You are on page 1of 17

PLURALISME AGAMA

DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-MARAGHY

A. Latar belakang Masalah


Keberagaman dan berbeda pendapat merupakan order of nature, dalam
bahasa Al-Qur’an disebut Sunatullah. Perbedaan pandangan, keyakinan dan
agama merupakan fenomena lazim dan alamiah. Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat majemuk dan beragam baik dari segi suku, ras maupun agama. Hal
tersebut dapat dilihat bahwa mereka tinggal dan menetap tersebar di berbagai
pulau dan memeluk agama yang beragam dari Kristen, Hindu, Budha dan Islam.
Munculnya keragaman agama ini merupakan konsekwensi logis dianutnya
berbagai paham oleh masyarakat Indonesia. Masalah keragaman inilah yang
menimbulkan issue keberagaman atau pluralitas agama, yang selanjutnya sering
disebut dengan paham pluralisme agama.
Pluralisme di Indonesia tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan
agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus
dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaaan dalam ikatan-ikatan keadaban”.
Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan
mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan
yang melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi
segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.”(QS.
al-Baqarah/2:251)1
Keragaman agama di Indonesia merupakan kenyataan dari konsekwensi
logis dianutnya berbagai paham oleh masyarakat Indonesia. Masalah keragaman
agama inilah yang menimbulkan issue kebaragaman atau pluralitas agama. Issue
ini merupakan fenomen yang hadir di tengah keaneka ragaman klaim kebenaran
absolut antar agama yang saling berseberangan. Setiap agama mengklaim dirinya
yang paling benar dan yang lain sesat semua. Klaim ini kemudian melahirkan
keyakinan yang disebut doktrin keselamatan. Bahwa keselamatan atau
pencerahan surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja, sedangkan
pemeluk agama lain akan celaka dan masuk neraka.
Sementara itu pula, paham relativisme agama menyatakan bahwa doktrin
agama apapun harus dinyatakan benar, atau tegasnya “semua agama adalah sama”
karena kebenaran agama-agama walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu
dengan yang lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak akan
mengenal apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua
dan sepanjang masa. Konsep ini menerangkan bahhwa apa yang dianggap baik
1
Abd.Majid, Tantangan dan Harapan Umat Islam d Era Globalisasi, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000, h. 34
atau buruk, benar atau salah adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap
individu, keadaan setempat, atau institusi sosial dan agama.
Oleh karena itu, konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau
kebenaran abadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat
unsur relativisme yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas
suatu kebenaran, apabila memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain.
Menurut John Hick, teolog Barat, menegaskan bahwa agama merupakan
menifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama
sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Sementara pluralisme agama
mengacu pada sebuah teori khusus tentang hubungan antar berbagai agama
dengan klaim-klaim kebenarannya yang berbeda-beda dan kompetitif. Teori ini
mengatakan bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi
yang berbeda tatanan, dan respon yang bervariasi terhadap realitas ketuhanan
yang sama yang ultimate dan misterius.2
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya dalam Munas MUI ke-7
di Jakarta menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme
bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut MUI , pluralisme agama adalah suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak
boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain
salah.
Dengan bahasa yang lebih sederhana dirumuskan bahwa untuk terjadinya
kerukunan umat beragama, pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis.
Ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar, yang berbeda hanya cara saja.
Tapi tujuannya adalah sama. Dalam istilah lain, satu Tuhan dalam banyak jalan,
atau mengutip ucapan Rumi: “meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya
adalah satu.
Fatwa kontoversial MUI ini ditanggapi beragam. Oleh sebagian kalangan
muslim liberalis merasa bahwa pluralisme dipahami secara keliru. Misalnya M.
Syafi’i Anwar3 menilai paham ini “hanya” sekedar mengakui keberagaman orang
lain, termasuk dalam beragama, tapi tidak harus setuju, sekadar penghormatan
(respect). Dalam konteks kebangsaan, atau ke-Indonesiaan, sikap saling
menghormati menjadi wacana yang amat penting di tengah keberagaman
masyarakat Indonesia. Bagi kalangan pluralis, pluralisme tidak berarti
meninggalkan keyakinan dan identitas penganutnya. Hanya sekadar mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing.
Diakui bahwa dalam sejarah agama-agama telah terjadi pertikaian antar
pemeluk agama yang sama atau antarpemeluk berbagai agama. Namun,
pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non
agama. Adakah jalan keluar untuk membentuk harmonisasi antar pemeluk agama?
Karena jika agama telah menjadi sumber keresahan pemeluknya, jangan heran
jika kemudian agama hanya sebagai kenangan buruk sejarah.

2
John Hick, Religious Pluralism, dalaml Eliadae Mireea (ed), The Encyclopedia of Religion, New
York: Macmilian Publishing Company, 1987, Vol.12. h. 331
3
M.Syafi’i Anwar, Pluralisme bukan Sekadar Toleran, dalam www. Tokoh Indonesia.com.,
Minggu, 13 Juni 2010
Untuk mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini, Alwi Shihab4
berpendapat sudah saatnya umat beragama meninggalkan era monolog untuk
beranjak kepada era dialog. Dengan dialog, umat beragama mempersiapkan diri
untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan
tentang kenyataan hidup, untuk saling mengenal dan menimba pengetahuan baru
tentang agama mitra dialog. Selanjutnya, ada dua komitmen penting yang harus
dipegang oleh pelaku dialog: Pertama adalah toleransi, dan kedua adalah
pluralisme. Dialog yang dilengkapi dengan sikap toleransi tetapi tanpa sikap
pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antarumat beragama yang
langgeng.
Dalam kaitan itu, secara garis besar pengertian konsep pluralisme dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain,
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Kedua, Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka
ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.
Ambil misal kota New York terdapat di dalamnya orang-orang
Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan Atheis. Seakan
seluruh penduduk dunia berada di kota ini, namun interaksi positif
antar penduduk ini, khususnya di bidang agama sangat minimal
kalaupun ada.
Ketiga, Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme.
Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut
“kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta
kerangka berfikir seseorang atau masyarakatnya.
Keempat, Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu
agama atau kepercayaan baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk
dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Mani, pencetus
agama Manichaieisme pada abad ke tiga, dengan cermat
mempersatukan unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Budha,
dan Kristen. Bahkan apa yang di kenal sebagai New Age Religion
(Agama Masa Kini) adalah wujud nyata dari perpaduan antara
praktik Yoga Hindu, Meditasi Budha, Tasawuf Islam dan Mistik
Kristen.

Dari uraian pengertian plurlisme itu dapatlah digaris bawahi di sini, bahwa
apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus
4
Alwi Shihab, Isalm Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,Bandung:Mizan, 1998, h.
40-43
bersyaratkan satu hal yaitu Komitmen yang kokoh terhadap agama masing-
masing. Seorang pluralis dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak
saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi
yang tepenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan
sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan
dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.
Pengertian pluralisme agama yang bersyarat ini, sesuai dengan isyarat Al-
Qur’an yang tercantum dalam Qs.Saba’/34:24-26 berikut :
“Katakanlah wahai Muhammad: siapakah yang memberi rezki kepadamu dari
langit dan bumi? Katakanlah: Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (non
Muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah
kami (non Muslim) tidak akan bertanggung jawab tentang dosa yang kami
perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat.
Katakanlah Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi
keputusan antara kita dengan benar dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi
Maha Mengetahui”. (Qs.Saba’/34:24-26)

Sementara itu, menurut M.Amin Abdullah5 benih-benih, akar-akar


musnculnya “violence” atau tindak kekerasan dengan motif agama disebabkan
tiga faktor, yaitu :
Pertama; Pemahaman Literal-skriptual dan sikap eksklusif-apologetik
Pemahaman tekstual-skriptual adalah jenis pemahaman kitab suci yang dangkal,
karena tidak ada upaya memperbandingkan secara mendalam, lebih-lebih secara
kontekstual yang membutuhkan analisis historis dan psikologis, antara satu ayat
dengan ayat-ayat lain yang mungkin memberi pemahaman dan pengertian yang
berbeda atau justru bersebrangan, untuk tidak menyebutnya bertentangan.
Pemahaman seperti ini mudah sekali membentuk sikap sosial yang bersifat
apologetik dan ekslusif.
Kedua; Ketidak percayaan sesama anggota kelompok masyarakat (Mutual
Distrust).6 Perasaan tidak senang, tidak setuju, dan tidak sepakat adalah sesuatu
yang wajar. Setiap individu dan kelompok selalu mempunyai watak atau sifat
dasar seperti itu. Namun, perasaan tersebut bisa menjadi-jadi, bertambah kuat,
dan berkembang luas jika dibarengi ramuan sikap-sikap sosial dan beban sejarah
masa lalu yang biasanya tidak mudah dilupakan, karena terdokumentasikan secara
rapi, baik dalam ingatan kolektif, buku-buku literatur, maupun film-film
5
M.Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultula-Multireligius, Jakarta: PSAP, 2005, h.
11-24
6
Dalam The Oxford Dictionary of World Religion dalam penelurusaran M.Amin Abdullah ketika
menjelaskan Violence dalam agama tersirat tiga kunci di situ: pertama, agama sama sekali tidak
bisa meninggalkan—untuk tidak menyebutnya lengket—“emosi’, sedangkan “emosi” merupakakn
cikal-bakal agresivitas yang mudah berbelok arah kepada tindak kekerasan; kedua, aktivitas dan
kegiatan keagamaan dapat mengurangi tindak kekerasan sekaligus dapat menjadi daya dorong
hebat dan memicu kekerasan jika menimbulakna rasa frustasi dan tidak puas bagi pemeluknya ,
ketiga, Masyarakat beragama yang tidak agresif biasanya dikondisikan oleh corak dan model
pendidikan agama (learning system) yang ditawarkan oleh pimpinan agama, masyarakat, atau
kelompok agama yang santun secara sosial. Lihat John Bowker (ed), The Oxford Dictionary of
World Religion, Oxford: Oxford University Press, 1997, h. 1025, lihat pula M.Amin Abdullah,
Pendidikan Agama Era Multikultural….., h. 18
dokumenter. Sikap-sikap ini, yang ujung-ujungnya tidak menyutujui dan tidak
mengakui keberadaan serta hak-hak orang atau kelompok lain, jika memuncak
dan menumpuk akan membentuk serta memupuk sikap tidak toleran, kebencian,
kemarahan, ancaman dan tindakan diskriminatif. Pada puncaknya akan muncul
ketidak percayaan antar sesama individu, sesama anggota keluarga, sesama
kelompok, atau antarkelompok (mutual distrust)
Ketiga, Penyebaran merata ketidak adilan sosial-ekonomi dan sosial politik.
Masalah ketidak setaraan atau kesenjangan yang mencolok antara the have dan
the have not sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat luas. Negara-negara
kapitalis menjdi digjaya, karena ditopang oleh kekuatan ilmu pengetahuan, baik
secara teoritis maupun terapan. Ketidak adilan global berakibat pada ketidak
adilan lokal. Ketidakadilan lokal ikut memicu berkobarnya rasa iri, dengki, tidak
puas dan frustasi anggota masyarakat. Tindak KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) di berbagai tempat menjadikan rakyat tidak berdaya dan tidak
mempunyai akses yang setara ke sentral-sentral ekonomi, power sharing dalam
politik dan pendidikan.

Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta


berpijak pada kenyataan bahwa Tuhan Yang merupakan sumber ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa, pada hakekatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha
Esa itulah yang menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari
satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa dan diberi kebebasan untuk
menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu pula Dia menuntut
ketulusan beragama dan tidak membenarkan paksaan dalam bentuk nyata atau
terselubung, besar atau sekecil-kecilnya sekalipun.
Yang dituju oleh setiap agama adalah kemaslahatan umat manusia. Tuhan
sedemikian besar, sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhluk-Nya.
Dia dapat “mengalah” dan menganugerahkan hak-Nya demi hasil karya seninya
yang paling sempurna, yaitu Manusia
Dalam kajian-kajian Islam menurut Mahmud Syaltout yang dikutip oleh M.
Quraish Shihab7dikenal dua sisi ajaran yaitu sisi nazhary atau teoritis, dan sisi
amaly atau praktis. Sisi nazhary berkaitan dengan benak dan jiwa sehingga harus
dipahami sekaligus diyakini, dan jika sumber dan interpretasi ajaran ini dipastikan
kebenarannya maka ia dinamai ‘Aqidah. Sisi amaly, adalah yang berkaitan dengan
pengamalan dalam dunia nyata yang dinamakan syariat.
Aqidah adalah sendi utama, menurut M.Quraish Shihab, ia berkaitan dengan
sisi “dalam’ manusia yang arus dipegang teguh. Adapun Syari’ah menyangkut
pelaksanaannya dapat digaris bawahi bahwa jangankan bagi pihak lain, bagi
penganutnya sekalipun diperbolehkan untuk ditangguhkan, manakala dalam
pelaksanaannya dihadang oleh kemaslahatan yang lebih besar. Dalam Al-Qur’an
surat Ali Imran ayat 64 menyatakan:
Artinya: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
7
M. Quraish Shihab,Membumikan Alqur’an:Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung Mizan,2004, h. 221
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"(QS.Ali
Imran/3:64).
Pengakuan terhadap eksistensi Non muslim yang bersifat timbal balik “bagi
kamu agama kamu dan bagiku agamaku” sehingga dengan demikian masing-
masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa
memutlakan pendapatnya kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan
keyakinan yang absolut itu.
Agama mengajarkan yang demikian karena kesatuan pendapat dalam segala
hal tidak mungkin tercapai, khususnya setelah pertumbuhan penduduk yang
sedemikian pesat serta keaneka ragaman kebutuhan. “Manusia tadinya satu
kesatuan, kemudian mereka berselisih (QS.Al-Baqarah/2:213. Perbedaan antara
manusia adalah kehendak Tuhan Jua.”Seandainya Tuhan menghendaki niscaya
Dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Tuhan tidak menghendaki itu)
sehingga mereka akan terus berbeda” (QS.al-Hud/11:118)
Ayat-ayat Al-Qur’an di atas merupakan bukti pengakuan terhadap adanya
keragaman dan keanekaan serta kemajemukan di antara manusia, yang harus
diakui dan dipercaya sebagai suatu keniscayaan dalam perjalanan manusia menuju
kepada ridla Yang Esa
Dalam sejarahpun, Nabi Muhammad telah memberi teladan
mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman.
Ketika Hijrah ke Madinah, Rasulullah menggunakan orang Yahudi
sebagai petunjuk jalannya, atau ketika Beliau menyembelih
kambing dan mengirim daging yang sudah dimasaknya ke
tetangga Yahudi.
Yang paling humanis adalah peristiwa Rasulullah dalam
suatu majelis, tiba-tiba ia berdiri, saat menyaksikan
serombongan orang membawa jenazah. Para sahabat
mengetahui jenazah tersebut adalah orang yahudi. “Ya
Rasulullah, bukankah itu jenazah orang Yahudi?’ Apa jawab
Rasulullah: Dia juga jiwa (manusia).”
Ketika merintis terbentuknya masyarakat di Madinah,
melalui as-Shahifah al-Madinah (piagam Madinah), Nabi
Muhammad SAW berusaha untuk mencari titik temu antara
kepentingan golongan, kabilah dan agama yang berbeda-beda di
Madinah. Langkah pertama Rasulullah adalah dengan mengakui
hak eksistensi kelompok-kelompok tersebut dalam dokumen
piagam Madinah. Hal sama juga dilakukan penerus Beliau yaitu
khalifah Umar ibn Khattab dalam sikap baiknya terhadap
penduduk Yerussalem yang terdokumentasikan dalam Piagam
Aelia.
Teladan Nabi secara estafet dipraktikan oleh Khalifah Umar
dan juga pada masa khilafah Umawiyah di Andalusia Spanyol
yang memperlakukan politik multikultur yang gemilang. Dalam
catatan sejarah Umawi di Spanyol yang mendapat sanjungan
dari Max Dimont yang menyebutnya sebagai rahmat bagi
Andalusia yang mengakhiri kezaliman dan kekelaman
kolonialisme dan pemaksaan agama pada waktu sebelumnya. Di
bawah rezim pemerintahan Islam yang bertakhta selama 700
tahun, Spanyol diibaratkan sebagai negeri tiga agama dan “satu
tempat tidur” orang-orang Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun
dan bersama-sama menyertai peradaban gemilang. Kesaksian
Max Dimont ini termaktub dalam buku The Indestructible Jews.8
Kiranya pluralisme telah menjadi kesadaran agama-agama
sejak dulu. Agama umumnya muncul dalam lingkungan
pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi
pluralisme itu. Bahkan setiap agama justru lahir dari proses
perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Maka, pluralisme
adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi
agama-agama.
Al-Qur’an kitab suci umat Islam, tidak hanya berbicara
kepada umat Islam saja, tetapi berbicara juga kepada banyak
umat, baik Nasrani, Yahudi dan sebagainya. Kata-kata itu ada di
dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti : “Hai orang-orang beriman,
“Hai manusia”, “Hai orang-orang Kafir”, Hai Ahl Kitab, dan lain
sebagainya. Hal tersebut membuktikan bahwa pada saat itu Al-
Qur’an tidak hanya berbicara pada satu pihak saja kepada umat
Islam juga berbicara kepada banyak pihak. Dalam Al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 62 Allah menyatakan :

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang


Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala
dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Qs.al-Baqarah/2:62)

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang


Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara
mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian
dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Qs. Al-
Maidah/5:69)

Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang


Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-
orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi

8
Max I Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973, h.203
sebagimana dikutip dalam Uluml Qur’an No.3, Vol. VI, 1995 h. 63
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.(Qs.al-Hajj/22:17)

Dari ketiga ayat di atas, bahwa dari segi keyakinan dan


kepercayaan yang dianut, secara global umat manusia dalam
perspektif Al-Qur’an dapat dibedakan ke dalam enam kelompok,
yaitu :
1. kelompok orang-orang yang beriman (alladzina amanu)
2. kelompok orang-orang Yahudi (alladzina hadu)
3. kelompok orang-orang nashrani (an-Nashar)
4. kelompok orang-orang shabiun (as-Shabiun)
5. kelompok orang-orang Majusi (al-Majus)
6. kelompok orang-orang musyrik (al-Musyrikun)

Dalam surat al-Hujurat ayat 13 Allah juga berfirman :

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.(Qs.al-Hujurat/49:13)

Atas dasar ayat-ayat tersebut, kita dapat mengatakan


bahwa Al-Qur’an mengakui adanya keragaman dan “sang lain”
(the other), pada dasarnya manusia dengan segala
perbedaannya; latar belakang kultural, agama, etnis, jenis
kelamin, tempat tinggal dan lain-lain, memiliki kedudukan yang
sama di hadapan Tuhan. Oleh karena itu adalah logis jika
masing-masing harus saling menghormati dan menghargai
perbedaan-perbedaan itu.
Al-Qur’an sebagai dasar utama dalam agama islam, dipakai
sebagai rujukan utama seluruh kaum muslim dalam memperoleh
petunjuk, bimbingan, dan berkewajiban untuk mengamalkannya
dalam kehidupan. Namun Al-Qur’an tidak berdiri sendiri,
melainkan melibatkan ilmu-ilmu bantu dalam memahaminya. Di
antara ilmu bantu tersebut adalah tafsir. Tafsir secara etimologi
(bahasa) berarti menjelaskan dan menerangkan (al-idlah wa at-
tabyin)9. Secara terminologis makna Tafsir menurut Az-Zarkasyi10
adalah “ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan
makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya

9
Muhammad Husein Az-Dzabahi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Al-Qahirah: Maktabah Wahbah,
1995, Juz.I, h. 13
10
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum Alqur’an, Mansyurat al-‘asyr al-Hadits, 1973, h. 324
Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan-kandungan
hukum dan hikmahnya.”
Berbagai penafsiran Al-Qur’an dalam lintasan sejarah telah
dilakukan, dibuktikan dengan banyaknya kitab tafsir Al-Qur’an
karya para ulama baik klasik maupun kontemporer.Sebagian
orang meyakini dan mengimani penafsiran cukup secara harfiah,
sebagian lainnya menganggap tidak cukup, melainkan perlu
penafsiran secara hermeneutic
Ayat-ayat Al-Qur’an terbuka untuk sepanjang waktu dan
zaman. Makna ayat-ayat bagi ulama zaman pertangahan bisa
sangat berbeda dari makna yang diterima ulama yang hidup
dalam kondisi modern. Asumsi bahwa Al-Qur’an shalih li kulli
Zaman wa Makan juga diakui oleh dalam tradisi penafsiran
klasik.Namun dalam paradigma tafsir klasik, asumsi tersebut
dipahami dengan cara “memaksakan” konteks apa pun ke dalam
teks Al-Qur’an, sehingga cenderung melahirkan pemahaman
tekstualis dan literalis. Ini berbeda dengan paradigma tasfsir
kontemporer yang cenderung kontektual bahkan liberal.
Paradigma tafsir kontemporer cenderung
mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan
mengambil prinsip-prinsip dan ide universalnya. Sehingga jika
ada ayat-ayat yang secara tekstual dianggap sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman karena bersifat partikular dan
kasuistik, maka para penafsir kontemporer berusaha
menafsirkan Al-Qur’an dengan semangat zamannya. Sebagai
contoh adalah ayat-ayat tentang pluralisme, perbudakan,
poligami, dan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah sosial
kemasyarakatan. Penafsiran mereka terhadap masalah-masalah
tersebut cenderung kontekstual.11
Paradigma tafsir kontemporer menurut istilah Abul
Mustaqim, dalam perkembangan ilmu tafsir dikenal dengan corak
penafsiran adabi ijtima’i yaitu corak sastra budaya
kemasyarakatan. 12

Corak sastra budaya kemasyarakatan atau adabi ijtima’i


dimulai oleh Muhammad Abduh13, yaitu corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha
11
Karakteristik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer, antara lain:
a.Memosisikan Alqur’an sebagai kitab petunjuk, b. bernuansa heurmenetis , c. kontektual dan
berorientasi pada spirit Alqur’an, d. Ilmiah, kritis dan non sektarian. Lihat Abdul Mustaqim,
Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h..82-90
12
Corak peanfsiran yang dipakai oleh para mufassir dalam menafsirkan Alqur’an sangat
beragam.Macam-macam tafsir di bawah ini menunjukan keragaman itu:a. tafsir bi al-Ma’tsur, b.
tafsir bi ar-ra’yi. c. tafsir as-Shufi, d. tafsir al-Fiqhy, e. tafsir al-Falsafi, f. tafsir al-Ilmi dan g. tafsir
al-Adabi al-Ijtima’i. Abddul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya,
terj. Rosihon Anwar, Bandung :Cv.Pustaka Setia, 2002. h. 24
13
M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an;…., h. 73
untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan
petunjuk ayat dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dimengerti.
Para penafsir kontemporer sedikit banyak terpengaruhi oleh
gagasan Abduh dalam hal keinginan mengembalikan Al-Qur’an
sebagai kitab petunjuk. Inilah yang kemudian menjadi ciri utama
dari penafsiran-penafsiran kontemporer, baik yang
dikembangkan melalui metode pendekatan historis, sosiologis,
heurmeneutis14, bahkan juga yang menggunakan pendekatan
interdisipliner.15
Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustofa al-Maraghi
(selanjutnya disebut al-Maraghi) adalah salah satu kitab tafsir
modern kontemporer dengan corak penafsiran adabi ijtima’i,
Seperti ungkapan al-Maraghi di awal pembukaan tafsirnya
berikut ini :
“Karena pergantian masa selalu diwarnai dengan ciri-ciri
khusus, baik di bidang pramasastra, tingkah laku dan
kerangka berpikir masyarakat, sudah barang tentu wajar-
bahkan wajib- bagi mufassair masa sekarang untuk melihat
keadaan pembaxa dan memjauhi pertimbangan keadaan
masa lalu. Dengan demikian, kamipun merasa berkewajiban
memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsir yang mempunyai
warna tersendiri dan dengan gaya bahasa yang mudah
dicerna oleh alam pikiran saat ini. Pepetah telah
mengatakan, :Lain ladnag lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”. Apakah teman bicaramu dengan kadar
pembicaraan yang sesuai dengan pengetahuannya. Sebab,
pada setiap tempat mempunyai adat kebiasaan
tersendiri”. 16

Tafsir inilah yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini,


khususnya yang berkaitan dengan pluralisme.
Dengan memperhatikan isu-isu tentang pluralisme dan
penafsiran Al-Qur’an tentang adanya keberagaman dalam
beragama di atas, maka identifikasi masalah yang muncul
dalam penelitian ini adalah makna pluralisme, pluralisme
kaitannya dengan kerukunan umat beragama serta penjelasan
Al-Qur’an tentang beragamnya keyakinan dan kepercayaan
14
Heurmeneutika adalah Sebuah bidang kakjian yang membahas mengenai bagaimana
menggunakna instrumen sejarah, filologi, manuskriptologi, dn lain sebagainya sebagai sarana
untuk memahami maksud dari suatu obyek yang ditafsirkan.Roy.j. Howard, Heurmeneutiak:
Wacana Analitik, Psikososial dan Ontologis, terj. Kusmana dan M.S. Nasrullah,
Bandung:Nuansa,200, h. 14. Lihat pula Fakhrudin Faiz, Heurmeneutika Qur’ani : Antara Teks,
Konteks dan Kontekstualisasi, Yogyakarta:Qalam, 2003, h. 36-41
15
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, h. 84
16
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. K.Anshori Umar Sitanggal dkk, Semarang:
Pt Karya Toha Putra Semarang, 1992, h.18-19
Umat manusia ( QS. Al-Baqarah/2: 62, Qs.al-maidah/5: 69 dan
Qs.al-Hajj/22:17)

B. Pembahasan
Pluralisme agama telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering
dibicarakan akhir-akhir abad 20, khususnya di Indonesia. Wacana ini sebenarnya
ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali terjadi disharmonis
dengan mengatas namakan agama, diantaranya kekerasan sesama umat beragama,
maupun kekerasan antar umat beragama.
Di kalangan media saat ini terdapat pandangan umum bahwa Islam tidak
mendukung pluralisme. Lebih menyedihkan lagi, kerap kali kita mendengar
bagaimana susahnya minoritas non-Muslim untuk bisa hidup secara damai dan
harmonis di negara-negara Muslim. Tindakan kekerasan orang-orang ekstrimis
yang menyalah gunakan teologi Islam untuk membenarkan serangan jahatnya
semakin mengentalkan prasangka buruk terhadap Muslim, dan saat ini banyak
orang mengira bahwa orang-orang Muslim tidak percaya akan pluralisme dan
keragaman. Padahal, sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa Islam, sebagaimana
diajarkan oleh al-Qur’an serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad beserta para
sahabatnya benar-benar menerima, merayakan, dan bahkan mendorong
kemajemukan.
Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Islam
sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas
mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan
ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.

Dalam Qs. Al-Maidah ayat 48 Allah menyatakan;


     
   
Artinya : ”Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang.” (Qs.al-Maidah/5:48)

Al-Maraghi menafsirkan:”Untuk masing-masing umat dari kalian, hai


manusia, telah Kami buatkan satu syari’at tersendiri, yang Kami wajibkan mereka
menegakan hukum-hukumnya, dan Kami buatkan suatu sunnah dan jalan yang
Kami wajibkan mereka menempuhnya, untuk membersihkan jiwa dan
memperbaiki hati mereka.
Diriwayatkan dari Qatadah dalam penafsirannya tentang Syir’atan wa
minhajaa, dia mengatakan bahwa maksudnya ialah jalan dan sunnah. Adapun
sunnah itu ada berbeda-beda. Taurat punya syari’at tersendiri, Injil punya syari’at
tersendiri dan Al-Qur’an pun punya syari’at tersendiri. Dalam hal ini, Allah
menghalalkan pada masing-masing yang Dia kehendaki dan mengharamkan apa
yang Dia kehendaki. Maksudnya supaya diketahui siapa yang taat kepada-Nya
dan siapa yang tidak.Akan tetapi, ad-din yang tidak menerima lainnya adalah
tauhid dan ikhlas, dan inilah yang dibawa oleh semua utusan Allah SWT. Juga
diriwayatkan dari Qatadah, bahwa dia mengatakan lagi : ad-din atau agama adalah
satu sekalipun syariatnya berbeda.17
Dengan demikian bisa dimengerti, bahwa yang dimaksud syari’at ialah
hukum-hukum amaliah yang berbeda-beda menurut masing-masing rasul yang
datang kemudian menghapuskan syari’at sebelumnya. Sedang ad-din adalah
prinsip-prinsip permanen yang tidak berubah, sekalipun berbeda nabi.
Nampaknya, al-Maraghipun melalui penafsiran ayat ini mengakui adanya
perbedaan dalam menjalankan syari’at antara umat beragama, namun tujuannya
adalah satu yaitu tauhidullah, Meskipun demikian, pernyataan tersebut
mempunyai makna berbeda dengan pluralisme yang diartikan dengan agama-
agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama
menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan
menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-
beda.
   
  
Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kami dijadikan-Nya satu umat
(saja)…(Qs.al-Maidah/5:48)

Kalau Allah menghendaki untuk menjadikan kamu satu umat saja dengan
satu syari’at dan satu jalan yang kamu tempuh dan amalkan, yakni dengan
menciptakan kalian berwatak sama dan berakhlak sama, dan penghidupanmupun
satu taraf, sehingga kamu bisa diatur dengan satu syari’at saja dalalm berbagai
masa. Namun Allah tidak menghendaki itu bahkan, Dia berkehendak menjadikan
kalian suatu jenis yang berakal, berpikir dan mempunyai watak dapat memahami
dan siap menerima ilmu, berkembang melewati tahapan-tahapan hidup sedikit
demi sedikit, tunduk pada undang-undang perkembangan18.
Dari penjelasan ayat di atas Pluralisme adalah merupakan perwujudan dari
kehendak Allah SWT. Allah tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun
sebenarnya Allah punya kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu.” (QS.
Hud: 11/118)19.
Islam adalah agama damai yang sangat menghargai, toleran dan membuka
diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sangat
banyak ditemukan di dalam Al-qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu
agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6).
Dalam Al-Qur’an berulang-ulang Allah menyatakan bahwa perbedaan di
antara umat manusia, baik dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya
dan bahasa adalah wajar. Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama
sebagai rahmat. Allah menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian
dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi
17
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-maraghi, h. 239
18
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 240
19
Lihat pula Qs.al-Baqaarah/2:213, Qs. Yunus/10 :19, Qs.al-Maidah/6 :48,
Qs.an-Nahl/16 93
dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al
Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang punya kebebasan untuk memilih
dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, namun
tentunya kebebasa itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan kelak
di hadapan Allah SWT.
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dalam konteks kesejarahan dan situasi
keagamaan yang pluralistik (plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk
keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad
SAW. menjalankan misi profetiknya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme
(Yahudi); Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya
yang sangat berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh Al-Qur’an dalam
berbagai levelnya adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.

Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 62 menyatakan:20


Artinya:.Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati(Qs.al-Baqarah/2:62).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman apabila memegang teguh


keimanannya dan tidak pernah berganti keimanann, kemudian orang-orang yahudi
dan Nasrani dan orang-orang sabi’in , apabila mereka beriman Muhammad SAW
dan apa yang didatangkan kepadanya, serta beriman kepada hari akhir, mau
beramal saleh dan tidak mau merubah pendiriannya sampai mereka mati, maka
mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah sebagai imbalan atas amal
salehnya. Selamanya mereka tidak akan merasa khawatir dan tidak akan
kesusahan.21

Persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian seperti bunyi ayat di
atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi
keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur’an dan sunnah untuk
makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.22
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi
antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan
untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini,
selama beriman kepada Tuhan dan hari Kemudian, maka mereka semua akan
memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak
pula akan bersedih. Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama,
padahal, agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta
ibadah yang diajarkannya.23

20
Lihat Qs. Al-Maidah/5:69 dan Qs al-Hajj/22: 17
21
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-maraghi, h.236-238
22
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Bandung: Mizan, 2002, h.156
23
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 157
Kedatangan Al-Qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta
mendeskreditkan agama-agama yang berkembang pada saat itu, tapi Alquran
sangat bersifat asfiratif, akomodatif, mengakui keberadaan agama-agama yang
datang sebelum Al-Qur’an diturunkan. Pengahrgaan dan penghormatan Islam
terhadap keberadaan agama lain ditunjukan Qs. Al-An’am ayat 108 ;
   
    
  
   
  
  
  
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”(Qs.al-
An’am/6:108)
Allah melarang Nabi SAW juga kaum muslimin untuk mencaci dan memaki
tuhan-tuhan mereka seperti berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah,
karena jika kamu memakinya, maka akibatnya mereka akan memaki Allah,
dengan melampaui batas atau secara tergesa-gesa tanpa berpikir dan tanpa
pengetahuan.24
Sementara itu menurut M. Quraish Shihab25 bahwa ayat ini merupakan
bimbingan khusus ditujukan kepada kaum muslimin karena tidak mungkin akan
terjadi dari nabi Muhammad SAW yang sangat luhur budi pekertinya sebagai
seorang pemaki juga pencerca. Larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan
pihak lain merupakan tuntunan agama, guna memelihara kesucian agama-agama
dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat beragama.
Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya
disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apapun kedudukan sosial atau tingkat
pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati
adalah sumber emosi yang berbeda dengan pengetahuan yang mengandalkan akal
dan fikiran.
Bahkan lebih jauh dari itu Al-Qur’an juga mengakui akan keutamaan umat-
umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Wahai Bani Israil! Ingatlah
nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu
dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu)”. (QS. Al-Baqarah: 2/47).
Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan Al-Qur’an akan
keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam.
Al-Qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi
kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan

24
Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Adhim, Jeddah: al-Haramain, h.163-164
25
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 242-244
tak terbantahkan selain Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an merupakan kunci untuk
menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Hayyal-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara


Penerapannya,
Bandung : Pustaka Setia, 2002
Abd. Majid, Tantangan dan Harapan Umat Islam di Era Globalisasi.
Bandung:CV.Pustaka Setia, 2000
Abdul Latif Muhmaad al-Abd, al-Akhlak al-Islamiyah, Kairo : Dar
al-Ulum
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam. Beirut : Dar el-
Salam,1978
Abdurahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Qur’an,
Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Abudin Nata, et. Al. (ed). Tema-tema Pokok Al-Qur’an, Jakaarta:
Biro Bina Mental
Spiritual, 1995
Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhamad ibn ar-Ragib al-Isfahany,
Al-Mufradat fi
Gharib Al-Qur’an, Beirut : Dar al-Maa’rif
Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maragh, terj. K. Anshori Umar Sitanggal,
Semarang: PT. Tkarya Toha Putra Semarang, 1992
Ali ibn Ahmad al-Wahidy an-Naisabury, Asbab an-Nuzul, Dar el-
Fikr
Ali Abd al-Halim Mahmud,. Tarbiyah al-Nasyi’ al-Muslim. Dar al-wafa Li al-
Thiba’ah wa al-Nasyr wa at-Tauzi’, 1992
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1998
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Depok: Perspektif,
2005
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008
Basri ibn Ashghari, Solusi Al-Qur’an tentang Problema Sosial,
Politik dan Budaya,
Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Budhy Munawar Rachman,Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2005
Chairudin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani Press,
1998
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Depag,
1994
Farid Esack, Qur’an, Liberalism and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Slidarity againtt oppression, 3rd edition, Oxford: Oneworld
Publication, 1997
Fakhrudin Faiz, Heurmeneutika Qur’ani : Antara Teks, Konteks dan
Kontekstualisasi, Yogyakarta:Qalam, 2003
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
Bandung:Mizan, 1995
--------------, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta:UI
Press, 1985
Imaduddin Abi al-Fida’ Ismail ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adhim,
Jeddah ; al-
Haramain
Imam Abi al-Husain Muslin ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar el-
Fikr, 1993
Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwaththa’, Beirut: Dar el-fikr, 1989
Ismail al-Barausawy, Tafsir Ruh al-Bayan, Beirut: Dar el-Fikr
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual. Bandung : Mizan, 2004
-------------, Islam dan Pluralisme: Acuan Al-Qur’an menyikapi
Perbedaan, Jakarta:
PT ilmu Semesta, 2006
Jamaludin Ahmad ibn Makram ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Beirut :
Dar el-Fikr
Jamal Abdurrahman, Tahapan Mendidik Anak : Teladan Rasulullah SAW
Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005
Jamal Bana, Doktrin Pluralisme dalam Al-Qur’an, Jakarta: Menara,
2006
Max I Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973
M.Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius,Jakarta:
PSAP, 2005
Muhamad Fuad Abd al-Baqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfadz Al-
Qur’an, Dar el-
Fikr, 1994
Muhamad ibn Ismail al-Bukhary, Matn Al-Bukhgary bi Hasyiyati
as-Sanady, Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah
Muhammad ibn Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an.
Kairo: Dar al-Kitab al-Arabiyah al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1967
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukany,. Fath al-Qadir. Beirut: Dar el-
Fikr
Muhamad Jamaludin al-Qasimy, Tafsir al-Qasimy, Beirut, Dar el-
fikr
Muhammad Ghazaly, Berdilaog dengan Al-Qur’an
,Bandung:Mizan, 1996
Muhammad Nur ibn Abd al-Hafidz Suwaid, Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah
Li al-Tifl. Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah, 1992
M.Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Jakarta;Gema Insani
Press,2003
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Fatihah: Menemukan Hakikat Ibadah.
Bandung : Mizan, 2005
Muhamad. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2004
--------------, Tafsir al-Misbah, Bandung: Mizan, 2002
--------------, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 1996
Murtadha al-Zunaidy, Taj al-Arusy min Jawahir al-Qamus, Dar al-
Maktabah al-
Hayat
Nurcholis Majid, Masyarakat Religius, Jakarta:Paramadina, 1997
Sa’id Hawa, al-Asas fi Al-Qur’an, Kairo: Dar el-Fikr, 1989
Syafiq Hasyim, Pluralisme, Sekularisme, Liberalisme di Indonesia:
Persepsi
Kaum Santri di Jawa Barat, Jakarta: ICIP, 2007
Syamsul Maa’rif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Jakarta:
Logung Pustaka,
2005
Subhi as-Shalih, Membahs ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996
Tarmizi Taher, Pluralisme Islam : Harmonisasi Beragama, Jakarta:
Karsa Rezeki,
2004
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa as-Syari’ah wa
al-Manhaj,
Beirut: Dar el-Fikr,1991
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental dalam Keluarga,
Jakarta:Pustaka Antara, 1992

You might also like