Professional Documents
Culture Documents
Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian itu
1. Adanya pihak-pihak, setidak-tidaknya harus ada dua orang, inilah yang disebut
2. Adanya persetujuan diantara para pihak itu, inilah yang disebut sebagai konsensus.
4. Adanya tujuan yang hendak dicapai bersifat kebendaan yakni menyangkut harta
kekayaan
didefinisikan sebagai : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terdapat orang lain. Ini berarti dari
suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada
satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.
akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor)
dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing
pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu
hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika
ada suatu perbuatan nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak
hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya
perjanjian konsensuil.
Dalam khasanah hukum perjanjian dikenal beberapa asas yang menjadi dasar para
perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat dibuat secara lisan dan
andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti. Dalam perkembangannya,
perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum
(rechtsverhouding)
Kredit merupakan istilah yang lazim dalam bahasa sehari – hari yang diartikan sebagai
pinjaman sejumlah uang. Selain itu kredit diartikan pula sebagai pembayaran secara cicilan
Secara etimologi menurut Savelberg sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman
Oleh karena itu apabila seseorang atau suatu badan memberikan kredit berarti ia
percaya akan kemampuan pihak debitur pada masa yang akan mampu memenuhi segala
sesuatu yang telah diperjanjikan baik itu berupa uang, barang atau jasa.
Noah Websten, sebagaimana dikutip Munir Fuady mengartikan kata “kredit” berasal
dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti
tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung usaha
2. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan
Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh
penerima kredit. Penerima kredit mempergunakan pinjaman itu untuk kepentingannya dengan
dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya
Dari Black’s Laws Dictionary yang dikutip oleh Djulhaendah Hasan, diproleh pengertian
bahwa “Credit is the ability of a businessman to borrow money, or to obtain goods on time,
inconsequence of favorable opinion held by the particular tender, as to his solvency and
reliability”.22
Dalam dunia bisnis kata “kredit” diartikan sebagai “Kesanggupan dalam meminjam
uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan
Pengertian kredit dapat juga dilihat dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(selanjutnya disingkat dengan UU Perbankan), kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam –
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
melaksanakan prestasinya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Konsekuensi yuridis bagi debitor yang telah melakukan wan prestasi tersebut adalah wajib
perjanjian itu dapat dibaca dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang mempergunakan istilah
persetujuan yang berbunyi : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu satu orang atau lebih.” Umumnya
perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat dibuat secara lisan dan
andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti. Dalam perkembangannya,
perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum
(rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa :
“Perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional.
Menurut pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 menentukan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Secara sah maksudnya berarti memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
itikad baik.
Dari bunyi Pasal tersebut dapat diambil beberapa ketentuan yang penting dalam
hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat hukum dari suatu perjanjian yaitu:
Berlaku sebagai Undang – undang berarti ketentuan – ketentuan itulah yang mengatur
hubungan antara kreditur dan debitur. Isi perjanjian ini dapat ditentukan sendiri dan atau oleh
pihak ketiga untuk kepentingan debitur. Dengan demikian perjanjian itu mempunyai
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala hal/sesuatu yang
menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang – undang.
Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para pihak tidak terlepas dari tanggungjawab atau
akibat yang timbul dari suatu prestasi yang dipenuhi, juga para pihak juga harus
Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai kehidupan hakim maka dalam
Sesuai dengan asas konsensualitas, bahwa perjanjian dibuat atas persetujuan kedua
belah pihak, sebaliknya bahwa untuk merubahkembali persetujuan harus ada ijin pihak
lainnya. Namun demikian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila ada alasan-alasan
yang dibenarkan oleh Undang –undang yaitu pada Pasal 1814 KUHPerdata.
c. Pelaksanaan dengan itikad baik
Pelaksanaan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang mengadakan perjanjian.
Istilah itikad baik ada dua macam yaitu sebagai unsur subjektif dan sebagai unsur objektif
Yang dimaksud baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bukanlah dalam arti subjektif,
norma kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif,
Hal yang menjadi masalah dalam praktek perkreditan adalah apabila debitor mulai
tidak lancar dalam pembayaran utangnya. Pada tahap awal pihak kreditor bisa menegur atau
memberi peringatan dan juga kesempatan agar debitor bisa melanjutkan kewajiban untuk
memenuhi pelunasan utang tersebut, hanya apabila debitor tidak bisa diharapkan lagi untuk
menutup seluruh utangnya sehingga terjadi kredit macet, maka kreditor bisa mengambil
pelunasan dari penjualan obyek Hak Tanggungan. Apabila dimungkinkan para pihak tersebut
bisa mengadakan musyawarah untuk menjual sendiri obyek Hak Tanggungan, dengan adanya
kesepakatan harga diantara mereka. Dari hasil penjualan tersebut kreditor langsung dapat
mengambil pelunasan piutangnya, dan bila masih ada sisa dikembalikan kepada debitor.
Penjualan dibawah tangan ini akan lebih mempermudah para pihak dalam pengurusannya,
karena tanpa melalui prosedur tertentu seperti dalam lelang eksekusi yang membutuhkan
Dalam hal eksekusi, masalah akan muncul apabila sejak semula kreditor kurang
waspada terhadap kebenaran / keberadaan barang yang akan dijadikan jaminan. Banyak
alasan yang sah secara hukum yang dapat digunakan untuk menunda / menghalangi, bahkan
mungkin sesungguhnya atau hanya dibuat - buat saja, misalnya eksekusi tertunda
karena alasan kemanusiaan, adanya perlawanan oleh pihak ke-3, atau barang obyek eksekusi
Selain itu juga harus diperhatikan tata cara dari prosedur pengikatan jaminan, karena
adanya kekurangan yang sedikit saja bisa menyebabkan eksekusinya ditolak. Mengenai
permasalahan yang terakhir, yaitu tentang roya parsial, meskipun belum ada undang -
undang tersendiri yang mengaturnya secara khusus namun di dalam UUHT ditampung hal
yang demikian. Dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) bahwa: yang dimaksud dengan
sifat tidak dapat dibagi - bagi dari hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan
membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak
Tanggungan ini tetap membebani seluruh obyek hak Tanggungan untuk sisa utang yang
belum dilunasi.
dari asas yang ditetapkan pada ayat (1), untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia
semuanya menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks dan kemudian akan
dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga
Sesuai dengan ketentuan ayat ini apabila hak tanggungan itu dibebankan pada
beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing - masing merupakan
suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi
–bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam APHT (Akta Pemberi
pemecahan atas sertifikat induk. Kemudian sertifikat per bagian ini dibebani pula dengan Hak
Tanggungan. Untuk pembelian dengan menggunakan fasilitas kredit dari bank, apabila suatu
bagian telah dilunasi maka langsung bisa dan Hak Tanggungan hanya membebani sisa obyek
Hak Tanggungan (bangunan lain yang belum lunas) untuk menjamin sisa utang atas
bangunan yang belum lunas tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur
dalam UUHT karena telah dinyatakan secara jelas dalam pasal 2 ayat 2 UUHT.