You are on page 1of 21

KAITAN ANTARA REFORMASI DENGAN PERUBAHAN

KONSTITUSI DEMI TERWUJUDNYA CHECK AND


BALANCES DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

I. Latar Belakang
Sejak merdeka lebih dari enam puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami
berbagai peristiwa penting dalam bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di
daerah, peralihan pemegang kekuasaan pemerintah hingga pergantian hukum dasar
negara menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini sejak awal
terbentuknya hingga beberapa tahun terakhir. Salah satu perkembangan menonjol
dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak
pascakrisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari
tampuk kekuasaan pada 1998. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin oleh
Presiden B.J. Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem
ketatanegaraan yang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi di
negara ini. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa
ide penyakralan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452
(selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945) tidaklah relevan dalam kehidupan
bernegara. Selama empat tahun, hingga 2002,Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang saat itu diketuai oleh M. Amien Rais melakukan empat kali perubahan
yang amat mendasar terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Perubahan konstitusi
tersebut telah mengubah secara mendasar pula cetak biru (blue print) ketatanegaraan
Indonesia di masa yang akan datang. Secara kuantitatif, isi UUD Negara RI Tahun
1945 telah mengalami perubahan lebih dari 300 persen. Naskah UUD Negara RI
Tahun 1945 yang sebelumnya terdiri dari 71 butir ketentuan ayat atau pasal, saat ini
menjadi memiliki 199 butir ketentuan. Hanya sekitar 25 butir yang sama sekali tidak
berubah dari rumusan ketentuan yang asli, sementara sisanya sebanyak 174 butir
merupakan ketentuan-ketentuan baru. Selain itu, bagian Pembukaan, yang secara
substansi berasal dari Piagam Jakarta, juga tidak dijadikan obyek dalam perubahan
tersebut. Salah satu hasil dari perubahan konstitusi yang sangat mendasar tersebut
adalah beralihnya supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Sejak masa

1
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and
balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, di mana konstitusi
diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan
lembaga-lembaga penyelenggara negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
sesudah perubahan merupakan penegasan dianutnya supremasi konstitusi.
Kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat harus
dilaksanakan oleh dan dengan cara sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Dengan
demikian konstitusilah yang merupakan sumber rujukan tertinggi penyelenggaraan
kekuasaan negara. Penempatan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi adalah
karena berpedoman bahwa konstitusi tersebut merupakan hasil dari perjanjian yang
dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dengan demikian,
landasan keberlakuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah kedaulatan rakyat itu
sendiri. Rakyat adalah pemilik constituent power yang produknya bukan hukum biasa,
tetapi hukum tertinggi atau constituent act. Yang diberi wewenang untuk menjalankan
constituent power adalah MPR. Oleh karena itu, MPR tetap dipandang sebagai
penjelmaan rakyat, tetapi hanya pada saat MPR menjalankan wewenang untuk
mengubah dan menetapkan UUD, sedangkan sebagai lembaga, kedudukan MPR
tetap sama dengan lembaga tinggi negara yang lain. Saat ini MPR tidak dapat
membuat produk hukum selain melalui perubahan UUD 1945 atau menetapkan yang
baru. UUD 1945 tidak lagi mengenal produk hukum ketetapan MPR. Untuk melakukan
perubahan UUD 1945 harus melalui prosedur dan syarat-syarat khusus mulai dari
pengusulan hingga pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD
1945. Prosedur dan syarat tersebut disusun agar jika terjadi perubahan UUD 1945,
substansinya benar-benar merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia. Sebagai
hukum tertinggi,konstitusi harus dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara dan
segenap warga negara tanpa kecuali. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum
perubahan yang menentukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Pasca perubahan UUD 1945, kedaulatan dilaksanakan dalam bentuk kekuasaan
penyelenggaraan negara. Kekuasaan tersebut dijalankan sesuai dengan wewenang
yang dimiliki lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945. Kekuasaan
mengubah dan menetapkan UUD ada pada MPR. Kekuasaan membentuk undang-
undang dipegang oleh DPR. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan dipegang

2
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
oleh Presiden.Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan
Mahkamah Konstitusi (MK).Kekuasaan pemeriksaan pertanggung jawaban dan
pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain itu juga ditentukan lembaga penyelenggara negara lain yang terkait dengan
fungsi dan wewenang tertentu dalam organisasi penyelenggaraan negara seperti
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY), bank sentral, Komisi
Pemilihan Umum (KPU),dewan penasihat presiden, Tentara Nasional Indonesia (TNI),
dan Polisi Republik Indonesia (Polri). Semua lembaga penyelenggara negara
tersebut adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai dengan wewenang masing-
masing, baik yang bersifat utama maupun sebagai pendukung penyelenggaraan
kekuasaan tertentu. Selain oleh lembaga negara, kedaulatan dalam penyelenggaraan
negara juga dilaksanakan oleh rakyat sendiri. Hal itu di antaranya adalah melalui
pelaksanaan pemilu. Dalam gelaran itu rakyat menjalankan fungsi yang ditentukan
oleh UUD 1945 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil
presiden. Pelaksanaan kedaulatan oleh rakyat sebagai warga negara juga dapat
dilihat dalam bentuk pelaksanaan kewajiban konstitusional seperti kewajiban
menjunjung hukum dan pemerintahan, ikut serta dalam upaya pembelaan negara,
menghormati HAM orang lain, serta tunduk pada pembatasan yang ditentukan UU
dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Supremasi konstitusi mengharuskan
setiap lembaga penyelenggara negara dan segenap warga negara melaksanakan
UUD 1945. Jika UUD 1945 telah dilaksanakan sesuai dengan wewenang dan fungsi
masing-masing, tentu tidak perlu terjadi pertentangan dalam penyelenggaraan negara.
Kalaupun hal itu terjadi, UUD 1945 telah menentukan mekanisme penyelesaiannya,
yaitu melalui MK.Wewenang yang dimiliki oleh MK tidak membuat kedudukannya lebih
tinggi dari penyelenggara negara lain, tetapi semata -mata karena ditentukan demikian
oleh UUD 1945. Dengan demikian, Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 ini juga
telah meniadakan konsep superioritas suatu lembaga negara atas lembaga-lembaga
negara lainnya dari struktur ketatanegaraan Republik Indonesia (RI). Dalam kurun
waktu yang cukup lama, konsep klasik trias politica yang dikembangkan sejak abad
ke-18 oleh Baron de Montesquieu dikenal luas dan digunakan di banyak negara
sebagai dasar pembentukan struktur kenegaraan. Konsep ini membagi tiga fungsi
kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Montesquieu mengidealkan ketiga
fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara

3
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
yang berbeda. Setiap organ menjalankan satu fungsi dan satu organ dengan organ
lainnya tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak.
Walaupun tidak secara tegas, negara Indonesia pun mengadopsi bentuk trias politica
ini. Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica
dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya mempertahankan
eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara
terpisah. Kenyataan menunjukkan bahwa hubungan antarcabang kekuasaan itu pada
praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga organ tersebut pun sederajat
dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and
balances. Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara
memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka.
Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik
maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi
harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut
memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta
fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan
tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan
(council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita
(authority). Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga
negara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD
Negara RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state
auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai
penunjang penyelenggaraan negara .

II. Reformasi Indonesia pada Tahun 1998


Dalam konteks hukum kontrak, reformasi diartikan sebagai perubahan norma atau
perubahan dari dokumen kontrak berdasarkan perintah pengadilan berdasarkan
permintaan dari salah satu pihak dari perjanjian tersebut. Reformasi juga disamakan
dengan memperbaiki atau membetulkan. Reformasi, masih dalam konteks hukum
perjanjian, akan diperintahkan untuk dilakukan jika para pihak telah terikat oleh satu
perjanjian dan ada hal-hal dalam perjanjian yang tidak sesuai dengan perjanjian
mereka, apakah karena kesalahan atau wanprestasi. Seringkali pihak yang

4
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
melakukan gugatan untuk perubahan kontrak didasari oleh kesadaran dari salah satu
atau kedua pihak bahwa efek dari perjanjian yang tertulis tidak sesuai dengan apa
yang para pihak pahami atau sepakati tetapi telah ditulis dan didaftarkan. Tetapi
pengadilan tidak pernah mempunyai hak untuk merubah kontrak dimana para pihak
tidak pernah menyetujui klausul perubahan Reformasi memerlukan fakta yang jelas
dan meyakinkan mengenai maksud natural dari para pihak yang menyepakati kontrak
tersebut. (Reformation Law & Legal Definition, www.definition.USlegal.com). Dalam
konteks reformasi sistem hukum yang diberlakukan dalam satu negara, analogi
hukum perjanjian diatas berlaku. Jika sistem yang telah disepakati antara pelaksana
hukum (pemerintah dalam arti luas) dan pengguna hukum (warga negara) tidak lagi
dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuan para pihak, baik karena keadaan
yang tidak lagi memungkinkan kontrak tersebut dilaksanakan berdasarkan klausul-
klausul yang disepakati dalam kontrak, maka kontrak atau kesepakatan sosial
tersebut, berdasarkan kesepakatan para pihak haruslah diubah mengikuti kehendak
original para pihak. Oleh karena itu sangat relevan jika reformasi sistem hukum dalam
suatu negara diikuti adanya perubahan mendasar dari sistem yang sebelumnya dinilai
gagal mengakomodasi keinginan para pihak, baik perubahan kontrak sosialnya
(konstitusi) maupun perubahan paradigma hukum yang fundamental. Reformasi
hukum di Indonesia terjadi pada saat era yang biasa disebut era reformasi yang
digagas pada tahun 1998. Era tersebut dimulai pada saat era orde baru akhirnya
berhasil diakhiri setelah 30 tahun berkuasa. Pemimpin orde baru, Soeharto dipaksa
untuk meninggalkan posisinya oleh mahasiswa yang menggugatkan perubahan
kontrak sosial kepada MPR, karena negara, pemerintah dalam arti luas, tidak lagi
dapat melaksanakan keinginan hakiki dari warga negaranya, yakni pelaksanaan
negara berdasarkan sistem demokrasi yang telah disepakati. Sistem hukum yang
bagaimanakah yang bisa berjalan dengan baik dalam suatu negara berpaham
demokrasi? Suatu sistem hukum yang berfungsi dengan baik akan menyokong secara
luas pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan politik, yaitu dengan melindungi hak
serta keamanan individu, dapat dilaksanakannya suatu perjanjian, menjamin amannya
hak-hak atas kepemilikan dan dapat dialihkannya hak-hak tersebut, serta menjamin
bahwa suatu proses penetapan kebijakan publik sebisa mungkin dilakukan secara
transparan. Setelah Pemilu tahun 1999, para pemimpin politik Indonesia
mendeklarasikan komitmen untuk menjunjung prinsip rule of law, menegaskan

5
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
pentingnya reformasi hukum dalam meningkatkan pembangunan nasional yang lebih
luas dan proses menuju demokratisasi. Pada saat pendirian Komisi Hukum Nasional
dan inisiasi-inisiasi lain yang ditegaskan pada awal komitmen, pemerintah juga telah
melakukan perkembangan minimal dalam meloloskan legislasi yang penting,
reformasi peradilan dan lembaga-lembaga hukum lain, mengurangi korupsi, atau
mengkoordinasikan upaya-upaya reformasi dari agen-agen kunci.(The Asia
Foundation, Indonesia Legal Reform, Agustus 2000) Era reformasi telah diwarisi oleh
sistem hukum yang telah disalahgunakan oleh otoritas pada era sebelumnya untuk
keuntungan pribadi mereka. Sistem yang terbangun dari sistem hukum yang telah
korup tersebut melahirkan sistem hukum yang tidak tersentuh oleh keadilan. Sistem
hukum korup ini telah menderita pelemahan dalam prinsip-prinsipnya, orientasinya
dan kelembagaannya. Sebelum tersentuh reformasi, sistem injuga mengabaikan hak-
hak asasi manusia dan tidak menghormati prinsip-prinsip seperti persamaan depan
hukum, presumption of innocent bahkan hukum digunakan sebagai alat untuk
memainkan dan melanggengkan kekuasaan. Beberapa perubahan yang kasat mata
dalam era reformasi ini antara lain perubahan konstitusi yang mengakomodasi
perubahan fundamental sistem kenegaraan dan hubungan antar lembaga lembaga.
Kemudian pembentukan lembaga-lembaga penyeimbang prinsip check and balances
seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga independen
yang berfungsi menjadi alat untuk akselerasi reformasi hukum seperti Komisi
pemberantasan Korupsi. Menyikapi arah reformasi hukum, setelah lebih dari satu
dekade digagas, merupakan hal menjadi konsentrasi berbagai pihak. KHN dalam
kajiannya pada tahun 2005 memaparkan bahwa arah reformasi hukum ditandai
dengan Lahirnya komisi-komisi (state auxilaries agencies) yang disebabkan oleh
tingginya ketidakpercayaan public terhadap lembaga-lembaga yang ada, karena
dianggap belum berfungsi secara maksimal khususnya dalam mendukung agenda
reformasi. Kemudian agenda reformasi birokrasi yang digagas dalam Propenas
(Program Pembangunan Nasional), Desentralisasi, penguatan hak-hak publik,
pembangunan hukum dan kebebasan pers dan keterkaitan pembangunan hukum dan
pembangunan ekonomi. (KHN Menuju Paradigma Baru Pembangunan Hukum
Nasional, Februari 2005).The Asia Foundation pada tahun 2000, melakukan
pendekatan dalam membaca bagaimana reformasi hukum seharusnya dilakukan
dengan menjalankan agenda-agenda berikut: 1. Memperkuat lembaga-lembaga

6
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
hukum dan administratif 2. Mempromosikan kesadaran yang lebih luasbagi
masyarakat tentang reformasi hukum 3. Menggerakkan basis pendukung reformasi
hukum, antara lain reformasi konstitusi, pemberdayaan hukum, melawan korupsi
peradilan dan melawan korupsi ditingkat lokal. (Asia Foundation, Indonesia Legal
Reform, Agustus 2000) Sedangkan arah pembangunan hukum versi pemerintah
dijewantahkan dalam Propenas 1999-2004:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan
tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan
reformasi melalui program legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi
manusia (HAM).
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan
hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam
bentuk undang-undang.
5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum,
termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan
sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh
penguasa dan pihak mana pun.
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan
kepentingan nasional.
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka,
serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas
keadilan dan kebenaran.

7
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,
penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan.
10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan
HAM yang belum ditangani secara tuntas.

Dalam program rencana pembangunan jangka menengah 2004-2009 pemerintah


menyusun rencana pembanguan hukum sebagai berikut:
1. Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2. Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum
Lainnya
3. Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
4. Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum

Dari beberapa cara pandang diatas dan melihat agenda reformasi hukum dari
pemerintah dapat dtarik benang merah bahwa agenda penting reformasi hukum
adalah reformasi dalam proses pembentukan hukum (legislasi), reformasi birokrasi
lembaga peradilan, pemberantasan korupsi, penegakkan dan penghormatan HAM
serta pelibatan masyarakat agar partispatif dalam proses reformasi hukum. Setelah
lebih satu dekade patut dan layak untuk dibaca sejauh mana janji-janji pemerintah
dalam melaksanakan agenda-agenda reformasi hukum diatas; sejauh apa upaya-
upaya yang telah dilakukan, bagaimana upaya-upaya itu dilakukan, kesesuaian
dengan agenda-agenda yang telah mereka susun, dan hasil yang telah dicapai. Oleh
karena itu, perlu untuk dilakukan suatu penelitian mendalam menyoal arah reformasi
hukum setelah lebih dari satu dekade digulirkan, menyoal pilihan-pilihan sistem hukum
yang akan dibangun beserta alasan fundamentalnya, agenda-agenda guna
membangun sistem hukum tersebut, sejauhmana perkembangannya, apakah terjadi
penyimpangan dalam proses pembangunannya, bagaimana pendapat masyarakat
sipil dalam melihat proses yang berjalan dan bagaimana perspektif dunia internasional
dalam melihat proses reformasi hukum yang tengah berjalan di Indonesia.

III. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

8
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
Perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar, terjadi setelah bangsa
Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto
berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat
diadakan Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana mestinya.
Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan Tahun
2000 dan Perubahan Ketiga dalam Sidang Tahunan Tahun 2001. Pada Sidang
Tahunan Tahun 2002, disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi
naskah-naskah Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu
dapat disusun kembali secara lebih utuh dalam satu naskah Undang-Undang Dasar
yang mencakupi keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu. Kedua
bentuk perubahan Undang-Undang Dasar seperti tersebut, yaitu penggantian dan
perubahan pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas.
Perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga
dari Undang-Undang Sementara Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 adalah
contoh tindakan penggantian Undang-Undang Dasar. Sedangkan perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan
Keempat adalah contoh perubahan Undang-Undang Dasar melalui naskah Perubahan
yang tersendiri. Di samping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa
dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan dengan cara
memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Cara
terakhir ini, boleh jadi, lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama
menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan
tambahan materi baru tersebut. Berkenaan dengan prosedur perubahan Undang-
Undang Dasar, dianut adanya tiga tradisi yang berbeda antara satu negara dengan
negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah
materi Undang-Undang Dasar dengan langsung memasukkan (insert) materi
perubahan itu ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Dalam kelompok ini dapat
disebut, misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Konstitusi
Perancis, misalnya, terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke
dalam naskah aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu dengan mencantumkan
tambahan ketentuan pada Article 3, Article 4 dan ketentuan baru Article 53-2 naskah
asli Konstitusi Perancis yang biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum

9
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
terakhir diamandemen pada tanggal 8 Juli 1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga
pernah diubah beberapa kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan
presiden secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai
pertanggungjawaban tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1993, dan
diadakannya perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga
naskah Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi perubahan
itu langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi. Kedua, kelompok negara-negara
yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah Undang-Undang
Dasar. Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali diganti dengan
naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949
dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya, negara-negara demikian ini terhitung
sebagai negara yang sistem politiknya belum mapan. Sistem demokrasi yang
dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan masih bersifat ‘trial and error’. Negara-
negara miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan Afrika, banyak yang dapat
dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian ini. Tetapi pada umumnya, tradisi
penggantian naskah konstitusi itu tidaklah dianggap ideal. Praktek penggantian
konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan keterpaksaan. Oleh karena itu, kita
perlu menyebut secara khusus tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat
sebagai model ketiga, yaitu perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari
teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli Undang-Undang Dasar tetap utuh,
tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah
tersendiri yang dijadikan addendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. Dapat
dikatakan, tradisi perubahan demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan
tidak ada salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk
mengikuti prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945 yang telah
berlangsung empat kali berturut- turut, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti
mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu. UUD 1945 telah mengalami empat
kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun
2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002 Dalam
empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan
besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.
Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan

10
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap
dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan Pertama UUD 1945
disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12
sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama
itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai
tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme
di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan
UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan
sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945,
yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal yang
mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau
dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar. Arah perubahan pertama
UUD 1945 ini adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Setelah tembok
romantisme dan sakralisme berhasil dirobohkan, gelombang perubahan atas naskah
UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-
RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000.
Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih
banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI
tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA
tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan
Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya,
maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau
bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali. Perubahan kedua ini
menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara
dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam
hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun
2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9

11
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah
Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara,
Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah,
Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa
Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat.
Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling
luas cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain
secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi
isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan sangat mendasar
pula. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal
tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar
lembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Perubahan
yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998
sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-
RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002. Perubahan Keempat naskah UUD 1945 ini meliputi ketentuan tentang
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan
kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan. Dalam naskah
Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut
diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c)

12
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan
(3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang Dewan
Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke
dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1);
Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33
ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan
Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dengan demikian secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945
mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal
tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir
yang dihapuskan dari naskah UUD. Dari segi kuantitatif saja sudah dapat disimpulkan
bahwa sesungguhnya UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan, sudah
berubah sama sekali menjadi satu konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang
dipertahankan sebagai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan
isinya sudah berubah secara besar-besaran. Seperti dapat diketahui, paradigma
pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal
UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari
pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan
Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa
sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini
dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai
bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD
1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian,
karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama
sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.

13
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
IV. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga, dan
dampaknya bagi kekuasaan kehakiman
Semangat reformasi setelah masa orde baru, membuat bangsa Indonesia ingin
melakukan banyak perubahan mendasar. Khususnya dalam bidang ketatanegaraan,
sehingga dilakukan amandemen undang-undang dasar 1945. Amandemen terhadap
undang-undang dasar telah dilakukan sebanyak empat kali. Sejak perubahan ketiga
Undang-Undang Dasar 1945 pada 9 November 2001, penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman di Indonesia mengalami banyak perubahan, yang antara lain melakukan
perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Yang sebelumnya terdiri
dari dua pasal (Pasal 24 dan Pasal 25), menjadi lima pasal yaitu, Pasal 24, Pasal 24A,
Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Dalam perubahan ini telah dimasukkan
ketentuan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula hanya tercantum
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 mengenai badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ke dalam Pasal
24, sehingga mengatur ketentuan sebagai berikut:
a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan
Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
c. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
Pasca amandemen ketiga undang-undang dasar 1945 terbentuklah Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga tinggi Negara. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa
jaminan konstitusional atas prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman semakin kuat,
demikian pula eksistensi badan-badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah
Agung sebagai “single top authority”33 dalam kekuasaan kehakiman, karena
kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang diatur
dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945.

1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia


14
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
Ide pembentukan mahkamah konstitusi diawali oleh pembaharuan pemikiran dalam
bidang ketatanegaraan pada abad 20. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
Negara yang berasal dari sistem hukum eropa kontinental. Indonesia sebagai sebuah
Negara hukum (Rechstaat) banyak dipengaruhi pemikiran ketatanegaraan di Eropa
terutama Negara dengan sistem hukum Eropa Continental yang menganut supremasi
konstitusi. Pada Negara yang menganut Eropa Continental Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak
konstitusional warga negara. Dimana, pemikiran mengenai pembentukan mahkamah
konstitusi di Indonesia muncul sejak lama. Pembentukan Mahkamah Konstitusi
terwujud ketika akan dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap
tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan
negara. Menurut Afiuka Hadjar34 , ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi
pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu Pertama, Paham Konstitusionalisme.
Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan
kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara
hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol
terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara
menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatas oleh
konstitusi. Kedua, Sebagai Mekanisme Check and Balances. Sebuah sistem
pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances
dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya
saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-
tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak
terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada.35Dengan mendasarkan pada
prinsip negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol
judicial. Ketiga, Penyelenggaraan Negara yang Bersih. Sistem pemerintahan yang
baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan
partisipatif. Keempat, Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Kekuasaan yang
tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan
negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM. Selain itu
berdirinya lembaga konstitusi merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam
ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan

15
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan
melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif.
Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan disamping
Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya (Pasal 24 ayat (1) dan (2) Perubahan
Ketiga). Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi terkenal disebut the
guardian of the constitution. Produk legislatif seburuk apapun sebelumnya tetap
berlaku tanpa sama sekali terdapat lembaga yang bisa mengoreksi kecuali kesadaran
pembentuknya sendiri yang merevisi atau mencabutnya. Pemikiran sebelumnya
hanya MPR yang berhak menguji Undang-Undang disebabkan berlaku supremasi
parlemen. Problemnya sebagaimana praktik ketatanegaraan MPR tidak pernah
melaksanakannya, walaupun Undang-Undang jelas-jelas dan terang benderang
melawan konstitusi. Dalam konstitusi yang pernah berlaku selama ini menempatkan
Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat sebagaimana dalam Konstitusi RIS 1949
hanya Undang-Undang negara bagian yang dapat diuji (Pasal 156). Begitu juga
berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pembentuk Undang-Undang
adalah pelaksana kedaulatan rakyat yakni pemerintah dan DPR. Seiring dengan
momentum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia diterima sebagai mekanisme untuk
mengontrol konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain
itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi juga didorong oleh alasan sebagai berikut
1. Sebagai Konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan
negara demokrasi yang berdasarkan hokum. Kenyataan menunjukkan bahwa
suatu keputusan yang yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang berlaku sebagai hokum
tertiggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji
konstitusionalitas undang-undang;
2. Pasca perubahan kedua dan ketiga, Undang-Undang Dasar telah mengubah
hubungan kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sistem
pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip check and
balances. Bertambahnya jumlah lembaga negara serta bertambahnya
ketentuan kelembagaan negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah

16
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi
konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang
kekuasaan tertinggi yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.
3. Adanya impeachment terhadap Presiden oleh MPR pada Sidang Istimewa
MPR tahun 2001, yang mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari
mekanisme yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden agar tidak semata-mata berdasarkan alasan politis semata
dan oleh lembaga politik saja Hal ini sebagai konsekuensi upaya pemurnian
sistem Presidensial. Untuk itu perlu disepakati adanya lembaga hukum yang
berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian
undang-undang diberbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak,
terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah
Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001. Hasil Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang
diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-
Undang Dasar 1945. Dan dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam undang-undang tersebut, terdapat ketentuan
bahwa Hakim Konstitusi berjumlah 9 (sembilan) orang hakim, dimana 3 (tiga) orang
hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, 3 (tiga) orang diajukan oleh Mahkamah
Agung, dan 3 (tiga) orang hakim konstitusi diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), hal ini disebabkan karena sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersinggungan langsung dengan kepentingan
ketiga unsur lembaga tersebut. Dan kemudian ditetapkan dengan Keputusan
Presiden (Kepres) guna mengawal konstitusi dan menafsirkan konstitusi (the
guardian of constitution and the interpreter of constitution). Meskipun ditetapkan
sebagai lembaga peradilan yang terpisah dengan Mahkamah Agung (MA),
pembentukan lembaga ini memerlukan waktu. Oleh karena itu diperlukan adanya
lembaga yang menjalankan fungsinya sebelum pembentukannya. Setelah terbentuk,
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal sekaligus penafsir undang-
undang dasar merupakan sebuah lembaga Negara yang sifatnya masih baru di

17
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
dalam kehidupan ketatanegaraan di dunia modern. Bersama Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah konstitusi diharapkan dapat
menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak yang berharap bahwa
pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak konstitusioanal
warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar warganegara selalu
diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa itu sering menjadi
korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak masyarakat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk
mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur dalam konstitusi,
dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.

2. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi


Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan yang dilakukan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dimana gagasan utama yang melandasi
perubahan ini adalah keinginan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum
(rule of law, rechstaat) dan negara demokrasi yang berlandaskan konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 jo.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun2004 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah :
1. Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman;
2. Merupakan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka
3. Sebagai penegak hukum dan keadilan.
Untuk menjamin bahwa gagasan utama atau dasar pembentukan Mahkamah
Konstitusi ini benar-benar dilaksanakan dalam prakteknya, maka Mahkamah
Konstitusi diberi tugas, yang tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu menangani perkara
ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi
(UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini sekaligus
menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, yang juga merupakan

18
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang timbul
oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Dalam melaksanakan tugas sebagai pengawal
dan penafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menangani
perkara-perkara ketatanegaraan seperti yang tercantum dalam pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) jo. Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. memutus pembubaran partai politik; dan
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang terhadap


Undang-Undang Dasar sering disebut dengan judicial review. Namun, sebenarnya
kewenangan ini disebut sebagai constitutional review, atau pengujian
konstitusional39, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam sistem constitutional review, tercakup dua tugas pokok, yaitu :
1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau
“interplay” antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Constitutional Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan
dan/atau penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.
2. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan
kekuasaaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka
yang dijamin dalam konstitusi.

19
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
Dalam melakukan pengujian terhadap sebuah undang-undang, apabila Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan untuk menguji konstitusionalitas undang-
undang tersebut beralasan, maka amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan pemohon dikabulkan (berdasarkan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003). Sedangkan apabila tdak beralasan maka amar putusannya
menyatakan permohonan tidak dapat diterima (Pasal 56 ayat (1)). Terhadap
permohonan yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan untuk
kemudian memutuskan bertentangan atau tidaknya suatu suatu undang-undang, baik
karena pembentukan undang-undang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan
Undang-Undang Dasar baik mengenai materi ayat, pasal, dan/atau bagian suatu
undang-undang41. Hal ini mempunyai relevansi terhadap keberlakuan suatu materi
undang-undang atau suatu undang-undang dengan implikasi yaitu kekuatan hukum
sebagai substansi atau seluruh materi undang-undang . Berdasarkan kewenangannya
ini, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa materi rumusan suatu undang-
undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar. Begitupula terhadap suatu undang-undang secara keseluruhan,
Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Melalui Penafsiran atau interpretasi terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang
secara positif mengkoreksi undang-undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bersama-sama 41 Pasal 51 jo. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 42 Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 dengan Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan
hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian,
undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif, diimbangi oleh adanya
pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial, yaitu Mahkamah Konstitusi

V. Penutup
Cita-cita reformasi untuk mewujudkan sebuah paradigma baru dalam tatanan
kehidupan bangsa yang mengabdi untuk kepentingan rakyat, khususnya aspek
hukum, akan terus bergulir. Sentuhannya menyemburkan kebijakan-kebijakan baru
untuk mewujudkan adagium bahwa hukum dan aparat penegak hukum harus
mengabdi untuk kepentingan rakyat, bukan merupakan alat kepentingan subjektifitas

20
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A
penguasa dalam mempertahankan status quo. Konsekuensinya berbagai peraturan
perundang-undangan yang terindikasi subjektif dan tidak menampung cita-cita
reformasi akan terus dikritik dan diubah. Undang-Undang Dasar 1945 yang pada
awalnya dianggap tabu untuk dipertanyakan apalagi untuk diutak atik, tidak luput dari
perubahan (amandemen). Di antara perubahan yang cukup signifikan dalam
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 adalah pemberian kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang
dan berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya yang nota bene
merupakan produk politik. Sebagai produk politik, peraturan perundang-undangan
tidak luput dari adanya kepentingan dan tarik menarik subjektif kelompok dan
perorangan. Karenanya, bila ada yang merasa dirugikan, maka objektifitas produk
tersebut harus diuji oleh institusi non politik yakni institusi yudikatif, dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Adanya penyerahan kewenangan
tersebut secara expressis verbis dituangkan dalam Perubahan Ketiga Undang-
Undang Dasar 1945. Atas dasar reformasi aspek hukum dan kekuasaan kehakiman
dalam konstitusi, untuk sementara sudah dapat merespon tuntutan masyarakat dalam
upaya mewujudkan badan peradilan yang bermartabat dan dihormati. Sekaligus telah
mereposisi peradilan sebagai lembaga yudikatif yang harus diletakkan pada posisi
yang semestinya sesuai dengan ajaran dan semangat trias politica. Tinggal lagi
bagaimana penerapannya oleh hakim dalam tataran praktis sehingga mampu
membuktikan bahwa pengadilan merupakan pilar utama (soko guru) Negara Republik
Indonesia yang berlandaskan hukum (recht staats), bukan negara yang berlandaskan
kekuasaan belaka (macht staats), (MPR-RI : 13). Meskipun perwujudan cita-cita
reformasi pada aspek hukum ini terasa berat, penuh tantangan serta jalan berliku,
namun atas dasar komitmen seluruh aparat peradilan, tugas dan cita-cita mulia
tersebut tidak mustahil dapat terlaksana dan menjadi kenyataan. Semoga !.

21
TUGAS KEKUASAAN YUDISIIL |OLEH: RICHARD A.B.K/2070206/KELAS: A

You might also like