You are on page 1of 9

IBADAH / AKHLAK

TEORI DAN PRAKTEK PENGELOLAAN


ZAKAT DI INDONESIA

Nama : Adhi Permana Putra K.

No. Mhs : 10522024

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2011
TEORI DAN PRAKTEK PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA

Institusionalisasi zakat oleh Negara Republik Indonesia antara lain mengemuka dari pidato
Presiden Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj 26 Oktober 1968. Pada kesempatan tersebut ia
mengemukakan bahwa dirinya sebagai warga negara akan mengambil bagian dalam proses
nasional pengumpulan zakat dan menyerahkan laporan tahunan terhadap pengumpul dan
pendistribusinya. Pasca pidato, lalu Presiden menginstruksikan kepada tiga pejabat tinggi
negara untuk menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pengumpulan zakat secara
nasional. Arskal Salim menyebutkan bahwa langkah tersebut sebetulnya aneh karena
sejatinya telah ada Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun 1968 tentang zakat.
Sebelum lahirnya PMA No. 4 tahun 1968 tentang zakat dan UU No. 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, pada abad ke-19 di Banten zakat fitrah sebagian besar dibayarkan
masyarakat kepada guru agama, atau pengajar Al Qur`an di desa. Di Jawa Timur, zakat maal
dibayarkan dan dikelola kyai dan ulama lainnya. Sementara itu zakat fitrah dibayarkan
kepada pejabat urusan keagamaan di tingkat desa seperti khatib dan petugas masjid lainnya.
Pada tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda (Nederland Indies) mengeluarkan regulasi untuk
menghindari penyalahgunaan zakat dengan menunjuk petugas keagamaan seperti naib dan
penghulu sebagai pengelola zakat. Lalu pada tahun 1905 pemerintah tersebut mengeluarkan
regulasi lain (Bijblaad 6200) yang secara khusus melarang petugas pribumi (priyayi dan
setingkatnya) untuk mengintervensi pengelolaan zakat. Kebijakan pemerintah Belanda itu
adalah suatu upaya untuk membuat perbedaan yang nyata antara urusan negara dan urusan
masyarakat muslim dalam masalah keagamaan. Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah
penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), suatu
federasi partai politik dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II.
Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada
tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang
pada akhir tahun 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan dibentuklah Kementerian
Agama. Pada 8 Desember 1951, kementerian ini mengeluarkan edaran bahwa kementerian ini
tidak berkehendak untuk mencampuri urusan pengumpulan dan pendistribusian
zakat . Misinya hanyalah mendorong orang untuk membayar zakat dan mengawasi supaya
distribusi zakat terselenggara sebagaimana mestinya.
Sementara di Indonesia masalah pengelolaan zakat sampai sekarang belum tuntas. Padahal
Indonesia telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat. Sebagian pihak
menduga, justru UU inilah yang menghambat perkembangan zakat. Alih-alih terkoordinasi,
setiap lembaga baik Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Amil Zakat (Baz) provinsi,
kabupaten dan kota serta Lembaga Amil Zakat (LAZ), seluruhnya memainkan peran dan
fungsi serupa. Usulan bertahun-tahun tentang pembagian peran fungsi dan tugas tak tergubris
sama sekali. Belum tuntas permasalahan yang ditimbulkan oleh UU No. 38 tahun 1999, kini
telah lahir rancangan amandemen UU No. 38 tahun 1999, di mana dalam draft rancangan
pemerintah disebutkan bahwa pengelolaan zakat, infak dan sedekah sepenuhnya dikelola oleh
negara (sentralisasi) melalui Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan
pemerintahan. Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi
hanya sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan
Amil Zakat milik pemerintah. Adanya rencana sentralisasi pengelolaan zakat ini akhirnya
memunculkan pertanyaan, sejauh manakah Negara Indonesia berhak melakukan intervensi
dalam urusan keagamaan masyarakat seperti zakat ini? Guna menjawab pertanyaan ini akan
ditelusuri jati diri Negara Indonesia dalam perspektif negara kesejahteraan dan perbandingan
dengan praktek-praktek pengelolaan zakat di negara tetangga.

PENGELOLAAN ZAKAT DALAM TRADISI ISLAM

Zakat adalah instrumen ilahiah yang diwajibkan kepada kaum muslim. Allah SWT berfirman
dalam Surat At-taubah ayat 103 ”Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna
membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya
do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan yang berhak
menerima zakat yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang,
orang-orang dalam perjalanan, dan para pejuang di jalan Allah (Ibnu Sabil).

Para fuqaha berbeda pendapat dalam pembagian zakat terhadap delapan golongan tersebut.
Imam Al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa jika yang membagikan zakat itu
kepala negara atau wakilnya, gugurlah bagian amilin dan bagian itu hendaklah diserahkan
kepada tujuh golongan lainnya jika mereka itu ada semua. Jika golongan tersebut tidak
lengkap, zakat diberikan kepada golongan-golongan yang ada saja. Tidak boleh
meninggalkan salah satu golongan yang ada. Jika ada golongan yang tertinggal, bagiannya
wajib diganti. Memang, apabila kepala pemerintahan menghimpun semua zakat dari
penduduk suatu negeri dan golongan yang delapan lengkap ada, setiap golongan berhak
menuntut hak masing-masing sebagaimana telah ditetapkan Allah, tetapi tidaklah wajib bagi
kepala negara membagi sama rata di antara mereka, sebagaimana tidak wajib zakat itu sampai
kepada mereka semua. Ia bahkan dapat memberikan kepada sebagian golongan lebih banyak
dari yang lain. Boleh juga memberi kepada yang satu, tetapi tidak kepada yang lainnya jika
menurut pertimbangannya hal itu sesuai dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Siapa yang bertugas membagikan zakat? Biasanya Rasulullah SAW mengirimkan petugas-
petugasnya untuk mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para mustahik.
Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab juga melakukan hal yang sama, tidak ada bedanya
antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi. Tatkala datang masa pemerintahan
Utsman ibn Affan, awalnya ia masih menempuh cara tersebut. Akan tetapi, waktu dilihatnya
banyak harta yang tersembunyi, sedangkan untuk mengumpulkannya itu sulit dan untuk
menyelidikinya, menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkan
kepada para pemilik harta itu sendiri.

Para fuqaha telah sepakat bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-
pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi. Seandainya
para pemilik sendiri yang membagi-bagikan zakat itu (zakat harta mereka yang tersembunyi)
apakah itu lebih utama? Ataukah lebih baik mereka serahkan kepada kepala negara atau
imam (petugas) yang akan membagi-bagikannya? Menurut Imam Al-Syafi’i, lebih baik
diserahkan kepada imam jika imam itu ternyata adil. Menurut Imam Hanbali, lebih utama
jika dibagi-bagikan sendiri, tetapi jika diserahkan kepada negara, tidak ada halangannya.
Adapun mengenai harta yang jelas, menurut Malik dan  Imam Hanafi, imam dari kaum
muslimin dan para pembesarlah (pemerintah) yang berhak menagih dan memungut zakat.
Pendapat golongan Syafi’i serta pengikut-pengikut Hanbali tentang harta-harta yang jelas ini
sama dengan pendapat mereka terhadap harta-harta yang tersembunyi.
Maka, jelaslah bahwa zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para
ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang
mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang
mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan
kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaafkan disebabkan karena
kejahilannya akan hukum.

Adapun mereka yang tidak mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya,
maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tetapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam
dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa beserta
setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Jika suatu kaum menolak untuk
mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki
kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi
hingga mereka mengeluarkannya.
Ismail Luthfi Japakiya menyebutkan bahwa zakat adalah salah satu landasan utama dalam
terciptanya kedamaian dan keamanan, utamanya keamanan dari kemiskinan dan penyakit.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa ”..Islam considers the entire community responsible for
the food security of all its individuals…one of the categories to whom the revenue of zakah
has to be distributed consists of the mu`allafah qulubuhum who include non-Muslims  
Pemikiran mutakhir terkait peran zakat dalam negara modern dikemukakan oleh Aidit
Ghazali. Ia mengemukakan bahwa dalam negara Islam modern ada empat sumber pendapatan
negara antara lain adalah :

1. dana dari baitul maal;

2. pendapatan dari sumber daya alam masyarakat;

3. pajak; dan

4. pinjaman.

Dana dari baitul maal berasal dari sumber kekayaan khusus (special wealth) yaitu zakat, dan
sumber kekayaan umum yaitu fa’i, ushr, pajak, ghanimah, dan lain-lain sumber yang tidak
dimiliki oleh individu dan diserahkan kepada baitul maal.

PERAN NEGARA INDONESIA DALAM PENGELOLAAN ZAKAT

Bagaimana dengan Indonesia? Erie Sudewo memandang bahwa masih ada sebagian
penduduk Indonesia yang tidak meyakini zakat itu wajib. Bagi mereka zakat harus didasarkan
pada keikhlasan. Tidak ikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoksal di Indonesia. Fakir
miskinnya banyak. Sementara sebagian muzakki tak yakin bahwa zakat itu wajib. Padahal
zakat bukan hanya wajib, namun telah ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Zakat tak
bisa dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Fikih zakat tak boleh dibiarkan
mengambang. Tak bisa zakat tergantung pada kebaikan hati dan moral muzakki. Sudah
saatnya fiqih zakat, statusnya dari fikih individu diangkat menjadi fikih kemasyarakatan
(ekonomi politik dan sosial). Dengan fikih kemasyarakatan, dana zakat akan terhimpun besar.
Cara lain agar zakat terhimpun besar adalah dengan menerapkan zakat mengurangi pajak. Ini
kebijakan yang hanya negara yang dapat melakukan. Sementara masyarakat melalui berbagai
ormas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sekedar mengadvokasi. Ada manfaat lain
dengan kebijakan zakat mengurangi pajak. Yakni status fikih individu zakat, dengan segera
terdongkrak jadi fiqih kemasyarakatan. Dalam penghimpunan zakat, ada perbedaan metode
yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di negeri-
negeri jiran ini, penghimpunan cenderung terkoordinasi dan terarah. Tampak sekali
pertumbuhannya dari masa ke masa. Singapura dan Brunei Darussalam tampaknya punya
model serupa, sama-sama terkoordinasi di bawah majelis agama Islam. Sedang Malaysia
punya dua corak berbeda. Ada yang menggunakan PPZ khusus untuk menghimpun zakat saja
dan ada juga yang menggunakan BM (Baitul Maal) guna menghimpun sekaligus
mendayagunakan. Sebaliknya, di Indonesia peran negara dalam pengelolaan zakat cenderung
bersifat tarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaan zakat. Kebijakan kesejahteraan sosial
secara umum juga bersifat demikian. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan dua departemen yaitu Departemen Sosial (Depsos)
dan Departemen Penerangan (Deppen). Guru Besar FISIP UI, Alwi Dahlan , menyebutkan
bahwa untuk pertama kali sepanjang sejarah Republik Indonesia, dua dari 12 departemen
yang sejak awal tercantum dalam Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak lagi
terdapat dalam struktur pemerintahan. Pembubaran departemen itu menimbulkan berbagai
reaksi pro dan kontra. Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudah tidak sesuai dengan
semangat perkembangan zaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidak efisien, dan hanya
memperberat beban anggaran negara. Pengendalian dan pembinaan oleh Deppen
(Departemen Penerangan) seperti selama ini, misalnya, bukan saja tidak lagi diperlukan,
tetapi sudah bertentangan dengan kemerdekaan pers. Suatu masyarakat yang demokratis,
seperti terlihat di negara maju, tidak memerlukan departemen semacam itu. Masyarakat harus
diberdayakan  agar mampu mengembangkan pendapat dan mencari informasinya sendiri,
tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nada yang sama Depsos dikatakan tidak efektif, tidak
mendidik masyarakat agar mandiri, dan dianggap hanya membagi santunan atau mengurus
izin undian). Terkait dengan pembubaran Departemen Sosial (Depsos), Holil Sulaiman
berpendapat bahwa masalah sosial tidak bisa diserahkan begitu saja pada masyarakat. Harus
ada lembaga negara yang ikut menanganinya, seperti yang diamanatkan pasal 34 UUD 1945.
Sementara itu Suminto berpendapat  pembubaran Depsos itu sama saja dengan pelecehan
profesi pekerja sosial. Sudah selayaknya pemerintah memikirkan suatu lembaga yang bersifat
operasional untuk menggantikan Depsos. Berdasarkan paradigma kesejahteraan sosial,
langkah pembubaran Departemen Sosial oleh pemerintahan Gus Dur menyiratkan bahwa ia
memilih paradigma kesejahteraan sosial residual. Negara berperan secara minimalis. Negara
berperan dalam kesejahteraan sosial masyarakat hanya ketika institusi-institusi lain seperti
keluarga dan pasar (market system) mengalami kegagalan. Namun apakah negara Indonesia
memang  pantas menganut paradigma kesejahteraan sosial residual ?
Sejatinya, sejak awal pendirian Negara RI, tak jelas memilih pendekatan kesejahteraan sosial
yang mana. Maka, sulit juga untuk menyebut Negara RI sebagai negara kesejahteraan
(welfare state).Akan halnya pada Undang-Undang Dasar 1945 amandemen 4 menyebutkan
bahwa :

Pasal 23 (A):

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.

Pasal.34

1. Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.

2. Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan


memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.

3. Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas


pelayanan umum yang layak.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pasal 23 A amandemen 4 UUD 45, zakat dapat diatur dengan Undang-Undang
sejauh bersifat memaksa untuk keperluan negara. Masalahnya adalah apakah zakat termasuk
kategori ‘pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara?`, hal ini tentu akan
menimbulkan debat berkepanjangan. Karena sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60, zakat
dibagikan kepada delapan golongan (asnaf). Apakah negara termasuk delapan golongan, atau
memiliki peran sebagai amil yang berwenang mengumpulkan dan membagikan zakat kepada
delapan golongan? Kemudian, terkait dengan Pasal 34 amandemen 4 UUD 45 disebutkan
pada ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan. Pasalnya, terkait dengan zakat, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 tak menyebutkan zakat sebagai salah satu komponen
jaminan sosial. Undang-Undang ini hanya mengatur seputar jaminan sosial yang terkait
dengan asuransi sosial seperti jaminan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun dan jaminan terhadap kematian. Sebaliknya, apabila zakat dianggap
sebagai instrumen agama yang merupakan bagian dari ibadah dari umat Islam, berlaku pasal-
pasal sebagai berikut :  
Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Pasal.29

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya


masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu

Maka, berdasarkan kedua pasal tersebut, pengumpulan dan penyaluran zakat harus
dikembalikan kepada setiap orang dan setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan
pengumpulan dan penyaluran zakat atas dasar keyakinan ibadahnya.
Hal ini yang antara lain mendasari UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di mana
pemerintah mengelola zakat melalui Badan Amil Zakat (Pasal 6), namun juga membuka
ruang bagi masyarakat untuk turut mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (pasal 7).
Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building : Governance and World Order in
the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang
memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya
memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial
dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Artinya Fukuyama mengatakan bahwa
negara harus diperkuat. Kesejahteraan menurut Fukuyama tidak mungkin tercapai tanpa
hadirnya negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula
sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan
kesejahteraan warganya. Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam
konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi yang paling absah yang memiliki
kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan
pelayanan sosial dasar bagi warganya. Benar negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat
menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga
kemanusiaan internasional memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial.
Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak
dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Oleh
karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat
tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Bahkan di
Indonesia komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan
bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas. Terkait
dengan peran negara dalam pengelolaan zakat, Muhammad Hashim Kamali menyebutkan
bahwa :  Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur`an
and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is
prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance.
Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of
the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities,
are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is
committed to this purpose. Pendapat Francis Fukuyuma (sebagaimana dikutip oleh Edi
Suharto) dan juga Muhammad Hashim Kamali, menyiratkan bahwa peran negara dalam
kesejahteraan sosial, termasuk dalam pengelolaan zakat memang harus dominan. Hal ini
ditunjang pula oleh kenyataan sejarah dari Sirah Nabawiyah dan kepemimpinan para khalifah
yang memang mengelola langsung zakat dari masyarakat. Permasalahan kemudian adalah,
Indonesia bukanlah negara Islam kendati penduduknya mayoritas muslim yang bahkan
berjumlah terbesar di dunia. Dasar negara Indonesia juga bukanlah Islam kendati
pemerintahannya mayoritas dipimpin oleh umat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakah
hukumnya wajib menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada penguasa / negara?
Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan  bahwa ketika pemerintahannya adalah pemerintahan
Islam dan pemimpin-pemimpinnya adalah pemimpin muslim yang amanah maka pengelolaan
zakat sepenuhnya berada di tangan negara. Namun ketika pemerintahannya bukan
pemerintahan Islam kendati pemimpin-pemimpinnya muslim maka ketentuan tersebut tidak
berlaku secara otomatis.

Berdasarkan uraian di atas, secara legal dan konstitusional negara Indonesia tidak memiliki
kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat. Konstitusi UUD 1945 dan berbagai
macam perundang-undangan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa negara adalah satu-
satunya penyelenggara zakat. Secara praktek kesejahteraan sosial yang dilakukan Negara RI
selama ini, tidak juga menunjukkan bahwa Negara RI adalah negara kesejahteraan (welfare
state) yang telah melaksanakannya kewajibannya secara penuh untuk memenuhi kebutuhan
dasar rakyatnya apakah dengan pendekatan institusional ataupun developmental.
Yang terjadi selama ini adalah ketidakjelasan dan tarik ulur kebijakan dan implementasi
kesejahteraan sosial. Maka, ketika ada upaya amandemen UU No. 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yang meletakkan negara sebagai satu-satunya institusi yang berwenang
mengelola zakat, maka sungguh tidak jelas apa pijakan filosofis, yuridis, maupun
sosiologisnya.

You might also like