You are on page 1of 20

ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM:

Telaah Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Dalam Buku "Science and


Civilization in Islam" dan "Knowledge and The Sacred"

Oleh: Sudarman
(Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Mahasiswa S-3 UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta)

A. PENDAHULUAN
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yang unik di dunia
Islam. Keunikan pribadi dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir dari
tradisi Sufi-Syi'ah yang dipadu dengan pemikiran Barat modern. Nasr lahir dari
keluarga berlatar belakang Sufi terkenal di Persia yang memiliki afiliasi-afiliasi
dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai
gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam
klasik.
Dengan latar belakang seperti itu, Nasr mampu mengapresiasi dengan baik
khazanah keilmuan tradisional Islam seperti karya Suhrawardi, ibn Arabi dan
Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan kemudian menjadi model dan banyak
mempengaruhi pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya
yang cukup kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat.
Kombinasi latar belakang kultural dan intelektual Seyyed Hossein Nasr
membuatnya menempati posisi khusus dalam berbicara dan berkarya, mempunyai
otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan
Timur dan Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas,
baik dengan muslim maupun non-muslim, menjadikan Nasr sebagai figur yang
langka dan jarang ada bandingannya.
Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed
Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-
diskusi program doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini,
2

dalam pengamatan saya belum ada yang mengangkat tokoh pemikir dari kalangan
ortodoksi Islam, seperti Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar
belakang sosiokultural dan karir inelektual Nasr, diikuti dengan uraian mengenai
pokok-pokok pikiran Nasr yang dapat ditangkap dari dua buah karyanya seperti
tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis dengan dua "senter",
yaitu model-model inegrasi sains dan agama dan trilogi rastorasionis,
rekonstruksionis dan pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan untuk
mendapatkan peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

B. SETTING SOSIO-KULTURAL DAN KARIR INTELEKTUAL NASR


Seyyed Hossein Nasr terlahir pada tanggal 7 April 1933 dan dididik
sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal dari keluarga cendekiawan terkenal. Ayah
dan kakeknya adalah fisikawan di kerajaan Iran, disamping keduanya juga
terkenal di kalangan muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi.
Seyyed Hossein Nasr ketika kecil tidak banyak perbedaannya dengan
anak-anak seusianya, ia belajar pada sekolah dengan standar bangsa Persia.
Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih banyak memberikan inspirasi dan
semangat.1 Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu
antusias pergi ke Amerika ketika usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah
Peddie di Haghtown, New Jersey, dan ketika tahun 1950 ia lulus berhasil
memenagkan piala Wyclifte yang merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa
berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan
tentang sains, searah Amerika, peradaban Barat dan Kristologi.
Berbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada
tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan fisika, ia merasa tertekan dan
bosan karena menurutnya terlalu berlebihan dalam mengagungkan sisi ilmiah dan
cenderung positivisme. Ia menganggap banyak pertanyaan mengenai masalah-
masalah metafisik yang menjadi minatnya, tidak mendapat tempat di jurusan
fisika tersebut. Oleh karena itu dia mulai meragukan apakah fisika dapat
menghantarkan manusia kepada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yang
1
"Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni
2006 pukul 16.00 WIB.
3

bisa sedikit memberikan jawaban terhadap kegelisahan Nasr adalah Bertnard


Russell, filosof Inggris yang suka mengadakan diskusi dengan para mahasiswa di
tempat Nasr menuntut ilmu.2
Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr ketika studi S-1 membuatnya
harus mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai
menekuni dan membaca secara intensif buku-buku dalam rumpun ilmu
humaniora. Lebih-lebih ketika ia bertemu dengan professor Giorgio de
Santillana,3 filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr banyak mempelajari
filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme dan pemikiran Barat Modern. Nasr
kemudian menekuni konsentrasi geologi dan geofisik pada Program Pascasarjana
di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik
tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu
dan filsafat di Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yang terakhir ini Nasr
banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis seperti
Fritjof Schuon dan Titus Burckhardt, yang banyak memberikan sumbangan dan
pengaruh bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya.
Ketika lulus dan mendapat gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun.
Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh
Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga oleh Nasr untuk
menulis sebuah buku yang kemudian diterbitkan dengan judul Science and
Civilization in Islam, yang nanti akan kita lihat pada bab berikutnya.
Seyyed Hossein Nasr setelah purna studi kemudian kembali ke Iran,
diangkat menjadi guru besar madya dalam bidang filsafat dan sejarah sains,
hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya dengan
seorang wanita dari keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr menjadi orang
termuda yang menyandang gelar profesor penuh pada Universitas Teheran.
2
"Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal 18
Juni 2006 pukul 16.00.
3
Hubungan Seyyed Hossein Nasr dengan Giorgio de Santallana semakin hari semakin
intensif, sebagai kawan dalam bergaul dan berdiskusi. Santillana juga memberikan kata pengantar
dalam buku Nasr yang sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization
in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. vii-xiv.
4

Sesuatu yang baru ditawarkan oleh Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa ia
menganggap pentingnya pentingnya pengajaran filsafat Islam yang berbasis
sejarah dan perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak
mengharapkan dapat memahami dan mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri
dari sudut pandang orang lain, seperti juga tidak mungkinnya seseorang dapat
melihat sesuau dengan mata orang lain.4 Nasr juga menumbuhkan kesadaran dan
minat untuk mempelajari filsafat Timur pada program studi filsafat. Nasr juga
terlibat dalam program doktor bidang bahasa dan sastera Persia bagi yang bahasa
ibunya bukan Persia, banyak asuhan Nasr di bidang ini yang menjadi
cendekiawan penting diantaranya dari Amerika William Chittick, dan
cendekiawati dari Jepang Sachiko Murata.5
Seyyed Hossein Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr,
universitas sains dan teknik terkenal di Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi,
penguasa Iran saat itu, menginginkan agar Nasr mengembangkan Universitas
Aryamehr dengan model perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi mempunyai
dasar yang kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini
membuka program pascasarjana dengan bidang filsafat ilmu dengan landasan
filsafat ilmu Islam, untuk pertama kalinya di dunia Islam, bahkan di dunia pada
umumnya.
Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba
ilmu hikmah, di bawah master-master otoritatif di Iran. Diantara guru-guru
terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yang
mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam dan filsafat, yang merupakan
sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai dan Sayyid
Abu Hasan Qazwin, ahli hukum Islam yang menguasai juga matematika,
astronomi dan filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr telah mendapatkan
pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur
Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka

4
"Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni
2006 pukul 16.00 WIB.
5
Ibid.
5

ketika berbicara dan menulis, yang menguasai banyak isu yang terkait dengan
perjumpaan Barat-Timur, tradisi dan modernitas.
Nasr juga menulis secara aktif ketika berada di Iran dalam bahasa Inggris,
Perancis dan Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang
kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis buku-buku
Suhrawardi dan Mulla Sadra dalam bahasa Persia dan karya Ibnu Sina dan al-
Biruni dalam bahasa Arab.
Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah
dunia "luar" baik kawasan muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direkrut
Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di
Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika
di Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal di Amerika, Nasr sering keluar dan
berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 ia menyampaikan Kevorkian
Lectures dalam seni Islam di New York, ia berbicara mengenai seni dan Islam.
Pada tahun 1979, ketika meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, dan
mulai aktif lagi menulis di sana.
Tahun 1980 ia aktif menulis dan berdiskusi dalam forum prestisius yang
disebut Gifford Lectures, karena diikuti oleh para ilmuwan terkemuka, dan Nasr
adalah orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan
berharga tersebut. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yang telah
dipresentasikannya di forum Gifford Lectures tersebut. Nasr mengungkapkan
bahwa Knowledge and The Sacred merupakan hadiah dari langit karena
penulisannya dapa diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Sebenarnya banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang
disebutkan di atas, tetapi karena mengingat berbagai keterbatasan, tidak mungkin
diampilkan dan diulas semua di sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa
lebih banyak mengulas pemikiran Nasr di dalam buku yang menjadi pusat
perhatian artikel ini.
6

C. SAINS DAN ISLAM PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR


Kaum modernis Islam umumnya mempunyai kecenderungan ingin
menunjukkan kesesuaian antara Islam dengan sains modern. Dianara bukti yang
mendukungya adalah kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam
dan dapat mempertahankan kecemerlangannya selama hampir lima abad. Maka
sering dijumpai kesimpulan kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains
modern. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi oleh para pemikir Islam
ortodoks, diantaranya adalah Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling
berpengaruh di kalangan ini.
Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat dengan argumen umum kaum
modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tersebut. Menurutnya mereka
secara sewenang-wenang mengubah agama Islam agar sesuai dengan tujuan akhir
mereka sendiri. Dia dengan keras mencela:
tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yang ingin berdamai
dengan modernisme dan mau melakukan apa saja untuk menunjukkan
bahwa Islam bagaimanapun juga adalah agama 'modern' dan, berbda
dengan Kristen, sama sekali tidak bertentanagan dengan sains.6

Menurut Nasr tulisan-tulisan kaum Islam modernis yang mengklaim Islam


sesuai dengan sains modern, yaitu sains yang dianggap dipelopori oleh Galileo
dan Newton, jelas-jelas mengandung cacat. Kesalahan mereka, menurut Nasr,
adalah bahwa ilm dalam bahasa Arab yang berarti menuntut ilmu sesuai dengan
kewajiban agama, sengaja diubah agar menjadi sains dan pengetahuan sekuler.
Nasr menganggap keliru karena term ilm, tidak hanya menyangkut masalah
duniawi teapi juga menyangkut pengetahuan tentang Tuhan, dan lain-lain hal gaib
lainnya. Jika mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti
menggerogoti tauhid.7
Menurut Nasr seorang ilmuwan yang secara konsisten menggunakan
peralaan dan eknik-teknik sains modern, jika tidak hati-hati akan menghancurkan

6
Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group,
1982), hlm. 176.
7
Ibid., hlm. 179.
7

struktur agama Islam. Masalahnya, sains modern hanya mengandalkan akal dan
pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr,
ini sama sekali tidak dapat diterima. Hal ini sangat berbeda dengan sains zaman
dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:
tidak pernah menjadi tanangan bagi Islam seperti halnya sains modern.
Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti
melaksanakan shalat waktu mereka mempelajari aljabar Khayyam atau
risalat al-kimia dari Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman
sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka
setelah mempelajari matematika dan kimia modern.8

Jika kita ingat perbedaan mendasar kerangka konseptual sains abad


pertengahan dan abad modern, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr
tersebut tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam
maupun Kristen, bekerja dalam batas-batas, paradigma teologis. Sains harus
menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yang ciri-cirinya sudah
ditetapkan oleh apa yang diyakini sebagai wahyu. Secara umum., sains secara
prinsip dipandang sebagai cara untuk menggambarkan kebenaran teologis. Maka
sains, sebagai kaki tangan teologi, harus membuktikan bahwa iman didukung
oleh alasan dan faka-fakta fisik.9
Sains modern dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat,
sejak Renaissance telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang merupakan
manifesasi corak pemikiran rasionalistis dan antroposentris serta sekularisasi
kosmos.10 Ilmu dalam konsepsi Barat seperti inilah yang disebut oleh Nasr telah
menempati mode khusus, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian.11
Sekularisasi ilmu yang terjadi di Barat, antara lain dilatarbelakangi oleh
pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan dengan gelombang Renaissance.
Gelombang sekularisasi tersebut menggempur peradaban Barat pada waktu itu
8
Ibid.
9
G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger
Publishing, 1975), hlm. 5.
10
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University
Press, 1981), hlm. 45-46.
11
Ibid., hlm. 9
8

sehingga mistisisme Kristen, yang dimotori antara lain oleh Lutherian, tidak dapat
mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tersebut.12 Pemikiran yang bercorak
rasional dan empiris juga ikut menymbangkan peran bagi proses sekularisasi ilmu
di Barat. Empirisme yang berkembang di Barat, terutama di Inggris, membuat
fungsi suci intelek tidak lagi berguna. Isaac Newton, bapak fisika klasik yang
menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu juga turut
berperan dalam proses desakralisasi ilmu.13
Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes adalah orang yang sangat
banyak memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu di Barat. Ketika Descartes
membuat basis baru bagi ilmu, dengan memunculkan kesadaran individu sebagai
subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan dan sama sekali tidak
meruuk kepada "Aku" ilahi. Menurut Nasr habitus baru yang dimunculkan
Descartes ini berbeda jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan banyak
hal profan dan muncullah "Aku" ilahi.14 mengacu pada diri manusia, yang
memiliki makna semu dalam pandangan orang arif. Descartes dalam kondisi ini,
demikian Nasr, telah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai
landasan onto
Kata "aku" dalam ucapan Descartes logi, epistemologi serta sumber
kepastian. Akibat dari pengaruh pikiran Descartes ini banyak orang yang
menjadikan pikiran individu sebagai standar dan mengubah arah filsafat menjadi
bentuk rasionalisme murni. Implikasi dari bentuk pemikiran seperti ini sering
obyek diketahui lain sama sekali dengan yang dikehendaki obyek tiu sendiri, dan
sering pula banyak persoalan yang direduksi sekedar menjadi "it" atau "thing"
dalam dunia yang mekanistik, padahal mungkin saja jika melihanya dari sudut
pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.15
Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa
Renaissance dan masa Descartes, yakni sejak masa Yunani kuno. Pentingnya jiwa
12
Ibid., hlm. 26-27.
13
Ibid., hlm. 29-32.
14
Ibid., hlm. 41.
15
Ibid., hlm. 46
9

simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos dari unsur suci pada agama
Olympia yang membawa kepada filsafat naturalistik, munculnya rasionalisme dan
transformasi lain, adalah beberapa bukti proses desakralisasi ilmu di Barat ini.
Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat ketika kita melihat kasus
ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam menjadi basis penting
bagi penekanan kembali sakralitas pengetahuan dan intelek seperti versi
Suhrawardi, tetapi ketika karya-karya ibn Sina sampai di Barat dia berupah hanya
sekedar menjadi potongan-potongan pengetahuan yang bercorak rasionalistik.
Begitu juga dalam kasus ibn Rusyd, ia kelihatan lebih rasional dan sekuler di
Barat ketimbang ibn Rusyd asli yang dibaca di dunia Arab.16
Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat
antara lain diandai dengan pereduksian intelek menjadi akal (reason) dan
intelligence dibatasi dengan sekedar cunning dan cleverness, yang semua itu
merusak teologi, termasuk teologi natural, baik di kalangan Islam maupun
Kristen. Pencabutan pengathuan dari karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu
profan, membuat orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi,
maka ilmu pengetahuan Barat yang profan menjadi sentral sementara intuisi dan
unsur-unsur yang bercorak ilahi menjadi periferal.17
Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah
uga pada bidang-bidang lain. Bahkan sampai kepada bahasa pun terkena pengaruh
desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang di Barat kehilangan ragam
makna mendalam karena pengaruh desakralisasi ini.
Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu di Barat,
membawanya pada penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, dalam
pandangannya, membawa ancaman serius sebagai akibat skularisasi. Nasr melihat
sisi lemah sains di Barat dengan kacamata perennisnya, kemudian untuk solusinya
ia menawarkan konstruksi ilmu Islam sebagai alternatif, yang dianggapnya
mampu mengatasi krisis kemanusiaan yang diderita manusia modern.

16
Ibid., hlm. 38.
17
Ibid., hlm. 4-6.
10

Ilmu Islam menurut Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja.
Munculnya ilmu Islam merupakan persinggungan dan interaksi mendalam dengan
pradaban lain seperti Yunani, Persia, India, Kalde, dan Cina. Ketika berjumpa
dengan berbagai peradaban tersebut umat Islam terbuka terhadap berbagai
perkembangan ilmu dan peradaban tetapi juga menyeleksinya dengan seksama
sehingga gabungan dari keterbukaan dan daya selektif yang ketat itu melahirkan
corpus baru yang unik.18
Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam
yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, harus dipahami secara
simbolis,sehingga hubungan dengan realitas yang lebih tinggi tidak hilang. Alam
semesta tidak bisa direduksi menjadi sekedar fakta empiris, tetapi lebih dari itu
harus membantu intelektual manusia untuk sampai kepada berbagai eksistensi,
bukan hanya sebagai fakta mati tetapi ia juga sebagai simbol, sebagai cermin yang
memantulkan wajah agung sang pencipta.19
Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan pada iluminasi akal
dan intelek. Intelek adalah alat, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada
diri manusia. Intelek adalah dasar akal, akal perlu dilatih secara sehat untuk dapat
sampai kepada intelek. Itulah sebabnya ahli fisika muslim menyatakan bahwa
ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia sampai kepada yang ilahi.
Intelek, dalam pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun sering
dikaitkan dengan fungsi analitis pikiran sehingga dianggap tidak ada sangkut
pautnya dengan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini sering menimbulkan
semangat manusia untuk menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya,

18
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library,
1970), hlm. 30.
19
Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat
Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta juga merupakan ayat Tuhan.
Dengan demikian ayat Tuhan itu ada dua macam, ayat yang tertulis di dalam kitab suci, Al-Qur'an,
dan ayat yang tidak tertulis, tetapi mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis dalam Al-
Qur'an biasanya disebut dengan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta disebut dengan ayat
kauniyyah. Ayat qauliyyah dan ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" karena keduanya sama-
sama merupakan cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama dapat menghantarkan
manusia sampai kepada Tuhan.
11

demikian Nasr, hubungan antara ilmuwan dengan alam bersifat intelektif, tidak
abstrak, tidak analitis dan tidak sentimental.20
Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan dengan terma lain seperti
qalb, fu'ad, dan bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang
identik dengan sesuatu alat untul memahami realitas dan nilai-nilai. Sehingga
konsep intelek dalam terminology Islam berbeda dengan reason, karena intelek
dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi
juga berhubungan erat dengan persoalan wahyu,21 sehingga bagi seorang muslim
kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.
Struktur keilmuan seperti tersebut di atas adalah pondasi yang paling kuat
dan telah terbukti keampuhannya ketika berhadapan dengan peradaban-peradaban
lain. Sesungguhnya konstruksi model ini juga tidak bertentangan dengan
konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, karena konstruksi keilmuan
itu nerupakan "heart of all revelations".22
Perbedaan mendasar konstruksi ilmu di Barat dengan Islam, jika di Barat
sains identik dengan teknologi dan aplikasinya, sebaliknya sains dalam pandangan
Islam, disamping bermakna seperti pengertian sains dalam perspektif Barat juga
bermakna pengetahuan yang berkaitan dengan apiritualitas.23

D. PETA PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR


Ada banyak model yang diajukan orang untuk integrasi sains dan agama.
Model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar
yang menjadi komponen utama model itu. Jika hanya ada satu, model itu disebut
model monadic.Jika ada dua, tiga, empat atau lima kompoonen, model itu masing-
masingnya bisa disebut sebagai model-model diadik, triadik, tetradik dan
pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing model tersbut.24
20
Ibid., hlm 24.
21
Ibid., hlm. 27.
22
Ibid., hlm. 30.
23
Ibid., hlm. 29-30.
24
Model-model integrasi agama dan sains yang digunakan dan ditampilkan dalam tulisan
ini merujuk kepada apa yang ditulis oleh Armahedi Mahzar. Hampir semua diderivasi dari
konstruksi Mahzar kecuali yang disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains dan
Agama: Model dan Metodologi" dalam Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori
12

Model pertama yang popular di kalangan fundamentalis, religius maupun


sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa agama adalah keseluruhan
yang mengandung semua cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yang sekuler
memandang bahwa agama sebagai salah satu cabang kebudayaan. Dalam
fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains
hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sementara bagi fundamentalisme sekuler
kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan
yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.
Dengan model monadik totalistik semacam ini tidak mungkin terjadi
koeksistensi antara sains dan agama, karena keduanya menegasikan eksistensi
atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak
bisa tidak berupa konflik, seperti yang dikonsepsikan Barbour25 atau Haught26
mengenai hubungan sains dan agama.

AGAMA

SAIN
S

Gambar 1
Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan model monadik tersebut, diajukanlah model kedua,


yaitu model diadik. Ada beberapa varian model kedua ini. Varian pertama
mengatakan bahwa sains dan agama merupakan dua kebenaran yang setara. Sains
(Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
25
Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San
Francisco: Harper Collins, 2000).
26
John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York:
Paulist Press, 1995).
13

membicarakan fakta alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah.


Secara geometris dapat didiagramkan model ini sebagai dua buah lingkaran yang
tidak berpotongan. Model ini dapat disebut sebagai model diadik kompartementer.

SAINS
AGAMA

Gambar 2
Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua model diadik ini mungkin dapat dinyatakan oleh gambar
sebuah lingkaran yang terbagi oleh sebuah garis lengkung menjadi dua bagian
yang bentuk dan luasnya sama, seperti pada simbol Tao dalam tradisi Cina.
Berbeda dengan model interpendensi, dalam varian kedua antara sains dan agama
adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yang patut dipertimbangkan
dalam kaitan ini adalah Fritjof Capra ketika ia mengeluarkan sebuah ungkapan:
"sains tak membutuhkan mistisisme dan mistisisme takmembutuhkan sains. Akan
tetapi,manusia membutuhkan keduanya".27 Varian kedua ini adalah model diadik
komplementer.

27
Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
14

Gambar 3
Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram dengan dua buah lingkaran
sama besar yang saling berpotongan. Jika kedua lingkaran itu menggambarkan
sains dan agama, akan terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yang
merupakan bahan dialog antara sains dan agama. Misalnya Maurice Buccaille
mnemukan sejumlah data ilmiah di dalam kitab suci Al-Qur'an. Atau para
ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut sebagai "The
God Spot" yang dipandang sebagai pusat kesadaran religius manusia. Model ini
dapat disebut sebagai model diadik dialogis.

AGAM
SAINS
A

Gambar 4
Model Diadik Dialogis

Model ketiga adalah model triadik sebagai koreksi terhadap model diadik
independent. Dalam model triadik ada unsur ketiga yang menjembatani sains dan
agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh para kaum teosofis
15

yang bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau


"Truth" adalah kesamaan antara sains, filsafat dan agama.

SAINS FILSAFAT AGAMA

Model ketiga ini merupakan perluasan saja dari model diadik


komplementer dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang
letaknya diantara sains dan agama.
Sebagai koreksi terhadap model diadik dan triadik komplementer, telah
dikembangkan sebuah model tetradik. Salah satu interpretasi dari model diadik
komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" dengan
komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik dengan pemilahan
"objek/subjek" dalam perspektif epistemology. Menurut Wilber,28 pemilahan ini
tidak mencukupi lagi untuk memahami fenomena budaya.
Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru untuk melengkapi
komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah
komplementasi "satu/banyak", yang oleh Wilber disebut "individual/sosial".
Dengan adanya dua komplementasi, yang lama dan yang baru, maka realitas
budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu lingkaran dipecah oleh dua
buah sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal
dan vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial
diletakkan secara horizontal, dengan individualitas di sebelah kiri dan sosialitas di
sebelah kanan, dan sumbu interior/eksterior pada arah vertical dengan interioritas
di sedelah kiri dan eksterioritas di sebelah kanan.

INDIVIDUAL
28
Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion
(Boston: Shambala Publication, 1998).
16

Objektivitas
Subjektivitas

INTERIOR EKSTERIOR

Interobjektivitas
Intersubjektivitas

SOSIAL

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan dengan subjektivitas, yang


menjadi topic bagi psikologi Barat dan mistisisme Timur, dan kuadran kanan atas
berkaitan dengan objektivitas yang menjadi topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau
sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan dengan intersubjektivitas yang menjadi
topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah
menmyangkut interobjektivitas yang mempelajari gabungan objek-objek yang
disebut Wilber sebagai masyarakat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat
kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan
(kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan
bawah).29
Jika dilihat dengan ketiga model di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr
kelihatannya cenderung masuk dalam kategori model perama. Bagi Nasr agama,

29
Selain ketiga model integrasi antara sains dan agama seperti tersebut di ats Armahedi
Mahzar masih mengajukan satu lagi model integrasi agama dan sains yang disebutnya dengan
"Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Tetapi model ini kurang relevan
untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga tidak diampilkan. Lihat Armahedi
Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.
17

yang diwakili oleh eologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain tidak
boleh keluar dari kerangka dan dalam rangka membela teologi.
"Senter" kedua tenang trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan
Pragmatis perlu dikemukakan di sini untuk melihat formulasi pemikiran Nasr.
Konstruksi trilogi yang dipakai adalah apa yang telah dibangun oleh Pervev
Hoodbhoy.30
Pertumbuhan pesat sains modern mengundang anggapan dari banyak
pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu ada yang masuk
dalam kategori restorasionis, rekonstruktionis dan pragmatis. Ketiga kategori
kelompok tanggapan terhadap sains tersebut dilihat secara sepintas dalam tulisan
ini untuk "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga peta
pemikirannya dalam hal sains modern mudah dipahami.
Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis adalah kelompok yang
paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Kelompok
ini juga berargumen bahwa kemunduran umat Islam saat ini karena mereka tidak
mampu memegang fikrah dan thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya
gerakan fundamenalis pada sekita tahun 1970-1980-an adalah manifestasi yang
paling nyata dari gerakan kaum restorasionis ini.
Salah satu contoh gerakan kaum restorasionis adalah gerakan Jemaat-e
Islami di Pakistan, suatu kelompok politik-agama yang mendapatkan dukungan
dari masyarakat urban kelas menengah dan para mahasiswa. Walaupun belum
pernah mendapat kemenangan dalam pemilu di Pakistan tetapi pengaruh
kelompok ini sangat kuat di Pakistan. Maryam Jameelah, seorang Yahudi
Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yang paling cakap
tentang masalah-masalah sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa
semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia
paling sering muncul di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa
kemajuan dalam sains pada akhirnya akan menganugerahkan pada mereka
kekuatan ilahi.31 Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu
"mengejar Barat" karena sifat sains Barat jahat dan tidak bertuhan. Masa lampau
30
Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
18

Islam jauh lebih baik, sementara modernitas tidak menghasilkan apapun kecuali
kerusakan.32
Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat
sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yang sangat anti-sains dan anti
modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan
untuk mendamaikan tuntuan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam.
Kelompok ini berpandangan bahwa Islam di masa Nabi dan masa khulafa' al-
Rasyidin adalah Islam yang progersif, revolusioner, liberal dan rasional. Maka
kelompok yang dogmatis reaksioner dianggap taqlid dan menolak inovasi
(ijtihad).
Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-
1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan berpendapat bahwa Al-
Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan dengan realitas yang berubah. Sementara
Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional dan
berorientasi maju.
Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan
juml;ah terbesar dari umat Islam, tetapi kelompok ini lebih banyak memilih
bungkam terhadap masalah modernitas dan sains. Merekalebih suka
memperlakukan persyaratan-persayaratan agama dan keimanan sebagai sesuatu
yang secara esensial tidak langsung berkaitan dengan masalah kehidupan politik
ekonomi, atau dengan sains dan pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis
merasa puas dengan keyakinan samara bahwa Islam dan modernitas tidak
bertentangan, tetapi mereka enggan menguji masalah-masalah tersebut dengan
lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains adalah
Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).
Jika dilihat dengan snter trilogi ersebut di atas tampak bahwa pemikiran
Seyyed Hossein Nasr berada pada kategori perama, yaitu kelompok restorianis.

31
Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher,
1977), hlm. 16-17.
32
Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-
Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada dengan Maryam Jameelah di atas adalah Abu al-A'la al-
Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.
19

Hal ini wajar saja mengingat Nasr adalah tokoh terkemuka ortodoksi Islam,
sehingga sangat mudah dipahami jika pola berpikirnya berada dalam frame
restorianis.

E. PENUTUP
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr berangkat dari keprihatinannya bahwa
seolah-olah teolog ditaklukkan oleh sains, teologi diubah demi untuk
mempertimbangkan penemuan-penemuan sains. Bagi Nasr, yang merupakan
pendukung filsafat perennial, yang sebaliknyalah yang semestinya harus terjadi,
teologi menjadi tolok ukur eori-teori ilmiah.
Nama Seyyed Hossein Nasr sering disandingkan dengan Syed M. Naquin
Al-Attas, Ismail Razi Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut
gagasannya dengan "dewesternisasi ilmu", Ismail Razi al-Faruqi berbicara tentang
"Islamisasi ilmu" dan Sardar tentang penciptaan suatu "sains Islamkontemporer".
Gagasanpara pemikir itu tentu berbeda-beda dan terkadang bahkan berseberangan.
Kelemahan pemikiran mereka ini sampai saat ini belum bisa menjelaskan secara
jelas bagaimana gagasan filosofis itu bisa menjadi relevan dengan kegiatan
praktis. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan tokoh-tokoh seperti Ian G
Barbour, John F Haught dan Gholshani menjadi relevan untuk dikaji secara lebih
mendalam.

Wallahu a'lam!

DAFTAR PUSTAKA
20

Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? .


San Francisco: Harper Collins, 2000.

John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation. New York:
Paulist Press, 1995.

Fritjof Capra, The Tao of Physics . New York: Bantam Book, 1976.

G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., New York: Krieger


Publishing, 1975.

Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion
(Boston: Shambala Publication, 1998.

Maryam Jameelah, Islam and Modernism. Lahore: Muhammad Yusuf Khan


Publisher, 1977.

Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man .


Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983.

Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi


Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996.

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg


University Press, 1981.

___________, Scince and Civilization in Islam. New York: New American


Library, 1970.

___________, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982

Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu dan
Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005

"Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org.

"Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com

You might also like