You are on page 1of 93

RINGKASAN

1. SASARAN STUDI RENCANA INDUK

(1). Klarifikasi masalah-masalah dan kendala pada pengembangan, konservasi dan


pengelolaan sumber daya air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae-Cenranae.

(2). Memperbaharui dan mengkonfirmasi kembali Rencana Tata Ruang Kabupaten yang
sesuai untuk daerah aliran sungai,

(3). Merumuskan rencana alternatip dalam pengembangan dan pengelolaan terpadu


sumber-sumber didalam daerah aliran sungai. Target rencana kebutuhan pekerjaan
dalam jangka waktu Mendesak (dalam jangka waktu 2 tahun), Jangka Pendek
(dalam jangka waktu 5 tahun), Jangka Menengah (jangka waktu 5 – 10 tahun) dan
Jangka Panjang (jangka waktu 10-25 tahun).

(4). Mungusulkan Rencana Tindak yang mewujudkan efisiensi dan keberlanjutan


system pengelolaan sumberdaya-sumberdaya didalam daerah aliran sungai melalui
kegiatan konsultasi umum.

(5). Munyusun pedoman O&P untuk infrastruktur termasuk danau dan bendung gerak
Tempe yang diusulkan.

(6). Mungusulkan suatu organisasi yang bertanggung jawab dalam pengembangan,


pemanfaatan, konservasi dan pengelolaan sumberdaya di DAS berdasarkan prinsip
kerjasama antara seluruh kabupaten yang terlibat (6 kab.), kewenangannya di dalam
DAS maupun ditingkat propinsi.

(7). Menyusun system informasi sumberdaya air (database SDA, GIS) untuk menunjang
efektivitas pemantauan dan pengelolaan sumberdaya di dalam DAS.

(8). Menyusun materi pelatihan tentang perencanaan dan pengelolaan sumber daya air
untuk staf Balai PSDA Kabupaten dan Provinsi.

Pendekatan umum yang diterapkan pada Studi ini adalah seperti yang disebutkan di dalam
TOR, termasuk diantaranya:

• Konsultasi dengan masyarakat untuk mendapatkan kesepakatan

• Melibatkan stakeholder pada kegiatan-kegiatan di dalam DAS.

• Mengikutsertakan masyarakat dalam segala aspek.

• Pendekatan lintas sektoral

S-1
2. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN NASIONAL

2.1 Kebijakan Pembangunan Nasional

Program Pembangunan Nasional 5 tahunan terakhir, atau PROPENAS untuk tahun


2000-2004 menetapkan 5 prioritas utama pembangunan nasional, seperti tercantum di
bawah ini:

(1) Membangun sistem politik yang demokratis dan memelihara persatuan dan
kesatuan nasional,

(2) Mewjudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih,

(3) Percepatan pemulihan ekonomi dengan penguatan berkelanjutan dari dasar-dasar


pembangunan dan kelembagaan yang cocok dengan sistem sosial ekonomi,

(4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat beserta aspek-aspek kualitas kehidupan,


keagamaan dan kekuatan kebudayaan, dan

(5) Percepatan pembangunan daerah.

PROPENAS juga menguraikan dasar-dasar pembangunan ekonomi dari tahun 2000 sampai
2004, yang telah diterbitkan pada akhir tahun 2000. Di dalam PROPENAS, pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama tahun 2000 sampai 2004 ditargetkan 6-7%. Target Angka
Pertumbuhan Pendapatan Kotor per sektor di Indonesia ditunjukkan tabel di bawah ini:

Angka Pertumbuhan Pendapatan Kotor Sektor Ekonomi dalam PROPENAS

Tahun
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sektor Ekonomi
Pertanian 2.1% 1.4% 2.5% 2.5% 2.7% 2.9%
Industri 2.6% 4.8% 6.4% 7.3% 8.4% 9.2%
Jasa-Jasa -1.2% 5.3% 5.5% 6.0% 6.2% 6.4%

Sumber: Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004

Untuk sektor sumber daya air, arahan kebijakan utama seperti tertera di PROPENAS
adalah:
• Penyusunan ulang tanggung jawab dari Pemerintah Pusat, Provinsi, Swasta dan
masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.
• Pengembangan kebijakan sumber daya air nasional dan penyelesaian penetapan
hukum untuk pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.
• Penyusunan lembaga kerja sama baik di tingkat Kabupaten maupun Nasional pada
sektor sumber daya air.
• Mempersiapkan dan memfasilitasi penyusunan Badan Pengelola DAS terpadu.
• Melaksanakan konservasi air permukaan dan air tanah secara terpadu.
• Pengendalian polusi air melalui penegakan hukum terutama di daerah tangkapan air.

S-2
• Membangun dan merehabilitasi fasilitas-fasilitas untuk pengendalian banjir, erosi
pantai dan perbaikan alur sungai.
• Peningkatan stabilitas atau perbaikan bendungan, danau, embung dan bangunan
penampungan air lainnya.
• Pembiayaan pengelolaan sumber daya air dengan peran serta dari masyarakat
pengguna air, termasuk pengumpulan dan penggunaan uang iuran yang efektif.
• Peningkatan efektifitas dan efisiensi jaringan irigasi untuk meningkatkan pendapatan
petani.
• Pembangunan jaringan irigasi baru di daerah sawah tadah hujan.
• Perbaikan dan pengembangan infrastruktur penyediaan air bersih dan pengendali
polusi air.

2.2 Otonomi Daerah

Peraturan No. 22, yang telah diundangkan tahun 1999 untuk memberikan kewenangan
dan tanggung jawab yang lebih luas kepada pemerintah daerah, telah membawa
perubahan yang dinamis yang dikenal dengan Otonomi Daerah pada Pemerintah
Indonesia. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000, seperti
tertulis pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tujuan dari otonomi daerah
adalah untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat dan meningkatkan rasa
keadilan, hak, demokrasi dan rasa hormat terhadap budaya daerah.

Berdasarkan pada kebijakan otonomi daerah, pemerintah kabupaten atau kota mempunyai
kekuasaan yang lebih besar untuk berperan dalam pemerintahan daerah. Peranan
pemerintah provinsi dibatasi pada permasalahan antar kabupaten atau antar kota, seperti
masalah keamanan, pemanfaatan air dan pengendalian terhadap polusi lingkungan.

Sementara otonomi daerah masih dalam tahap transisi dan masih butuh waktu untuk
stabilitasnya, beberapa masalah umum yang muncul seperti kurangnya sumber daya
manusia, kurangnya perencanaan dan ketidakmampuan dalam pelaksanaan, kesulitan
dalam memadukan masalah-masalah yang sifatnya lintas kabupaten dan kurangnya dana.

2.3 Kebijakan Pembangunan Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan

Ada 3 jenis rencana pembangunan wilayah di tingkat provinsi: GBHD (Garis-Garis Besar
Haluan Daerah- Rencana Umum Lima Tahunan), PROPEDA (Program Pembangunan
Sosial Ekonomi Lima Tahunan) dan REPETADA (Rencana Pembangunan Tahunan
Daerah - Program Pelaksanaan Tahunan).

Sebagai hasil dari kebijakan otonomi, peranan pemerintah provinsi pada dasarnya terbatas
hanya pada koordinasi masalah lintas kabupaten atau kota. Ini berarti bahwa pemerintah

S-3
provinsi tidak lagi menjadi pelaksana program pembangunan wilayah lagi tapi hanya
sebagai koordinator masalah antar kabupaten.

PROPEDA yang ada (2001-2005) hanya menguraikan garis besar bagi


kabupaten-kabupaten untuk merumuskan rencana pembangunan wilayah. Garis besar
pembangunan yang berkaitan erat dengan Studi adalah sebagai berikut:

(1) Pengembangan Sumber Daya Alam: aspek-aspek pembangunan wilayah seperti


ekonomi, sosial dan kebudayaan harus mendapat perhatian sebagai aspek-aspek
yang terpadu dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam dan lingkungan.

(2) Pembangunan Perdesaan: Pembangunan Perdesaan harus dipercepat untuk


mendorong masyarakat perdesaan mengambil peranan yang lebih besar, dan untuk
memberikan rangsangan supaya ikut serta dalam pembangunan perdesaan melalui
peningkatan kemampuan kelembagaan perdesaan.

Pengertian dasarnya adalah, peranan utama dari pemerintah provinsi dijabarkan dari
Peraturan Pemerintah No. 25, seperti dikutip di bawah ini:

Kewenangan dari pemerintah provinsi adalah menyusun koordinasi antar kabupaten/kota


dan item berikut ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan 9 dari Peraturan No. 2:

• Perencanaan dan pengendalian pengembangan wilayah secara makro;

• Pelatihan pegawai pemerintahan untuk tujuan-tujuan khusus;

• Alokasi sumber daya manusia untuk administrasi;

• Riset yang melibatkan seluruh provinsi;

• Pengelolaan pelabuhan-pelabuhan provinsi;

• Pengendalian Lingkungan;

• Peningkatan kegiatan perdagangan, kebudayaan dan kepariwisataan;

• Pengendalian penyebaran penyakit dan hama; dan

• Perumusan rencana pengelolaan wilayah untuk seluruh provinsi.

Pemerintah provinsi dapat menjalankan atau melaksanakan sesuatu kewenangan yang


tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada pelaksanaan ini yang
utama dibutuhkan adalah persetujuan dari pemerintah kabupaten/kodya.

Pada sektor sumber daya air, arahan kebijakan utama yang tertulis di PROPEDA adalah:

(1) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya air dengan cara
yang sesuai dan sama, dengan perkuatan susunan pengelolaan sumber daya air.

S-4
(2) Meningkatakan kuantitas, kualitas dan partisipasi dari lembaga-lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan sumber daya air, terutama Perkumpulan Petani
Pengelola Air pada Jaringan Irigasi agar dapat melakukan pengelolaannya.

(3) Meningkatkan kemampuan personal Dinas PSDA Sulawesi Selatan agar dapat
menjalankan tugas-tugas mereka dan untuk perkuatan organisasi.

(4) Memperbaiki sistem koordinasi dengan badan/instansi terkait untuk memberikan


keuntungan pada pemakai air dan memungkinkan mereka ntk dapat melakukan
pengelolaan fasilitasnya.

3 KONDISI FISIK

3.1 Tata Guna Lahan

Tata guna lahan saat ini – Total luas daerah Studi adalah 789.000 ha (termasuk DAS
Gilirang). Lima puluh delapan persen (58 %) dari lahan yang ada atau 458.789 ha
digunakan untuk pertanian dan sisanya yaitu 330.912 ha (42 %) adalah lahan non
pertanian seperti hutan, padang rumput, rawa-rawa, danau dan permukiman. Kompilasi
luasan penggunaan lahan saat ini yang diperoleh dari berbagai sumber memberikan hasil
sebagai berikut:
Kompilasi Informasi Penggunaan Lahan Saat ini - Tahun 2002
Luas
Karegori Penggunaan Lahan
(ha) (%)
Sawah 235.985 29,9
Ladang 176.527 22,4
Perkebunan dan Kebun 46.277 5,9
Total untuk Lahan Pertanian 458.789 58,1
Hutan 119.816 15,2
Padang Rumput 160.856 20,4
Rawa-Rawa 15.617 2,0
Desa (Permukiman) 13.281 1,7
Tubuh Perairan 21.343 2,7
Total untuk Lahan Non-Pertanian 330.912 41,9
Total Semua 789.700 100,0
Sumber: LandSat 2002, Rencana Tata Ruang Kabupaten, Data Statistik Pertanian per Kabupaten,
Hutan Kesepakatan Sulawesi Selatan th 1991

Penggunaan lahan yang luas untuk pertanian, dapat mendorong terjadinya erosi. Lahan
konservasi yang digunakan untuk perladangan adalah seluas 80.878 ha dan untuk kebun
atau perkebunan seluas 46.277 ha, lahan-lahan ini sebetulnya adalah lahan yang termasuk
kategori lahan dengan perlindungan erosi dan pengelolaan air yang harus dilakukan
dengan hati-hati.

S-5
3.2 Kondisi Umum Hidrologi pada Potensi Sumber Daya Air

Danau Tempe terletak di tengah-tengah DAS Danau Tempe. Sistem Danau Tempe,
selama musim kering dmana ketinggian muka air danau kurang dari + 6 meter akan
terbagi menjadi 3 danau yaitu: Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Danau
Sidenreng dan Buaya terhubung dengan Danau Tempe melalui beberapa alur penghubung.
Apabila musim banjir maka akan terbentuk suatu danau yang luas. Dari sebelah utara
Danau Tempe mendapat masukan air dari sungai Bila (1.610 km2), dari sebelah barat
mendapat masukan air dari beberapa sungai termasuk sungai Batu-Batu, Bilokka,
Panincong, Lawo, dll (927 km2), dan dari bagian selatan mengalir Sungai Walanae (3.170
km2). Alur pengeluaran dari Danau Tempe hanyalah melalui sungai Cenranae.

Dasar danau Tempe yang paling rendah mempunyai elevasi +3 meter diatas rata-rata
muka laut (m dpal). Pada musim hujan yaitu dari bulan Mei sampai Agustus biasanya
tinggi muka air danau naik mencapai elevasi +7 m dpal sampai +9 m dpal dan luasan
permukaan airnya bisa mencapai 28.000 ha sampai 43.000 ha.

Sungai Cenranae – Panjang sungai mulai dari muara di Teluk Bone sampai Danau Tempe
adalah kurang lebih 69 km. Luas tangkapan airnya sampai di muara adalah 7.380 km2.
Sedang luasan tangkapan air yang dihitung dari stasiun pengukur muka air Tampangeng
sampai muaranya adalah 1.180 km2.

Sungai Gilirang – Aliran sungai Gilirang berasal dari pegunungan di sebelah utara
mengalir ke arah tenggara ke Teluk Bone dan tidak mempengaruhi Danau Tempe dan
juga terletak di luar DAS WalCen, tetapi karena pertimbangan masih terletak dalam satu
SWS maka dimasukkan ke Areal Studi. Luas tangkapan air dari sungai Gilirang adalah
518 km2 sampai di muara, sedang luas tangkapan air sampai pada stasiun pemgukur muka
air Gilirang adalah 230 km2.

Potensi Air Tanah – Kendati ketersediaan air tanah sedikit, banyak rumah tinggal dan
usaha-usaha yang memakai sumur air tanah dangkal yang biasanya mempnyai kedalaman
kurang dari 10 meter serta seringkali tercemar oleh drainase permukaan, untuk
menyokong pasokan air PDAM atau bahkan untuk menggantikan pasokan air dari PDAM.
Untuk menggambarkan potensi air tanah di Areal Studi, areal penyebaran air tanah dibagi
menjadi 10 wilayah sebagaimana yang telah diuraikan di Laporan Utama.

Kualitas Air – Kesimpulan utama dari studi kualitas air tanah ditunjukkan sebagai berikut,
bahwa:
• Pada umumnya, lebih dari 25 tahun yang lalu, air Danau Tempe dan sungai-sungai
disekelilingnya sangat sesuai untuk dipakai bagi produksi-produksi perikanan,
pertanian dan irigasi.;

S-6
• Sungai-sungai mengandung suspensi padat, unsur-unsur organis dan total nitrogen
yang tinggi kecuali di bagian hulu, kondisi demikian menunjukkan bahwa sebagian
besar material ini berasal dari wilayah permukiman, dimana sungai-sungai
dipergunakan sebagai tempet pembuangan sampah baku, limbah padat atau cair dari
penduduk setempat.
• Danau Buaya lebih jernih dibandingkan yang lainnya dan hanya disinilah macropyte
ditemukan dalam jumlah yang melimpah;
• Air Sumur, sampel tahun 1996 menunjukkan air sumur sesuai untuk air minum,
tetapi untuk air sungai tidak sesuai yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi besi
dan adanya bakteri dari limbah rumah tangga.
Sistem Pengukuran Air – Jumlah total dari stasiun hujan yang dipakai untuk analisa
adalah 45 stasiun hujan, data muka air dikumpulkan dari 15 stasiun muka air dan iklim
dari 6 stasiun klimatologi.

4 KONDISI LINGKUNGAN

4.1 Penyusunan Perundang-undangan Lingkungan Indonesia

Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap masalah lingkungan ditunjukkan dengan


disusunnya kementerian lingkungan yang dikenal dengan nama Kementerian Negara
Pembangunan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (PPLH) pada tahun 1977 dan
menghasilkan Undang-Undang No. 4 th 1982, yang meletakkan dasar-dasar pertimbangan
bagi pengelolaan lingkungan negara. Dalam kaitan dengan kepentingan operasionalnya,
Undang-Undang tersebut diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 29 th 1986
(diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993) tentang Penilaian
Dampak Lingkungan yang lebih dikenal dengan proses regulasi AMDAL.

Undang-Undang Lingkungan diperbaharui tahun 1997 (dengan Undang-Undang No. 23


th 1997) dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah tentang AMDAL yang baru No. 27
tahun 1999. Sejak saat itu peraturan-peraturan itu merupakan perundang-undangan utama
tentang kebijakan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia.

4.2 Ekologi Daratan di Daerah Studi

Hutan dataran tinggi terletak pada daratan dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpal,
yaitu di bagian tepi utara, selatan dan barat. Tanaman-tanaman asli masih terdapat di
daratan di atas 1.500 m dpal, dimana tanaman berdaun jarum, maple dan oak masih bisa
ditemukan. Di bagian lain, penebangan yang berlebihan pada pohon Pinus (yang
dikenalkan oleh Belanda) dan pembukaan lahan untuk perkebunan komersil yang
selanjutnya hanya menyisakan sedikit atau tidak sama sekali hutan dan tanah dalam

S-7
kondisi yang rawan terhadap erosi. Hal ini berdampak buruk bagi fauna, dan fauna asli
seperti Banteng, Anoa, Tarsier dan Burung Enggang Sulawesi sangat sulit dijumpai.

Pertanian lahan kering dilakukan pada lereng bukit yang lebih rendah dan di dataran
rendah tanpa jaringan irigasi. Hampir semua tanaman alami telah habis dan diganti
dengan tanaman yang berproduksi (coklat, kelapa, durian, nangka), jagung, dan sayuran
termasuk ketela pohon, ubu jalar, cabe dan tomat. Pohon-pohon yang memproduksi kayu
juga ditanam, diantaranya pohon jati. Terdapat padang rumput di bagian utara yang
terbentuk ketika terjadi pembukaan lahan dan tidak ditanami dan sedikit wilayah yang
berhutan dengan tanaman lontar, bambu, ara dan jenis lainnya.

Persawahan melingkupi hampir semua wilayah antara pinggiran lahan kering dan
rawa-rawa di sekeliling Danau Tempe, serta wilayah yang sangat luas di bagian timur.
Tanaman alami juga telah habis di wilayah ini, dan topografi wilayah ini telah mengalami
pendataran dan terasering.

4.3 Lingkungan dan Ekosistem Danau Tempe

Danau Tempe adalah lingkungan yang bervariasi dan luar biasa, hal ini dapat dilihat pada
tekanan berat yang diterimanya, baik disebabkan oleh alam maupun tingkah laku manusia.
Danau ini adalah danau dataran banjir dimana pada musim hujan sungai-sungai yang
bermuara padanya jauh melebihi kapasitas dari Sungai Cenranae untuk mengalirkannya
ke laut, sehingga danau itu meluas dan sungai-sungai meluap menyebabkan genangan
yang meluas pada lahan pertanian dan lahan yang tidak didiami. Hal ini sangat
berlawanan dengan musim kemarau dimana sebagian sungai mengering dan danau
menjadi berkurang baik luas maupun volumenya.

Ketidakmampuan danau untuk menampung aliran pada musim hujan diperburuk oleh
berkurangnya kedalaman dalam jangka panjang karena penumpukan sedimen, endapan
dari penggundulan hutan di lereng bukit dan erosi dari tebing sungai. Kekeringan di
musim kemarau diperburuk oleh digunakannya sejumlah besar air dari sungai di daerah
hulu untuk kepentingan irigasi, terutama yang telah dibangun sejak 30 tahun terakhir.
Sungai-sungai juga digunakan sebagai tempat pembuangan limbah padat dan sampah
baku disebabkan kurangnya infrastruktur sanitasi. Karena itu sungai-sungai dan danau
menjadi sangat tinggi kandungan bahan organiknya, proses pembusukan yang
menghabiskan kandungan oksigen dalam air menyebabkan bahaya pada kehidupan di
elevasi muka air yang rendah di danau (0,3 ppm pada November 2002), yang dapat
menyebabkan kematian pada hewan-hewan tertentu.

Oleh karena itu, ekologi dari danau yang tersisa dari kerasnya lingkungan alamiah, masih
ditambah lagi dengan berbagai aktivitas manusia menjadikannya sebagai lingkungan yang
tidak ramah. Kenyataan bahwa ekologi yang tersisa akan menjadi lebih menarik dan lebih

S-8
penting, tidaklah menjamin akan menjadi langgeng bila dipandang dari tekanan-tekanan
lingkungan yang sebagian besar diakibatkan perilaku manusia.

4.4 Lingkungan Hidup

Pemecahan masalah yang berhubungan dengan lingkungan hidup dalam DAS adalah
masalah kemiskinan yang terjadi di masyarakat terutama petani-petani kecil. Ada banyak
alasan penyebab kemiskinan dan yang terlihat jelas adalah kenyataan semakin terbatasnya
hasil-hasil pertanian karena kurang dapat diandalkannya pasokan air sepanjang tahun di
beberapa wilayah, dan produksi menjadi berkurang dan kehidupan menjadi sangat
terganggu karena sebagia besar wilayah tergenang setiap tahunnya. Tujuan akhir dari
proyek ini adalah untuk mengatasi permasalahan ini dengan memperbaiki pasokan air
untuk irigasi pada sebagian besar wilayah dan mengurangi frekuensi serta perluasan
genangan. Berdasarkan kesuksesan di beberapa tempat di Indonesia, besar kemungkinan
bahwa metode ini akan dapat diterima, dengan syarat bahwa pengukuran-pengukuran
yang direkomendasikan di dalam Rencana Induk diterapkan. Jika hal ini yang terjadi
maka pendapatan dan kondisi kehidupan masyarakat akan dapat diperbaiki sesuai dengan
proporsinya.

Hal tersebut bukanlah satu-satunya keuntungan yang diberikan oleh proyek ini untuk
masyarakat setempat. Bangunan sanitasi yang tetap bagi masyarakat yang tinggal di sisi
sungai, seperti yang disarankan di atas, akan menghasilkan beberapa manfaat, termasuk
perbaikan kesehatan dan kondisi kehidupan masyarakat, perbaikan kualitas air sungai dan
danau serta meningkatkan kondisi ekologi. Akan tetapi, survei yang dilakukan proyek ini
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat ini tetap melakukan aktivitas membuang
hajatnya di sungai meskipun sudah dibuatkan jamban di daratan, dan mempergunakan air
sungai sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari termasuk untuk minum, meskipun
apabila sudah disediakan air bersih dari sumur atau perpipaan. Untuk itu sangatlah
penting bahwa perbaikan infrastruktur haruslah dibarengi dengan suatu program
pendidikan masyarakat berkenaan dengan bahayanya sanitasi yang jelek.

5 PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR

5.1 Irigasi dan Drainase

Pengembangan irigasi di Areal Studi di bawah ini saat sekarang ada yang masih berupa
rencana dan sedang berlangsung pembangunannya:
• Bendungan Ponre-ponre dan jaringan irigasinya seluas 4.240 ha yang berada di
Kabupaten Bone akan dimulai dalam waktu dekat sebagai bagian dari proyek
DISIMP yang didanai dengan pinjaman dari JBIC.

S-9
• Rehabilitasi jaringan irigasi dengan sumber air dari Sungai Sadang (dari Bendung
Batang) yaitu Sadang VII, Sidenreng I & Sidenreng II, Sadang VI Baranti, Sadang
VI Belawa yang semuanya termasuk dalam wilayah irigasi Sadang. Saat ini daerah
hulu sungai sedang direhabilitasi dan akan diikuti dengan daerah lainnya dalam
proyek DISIMP yang didanai dengan pinjaman JBEC.
• Bendungan Paselloreng dan Bendung Gilirang beserta jaringan irigasinya.
Pelaksanaan proyek fisiknya sudah siap, rancangan detilnya sudah selesai tahun 2001,
tetapi disebabkan masalah sosial yaitu relokasi pemukiman dan relokasi desa maka
pembangunan bendungan Paselloreng ini ditunda. Pemerintah dan masyarakat
setempat tidak mencapai kesepakatan dalam hal akuisisi tanah, kompensasi lahan
pertanian, rumah dan fasilitas lainnya. Pembangunannya sendiri diharapkan dalam
waktu dekat dapat dilaksanakan.
Program yang telah ada dan yang direncanakan

Sebagian dari usulan proyek irigasi yang disebutkan dalam Rencana Induk JICA (1980)
telah dilaksanakan. Untuk beberapa usulan jaringan telah dilakukan rancangan detil dan
atau studi kelayakan.

Proyek-Proyek Irigasi yang pekerjaan fisiknya (seperti konstruksi) telah selesai adalah
sebagai berikut:
• Proyek Irigasi Sanrego di Kabupaten Bone
• Proyek Irigasi Langkeme di Kabupaten Soppeng
• Proyek Irigasi Bila di Kabupaten Sidrap dan Wajo
Proyek-proyek irigasi dari studi tahun 1980 yang telah dilaksakan rancangan detil dan
atau studi kelayakan adalah sebagai berikut:
• Pengendalian Banjir Boya dan Bendungan serta Proyek Irigasi Boya
• Proyek Irigasi Lawo
• Proyek Irigasi Cenranae
• Proyek Irigasi Gilirang
• Proyek Irigasi Padangeng
• Bendungan Serbaguna Walimpong (pada tahap pra-kelayakan pembangunan)
Diskusi Kelompok Terarah (FGD) yang telah dilakukan di Areal Studi memberikan hasil
informasi berikut ini. Disamping disain dan pelaksanaan pembangunan yang bagus,
keberhasilan dari suatu proyek tergantung pada penerimaan dari masyarakat dan petani
sesudah pembangunannya. Sebagian proyek irigasi gagal mendapatkan manfaat karena
desainnya hanya berdasar atas aspek teknis saja. Harus diperhatikan pula aspek-aspek
yang lain seperti unsur-unsur sosiologi, lingkungan, keterlibatan masyarakat,
kelembagaan dan aspek hukum.

S - 10
5.2 Kondisi Banjir, Sedimentasi dan Kekeringan

5.2.1 Banjir

Berdasar atas survei lapangan di sepanjang sungai-sungai di Areal Studi, daerah-daerah


yang mengalami kerusakan akibat banjir atau genangan adalah 1) Daerah sekeliling
Danau Tempe termasuk Danau Sidenreng dan Danau Buaya 2) Bagian hilir Sungai Bila
termasuk sisi kanan Sungai Boya dan bagian hilir dari Sungai Lancirang 3) Bagian hilir
Sungai Walanae termasuk bagian hilir Sungai Belo dan Lawo pada kedua sisi Sungai
Cenranae. Suatu banjir yang terbesar yang masih diingat oleh masyarakat setempat adalah
banjir yang terjadi bulan Mei 2002 dan perkiraan kerugiannya ditaksir sekitar 130 milyar
rupiah.

5.2.2 Sedimentasi

(1) Danau Tempe

Perhitungan keseimbangan sedimentasi tahunan Danau Tempe ditunjukkan sebagai


berikut: Jumlah sedimen yang diendapkan di Danau Tempe diperkirakan 600.000
m3/th pada tahun 1974, 519.000 m3/th pada tahun 1997 (berdasar data 20 tahun) dan
742.642 m3/th, dan angka rerata sedimentasinya adalah 0,3 cm/th (1974); 0,37
cm/th (1996) dan 0,38 cm/th (2002). Sedimen cenderung untuk mengumpul di
wilayah delta sungai dan tidak tersebar merata di wilayah danau seperti yang
ditunjukkan oleh suatu gambar. Secara alami nilai berkumpulnya sedimen ini
tidaklah terlalu besar bagi DAS, akan tetapi direkomendasikan untuk melakukan
perbaikan-perbaikan bagi pengendalian sedimen.

(2) Sungai Cenranae (perbaikan secara alami)

Selama survey danau tahun 1997 telah dipelajari bahwa volume sedimen yang perlu
dipindahkan dari Sungai Cenranae di bawah Danau Tempe adalah lebih dari 3
milyar m3. Dengan cara perhitungan yang sama, dengan menggunakan hasil survey
topografi yang dilaksanakan selama proyek WalCenMP 2003 menunjukkan bahwa
volume yang perlu dikeruk telah berkurang sampai 100.000 m3. Hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi perpindahan sedimen dari bagian hilir dari Danau
Tempe, yaitu Sungai Cenranae. Dugaan yang muncul adalah bahwa sedimen
tersebut telah berpindah selama banjir besar yang terjadi setiap tahun sejak tahun
1997. Perpindahan sejumlah besar sedimen di hilir ini telah memperlebar
penampang-lintang sungai dan karenanya meningkatkan koefisien aliran dari Danau
Tempe. Perhitungan awal menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas aliran pada
penampang-lintang bagian hilir danau telah mempengaruhi muka air di danau. Hal
ini menunjukkan bahwa pengendalian jumlah air yang keluar dari danau sangat
dibutuhkan agar ketinggian muka danau masih tersisa seperti di masa-masa lampau.

S - 11
Pengendalian muka danau ini juga dapat memberikan keuntungan yang besar di
bidang perikanan dan pengembangan pertanian di danau.

5.2.3 Kondisi Kekeringan

Berdasarkan hasil Diskusi Kelompok Terarah (FGD) yang dilaksanakan di Studi ini,
permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh kekeringan adalah sebagai berikut :
• Saat musim kemarau intrusi air asin mencapai tempat yang jauhnya 15 km dari
muara Sungai Cenranae dan air sungai yang terkena intrusi ini tak dapat
dimanfaatkan sebagai sumber air tawar oleh penduduk setempat. Keadaan in terjadi
di Kabupaten Bone tepatnya di Kecamatan Cenranae.
• Jaringan-jaringan irigasi baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan tidak
mendapatkan pasokan air yang dibutuhkan selama kondisi kekeringan. Hal ini
mengakibatkan menurunnya hasil panen tahunan terlebih bila periode ini semakin
panjang.
• Selama musim kemarau pada beberapa tempat seperti Kecamatan Cenranae di
Kabupaten Bone terjadi peningkatan serangan penyakit endemik seperti diare,
penyakit kulit dan lainnya. Diyakini bahwa hal ini disebabkan memburuknya kualitas
air selama musim kemarau dan terlebih lagi pada saat kekeringan panjang terjadi.
• Air Tanah dan ketersediaan air di sungai-sungai menurun selama masa kekeringan.
Hal ini menyebabkan bertambahnya beban untuk pemurnian air dan sistem perpipaan
masyarakat terutama di Kabupaten Bone. Muka air tanah di wilayah-wilayah dengan
elevasi yang lebih tinggi seperti wilayah berbukit di Kabupaten Bone mengalami
penurunan sampai pada kondisi dimana penduduk setempat tidak mungkin lagi untuk
mendapatkan air dari sumur-sumur mereka.
• Gangguan transportasi sungai terjadi bila muka air sungai mengalami penurunan dan
perahu-perahu baik yang bermotor maupun tidak mengalami kesulitan beroperasi di
sungai ini. Pada saat sekarang kesulitan transportasi sungai terjadi pada musim
kemarau. Dan hal ini akan kelihatan lebih nyata lagi bila musim kekeringan panjang
terjadi.

5.3 Penyediaan Air Bersih

Data Kependudukan – Jumlah penduduk di Daerah Sasaran pada akhir tahun 2001 adalah
1.251.550 jiwa, terdiri atas 592.200 laki-laki dan 659.350 wanita dan kepadatan penduduk
di Daerah Sasaran adalah 118,4 jiwa/km2. Penduduk di Daerah Sasaran terutama tinggal
di kota-kota kabupaten dan persentase permukiman di Areal Studi adalah sebesar 2 %
dari luas keseluruhan. Pertambahan penduduk di 6 kabupaten adalah 0,51 %/th. 3
kabupaten (Sidrap, Wajo, Soppeng) pertambahan penduduknya adalah yang paling

S - 12
rendah. Bahkan pertumbuhan penduduk di Soppeng adalah minus. Angka pertumbuhan
penduduk di masa mendatang diproyeksikan sebesar 0,5 %/th.

Kebutuhan Air untuk Industri – Industri-industri besar di Daerah Sasaran adalah: industri
gas alam yang menggunakan air dari Sungai Cenranae kurang lebih 100 l/detik dan
industri air minum kemasan di mata air Ompo yang menggunakan air kurang lebih 15 m3
setiap harinya. Kebutuhan air untuk industri lainnya di Daerah Sasaran saat ini bisa
dikatakan masih kecil.

5.4 Evaluasi Potensi Sumber Daya Air

Ketersediaan air potensial di Areal Studi dianalisa berdasarkan 11 sub DAS dengan dasar
perhitungan periode setengah bulanan. Perhitungan keseimbangan air telah dilakukan
untuk kondisi saat ini (2001) dan untuk kondisi mendatang (2028). Untuk menunjukkan
potensi masa mendatang maka dimasukkan juga pembangunan-pembangunan skala besar
seperti Bendungan Walimpong, Bendungan Boya, Bendungan Lejja, Bendungan Lawo,
Bendungan Padangeng, Bendungan Torereh dan Bendung Gerak Tempe, dan telah
diperimbangkan pula pengaruh-pengaruh kapasitas tampungan dan kehilangan karena
evaporasi. Semua kebutuhan air yang signifikan seperti lingkungan sungai dan air untuk
perawatan sungai (maintenance flow), penyediaan air bersih perkotaan, dan kolam-kolam
perikanan juga telah dipertimbangkan.

Hujan rerata tahunan, evaporasi + transpirasi dan run off di Areal Studi adalah 2.300 mm,
1.050 mm dan 1.250 mm. Perhitungan ketersediaan air potensial di Areal Studi adalah
sekitar 9,98 milyar m3/th. Perhitungan terinci dari ketersediaan air potensial untuk
masing-masing distrik air dengan periode setengah bulanan dapat dilihat pada laporan
utama.

Kondisi Penggunaan Air Saat Ini – Irigasi sejauh ini merupakan bidang yang paling
signifikan dalam menggunakan air yaitu sekitar 82% dari total penggunaan air di Areal
Studi atau dibutuhkan sekitar 1,36 milyar kubik pada tahun 2001. Penggunaan air untuk
penyediaan air baku adalah sekitar 8,4% dan untuk kolam- kolam perikanan adalah
sekitar 8,1%. Kebutuhan air untuk perawatan sungai telah diperhitungkan dan mencapai
sekitar 17% dari potensi ketersediaan air.

Kondisi Penggunaan Air Masa Mendatang – Beberapa faktor yang dipakai untuk
perhitungan kebutuhan air di masa mendatang adalah sebagai berikut:
• Sistem-sistem irigasi yang termasuk dalam rencana pengembangan yang akan
dikembangkan dari kondisi sawah tadah hujan menjadi sawah irigasi teknis.

S - 13
• Intensitas penanaman diharapkan menjadi 230% sampai 280% setiap tahunnya.
Kebutuhan air untuk setiap jaringan irigasi telah mempertimbangkan persentase dari
intensitas penanaman ini.
• Areal sistem irigasi desa tidak akan mengalami peningkatan dan intensitas tanamnya
tidak akan melebihi 200% setiap tahunnya. Peningkatan intensitas tanam ini akan
dicapai lewat peningkatan aktivitas dan rehabilitasi pertanian jaringan irigasi desa
melalui program peningkatan kemampuan para petani.
• Perhitungan kebutuhan air masa mendatang untuk keperluan air baku, telah
mempertimbangkan angka pertumbuhan penduduk dan proyeksi pertumbuhan
industri.
• Di sektor perikanan, kebutuhan air masa mendatang telah mempertimbangkan
perluasan area untuk perikanan air tawar dan tambak.
Keseimbangan Air Saat Ini dan Mendatang – Keseimbangan air di Areal Studi adalah
berdasarkan persediaan dan kebutuhan rerata tahunan dengan dasar setengah bulanan dan
menunjukkan tak ada kekurangan yang serius pada masing-masing distrik air untuk
sekarang dan masa mendatang pada tahun 2028. Akan tetapi hasil ini tidak berarti bahwa
tidak ada kekurangan air yang akan dialami yang disebabkan distribusi hujan musiman
dan fluktuasi spasial jangka panjang. Penggunaan air masa mendatang untuk sistem
Danau Tempe adalah sekitar 93% dari total potensi yang ada di sistem tersebut. Ilustrasi
ini menunjukkan perlunya pengendalian keluaran Danau Tempe melalui pembangunan
Bendung Gerak Tempe di masa mendatang.

5.5 Perikanan

5.5.1 Kondisi Umum Perikanan di Areal Studi

Data menunjukkan bahwa ada sekitar 6.567 kk yang bekerja di bidang perikanan (yang
terdiri atas 1.875 kk di sektor perikanan laut, 3.275 di sektor perikanan danau dan 1.417
di sektor perikanan rawa/sungai) dan 7.845 kk yang bekerja di bidang budidaya perikanan
(terdiri atas 2.300 kk di sektor budidaya tambak, 971 kk di sektor budidaya perikanan air
tawar dan 4.574 kk di sektor mina padi). Keseluruhan kepala keluarga yang bekerja di
bidang perikanan di Daerah Sasaran adalah 60,8% dari keseluruhan kepala keluarga
perikanan yang ada di 6 kabupaten atau sekitar 15,84% dari seluruh masyarakat perikanan
Provinsi Sulawesi Selatan.

Keseluruhan areal untuk perikanan di Daerah Sasaran, tidak termasuk perikanan laut,
terdiri atas 14.869 ha danau, 9.604 ha rawa-rawa dan 2.165 ha sungai. Areal perikanan
danau dimiliki oleh 3 kabupaten yaitu Wajo, Soppeng dan Sidrap dengan luas
masing-masing 8.973 ha, 3.000 ha dan 1.067 ha, sedangkan perikanan di daerah sungai
didapati di semua kabupaten di Daerah Sasaran.

S - 14
Tiga jenis sumber perikanan yang dieksploitasi di perairan daratan adalah ikan, yang
menempati jumlah terbesar, diikuti oleh udang air tawar dan kerang-kerangan. Ada
sedikitnya 20 spesies dari ikan/kerang-kerangan yang hidup di danau dan perairan
lainnya.

Perikanan air tawar terdiri atas perikanan danau, sungai dan rawa dan budidaya ikan
(kolam air tawar, mina padi dan budidaya kolam air deras). Diantara jenis-jenis aktivitas
perikanan air tawar, perikanan danau menempati urutan teratas dengan produksi sekitar
17.714 ton yang merupakan 100% total produksi perikanan danau di Sulawesi Selatan.

5.5.2 Perikanan di Danau Tempe

(1) Kualitas Air Danau Tempe

Kualitas air di danau dan daerah sekitarnya telah banyak diukur sebelumnya. Pada
umumnya kualitas air di DAS Danau Tempe layak untuk perikanan terutama untuk
budidaya perikanan air tawar, terkecuali bila terdapat logam berat seperti timbal
(Pb), seng (Zn), magnesium (Mg) dan besi (Fe). Konsentrasi tinggi dari
logam-logam berat tersebut dapat meracuni beragam kelompok organisma.
Konsentrasi dari timbal (Pb), seng (Zn), magnesium (Mg) dan besi (Fe) di Danau
Tempe lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi ideal yang dibutuhkan untuk
budidaya ikan.

(2) Kondisi Perikanan Danau Tempe Saat Ini

1) KK Nelayan

Menurut Dinas Perikanan Provinsi, pada tahun 2002 Danau Tempe mempunyai
2.742 kk nelayan (sekitar 10.000 nelayan), terdiri atas 1.758 kk dari Wajo, 376 dari
Sidrap dan 608 dari Soppeng. Total jumlah kk nelayan cenderung mengalami
penurunan selama 10 tahun terakhir dan yang telah diamati penurunannya
sekitar 14%.

2) Metode dan Peralatan Penangkap Perikanan

Berdasarkan metode perikanan, peralatan penangkap yang dipakai para nelayan di


Danau Tempe dikelompokkan dalam 4 kategori:
• Jaring Insang (jaring insang set, jaring insang apung, jaring insang dasar, dll.)
• Perangkap (perangkap pot, penghalang halau, perangkap berpindah, dll.)
• Pancing dan Tali (tali tangan, pancing gulung, pancing dasar, tali panjang,
dll.)
• Lainnya (jaring lempar, jaring tekan, jaring skop, jaring angkat berpindah, dll)

S - 15
Dilaporkan bahwa lebih dari 20 metode penangkapan ikan dapat dijumpai di Danau
Tempe, termasuk juga didalamnya 2 macam peralatan penangkapan ikan tradional
yaitu Bungka Toddo dan Pallawang, dan juga metode penangkapan ikan yang
dilarang seperti penggunaan aliran listrik dan insektisida/pestisida.

Bungka Toddo menggunakan tanaman terapung seperti Eceng Gondok (Eichornia


sp.). Bila air danau surut, Bungka Toddo akan turun di dasar danau. Perangkap yang
terbuat dari bilah bambu yang diikat erat bersama-sama, akan merapat di dasar
danau sehingga ikan-ikan yang berada di bawahnya tidak dapat lolos. Sebelum
pengambilan ikan Bungka Toddo harus diangkat dulu dari perangkap tersebut.
Sebagian nelayan menggunakan jaring insang sebagai perangkap disekeliling
Bungka Toddo. Musim, lokasi penempatan, luasan, jarak dan bagi hasil
menggunakan Bungka Toddo diatur oleh Pemerintah Kabupaten.

Pallawang terletak di pinggiran danau (pantai danau) dengan areal yang dibatasi
untuk pengambilan ikan. Sebagian dimiliki oleh pemerintah kabupaten dan
sebagian dimiliki oleh individu-individu (Ongko). Pallawang kepunyaan
pemerintah kabupaten dipakai sebagai cara pengumpulan pajak melalui pelelangan
diantara pemilik modal yang tinggal disekitar danau. Dimulainya pengoperasian
dan pengendalian Pallawang ketika muka air naik dan mempunyai kedalaman 1,25
m dibawah puncak pagar Pallawang, tapi ketika muka air lebih naik lagi dan
mencapai ketinggian 30 cm di atas pagar, maka batas dari Pallawang disepakati
tidak ada lagi dan setiap nelayan diperbolehkan untuk menangkap ikan di dalam
areal Pallawang.

(3) Tempat dan Musim Penangkapan Ikan

Air Danau Tempe dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah penangkapan bebas
dan wilayah Pallawang. Wilayah penangkapan bebas adalah wilayah dimana setiap
nelayan boleh menangkap ikan dengan bebas, sedangkan Pallawang adalah wilayah
yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten atau individu dan penangkapan di wilayah
ini dilarang kecuali nelayan-nelayan yang mempunyai hak khusus. Periode
kepemilikan dan praktek penangkapan diatur oleh pemerintah kabupaten. Wilayah
Pallawang terletak pada wilayah dengan kedalaman air dangkal di sekeliling danau.

(4) Produksi Perikanan

Produksi perikanan Danau Tempe didukung oleh tiga jenis organisma akuatis
seperti: ikan, udang-udangan dan kerang-kerangan, dimana masing-masing
produksinya pada tahun 2001 adalah 17.398 ton, 416 ton dan 30 ton.

Produksi rata-rata selama 20 tahun terakhir adalah 17.968 ton/th. Data 20 tahun
terakhir menunjukkan bahwa produksi perikanan Danau Tempe cukup stabil

S - 16
dengan kisaran angka antara 15.000 ton sampai 20.000 ton. Perhitungan panen
langsung adalah 1.500 – 2.000 kg/ha/th.

(5) Nilai Produksi

Menurut Dinas Perikanan Provinsi (2002), bahwa nilai produksi perikanan Danau
Tempe pada tiga kabupaten pada tahun 2001 mencapai 74,24 milyar rupiah, terdiri
atas 46,86 milyar rupiah (62,85%) untuk kabupaten Wajo, 3,15 milyar rupiah
(4,24%) untuk Kabupaten Sidrap dan 24,43 milyar rupiah (32,91%) untuk
Kabupaten Soppeng.

6 PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAHAN

6.1 Kehutanan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

6.1.1 Kondisi Umum Areal Kehutanan

(1) Areal Hutan Berdasarkan Fungsi Hutan

Berdasarkan Peta Kompilasi Informasi Penggunaan Lahan 2002, kurang lebih 1.198
km2 atau 15% luasan Areal Studi tertutup oleh areal hutan. Sebaliknya data yang
diperoleh dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa di 6 kabupaten terdapat
lebih kurang 2.410 km2 areal hutan, akan tetapi luasan tersebut termasuk juga areal
hutan yang terletak di luar Areal Studi WalCenMP. Areal hutan yang tercatat dan
areal hutan sebenarnya di lapangan tentulah sangat berbeda.

Berdasarkan fungsinya areal hutan dapat dibedakan menjadi 4 kategori. Berikut ini
disajikan klasifikasi tersebut di 6 kabupaten:
Areal Hutan Berdasarkan Fungsinya di Areal Studi (ha):
Hutan Cagar
Porsi di Hutan Hutan
Kabupaten Produksi Alam/Hutan Total
Areal Studi Lindung Produksi
Terbatas Wisata
Maros 51.900 10.480 6.073 7.174 6.441 30.168
Bone 250.900 17.161 59.289 3.971 1.045 81.467
Soppeng 134.500 34.865 10.505 - 1.201 46.570
Enrekang 63.400 37.363 1.081 - - 38.444
Wajo 148.900 - - 13.153 - 13.153
Sidrap 119.100 31.155
20.090 11.064 - -
Total 768.700 119.959 88.012 24.298 8.687 240.956
Source: Harmonization Map between Forest Function Agreement (TGHK) and Regional Spatial Plan of
South Sulawesi Province. 1999

(2) Perladangan Berpindah

Jumlah peladang berpindah di 6 kabupaten adalah sekitar 24.900 jiwa atau 5.000 kk.
Perladangan berpindah ini dapat dikurangi atau dihilangkan dengan meningkatkan
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Lahan-lahan kritis dimana telah dilakukan
perladangan berpindah dapat dirubah menjadi lahan yang lebih cocok untuk

S - 17
pertanian yang sesuai. Salah satu sistem bercocok tanam yang tepat untuk
merehabilitasi kerusakan lahan tersebut adalah sistem agro-forestry. Sistem ini
dianjurkan karena memadukan penanaman pepohonan, pertanian dan peternakan
diselingi dengan penanaman tanaman multi fungsi (MPTS) untuk meningkatkan
kesuburan tanah.

(3) Reboisasi dan Penanaman Hutan

Keberhasilan dari program reboisasi dan penanaman hutan hampir sepenuhnya


tergantung pada partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat harus dilibatkan
pada setiap tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Pendekatan partisipatif oleh masyarakat yang dibantu oleh lembaga desa harus
menjadi priroritas utama dalam kegiatan reboisasi dan penanaman hutan di
masa-masa mendatang.

(4) Areal Hutan Berdasar Fungsi yang dipakai untuk Penggunaan Lain

Di Kabupaten Maros sekitar 17.765 ha hutan dilaporkan telah digunakan untuk


kepentingan yang lain. Yang paling luas adalah sebagai padang rumput (15.251 ha)
diikuti oleh kebun dan perkebunan (1.343 ha) dan dipakai untuk perladangan (645
ha).

Di Kabupaten Bone penggunaan hutan untuk kepentingan lain yang paling luas
adalah untuk padang rumput (34.315 ha), untuk perladangan (21.554 ha), untuk
kebun atau perkebunan (3.688 ha) dan sisanya untuk sawah dan permukiman.

Di Kabupaten Soppeng luasan hutan yang dipakai untuk penggunaan lain adalah
15.595 ha. Penggunaan yang terluas adalah untuk padang rumput (11.141 ha),
perladangan (3.671 ha) dan sisanya dimanfaatkan untuk sawah dan permukiman.

Di Kabupaten Wajo luasan hutan yang dipakai untuk kepentingan lainnya adalah
seluas 9.854 ha. Yang terluas adalah untuk padang rumput (3.359 ha), untuk kebun
atau perkebunan (3.068 ha), perladangan (3.052 ha) dan sisanya digunakan untuk
permukiman.

Di Kabupaten Sidrap areal hutan yang dipakai untuk kepentingan lain adalah seluas
8.608 ha, dengan penggunaan sebagai padang rumput adalah yang terluas (5.894
ha) dan lainnya untuk kebun/perkebunan atau untuk perladangan.

S - 18
6.2 Pertanian

6.2.1 Pertanian Saat Ini

Produksi padi sampai saat ini adalah aktivitas yang paling penting untuk sub sektor
tanaman pertanian baik di provinsi maupun di tingkat kabupaten di Areal Studi dengan
luasan 69% dan 77% dari keseluruhan areal yang ditanami dengan tanaman pangan (tidak
termasuk sayuran) pada tahun 2001 seperti yang disarikan tabel di bawah ini:

Proporsi Areal Penanaman Tanaman Pangan th 2001 di Provinsi dan Kabupaten Proyek (%)
Kacang Lainnya
Provinsi Padi Jagung Singkong Total
Hijau 1/
Provinsi 69 21 3 3 4 100
Kabupaten Proyek 77 13 4 1 5 100
% dari Provinsi Total 2/ 44 25 59 20 45 40
1/: termasuk kedelai, kacang tanah dan ubi jalar
2/: Perbandingan areal penanaman di Kabupaten Proyek dengan total areal penanaman di provinsi

Tanaman pangan yang terpenting setelah padi adalah jagung dengan nilai luasan 13%
untuk provinsi dan 21% untuk Kabupaten Proyek dari keseluruhan areal yang ditanami,
diikuti oleh kacang hijau. Kedelai dan kacang tanah terutama ditanam di areal sawah di
Kabupaten-Kabupaten Proyek tetapi tetap saja luasannya terbatas. Kabupaten-Kabupaten
Proyek memberikan hasil hampir setengah dari hasil provinsi untuk tanaman pangan
seperti padi, kacang hijau dan tanaman pangan lainnya (kacang kedelai 57% dan kacang
tanah 47%). Hal ini memberikan arti bahwa Kabupaten-Kabupaten Proyek telah berperan
sebagai basis produksi tanaman pangan di Provinsi Sulawesi Selatan terutama beras.

Diantara Kabupaten Proyek Sidrap, Wajo dan Bone dapat disebut sebagai kabupaten
penghasil padi terbanyak di provinsi dengan luasan masing-masing 8%, 13% dan 14%
dari keseluruhan areal penanaman di provinsi. Dengan cara yang sama Bone dapat
disebut sebagai penghasil besar untuk jagung, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang
hijau. Wajo dapat disebut sebagai wilayah penghasil besar untuk kacang tanah, kacang
kedelai dan kacang hijau. Soppeng dapat dicatat sebagai wilayah yang banyak
menghasilkan kacang tanah.

(1) Pola Tanam

Produksi tanaman pangan di Daerah Sasaran terutama dilakukan di tanah sawah dan
produksi untuk tanaman pangan yang sama yang ditanam di ladang luasannya lebih
sempit. Pola tanam tanaman pangan yang diterapkan di Kabupaten-Kabupaten Proyek
disarikan sebagai berikut:

S - 19
1) Sawah Irigasi

Pola tanam di areal sawah irigasi pada dasarnya tergantung dari ketersediaan air untuk
irigasi pada musim tanam pertama dan kedua sebagai berikut:

Kondisi Penyediaan Air Irigasi Pola yang Pola Sekunder


Diterapkan
Sawah dengan penyediaan air yang Padi-Padi Padi-palawija-padi
cukup untuk musim tanam pertama
dan kedua
Sawah dengan penyediaan air hanya Padi – padi Padi – palawija
cukup untuk musim tanam pertama
saja Padi – bero

Seperti ditunjukkan di tabel, para petani cenderung lebih menyukai pola


penanaman padi-padi meskipun apabila persediaan air irigasi untuk musim yang
kedua tidak dijamin oleh petugas pelayanan irigasi, para petani mengharapkan
cukup air hujan pada musim tersebut dan mereka cenderung untuk
untung-untungan. Penanaman palawija pada periode diantara 2 musim itu tetap
terbatas, tetapi di wilayah jaringan irigasi di Kabupaten Soppeng penanaman
palawija dengan irigasi (saluran atau pompa) pada periode ini semakin meluas.

2) Panen

Tingkat keberhasilan panenan tanaman pangan di Daerah Sasaran dihitung dari


luas wilayah panen dengan volume produksi, seperti yang disebutkan dalam
statistik disarikan pada tabel di bawah ini:.

Produksi Tanaman Pangan di Daerah Sasaran 1/


Satuan Hasil (ton/ha)
Tanaman Rerata Kisaran
Padi (KG kotor) 5,2 5,0 – 5,6
Jagung (butir) 2,9 2,6 – 3,0
Kacang Hijau (butir) 1,2 1,2 – 1,3
Kedelai (butir) 1,5 1,2 – 1,7
Kacang Tanah (tanpa kulit) 1,3 1,3 – 1,4
1/: Rerata th 1997 sampai 2001

Rerata produksi padi di Daerah Sasaran dihitung pada 5,2 ton/ha, secara substansi
lebih tinggi dari hasil provinsi yang sebesar 4,4 ton/th. Tingkat produksi padi lebih
tinggi di wilayah kabupaten dengan perbandingan areal sawah irigasi dan total
sawahnya tinggi (Sidrap, Soppeng dan Maros) dan tingkat produksi itu sama atau
lebih rendah pada daerah-daerah dengan perbandingan sawah irigasi dan total
sawahnya rendah.

S - 20
Akan tetapi, seperti yang tertulis di statistik tingkat produksi ini terkadang lebih
tinggi dari yang ditemukan oleh tim survei M/P, yaitu laporan yang didapat dari
wawancara dengan petani-petani ketika dilakukan Survei Dasar Sosial (SBS) dan
informasi yang diperoleh dari badan-badan pertanian. Dari informasi semacam itu,
tingkat produksi padi berdasar kategori penggunaan lahannya dapat dihitung seperti
yang ditunjukkan tabel di bawah ini:

Perhitungan Tingkat Produksi Langsung Padi di Daerah Sasaran


Musim Tanam Pertama Musim Tanam Kedua
Kategori Penggunaan Lahan (musim hujan) (musim kemarau)
Sawah Irigasi 4,5 – 5,5 ton/ha 5,0 – 6,0 ton/ha
Sawah Tadah Hujan 2,0 – 4,0 ton/ha 2,0 – 3,0 ton/ha

7 PERMASALAHAN DAN KENDALA DALAM PENGEMBANGAN,


KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI DAERAH
ALIRAN SUNGAI WALANAE-CENRANAE

7.1 Identifikasi Permasalahan dan Kendala Lewat Studi

Identifikasi permasalahan dan kendala lewat Studi ini, termasuk yang diungkapkan oleh
berbagai stakeholder disajikan di bawah ini berdasarkan masing-masing sektor.

7.1.1 Permasalahan dan Kendala pada Lingkungan

(1) Lingkungan Fisik


Permasalahan utama yang berkaitan dengan lingkungan fisik DAS adalah kapasitas
danau yang tidak mencukupi untuk menampung jumlah air yang masuk di waktu
musim penghujan, sehingga permukaan danau meluas dan air mengalami arus balik
ke sungai lagi dan melampaui tebing sungai. Kejadian banjir itu makin diperburuk
dengan pengendapan secara pertahap di danau, yang telah mengurangi kedalaman
danau dan membatasi kemampuannya untuk menghalangi air banjir. Hal tersebut
penting diperhatikan, karena hal yang sama akan terjadi yaitu danau akan meluas
secara bertahap apabila Bendung Gerak Tempe telah selesai dibangun.
Pengendapan danau disebabkan karena erosi tebing sungai, tetapi yang utama
adalah perpindahan tanah dari hulu, dimana telah mengalami penggundulan yang
berlebih, menyebabkan tumbuhnya rumput dan semak-semak dengan sistem
perakaran yang dangkal yang tidak bisa mengikat dan melindungi tanah secara
efektif.

S - 21
(2) Sumber Daya Air dan Kualitas Air
Permasalahan utama pada sumber daya air di DAS adalah tersedianya air hanya
dalam jumlah yang sedikit di musim kemarau untuk mendukung kebutuhan air bagi
irigasi dan pemeliharaan ekologi danau yang sehat, dan terlalu banyaknya air di
musim hujan yang menyebabkan genangan yang luas, kehilangan dan kerusakan
rumah, infrastruktur dan produksi pertanian. Kualitas air danau juga memburuk
disebabkan konsentrasi air di musim kemarau, akan tetapi penyebab yang lebih
serius bagi memburuknya kualitas air di danau itu adalah kandungan bahan organis
yang melimpah, yang mengakibatkan berkurangnya persediaan oksigen terlarut
karena proses pembusukan material organis tersebut. Sumber-sumber utama dari
material-material tersebut adalah dari masyarakat yang tinggal di tepian sungai,
yang membuang hajat, menguras toilet dan membuang limbah cairnya ke sungai,
disebabkan kurangnya struktur sanitasi. Mereka juga menggunakan sungai untuk
tempat pembuangan limbah padat karena mereka tidak mempunyai sistem dan
tempat penimbunan limbah.

(3) Ekosistem Danau Tempe


Dari uraian tentang lingkungan dan ekosistem Danau Tempe di atas, jelaslah bahwa
ekologi danau juga menjadi kepentingan internasional, meski begitu penduduk lokal
masih tetap bisa bertahan walaupun tekanan lingkungan yang hebat dialaminya.
Sumber-sumber tekanan itu termasuk:
• Terbatasnya volume air di danau pada musim kemarau, yang menyebabkan
kematian dari sebagian binatang, ikan dan tanaman dan dibutuhkannya hal-hal
lain untuk bertahan hidup di wilayah yang sangat terbatas tersebut;
• Kualitas air danau yang jelek karena pembusukan dari material organis
mengurangi jumlah oksigen terlarut sehingga membahayakan kehidupan di
bagian bawah danau yang bisa menyebabkan kematian ikan dan binatang
lainnya;
• Berkurangnya pepohonan dan tanaman lainnya pada tepian danau, yang pada
kondisi normal mejadi habitat bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan muda,
yang saat ini hanya terdapat pada Bungka yang digunakan memikat dan
menangkap ikan;
• Berkurangnya areal untuk berkembang biak dan bertenggernya burung-burung
yang biasanya disediakan oleh pepohonan di tepian danau dan sekarang hanya
terdapat di Bungka saja.

(4) Ekologi Daratan


Masalah utama dengan ekologi daratan adalah penurunan keanekaragaman hayati.
Sebagian besar tanaman alami telah hilang, tempat tinggal spesies tertentu juga
hilang dan wilayah-wilayah yang dulunya kaya dengan flora dan fauna sekarang
telah dirubah menjadi lahan buatan manusia yang didominasi oleh lahan pertanian.

S - 22
7.1.2 Permasalahan dan Kendala pada Jasa-Jasa Penyediaan Air Bersih

(1) PDAM
• Bahkan sampai sekarang pergiliran distribusi air oleh PDAM masih berlangsung.
PDAM menghentikan operasionalnya dua hari dalam satu minggu disebabkan
tidak efisiennya kapasitas pompa. Kapasitas pompa yang sekarang tidak
mencukupi tekanannya secara minimum yang dibutuhkan (contoh – Soppeng).
• Tidak efisiennya pembagian air oleh PDAM karena tingginya nilai kehilangan
air yaitu sekitar 44% (Soppeng).
• Kapasitas sumur pompa dalam kurang mencukupi dari yang dibutuhkan
(Pangkajene, Sengkang).
• Kebutuhan air potensial untuk perluasan sistem distribusinya bagi
pengembangan kota baru sampai sekarang belum diverifikasi (Pangkajene).
• Kapasitas instalasi pengolahan air tidak dioperasikan sebagaimana mestinya
(Sengkang).
• Kualitas air baku pada musim kemarau menjadi sangat jelek (Sengkang).
(2) IKK dan Lainnya
• Instalasi Pengolahan Air yang ada yang dibangun saat program IKK dan IKD,
kondisi saat ini menghadapi berbagai kendala, seperti tidak normalnya kondisi
Saringan Pasir Cepat (RFS) dan keterbatasan pipa transmisi dan distribusi.
• Sebagian wilayah di Areal Studi adalah wilayah berbukit dan mengalami
masalah kekurangan air, demikian juga halnya dengan wilayah hilir Sungai
Cenranae.
7.1.3 Permasalahan dan Kendala pada Sub-Sektor Irigasi

Terjadi distribusi air yang kurang merata diantara Kabupaten-Kabupaten. Wilayah hulu
lebih banyak mendapat air daripada wilayah hilir. Sebagian besar wilayah hilir dan sedikit
wilayah hulu menghadapi masalah sedikitnya air untuk irigasi. Berikut ini adalah
penyebab-penyebab khusus untuk masalah tersebut:

- Distribusi dari pintu air pada bangunan pembagi atau pada salurannya tidak sesuai
dengan kebutuhannya karena tidak mencukupinya kapasitas aliran.
- Air di saluran utama dan sekunder telah dipompa untuk irigasi tanpa ijin di wilayah
hilir.
- Terdapat kerusakan bangunan, saluran dan pintu air yang menyebabkan banyaknya
kehilangan air.
- Jalan-jalan inspeksi mengalami kerusakan dan belum diperbaiki.
- Saluran tersier tidak dibangun pada sebagian wilayah. Kesadaran petani untuk
membangun saluran tersier dan kuarter masih sedikit.
- Meskipun tingkat sedimentasi di saluran dan bangunan cukup tinggi, pemeliharaan

S - 23
dan pengerukan tidak dilakukan karena terbentur kekurangan dana.
- PPA tidak mampu mengumpulkan iuran penggunan air irigasi yang berhubungan
dengan operasional dan pemeliharaan jaringan yang ada (sebagian alasannya adalah
semenjak pengalihan Otonomi ke kabupaten, dana operasional dan pemeliharaan
untuk areal irigasi dari pemerintah pusat tidak ada lagi. Dulunya WUA mengatur
dana iuran air sendiri sebelum dimulainya otonomi daerah, sekarang iuran itu
dibayarkan ke pemerintah kabupaten dan WUA hanyalah sebagai pengumpul iuran
saja.
- Jumlah air di bangunan utama (penampung) tidak mencukupi untuk kebutuhan
tanaman sebagaimana yang telah direncanakan dengan pola tanam.
- Tidak efisiennya penggunaan air karena kekurang pengetahuan petani tentang pola
tanam – Kebingungan petani karena perbedaan ramalan hujan pertama oleh para
peramal, masyarakat dan petugas. Sebagai hasilnya, para petani seringkali tidak
menanam dalam waktu yang bersamaan dan menanam tanpa melakukan koordinasi
yang bagus yang menyebabkan tidak efisiennya penggunaan air.

Sebagian besar penyebab-penyebab di atas berhubungan dengan pengelolaan air irigasi


yang disebabkan karena 1) kurangnya koordinasi diantara dinas dan cabang dinas irigasi.
2) kurangnya peraturan-peraturan pada distribusi air. 3) Kurangnya kemampuan PPA dan
WUA.

7.1.4 Permasalahan dan Kendala Berkaitan dengan Pengelolaan Sungai, Danau dan Hidrologi

(1) Sungai Walanae, Boya dan Bila

Kapasitas Saluran Sungai di wilayah yang lebih datar dari dataran seringkali tidak
cukup untuk mengalirkan aliran banjir yang umumnya mempunyai periode ulang 2
tahunan (hal ini adalah asumsi umum untuk kondisi aliran penuh bagi tebing
sungai). Ketika aliran sungai mencapai tingkatan banjir maka air akan meluas ke
sisi kiri dan atau ke sisi kanan sungai, dan menggenangi lahan sekitarnya yang lebih
rendah dari tanggul tebing sungai.

Salah satu penggalan Sungai Walanae yang tidak cukup kapasitas alirannya adalah
dimulai dari sekitar 6 km arah hilir dari jembatan Cabenge sampai ke pertemuan
dengan Sungai Cenranae.

Penggalan Sungai Boya dan Bila yang kapasitas alirannya tidak cukup dimulai dari
5 km arah hilir dari jembatan jalan Tanru Tedong sampai muara sungai di Danau
Tempe.

(2) Rumah-Rumah Permukiman di Sepanjang Tebing Sungai

Terdapat banyak rumah yang berdekatan dengan tebing sungai, karena orang-orang
lebih suka untuk membangun rumah di tebing sungai, dimana akses ke transportasi
sungai lebih mudah. Permukiman manusia yang dekat dengan tebing sungai ini

S - 24
seringkali menghalangi atau menjadi kendala bagi pelaksanaan pekerjaan perbaikan
sungai.

(3) Danau Tempe dan Wilayah Sekelilingnya


Danau Tempe adalah terminal sekunder (tempat penampungan yang
mengumpulkan aliran dari sejumlah sungai) dari sungai-sungai di sekelilingnya
sebelum mengalir keluar ke Teluk Bone. Sebagai terminal sekunder bagi
sungai-sungai, fluktuasi muka air Danau Tempe tergantung pada aliran masuk dan
keluar ke dan dari Danau Tempe. Muka air tinggi disebabkan tidak cukupnya
kapasitas Sungai Cenranae dan penurunan kapasitas tampungan Danau Tempe,
yang disebabkan oleh sedimentasi. Sedimentasi di dasar danau sebagai akibat dari
kerusakan hutan pada bagian hulu sub-sub DAS yang merupakan anak sungai yang
mengalir ke Danau Tempe. Di musim hujan, air danau berasal dari DAS-DAS yang
lebih tinggi dari sungai-sungai di sekelilingnya. Aliran sungai dihambat oleh arus
balik dari danau dan seringkali menyebabkan banjir, menggenangi lahan pertanian.
Sementara itu di musim kemarau lahan pertanian di daerah sawah tadah hujan
menjadi kering dan jumlah ikan di danau mengalami penurunan. Wilayah danau
yang kering seringkali digunakan oleh penduduk setempat untuk menanam palawija,
yang dianggap sebagai salah satu penyebab sedimentasi danau yang berasal dari
sisa-sisa pertanian.

(4) Pengamatan Hidrologi

Di Areal Studi terdapat jaringan stasiun pengamatan hidrologi dan data-data


hidrologi telah lama dikumpulkan dan dicatat. Akan tetapi, jaringan hidrologi ini
tidaklah dirawat dengan baik, dan penaksiran yang terinci dari kondisi
peralatan-peralatan tersebut sangat dibutuhkan. Jumlah data yang tersedia sangat
banyak, akan tetapi tidak semua data dapat diandalkan dan tidak dapat digunakan
untuk studi dan rancangan di bidang lingkungan dan keteknikan. Untuk mendesain
suatu bangunan tertentu seorang perancang haruslah menggunakan nilai aman yang
seringkali lebih besar dari nilai aslinya karena pengukuran-pengukuran parameter
yang telah ditentukan yang tersedia kurang akurat.

7.1.5 Permasalahan dan Kendala di Sektor Perikanan

Permasalahan dan Kendala di sektor Perikanan di Areal Studi dikelompokkan menjadi :


rendahnya pruduksi dan masalah-masalah lainnya.

(1) Rendahnya Produksi

Rendahnya produksi di sektor perikanan berkaitan dengan penurunan stok ikan,


karena perairan daratan (danau, sungai dan rawa) mengalami degradasi lingkungan
disebabkan polutan dari permukiman manusia dan industri, kekeringan di musim

S - 25
kemarau dan banjir di musim hujan. Penyebab utama lainnya untuk penurunan stok
ikan adalah penangkapan berlebih, yang disebabkan tidak berfungsinya
undang-undang dan peraturan pengelolaan sumber daya perikanan. Meskipun telah
ada sebagian peraturan perikanan di Areal Studi, khususnya di Danau Tempe,
peraturan-peraturan itu berbeda tergantung pada masing-masing kabupaten, yang
dapat menyebabkan kondisi yang tidak tentu karena para nelayan bebas untuk
memasuki wilayah kabupaten lain. Hal ini sering memicu timbulnya konflik yang
serius bagi para nelayan dari kabupaten yang berbeda. Penangkapan ikan dengan
aliran listrik yang diamati di Danau Tempe juga mempunyai dampak negatif pada
jenis ikan tertentu dan harus segera dihentikan.

Rendahnya Produksi Budidaya Ikan berhubungan dengan rendahnya teknologi


budidaya ikan, tidak adanya peraturan pemerintah untuk melindungai wilayah
perlindungan budidaya ikan dan penurunan sumber daya air untuk budidaya ikan
disebabkan tak bisa diperkirakannya muka air danau tahun-tahun belakangan ini.

(2) Permasalahan Lainnya

Permasalahan lainnya dalam perikanan adalah sebagai berikut. Permasalah ini


berakar dari kurangnya dukungan pemerintah untuk nelayan.
• Rendahnya pendapatan para nelayan
• Tinggi dan tidak stabilnya harga peralatan perikanan
• Tidak tepatnya sistem pemasaran (seperti kurangnya fasilitas pemasaran dan
trasportasi, kurangnya pengetahuan para nelayan tentang seluk beluk
pemasaran)
• Rendahnya teknologi paska panen (penanganan dan pemrosesan) produksi
perikanan.

7.1.6 Permasalahan dan Kendala di Kehutanan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Areal hutan (hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan lindung dan taman
nasional/cagar alam) di semua kabupaten Areal Studi telah mengalami konversi oleh
penduduk menjadi fungsi lainnya, yang dikenal dengan nama kebun atau perkebunan,
lahan sawah, padang rumput, perladangan dan perdesaan dan hutan yang tertinggal telah
mengalami degradasi. Aktivitas manusia yang dianggap sebagai penyebab utama
degradasi hutan adalah sebagai berikut:

(1) Penebangan Liar


• Penebangan liar untuk pembangunan rumah atau produksi mebel oleh
masyarakat di Kecamatan Baraka, Maiwa (Kabupaten Enrekang), Kecamatan
Camba, Mallawa dan Cenrana (Kabupaten Maros).
• Penebangan liar untuk kayu bakar di semua kabupaten di Areal Studi

S - 26
• Penebangan liar untuk kayu bakar oleh industri setempat terjadi di Kecamatan
Bontocani (Kabupaten Bone), Kecamatan Mallawa, Camba dan Cenrana
(Kabupaten Maros) dan Kecamatan Baraka, Maiwa (Kabupaten Enrekang).

(2) Perladangan Berpindah


• Pembakaran hutan oleh penduduk setempat untuk regenerasi padang rumput
bagi ternak sapi dan penyiapan lahan untuk tanaman tahunan bagi perladangan
berpindah merupakan hal yang biasa.
• Hutan lindung dan hutan produksi telah dialihkan oleh penduduk setempat
menjadi perladangan berpindah dan untuk tanaman perkebunan seperti kopi dan
coklat.
• Erosi angin dan gelombang (abrasi) disebabkan oleh penebangan hutan bakau
oleh penduduk setempat di Kecamatan Cenranae (Kabupaten Bone).
Semua hal di atas berhubungan dengan tidak cukupnya pengertian masyarakat tentang
fungsi hutan dan pentingnya keberadaan hutan yang mengakar dari faktor-faktor
kelembagaan seperti:

1) Kurangnya pengawasan luasan hutan (kurang fasilitas, kurangnya jumlah petugas,


terutama di Kabupaten Maros dan Enrekang), dan

2) Tidak jelasnya tapal batas resmi hutan dan tapal batas fungsional di lapangan.
Tapal batas resmi hutan tidak jelas karena adanya dua macam hukum yaitu
Hukum Adat dan Hukum Negara. Meskipun Hukum Negara menyatakan suatu
daerah sebagai Hutan Lindung tapi seringkali Hukum Adat mengijinkan
perladangan berpindah pada wilayah yang sama untuk penduduk asli berdasarkan
prinsip kepemilikan bersama.

7.1.7 Permasalahan dan Kendala di Sektor Pertanian

Permasalahan dan kendala di sektor pertanian dapat dibagi menjadi 3; 1) tidak stabilnya
ketersediaan sumber daya air, 2) kerusakan dari banjir musiman dan 3) permasalahan
lainnya. Kendala paling umum dan paling serius di Areal Studi adalah tidak dapat
diandalkannya persediaan air untuk mencukupi kebutuhan penanaman dan banjir
musiman pada wilayah dataran rendah. Ketidak stabilan distribusi hujan mengakibatkan
besarnya fluktuasi tahunan bagi areal penanaman dan rendahnya produktivitas tanaman,
dimana pada kasus-kasus yang cukup serius menambah kesulitan yang sudah diakibatkan
karena kekeringan terutama di areal-areal sawah tadah hujan.

Wilayah irigasi di hilir seringkali mengalami kekurangan air untuk irigasi karena belum
bagusnya pengelolaan ketersediaan air. Permasalahan lainnya di bidang pertanian adalah
sebagai berikut:

• Hasil penerapan praktek-praktek pertanian yang direkomendasikan masih belum

S - 27
memuaskan – Pilihan para petani pada padi sampai saat ini masih menjadi kendala
untuk diversifikasi tanaman dan penggunaan air untuk irigasi di musim kemarau
yang rasional.

• Penyediaan benih padi dan palawija tidak selalu sesuai dengan kebutuhan aktual
petani dalam hal macam benih dan waktunya, dan hasil penerapan benih yang
berkualitas masih jauh dari target yang ditetapkan oleh dinas pertanian. Hal ini
hanyalah sebagian, sebab pada kenyataannya benih-benih pertanian dari pemerintah
tidaklah berfungsi dengan baik, ditambah dengan masalah keuangan dan
kemampuan teknis pembibit swasta yang masih terbatas.

• Kurangnya mesin-mesin pertanian (terutama traktor): Terdapat sejumlah mesin


pertanian yang tidak bisa dioperasikan lagi, disebabkan tidak tersedianya toko atau
bengkel untuk memperbaiki mesin-mesin tersebut dan pengoperasian mesin yang
sembrono.

• Harga-harga bahan-bahan pertanian diatas kemampuan keuangan para petani dan


persediaan bahan-bahan tersebut seringkali terlambat atau tertunda.

• Tidak tepatnya sistem pemasaran (seperti kurangnya fasilitas pemasaran dan


transportasi, kekurang tahuan petani pada seluk beluk pemasaran dan ketidak
stabilan harga produksi).

Semua kelompok permasalahan di atas berakar dari faktor-faktor dampak negatif


lembaga-lembaga pertanian terkait, seperti; a) kurangnya kemampuan keuangan
lembaga-lembaga pertanian pemerintah terkait, b) kurangnya kemampuan organisasi
petani, c) kurang koordinasinya antar lembaga pertanian formal dan informal, d) kurang
efektifnya pelayanan pendukung pertanian e) kurang kongkritnya strategi-strategi
pengembangan agribisnis, yang menjadi prioritas dalam Areal Studi dan f) terbatasnya
akses petani pada instansi-instansi yang menyediakan kredit.

7.1.8 Permasalahan dan Kendala pada Aspek-Aspek Hukum

(1) Belum sepenuhnya dikembangkan dan diimplementasikannya harmonisasi antara


Hukum Nasional dan Hukum Setempat.

(2) Adanya ketidak seimbangan dalam pelaksanaan antara Hukum Adat (hukum
tradisional) dengan Hukum Daerah. Hukum Daerah diimplementasikan berdasar
sektor demi sektor dan tingkatan pemerintahan nasional, provinsi dan regional,
sementara Hukum Adat seringkali lebih manusiawi, dimengerti dan digunakan oleh
penduduk lokal dalam akitivitasnya yang sering kali memberikan dampak pada
keberlanjutan DAS seperti penggunaan lahan dan alokasi sumber daya air.

S - 28
(3) Pada desentralisasi egoisme (karena pernyataan hak-hak yang baru) Pemerintah
Kabupaten cukup besar dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan terdahulu oleh
pemerintah provinsi. Sebagai contoh, distribusi sumber daya air diantara
kabupaten-kabupaten akan menjadi sulit karena egoisme kabupaten yang telah
berkembang sejak desentralisasi.

(4) Mekanisme penegakan hukum diantara kabupaten dan provinsi belum berfungsi
dengan baik. Badan-badan penegak hukum cenderung mengabaikan hukum dan
peraturan yang mereka sendiri tak bisa menerapkannya.

(5) Prosedur sertifikasi tanah adalah proses yang memakan waktu lama dan birokratis dan
lebih sulit lagi dengan dilaksanakannya desentralisasi.

7.1.9 Permasalahan dan Kendala di Sektor Pariwisata

(1) Kurangnya bentang lahan alami sebagai daya tarik tujuan wisata

(2) Infrastruktur transportasi yang jelek

(3) Fasilitas akomodasi yang di bawah standar

(4) Kurangnya fasilitas dasar seperti pelayanan air dan listrik 24 jam dan kurangnya
fasilitas sanitasi
(5) Kemampuan keuangan yang terbatas untuk penanaman modal di industri pariwisata

(6) Dukungan pemerintah yang kurang pada pariwisata di Areal Studi

(7) Keterbatasan pengalaman dan keahlian masyarakat untuk mengembangkan/


mempromosikan industri kepariwisataan.

7.2 Struktur Permasalahan DAS dan Keterkaitan Lintas Sektoral

Gambar pada halaman berikut ini memberikan ringkasan tentang struktur permasalahan
dengan metoda hubungan sebab-akibat. Pada gambar ini, meskipun bukan daftar yang
lengkap, semua masalah dan penyebab utama yang telah diidentifikasi dan didiskusikan,
digolongkan dalam satu perihal yang menunjukkan faktor-faktor penyebab utama di sisi
kiri gambar (dikelompokkan sebagai faktor-faktor fisik/alami, kelembagaan dan manusia)
dengan akibat yang ditimbulkan diletakkan dalam perihal/cara yang berurutan, umumnya
mengarah ke sebelah kanan dari gambar tersebut.

S - 29
Curah hujan tidak stabil dan
tid kseimbangnya curah
h j
musiman dan pola
li Pengembangan Kerusakan Intrusi air laut di
Sektor Pariwisata
S. Cenranae
Faktor Alam / Fisik

Pendapatan Tambak Mangrove


Kapasitas sungai yang Nelayan Menurunnya
k Sektor Lingkungan Menurunnya LiDanau
k Tempe
rendah Penangkapan
Banyaknya pemukiman di Degradasi Lingkungan Keanekaraga b i
berlebihan sumber
i i di Danau Tempe dan an Hayati i i t
sungai sehingga Menurunnya
litk perbaikan kualitas Sidenreng
Konflik Kapasitas penangkapan i
S i l ik di danau
Perbaikan di beberapa Penduduk
b i menghambat aliran
sungai Sektor Perikanan k dan
sungai i danau
untuk
KEKERINGAN : Rendahnya aliran masuk di msm b
k

Kurangnya dukungan pd
l Pertanian Sedimentasi
Sistem Bagi Hasil Erosi
Berpindah d Tempe dan
Danau
b bk income
menurunnya Degradasi Banjir
l Penebangan H t Sidenreng
Faktor Kelembagaan

Tidak berfungsinya Meningkatnya


Liar
t
pengelolan Sumber Daya Lahan Kritis
Al(Penegakan Hukum Sektor Kehutanan diDaerah Hulu
L h)
KEKERINGAN : Kurangnya air di musim kemarau untuk Kerusakan
Kurangnya kemampuan t i Tanaman di
lpertanian
b yang terkait Hili
(k di dani Tidak Stabilnya ketersediaan
Dinas Pengairan Kurangnya O&M / i untuk pertanian
bi ) M irigasi
K kurang
b t aktif, kurang nya kualitas Sistem kh
Kurangnya strategi yang konkret I i i yang ada bagian hilir
t f Produktivitas
dl l
pengembangan agribisnis Pertanian
Penyuluhan tidak Kurangnya pengetahuan
(t kpelayanan tid koptima
f ktif t i Teknologi
tentang
k dit) l
P t i
Faktor Manusia

Kualitas benih yg rendah dan


Pemahaman yang rendah tid efektifnya
k
d i sistem
masyarakat tentang l
P l l Alam dan
Sumberdaya Sektor Pertanian Kurangnya alat
Li k t i

Gambar Diagram Struktur Permasalahan pada Pengembangan dan Pengelolaan DAS Wal-Cen

S - 30
Seperti dapat dilihat pada gambar, suatu fenomena masalah di suatu sektor disebabkan
oleh kombinasi dari berbagai hubungan penyebab yang berbeda, bahkan seringkali lintas
sektor. Sebagai contoh, fenomena masalah “Produksi Pertanian Tidak Optimal”
disebabkan beberapa faktor yang datang tidak hanya dari sektor pertanian tapi juga dari
sub-sub sektor irigasi, perlindungan/perbaikan sungai dan dari kehutanan dan pengelolaan
DAS. Contoh lainnya; fenomena masalah “Merosotnya Lingkungan Danau Tempe
sebagai Sumber Daya Pariwisata” disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan yang saling
berkaitan. Untuk contoh-contoh di atas, keterkaitan penyebab berasal dari faktor-faktor
penyebab yang berbeda yang dikelompokkan dalam faktor-faktor Alami/Fisik,
Kelembagaan dan Manusia yang terletak di sebalah kiri gambar.
“Keterkaitan penyebab lintas sektoral yang berasal dari faktor-faktor penyebab dengan
kelompok yang berbeda” ini adalah alasan yang sangat utama bagi penetapan pendekatan
multi sektoral danal pengelolaan suatu DAS.
Seperti dapat dilihat pada gambar, penegasan kembali yang bernilai pada bagian ini
adalah bahwa “Dengan tujuan untuk memecahkan/mengurangi permasalahan di
DAS WalCen, bermacam aktivitas harus dilakukan secara paralel dan berurutan”.
Hal-hal lain yang dapat disebutkan secara umum adalah:
1) Semua sektor kurang lebih mempunyai hubungan dengan sektor lainnya
2) Hubungan-hubungan tersebut umumnya berasal dari satu sektor ke sektor lainnya
(yaitu hubungan satu sisi)
3) Suatu kesepakatan dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa aktivitas secara paralel
4) Dalam jangka panjang, sektor Kehutanan dan Pengelolaan DAS kelihatannya akan
menjadi awal mula sektor yang akan mempengaruhi sektor-sektor lainnya dan untuk
itu, dalam pertimbangan bahwa sektor ini baru memetik keuntungan kegiatan dalam
waktu yang lebih lama, mengedepankan sektor ini dari sektor lainnya adalah
strategi yang layak dan harus dipakai sebagai langkah dasar dari Rencana Kegiatan
(seperti menerapkan kemajuan dari sektor ini sebagai acuan).
5) Seperti juga halnya, sektor Lingkungan kelihatannya akan menjadi awal mula sektor
yang mempengaruhi sektor lainnya ke dua sesudah Kehutanan dan Pengelolaan DAS,
terutama pada sektor Perikanan. Jadi harus diperlakukan sebagai langkah dasar untuk
rencana kegiatan bagi sektor Perikanan. Akan tetapi, kualitas air Danau Tempe dan
tinggi muka air di musim kemarau membutuhkan kegiatan yang segera dilakukan
sebelum kondisi perikanan danau dan sumber daya lingkungan akan mengalami
kemerosotan yang tak bisa diperbaiki.
6) Kegiatan-kegiatan semua sektor harus dilaksanakan sesuai dengan strategi urutan
masing-masing sektoral karena prosedur penyiapan/pengadaan mereka yang
sepantasnya dilakukan sebagaimana yang telah diberikan pada 4) dan 5) harus dipakai
sebagai kondisi awal.

S - 31
8 KERANGKA KERJA PERENCANAAN
8.1 Kerangka Kerja Socio-ekonomi
8.1.1 Asumsi untuk Kerangka Kerja Ekonomi

Rata-rata Pendapatan Kotor Tahunan wilayah obyektif studi selama periode 1999-2001
menunjukan pertumbuhan sebesar 4 %, dimana pada periode tersebut wilayah studi mulai
pulih dari krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997. Karena keadaan ekonomi di
Indonesia masih belum jelas, pada Studi ini, bukan pertumbuhan yang tinggi atau rendah,
tapi pertumbuhan yang layak/sedang, sebagai kecenderungan pertumbuhan yang terjadi
setelah krisis moneter, diambil sebagai kerangka kerja ekonomi dalam jangka waktu
rencana proyek (sampai 2028).

8.1.2 Asumsi untuk Kerangka Kerja Kependudukan

Angka pertumbuhan penduduk di 6 Kabupaten di Daerah Studi diproyeksikan


berdasarkan kecenderungan pertumbuhan penduduk akhir-akhir ini. Hasilnya dapat
dilihat dalam tabel berikut:

Tabel: Proyeksi Angka Pertumbuhan Penduduk di enam Kabupaten di Daerah Studi

Angka Proyeksi jumlah Penduduk


Jumlah
Pertumbuhan
Kabupaten Penduduk
Penduduk 2010 2020 2028
2001
(% / tahun)
1. Maros 274.394 1,29 307.945 350.058 387,857
2. Bone 655.091 0,73 699.409 752.176 797.242
3. Soppeng 219.901 -0,3 213.061 206.755 201.845
4. Wajo 361.039 0,19 367.260 374.298 380.025
5. Sidrap 241.448 0,46 251.630 263.477 273.300
6. Enrekang 169.203 1,44 192.268 221.600 248.257
Total 1.921.076 0,61 2.031.573 2.168.334 2.288.526
Sumber: Sulawesi Selatan dalam Angka 2001

Berdasarkan pertimbangan yang disebut dibawah ini, kecenderungan angka pertumbuhan


penduduk di daerah Studi adalah agak rendah dan hal ini barangkali akan berlangsung
dalam beberapa dekade mendatang.
• Dalam jumlah tetentu telah terjadi perpindahan penduduk ke daerah perkotaan,
seperti Makassar yang mengalami perluasan secara cepat, dan sepertinya akan terjadi
secara menerus.
• Daerah Studi terutama terdiri dari daerah pedesaan dan posisi sektor pertanian di
ekonomi daerah tidak mudah akan berubah dalam dekade-dekade yang akan datang.
Fakta ini bersama pertimbangan angka pertumbuhan rata-rata penduduk perkotaan

S - 32
dan pedesaan (masing-masing >5% dan <0,5% dalam periode 1990-1995) pada
proyeksi tingkat pertumbuhan penduduk yang yang dapat dibenarkan.
• Angka penduduk di Daerah Studi tidak sama dengan angka penduduk di enam
Kabupaten disebut di atas (angka penduduk di Daerah Studi adalah sekitar satu juta,
separuh dari jumlah di 6 Kabupaten), yang membenarkan pertumbuhan yang rendah
sebagaimana disebut di atas.
8.1.3 Pendapatan Kotor per Kapita

Berdasarkan dua proyeksi disebut di atas ini, proyeksi Pendapatan Kotor per kapita untuk
masing-masing Kabupaten telah dibuat dan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel Proyeksi Pendapatan Kotor Per Kapita


(Rp. juta)
Tahun
Kabupaten
2000* 2010 2020
Enrekang 2,37 3,07 4,10
Maros 3,31 4,16 5,37
Sidrap 3,51 4,63 6,30
Soppeng 3,2 4,68 7,14
Wajo 4,01 6,60 11,49
Bone 3,05 3,63 4,41
Total Rata-Rata 3,24 4,46 6,47

* Data pendapatan tahun 2000

8.2 Evaluasi Potensi Sumber Daya Air


8.2.1 Perkiraan Air Potensial

Curah hujan tahunan rata-rata, evapotranspirasi + infiltrasi dan limpasan permukaan


(runoff) untuk Daerah Studi diperkirakan berturut-turut sebesar 2.300 mm, 1.050 mm dan
1.250 mm. Perkiraan ketersediaan potensi air di Daerah Studi sekitar 9,98 x 109 m3/ahun.

8.2.2 Perkiraan Kebutuhan Air Saat ini.

Perhitungan kebutuhan air di daerah studi saat ini, didasarkan pada model konsumsi air
dan persediaannya tahun 2001. Kebutuhan air (yaitu konsumsi) mencakup kebutuhan air
untuk domestik, perkotaan dan industri, serta air untuk kolam perikanan air tawar dan air
untuk perikanan tambak.

Konsumsi lain, seperti air untuk peternakan dan kebutuhan lain yang kecil, dianggap tidak
penting. Sub-sektor irigasi adalah pengguna air dalam jumlah yang siknifikan yaitu
sebesar 82% dari total konsumsi air di daerah studi, dengan kebutuhan totalnya pada
tahun 2001 diperkirakan sebesar 1,36 milyar meter kubik. Persentase air untuk
penyediaan air baku dan kolam ikan air tawar adalah berturut-turut 8,4% dan 9,1%.
Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai (“river maintenance flow”) dalam kalkulasi

S - 33
diperkirakan sekitar 17% dari ketersediaan potensi air. Perincian kebutuhan air masa kini
untuk setiap wilayah distrik air di Daerah Studi, telah dihitung dalam periode setengah
bulanan dan untuk setiap sektor/sub-sektor. Air yang digunakan untuk irigasi meliputi
kebutuhan air irigasi pada areal rencana pengembangan, areal jaringan irigasi desa dan
jaringan irigasi pompa.

8.2.3 Kondisi Kesetimbangan Air Saat Ini

Dari perkiraan ketersediaan potensi air dan perhitungan kebutuhan air masi kini di Daerah
Studi, kesetimbangan air dihitung dalam periode setengah bulanan. Penggunaan air irigasi
mencapai 13,6% dari total ketersediaan potensi air di Daerah Studi. Permintaan air untuk
irigasi yang paling tinggi terjadi di sistem Sunga Walanae dan besarnya kira-kira 17,4%
(640 MCM/tahun) dari permintaan air total saat ini. Sisa persediaan air potensial di
daerah studi punya volume sekitar 8.300 MCM/tahun.

8.2.4 Kebutuhan dan Kesetimbangan Air di Masa Yang Akan Datang.

(1) Kubutuhan Air di Masa Yang Akan Datang.

Kebutuhan air di masa depan dihitung sebagai permintaan air total pada setiap tahap
rencana pengembangan sumber daya air di daerah studi sebagaimana kondisi pada
Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan (RPKP) dan Rencana Tindak.
Masing-masing kondisi adalah: Mendesak (sampai 2005), Jangka Waktu Pendek
(sampai 2008), Jangka Waktu Sedang (2013) dan Jangka Waktu Panjang (2028).
Permintaan air untuk sektor irigasi akan tetap dominan.

(2) Kesetimbangan Air Saat Ini dan di Masa Yang Akan Datang.

Kesetimbangan air di Daerah Studi dihitung berdasarkan kebutuhan rata-rata


tahunan dan perkiran ketersediaan air dalam periode setengah bulanan, tidak
menunjukan terjadinya kekurangan yang berarti pada masing-masing wilayah
distrik air, baik pada saat ini maupun pada masa depan sampai tahun 2028. Akan
tetapi, hasil ini bukan berarti tidak akan terjadi kekurangan air karena distribusi
curah hujan musiman dan fluktuasinya dalam jangka wakta panjang. Kekurangan
air dapat terjadi pada suatu tahun kering dengan curah hujannya yang rendah di
mana ada kekurangan air di sitiap wilayah distrik air.

Penggunaan air dalam masa depan di sistem Danau Tempe akan memerlukan 93%
dari air total potensial air pada system danau Tempe tersebut. Hal ini
menggambarkan pentingnya kontrol air yang mengalir keluar sistem danau.
Bersamaan dengan kontrol air yang mengalir keluar Danau Tempe, permukaan air
harus dikontrol dengan cara yang akan mencegah banjir di kota Sengkang yang
terletak di tepi Danau Tempe.

S - 34
8.2.5 Kesetimbangan Air Danau Tempe

Studi kesetimbangan air Danau Tempe dilakukan dalam periode harian dengan
pemanfaatan data hidrologi dan rencana untuk pengembangan dan konservasi sumber
daya air. Seperti dinyatakan sebelumnya, penampang melintang Sungai Cenrana di daerah
hilir telah membesar, dan perlunya pengerukan yang sebelumnya diperkirakan punya
volume 3.000.000 m3, menurut kalkulasi sekarang punya volume 100.000 m3.
Pembesaran penampang melintang diperkirakan merupakan hasil banjir besar pada tahun
1998. Dalam simulasi, permukaan air pada musim kemarau dapat turun sampai 3 m dan
danau hampir jadi kosong. Kecenderungan ini akan lebih besar oleh karena
pengembangan sumber daya air (yaitu pembangunan proyek di daerah hulu pada masa
mendatang). Menurut hasil perhitungan, danau Tempe akan cepat "mengering” pada
musim kemarau bila bendung gerak Tempe tidak dibangun. Jika bendung gerak Tempe
dikonstruksi, maka dapat dipenuhi baik persyaratan tinggi permukaan air danau Tempe
minimal +5.00 m, maupun debit pemeliharaan (maintenance flow) sebesar 30 m3/s untuk
sungai Cenranae. Bagaimanpun, berdasarkan studi awal kesetimbangan air di daerah studi,
kondisi pada beberapa tahun kering, kelihatannya sulit memenuhi ke dua kondisi diatas
dalam waktu yang bersamaan.. Salah satu jalan keluar adalah konstruksi dam dan waduk
di daerah hulu. Kemungkinan lain adalah pengelolaan air yang efektif, melalui usulan
prakiraan banjir dan kemarau panjang dan system peringatan dini..

8.3 Penilaian Kesesuian Lahan


8.3.1 Lahan Kritis

Lahan kritis di dalam dan luar wilayah hutan di masing-masing Kabupaten di Daerah
Studi pada tahun 2001 dapat dilihat di tabel berikut.

Lahan kritis di dalam dan luar wilayah hutan (ha)

Lahan Kritis (ha)


Kabupaten Total
Daerah Hutan Luar Daerah Hutan
Maros 9.995 5.673 15.668
Bone 34.156 23.116 57.272
Soppeng 6.970 6.523 13.493
Enrekang 5.750 10.094 15.844
Wajo 4.445 14.293 18.738
Sidrap 30.871 19.090 49.961
Total 92.187 78.789 170.976
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Maros, Soppeng, Enrekang, Bone, Wajo dan Sidrap, 2002

Data di tabel di atas menunjukan bahwa luas total daerah lahan kritis sekitar 171.000 ha.
Daerah yang direhabilitasi dalam program yang dilaksanakan oleh Departemen

S - 35
Kehutanan hanya mencapai luas 4.800 ha untuk penghijauan dan 5.636 untuk reboisasi
dalam tiga tahun terakhir. Ini sama dengan 1.591 ha/tahun untuk penghijauan dan 1.879
ha/tahun untuk reboisasi. Karena itu, upaya rehabilitasi lahan kritis akan memerlukan
jangka waktu panjang, jika dilanjutkan dengan tingkat kecepatan seperti sekarang ini.

Keadaan daerah kehutanan berkaitan dengan fungsi yang diharapakan dapat digunakan
sebagai indikator tingkat keadaan kritis daerah hutan. Bilaman daerah hutan tidak punya
fungsi yang telah direncanakan, daerahnya dapat jadi lahan kritis.

8.3.2 Kriteria untuk Penilaian Kesesuaian Lahan

Daerah Studi dibagi menjadi berbagai kategori penggunaan lahan: yaitu kawasan lindung,
jalur hijau (buffer zone), kawasan tanaman budidaya, dan kawasan tanaman tahunan.

Kriteria yang digunakan untuk penilaian kategori penggunaan lahan secara singkat
dijelaskan di bawah ini:

(1) Kawasan Lindung:


• Kemiringan lebih 45%
• Tipe tanah yang sensitif erosi, seperti Regosol, Litosol, Orgonosol, dan
Renzina
• Zona keamanan aliran sungai minimal 100 m dari tepi sungai untuk sungai
besar dan 50 m untuk anak sungai
• Kawasan lindung sumber air, dengan radius yang minimal 200 m dari sumber
air.
• Daerah yang 2.000 m atau lebih atas permukaan laut
• Kawasan khusus yang detentukan sebagai kawasan lindung oleh pemerintah
• Daerah termasuk “penetapan kawasan lindung” (keputusan menteri Pertanian
No. 683/PTS/UM/8/1981) dengan nilai 175 poin lebih
• Kawasan hutan lindung dengan batas yang jelas.
• Daerah sekitar bendungan dan waduk harus dilindungi sampai sekitar 500 m
dari tepi bendungan atau waduk
• Cagar Alam ditentukan untuk Konservasi Satwa, Konservasi Alam, Hutan
Wisata, Kawasan Pungungsian dan Kawasan Jenies Lindung
• Daerah Cagar Alam, Taman Safari, Taman Wisata Nasional yang ditentukan
oleh pemerintah
• “Right of Way” untuk perlindungan pantai dengan lebar minimum 100 m dari
garis pasang tinggi
• Pantai dengan hutan bakau, dengan lebar 130 kali perbedaan rata-rata antara
pasang tinggi dan surut tahunan, diukur dari garis air surut masuk ke arah
darat.

S - 36
(2) Buffer zone:
“Buffer zone” adalah daerah dengan nilai potensi lahan 125 – 175 poin, dan/atau
mempenuhi beberapa kriteria umum seperti berikut:
• Dari segi ekonomi, keadaan phisik daerah sesuai untuk kegiatan penanaman
• Dari segi ekonomi, daerah sesuai untuk dikembangkan sebagai “buffer zone”
• Tidak ada penurunan aspek Ekologi/Lingkungan Hidup
(3) Kawasan Tanaman Tahunan:
Kawasan yang ditanam tanaman tahunan harus miliki nilai potensi lahan di bawah
124. Daerah seperti ini harus dikembangkan sebagai hutan agrobisnis dan tanaman
perkebunan.
(4) Kawasan Tanaman Budidaya:
Kawasan tanaman budidaya punya kriteria umum yang sama dengan kawasan
tanaman tahunan. Akan tetapi tanah milik pribadi, dan tanah milik negara akan
dikembangkan sebagai agrobisnis.

8.3.3 Rencana Tata Guna Lahan

Rencana Tata Guna Lahan yang direkomendasikan untuk Daerah Studi disajikan dalam
table di bawah ini.

Rekomendasi Tata Guna Lahan di DAS Walanae-Cenranae

Rekomendasi Rencana Tata Guna Lahan

Kawasan Buffer Tanaman Tanaman


DAS / Sub DAS Total
Lindung Zone Tahunan Budidaya

(ha) (ha) (ha) (ha) (ha)

1 Bila

- Kalempang 46.093,30 - - 10.402,34 56.495,64

- Bila 31.237,55 4.005,55 - 23.380,62 58.623,72

- Lacinrang 2.100,44 - - 19.705,30 21.805,74

Kalola 7.986,39 - - 16.170 24.156,39

Sub Total 87.417,68 4.005,55 - 69.658,26 161.081,49

2 Walanae

- Minraleng 49.423,91 931,25 10.192 8.850,11 69.397,27

- Camparake 9.652,28 18.111,17 - 2.181 29.944,02

- Tellu Limpoe 15.910,20 7.619,50 - 3.862 27.391,90

- Mario 25.326,77 24.173,27 - 7.406 56.906,31

- Belo 9.896,53 5.058,00 2.543 10.681 28.178,65

S - 37
- Sanrego 21.863,92 - 1.133 22.997,27

- Other Walanae 35.329,69 10.644,48 - 36.127 82.100,69

Sub Total 167.403,30 66.537,67 12.735,00 70.240,14 316.916,11

3 Gilirang 6.195,00 22.842,00 8.979,43 13.808,33 51.824,76

Batu-Batu dan
4 46.680,26 - 1.739,50 72.034,86 120.454,62
Tempe Depression

5 Cenranae 15.755,06 22.772,00 13.574,22 65.269,40 117.370,68

Grand Total 323.451,30 116.157,22 37.028,15 291.010,99 767.647,66

% 42,14 15,13 4,82 37,91 100,00

Rekomendasi tata guna lahan sebagaimana ditunjukan pada tabel di atas, tidak sesuai
dengan pengunaan lahan saat ini. Di beberapa tempat penggunaan lahan memang tidak
ikut pedoman yang diuraikan di “Peta Padu Serasi Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sulawesi Selatan,
1999”

Untuk minimalkan dampak negatif penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi
lahan, penggunaannya perlu diarahkan ke fungsi perlindungan. Kawasan lindung yang
telah dikonversi ke kawasan produksi harus ditanami pohon, atau pohon buah-buahan
untuk mengurangi intensitas penggunaan lahan yang tidak sesuai, hutan produksi terbatas
atau hutan konservasi harus dikonversi ke hutan lindung.

Walaupun rekomendasi penggunaan lahan di atas merupakan pola pengembangan


penggunaan lahan yang “ideal” dari sudut pandang konservasi, untuk perencanaan jangka
waktu panjang betul-betul direkomendasikan hasil ini dibuatkan “tolak ukur” untuk
pengelolaan berkelanjutan dalam penggunaan lahan di daerah aliran sungai.

9. RENCANA PENGEMBANGAN, KONSERVASI DAN PENGELOLAAN (rpkp)

9.1 Rencana Aspek Hukum dan Kelembagaan dan Peningkatan Kemampuan

9.1.1 Susunan Lembaga yang diusulkan untuk Penerapan RPKP dan Rencana Tindak

Pada periode transisi, diperlukan pendirian lembaga untuk ekonomi regional yang efektif,
pelaksanaan pengembangan sumber daya air dalam skala besar, akan dikelola oleh
instansi pemerintah pusat dan propinsi yang sudah ada. Istansi yang dianggap sesuai
untuk pelaksanaan pekerjaan operasi dan pengelolaan dalam masa yang akan datang
dapat di lihat pada tabel di bawah.

S - 38
Rencana susunan jangka waktu panjang difokuskan kepada pendirian badan swadaya
untuk pengembangan dan pengelolaan sumber daya air. Perusahan “Jasa Tirta
Jeneberang” dengan tipe PJT akan didirikan dalam waktu dekat ini. Perusahaan ini akan
berbisnis dalam pemberian jasa komersial (yang dapat dipasarkan), dana akan
menggunakan pendapatannya untuk penyediaan jasa non-komersial. Pengolahan air
limbah, pengendalian pencemaran, pencegahan banjir, dan pengelolaan DAS termasuk
jasa yang diberikan dengan dasar pembayaran produk.

Walaupun telah dibentuk perusahaan semacam PJT, badan pemerintah tetap diperlukan
untuk pelaksanaan, pengurusan dan koordinasi pengembangan dan pengelolaan sumber
daya air.

Lingkup Pekerjaan Lembaga Yang Berpotensi Mempunyai Keterkaitan


1. Perencanaan
1.1 Rencana Strategi (1) BAPPENAS (Pemerintah Pusat)
Nasional dan Pedoman (2) KimPrasWil (Pemerintah Pusat)
Teknis
1.2 Rencana Pengembangan (1) Kantor Proyek Induk PWS Jeneberang (Pemerintah
seluruh DAS Pusat/Propinsi)
(2) Balai PSDA (Pemerintah Propinsi)
(3) Dinas PU Kabupaten (Pemerintah Kabupaten)
2. Pengembangan & (1) KimPrasWil (Pemerintah Pusat)*
Pelaksanaan (2) Kantor Induk PWS Jeneberang atau (diusulkan) PI
Walanae-Cenranae (Pemerintah Pusat/Propinsi)
(3) Dinas PU Kabupaten (Pemerintah Kabupaten)
3. Operasi, Pemeliharaan dan (1) KimPrasWil (Pemerintah Pusat)*
Pengelolaan (2) Kantor Proyek Induk PWS Jeneberang atau (diusulkan) PI
Walanae-Cenranae (Pemerintah Pusat/Propinsi)
(3) PIRASS
(4) Balai PSDA Walanae-Cenranae
(5) Dinas PU/PSDA Kabupaten (Pemerintah Kabupaten)
4. Pengaturan Pekerjaan BAPPEDAL yang ada dari Pemerintah Pusat dan Propinsi untuk kontrol
termasuk Pengelolaan DAS kualitas air dan BRLKT/Balai P-SDA untuk konservasi tanah
5. Pekerjaan Koordinasi (1) PTPA (Pemerintah Propinsi)
(2) PPTPA (Unit Tingkat DAS)
6. Rencana Pengembangan (1) BUMD untuk Perikanan dan Pertanian Lahan Basah
Terpadu Danau Tempe (2) Pusat Informasi Danau Tempe
Note: KimPraswil hanya terlibat dalam proyek pengembangan skala besar
Sumber: Maros-Jeneponto Comprehensive Management Plan Study, Nov.2001 dan informasi updating.

9.1.2 Rencana Peningkatan Kemampuan (Capacity Building Plan)

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) meliputi semua kegiatan yang diperlukan
untuk mengembangkan dan mendorong tenaga kerja pada semua tingkat lembaga. Ini
termasuk pelatihan dan pendidikan, rencana penempatan staf, pengembangan karier, dan
pengembangan imbalan yang adil dan tidak memihak dan pengembangan budaya
bersemangat dan progresif dalam lembaga. Masalah dan hambatan yang perlu

S - 39
dipertimbangkan dan ditangani dengan dasar-dasar kebijakan pengembangan dan
pengelolaan SDM adalah:

• Kekurangnya ketrampilan pengelolaan dan pengawasan pada semua tingkatan

• Penggunaan SDM yang tidak efisien

• Perlawanan terhadap perubahan oleh banyak pengambil keputusan dan manajer.

• Ketidaksesuaian kurikulum pelatihan dengan kebutuhan dalam pekerjaan

• Kelebihan staf yang harus dilakukan rasionalisasi posisi/jabatan dan diperlukan


“pemindahan keluar lembaga” yang bersangkutan.

• Prasarana pelatihan yang terbatas.

Pembaharuan dan desentralisasi sektor air memerlukan peningkatan kemampuan semua


lembaga dan instansi yang baru atau diorganisir kembali, untuk pemberdayaan dalam
penerimaan tanggung jawab dan tugasnya dalam paradigma baru pengelolaan sumber
daya air dan irigasi.

Lingkup kegiatan berikut perlu dipertimbangkan sebagai bagian pendekatan peningkatan


kemampuan:

1) Sosialisasi konsep dan konsekwensi desentralisasi dan kebijakan otonomi regional,


pengelolaan sumber daya air pada tingkat DAS dan pengalihan wewengan
pengelolaan irigasi kepada P3A.

2) Penentuan ulang peran, tanggung jawab dan tugas baru untuk lembaga pemerintah
yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya air dan diarahkan ke unit yang
berfokus pelayanan.

3) Pemberdayaan lembaga untuk memungkinkan pelaksanaan peran baru secara


efektif. Hal ini meliputi:

• Pengenalan dan pengembangan mekanisme dan peralatan akuntabilitas untuk


lembaga pemerintah dalam desentralisasi dan pemberdayaan P3A.

• Pengembangan kemampuan individu di lembaga sumber daya air dan irigasi

• Pengembangan kemampuan lokal untuk peningkatan kemampuan yang


berkelajutan.

(1) Pelatihan untuk anggota PTPA dan PPTPA

Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air DAS dan partisipasi pihak terkait
(stakeholder) sudah dimulai melalui pendirian Panitia Pelaksana Tata Pengaturan
Air PPTA) dan Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). Wakil pihak tekait yang
berasal dari lembaga swasta masih perlu dilibatkan, sebagai bagian pelaksanaan

S - 40
agenda pembaharuan pemerintah, di mana pendekatan “bottom-up” dan partisipasi
masyarakat dan LSM dianggap penting.

PTPA Sulawesi Selatan telah melakukan tindakan, agar pihak terkait dimasukan di
dalam panitia koordinasi. Program pelatihan untuk PTPA dan PPTPA akan meliputi
hal-hal berikut:

• Pelatihan untuk memperoleh pengertian tentang: 1) Kebijakan Sumber Daya Air


yang baru dan arah kebijakannya, 2) pelaksanaan dean kerangka kerja untuk
pengelolaan sumber daya air dan 3) pengertian tentang misi lembaga.

• Pelatihan supaya semua staf mengerti keadaan fisik daerah studi dan terbiasa
dengan rencana tata ruang sumber daya air dan rencana tindak serta mampu
meng-update rencana ini jika diperlukan. Staf lembaga harus mampu mengerti
perhitungan yang berkaitan dengan alokasi air termasuk kebutuhan dan
persediaan air dan semua perhitungan dan perencanaan yang diperlukan untuk
melaksanakan misi lembaga.

• Pelatihan diperlukan untuk menjelaskan Peran, Tugas dan Fungsi PTPA /


PPTPA, termasuk tugas-tgas anggotanya dan tanggung jawab instansinya serta
hubungannya dengan instansi lain yang terlibat pelaksanaan tugas RPKP
Sumber Daya Air seperti disajikan dalam hasil Studi dan direvisi sesudah itu
oleh karena perubahan kondisi.

• Pelatihan diperlukan berkaitan pengalihan wewengan pengelolaan irigasi,


pengaturan air (distribusi, penyediaan, dan penggunaan air irigasi), pengelolaan
aset dan pengelolaan yang transparan & keberlajutan seperti ditentukan dalam
UU SDA dan PP 77/2001.

• Pelatihan diperlukan supaya Rencana Pengembangan, Konservasi Dan


Pengelolaan DAS dimengerti dan dapat di-update, termasuk kemampuan
membantu departemen lain yang punya tanggung jawab dalam Pengelolaan
DAS.

• Pelatihan prosedur lisensi hak air dan penegakannya.

(2) Pelatihan dan Pemberdayaan Staf Balai PSDA

Untuk pengembangan sumber daya manusia diperlukan pelatihan dan motivasi


kepada staf lembaga melalui pemberdayaan, supaya mampu melaksanakan tugas
sesuai dengan waktu yang ada dan sesuai dana yang ada, serta dengan mutu yang
dapat deterima (sesuai standar jaminan mutu).

Staf harus mempunyai tugas yang ditentukan oleh manajemen dan suatu sistem
imbalan untuk penyelesaian tugas sesuai dengan standar jaminan mutu.

S - 41
(3) Pelatihan staf Balai PSDA meliputi:

1). Pelatihan yang berfokus pada pengertian keadaan fisik di daerah studi,
metode perencanaan tata ruang sumber daya air, persediaan air, perhitungan
kebutuhan dan kesetimbangan, pengertian rencana tindak dan Rencana
Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan di daerah studi seperti di
WalCenMP, termasuk kegiatan pengurangan bencana berkaitan dengan banjir
dan kemarau panjang, dan peralatan yang diperlukan untuk prakiraan bencana
tersebut.

2). Pelatihan untuk pengertian perhitungan yang diperlukan untuk alokasi dan
distribusi air, termasuk monitoring dan administrasi.

3). Pelatihan prosedur operasi dasar untuk operasi dan pemeliharaan, serta
pengertian langkah-langkah yang perlu dilaksanakan untuk menjamin
persediaan sumber daya air pada fasilitas yang ada.

4). Pelatihan pemantauan kualitas air (pengambilan sample dan penelitian di


laboratorium) untuk semua air permukaan (sungai dan danau) dan air tanah.

5). Metode pamantauan kondisi fisik dan upgrading yang diperlukan untuk
fasilitas sumber daya air, serta pengertian metode konstruksi, inspeksi rutin
bulanan, laporan, analisa dan evaluasi.

6). Pelatihan untuk Rencana Tindakan Darurat pada saat banjir, serta prosedur
darurat yang diperlukan.

7). Pelatihan tentang metode pengumpulan data dan pemeliharaan semua


peralatan observasi meteorologi, termasuk ARR, AWLR dan kelembaban
tanah, serta pengolahan, cara simpan dan perolehan kembali data ini,
termasuk perkerjaan lapangan yang dibutuhkan untuk pengumpulan
pengukuran di bagian rating curve yang paling tinggi dan paling rendah
(misalnya banjir besar dan aliran dasar).

8). Pelatihan pengelolaan data base dan GIS, spesifik untuk metode yang
digunakan dalam lembaga.

9). Pelatihan tentang konsultasi masyarakat, metode sosialisasi dan pelayanan


informasi masyarakat berkaitan dengan pengembangan dan konservasi
sumber daya air.

(4) Peningkatan Kemampuan Instansi Sumber Daya Air dan Irigasi Kabupaten

Fungsi Seksi Irigasi pada tingkat Kabupaten, Propinsi dan Nasional sedang berubah
akibat desentralisasi fungsi Pemerintah ke Kabupaten, transfer pengelolaan irigasi
dan pengaturan pendanaan baru. Titik berat sekarang berada pada penyediaan jasa

S - 42
atas permintaan, sedangkan dulu titik berat ada pada penyediaan jasa berdasarkan
sumber daya yang ada, dan disediakan oleh dinas. Pelatihan tentang penyediaan
jasa yang diminta dari Instansi Irigasi, punya sasaran untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam tentang masalah berkaitan daerah irigasi. Pengenalan
masalah, pemecahan masalah dan penetuan prioritas masalah, masa kini diperlukan
di Dinas Irigasi.

Lagipula, di istansi irigasi selain kebutuhan tambahan ketrampilan teknis sipil, telah
ditemukan kebutuhan memperoleh tambahan ketrampilan sosial. Pelatihan
peningkatan kemampuan harus disesuaikan dengan tingkatnya lembaga (tingkat
Nasional/Propinsi/Kabupaten).

Sebagai akibat dari UU 20 / 1999 mengenai desentralisasi dari tugas-tugas


Pemerintah, peranan pengelolaan pemerintah Propinsi dan Kabupaten dalam
perencanaan, desain dan pelaksanaan, berubah secara mendasar.

Kabupaten sekarang jelas bertanggung jawab untuk pendanaan dan operasi daerah
irigasi. Di beberapa tempat, Kepala Dinas Irigasi / Sumber Daya Air Kabupaten
mempunyai tingakatan yang dengan Kepala Dinas Irigasi Propinsi. Ini punya
dampak untuk misi dan struktur departemen, dan caranya pelaksanaan tugas di
Kabupaten. Cabang Dinas, yang dulu di bawah wewenang Propinsi, sekarang di
bawah wewenang Kabupaten.

Beberapa Kabupaten seperti Soppeng, sudah respon dengan cara inovatif kepada
tantangan baru, melalui penerapan SOPT (Struktur Organisasi Pelaksanaan Tugas)
baru dan pembentukan Dinas PSDA Soppeng. Tingkat dan tanggung jawab Kepala
Dinas PSDA Soppeng hampir sama dengan tingkat Kepala Dinas PSDA Sulawesi
Selatan.

9.2 Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan (RPKP) Linkungan Hidup

9.2.1 Masalah, Sebab dan Solusi yang Diusulkan

Masalah dan solusinya dapat dibagi tiga kategori utama:

(1) Solusi tanpa Hambatan Nyata – Ini merupakan kategori solusi yang relatif
langsung dan tidak punya hambatan untuk keberhasilannya. Kegiatan untuk
memecahkan masalah ini diuraikan dalam Laporan Utama dan Environmental
Sectoral Report (Laporan Sektor Lingkungan Hidup).

(2) Solusi dengan Hambatan - Ini merupakan kategori solusi yang lebih rumit,
meliputi hambatan, dan solusinya di luar lingkup studi ini.

S - 43
(3) Masalah yang Mungkin Tidak Dapat Dipecahkan – Masalah yang mungkin tidak
dapat ditanggulangi memerlukan serangkaian studi untuk menilai besarnya
masalah dan untuk menentukan kelayakan solusi. Kegiatan yang dapat
dilaksanakan dalam studi itu serta analisa berikutnya dapat dilihat dalam laporan
Environmental Sectoral Report sebagai rekomendasi yang perlu dilaksanakan pada
yang akan datang jika studi awal menunjukan bahwa memang ada solusi.

Masalah dalam daftar di bawah ini telah dibahas dalam Laporan Utama dan dalam
Environmental Sectoral Report, dan rekomendasinya telah dikembangkan menjadi
Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan (RPKP) untuk Lingkungan Hidup.

(1) Solusi tanpa Hambatan Nyata


• Pengurangan Sedimentasi di Danau Tempe
• Pengurangan Pencemaran di Danau Tempe
• Penetapan of Tempat Bertengger dan Bertelur untuk Burung
• Penetapan of Daerah Pembibitan Ikan di Danau Tempe
• Penetapan of Habitat untuk Burung Air
• Perbaikan of Daerah Penangkapan Ikan Air Tawar
• Perbaikan of Kebiasaan Sanitasi di Masyarakat Tepi Sungai
(2) Solusi dengan Hambatan
• Penetapan sistem Pembuangan Limbah Padat
• Rehabilitasi of Fauna Asli
• Mengatasi oposisi terhadap Reservoir
• Penyediaan Air Ledin
• Pengembangan Eko-Wisata
(3) Masalah yang Mungkin Tidak Dapat Dipecahkan
• Restorasi Ekologi Sungai
Jadwal Pelaksanaan yang Diusulkan untuk RPKP Lingkungan Hidup

Kegiatan Prioritas Tinggi

Ada dua masalah lingkungan hidup yang dinilai sebagai prioritas tinggi dalam jadwal
rencana tindak di daerah studi:

(1) Sumber daya air yang tidak didistribusi secara rata dan tidak dikelola dengan baik,
di mana kelebihan air pada musim hujan dibiarkan banjiri daerah yang luas dan
mangalir ke laut, dan pada musim kemarau kekurangan air membatasi produksi
banyak tempat pertanian.

(2) Penurunan mutu ekologis Danau Tempe oleh karena pencemaran organik dan
pengambilan air sungai untuk irigasi, yang menyebabkan penurunan mutu kwantitas
dan kwalitas air danau yang drastis pada musim kemarau. Hal ini mengancam

S - 44
ekologi Danau Tempe punya arti internasional dan menyediakan pangan dan
pendapatan pada banyak orang.

Kegiatan Prioritas Sedang

Kegiatan yang dianggap punya prioritas sedang meliputi dua tindakan yang dimaksud
untuk perbaikan lingkungan hidup danau; yaitu:

(1) Melindungi tanggul sungai yang kena erosi paling parah, melalui normalisasi tepi
sungai dan penyediaan pendekatan teknik sipil sederhana lain untuk pengendalian
pencemaran dan sedimentasi danau

(2) Melakakan studi untuk menetukan kelayakan penyediaan sistem pengumpulan dan
pembuangan limbah padat untuk penduduk desa untuk pencegahan kebiasaan
pembuangan samah di sungai saat ini, dari mana sampah hanyut ke dalam laut.

Kegiatan Prioritas Rendah

Tinggal satu kegiatan yang berkaitan dengan eko-wisata yang diberikan prioritas rendah,
karena ada beberapa hambatan signifikan yang dapat gagalkan sukses pengembangan
usaha seperti ini di DAS. Hambatan ini meliputi penyediaan hotel bermutu internasional
dan prasarana lain, dan kebutuhan danadari Pemerintah atau pengusaha dari luar daerah.
Tindak yang diusulkan sebagai langkah pertana adalah:

(1) Melaksannakan studi kelayakan tentang pengembangan usaha eko-wisata yang


sehat dan keberlajutan di DAS, dengan fokus pada partisipasi masyarakat lokal.

Jika studi awal menunjukan kelayakan pengembangan ini, mungkin tahap selanjutnya
adalah penyusunan Master Plan Eko-Wisata.

9.3 Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan

9.3.1 Usulan Tindakan Untuk RPKP Sumber Daya Lahan.

Berdasarkan analisa terhadap kondisi yang ada dan permasalahan kehutannan dan DAS di
daerah Studi sejumlah kegiatan disusun untuk perbaikan situasinya.

Kegiatan-kegiatan tersebut adalah:

• Rehabiltasi Lahan Kritis dan Hutan dengan bermacam-macam jenis tanaman


(Kegiatan Inti 1)

• Pembangunan pekerjaan fisik untuk konservasi (Kegiatan Inti 2)

• Pengembangan masyarakat di wilayah hutan

• Menetapkan Batas Wilayah Hutan dan mensosialisasikan kepada masyarakat

• Usaha Kehutanan dan Pengembangan Produksi Hutan Non-Kayu

S - 45
• Pelatihan / Penyuluhan tentang Pemeliharaan/penjagaan dan Pemanfaatan Produk
Hutan Non-Kayu.

• Pelatihan / Penyuluhan tentang Pemeliharaan Hutan dan Konservasi Lahan / Air,


serta Peraturan/Perundang-undangan Kehutanan.

• Rehabilitasi Lahan bekas Tambang di Kabupaten MarosRehabilitasi Huan Bakau di


wilayah pantai muara sungai Cenranae

Diantara 9 kegiatan diatas, kombinasi kegiatan pertama, “Rehabilitasi Lahan Kritis dan
Hutan dengan Bermacam-macam Jenis Tanaman” dan kedua “ Pembangunan pekerjaan
fisik untuk Konservasi” ditempatkan sebagai KEGIATAN INTI untuk RPKP Sumber
Daya Lahan, dan kegiatan lainnya akan dikombinasikan dengan kegiatan inti tersebut,
yang di arahkan untuk peningkatan efektifitasnya secara sinergi.

9.3.2 Usulan Jadwal Pelaksanaan RPKP Sumber Daya Lahan

Rencana Jangka Mendesak / Jangka Pendek (2004-2008)

Berikut ini adalah berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan dari Dinas
Kehutanan, Pertemuan Konsultasi dengan Masyarakat (PCM), dan Diskusi Kelompok
Terarah (FGD), rencana kegiatan mendesak untuk RPKP Sumber Daya Lahan adalah di
usulkan sebagaimana ditunjukan berikut ini.

Rencana Jangka Mendesak/Pendek (Sub-DAS Minraleng, Sanrego, Cemparake, Tellulimpoe)

No. Jenis Kegiatan


1. Rehabilitasi lahan kritis dan hutan dengan bermacam jenis tanaman
2. Pembangunan pekerjaan fisik untuk konservasi
3. Pengembangan masyarakat di wilayah hutan
4. Penetapan batas wilayah hutan dan mensosialisasikan pada masyarakat
5. Pengembangan usaha kehutanan dan produk hutan Non-kayu
6. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan produk hutan non-kayu
7. Rehabilitasi lahan bekas tambang
8. Rehabilltasi hutan bakau di wilayah pantai muara sungai Cenranae
9. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan hutan dan konservasi lahan atau air
serta peraturan/perundang-undangan kehutanan

Rencana Jangka Pendek sampai dengan Menengah (2006-2013)

Rencana kegiatan jangka pendek sampai dengan menengah untuk RPKP Sumber Daya
Lahan adalah ditunjukan pada tabel dibawah ini.

S - 46
Rencana Jangka Pendek/Menengah (untuk sub-DAS Bila, Gilireng, Mario, dan Kalempang)

No. Jenis Kegiatan


1. Rehabilitasi lahan kritis dan hutan dengan bermacam jenis tanaman , yang sesuai
untuk kondisi setempat
2. Pembangunan pekerjaan fisik untuk konservasi
3. Pengembangan masyarakat di wilayah hutan
4. Penetapan batas wilayah hutan dan mensosialisasikan pada masyarakat
5. Pengembangan usaha kehutanan dan produk hutan Non-kayu
6. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan produk hutan non-kayu
7. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan hutan dan konservasi lahan atau air
serta peraturan/perundang-undangan kehutanan
8. Rehabilitasi lahan bekas tambang

Rencana Jangka Panjang I (2014-2017)

Rencana jangka panjang I dari RPKP Sumber Daya Lahan adalah ditunjukan pada tabel
berikut.

Rencana Jangka Panjang I (untuk sub-DAS Belo dan sub-DAS Walanae lainnya)

No. Jenis Kegiatan


1. Rehabilitasi lahan kritis dan hutan dengan bermacam jenis tanaman , yang sesuai
untuk kondisi setempat
2. Pembangunan pekerjaan fisik untuk konservasi
3. Pengembangan masyarakat di wilayah hutan
4. Penetapan batas wilayah hutan dan mensosialisasikan pada masyarakat
5. Pengembangan usaha kehutanan
6. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan produk hutan non-kayu
7. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan hutan dan konservasi lahan atau air
serta peraturan/perundang-undangan kehutanan

Rencana Jangka Panjang II (2018-2024)

Rencana jangka panjang II dari RPKP Sumber Daya Lahan adalah ditunjukan pada tabel
berikut.

Rencana Jangka Panjang II (sub-DAS Lancirang, Cenranae, Cekungan Tempe/Batu-Batu dan Kalola)

No. Jenis Kegiatan


1. Rehabilitasi lahan kritis dan hutan dengan bermacam jenis tanaman , yang sesuai
untuk kondisi setempat
2. Pembangunan pekerjaan fisik untuk konservasi

S - 47
3. Pengembangan masyarakat di wilayah hutan
4. Penetapan batas wilayah hutan dan mensosialisasikan pada masyarakat
5. Pengembangan usaha kehutanan
6. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan produk hutan non-kayu
7. Pelatihan/penyuluhan tentang pemeliharaan hutan dan konservasi lahan atau air serta
peraturan/perundang-undangan kehutanan

9.3.3 Perkiraan Biaya Untuk RPKP Sumber Daya Lahan

Standar biaya yang digunakan untuk menghitung biaya RPKP Sumber Daya Lahan
adalah didasarkan pada biaya standar yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan
(biaya standar untuk pengembangan Hutan Produksi sesuai dengan Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 126/KPTS – IV/1999), dan standar biaya dan kegiatan
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Sosial Kehutanan,
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Tahun Anggaran 1999/2000. Diharapkan
sumber biaya untuk kegiatan tersebut berasal dari Anggaran Pemerintah (APBN, APBD,
Dana Reboisasi) maupun dari bantuan luar negeri.

Perkiraan total anggaran yang dibutuhkan adalah ditunjukan pada tabel berikut.

Tabel: Total Perkiraan Anggaran RPKP Sumber Daya Lahan


Volume & Kebutuhan Anggaran
No Kegiatan Satuan Harga Satuan
Volume (unit) Anggaran
1. Hutan dan Lahan Kritis
Rehabilitasi
a. Wilayah Hutan
- Hutan Produksi Rp / ha 4.653.500 46.093 214.493.775.500
- Sosial Kehutanan Rp / ha 3.700.000 46.094 170.547.800.000
b. Non - Wilayah Hutan Rp / ha 2.668.400 78.789 210.240.567.600
2 Bangunan Teknis
- Pembangunan Check dam Rp / Unit 50.000.000 307 15.350.000.000
- Pembangunan dam kecil Rp / Unit 15.000.000 614 9.210.000.000
3. Pengemb. Masyarakat di wil. hutan Rp/paket 34.565.000 138 4.769.970.000
4 Penetapan batas hutan dan sosialisasinya Rp/km 2.500.000 110 275.000.000
pada masyarakat
5. Usaha kehutanan dan pengembangan
produk hutan non-kayu
- Produksi benang sutera Rp /Unit 72.095.700 93,00 6.704.900.100
- Lebah madu Rp /Unit 73.850.000 93,00 6.868.050.000
6. Penyuluhan/Pelatihan pemeliharaan Rp /paket 34.565.000 62,00 2.143.030.000
produk hutan non-kayu
7. Penyuluhan/Pelatihan kelestarian hutan, Rp / ha 45.000.000 264 11.880.000.000
konservasi tanah dan air, dan peraturan/
peru the forest acts/rules
8. Rehabilitasi hutan bakau di wilayah pantai Rp / ha 3.565.000 300 1.069.500.000
muara sungai Cenranae
9. Rehabilitasi lahan bekas tambang di Rp / ha 5.279.200 50 263.960.000
kabupaten Maros
Total 653.816.553.200

S - 48
9.4 Pegembangan Pertanian

9.4.1 Konsep Dasar Pengembangan Pertanian.

Konsep dasar pengembangan pertanian pada Studi ini adalah sebagai berikut:

(1) Daerah Studi telah ditempatkan sebagai daerah produksi tanaman pangan nasional.
Daerah ini selanjutnya dibentuk sebagai daerah persaingan produksi dan pensuplai
tanaman pangan yang berkualitas di dalam negeri. Pertanian adalah sektor
perekonomian yang utama di seluruh wilayah kabupaten dan hampir di seluruh
wilayah kecamatannya, dan oleh karena itu, pengembangan sektor pertanian akan
memberikan kontribusi langsung terhadap perkembangan perekonomian di
kabupaten dan kecamatan-kecamatan. Pengembangan pertanian pada studi M/P ini
telah diarahkan menuju pengembangan pertanian tanaman pangan.

(2) Hambatan teknis yang serius untuk produksi tanaman pangan di daerah Studi adalah
tidak stabilnya distribusi curah hujan dan kondisi ketidak cukupan ketersediaan air
untuk tanaman baik yang bersifat alami (hujan) atau buatan (irigasi). Dalam konteks
Studi pada sektor sumber daya air, prioritas pengembangannya ditempatkan pada
sub-sektor irigasi-pertanian (tanaman pangan) dan didukung oleh adanya potensi
sumber daya air.

(3) Irigasi pertanian akan dikembangkan bilamana pada studi kelayakan yang dilakukan,
yang mencakup analisa keuntungan dan biaya, memberikan suatu nilai pengembalian
(rate of return) investasi yang menarik. Studi kelayakan akan mencakup ketersediaan
air, kesadaran para pemilik tanah untuk membentuk Perkumpulan Petani Pengelola
Air (P3A) serta kemampuan dan kesadaran petani untuk mengikuti pelaksanaan dari
irigasi pertanian.

(4) Sejumlah hambatan dalam pengembangan pertanian di daerah Studi telah


diidentifikasi. Rencana pengembangan pertanian diarahkan untuk penyelesaian
masalah-masalah tersebut dan mencakup juga masalah kelembagaan, sosial ekonomi
serta layanan pendukung pertanian.Sebagai salah satu komponen pengembangan dari
rencana pengembangan terpadu wilayah sungai Wal-Cen, suatu pendekatan dipakai
dalam konteks pengembangan pertanian wilayah yang ditambahkan dalam
pengembangan irigasi pertanian. Pada Studi ini, masalah-masalah tersebut telah
diformulasikan sebagai program peningkatan pertanian wilayah.

(5) Sebagai tambahan, pengembangan pertanian memerlukan kegiatan pengelolaan DAS.


Komponen pengembangan pertanian pada rencana pengelolaan DAS telah
dipertimbangkan.

S - 49
(6) Rencana pengembangan pertanian yang disusun pada Studi Master Plan ini
mencakup 1) rencana pengembangan pertanian beririgasi, 2) rencana peningkatan
pertanian wilayah, dan 3) pengembangan pertanian di daerah hulu.

9.4.2 Rencana Pengembangan Pertanian Beririgasi.

(1) Target Jaringan Irigasi.

Pada studi pengembangan sumber daya air dan irgasi, 10 jaringan irigasi besar (luas
areal irigasi > 5.000 ha), 17 jaringan irgasi sedang (luas areal 1,000 ha – 5.000 ha),
20 jaringan irigasi kecil (luas potensial < 1.000 ha), 5 kelompok jaringan irigasi kecil
baru, sehingga seluruhnya 73 jaringan irigasi atau kelompok jaringan irigasi kecil,
adalah dipilih sebagai target pengembangan jaringan irigasi. Daftar jaringan irigasi
terpilih tersebut ditunjukan pada tabel berikut:

Kategori Tipe Pekerjaan Jaringan atau Jumlah Jaringan


Jar. Irigasi Besar Pengembangan baru Gilirang, Irigasi Pompa Tempe, Walanae
(bagian Wajo), Walanae (bagian
Soppeng) , Walanae (bagian Bone)
Rehabilitasi/upgrading Boya, Kalola-kalosi, Langkeme
Lejja Dam, Sanrego
Jar. Ir. Sedang Pengembangan baru 4 jaringan
Rehabilitasi/upgrading 13 jaringan
Jar. Irigasi Kecil Rehabilitasi/upgrading 19 jaringan
Pengembangan baru 1 jaringan
NSS* Pengembangan baru 5 kelompok jaringan irigasi kecil baru

*: Kelompok jaringan irigasi kecil

Sebagaimana ditunjukan pada tabel, 41 kecamatan (75 %) dari 52 kecamatan yang


tercakup proyek akan mendapat keuntungan dari rencana pengembangan irigasi yang
telah disusun pada Master Plan ini. Berdasarkan wilayah kabupaten, penyebaran dari
target pengembangan jaringan irigasi adalah sebagai berikut:

Kabupaten Jumlah Target Jaringan Luas


Pengembangan**
Enrekang Kecil (2) 218 ha
Sidrap Besar (1), Sedang (8), Kecil (1), NSS (1), total (11) 34.536 ha
Wajo Besar (4), Sedang (2), Kecil (2), NSS (1), total (9) 44.195 ha
Soppeng Besar (3), Sedang (2), Kecil (3), NSS (1), total (9) 27.791 ha
Bone Besar (2), Sedang (5), Kecil (8), NSS (1) total (16) 33.967 ha
Maros Kecil (4), NSS (1), total (5) 2.504 ha

**: Total luas rencana irigasi

S - 50
(2) Perumusan Rencana Pengembangan Pertanian Beririgasi.

Rencana pengembangan pertanian beririgasi dirumuskan dengan ketentuan sebagai


berikut:

• Berdasarkan usulan awal rencana pengembangan irigasi pada studi pengembangan


sumber daya air dan irigasi, telah disusun awal jadwal tanam dan pola tanamnya.

• Awal jadwal tanam dan pola tanamnya telah diperbaharui berdasarkan hasil studi
kesetimbangan air dan konsep awal rencana pengembangan pertanian telah
dirumuskan berdasarkan hasil studi kesetimbangan air.

• Konsep awal tersebut telah difinalkan melalui proses diskusi dengan dinas terkait
dan stakeholder.

(3) Konsep Dasar Perancangan.

Konsep dasar yang diterapkan untuk perumusan rencana pengembangan pertanian


beririgasi pada studi Master Plan ini adalah sebagai berikut :

• Kondisi dan pengalaman pada pertanian beririgasi yang telah ada di daerah Studi,
diantaranya jaringan irigasi Sadang, Langkeme, dan Bila, telah dipertimbangkan
sepenuhnya di dalam perumusan rencana pengembangan pertanian.

• Status kegiatan pertanian yang ada, termasuk pemilihan tanaman, jadwal tanam,
pola tanam dan intensitas tanam pada masing-masing jaringan irigasi yang ada,
telah dinilai dan dipakai dalam perhitungan, sehingga perumusan rencananya
memberikan keberlanjutan dari penerima manfaatnya.

• Penekanan terhadap rasionalitas pemanfaatan sumber daya air irigasi. Dalam hal
ini, memaksimumkan intensitas tanam sesuai dengan ketersediaan air pada musim
tanam ke 3 memberikan gambaran kemungkinan untuk perluasan.

• Permusan rencana telah berdasarka hasil diskusi dengan dinas pertanian dan irigasi
terkait dan hasil konsultasi dengan penerima manfaat.

(4) Pemilihan Tanaman

• Padi merupakan komoditas utama yang dipilih oleh petani untuk ditanam dan
berdasarkan kebutuhan volume pasar.

• Di Sulawesi Selatan, masalah kualitas dan pemasarannya harus dipertimbangkan


dalam usaha produksi padi. Status saat ini mengarah pada pengenalan kualitas
produksi padi di propinsi dan kabupaten adalah pada tahap awal.

• Pada dasarnya, tanaman palawija pada areal beririgasi dan sekitarnya adalah
terpilih untuk tanaman pada musim tanam ke 2 dan 3 selain padi. Sebagai
tambahan, masa pertumbuhan palawija dan lamanya musim tanam ke 2 yang

S - 51
dipengaruhi oleh dimulainya musim tanam ke 3 dan perkiraan hujan, juga harus
diperhitungkan.

(5) Target Produksi

Musim Tanam / Tanaman Target Produksi

MT - 1 (musim hujan) Padi (GKG*) 5,0 – 6,0 ton/ha

MT - 2 (musim kering) Padi (GKG*) 5,5 – 6,5 ton/ha

Jagung (hibrida; dg. pengolahan tanah; butiran) 6,0 ton/ha

Jagung (hibrida; tanpa pengolahan tanah; butiran) 5,0 ton/ha

Jagung (composite; butiran) 3,5 ton/ha

Kedelai (butiran) 1,5 ton/ha

Kacang hijau (butiran) 1,4 ton/ha

Kacang tanah (tanpa pengolahan tanah; butiran) 0,9 ton/ha

Kacang tanah (intensif, dengan pengolahan tanah; 1,2 ton/ha


butiran)

*: Gabah Kering Giling MT: Musim Tanam

9.4.3 Program Peningkatan Pertanian Wilayah

Program peningkatan pertanian wilayah direkomendasikan dengan tiga komponen


kegiatan utama sebagai berikut:

• Paket Program Perkuatan Layanan Pendukung Pertanian

• Paket Program Perkuatan Kelembagaan

• Paket Program Peningkatan Agro-industri

Komponen dari Paket Program

Usulan komponen dimaksud meliputi: 1) pemberdayaan staf di kantor kabupaten dan


lapangan, 2) pembentukan kelompok kerja untuk peningkatan pertanian wilayah dan
untuk perkuatan koordinasi & kemitraan antar stakeholder, 3) perkuatan fasilitas
penyuluhan di tingkat kecamatan, dan 4) pemberdayaan organisasi petani.

9.4.4 Rencana Pengembangan Konservasi Lahan Pertanian (bagian hulu DAS)

Pada studi rencana pengelolaan DAS (Laporan Studi Sektor Kehutanan dan Pengelolaan
DAS), perubahan tata guna lahan saat ini menjadi tanaman produksi tahunan diusulkan
pada beberapa wilayah sungai yang dibatasi atas dasar kebutuhan pengelolaan konservasi
lahan. Rencana pengembangan konservasi lahan pertanian disusun untuk areal yang

S - 52
sudah ditetapkan dan mempertimbangkan pengenalan tanaman tahunan (buah-buahan dan
tanaman perkebunan) melalui perubahan tata guna lahan sebagaimana yang diusulkan.

Areal yang ditetapkan untuk usulan pengembangan pertanian di daerah studi adalah:

Areal yang ditetapkan untuk Rencana Pengembangan Konservasi Lahan Pertanian

Areal Rencana/Usulan
Sub-DAS ha Tataguna Lahan Kabupaten Kecamatan
Saat ini
Cenranae 661 Tanah desa Wajo Tanasitolo, Penrang
3.908 Padang rumput Takalalla, Penrang,
Majauleng
3.168 Tegalan Majauleng, Tanasitolo
Sub-total 7.737 4 kecamatan
Gilirang 7.586 Tanah desa Wajo Majauleng, Penrang
Minraleng 2.393 Tanah desa Maros Cenrana

Total 17.716

Komponen pengembangan dalam rencana pengembangan ini mencakup pekerjaan


persiapan dan pekerjaan pengembangan. Pekerjaan pengembangan disusun dari pohon
tanaman pengembangan dan pohon tanaman program intensifikasi tergantung pada tata
guna yang ada sebagai berikut:

Pekerjaan Persiapan.

• Survai, investigasi, desain untuk areal yang ditetapkan guna menetapkan


pendekatan dan prosedur pengembangan yang akan dipakai.

• Pengenalan proyek dan pendaftaran petani yang mendapat manfaat.

• Penyusunan rencana tindak untuk pengembangan.

• Pembibitan dan penanaman bibit

• Pemberdayaan Kelompok Tani dan staf terkait.

Pekerjaan Pengembangan

Program Pohon Tanaman Pengembangan

Perubahan tata guna lahan pada seluruh areal yang ditetapkan akan dipertimbangkan
pada areal dimana pada saat ini tidak ada atau terbatas jumlah pohon tanaman
pengembangan.

Pekerjaannya:

S - 53
• Pembangunan jalan usaha tani

• Pengolahan lahan (atau pengembangan)

• Penanaman bibit

• Pengelolaan usaha tani

• Pemberdayaan petani / Kelompok Tani

Program Pohon Tanaman Intensifikasi.

Pada areal dimana pohon tanaman intensifikasi yang pada hakekatnya saat ini ditanam,
intensifikasi untuk tanaman tersebut direncanakan melalui distribusi tanaman bibit atau
biji benih.

Pekerjaannya:

• Penanaman biji benih

• Pengelolaan usaha tani

• Pemberdayaan petani / Kelompok Tani.

9.5 Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Air (RPKP)

9.5.1 Pengembangan Irigasi.

(1) Potensi Untuk Pengembangan Irigasi.

1) Rehabilitasi

Dalam masalah rehabilitasi pada jaringan irigasi yang telah ada, umumnya
dimengerti bahwa dengan kegiatan O&P yang memadai, pekerjaan rehabilitasi
diperlukan kurang lebih setiap 20 tahunan. Bagaimanapun, seharusnya ketiadaan
biaya yang mencukupi pada masa lalu, O&P beberapa jaringan irigasi di daerah
Studi tidak memadai dan rehabilitasi dan upgrading menjadi jaringan irigasi teknis
harus dilakukan dalam waktu yang lebih pendek/cepat dari biasanya.

Jaringan-jaringan yang di rehabilitasi dan di-upgrading telah dipelajari seperti


daftar pada tabel ringkasan berikut:

S - 54
Rehabilitasi

Lokasi Bangunan Sadap Luas Biaya EIRR Tahun Tahun Start


No Nama Daerah
Kabupaten Kecamatan Desa Irigasi (Juta Rp) (%) Pembangunan Rehabilitasi

1 Toweleng Soppeng Donri- Lalabata 350 4,360 8.3 1968 2021


2 Paroto Soppeng D i
Lilirilau Ri j
Paroto 270 8,460 8.2 1976 2021
3 Batu Sianre Soppeng Marioriwawo Goarie 160 5,720 15.0 1977 2008
4 Langkeme Soppeng Marioriwawo Watu 6,708 228,600 20.9 1993 2017
5 Salo Dua Wajo Maniampajo Mattirowalie 40 750 14.8 1974 2007
6 Bakke Wajo Sajoangin Walanga 288 6,100 20.4 1977 2017
7 Cilellang Wajo Sabbangparu Liu 1,113 21,900 23.4 1968 2006
8 Bila Kalola Wajo Maniampajo Sogi 5,405 20,040 17.1 1997 2022
9 Bulutimorang Sidrap Pancarijang Timorang panua 4,950 42,440 22.1 1937 2012
10 Saddang VI Baranti Sidrap Baranti Maddenra 462 4,360 33.7 1971 2005
11 Bila Sidrap Pitu Riase Botto 4,252 6,220 19.4 1995 2022
12 Alekarajae Sidrap Maritengngae Ulu Ale 1,253 16,300 14.5 1975 2019
13 Saddang VI Belawa Sidrap Sidenreng Sereang 4,173 25,760 31.1 1969 2005
14 Saddang VII Sdr II Sidrap Tellulimpoe Amparita 2,240 20,040 31.8 1977 2008
15 Saddang VII Sdr I Sidrap Tellulimpoe Amparita 3,017 22,150 33.1 1971 2008
16 Salo Bulo Enrekang Maiwa Salo Bulo 168 3,240 21.3 1995 2005
17 Ulumalino Maros Mallawa Tellumpanuae 190 2,360 28.0 1983 2012
18 Mallawa Maros Mallawa Tellumpanuae 108 1,370 17.9 1983 2012
19 Cenrana Maros Camba Cenrana, Laiya 115 6,350 23.4 1987-1988 2006
20 Laiya Maros Camba Laiya 723 3,240 22.7 1996 2012
21 Sanrego Urgent Bone Kahu Sanrego 6,970 30.8 1990 2005
22 Lekoballo Bone Lamuru Lalebata 180 2,360 12.3 1983 2016
23 Kunang Bone Bontocani Langi 47 620 20.3 1992 2010
24 Pattuku Bone Bontocani Pattuku 63 870 22.0 1992 2010
25 Bontojai Bone Bontocani Bontojai 306 4,600 13.2 1992 2016
26 Unyi Bone Dua Boccoe Cabbeng 1,303 8,710 34.1 1981 2016
27 Bengo Bone Bengo Bengo 775 12,820 12.0 1948 2015
28 Toddang Jompi Bone Bengo Uluriawang 390 5,480 16.0 1977 2009
29 Kalu Bone Bengo Liliriawang 160 2,120 13.1 1981 2009
30 Wessa Bone Bengo Liliriawang 158 2,490 15.4 1988 2009

Total 39,367 496,800

Catatan: Penulisan angka diberikan dalam format Inggris

Total luasan yang di rekomendasikan untuk direhabilitasi adalah 39.367 ha selama


selang waktu 25 tahun dari periode studi. Nilai EIRR dihitung untuk menunjukan
bahwa hampir seluruh proyek-proyek rehabilitasi pada tahap perancangan ini
menunjukan suatu nilai EIRR > 12 dan mengindikasikan bahwa proyek-proyek
tersebut harus dilakukan tahap kelayakan (studi), kemudian diikuti oleh
perencanaan dan pelaksanaan. Tambahan informasi detail untuk proyek-proyek
rehabilitasi dapat dilihat pada Laporan Sektor Irigasi.

2) Perluasan

Faktor-faktor berikut telah dimasukan dalam perhitungan pada saat


mempertimbangkan suatu perluasan areal dari luasan irigasi yang telah dibangun
dengan suplai air dari aliran sungai, dengan bangunan bendung yang ada.

(a) Jaminan telah dibuat bahwa kecukupan air yang harus dialokasikan pada areal
irigasi yang ada, dalam menjaga praktek pengelolaan air yang telah dilakukan
pada areal dimaksud. Persoalan akan muncul jika petani di areal yang ada saat ini
tidak mendapat air yang mencukupi setelah perluasan areal selesai dan diambil
alih oleh petani lainnya. Dalam hal ini, petani harus mempunyai persetujuan lebih
dahulu, dimana setelah perluasan areal, suatu sistem giliran jadwal tanam harus

S - 55
diikuti oleh seluruh petani guna menurunkan jumlah kebutuhan air untuk periode
penyiapan tanam dalam suatu periode tertentu.

(b) Areal irigasi yang ada akan direhabilitasi pada suatu kondisi dimana kebutuhan
anggaran biaya O&P dapat dibuat berdasarkan rangkaian prosedur dalam
penyusunan anggaran, misalnya melalui jalan penilaian yang ditetapkan.

(c) Dalam penentuan kelayakan pembangunan suatu bendungan kecil atau yang
berskala besar dengan lokasi di hulu bangunan bendung yang telah ada, atau
dengan arti lain digunakan untuk irigasi pada areal yang sama, misalnya areal
irigasi dari air tanah, dari air drainase maupun areal yang masih tadah hujan, telah
dipertimbangkan dalam suatu perbandingan prinsip-prinsip pembiayaan dan
analisa ekonominya.

(d) Bilamana pembangunan dam berskala kecil atau besar telah direncanakan (setelah
didapatkan kondisi yang memungkinkan untuk menyediakan tambahan air guna
perluasan areal irigasi), dan direncanakan tambahan areal irigasi yang memadai,
saluran-saluran irigasi primer dan sekunder dan dalam beberapa hal termasuk juga
saluran-saluran tersier, telah diperiksa untuk mengetahui kapasitasnya yang ada
dalam mengalirkan air irigasi untuk perluasan areal. Dalam beberapa hal,
perluasan areal bersifat terpisah dari sistem yang telah ada dan dalam hal ini
diperlukan perencanaan sistem irigasi baru.

(e) Kelangsungan dari pembangunan dam berskala kecil atau besar dan usaha lain
yang menetapkan pembangunan waduk di bagian hulu telah dilakukan pengujian
pada tingkat detail yang memadai untuk suatu studi rencana induk. Proyek-proyek
yang direncanakan untuk dilaksanakan harus melalui studi kelayakan selanjutnya
diikuti perencanaan detail sebelum konstruksi.

3) Bendungan Berskala Kecil dan Besar.

Telah dipertimbangkan usulan pembangunan bendungan berskala kecil dan besar


bila areal irigasi yang telah dibangun lebih kecil dari areal yang ada untuk irigasi.
Dalam hal tersebut, dipertimbangkan lokasi rencana bendungan dan telah
diinvestigasi di bagian hulu dari perluasan areal irigasi dan bangunan bendung yang
telah ada. Tabel ringkasan pada halaman berikut diberikan daftar lokasi bendungan
berskala kecil dan besar yang telah dipertimbangkan.

Investigasi sejumlah bendungan berskala kecil pada tahap identifikasi dan


perancangan memberikan nilai EIRR > 12. Hal ini menunjukan bahwa usulan
bendungan berskala kecil tersebut harus dilakukan tahap studi kelayakan,
perencanaan detail dan selanjutnya diikuti pelaksanaan konstruksinya. Tambahan
informasi detail dari proyek-proyek rehabilitasi dapat dilihat pada laporan sektor

S - 56
irigasi. Bendungan Ponreponre dan Gilirang adalah proyek-proyek dimana telah
dilakukan studi kelaakan dan saat ini dalam perkembangan tahap detail desain atau
konstruksi. Usulan pembangunan bendungan Langkeme harus dilakukan studi pada
tingkat kelayakan untuk menentukan keberlanjutan usulan tersebut. Oleh karena
keterbatasan informasi yang tersedia, tidak dapat diberikan nilai EIRR-nya pada
tahap rancangan ini.

Dam Kecil dan Besar

Lokasi Bangunan Sadap Luas Biaya EIRR


Tgl Start yang
No Nama Daerah Catatan
Kabupaten Kecamatan Desa Irigasi (ha) (Juta Rp) (%) Dijadwalkan

1 Lawo Soppeng Lili Cenran 4,097 133,650 13.3 2010 Dam Kecil
Ril
2 Paddangeng Soppeng Donri-Donri Togigi 4,250 123,570 12.5 2006 Dam Kecil
Also Includes Small
3 Lejja Soppeng Marioriawa Batu-Batu 4,100 124,690 12.2 2008 dam Construction
Soppeng, Wajo and
4 Walanae Soppeng Marioriwawo Limpomajang 26,230 1,556,430 11.2 2024 Bone part

5 Gilirang Wajo Majauleng Gilirang 7,000 571,670 15.8 2007 Dam


6 Sakoli Wajo Sajoangin Sakoli 200 5,970 20.9 2010 Dam Kecil
7 Boya Sidrap Dua Pitue Bulucenrana 8,000 429,710 10.1 2017 Dam
8 Torereh Sidrap Panca Lautang Allekuang 2,900 107,640 10.8 2024 Dam Kecil
9 Bulo Bulo Maros Camba Bulo Bulo 700 37,080 15.3 2008 Dam Kecil
10 Ponre-Ponre Bone Libureng Tappale 4,511 86,740 2004 Dam
11 Sanrego Bone Kahu, Libureng Sanrego 8,515 542,200 8.8 2020 Dam
12 Aponrong Bone Ajangngale Timorang 3,540 156,550 13.7 2011 Alternatif

13 Manciri Bone Ajangngale Lebbae 1,300 43,310 13.4 2015 tanpa

14 Unyi II Bone Ajangngale Panyili 1,670 50,150 13.3 2019 Walimpong Dam

15 Waekecce Bone Lappariaja Waekecce 453 23,640 14.8 2010 Dam Kecil
16 Benteng Bone Lappariaja Tungke 410 17,920 13.2 2010 Dam Kecil

Total 77,876 4,526,020

Catatan: Penulisan angka diberikan dalam format Inggris

4) Embung (waduk kecil)

Bangunan embung pada umumnya dipertimbangkan keuntungannya untuk


penyediaan air bersih dan irigasi. Sejumlah usulan embung telah dipertimbangkan
pada tahap identifikasi dan rancangan dan memberikan nilai EIRR >12. Hal ini
menunjukan bahwa sejumlah usulan embung harus dilakukan studi kelayakannya,
diikuti detail desain dan pelaksanaan konstruksinya. Daftar usulan bangunan
embung yang telah dipertimbangkan tersebut diberikan pada tabel ringkasan
dibawah. Informasi tambahan untuk proyek-proyek rehabilitasi dapat dilihat pada
laporan sektor irigasi.

S - 57
Embung (Usulan Baru)

Lokasi Bangunan Sadap Luas Biaya EIRR


Tgl. Start yang
No Nama Daerah Catatan
Kabupaten Kecamatan Desa Irigasi (Rp Juta) (%) dijadwalkan

1/3 biaya
1 Toletenreng Wajo Sabbangpar Toletenren 40 1,620 16.5 2011 dialokasikan ke
Penyediaan Air
2 Sompe Wajo Sabbangparu Sompe 75 2,490 19.3 2011
3 Lamagarang Wajo Maniangpajo Anabanua 64 2,120 19.4 2017
4 Data Alau Wajo Tanasitolo Wajoriaja 80 2,740 18.9 2017
5 Pamantingan Sidrap Tellulimpoe Massepe 770 30,990 15.8 2011
6 Uru Enrekang Maiwa Mangkawa 50 2,120 17.1 2007
7 Reatoa Maros Mallawa Reatoa 250 13,440 14.7 2014
8 Cabbang Maros Camba Cabbang 350 20,280 13.8 2014
9 Tadang Palie Bone Ulaweng Tadang Palie 48 2,240 15.8 2010
10 Cani Sirenreng Bone Ulaweng Cani Sirenreng 78 2,610 20.1 2008
11 Hampang Bone Kahu Matajang 63 4,980 11.4 2015
12 Rumpia Bone Kahu Matajang 49 3,360 11.3 2015
13 Cunre Bone Tellusiattiange Wellulang 60 7,090 6.9 2027
14 Ajulotong Bone Ulaweng Ajulotong 219 10,950 14.9 2023
15 Camming Bone Libureng Matajang 680 20,530 15.1 2018

Total 2,876 127,560

Catatan: Angka diberikan dalam format Inggris

5) Irigasi Pompa

Investigasi usulan irigasi pompa telah dilakukan untuk situasi dimana muka air
danau Tempa telah stabil dan prediksi ketersediaan airnya. Usulan ini di
programkan setelah pekerjaan desain dan pelaksanaan bendung gerak Tempe
dilakukan. Proyek-proyek yang telah distudi pada tingkat identifikasi dan rancangan
detail ditunjukan pada tabel ringkasan berikut.

Pompa
Lokasi Bangunan Sadap Luas Biaya EIRR Tgl. Start yang
No Nama Daerah Dijadwalkan catatan
e Kabupaten Kecamatan Desa Irigasi (Rp juta) (%)

1 Cenrana Wajo Tempe Tomodi 2,30 119,72 13. 201


After Temp Barrag
2 Tempe Wajo Tanasitol Tancun 19,00 749,03 12. 202 e
Construction e
(P ) 0 0 3 0

Total 21,300 868,75


0

Catatan: Penulisan angka diberikan dalam format Inggris

6) Bendung

Pembangunan satu bendung di kabupaten Bone dengan perhitungan EIRR sebesar


15,3 pada tahap rancangan detail telah direkomendasikan.

Bendung
Luas Biaya EIRR Tgl Start
Lokasi Bangunan Sadap Daerah
No Nama yang Catatan
Kabupaten Kecamatan Desa Irigasi (ha) (Rp juta) (%) Dijadwalkan

1 Minralen Bone Libureng Wilalapessie 1,400 61,600 15.3 2013 Bendung

Total 1,400 61,600

Catatan: Penulisan angka diberikan dalam format Inggris

S - 58
9.5.2 Konservasi Sungai – Pengendalian Banjir

(1) Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan (RPKP) yang terkait dengan
Usaha Pengurangan Erosi dan Sedimentasi

Rencana perbaikan sungai dan pencegahan sediment di masa yang akan datang adalah
suatu rencana yang penting dalam kegiatan konservasi sungai di daerah Studi.
Perbaikan sungai di masa yang akan datang umumnya didasarkan pada periode ulang
50 tahunan untuk kegiatan perlindungan banjir.

Usulan rencana perbaikan sungai adalah sebagai berikut:

• Rencana Perbaikan sungai Walanae

• Rencana Perbaikan sungai Cenranae

• Rencana Perbaikan sungai Bila

• Rencana Perbaikan sungai lainnya dan anak- anak sungai

1) Rencana Perbaikan Sungai Walanae

Usulan perbaikan ruas sungai Walanae dan anak-anak sungai yang


direkomendasikan adalah sebagai berikut:

• Aliran utama sungai Walanae:

Ruas antara pertemuan dengan sungai Cenranae ke arah hulu pada titik 51 km.
Ruas ini memerlukan pekerjaan perlindungan tebing sungai pada kurang lebih 7
lokasi.

• Sungai Malanroe:

Ruas sungai yang terpengaruh oleh aliran balik dari sungai utama, kurang lebih
sepanjang 8 km yang membutuhkan pekerjaan perlindungan tebing sungai pada
2 lokasi.

• Sungai Teppoe

Ruas antara pertemuan dengan sungai Malanroe ke arah hulu pada titik 3 km yang
membutuhkan pekerjaan perlindungan tebing sungai pada 2 lokasi.

2) Rencana Perbaikan Sungai Cenranae

Ruas sungai Cenranae dan anak-anak sungai yang diusulkan untuk pekerjaan
perbaikan adalah sebagai berikut:

S - 59
• Aliran Utama Sungai Cenranae:

Ruas antara keluaran (outlet) danau Tempe di desa Ujung Tanah sampai
sepanjang sungai Cenranae, kurang lebih 60 km memerlukan pekerjaan
perlindungan tebing sungai pada 5 lokasi.

• Sungai Unyi:

Ruas sungai yang terpengaruh oleh aliran balik (back water) sungai utama,
kurang lebih sepanjang 2 km ke arah hilir memerlukan pekerjaan perlindungan
tebing sungai pada 1 lokasi.

• Sungai Cellui:

Ruas sungai yang terpengaruh oleh aliran balik (back water) sungai utama,
kurang lebih sepanjang 4 km memerlukan pekerjaan perlindungan tebing
sungai pada 1 lokasi.

• Sungai Oppo:

Ruas sungai yang terpengaruh oleh aliran balik (back water) sungai utama,
kurang lebih sepanjang 3 km memerlukan pekerjaan perlindungan tebing
sungai pada 1 lokasi.

3) Rencana Perbaikan Sungai Bila

Usulan untuk perbaikan ruas sungai Bila dan anak-anak sungai adalah utamanya untuk
peninggian dan perkuatan tanggul yang telah ada. Menurut informasi dari bekas staf
Proyek Irigasi Bila, tanggul sungai Lancirang, Boya dan Kalola dibangun
menggunakan material timbunan yang kurang sesuai dan pemadatannya kurang
memadai. Pada beberapa ruas dimana posisinya terlalu dekat pada tebing sungai,
tanggul harus direlokasi.

Ruas sungai Bila dan anak-anak sungai yang diusulkan untuk perbaikan adalah
sebagai berikut:

• Aliran Utama Sungai Bila:

Ruas antara muara sungai sampai pada titik 1,5 km ke arah hulu dari pertemuan
dengan sungai Boya. Total panjang yang memerlukan perbaikan adalah kurang
lebih 29 km.

• Sungai Boya:

Ruas antara pertemuan dengan sungai Bila ke arah hulu pada titik 7 km
memerlukan pekerjaan perkuatan tebing pada 1 lokasi.

S - 60
• Sungai Lancirang:

Ruas antara pertemuan dengan sungai Bila ke arah hulu pada titik 11 km
memerlukan pekerjaan perkuatan tebing pada 1 lokasi.

• Sungai Kalola:

Ruas antara pertemuan dengan sungai Bila ke arah hulu pada titik 7 km
memerlukan pekerjaan perkuatan tebing pada 1 lokasi.

• Alur Banjir (Alur Banjir sungai Kalola / Kalola river Floodway):

Pembangunan alur banjir akan menemui kesulitan sehubungan dengan


pembebasan tanah dan masalah sosial lainnya.

Suatu pilihan untuk penanggulangan banjir dari sungai Kalola adalah dengan
menghubungkan dan melebarkan saluran drainase yang telah ada, dimana
dialirkan langsung ke danau Buaya dari saluran buangan pelimpah dam Kalola
sepanjang kurang lebih 15 km. Limpasan dari dam Kalola dapat langsung
mengalir ke danau Buaya.

4) Perbaikan sungai-sungai lainnya dan anak-anak sungai.

Berikut ini adalah perbaikan anak-anak sungai yang diminta pada saat kegiatan
FGD dan PCM dan telah dipertimbangkan dalam penyusunan kegiatan struktural
dan non-struktural sebagaimana di daftar pada lampiran lembar proyek.
• Perbaikan sungai Gilirang , kurang lebih sepanjang 10,0 km
• Perbaikan sungai Camba , kurang lebih sepanjang 10,0 km
• Perbaikan sungai Bilokka , kurang lebih sepanjang 5,5 km
• Perbaikan sungai Lawo , kurang lebih sepanjang 5,0 km
• Perbaikan sungai Wattee , kurang lebih sepanjang 3,8 km
• Perbaikan sungai Lawo , kurang lebih sepanjang 5,0 km

9.5.3 Pengendalian Sedimen

(1) Check Dam yang ada di Daerah Studi

Bangunan check dam dipertimbangkan kebutuhannya untuk mencegah datangnya


sediment dari daerah hulu yang sampai di sungai utama dimana hal ini dapat mejadi
gangguan pada operasi sungai, misalnya menyumbat bangunan pengambilan air,
mengurangi usia guna tampungan waduk, dan lain-lain. Pada sektor Kehutanan berisi
suatu rencana untuk merehabilitasi bagian hulu DAS dan mengurangi jumlah
sediment yang tererosi dari sumbernya. Suatu pemikiran bahwa, jika rencana
rehabilitasi daerah hulu dapat diterapkan, maka kebutuhan bangunan check dam dapat
dikurangi atau ditiadakan. Pembentukan kembali kondisi daerah hulu diharapkan

S - 61
tercapai dalam waktu 20 sampai 30 tahun, sehingga dengan demikian pekerjaan
bangunan sediment, seperti check dam, akan dibutuhkan untuk mengurangi angkutan
sediment di sungainya.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi angkutan sediment yang masuk ke


danau Tempe adalah sebagai berikut:

1) Penurunan aliran sediment ke dalam danau Tempe dilakukan dengan,


• Mencegah laju sedimentasi di daerah hulu DAS
• Membuat pengendalian aliran sediment dengan bangunan penangkap
sediment di sungai.

2) Percepatan aliran sediment keluar dari danau Tempe

Konstruksi check dam yang ada di daerah Studi dibangun oleh BRLKT (Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah), Departemen Kehutanan, dari tahun 1980
sampai dengan 1997 dan juga oleh Dinas Kehutanan pada enam Kabupaten yang
diteruskan sampai sekarang. Jumlah bangunan check dam yang ada di daerah Studi
saat ini adalah 249 buah.

Semua bangunan check dam dibangun di sungai-sungai kecil dengan luas daerah alran
kurang dari 2 km2. Tidak terdapat check dam yang telah dibangun di anak sungai yang
lebih besar maupun di sungai-sungai utama.

Distribusi bangunan check dam yang ada di daerah Studi saat ini adalah sebagai
berikut :

Bangunan Check Dam pada Lima Wilayah Sungai di Daerah Studi


No Uraian Jumlah Check Dam
1 Sistem Sungai Walanae 115
2 Sistem Sungai Bila 45
3 Sistem Sungai Cenranae 28
4 Sistem Sungai Gilirang 21
5 Sistem Danau Tempe 40
Total 249
Bangunan Check Dam Menurut Wilayah Kabupaten di Daerah Studi

No Uraian Jumlah Check Dam


1 Kabupaten Maros 14
2 Kabupaten Bone 81
3 Kabupaten Soppeng 51
4 Kabupaten Wajo 48
5 Kabupaten Sidrap 40
6 Kabupaten Enrekang 6
Total 249
Sumber: Dinas PSDA Prop. Sul-Sel dan Dinas Kehutanan dari enam distrik

S - 62
9.5.4 Penyediaan Air Bersih

Usulan Pengembangan Penyediaan Air Bersih diuraikan sebagai berikut:

Kabupaten Soppeng.

Berikut ini adalah kebutuhan pengembangan penyediaan air bersih untuk Kabupaten
Soppeng :

• Ibukota Kabupaten Watansoppeng


Pembangunan bak tampungan dan pompa tambahan
• IKK Takkalalla, Kecamatan Marioriwawo
Pembangunan penyediaan air bersih, sumber air dari mata air Bulupincakoro
• IKK Cangadi, Kecamatan Liliriaja
Pembangunan penyediaan air bersih, sumber air dari sumur dalam dengan pompa
• IKK Cabenge, Kecamatan Lilirilau
Pembangunan pengambilan di sungai Walanae, dan suatu fasilitas penjernihan dan
pompa.
• IKK Tajuncu, Kecamatan Donri Donri
Pembangunan penyediaan air bersih, sumber air dari mata air Pincengnge
• IKK Batubatu, Kecamatan Marioriawa
Pembangunan penyediaan air bersih, sumber air dari sumur dalam dengan pompa

Kabupaten Sidrap

Untuk menambah kebutuhan penyediaan air bersih di kabupatn Sidrap, diperlukan


pekerjaan-pekerjaan berikut ini:

Perancangan tambahan kapasitas produksi untuk:

• Ibukota Kabupaten Pangkajene


• Tambahan bak tampungan dan pompa
• IKK Bilokka, kecamatan Pancalautang: pembangunan sumur dalam dan pompa
• IKK Amparita, kecamatan Tellulimpoe: bak tampungan dan pompa tambahan
• IKK Rappang, kecamatan Panca Riajang: pembangunan sumur dalam dan pompa
• IKK Empagae, kecamatan Sidenreng: pembangunan sumur dalam dan pompa
• IKK Lancirang, kecamatan Pituriawa: pembangunan sumur dalam dan pompa
• IKK Barukku, kecamatan Pituriase: pembangunan pengambilan di sungai Bila,
fasilitas penjernihan air dan pompa

S - 63
Kabupaten Wajo

Masalah utama di kabupaten Wajo adalah bahwa fasilitas penjenihan air tidak beroperasi
pada kapasitas yang memadai. Layanan suplai air bersih untuk kota Sengkang adalah
dioperasikan sekitar 5 jam per hari dan satu hari dalam satu minggu tidak mendapat
layanan untuk seluruh daerah .

Kelihatannya sangat sulit bagi Pemerintah untuk membiayai kebutuhan infrastruktur agar
kebutuhan air bersih untuk kabupaten Wajo dapat tercukupi. Pada saat ini, hanya 3 bak
penjernihan air (water treatment plant - WTP) dengan kapasitas terpasang 54 ltr/det, yang
tidak mencukupi untuk mensuplai air pada wilayah terpasang sambungan seluas 10.160
ha dan membutuhkan tambahan 20 ltr/det atau 29 % dari kapasitas terpasang untuk
mencapai 80 % jumlah penduduk terlayani 24 jam, dimana hal ini telah menjadi target
nasional.

Kebutuhan teknis untuk PDAM Sengakang adalah sebagai berikut:

• Menambah kapasitas WTP sampai pada 60 ltr/det untuk ibukota kabupaten dalam
jangka pendek.
• Menambah kapasitas pipa transmisi pengambilan air baku.
• Pembangunan bak tampungan dengan kapasitas 300 m3.
• Pemasangan pipa distribusi primer dan sekunder.
• Perluasan jaringan sesuai dengan kapasitas yang ada.
• Kalibrasi ulang alat ukur air.
• Pengembangan laboratorium untuk pengujian suplai air.

Program penyediaan air bersih untuk ibikota kecamatan dan perdesaan juga menjadi
perhatian khusus di dalam DAS, dimana dari 406.000 jiwa di kabupaten Wajo, 354.000
jiwa (87 %) hidup di pedesaan. Target nasional untuk memberikan layanan air bersih bagi
penduduk perdesaan adalah 60 %. Lokasi usulan pengembangan sistem suplai air bersih
pada skala kecil dan menengah untuk kota kecamatan (IKK) adalah ditunjukan sebagai
berikut:

• IKK Kotabaru, kecamatan Sabbangparu, sumber air baku dari sungai Walanae
• IKK Kampiri, kecamatan Pammana, sumber air baku dari sungai Cenranae
• IKK Solo, kecamatan Bola, sumber air baku dari mata air Watanbola
• IKK Paria, kecamatan Majauleng, dari sumur dalam
• IKK Lajokka, kacamatan Tanasitolo, dari sumur dalam
• IKK Belawa, kecamatan Belawa, dari sumur dalam
• IKK Anabanua, kecamatan Maniangpajo, dari sumur dalam
• IKK Gilirang, kecamatan Gilirang, sumber air dari sungai Gilirang.

S - 64
Kabupaten Maros

Lokasi usulan pengembangan sistem suplai air bersih berskala kecil dan menengah untuk
ibukota kecamatan (IKK) adalah :

• IKK Cempaniaga, kecamatan Camba, sumber air baku dari mata air Bulu
Tamappulu.
• IKK Watanmallawa, kecamatan Mallawa, sumber air baku dari mata air Bulu
Pademme
• IKK Bengo, kecamatan Cenrana, sumber air baku dari sungai Camba

Kabupaten Bone

Lokasi usulan pengembangan sistem suplai air bersih berskala kecil dan menengah untuk
ibukota kecamatan (IKK) adalah sebagai berikut:

• IKK Palattae, kecamatanKahu, dari sumur dalam


• IKK Tanahbatue, kecamaan Libureng, suplai air baku dari sungai Batupute
• IKK Ujung Lamuru, kecamatan Lappariaja, suplai air baku dari sungai Walanae
• IKK Bengo, kecamatan Bengo, suplai air baku dari mata air Coppo Palibunang
• IKK Lagori, kecamatan Tellulimpoe, suplai air baku dari mata air Bulu Lagori
• IKK Taretta, kecamatan Amali, suplai air baku dari mata air Waepubbu
• IKK Uloe, kecamatan Dua Boccoe, suplai air baku dari mata air Bulu Mampu
• IKK Ujung Tanah, kecamatan Cenranae, dari sumur dalam

Kabupaten Enrekang
Lokasi dari rencana konstruksi untuk penyediaan air bersih di ibukota kecamatan
(IKK) adalah sebagai berikut:
• IKK Maroangin, kecamatan Maiwa, dari sumur dalam
• IKK Bungin, kecamatan Bungin, supli air baku dari sungai Naran.

9.5.5 Sistem Pengukuran Hidrologi

(1) Rencana Pengembangan, Konservasi dan Pengelolaan (RPKP).

Target program perbaikan hidrologi adalah sebagai berikut:

• Mengembangkan kebutuhan sumber daya manusia untuk mengelola sistem


pengukuran pada saat sekarang maupun yang akan datang.
• Menyediakan anggaran secara tetap dalam jumlah yang memadai untuk operasi
dari Balai PSDA dan Unit Hidrologi Propinsi.
• Rehabilitasi stasiun pengamatan hidro-klimatologi dan memasang stasiun baru
pada lokasi yang strategis sebagai rencana dalam rasionalisasi dari seluruh sistem
pengukuran.

S - 65
• Pembangunan stasiun hidro-klimatologi sehubungan dengan antisipasi kebutuhan
perencanaan di masa yang akan dating.
Pembiayaan program ini dapat disediakan dari:

• Anggaran Pemerintah Pusat, diantaranya: hibah, bantuan atau pinjaman luar


negeri, Lembaga Moneter Internasional dan APBN.
• Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi.
• APBD Kabupaten / Kota dari penjualan air baku dan Iuran Pengelolaan Irigasi.
• Pembiayaan oleh masyarakat.
Sasaran dari RESTRA Dinas PSDA Propinsi Sulawesi Selatan untuk periode 2001 –
2005 adalah ditunjukan pada table berikut:

Periode (tahunan)
No. Rencana Tindak Target Lokasi
2001 2002 2003 2004 2005

Lokasi
sesuai renc.
I O & P Hidrologi 161 - - - - - rasionalisasi
- Stasiun Penga-
matan muka air 83 - - - - -
- Stasiun hujan 60 - - - - -
- Sta. Klimatologi 18 - - - - -

II Rehabilitasi 35
Lokasi
- Stasiun Penga- sesuai renc.
matan muka air 10 - 5 2 2 1 rasionalisasi
- Stasiun hujan 20 - 4 6 6 4
- Sta. Klimatologi 5 - 2 1 1 1

Sumber : RENSTRA 2001 - 2005, Dinas PSDA Propinsi


Sulawesi Selatan

Program yang diusulkan oleh sector hidrologi untuk pengembangan jaringan


hidrologi terdiri dari :

• Rehab. Stasiun pengamatan muka air - 16 lokasi

• Rehabilitasi Stasiun hujan - 10 lokasi

• Rehabilitasi Stasiun klimatologi - 6 lokasi

• Pemasangan baru Stasiun klimatologi - 1 lokasi

S - 66
• Pemasangan baru sta. pengamatan m.a. - 13 lokasi

• Pengembangan Sistem Telemetri

untuk peramalan banjir dan sistem

peringatan dini - 1 unit (sistem)

9.6 Rencana Pengembangan, Konservasi dan Management (RPKM) Sektor Perikanan

9.6.1 RPKM Perikanan untuk Danau Tempe

(1) Tujuan/Sasaran dan Konsep dasar pengembangan perikanan Danau Tempe


1) Tujuan/sasaran pengembangan perikanan Danau Tempe

Tujuan/Sasaran pengembangan perikanan Danau Tempe adalah:

• Meningkatkan pendapatan nelayan dan petani

• Meningkatkan konsumsi ikan tiap orang

• Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pelaksanaan pengembangan


lokal

• Mengurangi masalah antara nelayan

• Pemeliharaan sumber daya ikan

2) Konsep dasar pengembangan perikanan Danau Tempe


Konsep dasar pengembangan perikanan Danau Tempe adalah:

• Pengembangan bisnis perikanan, yang beroreintasi pada pasar dan


berkelanjutan

• Mengembangkan budidaya perikanan dan pemancingan pada nelayan dan


petani dengan memberikan tambahan keahlian kepada mereka

• Pengembangan fasilitas infrastruktur yang berdasarkan pada kebutuhan

• Pengembangan legal aspek yang dipusatkan pada penciptaan suatu iklim bisnis
yang sehat, hak tradisionil, serta batas kemampuan masing-masing daerah,
seperti misalnya persetujuan antar institusi yang terkait.

(2) Usulan kegiatan pengembangan perikanan Danau Tempe

1) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya perikanan.

Sejak lama kegiatan ekonomi yang utama di Danau Tempe adalah perikanan. Oleh
karena itu, kegiatan budidaya perikanan di Danau Tempe perlu dijaga dan harus
seimbang dengan sumber daya ikan yang ada.

S - 67
Berdasarkan analisa, pemeliharaan sumber daya ikan dan peningkatan produksi
perikanan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seperti:

• Pembenihan ikan (Restocking)

Teknik pembibitan/pembenihan merupakan salah satu dasar penting untuk


penyediaan perlindungan dan rehabilitasi ikan. Saat ini pemerintah memiliki
beberapa tempat pembenihan di sekitar Danau Tempe yang terletak di tiga
Kabupaten yang mana tiap bagian diberikan tanggung jawab pada kegiatan
penyediaan pembibitan. Program penyediaan harus di lanjutkan dan harus di
tingkatkan di masa yang akan datang.

• Peraturan kegiatan pemanfaatan perikanan.

Beberapa jenis peralatan penangkapan ikan telah diatur dalam Perda mengenai
jenis, ukuran peralatan dan batas daerah tangkap. Hasil diskusi kelompok (FGD)
yang diuraikan menjelaskan bahwa tiap Kabupaten memiliki peraturan yang
berbeda dan system manajemen perikanan tersebut tidak berfungsi dengan baik.
Selain itu, nelayan tidak terlalu mengikuti peraturan Kabupaten sendiri dan mereka
dengan bebas pindah ke daerah lain. Keadaan ini jadi sumber konflik antara
nelayan satu Kabupaten dengan nelayan dari Kabupaten lain.

Pallawang dan Bungka Toddo merupakan salah satu teknik memancing yang harus
dikaji ulang. Pallawang memiliki baik keuntungan maupun kerugian. Kerugian
dari pallwang adalah:

- Konflik yang sering terjadi tentang batasan dan penempatan Bungka Toddo.

- Pemilik Pallawang dan Bungka Toddo tidak mematuhi peraturan yang ada (e.g.
garis tengah Bungka Toddo harus kurang dari 500 m, dan jarak antarnya harus
lebih dari 1.000 m, dll.)

- Proses pelelangan / tender mengakibatkan kecurigaan pada masyarakat lokal .

• Penetapan Zone Perlindungan Ikan

Penetapan zone perlindungan ikan ditetapkan berdasarkan hasil analisa ilmiah,


untuk memastikan pemeliharaan dan peningkatan variasi jenis dan sumber daya
genitik yang telah diukui sebagai penting untuk daerah danau.

Yang diperlukan untuk zone perlindungan adalah:

- Total area perlindungan sedikitnya 500 ha

- Penangkapan ikan di daerah di zone perlindungan tidak diijinkan.

• Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan / Pelelangan ikan

S - 68
Untuk mendukung pengembangan kegiatan perikanan di Danau Tempe,
penyediaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) / Pelelangan ikan adalah sangat
penting. PPI akan dibangun di beberapa tempat di Daerah Sasaran.

2) Pengembangan Budidaya Perikanan (Aquaculture)

• Budidaya Jaring Apung

Ada tiga macam metode budidaya perikanan yang dapat dikembangkan di Danau
Tempe, antara lain: mengunakan keramba dari bambu, jaring apung dan reban
dari bambu. Jaring apung dan keramba dapat digunakan di lahan dimana
kedalaman air lebih dari 1,5 meter: atau kira-kira 4,5 meter dari batas garis
ketinggian. Reban digunakan di sekitar 4.0 – 4.5 meter dari batas gari ketinggian
(kedalaman air berkisar antra 1.0 – 1.5 meters).

Beberapa macam ikan yang bisa dibudidayakan adalah: ikan mas, Java Carp dan
ikan lele. Ketiga jenis tersebut masuk dalam jenis omnivora dan dapat di beri
makan berupa butiran. Faktor penting yang menghambat dalam perikanan adalah
penurunan mutu air danau yang disebkan oleh nutrisi makanan ikan. Kalkulasi
menunjukkan bahwa pada awal pengembangan aquaculture produksinya harus
berada di bawah batas 9000 ton/tahun (JICA 1997). Berkaitan dengan produksi
perikanan, kualitas air harus terus menerus dimonitor untuk dapat menentukan
jumlah produksi ikan optimal yang berkelajutan di lingkungan Danau Tempe.
Sistem pengawasan akan ditentukan dengan kadar phosphor (P2O5 ) tingkat aman
di danau yang akan terlewati dan akan melarang adanya pengembangan perikanan
disekitar danau.

9.6.2 Usulan Skedul Pelaksanaan RPKM Perikanan

(1) Rencana Mendesak (2004 – 2005)

1) Rencana mendesak untuk pengembangan budidaya perikanan

Kegiatan budidaya perikanan yang akan dikembangkan didalam “rencana tindak


mendesak” adalah: mina padi (budidaya ikan di sawah), kolam air tawar, jaring
apung, kolam air payau, pembibitan ikan, saluran irigasi, proyek percontohan, dan
pemberdayaan tenaga kerja. Mina padi (budidaya ikan di sawah) dan kolam air
tawar akan dikembangkan di 6 Kabupaten, sedangkan jaring apung hanya akan
dikembangkan di Danau Tempe; pengembangan budidaya tambak air payau dan
budidaya di saluran irigasi akan dikembangkan di Wajo dan Bone. Tempat
pembibitan air tawar akan dibangun di semua Kabupaten, sedangkan pembibitan

S - 69
udang hanya akan dikembangkan di Wajo dan Bone. Dalam rencana tindak
mendesak, pengembangan beberapa tempat percontohan telah direncanakan.
Disamping perencanaan fisik, juga telah direncanakan beberapa kegiatan non-fisik
seperti: pelatihan singkat, magang dan penyuluhan. Materi yang diberikan pada
pelatihan singkat akan difokuskan pada teknik pengembangan budidaya ikan air
tawar, dan program penyuluhan akan difokuskan pada aspek hukum dan legal.

2) Rencana mendesak untuk pengembangan perikanan di danau dan sungai.

Program pengembangan mendesak perikanan di danau dan sungai adalah:


pembibitan (restocking), peraturan penangkapan ikan, pengembangan Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) dan tempat pelelangan ikan, meningkatkan perlindungan
perikanan dan penyediaan sumber daya manusia/tenaga kerja. Penyetokan ulang
akan terlaksana pada semua daerah pada daerah sasaran, termasuk Danau Tempe.
Daerah untuk penyetokan ulang diharapkan dapat meningkatkan produksi ikan,
hasil tangkap nelayan dan akan menjamin keberlanjutan sumber daya ikan.
Peraturan penangkapan ikan khususnya di Danau Tempe akan terlaksana yang
dimana tempat tersebut memiliki banyak nelayan yang menggunakan metode
penangkapan ikan yang illegal (listrik, racun ikan, dll). Standarisasi teknologi,
peralatan dan pengaturan lahan penangkapan ikan akan dilaksanakan secara
bersamaan dengan kegiatan penyuluhan. Dalam program penyuluhan nelayan akan
diinformasikan tentang metode berkelanjutan dan pelestarian sumber daya ikan.

Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Danau Tempe harus segera


dimulai. Direncanakan membangun beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan yang
standar (multi fungsi). Penetapan wilayah lindung di areal Danau Tempe
merupakan salah satu prioritas pengembangan di bidang perikanan.
Direncanakan pengembangan sekitar 500 ha di tengah – tengah Danau Tempe
yang cocok untuk daerah konservasi perikanan dan dilarang menangkap ikan di
area tersebut. Untuk mencegah nelayan masuk dan menangkap ikan di daerah
terlarang tersebut, daerah sekitarnya akan dijadikan tempat jaring apung.

(2) Rencana jangka pendek (2004-2008)

1) Rencana jangka pendek untuk budidaya perikanan

Seperti pada rencana mendesak, pengembangan perikanan pada rencana jangka


pendek ini meliputi pengembangan: sawah yang digunakan untuk perikanan (mina
padi), tambak yang menggunakan air tawar, dan tambak air payau, tempat
pembenihan ikan (hatchery), saluran irigasi, proyek percontohan, pendayagunaan
sumber daya manusia/tenaga kerja.

2) Rencanan jangka pendek untuk pengembangan perikanan di danau dan sungai

S - 70
Kegiatan pengembangan perikanan yang termasuk di dalam rencana jangka pendek
adalah: penyetokan ulang, pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan
peningkatan keahlian sumber daya manusia.

Rencana jangka sedang dan rencana jangka panjang untuk perikanan di danau dan
sungai dan budidaya perikanan dijelaskan pada laporan utama dan laporan sektor
perikanan.

9.6.3 Perkiraan Biaya untuk RPKM Perikanan

(1) Perkiraan biaya untuk Rencana Mendesak

1) Perkiraan Biaya Pengembangan Budidaya Perikanan pada Rencana Mendesak

Pendanaan aktivitas pengembangan budidaya perikanan pada Rencana Mendesak


Danau Tempe, di perlukan sekitar Rp. 3 milyar. Untuk Kabupaten Enrekang
sekitar Rp. 498 juta, Kabupaten Sidrap Rp. 17,43 milyar, Kabupaten Wajo Rp.
40,51 milyar, Kabupaten Soppeng Rp. 21,52 milyar, Kabupaten Bone Rp. 32,76
juta, Kabupaten Maros Rp. 312,5.

2) Perkiraan biaya Rencana Mendesak untuk pengembangan perikanan di Danau


dan Sungai.

Pendanaan kegiatan pengembangan pengairan perikanan pada Rencana Mendesak


Danau Tempe di butuhkan sekitar Rp. 5,1 milyar rupiah. Untuk Kabupaten
Enrekang sekitar Rp. 255 juta, Kabupaten Sidrap Rp. 900 juta, Kabupaten Wajo
Rp 550 juta, Kabupaten Soppeng Rp. 550 juta, Kabupaten Bone Rp. 550 juta dan
Kabupaten Maros Rp. 225 juta. Dana yang diperlukan pada pengembangan
perikanan di danau dan sungai pada Rencana Mendesak lebih sedikit dibandingkan
dengan pengembangan budidaya perikanan.

(2) Perkiraan Biaya untuk Rencana Jangka Pendek

1) Perkiraan biaya pengembangan budidaya perikanan pada rencana jangka


pendek.

Pendanaan kegiatan pengembangan bududaya perikanan pada perencanaan jangka


pendek Danau Tempe dibutuhkan sekitar Rp. 8,1 milyar. Untuk Kabupaten
Enrekang sekitar Rp. 524 juta, Kabupaten Sidrap Rp. 24,87 juta, Kabupaten Wajo
Rp 52,30 juta, Kabupaten Soppeng Rp. 29,1 juta, Kabupaten Bone Rp. 45,88 juta
dan Kabupaten Maros Rp. 382,5 juta.

Perkiraan biaya untuk pengembangan perikanan di danau dan sungai pada


rencana jangka pendek.

S - 71
Pendanaan kegiatan pengembangan pengairan perikanan pada rencana jangka
pendek Danau Tempe dibutuhkan sekitar Rp. 5,41 milyar. Untuk Kabupaten
Enrekang sekitar Rp. 255 juta, Kabupaten Sidrap Rp. 1,25 milyar, Kabupaten
Wajo Rp 550 juta, Kabupaten Soppeng Rp. 550 juta, Kabupaten Bone Rp. 1,55
juta dan Kabupaten Maros Rp. 225 juta. Dana yang diperlukan pada
pengembangan perikanan di danau dan sungai pada Rencana Jangka Pendek lebih
sedikit dibandingkan dengan pengembangan budidaya perikanan.

10 PROGRAM PENGEMBANGAN TERPADU DANAU TEMPE (TELID)

10.1 Studi Terdahulu yang berkaitan dengan Bendung Gerak Danau Tempe.

Berikut ini adalah daftar laporan tentang pengembangan Danau Tempe sebelum
dimulainya proyek WalCenMP pada tanggal 15 September 2002.

1 Final Report on Integrated Study on Tempe (Main Report) Dec. 1997


Lake
Water Resources Management
2 Final Report on Integrated Study on Tempe Volume I Dec. 1997
Lake
Water Resources Management Annex I Geology
Annex II Meteorology and
Hydrology
Annex III Agriculture and
Agro-Economy
Annex IV Fishery
3 Final Report on Integrated Study on Tempe Volume II Dec. 1997
Lake
Water Resources Management Annex V River Improvement
Plan
Annex VI Construction Plan
and Cost Estimate
Annex VII Project Organization
Annex VIII Project Evaluation
Annex IX Environmental Study
4 Design Criteria on Tempe Lake Improvement Sep. 1997
Project
5 Design Report on Tempe Lake Improvement Dec. 1997
Project

S - 72
6 Tempe Lake Improvement Project(Package-1) Tender Documents for Cenranae
River Improvement Work vol
1,2,3
7 Tempe Lake Improvement Project(Package-2) Tender Documents for Construc-
tion of Tempe Barrage Work vol
I, II
8 Tempe Lake Improvement Project (Package -2) Tender Documents for Tempe
Barrage Construction Works,
Volume III
9 Tempe Lake Improvement Project(Package-2) Bidding Document for Procure-
ment of O&M Equipment, Bid,
etc

Laporan “Final Report on Integrated Study on Tempe Lake Water Resources


Management” (1997) dipersiapkan berdasarkan hasil studi dan investigasi di lapangan dan
menyajikan hasil studi terpadu pengelolaan sumber daya air Danau Tempe, terutama
pekerjaan perbaikan sungai Cenranae dan konstruksi Tempe Barrage yang diformulasi
melalui studi dan kerja lapangan secara detail.

Studi dan disain dimulai pada akhir bulan Oktober 1996 dan berakhir pada akhir November
1997. Laporan tersebut membahas tentang penilaian keadaan waktu itu di dalam dan di
sekitar daerah studi, dan evaluasi teknis, ekonomis dan keuangan proyek yang diusulkan,
serta analisa dampak lingkungan berkaiten proyek. Seminar tentang analisa dampak
lingkungan dari proyek ini telah dilaksanakan pada tanggal 13 April 1997 di ruang
pertemuan BAPPEDA Makassar dan dilaksanakan oleh Dinas PU Provinsi Sulawesi
Selatan di Makassar, dengan undangan kepada semua lembaga-lembaga pemerintah yang
terkait.

Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dilaksanakan oleh Pusat Studi Lingkungan


Universiatas Hasanuddin di Makassar selama dua bulan dari bulan Mei sampai Juli 1997.
Semua dampak penting akibat implementasi Tempe Lake Improvement Project (Proyek
Pengembangan Danau Tempe) termasuk bendung gerak dan proyek perbaikan Sungai
Cenranae dievaluasi dan dijelaskan dalam laporan tersebut.

Proyek Penanggulangan Banjir Sungai Cenranae (yang merupakan bagian penting dari
proyek) adalah merupakan salah satu prioritas proyek yang diidentifikasi pada studi Master
Plan Pengembangan Sumber Daya Air di Sulawesi Selatan yang di laksanakan oleh JICA
pada tahun 1978-1980.

Salah satu hasil keluaran studi adalah merekomendasikan untuk membangun Bendung
Gerak Tempe dan pekerjaan perbaikan Sungai Cenranae.

S - 73
10.2 Langkah yang diambil dalam menganalisa Proyek Pengembangan Danau Tempe dan
Perbaikan Sungai Cenranae.

Studi ini menyatakan kelayakan pembangunan Bendung Gerak Tempe dan perbaikan
Sungai Cenranae, sebagai komponen utama dalam Rencana Pengembangan, Konservasi
dan Pengelolaan (RPKP). Berikut ini adalah tahapan yang diambil dalam menganalisa
ulang Bendung Gerak Tempe dan perbaikan Sungai Cenranae.

(1). Peninjauan ulang laporan 1997 “Integrated Study on Tempe Lake Water Resources
Management” oleh tim studi.

Pengembangan Sungai Cenranae


1). Pengukuran topografi dari penampang melintang di hilir Sungai Cenranae,
digunakan untuk mengevaluasi ulang jumlah pengerukan yang diperlukan
setelah terjadinya banjir besar mungkin menyebabkan perbesaran penampang
Sungai Cenranae pada hilir Tempe Barrage. Perhitungan ulang luasan
penampang sungai Cenranae pada Rating Curve (tinggi muka air vs debit air
yang melewati penampang tersebut) dilakukan dengan data-data terbaru hasil
survey bulan Januari 2003.

2). Penghitungan volume bahan yang memerlukan pengerukan setelah adanya


data pengukuran terbaru.

Tempe Barrage
1). Peninjauan ulang tentang kedalaman air pada Danau Tempe dan perluasan
volume tampungan dan luas genangan dalam pembuatan Kurve
tampungan-kedalaman air.

2). Menganalisa ulang data tentang endapan sedimen danau.

3). Menganalisa ulang data hidrologi (dengan menggunakan data tambahan tahun
2002) berkaitan dengan aliran keluar dan aliran masuk ke Danau Tempe.

4). Mengevaluasi ulang karakteristik desain Bendung Gerak Tempe seperti:


ukuran dan jenis pintu, elevasi puncak pintu (sill) yang akan dipakai dalam
menentukan elevasi terendah muka air Danau Tempe.

5). Penghitungan ulang permukaan air danau saat ini (2003) dengan menghitung
debit masuk dan keluar dengan skenario dengan atau tanpa Bendung Gerak
Tempe.

6). Peninjauan ulang struktur desain bendung gerak dengan memperhatikan


pengaruh kondisi baru pada struktur bendung gerak.

S - 74
7). Pertimbangan keuntungan untuk megubah desain yang dibuat pada tahun 1997
dengan penempatan puncak (sill) pintu baja pada elevasi 6 meter untuk
menghasilkan 133 juta meter kubik tampungan baru. Tampungan tersebut akan
digunakan sebagai: a) pelepasan air untuk menjaga lingkungan dan
peningkatan kegiatan pelayaran dan sebagai aliran pemeliharaan pada Sungai
Cenranae. b) Rencana pengembangan pompa irigasi untuk Sungai Cenranae
dan Danau Tempe untuk masa datang c). Peningkatan kondisi lingkungan
yang lebih baik dengan mengendalikan kedalaman air di Danau Tempe, dan
memungkinkan instalasi pompa irigasi sederhana di sekitar Danau Tempe dan
untuk aquaculture (budidaya perikanan) yang intensif di Danau Tempe.

Evaluasi
1). Perhitungan biaya untuk sistem pengembangan Bendung Gerak dan perbaikan
Sungai Cenranae.

2). Prakiraan manfaat terukur dan tidak terukur, yang mencakup pembangunan
Bendung Gerak Tempe dan perbaikan Sungai Cenranae.

3). Penentuan EIRR untuk pengembangan Danau Tempe berdasarkan desain dan
kondisi biaya pada saat ini.

10.3 Rencana Pengembangan dan Konservasi Terpadu Danau Tempe (TeLID)

10.3.1 Uraian tentang proyek Bendung Gerak Tempe beserta komponennya

Rencana Pengembangan dan Konservasi Terpadu Danau Tempe (TeLID) mendukung


pendekatan terintegrasi pada pengembangan regional di sekitar Danau Tempe. Konsep
pengelolaan sumber daya air Danau Tempe dengan menggunakan Bendung Gerak
(Barrage) akan menyelaraskan pengembangan dibidang pertanian, perikanan, , sosial , dan
aspek lingkungan.

Rangkaian proyek-proyek lain dalam Rencana Pengembangan dan Konservasi Danau


Tempe harus dapat dilaksanakan untuk menambah besarnya EIRR dan dapat memenuhi
dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan stabilitas sosial sejalan dengan
beroperasinya Bendung gerak Tempe.

Seperti yang telah dihitung semula, bahwa tinggi pintu Bendung gerak Tempe akan dapat
berubah menjadi Elevasi 6.0. Ini akan menghasilkan 133 juta m3 tampungan air
dibelakan bendung dengan elevasi 5 m sampai 6 m.

Tampungan ini dapat dimanfaatkan untuk: a) Aliran untuk pemeliharaan kondisi


lingkungan dan pelayaran b). Pengembangan rencana pengadaan pompa irigasi di sekitar
Danau Tempe dan Sungai Cenranae. c). peningkatan kontrol permukaan air untuk

S - 75
peningkatan kondisi lingkungan di Danau Tempe, penyediaan pompa irigasi sederhana di
sekitar danau dan aquaculture (budidaya perikanan) yang intensif di Danau Tempe.

Komponen proyek diatas diuraikan sebagai berikut (lihat Peta TeLID)

(1). Komponen yang nyata menguntungkan:


• Pompa Irigasi Bellawa
• Irigasi yang sederhana
• Rencanan konservasi, pengembangan dan pengelolaan perikanan Danau
Tempe
(2). Komponen yang belum pasti menguntungkan
• Penyediaan Air Bersih untuk Kota Sengkang
• Pusat Informasi
(3). Biaya Proyek

Biaya proyek pada evaluasi ekonomi terdiri dari biaya konstruksi, Biaya operasi dan
pemeliharaan tahunan (O&M) dan biaya penggantian. Biaya proyek untuk
pengimplementasian terdiri dari:

1) Pekerjaan Persiapan

2) Bangunan Utama seperti Tempe Barrage dan peningkatan kapasitas sungai


Cenranae.

3) Pengadaan Peralatan O&M

4) Biaya Administrasi

5) Biaya Disain ulang dan Supervisi

6) Kontijensi fisik.

7) Kontijensi harga.

Prakiraan Biaya TeLID : (Rp juta)

Komponen Jumlah

Sentral Informasi 3.960

Tempe Barrage 115.220

Perbaikan Sungai Cenranae 5.940

Irigasi Sederhana 7.255

Irigasi Pompa Bellawa 32.961

Peningkatan Penyediaan Air Bersih Kota Sengkang 16.505

Total 181.840

S - 76
10.3.2 Manfaat Proyek

Seluruh komponen yang digambarkan berikut sangat penting untuk keberhasilan rencana
pengembangan terintegrasi Danau Tempe. Tabel dibawah ini mengidentifikasikan
komponen proyek yang mana mempunyai manfaat nyata dan tidak nyata. Dalam hal ini
manfaat yang nyata, biaya investasi dan biaya rutin telah termasuk didalam analisa,
walaupun dalam hal ini proyek yang menghasilkan manfaat tidak nyata, biaya investasi
dan biaya rutin tetap dihitung tetapi tidak ada keuntungan yang dapat dihasilkan,
termasuk didalam perhitungan EIRR.

Komponen (Biaya dalam Keuntungan Pengolahan dalam


Proyek) Evaluasi Ekonomi MP
Bendung Gerak Tempe Dasar untuk Komponen Lain
Budidaya Perikanan (Aquaculture) Nyata
Perikanan di Danau dan Sungai Nyata
Berkelanjutan
Keuntungan Lingkungan (Sumber Daya Air) Tidak Nyata
Pengerukan Sungai Cenranae Penurunan Banjir Tidak Nyata
Pompa Irigasi Bellawa Prodiksi Tanaman Pangan Nyata
Irigasi Sederhana Prodiksi Tanaman Pangan Nyata
Penyediaan Air Minum Peningkatan Volume dan Mutu Air Minum Tidak Nyata
Sengkang bagi Masyarakat
Pusat Informasi Informasi mengenai Pengendalian Banjir dan Tidak Nyata
Pengelolaan Lingkungan
Hubungan Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit) Proyek Pengembangan Terpadu Danau Tempe

(1). Manfaat Nyata

Manfaaat nyata dari proyek ini adalah adalah aquaculture (budidaya perikanan) dan
pertanian yang mana meliputi Irrigasi Sederhana dan Pompa Irigasi Bellawa. Untuk
bidang pertanian, dihitung perbedaan hasil total pertanian saat ini dengan hasil
pertanian masa datang dengan atau tanpa proyek tersebut. Untuk budidaya ikan, di
mana belum ada produksi pada saat ini, perbedaan ada/tidak adanya proyek akan
merupakan produksi dengan adanya proyek itu sendiri.

Keuntungan bersih dari masing-masing sektor adalah sebagai berikut:


(Rp Juta)
Tanpa Proyek Dengan Proyek Kenaikan
Aquaculture 0 14.777 14.777
Simple Irrigation 5.480 13.912 6.373
Bellawa Pump Irrigation 6.479 12.581 8.432

S - 77
(2). Manfaat yang tidak Nyata

Peningkatan mutu kualitas air dan penambahan persediaan air, berkurangnya


banjir, konservasi lingkungan alam, serta peningkatan tersedianya informasi dinilai
sukar untuk di-konversi menjadi nilai moneter tertentu. Tetapi keuntungan proyek
ini dapat dijadikan hal yang bermanfaat bagi masyarakat.

10.3.3 Hasil Evaluasi

Dari perkiraan biaya dan manfaat proyek yang telah dijelaskan diatas, dihitung
perimbangan biaya dan keuntungan akhirnya besarnya EIRR dapat dihitung, seperti
berikut ini:

Evaluasi Proyek TeLID dan Komponen Nyata

TeLID

EIRR (%) 12,8

B/C 1,29

B-C (Rp. Juta) 38.238

Dari prespektif ekonomi TeLID dapat dibenarkan, walaupun yang dipakai sebagai
pertimbangan hanyalah sektor yang memberikan manfaatnya nyata (apabila pengerukan
Sungai Cenranae, persediaan air di Sengkang dan pusat informasi tidak termasuk evaluasi,
hasil EIRR = 14,1 %). Berarti apabila dimasukkan kegiatan yang tanpa manfaat nyata,
maka TeLID akan menghasilkan EIRR lebih besar dibandinkan dengan hasil uraian disini.
Langkah selanjutnya dalam mengimplementasikan TeLID diperlukan untuk memperoleh
manfaat ini.

10.3.4 Rekomendasi

Proyek Pengembangan Terpadu Danau Tempe (TeLID) kelihatan layak dengan EIRR
yang dihitung hanya pada sektor yang memberikan keuntungan nyata (tapi termasuk
biaya sektor “tidak nyata”), adalah sebesar 12,8%. Proyek tersebut harus dikaji ulang
desain aslinya, dan direvisi Spesifikasi Teknis, termasuk desain dan spesifikasi baru
apabila diperlukan. Lebih lanjut harus dimulai persiapan lokasi, disain yang terperinci,
dan peninjauan spesifikasi sebelum pelaksanaan dimulai pada pertengahan tahun 2005.

S - 78
10.4 Komponen Proyek Terpadu yang Lain

Komponen yang dijelaskan diatas direkomendasikan sebagai urutan pertama dan


memiliki EIRR tertinggi dan diterima dari sisi lingkungan, dan keberlanjutan sosial, yang
dilaksanakan sesudah konstruksi dan pengoperasian bendung gerak Tempe.

Proyek lain yang mendukung pengembangan aquaculture dan pertanian akan dijelaskan
dibawah ini. Tambahan informasi dapat di lihat pada lembar uraian proyek:
• Pembentukan “Kelompok Pengelolaan Danau Tempe” (Tempe Lake Round Table)
atau “Panitia Pengembangan Danau Tempe”
• Studi kelayakan untuk pengembangan Pabrik Makanan Ikan
• Pengembangan Pusat Budidaya Perikanan Danau Tempe
• Pembentukan “Bungka” permanen, untuk perlindungan ikan di Danau Tempe
• Peningkatan kualitas air dan pemantauan.
• Pengembangan Pompa Irigasi (Irigasi Cenranae dan Pompa Irigasi Tempe)

11 RENCANA TINDAK

11.1 Pengembangan Rencana Tindak.

Berdasarkan hasil diskusi sebelumnya, Rencana Tindak pada Studi ini telah
dikembangkan. Rencana Tindak dimaksud terdiri dari empat bagian utama, yaitu:

(1) Rencana Tindak Pengelolaan dan Perlindungan DAS

(1) Rencana Tindak Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem

(1) Rencana Tindak Pemanfaatan dan Konservasi Sumber Daya Air, dan

(1) Rencana Tindak Pengembangan Terpadu Danau Tempe (TeLID)

Rencana Tindak ini merupakan komposisi baru yang dikembangkan dari pemilihan
proyek-proyek dari berbagai sektor dalam RPKP, terkecuali TeLID yang semenjak awal
merupakan kegiatan khusus. Kegiatan tersebut disusun kembali seperti skema dibawah
ini :

S - 79
<DCMP dan Kegiatan Non-Struktural lainnya> <Rencana Tindak>

Kegiatan Persiapan Tindakan Rencana Tindak


Hukum & Kelembagaan Pengelolaan dan
Perlindungan DAS
Peningkatan Kemampuan
Stakeholder
Rencana Tindak
DCMP Sumberdaya Lahan Pengelolaan dan
Perlindungan Ekosistem
DCMP Lingkungan Hidup

DCMP Sumberdaya Air Rencana Tindak


Pemanfaatan dan
Konservasi SDA
DCMP Pertanian

DCMP Perikanan
Rencana Tindak
Pengembangan Terpadu
Danau Tempe (TeLID)
Renc. Pengembangan Terpadu
Danau Tempe (TeLID)

Rencana Tindak terdiri dari 4 komponen yang mencakup seluruh kelompok-kelompok


proyek sebagaimana ditunjukan pada sisi kanan dari gambar diatas. Perbedaan antara
RPKP dan Rencana Tindak adalah bahwa RPKP merupakan program yang berorientasi
pada sektor berdasarkan strategi dari masing-masing sektor, sedangkan Rencana Tindak
adalah program yang lebih berorientasi pada tujuan dengan saran-saran sesuai dengan
ketentuan pelaksanaan.

Sebagai tambahan dari empat Rencana Tindak diatas, juga dikembangkan rencana
pelaksanaan berdasarkan wilayah (Kabupaten dan DAS) sebagai bahan pertimbangan dan
akan diuraikan pada bagian selanjutnya dari Bab ini.

Pada Tabel 13.1.1. di Final Report diberikan ringkasan dari tiga Rencana Tindak yang
mencakup Pengelolaan dan Perlindungan DAS, Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem,
dan Rencana Tindak Pemanfaatan dan Konservasi Sumber Daya Air.

Tiap-tiap Rencana Tindak terdiri dari satu atau beberapa proyek yang telah ditunjukan
dan disertai dengan informasi yang perlu dipertimbangkan secara menyeluruh terhadap
lokasi, tipe, daftar sementara organisasi pelaksana, perkiraan biaya, prioritas, dan usulan
jadwal pelaksanaan, dan lain-lain.

Jumlah keseluruhan proyek yang terdaftar di dalam tiga Rencana Tindak adalah 208,
dengan total perkiraan biaya kurang lebih Rp 8.426 milyar untuk jangka waktu
pelaksanaan 25 tahun mulai dari 2004 sampai tahun 2028. Gambaran secara proporsional
dari tiga Rencana Tindak dan Rencana Tindak TeLID (yang terdiri dari proyek-proyek

S - 80
yang diseleksi dari proyek-proyek di dalam tiga Rencana Tindak) dalam hal jumlah
proyek dan anggaran biaya proyek, ditunjukan pada ringkasan berikut.

Porsi Jumlah Proyek dan Anggaran Biaya Proyek dalam Usulan Rencana Tindak

Jumlah Proyek Porsi Biaya dalam


Rencana Tindak (RT) (% dari total) jutaan Rp (% dari total)
Pengelolaan dan Perlindungan DAS 38 (18%) 1.287.254 (15,3%)
Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem 6 (3%) 17.200 (0,2%)
Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Air 164 (79%) 7.121.765 (84,5%)
Total 208 (100%) 8.426.219 (100%)
RT TeLID (terdiri dari proyek-proyek terpilih) 18 (8,7%) 1.681.496 (20%)

11.2 Rencana Tindak Pengelolaan dan Perlindungan DAS

Sebagaimana ditunjukan pada Tabel diatas, Rencana Tindak Pengelolaan dan


Perlindungan DAS terdiri total 38 proyek dari beberapa sektor. Catatan bahwa 38 proyek
tersebut adalah definitif sangat diperlukan dari sudut pandang daya dukung dan
pengelolaan DAS yang bekesinambungan.

Hal yang penting dari proyek-proyek tersebut adalah kebenaran proyek dengan segala
ciri-cirinya yang disusun sebagai kondisi dasar dalam pemantauan dan perlakuan DAS,
serta fungsi yang berorientasi pada konservasi di dalam segala kegiatan kehutanan dan
pengelolaan DAS.

Prioritas H (tinggi), M (sedang) dan L (rendah) di dalam suatu sektor yang tertera pada
tabel harus lebih diperhatikan, sepanjang kepentingan dari 38 proyek tersebut adalah lebih
tinggi dari proyek-proyek pada Rencana Tindak yang lain.

Komposisi usulan anggaran proyek pada Rencana Tindak ini adalah hanya 15,3 % dari
total anggaran, dimana jumlah tersebut sangat kecil bilamana dibandingkan dengan
keuntungan proyek ini yang dapat menghasilkan pengelolaan lebih lanjut untuk seluruh
DAS.

Sebagaimana dapat dilihat pada bagian usulan jadwal pelaksanaan dari tabel tersebut,
sebagian besar proyek-proyeknya adalah diusulkan untuk dilaksanakan pada tahap lebih
awal. Hal ini menunjukan urgensi maupun fungsi yang diharapkan dari proyek-proyek
tersebut sebagai langkah awal dalam menciptakan kondisi yang mendukung untuk seluruh
kegiatan lainnya yang dilaksanakan di dalam DAS. Harapan yang tinggi bahwa
proyek-proyek tersebut segera dimulai sebagai prakarsa kelayakan dan usaha-usaha
pengelolaan DAS secara efektif, baik dari segi waktu maupun kendala-kendala yang
lainnya.

S - 81
11.3 Rencana Tindak Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem

Rencana Tindak Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem, sebagaimana ditunjukan pada


Tabel 13.1.1. di Final Report, adalah hanya terdiri dari 6 proyek dengan komposisi
anggaran yang kecil kurang lebih sebesar 0,2 % dari total kebutuhan anggaran biaya
proyek. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Rencana Tindak Pengelolaan dan
Perlindungan Ekosistem adalah tidak penting. Disamping itu, sebagaimana pada Rencana
Tindak Pengelolaan dan Perlindungan DAS, enam proyek tersebut adalah sederajat dan
sangat diperlukan dari segi kondisi DAS dan pengelolaan yang berkelanjutan.

Kecuali apabila terdapat kegiatan Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem yang


seharusnya dilakukan tidak dilaksanakan, maka sejumlah kecil dalam Rencana Tindak
Pengelolaan dan Konservasi SDA yang merupakan proyek berorientasi produksi, harus
ditunda.

Pelaksanaan pada tahap yang lebih awal dari proyek-proyek tersebut adalah sangat
diharapkan, dengan pertimbangan sebagaimana pada Rencana Tindak Pengelolaan dan
Perlindungan DAS.

11.4 Rencana Tindak Pemanfaatan dan Konservasi Sumber Daya Air (SDA)

Rencana Tindak Pemanfaatan dan Konservasi SDA terdiri dari 164 proyek dan mencapai
84,5 % dari total kebutuhan anggaran biaya proyek. Rencana Tindak ini mencakup
sejumlah proyek-proyek dari beberapa sector/sub-sektor, yaitu penyediaan air bersih,
irigasi, pertanian, perikanan, dan lain-lain. Ringkasan komposisinya dari segi jumlah
proyek dan kebutuhan anggarannya dari total jumlah proyek (208 proyek dengan biaya
kurang lebih Rp 8.426 milyar) adalah berikut dibawah ini.

Porsi Jumlah Proyek/Biaya untuk RT Pemanfaatan dan Konservasi SDA terhadap Total Proyek

Komponen RT Pemanfaatan dan Jml. Proyek Porsi Biaya dlm. Jutaan Rp


Konservasi SDA (% dari total)
(% dari total)
Penyediaan Air Bersih 35 (16,8%) 103.312 (12,3%)
Perlindungan/Perbaikan Sungai 13 (6,3%) 389.016 (4,6%)
Irigasi dan Drainase 78 (37,5%) 5.676.111 (67,4%)
Multiguna 1 (0,5%) 181.838 (2,2%)
Pertanian 30 (14,4%) 71.268 (0,8%)
Perikanan 7 (3,4%) 700.200 (8,3%)
Total 164 (78,9%) 7.121.765 (84,5%)

S - 82
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13.1.1 di Final Report, tipe, ukuran, prioritas dan
jadwal pelaksanaan dari proyek-proyek dimaksud sangat bervariasi. Usulan jadwal
pelaksanaan dibuat atas pertimbangan “pelaksanaan yang lebih awal, dipastikan akan
memperoleh keuntungan yang luas”, dibandingkan dengan investasi. Pertimbangan
tersebut tidak hanya berdasarkan keuntungan dari sisi moneter, tetapi juga dari sisi
lingkungan maupun keuntungan sosialnya.

Pendapat dan kebutuhan stakeholder dipakai sebagai pertimbangan dan refleksi di dalam
penyusunan prioritas dan jadwal pelaksanaan proyek, serta diterapkan juga untuk dua
Rencana Tindak yang telah diuraikan diatas.

Pelaksanaan proyek-proyek di dalam Rencana Tindak Pemanfaatan dan Konservasi SDA


harus dilakukan dengan kondisi bahwa kemajuan proyek-proyek terkait dari dua Rencana
Tindak yang diuraikan diatas, telah dipastikan.

11.5 Rencana Tindak Pengembangan Terpadu Danau Tempe (TeLID)

Rencana Tindak TeLID adalah program yang dirangkum khusus dengan pemilihan
proyek-proyek yang terkait dengan pengembangan, konservasi dan pengelolaan Danau
Tempe. Sebagaimana permasalahan yang telah dipelajari dan di bahas terdahulu,
permasalahan tersebut harus juga dipertimbangkan dalam sudut pandang yang lain dari
perencanaan DAS Walanae-Cenranae, sepanjang pengembangan, konservasi dan
pengelolaan Danau Tempe masih menjadi focus bahasan di daerah Studi.

Sebagaimana yang telah di tegaskan, bahwa pada musim kering, muka air di Danau
Tempe telah diidentifikasi sebagai satu permasalahan yang besar di dalam DAS, dengan
telah berdampak negative terhadap kualitas air dan lingkungan, tidak hanya penurunan
sumber daya perikanan, tetapi juga berpotensi terhadap bahaya kerusakan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan bahwa langkah nyata untuk
mengurangi tekanan yang berat terhadap lingkungan saat ini di Danau Tempe, adalah
segera dibutuhkan sebelum kondisi tersebut menjadi situasi yang tidak dapat diubah lagi.

TeLID terdiri dari 18 proyek pada beberapa sector dan sebagian besar direncanakan untuk
segera dilaksanakan. Diantara 18 proyek tersebut, komponen kuncinya adalah
pembangunan bendung gerak Tempe, yang akan menjaga muka air pada musim kering
lebih dari + 5,0 m diatas rata-rata muka air laut serta akan segera memberikan
bermacam-macam keuntungan, diantaranya perbaikan kualitas air dan mengurangi
tekanan terhadap lingkungan untuk mendapatkan kesetimbangan ekosistem. Keuntungan
yang sama pentingnya dari bendung gerak Tempe adalah bahwa akan membuka dasar
yang penting untuk peningkatan bermacam keuntungan proyek-proyek, tidak hanya
lingkungan danau saja, tetapi juga memberikan kesempatan pada terpeliharanya sumber

S - 83
daya air guna mempercepat rencana-rencana yang produktif, diantaranya irigasi pompa,
budidaya perikanan dan pariwisata.

Untuk 8 proyek dari 18 proyek tersebut, bendung gerak Tempe jadi prasyarat, dan juga
untuk banyak proyek-proyek lain menjadi lebih efektif secara dramatis dengan adanya
bendung gerak Tempe. Kegiatan TeLID direncanakan sampai akhir jangka panjang, dan
dalam hal ini di rekomendasikan untuk melaksanakan proyek-proyek yang masuk
kebutuhan mendesak dalam Rencana Tindak TeLID, sebagai tahap awal.

11.6 Rencana Tindak Berdasarkan Wilayah Kabupaten dan Seluruh DAS

Berdasarkan Rencana Tindak sebagaimana diuraikan diatas, penyusunan lain kelompok


proyek adalah menurut wilayah adminitratif sebagaimana tercantum dalam Laporan
Utama.

Pelaksanaan proyek-proyek tersebut cukup penting guna mengikuti kebijakan


pengelolaan seluruh DAS WalCen pada masa mendatang sebagaimana yang diharapkan
dalam Studi.

11.7 Rekomendasi untuk Pelaksanaan Yang Efektif dari Rencana Tindak

Walaupun disini akan mengulang beberapa bagian yang telah diuraikan sebelumnya,
bagian-bagian pentingnya dipertimbangkan untuk ditekankan kembali dan bagian yang
seharusnya mendapat perhatian dari pengelola DAS untuk pelaksanaan yang efektif dari
Rencana Tindak, adalah sebagai berikut:

1. Guna mengurangi permasalahan-permasalahan di DAS Wal-Cen, beberapa kegiatan


harus dilaksanakan secara parallel dan berurutan.

2. Dalam jangka panjang, Kehutanan dan sektor Pengelolaan DAS nampaknya menjadi
yang terbaik pertama pengaruhnya pada sektor lain dan selanjutnya, sehubungan
dengan sektor ini membutuhkan periode yang cukup panjang dalam memperoleh
keuntungan dari kegiatannya, penempatan sektor Kehutanan dan Pengelolaan
DAS lebih awal dari sektor lainnya adalah strategi yang layak dan harus
digunakan sebagai dasar pemikiran dari Rencana Tindak (yaitu kemajuan
kegiatan dari sektor ini dijadikan sebagai pedoman / tolok ukur kegiatan sektor
lannya).

3. Sektor lingkungan nampaknya menjadi yang terbaik kedua pengaruhnya setelah


sektor Kehutanan dan Pengelolaan DAS, khususnya terhadap sektor Perikanan. Oleh
karena itu, tindakan pada sektor Lingkungan harus diperhatikan sebagai dasar
pemikiran untuk tindakan pada sektor Perikanan.

S - 84
4. Kualitas air Danau Tempe dan kubutuhan muka air danau pada musim kering
memerlukan tindakan yang sifatnya mendesak sebelum perikanan danau dan sumber
daya lingkungannya akan berubah dalam kondisi yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Untuk memperbaiki situasi ini, pelaksanaan yang sifatnya segera dari Program
Pengembangan Terpadu Danau Tempe (TeLID), setidaknya beberapa
komponen yang masuk dalam tahap pertama adalah benar-benar
direkomendasikan.

5. Tindakan dari seluruh sektor harus dilakukan sesuai dengan strategi masing-masing
sektoral sebagaimana prosedur penyusunannya yang harus diikuti, dan menetapkan
kemajuan kerja yang memadai dari Rencana Tindak sektor Kehutanan, Pengelolaan
DAS dan Lingkungan sebagai prasyarat.

6. Akhirnya, direkomendasikan bahwa Rencana Tindak dari Master Plan Wal-Cen akan
dipakai secara resmi sebagai pedoman kebijakan untuk pengelolaan DAS
Walanae-Cenranae, dan di manfaatkan untuk bahan koordinasi antar instansi
pemerintah, untuk kesejahteraan seluruh stakeholder yang terkait.

12 ORGANISASI YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM PENGELOLAAN

12.1 Tingkat Wilayah Sungai

PPTPA Wilayah Sungai Walanae-Cenranae adalah konsep organisasi baru yang dibentuk
berdasarkan UU SDA yang baru (belum di-sah-kan) dimana pada undang-undang tersebut
diberi nama “Dewan Daerah Sumber Daya Air – DDSDA”. DDSDA akan membantu
Gubernur Sulawesi Selatan dalam perumusan system pengoperasian dari pengembangan
dan pengelolaan sumber daya air wilayah sungai Walanae – Cenranae. Keanggotaan
PPTPA / DDSDA membutuhkan keterlibatan dari pihak-pihak terkait baik dari elemen
pemerintah maupun non-pemerintah. DDSDA adalah organisasi non-struktural yang
berada dibawah dan betanggung jawab kepada Gubernur Sulawesi Selatan.

12.1.1 Usulan Pembentukan Proyek Induk PWS WAlanae-Cenranae

Studi ini mencakup suatu rencana tindak untuk masa 25 tahun mendatang. Sebagaimana
dinyatakan dalam Kebijakan Nasional Sumber Daya Air, wilayah sungai
Walanae-Cenranae adalah salah satu wilayah sungai penting di Indonesia dan akan
dikembangkan secara simultan dengan 13 wilayah sungai lainnya yang mempunyai nilai
strategis.

Dua proyek berskala besar (Ponreponre dan Giliran) dari 7 proyek-proyek di dalam
“Group A“(menurut reformasi WATSAL) adalah terletak di dalam wilayah sungai

S - 85
Walanae-Cenranae. Begitu juga proyek-proyek berskala besar lainnya pada Pengembangan
Sumber Daya Air Danau Tempe yang akan masuk proyek Group B.

Penyusunan lembaga baru, Proyek Induk Walanae-Cenranae adalah diperlukan setelah


Proyek Induk Jeneberang di kembangkan menjadi perusahaan pengelolaan swadana.
Proyek Induk Walanae-Cenranae yang baru, akan bertindak sebagai penghubung dari
Departemen Kimpraswil – Pemerintah Pusat, untuk melaksanakan dan mengelola biaya
dari Loan dan atau APBN yang merupakan dekonsentrasi tugas kepada pemerintah tingkat
Propinsi dan Kabupaten.

Suatu wilayah sungai yang mempunyai nilai strategis seperti wilayah sungai
Walanane-Cenranae yang melintas pada 6 wilayah kabupaten harus dikelola sesuai dengan
prinsip “satu wilayah sungai satu pengelolaan”. Proyek Induk Walanae-Cenranae
dikembangkan untuk menampung/meng-akomodasi prinsip tersebut.

Tugas dan tanggung jawab dari Proyek Induk Walanae-Cenranae adalah untuk :

• Mengkoordinir studi tingkat pendahuluan, survai tingkat kelayakan dan investigasi, dan
detail desain proyek-proyek yang terkait dengan Rencana Induk sesuai dengan program
jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Hasil-hasil kegiatan tersebut
akan dipakai untuk memperbaharui dan memperbaiki Rencana Induk Wilayah Sungai
WalCen yang telah ada.

• Menyusun anggaran biaya tahunan yang dibutuhkan, yang dibiayai oleh Departemen
Kimpraswil untuk kegiatan-kegiatan perencanaa, studi kelayakan dan kebutuhan
pengawasan konstruksi. Dimana anggaran yang dimungkinkan harus ajukan atas dasar
kebutuhan tahunan dan anggaran biaya tambahan yang dapat diajukan atas dasar
pengajuan khusus.

• Pelaksanaan proyek pengadaan ( jasa konsultan, kontraktor dan LSM) berdasarkan


pada akuntabilitas, efisiensi dan transparansi.

• Mengatur program pelaksanaan tahunan dan mengkoordinasikan dengan Dinas PSDA


Propinsi, Kabupaten dan instansi/lembaga lain yang terkait dengan tugas-tugas proyek,
seperti PIRASS.

• Mengkoordinir jasa layanan konsultan dan kontraktor dalam pelaksnaan pekerjaan


Survai Investigasi dan Desain (SID), penentuan kelayakan dan pekerjaan konstruksi
yang diperlukan.

• Mengkoordinir, memantau dan mengontrol peleksanaan pekerjaan SID dan konstruksi,


mengasuransikan kontraktor dan tenaga kerja sesuai dengan prinsip Jaminan Mutu
(QA : seluruh kontraktor, konsultan dan pekerjaan konstruksinya harus berkualitas
berdasarkan rekaman prinsip jaminan mutu yang telah ada). Hal ini berarti bahwa

S - 86
pekerjaan akan dapat diselesaikan tepat waktu sesuai anggaran yang tersedia dan
kualitas yang dibutuhkan dapat diterima.

12.1.2 PPTPA Walanae-Cenranae

PPTPA Walanae-Cenranae belum dibentuk, bagaimanapun, konsep tugas dan fungsi


termasuk juga untuk DDSDA telah disusun oleh pemerintah dibantu oleh konsultan
WalCenMP. Tugas dan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam surat Direktur Jenderal
Sumber Daya Air No. UM.01.01.11-DD/144 dan No. UM.04.16.04-DD/561. Pembentukan
PPTPA Walanae – Cenranae saat ini masih dalam proses.

Keanggotaan PPTPA disarankan terdiri dari :


• 50 % jumlah anggota dari Pemerintah Kabupaten, Dinas dan lembaga terkait.
• Perwakilan dari P3A atau Gabungan P3A
• Organisasi non- pemerintah / LSM
• Masyarakat setempat / orang lokal
• Perwakilan dari Universitas setempat
• Organisasi pengguna air lainnya, PDAM dan industri.

Tugas utama dan fungsi dari PPTPA Walanae – Cenranae adalah:

(1) Mengkoordinasi pengumpulan dan analisa data hidro-meteorologi di dalam wilayah


sungai dan menyusun database yang meliputi :

• Database untuk ketersediaan dan potensi air, baik air permukaan maupun air tanah,
• Database untuk konservasi lahan,
• Database untuk pengguna air (volume, kuantitas, kualitas, durasi), baik pada saat
sekarang maupun masa mendatang,
• Database untuk penggunaan air,
• Data genangan banjir, penyebabnya dan areal yang mengalami kekeringan,
• Perbaikan terbatas pada zone pengembangan untuk perbaikan sungai.

(2) Koordinasi, supervise dan mengontrol pembagian air dan program pencegahan banjir.

(3) Merekomendasikan kepada PTPA untuk penyusunan prioritas alokasi air di wilayah
Walanae – Cenranae.

(4) Mengelola dan membantu pengguna air dalam pengelolaan air baku, konservasi dan
perawatan air limbah sebelum dialirkan kembali ke sungai.

(5) Sosialisasi dan pertemuan masyarakat untuk memberikan pengertian kepada


masyarakat tentang konservasi sungai dan pentingnya tata guna lahan serta
dampaknya terhadap volume aliran sungai.

S - 87
(6) Membuat keputusan tentang perbaikan kualitas air di sungai utama dan anak-anak
sungainya.

(7) Menyusun laporan seluruh kegiatan untuk Kantor Gubernur melalui PTPA.

(8) Menyusun analisa ketersediaan air – berdasarkan hasil studi Master Plan – untuk
usulan yang diajukan oleh stakeholder, dan membuat rekomendasi kepada PTPA
tentang pengeluaran sertifikat hak guna air.

(9) Penyusunan rencana untuk perbaikan lingkungan akibat dari kontaminasi air buangan
rumah tangga dan industri dengan memanfaatkan pedoman operasional dari Balai
PSDA. Menyusun laporan tentang temuannya dan rekomendasinya dan
menyampaikan kepada PTPA.

(10) Menjaga hubungan baik dan pertukaran data / informasi dengan Balai PSDA dalam
hal analisa ketersediaan air, pencegahan dan perlindungan banjir, program-program
konservasi dan lain-lain termasuk pemeliharaan sungai.

(11) Menjago koordnasi yang baik dengan P3A dan Gabungan P3A, mengatur pertemuan
berkala dengan P3A dan Gabungan P3A dalam hal penggunaan air.

(12) Menyelesaiakn perbedaan kepentingan antar stakeholder dalam hal penggunaan air
dan melaporkan kepada PTPA dan Balai PSDA.

12.1.3 Balai PSDA Walanae-Cenranae

Balai PSDA Walanae – Cenranae dibentuk berdasarkan SK Gubernur No. 212 / 2001, dan
Perda No. 18 / 2001, yang mempunyai peran sebagai lembaga layanan public yang
mencakup seluruh aspek sumber daya air untuk mencapai keadilan dan kepatutan dalam
alokasi penggunaan air, alur sungai, dan pemeliharaan prasarananya, pemeliharaan dan
perbaikan kualitas air, pengelolaan prasarana irigasi, dan konservasi. Pentingnya Balai
PSDA adalah dalam pengelolaan penggunaan air yang berada dalam lintas batas kabupaten
atas dasar kerjasama dengan kabupaten terlait.

12.2 Pengelolaan Kualitas Air

Penanggung jawab utama untuk kontrol kualitas air, berdasarkan PP No. 22/1982 dan No.
Peraturan Menteri No. 45/PRT/1990, adalah :

• Departemen Kimpraswil, yang berhubungan dengan Pengelolaan Sumber Daya Air dan
Kualitas Air.

• BAPPEDAL, yang berhubungan dengan Pengendalian Polusi dan Program


PROKASIH.

S - 88
• Depatemen Kesehatan, yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat dan
penyediaan air bersih.

Balai PSDA berfungsi sebagai pelaksana operasional dari Proyek Induk, yang akan
mengontrol kualitas air, sehingga jika Balai menemukan lokasi sumber polusi di dalam
sungai, hal ini akan dilaporkan kepada PPTPA dan PTPA serta meneruskan kepada
Gubernur untuk mengambil suatu tindakan termasuk sangsinya.

BAPPEDAL juga mempunyai peran dalam pengontrolan polusi melalui kegiatan


PROKASH (Program Kali Bersih) dan mereka mempunyai peranan utama dalam
pelaksanaan pengontrolan polusi.

Sejumlah instansi pemerintah dan departemen yang terkait dengan masalah kualitas air dan
lingkungan, dalam kegiatan pemantauan kualitas air memerlukan koordinasi yang dapat
dilakukan oleh Balai. Beberapa pertentangan stakeholder dalam masalah kualitas air
mungkin terjadi, misalnya di sistem danau Tempe, petani-petani mungkin memberikan
kontribusi terhadap polusi organik dari pupuk sebagai sumber dari kandungan nitrogen
yang tinggi (euthropication) yang menyebabkan masalah di danau Tempe.

12.3 Pengelolaan Danau Tempe

Pengelolaan Danau Tempe direkomendasikan sebagai divisi khusus atau bagian dari Balai
PSDA, yang menjalankan fungsi untuk mengurangi konflik antar pengguna air
(kepentingan pertanian dan perikanan) dan memadukan seluruh rencana tindak sehubungan
dengan pemafaatan dan alokasi air.

Pada masa mendatang, setelah konstruksi bendung gerak Tempe, akan sering terjadi
konflik antar stakeholder dalam hal ketinggian muka air danau dan penurunannya.
Beberapa kepentingan yang memerlukan pengelolaan atas dasar kesepakatan adalah :

• Penyediaan Air Bersih (PDAM Sengkang dan Kapet Parepare)


• Irigasi Pompa Bellawa
• Jaringan Irigasi di sisi utara sungai Cenranae
• Pertanian Lahan Basah
• Perikanan
• Daerah konservasi ntuk flora dan fauna
• Pengsian kembali air tanah
• Aliran tetap dan pemeliharaan sungai Cenanae
• Transportasi air (Katinting)

Divisi/Seksi Khusus dalam susunan organisasi Balai untuk Pengelolaan Danau Tempe
akan dapat menciptakan koordinasi antar instansi, stakeholder dan memberikan pengarahan
operasi di lapangan.

S - 89
Tugas-tugas dan tanggung jawab Divisi atau Seksi Khusus adalah :

• Mengadakan kegiatan observasi khusus yang mencakup Karakteristik Danau,


Pemulihan kualitas air, Sedimentasi dan konservasi termasuk pemeliharaan danau.
• Melakukan identifikasi kecenderungan geomorphologi dan eco-hidrologi dari danau
dan dampaknya terhadap sedimentasi serta kualitas air di danau.
• Pengamatan kandungan DO (ocsigen demand) dan pemantauan kualitas air periode
bulanan di danau, sungai dan daerah sekitar danau.
• Melakukan pengamatan harian muka air danau dan contoh sedimen periode bulanan
termasuk pengukran debit masuk danau dari sungai Bila, Batubatu, Bilokka,
Paddangeng.

13. PEMBAGIAN PERAN PADA RENCANA PENGEMBANGAN DAN


KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

13.1 Strategi Pembiayaan dan Pembagian Peran

Biaya investasi untuk pengembangan dan konservasi sumber daya air perlu dibiayai
melalui penyatuan sumber keuangan antar departemen. Masing-masing departemen harus
melaksanakan perencanaan keuangannya, supaya dana akan tersedia untuk pelaksanaan
kegiatan yang telah dijadwalkan dalam Rencana Tindak.

Table di bawah ini menyajikan tugas-tugas dan tanggung jawab dari departemen terkait
pada rencana pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, dalam usaha pengadaan
kebutuhan pembiayaannya.

Dinas PSDA Propinsi, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Dinas Kehutanan dan Balai
Pengelolaan-Sumber Daya Alam (Balai PSDA), Bapedal, Dinas Pertanian dan Dinas
Perikanan merupakan instansi yang berkewajiban menyiapakan dana untuk membiayai
pelaksanaan rencana tindak sesuai jadwalnya.

S - 90
Institusi
Sektor Jenis Aktivitas dalam Rencana Tindak Departemen Terkait Pelaksana

Sumber Daya 1. Rehabilitasi dan Ekstensifikasi Jaringan Dep.Kimpraswil Proyek Induk


Air Irigasi Direkt.SDA. PIRASS

2. Pengendalian banjir, Sungai dan Rawa ,, Proyek Induk


3. Pengelolaan Irigasi Dep.Dalam Negeri &
DepKeu Dinas PSDA
PTPA, Balai PSDA
Direk Perkotaan &
4. IKK – Penyediaan Air Bersih Pedesaan Dir tata Ruang &
Permukiman
Departemen Lingkungan
Hidup Dinas LH &
Kualitas Air 1. Perbaikan Kualitas Air (Sungai dan Danau) Bapedalda
2. Pemantauan Pencemaran Departemen Lingkungan
Hidup Bapedalda

Pengelolaan Departemen Kehutanan Dinas Kehutanan


1. Penghutanan & Rehabilitasi
Daerah Aliran Propinsi/ Kabupaten
Sungai 2. Rehab. Lahan Kritis
3. Pengembangan hasil Hutan Non kayu
4. Sosialisasi, training dan pendidikan
Departemen Pertanian Dinas Pertanian
1. Penguatan Pendukung Pendukung Sarana
Pertanian Propinsi /
Kabupaten
Pertanian
2. Penyuluhan Kelembagaan Pertanian
Departemen Perikanan
3. Program Peningkatan Pemasaran Hasil
Partisipasi Swasta
pertanian dan Agroindustri
Perikanan 1. Program pengembangan budidaya perikanan Dinas Perikanan
Partisipasi Swasta
Danau Tempe
Swasta
2. Pembibitan Benih Ikan
3. Pengembangan Budidaya Perikanan dengan Swasta
Tambak

13.2 Kemampuan Keuangan Propinsi dan Kabupaten

Setelah desentralisasi terhadap keputusan dan keuangan Pemerintah Pusat kepada


Pemerintah Propinsi dan Kabupaten, seperti ditetapkan dalam UU 22 and 25 / 1999,
menjadi tanggung jawab Pemerintah Propinsi untuk mendukung kegiatan sumber daya air
yang berlokasi lintas batas Kabupaten, serta bantuan kegiatan yang bersifat strategis di
dalam satu wilayah sungai .

Perkiraan kemampuan keuangan Kabupaten untuk sub-sektor irigasi dan bangunan


sumber daya air yang diprediksi dari kecenderungan yang telah terjadi terkait dengan
APBD, menunjukan bahwa setiap tahun rata-rata 1 – 2 % dari total APBD total berasal
dari pendapatan asi daerah. Untuk sektor Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan angka ini
berturut-turut adalah 1 – 2,2%, 3 – 3,5% dan 2 –3 %. Selama PAD Kabupaten tidak
memenuhi total biaya pengembangan (hanya diharapkan dari DAU dan DAK), tidak ada
kesempatan membiayai kegiatan yang direkomendasikan dalam Rencana Tindak
WalCenMP. Karena kemampuan keuangan yang sangat rendah dari Kabupaten saat ini,

S - 91
diperlukan dana dari sumber lain seperti Pinjaman (Loan), atau APBN melalui
dekonsentrasi untuk pelaksanaan pengembangannya.

13.3 Wewengan Pengelolaan Sumber Daya Air

13.3.1 Wewengan dan Tanggung jawab Pemerintah Pusat

(1) Kewewengan Pusat, Propinsi dan Dekonsentrasi

Desentralisasi seperti dijelaskan dalam UU No. 22/1999, UU No. 25/1999 and PP


No. 25/2000 memberikan otonomi total kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota,
yang menyebabkan kebutuhan peningkatan kemampuan Kabupaten dan Kota dalam
kaitan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.

Pembagian wewenang dapat dilihat dalam undang-undang yang tekait. Administrasi


pengembangan sumber daya air dapat diklasifikasi dalam tingkat-tingakt
pemerintahan sebagai berikut:

1) Sumber daya air Kabupaten/Kota, di mana lokasi potensi pemanfaatan air dan
sumber air dengan jelas dalam satu wilayah Kabupaten/Kota.

2) Sumber daya air lintas-Kabupaten/Kota, di mana lokasi dan potensi


pemanfaatan sumber daya air lintas batas Kabupaten/Kota, tetapi terletak dalam
satu wilayah Propinsi. Dalam hal ini sumber daya air mempunyai nilai strategis
kewilayahan dan perlu pengelolaan dari suatu badan dengan wewengan lintas
batas Kabupaten.

3) Sumber daya air lintas-Propinsi, di mana lokasi dan potensi pemanfaatan


sumber daya air lintas batas Propinsi. Dalam hal ini Pemerintah Pusat
mempunya peran koordinasi.

4) Sumber daya air di mana lokasi geografis dan potensi pemanfaatan sistem dan
sumber air berada di Indonesia dan juga di negara tetangganya.

5) Sumber daya air yang mempunyai fungsi strategis untuk negara.

(2) Dekonsentrasi dan Bantuan Pemerintah Pusat

Wewenang pemerintah pusat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air,
seperti dinyatakan dalam UU No. 22/1999, PP 25/2000 dan Kepres No. 102/2001
perlu dilaksanakan dalam keadaan seperti diuraikan di bawah ini. Pembagian
wewenang dapat dilihat dalam undang-undang yang tekait. Administrasi
pengembangan sumber daya air dapat diklasifikasi dalam tingkat-tingkat
pemerintahan sebagai berikut:

S - 92
1) Di mana pengelolaan sumber daya air berpotensi memberikan dampak yang
besar pada negara berkaitan sektor politik, sosial dan ekonomi.

2) Di mana berbagai kepentingan antar sektor dan stakeholder terlibat

3) Proyek yang punya sifat lintas batas propinsi dan punya kepentingan strategis
nasional

4) Pemerintah Daerah tidak mampu menangani proyek sesuai dengan kebijakan


yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

Instansi Pemerintah Pusat untuk pengembangan dan pengelolaan sumber daya air
dapat membatalkan tanggungjawabnya pada pemerintah Propinsi atau Kabupaten
dengan dekonsentrasi atau pendirian kelompok kerja khusus dengan bantuan
Pemerintah Pusat.

Proyek dapat dilaksanakan oleh instansi tekait pada tingkat Propinsi, Kabupaten
atau DAS atas nama Pemerintah pusat dengan pengalihan wewenang dari
Pemerintah Pusat. Pengalihan wewenang berdasarkan PP 39/2001 dan kepres No.
102/2001.

Pelaksanaan pengelolaan sumber daya air dengan pengalihan atau perubahan


wewengan dari Pemerintah Pusat, misalnya yang berkaitan dengan yang berikut ini:
• Peningkatan Kemampuan Masyarakat
• Koordinasi Pelaksanaan Kewenangan
• Wilayah sasaran meliputi dua wilayah propinsi atau lebih
• Lembaga dimaksud mempunyai kemampuan melaksanakan proyek
Anggaran untuk kegiatan ini akan berasal dari APBN dan termasuk pinjaman,
seperti diuraikan dalam PP No 106/2000.

S - 93

You might also like