You are on page 1of 9

Gambaran dan Patogenesis OSA

OSAHS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai,
selain merokok.Sama halnya dengan merokok, OSAHS tidak hanya memberi dampak
negatif bagi penderitanya tetapi juga orang lain, dalam hal ini pasangan
tidurnya.Dengan dengkuran suara yang keras, tak jarang pasangan tidur merasa
terganggu sehingga tidak bisa tidur lelap.Sekilas, masalah ini sepele.Faktanya,
hubungan pernikahan bisa retak.

Young dkk dalam Sleep 1997 memperkirakan sebanyak 82% pria dan 93% wanita
dengan OSAHS sedang dan berat tidak terdeteksi. Salah satu penyebab tingginya kasus
underdiagnosis/misdiagnosis OSAHS adalah kurangnya pengenalan para klinisi
terhadap OSAHS.Tidak bisa dipungkiri, sleep medicine kurang banyak diajarkan di
bangku kuliah. Celakanya, diperkirakan biaya yang keluar akibat kasus
underdiagnosis/misdiagnosis OSAHS menelan US$ 3,4 milyar per tahun. Belum lagi
biaya lain seperti hilangnya waktu produktivitas, kecelakaan, dan lain-lain.

Ada sedikit perbedaan antara sleep apnea dan hypopnea.Dikatakan apnea bila terjadi
obstruksi total, sedangkan hipopnea bila obstruksi parsial saluran nafas.

Klasifikasi
Ilmu yang mempelajari tentang tidur, sleep medicine, bisa dikatakan masih menjadi
lahan baru di dalam dunia kedokteran.Keinginan untuk membuat klasifikasi gangguan
tidur pertama kali diwacanakan dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh
Association for the Psychophysiological Study of Sleep pada tahun 1972.Sebagai tindak
lanjutnya, dibentuklah Nosology Committee pada tahun 1976.

Tiga tahun berselang (1979), terbitlah klasifikasi gangguan tidur untuk pertama kalinya,
yang dikenal dengan The Diagnostic Classification of Sleep and Arousal Disorders
setebal 137 halaman.Klasifikasi itu dipublikasikan dalam jurnal Sleep, yang saat itu
juga baru dibentuk.

Merasa kurang puas dengan klasifikasi yang sudah ada, American Sleep Disorders
Association bekerja sama dengan European Sleep Research Society, Japanese Society
of Sleep Research dan Latin American Sleep Society menyusun klasifikasi baru yaitu
International Classification of Sleep Disorders (ICSD) pada 1990. Dalam ICSD,
gangguan tidur dibagi menjadi 84 jenis berdasarkan patofisiologi.

Lagi, American Academy of Sleep Medicine mengadakan sebuah komite bersama untuk
merevisi kembali ICSD pada 2002.Akhirnya, tersusunlah ICSD-2.Dalam ICSD-2,
gangguan tidur disusutkan menjadi 8 kategori berdasarkan konsep klinis.OSAHS masuk
dalam kategori 2. Berikut klasifikasi kelainan tidur berdasarkan ICSD-2:

1. Insomnia
2. Sleep related breathing disorders
3. Hypersomnias of central origin not due to a circadian rhythm, sleep disorder,
sleep related breathing disorder, or other cause of disturbed nocturnal sleep
4. Circadian rhythm sleep disorders
5. Parasomnias
6. Sleep related movement disorders
7. Isolated symptoms, apparently normal variants, and unresolved issues
8. Other sleep disorders

Patogenesis
Otot saluran nafas atas memegang peran penting dalam patogenesis OSAHS.Otot
saluran nafas atas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu otot yang menyangga tulang hyoid
(geniohyoid, sternohyoid), otot lidah (genioglossus), dan otot pada palatum (tensor
palatini, levator palatini).

Berdasarkan prinsip kerja, otot-otot tersebut dikelompokkan menjadi otot fasik dan otot
tonik.Otot fasik bekerja saat inspirasi dan istirahat saat ekspirasi.Sebaliknya, otot tonik
tidak mempunyai siklus seperti itu.Kerja otot tonik tetap konstan sepanjang respirasi.

Salah satu contoh otot fasik yang paling banyak dipelajari adalah genioglossus.Saat
inspirasi, tekanan intralumen menjadi negatif guna menyedot udara dari luar ke dalam
paru.Tekanan negatif cenderung menyebabkan kolaps otot-otot saluran nafas atas. Di
sisi lain, tekanan negatif pula yang mengaktivasi otot fasik (genioglossus) untuk
melawan kolaps sehingga jalan nafas tetap terbuka. Ketika ekspirasi, otot fasik tidak
teraktivasi.

Mekanisme kerja otot genioglossus dipengaruhi oleh 3 input saraf. Pertama, refleks
mekanoreseptor.Tekanan negatif pada saluran nafas mengaktivasi mekanoreseptor yang
terletak pada laring.Kemudian, menghantarkan rangsang aferen ke saraf laringeal
superior.Selanjutnya, diteruskan ke motorneuron hipoglossus sehingga otot
genioglossus berkontraksi membuka jalan nafas.
Kedua, pusat pernafasan (central respiratory pattern generator) di medula.Pusat
pernafasan teraktivasi lebih dahulu yakni sekitar 50-100 milidetik sebelum diafragma
berkontraksi.

Terakhir, rangsangan neuromodulator (serotonin, asetilkolin, orexin, histamin,


norepinefrin) yang mempunyai efek tonik pada motorneuron hipoglossus.

Ketiga mekanisme itu hanya teraktivasi saat keadaan terbangun (wakefullness


stimulus).Saat tidur, mekanisme itu mengalami perubahan.Refleks tekanan negatif,
misalnya, mengalami penurunan aktivasi selama fase non-REM dan REM, namun tidak
mati total.Akibatnya, otot faring mudah kolaps.Pada seseorang yang mengalami
OSAHS, lumen saluran nafas lebih sempit daripada orang normal.Lumen yang sempit
mengakibatkan tekanan negatif yang lebih besar sehingga diperlukan tenaga yang lebih
besar lagi untuk melawan efek kolaps akibat tekanan negatif itu.Sayangnya ketika
pasien OSAHS tidur, upaya kontraksi genioglossus tidak cukup melawan tekanan
negatif itu.Jadilah, obstruksi. [Gambar 1 dan 2]

Gejala Klinis
Gejala klinis utama dari OSAHS adalah mendengkur.Dalam populasi umum, kebiasaan
mendengkur dijumpai pada 35-45% pria dan 15-28% wanita.Akan tetapi, tidak semua
dari mereka yang mempunyai kebiasaan mendengkur menderita OSAHS.Sebanyak 70-
95% penderita OSAHS mempunyai kebiasaan mendengkur dan hanya 6% yang
tidak.Jadi, bisa disimpulkan bahwa individu yang tidak mendengkur besar kemungkinan
tidak menderita OSAHS.

Gejala lain adalah rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari (excessive daytime
sleepiness). Keluhan ini perlu dibedakan antara rasa mengantuk yang ’benar’ (keinginan
segera untuk tidur) dengan rasa lelah (letargi/malaise).Perlu juga dipikirkan apakah ada
obat-obat yang menyebabkan kantuk dan apakah pasien sedang melakukan kerja shift.
Dengan menggunakan kuesioner yang sudah tervalidasi, Gottlieb dkk melalui
penelitiannya bertajuk Sleep Heart Health Study melaporkan bahwa sebanyak 35%
subyek dengan OSAHS berat (indeks apnea-hipoapnea/IAH ≥30) mengeluh rasa
kantuk; begitu juga dengan 21% subyek yang tidak terdiagnosis OSAHS (IAH <5).
Hasil penelitian itu dipaparkan dalam Am J Respir Crit Care Med 1999.

Penderita OSAHS terkadang mengalami rasa tercekik di malam hari (nocturnal


choking).Penderita biasanya mengeluh bangun tiba-tiba dengan rasa panik akut dan
tercekik. Episode tercekik itu hanya berlangsung dalam beberapa detik tetapi sudah
cukup mengakibatkan stress bagi penderita maupun pasangan tidurnya. Kejadian
terbangun (arousal) itu dikarenakan saat terjadi sumbatan, kemoreseptor akan membaca
kadar CO2 yang terlalu tinggi hingga mengirimkan sinyal untuk membangunkan otak.

Selain itu, penderita mengalami henti nafas.Namun, gejala henti nafas itu tidak disadari
oleh penderita melainkan disaksikan oleh pasangan tidurnya (witnessed apnea).Henti
nafas sementara pada OSAHS perlu dibedakan dengan henti nafas yang disebabkan oleh
paroxysmal nocturnal dyspnea pada gagal jantung kiri, asma malam, acute laryngeal
stridor, dan nafas Cheyne-Stokes pada gagal jantung.

Faktor Risiko
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penting pada OSAHS. Diperkirakan 1 dari
5 orang kulit putih dengan rata-rata IMT 25-28 kg/m2 mempunyai IAH ≥5, dan 1 dari
15 mempunyai IAH ≥15. Data dari Wisconsin Sleep Cohort menunjukkan bahwa bila
berat badan pasien OSAHS ringan (IAH 5-15) bertambah 10%, risiko menjadi OSAHS
sedang berat meningkat 6 kali. Sementara itu, perubahan berat badan 1% saja bisa
mengubah 3% AIH.Hasil itu dikemukakan oleh Peppard dkk dalam JAMA 2000.

Penekanan obesitas pada OSAHS bukan terletak pada besarnya lingkar perut melainkan
lingkar leher.Penumpukan jaringan lemak pada pada anterolateral saluran nafas
menyebabkan lumen saluran nafas menyempit.Studi menunjukkan lingkar leher
merupakan prediktor kuat OSAHS.Lingkar leher <37
cm berarti risiko rendah, sedangkan >48 cm risiko
tinggi. Pengukuran lingkar leher dilakukan tepat di
bawah Adam’s Apple. [Gambar 3]

Dibandingkan wanita, pria lebih berisiko tinggi mengalami OSAHS.Alasannya masih


belum jelas.Hal itu mungkin berhubungan dengan pengaruh hormonal.Teori itu
didukung dengan penemuan bahwa wanita postmenopause lebih berisiko mengalami
OSAHS daripada premenopause.Pemberian hormon replacement therapy ternyata bisa
memperbaiki gejala OSAHS.

Usia juga dikatakan turut mempengaruhi OSAHS. Prevalensi OSAHS lebih tinggi pada
usia tua daripada usia muda.

Faktor keturunan (familial) pada OSAHS pertama kali disinggung oleh Strohl dkk
dalam N Engl J Med 1978.Berbagai studi skala besar mengkonfirmasi adanya faktor
genetik pada OSAHS. Redline dkk dalam Am J Respir Crit Care Med 1995
memaparkan, keturunan pertama dari pasien OSAHS lebih berisiko mengalami OSAHS
di kemudian hari daripada keturunan pertama dari pasien sehat. Analisis segregasi pada
Cleveland Family Study 2002 menunjukkan bahwa 35% dari variasi gejala klinis
OSAHS berkaitan dengan faktor genetik.Mulai terkuaknya pengaruh genetik pada
OSAHS tentu memberi kabar baik dan perlu dikaji lebih lanjut agar dapat dilakukan
pencegahan lebih dini.

Risiko OSAHS juga dapat dipicu dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol.Asap
rokok memicu inflamasi dan kerusakan mekanik dan saraf pada saluran nafas atas, serta
meningkatkan risiko kolaps otot-otot faring selama tidur. Kebiasaan minum alkohol
terbukti pula memicu terjadinya apneu pada individu normal atau asimtomatik.Alkohol
memperpanjang durasi apnea dan memperberat hipoksemia.Mekanisme alkohol dalam
memicu atau memperburuk kolaps otot faring belum diketahui. Percobaan pada hewan
dan manusia menunjukkan bahwa alkohol mengurangi respiratory motor output pada
saluran nafas atas, dan mengakibatkan hipotonia pada otot orofaring.

Kondisi lain yang bisa memicu OSA adalah sindrom polikistik ovarium (SPO),
hipotiroid, dan kehamilan. SPO adalah sindrom klinik yang ditandai dengan
oligomenorhea dan kelebihan androgen. Tanda utama SPO antara lain anovulasi kronik,
gangguan sekresi gonadotropin, obesitas sentral, resistensi insulin, dislipidemia, dan
dibuktikannya keberadaan polikistik ovarium melalui pemeriksaan USG. Prevalensi
OSAHS pada penderita SPO cukup tinggi, mencapati 60-70%. Penumpukan lemak
visceral dan kadar androgen yang tinggi pada SPO menjadi faktor predisposisi
terjadinya OSAHS.

Belum diketahui bagaimana hubungan hipotiroid dan OSAHS. Diduga kadar hormon
tiroid yang menurun dan obesitas yang biasa ditemukan pada pasien hipotiroid berperan
terhadap terjadinya OSAHS. Teori lain memaparkan, hipotiroid menyebabkan
akumulasi asam hialuronat pada kulit dan jaringan subkutan. Deposit mukoprotein pada
saluran nafas atas menyebabkan pembesaran lidah dan faring serta membran mukosa
laring sehingga meningkatkan kecenderungan kolaps saluran nafas atas saat tidur.

Kehamilan terutama trimester ketiga berkorelasi dengan tingginya prevalensi


OSAHS.Pertambahan berat badan selama masa gestasi, penurunan ukuran lumen faring,
dan perubahan fisiologi paru disinyalir menjadi faktor penyebab terjadinya OSAHS
pada kehamilan.Dampak buruk yang ditimbulkan adalah rendahnya nilai Apgar dan
berat lahir bayi.Oleh karena itu, penemuan dini OSA pada ibu hamil diharapkan bisa
memperbaiki keluaran (outcome) bagi ibu dan bayi.
Kelainan kraniofasial yang juga sering dikaitkan dengan OSAHS adalah hipertrofi
tonsil (terutama pada anak), retrognathia, dan mikrognathia.

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis OSAHS diperlukan pemeriksaan subyektif berdasarkan
gejala kinis dan obyektif berdasarkan hasil alat diagnostik.Perangkat diagnostik yang
sederhana adalah Epworth Sleepiness Scale (ESS).ESS berupa kuesioner yang diisi oleh
pasien sendiri.Keuntungan dari ESS adalah cepat, tidak mahal, dan reliabilitasnya
tinggi.Namun, korelasi ESS dengan derajat OSAHS rendah dan tidak jarang terjadi
mispersepsi terhadap
pertanyaan di kuesioner
tersebut. [Tabel 1]

Pemeriksaan obyektif lainnya adalah multiple sleep latency test (MSLT), maintenance
of wakefulness test (MWT), dan Osler test.

Perangkat lain yang semakin luas digunakan sebagai alat penapis (screening) OSAHS
adalah pulsa oksimetri. Parameter yang diperiksa adalah desaturasi total, index
desaturasi oksigen (IDO), desaturasi per jam, dan SpO2 (maksimum, minimum, dan
rata-rata).Tidak seperti IAH, belum ada kesepatan interpretasi nilai IDO.Namun, yang
paling banyak digunakan adalah IDO 5-10 (OSAHS ringan), 10-15 (OSAHS sedang),
dan >15 (OSAHS berat).

Polisomnografi menjadi standar baku emas dalam mendiagnosis OSAHS.


Polisomnografi meliputi perekaman aliran udara nafas, gerakan nafas, EEG, EMG,
EOG, EKG, saturasi oksigen dan posisi badan.Idealnya, polisomnografi dilakukan
dalam sebuah laboratorium tidur selama satu malam penuh dan dipantau oleh
dokter/perawat. Hasil yang muncul adalah jumlah henti nafas tiap jam (indeks apneu-
hipoapneu (IAH)). Pengelompokkan derajat OSAHS berdasarkan IAH adalah ringan
(IAH 5-15/jam), sedang (IAH 15-30/jam), dan berat (IAH >30/jam).Bila hasil pulsa
oksimetri positif, polisomnografi boleh tidak dilakukan.Sebaliknya, bila kecurigaan
terhadap OSAHS tinggi tetapi hasil pulsa oksimeri negatif, polisomnografi perlu
dilakukan untuk mengkonfirmasi.

Terapi
Terapi yang efektif pada OSAHS adalah continous positive airway pressure (CPAP).
CPAP mengalirkan aliran udara positif sehingga memberikan pneumatic splint pada
aliran udara atas selama inspirasi dan ekspirasi, menjaga patensi dan mencegah
obstruksi selama tidur.Akibatnya, rasa kantuk di siang hari berkurang dan fungsi
kognitif meningkat.Dampak positifnya juga tampak pada sistem kardiovaskular yaitu
menurunkan tekanan darah hingga 10 mmHg dan meningkatkan fungsi ventrikel kiri
sebesar 30%.Bagi pasien diabetes melitus tipe II, CPAP meningkatkan sensitivitas
insulin.

Efek samping CPAP adalah rasa kurang nyaman selama pemakaian masker, mulut
kering, dan hidung berair.Rasa risih selama pemakaian masker dapat diatasi dengan
pemakaian masker yang sesuai dengan kontur wajah.Sementara itu, hidung berair dapat
diobati dengan pemberian kortikosteroid nasal atau antihistamin sistemik.Sebagian
pasien merasa tidak nyaman dengan pemakaian CPAP, namun kepatuhan pemakaian
dapat ditingkatkan dengan pemberian edukasi.

Oral appliances seperti mandibular advancement splint (MAS) banyak dilakukan untuk
mengurangi dengkuran. MAS pun dapat menurunkan tekanan darah pada OSA. Oral
appliances diterapkan sebagai terapi lini kedua bila CPAP tidak berhasil atau pasien
menolak dipasang CPAP.

Terapi bedah seperti tonsilektomi dan adenoidektomi dapat dilakukan pada anak atau
orang dewasa yang terbukti mengalami pembesaran tonsil.Terapi bedah pada palatum
mole (uvulopalatofaringoplasti) juga memberi keuntungan tetapi responnya hanya
sementara (jangka pendek). Trakeostomi dilakukan saat keadaan emergensi bila CPAP
atau modalitas terapi lain tidak berhasil membuka obstruksi saluran nafas.

Hingga saat ini terapi obat belum ada yang memberi hasil memuaskan. Beberapa jenis
obat yang pernah diujikan adalah selective serotonin reuptake inhibitor (paroxetin,
fluoxetin), protriptilin, klonidin, metilxantin (aminofilin, teofilin), opioid , doxapram,
nikotin, tiroid (bagi pasien hipotiroid), dan estrogen. Golongan benzodiazepin tidak
memiliki peran pada OSAHS karena cenderung mengganggu stabilitas saluran nafas
atas sehingga mudah mengalami kolaps dan meningkatkan desaturas oksigen.

Pemberian oksigen tambahan menunjukkan hasil yang positif pada pasien


OSAHS.Saturasi oksihemoglobin meningkat dan IAH menurun.

Gagal Jantung Gara-Gara Mendengkur


Aspek kardiovaskular pada OSAHS paling menarik dibicarakan saat ini.Berbagai studi
mengindikasikan adanya gangguan sistem kardiovaskular pada pasien OSAHS. Salah
satunya adalah Wisconsin Sleep Cohort Study yang berhasil menunjukkan IAH >15/jam
berkorelasi positif dengan hipertensi [OR 2.89; 95% CI 1,46-5,64].

Ekokardiografi memperlihatkan terjadinya disfungsi sistolik dan diastolik pada


OSAHS.Semakin berat derajat OSAHS, semakin rendah pula fraksi ejeksi
jantung.Mekanisme itu mungkin disebabkan efek hipoksia dan perubahan tekanan
intratorakal berulang. Tekanan negatif intratorakal akan meningkatkan afterload
ventrikel kiri, juga mengurangi relaksasi ventrikel kiri. Hipoksia menyebabkan
penurunan daya kontraktilitas dan relaksasi otot jantung sehingga volume ventrikel kiri
bertambah baik saat sistolik akhir maupuan diastolik akhir.Aktivasi saraf simpatis, baik
saat hipoksia maupun terbangun (arousal), memicu takikardi dan vaskonstriksi perifer
sehingga semakin meningkatkan afterload ventrikel.

Terdapat beberapa
mekanisme yang
dikemukakan guna
menjelaskan patogenesis
OSAHS dalam
menyebabkan penyakit
kardiovaskular.Penurunan
PO2 arterial dan
peningkatan PCO2
memberi stimulus langsung
kemoreseptor perifer pada
aorta dan karotid serta
kemoreseptor sentral pada
ventral medula.Di samping
itu, hipoksia memicu
peningkatan ventilasi,
aktivitas simpatis pembuluh darah perifer, dan refleks vagal.Aktivasi simpatis yang
muncul akibat hipoksia dan hiperkapnia bisa berlanjut menjadi sympathetic excess
(rangsangan simpatis yang menetap/memanjang).Narkiewicz dkk dalam Circulation
1998 melakukan studi kohort pada pasien OSAHS yang tidak diobati.Mereka
membandingkan pasien OSAHS dengan kelompok kontrol (tidak menderita
OSAHS).Semua subyek diberikan terapi oksigen 100%, lalu diukur aktivitas saraf
simpatis pada otot (muscle symphatetic nerve activity).Hasilnya, aktivitas simpatis pada
otot pada kelompok kontrol berangsur menurun dari waktu ke waktu, sedangkan pasien
OSAHS menetap.

Beberapa senyawa vasoaktif mengalami peningkatan sekresi, diantaranya endotelin dan


fibrinogen.Endotelin bersifat vasokonstriktor. Mekanisme sekresi endotelin dikarenakan
terjadinya peningkatan ekspresi gen endotelin dan sekresi ketika terjadi hipoksia.
Aktivasi platelet, menurut Eisensehr dkk dalam Neurology 1998, mengalami
peningkatan pada OSAHS.Semakin berat derajat OSAHS, semakin banyak pula pletelet
yang teraktivasi sehingga risiko trombosis juga meningkat.

Beberapa peneliti mengajukan postulat adanya kemoreseptor pada otot.Dengan adanya


kemoreseptor itu, otot dapat menghantarkan refleks simpatis ketika menyadari adanya
perubahaan metabolik tubuh menjadi hipoksia.Masih terjadi perdebatan mengenai
keberadaan kemoreseptor pada otot itu.

Di sisi lain, terdapat juga mekanisme yang menghambat terjadinya penyakit


kardiovaskular. Pada keadaan hipoksia, atrial natriuretic peptide (ANP) yang bersifat
vasodilator meningkat. Peningkatan sekresi ANP mungkin dikarenakan efek regangan
mekanik dari dinding atrium sehingga menjadi pseudohipervolemia yaitu suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan venous return dan volume darah. Hipoksia juga memicu
stimulasi baroreseptor arteri sehingga menurunkan refleks simpatis. Selain itu, keadaan
hipoksia juga menurunkan kadar plasma renin, angiotensin II, dan aldosteron, sehingga
melindungai dari terjadinya hipertensi.

Rangsangan kronik (terus menerus) pada saraf simpatis akan menurunkan respon
adrenergik. Hal itu tentu akan melindungi jantung dari rangsangan simpatis. Akan
tetapi, kontraktilitas miokard menurun dan bisa menjadi gagal jantung.

Melihat begitu banyak dampak negatif kardiovakular pada pasien OSAHS, maka ada
baiknya bila menemukan pasien hipertensi, obesitas, dan gagal jantung ditanyakan
mengenai gejala-gejala OSAHS. Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan adalah
"apakah anda mendengkur?," "apakah anda merasa lelah saat bangun?," "apakah anda
mudah tertidur di siang hari?," atau dengan menyodorkan Epworth Sleep Scale. Dengan
demikian, OSAHS dapat terdeteksi dan diterapi lebih dini.

Gambar Adenoid

You might also like