You are on page 1of 3

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa rumus sebagai berikut

BM = ≤ 40 % BTBMI X NILAI PABEAN


Sebenarnya cara penghitungan bea masuk didasarkan pada 2 (dua)
cara yaitu dengan mendasarkan pada tarif spesifik atau tarif advolorum .
Didalam sistem tarif spesifik , penghitungan bea masuk didasarkan pada
tarif yang dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu untuk setiap satuan atau
takaran tertentu dari suatu barang impor. Dewasa ini hanya 2 (dua) jenis
barang impor yang dikenakan tarif spesifik yaitu , beras dan gula.
Perhatikan contoh berikut :
Importir I mengimpor gula sebanyak 10.000 ton . 1701.11.00.00 Gula tersebut
termasuk didalam pos tariff BTBMI 1701.11.00.00. Besarnya tarif bea masuk
adalah Rp. 550,-/kg . Dengan demikian Bea Masuk wajib dibayar I adalah :
10.000 x 1.000 x Rp. 550,- = Rp. 5.500.000.000,- .
Sebagian besar barang impor dikenakan bea masuk berdasarkan tarif
advalorum , yaitu bea masuk yang dihitung dari prosentase tertentu dari
harga barang. Prosentase tertentu didasarkan pada besaran tarif yang
tertera didalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) . Sistem tarif
advolorum ini sesuai dengan ketentuan pasal 12 dan 13 Undang-undang

Perhatikan contoh berikut :


Importir I mengimpor barang dengan data-data sebagai berikut :
Jenis barang : Calcium Chloride , 95 %
Negara asal : Singapura
Jumlah : 110.000 kg
Harga CIF : USD 22,000.-
Pos tarif BTBMI : 2516.12.2000 (Tarif Bea Masuk : 5 % )
NDPBM : USD 1.- = Rp. 9.250,-
Jika harga CIF tersebut diterima oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagai nilai
pabean , maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
Nilai pabean : 22.000 x Rp. 9.250,- = Rp. 203.500.000,-
Bea Masuk : 5 % x Rp. 203.500.000,- = Rp. 10.175.000,-
Dari contoh diatas Anda dapat mengetahui bahwa , jika digunakan
tarif advalorum , besarnya bea masuk yang harus dibayar importir
tergantung pada harga barang yang bersangkutan . Dengan demikian Anda
dapat mengetahui bahwa pengertian ’nilai pabean’ adalah nilai yang
menjadi dasar untuk menghitung bea masuk .
2) Sejarah sistem nilai pabean di Indonesia .
Sebelum tahun 1985 , Indonesia menganut sistem harga patokan
(dahulu terminologinya juga disebut ‘priscourant’ ) dimana nilai pabean
dipatok secara tetap dan tertentu untuk selama periode tertentu. Importir
yang memberitahukan nilai pabean lebih rendah dari harga patokan akan
terkena tambah bayar bea masuk serta terkena sanksi administrasi berupa
denda . Harga Patokan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama
Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Dalam
prakteknya ketiga menteri tersebut sangat jarang melakukan peninjauan
kembali atas harga patokan yang telah ditettapkannya, sehingga keputusan
harga cenderung ketinggalan jaman, tidak aktual dan cenderung tidak
mengikuti perkembangan jenis-jenis barang yang kemudian muncul. Untuk
mengatasi hal ini muncul terminologi ’Catatan Harga’ yang berasal dari

Direktur Jenderal Bea dan Cukai , Kantor Wilayah Bea dan Cukai atau
Kantor Inspeksi Bea dan Cukai. ’Catatan Harga’ ini kemudian dijadikan
dasar penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai. Namun tidak
semua barang impor mempunyai catatan harga , sehinggga sangat mudah
bagi Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut
yang dapat bermuara pada kepentingan-kepentingan pribadi.
Maka muncullah argumen bahwa institusi kepabeanan pada waktu itu
dipandang sebagai institusi yang sangat tidak efisien , penuh biaya tinggi
dan menghambat arus barang impor dan ekspor . Akhirnya dengan Instruksi
Presiden No. 4 Tahun 1985 Pemerintah memberlakukan sistem
pemeriksaan pra-pengapalan (pre-shipment inspection) , dimana diatur
sebagai berikut :
a. impor barang dengan nilai FOB USD 5,000.- atau lebih dilakukan
pemeriksaan oleh Surveyor yang ditunjuk (yaitu PT Surveyor Indonesia /
SGS) untuk melakukan pemeriksaan di Negara pengekspor (pre-shipment
inspection) .
b. ekspor barang tidak dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Pabean .
Dibidang impor pemeriksaan nilai pabean dilakukan oleh Surveyor di
negara pengekspor yang didasarkan pada harga pasar (prevailing on the
market price in the country of exportation). Laporan Pemeriksaan Surveyor
(LPS) yang dikeluarkan Surveyor, disamping meliputi jumlah, jenis dan
kualitas barang, juga meliputi harga barang. Jika suatu importasi sudah
dilindungi dengan dokumen LPS maka Pejabat Pabean tidak lagi
diperkenankan melakukan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan atas tarif
dan nilai pabean .
Untuk importasi barang dengan harga kurang dari FOB USD 5,000,-.
Pejabat Pabean masih mempenyuai kewenangan melakukan pemeriksaan
fisik , tarif dan nilai pabean. Dasar penetapan nilai pabean adalah harga
sebenarnya yang umumnya tercermin pada harga yang tercantum dalam
invoice atas barang yang dijual ke Indonesia . Dalam hal harga invoice
diragukan maka digunakan sebagai data pembanding data barang identik
atau barang serupa yang terdapat pada Profil Harga I atau Profil Harga II.

Putaran Uruguay perundingan perdagangan multilateral GATT


Putaran Uruguay di Maroko, tanggal 15 April 1994 telah menyetujui
terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization).
Salah satu agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut adalah
Persetujuan tentang pelaksanan Article VII GATT (Agreement on
Implementation of Article VII of GATT 1994). Persetujuan ini sering disebut
sebagai WTO Valuation Agreement . Persetujuan ini menggariskan bahwa
untuk menetapkan harga pabean harus menggunakan salah satu cara dari 6
cara atau metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut :
a. Metode I : Metode nilai transaksi (article 1 dan 8) ;
b. Metode II : Metode nilai transaksi barang identik (article 2);
c. Metode III : Metode nilai transaksi barang serupa (article 3);
d. Metode IV : Metode deduksi (article 5);
e. Metode V : Metode komputasi (article 6); dan
f. Metode VI : Metode fall-back (article 7).
Indonesia sebagai negara berkembang telah meratifikasi persetujuan
pendirian WTO dengan undang-undang No. 7 Tahun 1994 . Dengan
demikian persetujuan ini mengikat bagi Indonesia , termasuk segala
agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut , diantaranya adalah
Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994 . Konsekuensinya
adalah Indonesia harus menyesuaikan segala ketentuan yang berkaitan
dengan nilai pabean sesuai dengan ketentuan agreement dimaksud. Bagi
Indonesia tidak usah menunggu sampai dengan batas waktu ketentuan
WTO (1 Januari 2000), karena ketentuan penetapan nilai pabean
berdasarkan WTO Valuation Agreement telah dimasukkan didalam pasal
15 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah
diubah atau ditambah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2007.
GATT / WTO Valuation Agreement disusun untuk membangun sebuah
sistem internasional untuk menetapkan nilai pabean barang impor. Tujuan
utama dari WTO Valuation Agreement adalah untuk menciptakan system
system penetapan nilai pabean yang netral, adil dan seragam yang tidak
memberikan ruang bagi penggunaan nilai pabean yang sembarangan atau
fiktif. WTO Valuation Agreement juga menghendaki agar dasar bagi
penetapan nilai pabean sedapat mungkin berdasarkan nilai transaksi barang

impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai pabeannya tersebut.


Dengan demikian penerapan WTO Valuation Agreement memerlukan
adanya perubahan pola pikir dunia usaha dan bea dan cukai.
WTO Valuation Agreement mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1995 bagi anggota WTO termasuk tujuh negara anggota ASEAN yang
merupakan anggota WTO. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Asean
Customs Policy Implementation and Work Programe (PIWP), semua
adminstrasi bea dan cukai di ASEAN telah setuju untuk memasukkan WTO
Valuation Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan
mereka masing-masing. Sebagai tindak lanjut pada dalam KTT Asean ke-9
pada tahun 2003 di Bali telah disepakati pedoman implementasi yang
seragam antar negara ASEAN dalam bentuk Asean Customs Valuation
Guide .
3) Kewenangan pabean.
Sistem kepabeanan di Indonesia menganut azas self assessment,
dimana importir diminta untuk memberitahukan didalam pemberitahuan
impor jumlah, jenis dan harga barang. Dengan demikian semakin besar
nilai pabean diberitahukan importir semakin besar pula bea masuk yang
harus dibayar importir . Sebaliknya semakin kecil nilai pabean diberitahukan
importir semakin kecil pula bea masuk yang dibayar importir. Karena besar
kecilnya pungutan negara sangat tergantung pula besarnya nilai pabean
yang diberitahukan importir , maka pemberitahuan nilai pabean ini harus
diteliti oleh Pejabat Bea dan Cukai. Tujuannya adalah untuk menghindari
pemberitahuan nilai pabean yang lebih rendah dari yang seharusnya ,
sehingga mengakibatkan kerugian penerimaan negara dari sektor bea
masuk , cukai dan pajak dalam rangka impor . Umum sering menyebut
sebagai under invoice , yaitu invoice yang mencantumkan harga barang
lebih rendah dari yang seharusnya . Invoice ini dalam banyak hal dibuat
sendiri oleh importir yang nakal sekedar sebagai persyaratan dokumen
pelengkap pabean Dikalangan Pejabat Bea dan Cukai , invoice macam ini
sering disebut sebagai ‘invoice pasar pagi’.

You might also like