You are on page 1of 4

Masalahnya pada Pengendalian Mutu Saat

Pembuatan
27 Jul 2010

 Headline
 Pikiran Rakyat

Label SNI bukan Jaminan

BANDUNG, (PR).-

Jumlah tabung yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan beredar di tengah
masyarakat ditengarai jauh lebih besar dari sembilan juta unit. Tidak sedikit tabung yang
mencantumkan label SNI, tetapi pada kenyataannya memiliki kualitas di ba-wah standar.

Demikian diungkapkan pengamat minyak dan gas (migas) dari Institut Teknologi Bandung Rudi
Rubiandini, pengamat dari Universitas Padjadjaran Erman Sumirat, dan Ketua Himpunan
Lembaga Konsumen Indonesia (HL-KI) Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, Firman Turman-
tara di Bandung, Senin (26/7).

"Masalahnya bukan SNI atau tidak. Ada tabung yang mencantumkan label SNI, tetapi
kualitasnya tidak bagus. Label SNI bukan jaminan.

Persoalannya, pengendalian mutu (.quality control) saat pembuatan. Apalagi, pada awal program
konversi, pembuatan tabung tergesa-gesa karena digenjot untuk memenuhi kebutuhan," kata
Rudi.

Ia menengarai, salah satu akar masalahnya ada pada proses pengawasan sehingga tabung dengan
kualitas di bawah standar yang dibuat produsen resmi bisa lolos ke pasaran. Belum lagi
masuknyatabung ilegal yang terkadang menggunakan label SNI sebagai tempelan belaka.

Kondisi serupa, menurut Rudi, juga terjadi pada aksesori tabung, mulai dari regulator, slang, dan
lain-lain. Namun, iamenilai, belum tentu juga tabung atau aksesori yang tidak mencantumkan
label SNI memiliki kualitas baku keamanan dan keselamatan di bawah standar. ,

"Jangan hanya berkutat dengan SNI. Bisa jadi tabung dan aksesori yang tidak mencantumkan
SNI justru memenuhi standar baku keamanan. Akan tetapi, bukan tidak mungkin juga keduanya
bermasalah, baik yang mencantumkan label SNI maupun tidak. Masalahnya, bukan hal mudah
bagi masyarakat awam untuk membedakannya," ujar Rudi.

Dalam kondisi ini, menurut dia, terlepas dari persoalan salah atau tidak, pemerintah sebagai
pengambil kebijakan dan Pertamina sebagai perusahaan negara harus segera bertindak. Setiap
tabung yang
tidak memenuhi standar harus ditarik dari pasaran.

"Sejak awal saya sudah katakan, kalau dalam bahasa Sunda, wayahna. Pertamina harus kejatuhan
masalah. Jangan dilihat cap SNI-nya, semua tabung yang akan diisi, dicek dulu standarnya
sebelum diisi. Semua tabung yang tidak memenuhi standar, ditarik. Jangan sampai bom waktu
ini beredar di tengah masyarakat," tuturnya.

Tabung yang memenuhi standar keamananlah yang kembali didistribusikan kepada masyarakat,
setelah sebelumnya diberi label khusus. Pengawasan juga ha-rus dilakukan di semua jenjang,
mulai dari produksi, distribusi, hingga ke tangan konsumen.

"Dari dulu kelemahan negara kita adalah pengendalian mutu.

Sekarang korban sudah banyak .berjatuhan. Tingkatkan pengendalian mutu. Lakukan


pengecekan kualitas secara berkala ataupun random oleh pemerintah. Bukan pengusaha yang
menyediakan sampel, tetapi pemerintah langsung yang mengambil sampel," katanya.

Teknisnya, menurut Rudi, bisa langsung turun dari Kementerian Perindustrian yang menunjuk
lembaga khusus atau lembaga penelitian yang selama ini bergerak di sektor logam untuk tabung
atau karet untuk slang, dll. Kemudian, melakukan pengecekan serupa terhadap barang-barang
yang sudahmasuk pasaran, baik untuk tabung, slang, maupun regulator.

"Kalau terbukti ada pengusaha yang melakukan kenakalan dengan mengurangi kualitas, cabut
izin usahanya, tutup pabriknya. Jika ada distributor nakal yang melakukan pengoplosan, tindak
tegas, jangan ada kompromi. Jalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait, termasuk
kepolisian," katanya.

Sementara untuk mengurangi angka pengoplosan, Rudi mengatakan, sudah saatnya pemerintah
menyamakan Tiarga elpiji kemasan 3 kg dan 12 kg. Tidak perlu harga keekonomian, samakan
saja. Selama harganya terpaut jauh, kegiatan pengoplosan akan terus berlangsung dan ledakan
tabung yang disebabkan pengoplosanakan terus terjadi," ujarnya.

Khusus untuk konsumen, Erman menyarankan agar menyimpan tabung di ruang terbuka,
walaupun dengan konsekuensi slang yang lebih panjang. Dengan demikian, jika terjadi
kebocoran, gas tidak akan terakumulasi di satu tempat.

"Mayoritas ledakan terjadi karena kebocoran pada katup tabung dan regulator. Karena silat gas
elpiji yang lebih berat, dia akan merambat di bawah. Per-lindungannya, jangan simpan tabung di
ruang tertutup, simpan di tempat yang ada anginnya sehingga ketika ada kebocoran, gas akan
terlepas dan tidak terkum-pul di satu tempat," ujarnya.

Minim pengawasan

Hal serupa dikatakan pengamat energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Erman Sumirat.
Menurut dia, walaupun penyebab dari maraknya kasus ledakan ang melibatkan elpiji kemasan 3
kg terbilang kompleks, masalah kembali berpulang pada minimnya pengawasan mulai dari hulu
hingga ke hilir.

"Masalahnya kompleks, menyangkut banyak hal. Mulai dari proses produksi yang tidak
memenuhi standar, adanya SPBE nakal yang melakukan pengoplosan, cara menyimpan tabung,
minimnya pengawasan, sampai kurangnya sosialisasi," katanya.

Namun, menurut Erman, masalah sudah telanjur bergulir, terlalu berisiko jika hanya diam dan
sekadar menganalisis masalah. "Saya yakin, ada lebih dari sembilan juta tabung yang tidak
memenuhi standar ke-amanan beredar di masyarakat. Ambil tindakan, lakukan pengawasan
ketat," katanya.

Erman menilai, selama ini pemerintah terlalu lambat dalam mengambil keputusan dan sering kali
menarik masalah publik ke ranah politik. "Jangan peraturan yang dipermasalahkan. Lupakan
dulu masalah pembahasan peraturan dan debat politik. Ada bom waktu yang siap meledak kapan
saja," katanya.

Segera setelah menarik tabung dan aksesori yang tidak memenuhi standar, Erman menegaskan
agar dilakukan pembenahan pada manajemen hilir Pertamina. Erman menengarai ada yang salah
dengan manajemen hilir perusahaan pelat merah ini, terbukti dengan maraknya ledakan tabung
gas yang terjadi akhir-akhir ini dan masalah kualitas premium yang banyak disorot akhir-akhir
ini.

"Kerusakan fuel pump yang ditengarai terjadi karena penurunan kualitas premium, lalu
banyaknya ledakan elpiji, menjadi indikator ada yang salah dalam manajemen Mir Pertamina. Ini
harus menjadi perhatian, selain meningkatkan pengawasan dari level hulu ke hilir," ujar Erman.

Ia menilai, sudah waktunya dibentuk lembaga pengawasankhusus yang untuk produk tabung dan
aksesorinya. "SNI hanya masalah pabrikan. Inti masalahnya adalah pengawasan. Buruknya
pengawasan untuk elpiji lebih berbahaya dibandingkan dengan bensin," katanya.

Maraknya ledakan ini pulalah, menurut Erman, yang memicu adanya kasus penolakan
pembangunan stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE). Masalah penolakan tersebut terkait erat dan
memerlukan penyelesaian yang terintegrasi.

"Kalau ledakan sudah berkurang, citra SPBE juga pasti akan kembali dan tidak akan ada lagi
penolakan di tengah masyarakat. Toh sebenarnya jika dijalankan sesuai dengan standar prosedur
dan operasinal, keberadaan SPBE di tengah masyarakat itu aman," tuturnya.

"Recall" produk

Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta,
Firman Turmantara menilai, pengawasan menjadi masalah terbesar dari beredarnya tabung elpiji
yang tidak memenuhi standar di pasaran. Berdasarkan penelusuran HLKI Jabar, Banten, dan
DKI Jakarta, di beberapa daerah ditemukan tabung dan elpiji yang tidak memenuhi standar.
"Di Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, Subang, Sukabumi, kami menemukan ribuan tabung yang
tidak memenuhi standar. Seperti dari lasnya, cat-nya, bahkan banyak tabung yang sudah berkarat
masih beredar. Apakah ini masalahnya saat proses poduksi tidak memenuhi standar, akibat
dilempar lalu penyok, atau memang indikator pemalsuan, memang harus ditelaah lagi," katanya.

Namun, menurut Firman, terlepas dari apa masalahnya, penarikan (recall) produk yang tidak
memenuhi standar adalah solusi yang harus segera dieksekusi. "Yang pasti ada lebih dari
sembilan juta tabung tidak berstandar beredar dan ini sangat berbahaya. Tarik, sebelum
ketakutan semakin meluas," katanya.

Firman menegaskan, jangan sampai program konversi yang pada dasarnya ditujukan baik untuk
mengurangi konsumsi ba-han bakar minyak (BBM) rusak karena merebaknya teror ketakutan.
Sejak maraknya kasus ledakan, tidak sedikit masyarakat yang mulai meninggalkan elpiji.

"Jangan terbatasi dengan peraturan menteri. Undang-Undang Perlindungan Konsumen


kedudukannya lebih tinggi dari peraturan menteri. Jelas tertera dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, jika ada produk yang salah harus ditarik. Keterlaluan kalau tidak
ditarik Lucu kalau sampai Peraturan Menteri Perindustrian mengalahkan undang-undang,"
tuturnya. (A-iso)***

You might also like