. Seolah-olah para elit
serikat buruh lupa pada tugas besarnya. Keran aspirasi buruh pun seakan tertutup. Ketidakadilan
yang dikeluhkan para buruh perempuan tidak tersampaikan kepada pengambil kebijakan (baca:
perusahaan dan pemerintah). Politik kepentingan dan ideologi inilah yang menghambat
terselesaikannya persoalan buruh perempuan.

Kesenjangan kesejahteraan buruh perempuan di Bekasi dan di Indonesia pada umumnya


yang kian hari kian lebar tidak bisa terus dianggurkan. Semua pihak harus bersikap tegas untuk
menyelesaikan.                 
      . Berbagai peraturan dan ketetapan tentang ketenagakerjaan perlu dikaji
ulang isinya. Saat ini peraturan ketenagakerjaan yang berlaku adalah UU No. 13 Tahun 2003.
Muatan atau isi peraturan tersebut belum berkeadilan gender, belum menjawab secara jelas
persoalan mendasar buruh perempuan, dan lebih menguntungkan pihak perusahaan selaku pemilik
lapangan kerja. Seharusnya dalam membuat atau merevisi peraturan, pemerintah menggunakan data
dan fakta hasil studi kasus (persoalan) yang terjadi di lapangan sehingga dapat melahirkan
penyelesaian, bukan sebaliknya melahirkan persoalan baru atau menjadi bumerang bagi buruh.
Selanjutnya, pemerintah juga harus melaksanakan mekanisme pengawasan (   )
terhadap pelaksanaan peraturan oleh perusahaan-perusahaan. Mekanisme pengawasan memudahkan
pemerintah untuk mengukur efektivitas peraturan yang diberlakukan. Hal yang utama pula apabila
perusahaan melanggar ketentuan, pemerintah harus segera memberikan sanksi yang berlaku.
Pemerintah seharusnya menghindari      yang bisa mementahkan persoalan para
buruh. Mentalitas seperti inilah yang perlu selalu dikuatkan.

          
     
           . Perusahaan harus merealisasikan pemberian UMK (Upah
Minimum Kerja) yang telah ditetapkan sejak Desember 2010, yaitu sebesar Rp 1,275 juta per bulan.
Sebenarnya, jumlah UMK tersebut masih belum layak. Lalu, berapa upah yang layak? Penelitian
AKATIGA -Pusat Analisis Sosial Bandung dengan Serikat Pekerja Nasional (SPN) pada 2009-
memperlihatkan bahwa upah layak bagi buruh lajang Rp 2,45 juta/bulan atau Rp 29,4 juta/tahun.
Sedangkan rata-rata upah layak (untuk lajang dan berkeluarga) Rp 4,07 juta/bulan atau Rp 48,84
juta/tahun.
Penelitian AKATIGA mengusulkan ukuran layak (KHL = kebutuhan hidup layak) yang
³agak´ lebih maju dibandingkan dengan ukuran KHL yang selama ini digunakan oleh Dewan
Pengupahan untuk menentukan UMK. Selama ini penentuan KHL mengacu pada Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per-17/Men/VIII/2005 yang di dalamnya termuat 46 komponen KHL.
Sedangkan AKATIGA dan SPN mengajukan 79 komponen tambahan untuk menghitung KHL
(antara lain biaya pendidikan anak) dan perubahan kualitas komponen. Apabila kebutuhan-
kebutuhan itu terpenuhi, bolehlah buruh disebut hidup layak. Sekarang ini, dengan upah rata-rata
Rp 1 juta per bulan, kehidupan buruh masih jauh dari layak (ïïï     /29/01/11).
Perusahaan seharusnya juga menyadari bahwa mereka sejatinya sangat memerlukan tenaga
kerja wanita. Buruh perempuan memiliki keuletan, ketelitian, dan komitmen yang tinggi daripada
buruh laki-laki. Bisa dibayangkan, berapa banyak perusahaan yang akan merugi dan gulung tikar
jika buruhnya mogok atau keluar dari perusahaan. Itikad baik dan inisiatif yang tinggi dari
perusahaan untuk memberikan upah dan apresiasi yang layak kepada buruh perempuan sejatinya
akan sangat menguntungkan perusahaan. Dengan demikian, loyalitas merekapun dapat terbangun
dan akan meningkatkan produktivitas kerja.
                 
    .
Mentalitas bergantung pada orang lain merupakan sikap yang perlu dilunturkan dari masyarakat
Indonesia. Sejatinya, bekerja di perusahaan ±notabene banyak perusahaan di Bekasi, khususnya,
adalah milik investor asing- menghambat masyarakat untuk bersifat kreatif, inovatif, dan produktif.
Oleh karenanya, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat perlu selalu meningkatkan upaya
penciptaan lapangan kerja mandiri bagi kaum perempuan. Program pendanaan dan pembinaan pada
sektor-sektor kecil-menengah perlu ditingkatkan dan diberikan apresiasi yang layak agar
kemandirian ekonomi perempuan Indonesia bisa diwujudkan.

You might also like