You are on page 1of 6

Federalisme: Masa Depan Sistem Pemerintahan

Indonesia?

M Hermawan Eriadi
PENDAHULUAN

Bukanlah suatu kebetulan jika dalam era liberalisasi politik


menuju era demokrasi menyuusul era reformasi hingga saat ini,
pembiaraan tentang bentuk pemerintahan juga menjadi marak
dan menarik. Saat ini kesempatan bagi perubahan dimana
berbagai tatanan politik nasional sedang dikaji ulang sebagai
suatu bangasa untuk memasuki era baru.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai bentuk negara ini


tetap merupakan hal yang menantang secara akademik,
sekaligus mencoba meneropong masa depan sistem politik
Indonesia. Untuk pembicaan visioner Indonesia kedepan, wacana
federalisme merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Tinggal
bagaimana wacana ini bisa tetap mengalir dan menjadi wacana
publik. Untuk itu, perlu kiranya ditelaah lebih dalam mengenai
federalisme bagi Indonesia.

DASAR TEORI

Pembahasan konsep tentang sistem pemerintahan memiliki


kaitan dengan beberapa teori lain yaitu pembagian kekuasaan,
bentuk negara serta sistem atau model pemerintahan itu sendiri.
Menurut Miriam Budiardjo, pembagian kekuasaan dapat dibagi
dengan dua cara yaitu: secara vertikal, yaitu pembagian
kekuasaan menurut tingkatnya; dan secara horizontal, yaitu
pembagian kekuasaan menurut fungsinya.

Dari konsep tersebut terdapat dua pembasahan yaitu


pertama secara vertikal pembagian kekuasaan mengarah kepada
bentuk sebuah negara apakah berbentuk Konfederasi, Negara
Kesatuan, atau Negara Federal. Dalam hal ini terdapat beberapa
tingkat pemerintahan yang dalam istilah Mirioam Budiardjo
pembagian kekuasaan secara teritorial. Pembahasan kedua
secara horizontal mengarah kepada pembedaan fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif atau
dapat disebut trias politica (division of powers).

Secara vertikal, bentuk negara kesatuan memperlihatkan


terdapatnya wewenang legislatif tertinggi dipusatkan di satu
badan legislatif nasional. Sementara itu kekuasaan berada di
tangan pemerintah pusat dengan kewenangan memberikan
sebagian kekuasaannya kepada daerah sesuai hak otonomi yang
dimiliki daerah tersebut. Sehingga hakekat atau prinsip negara
kesatuan adalah kedaulatan tidak terbagi. Seorang ahli hukum
C.F. Strong menyatakan bahwa dalam negara kesatuan terdapat
dua ciri mutlak yaitu: (1) adanya supremasi dari Dewan
Perwakilan Rakyat Pusat dan (2) tidak adanya badan-badan
lainnya yang berdaulat.

Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik


dari negara federal. Formasi negara kesatuan di deklarasikan
saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim
seleruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada
kesepakaan para penguasa derah, apalagi negar-negara. Karena
diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya
bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen.

Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia


dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen,
yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan
pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-
wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah
federal. Negara dan wilayah pendiri federal itu kemudian berganti
status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan
nama tertentu dalam lingkungan federal.

Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi anggota


federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan
yang kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintahan
federal. Biasanya, pemerintahan federal diberikan kekuasaan
penuh dibidang moneter, pertahanan, peradilan dan hubungan
luar negeri. Kekuasaan lainnya cenderung tetap dipertahankan
oleh negara bagian atau wilayah adminstrasi. Kekuasaan negara
bagian biasanya sangat menonjol dalam urusan domestik, seperti
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan keamanan
masyarakat (kepolisian). Ringkasnya, pembentukan suatu negara
federasi melalui dua tahap, yaitu tahap pengakuan atas
keberadaan negara dan wilayah independen dan tahap kedua
adalah kesepakatan mereka membentuk negera federal ini bisa
dilihat dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia.

Menurut WC Wheare dalam bukunya Federal Government,


prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa
sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain.
Misalnya dlalam soal hbungan luar negeri dan soal mencetak
uang, pemerintah federal sama sekali bebas dai campur tangan
dari pemerintah negara bagian; sedangkan dalam soal
kebudayaan, kesehatan dan sebagainya pemerintah negara
bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan dari
pemerintah federal.

Untuk membentuk suatu negara federal menurut DF Strong


diperlukan dua syarat: Pertama, adanya perasaan sebangsa di
antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk
federasi itu, dan kedua, adanya keinginan pada kesatuan-
kesatuan politik yang heendak mengadakan federasi untuk
mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan
politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan
federasi yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan.

Mengenai perbedaan antara federasi dengan negara


kesatuan, Kranenburg mengemukakan dua kriteria berdasarkan
hukum positif, yakni Pertama, negara bagian sesuatu federasi
memiliki wewenang membentuk UUD sendiri serta wewenang
mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-
batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan
pemerinath derah secaa garis besarnya telah ditetapkan oleh
pembentuk undang-undang pusat. Kedua, dalam negara federal,
wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur
hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi
federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang
pembentukan UU pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum
dan wewenang pembentukan undang-undang rendahan (lokal)
tergantung pada badan pembentukan undang-undang pusat itu.

Dalam negara serikat, tidak semua kekuasaan pemerintahan


diserahkan kepada daerah. Soal hubungan luar negeri, diplomasi,
keuangan, pertahanan dan peradilan tetap diatur secara
nasional. Sedangkan perhubungan, pendidikan dan lain-lainnya
bisa saja diserahkan kepada daerah. Bahkan mungkin bisa lebih
cepat terlaksana bila diurus dearah daripada pusat

Telaah mengenai federasi, secara akademik tetaplah hal yang


mungkin, bahkan lebih baik untuk sistem pemerintahan
Indonesia. Namun hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa
jaman kolonial yang telah memberikan contoh penerapan sistem
negara kesatuan yang kemudian mengilhami pendiri bangsa
untuk mengadopsinya. Selanjutnya, stigma yang berkembang
juga tidak menguntungkan bagi wacana federalisme untuk
berkembang karena federalisme dianggap memecah belah
bangsa, seperti halnya usaha yang dilakukan belanda pada tahun
1949.

Meskipun demikian, argumen ilmiah tentang bentuk negara


federal bagi Indonesia tetap mendapat tempat. Bahkan dalam
beberapa kalangan terus disambut baik.

Federalisme memiliki konsep dasar yang berbeda dengan


kesatuan. Pada federalisme, kedaulatan berada pada
wilayah/daerah yang kemudian sebagiannya diserahkan ke
pemerintah federal/pusat. Dengan paradigma ini, maka
pembangunan akan bisa lebih diutamakan pada daerah. Tidak
terpusat pada ibu kota.

Demikianlah, wacana ilmiah tentang federalisme ini harus


terus digemakan, agar pada saatnya kelak ketika sistem negara
federal diujicobakan bagi Indonesia, tidak banyak kendala-
kendala psikologis yang dihadapi, ketimbang teknis aplikatif.
Wallahu’alam

You might also like