You are on page 1of 26

Miastenia Gravis

Posted by dewabenny on 7/12/08 • Categorized as Medicine

This article about the muscle disease or autoimune disease in Bahasa Indonesia. there only text without picture,
if u want to view the picture, u can email me at dewabenny@gmail.com. Thanks for visiting my blog.

BAB 1

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade
terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine
receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi
dariacetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada
miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian.
Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis,
transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan
komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis1.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya
dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi
klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR
mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh1.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena berbagai faktor. Hal ini
menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi
neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga
merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik
merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung1.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat
diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit
ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang
imunopatogenesis masih sangat kurang2.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif
pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction3.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya
penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini
tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 42 tahun3,4.
2.3 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION
2.4 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal
darineuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang
disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular4,5.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang
diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran
post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction4


2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar
antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular
seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi5.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam
sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang
dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)4,5.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal
masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-
ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya
ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik4,5.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap,
yaitu:6

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase
yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan
disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi
melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan
secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf
mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf.
Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih
125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam
lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul
asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang
serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang
mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat
digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah
melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu
protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini
akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebutexcitatory
postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka
akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot4,5.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:6
•Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)
•Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.
•Mengandung lima subunit, terdiri dari ?2???
•Hanya subunit ? yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.
•Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang memungkinkan aliran baik
Na+ maupun K+.
•Bisa ular ?-bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit – ? dan dapat digunakan untuk melabel
reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.
•Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5


2.4 PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi
klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan
lain-lain4.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis
secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya
otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravisgeneralisata2.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia
gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,
dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang
terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih
awal pada pasien dengan gejala miastenik4.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu
antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga
merupakanbinding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik,
sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang
baru disintesis4.
2.5 GEJALA KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan
kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada
siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia gravis antara
lain :
•Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama
penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah
sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan

otot esktraokular (ptosis).


•Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar
mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas4.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.
Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah
kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

2.6 KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut7:

a. Klas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

b. Klas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain
otot okular.

c. Klas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan.

d. Klas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh
dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Klas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang.

f. Klas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan
otot orofaringeal yang ringan.

g. Klas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

h. Klas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal
mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

j. Klas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga
terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Klas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di
waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot
tampaknya agak menurun3.
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini3 :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan
berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak
terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

2.7 DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS


2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan
otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh
serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal4.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah
bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal4.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik,
terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal
twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga
dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot
rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita
harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi dari leher4.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang
lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota
tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali
mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu
keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih
dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang
ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang
melakukan abduksi4.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut3 :

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa
suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain3 :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot
yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti
misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg
per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,
dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti

2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium

•Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil
yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasienthymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di
sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman Mean Percent


Class antibody Positive
Titer
R 0.79 24

I 2.17 55

IIA 49.8 80

IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe,
IV = chronic severe4

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang
parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

•Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada
sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien
tanpa thymomadengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
•Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis
seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

•Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam
pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada
reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat
akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.7.2.2 Imaging4
•Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi
sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
•Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga
terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
•MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan
apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan
untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik4 :
•Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak
terdapat adanya suatu potensial aksi.

•Single-fiber Electromyography (SFEMG)


Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG
dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
2.7.3 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain3,4:
•Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit elain
miastenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
•Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks.
•Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian
proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi
peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.

EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular
terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada
membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin
yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

2.8 PENATALAKSANAAN
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis merupakan
kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu
dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin4.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang
ventilasi, mapu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai
yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan2.
2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
2.8.1.1 Plasma Exchange (PE)2

Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta
trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan
anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas.
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative.

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume
plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada
24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi
retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan
perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan
merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen
plasma tidak diperlukan.
2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk
diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada
sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul
sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.

IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang
cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak
terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10
hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.

Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama
pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi
5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10
dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya
menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat
digunakan.

2.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang


2.8.2.1 Kortikosteroid2

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis.
Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi
kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.

Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang
menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di
kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

2.8.2.2 Azathioprine2

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi
menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu
analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal
sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya.

Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.

2.8.2.3 Cyclosporine2

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap
aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

2.8.2.4 Cyclophosphamide (CPM)


CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat
menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi
dibandingkan obat lainnya.

2.8.3 Thymectomy (Surgical Care)2,4


Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk
pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan
penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia
timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis.
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap
perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien,
mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari
pasien8.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk
terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat
dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi
kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah
antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang
tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah
pembedahan8.

Gambar 4. Kelenjar Thymus8

BAB 3

RINGKASAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif
pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4. .
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction3.
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal
darineuromuscular junction sangatlah penting. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana
antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin4.
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan
miastenia gravis2,4.
DAFTAR PUSTAKA
1. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: 519-534. 1984.
2. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy.
Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
3. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: 301-305. 1991.
4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available
at :http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Accessed :
March 22, 2008.
1. Newton, E. Myasthenia Gravis. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. accessed :
March 22, 2008.
2. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan
Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835. 1999.
3. Anonim, Myasthenia Gravis. Available
at: http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd.Accessed: March 22, 2008.
4. Anonim, Thymectomy, Available at : http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm. Accessed : March
22, 2008.

Related Article
•May 13, 2009 -- [Poll]Kontrasepsi Untuk Remaja – Bag. 1 (19)
•April 23, 2009 -- Penatalaksanaan Gigitan Hewan – Mencegah Rabies (2)
•March 18, 2009 -- RS Jiwa Penuh Setelah Pemilu Legislatif ? (11)
•February 17, 2009 -- Varicella atau Cacar Air (3)
•January 14, 2009 -- Posisi berhubungan seks yang aman pada masa kehamilan (11)
•November 6, 2008 -- Obat Yang Aman untuk Ibu hamil dan Menyusui (14)
•October 22, 2008 -- Jadwal Pemeriksaan Kandungan (2) (7)
•October 21, 2008 -- Jadwal Pemeriksaan Kandungan (1)
•October 7, 2008 -- Masa Subur Wanita (65)
•September 3, 2008 -- 10 Powerful Tips To Stop Smoking (2)
Tagged as: acetelcholin, Medicine, miastenia gravis, neurologi

Miastenia Gravis
DIPOSTING OLEH ADMIN RABU, 25 FEBRUARI 2009

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak,
orang dewasa, dan pada orang tua.
Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun
1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar.
Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada
perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram
menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris
melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan
kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati
miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun
miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun
lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat
sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini
terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis
(Patofisiologi, 1995).
Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi
secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi
spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk
menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama
setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.
2.1. Definisi
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan
satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya
terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10 hingga 20 kali lebih lama dari normal).
Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi
lemah dan lekas lelah1.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuskular3.
2.2. Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak
berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi
ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh
enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan
itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih
banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh
kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut
maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus
pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung
menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.
Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot
dipergunakan terus-menerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang
abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar
timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5.
2.3. Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan
gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi
hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang
berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada
sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat
gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas
tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20%
penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan
ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah
beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis
ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau
malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi
lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh
dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular
paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan
memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator
palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak
normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata
saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan
otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba
menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak
mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung
.Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang
pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan
tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot
ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi8.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan
lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau
mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama
siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu
obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak
ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar
mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot
pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal
dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik,
maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala
kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara
tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian
miastenia gravis, ialah1:
1. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada
bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan
disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik
dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.
4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada
miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma
bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis.
Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai
atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun
atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.
6. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya
antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB.
Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons
terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson,
dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami
miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang
menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah
paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum,
tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut
(see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang
tidak disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian
muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal.
Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil
(plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada
kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar
penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
2.5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis
dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul
tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik
sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia
gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya
berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang
30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini
dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya
timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia
gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan
lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang
jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat
dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital.
Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang
positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang
sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai
gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya
dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang
telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang
penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi
yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan
EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua
mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena
menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan
intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang
dan tenaga membaik.
2.6. Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral
setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin
0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase
sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan
IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping
muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin
bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-
gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis
berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin
cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan
lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis
2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap
bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat
dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis
bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi
kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian
ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya
untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada
penanganan kasus kronik.
2.7. Krisis Pada Miastenia Gravis
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua
jenis krisis, yaitu:
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak.
Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan
dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai
berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-
obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap,
dan seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase.
Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan,
atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini
sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu
sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan
seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1
mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi
secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap
atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis.
Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi
tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis
kolinergik.
Kesimpulan
1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh
tubuh hingga ke otot pernapasan.
2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskular akibat penyakit otoimun.
3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga
yang sembuh kembali setelah istirahat.
4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran
klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi
anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.
5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat
antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at
Chapol Hill.http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf,
dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
4th ed., EGC, Jakarta
4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat,
Jakarta
6. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K.
Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper 24th ed., EGC,
Jakarta
7. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet,
2003.http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
8. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174,
421, Dian Rakyat, Jakarta
9. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366,
390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
10. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels,
(eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London

Miastenia Gravis
DEFINISI
Miastenia Gravis menghasilkan kelemahan progresif dan sporadis serta kelelahan abnormal
pada otot skeletal, yang bertambah buruk setelah latihan dan pengulangan gerakan, namun
dapat diperbaiki dengan obat antikholineterase.
Biasanya, gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan oleh saraf kranial (wajah, bibir, lidah,
leher, dan tenggorokan) tetapi dapat juga menyerang otot-otot lainnya.
Miastenia Gravis mengikuti terjadinya ledakan kemarahan dan remisi periodik yang tidak dapat
diramalkan. Pengobatannya pun tidak diketahui, tetapi terapi obat-obatan dapat memperbaiki
gejala dan memungkinkan penderita hidup relatif normal, kecuali pada saat ledakan kemarahan
terjadi.
Bila penyakit melibatkan sistem pernafasan, maka dapat membahayakan jiwa.
PENYEBAB
Miastenia Gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan
neuromuskuler. Secara teoritis, kerusakan seperti ini dapat diakibatkan dari reaksi autoimun
atau tidak dapat berfungsinya aktivitas neurotransmiter.
Miastenia Gravis menyerang semua usia, namun penyakit ini paling banyak ditemukan pada usia
antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis menyerang wanita 3 kali lebih banyak dari pria, tetapi
setelah usia 40 tahun, penyakit ini tampaknya menyerang baik pria maupun wanita secara
seimbang.
Sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia Gravis akanmemiliki miastenia tidak
menetap/transient (kadang permanen).
Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekbalan dan gangguan tiroid;
sekitar 15% penderita miastenia gravis mengalami thymoma (tumor yang dibentuk oleh jaringan
kelenjar timus). Remisi terjadi pada 25% penderita penyakit ini.
GEJALA
Gejala dominan penyakit ini adalah lemah otot skeletal dan kelelahan. Pada tahap awal, otot-
otot tertentu mudah terkena kelelahan, tetapi tidak ditemukan gejala lain. Pada akhirnya,
gejala ini makin parah dan dapat menyebabkan kelumpuhan.
Biasanya, otot terasa kuat pada pagi hari dan melemah sepanjang hari, terutama setelah latihan.
Istirahat singkat untuk sementara dapat mengembalikan fungsi otot. Lemah otot semakin
berkembang; akhirnya beberapa otot menjadi tidak berfungsi sama sekali. Gejala yang terjadi
tergantung pada kelompok otot yang terserang; gejala ini semakin menjadi pada masa haid dan
setelah stres emosional, terlalu lama terkena sinar matahari atau udara dingin atau infeksi.
Pemunculan gejala dapat terjadi tiba-tiba atau dari dalam. Pada banyak penderita, penutupan mata
lemah, kelopak mata yang menutup, dan penglihatan ganda merupakan awal gangguan ini.
Penderita biasanya memiliki regurgitasi cairan hidung yang kerap terjadi dan kesulitan mengunyah
dan menelan.
Karena gangguan ini, penderita sering takut tercekik. Penderita juga mengalami kesulitan bernafas.
Karena pelupuk mata yang menutup,penderita harus menaikkan kepalanya ke arah belakang untuk
melihat, otot leher menjadi terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa menjadi pendek.
Penderita krisis miasenik (gangguan pernafasan yang muncul tiba-tiba) dapat terkena pneumonia
dan infeksi saluran pernafasan lainnya. Situasi ini dapat bertambah parah sehingga memerlukan
ventilasi mekanis serta saluran udara darurat.
DIAGNOSA
Otot lelah yang dapat disembuhkan dengan istirahat sangat disarankan dalam diagnosis
Miastenia Gravis. Pemeriksaan terhadap kondisi neurologis ini mencatat efek latihan dan
istirahat pada lemah otot elektromiografi, dengan stimulasi saraf berulang kali, dapat
membantu konfirmasi diagnosis.
Bukti Miastenia Gravis klasik adalah fungsi otot yang pulih setelah injeksi intravena dari
Edrophonium Chlorida atau Neostigmin Metilsulfat. Pada penderita fungsi otot sembuh dalam 30
sampai 60 menit setelah pemberian obat dan berakhir setelah 30 menit. Meskipun demikian, otot
mata yang telah lama kurang berfungsi mungkin tidak bereaksi terhadap pemeriksaan.
Pengujian ini dapat membedakan krisis miasthenik dari krisis kolenergis dan disebabkan oleh
aktivitas aserilkolin yang berlebihan pada sambungan neuromuskuler. Evaluasi harus
mengesampingkan penyakit tiroid dan thymoma.
PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi gejala. Obat-obat antikolinesterase
sepertiNeostigmin Metilsulfat dan Piridostigmin bromida, melawan kelelahan dan lemah otot dan
memungkinkan otot berfungsi 80% normal.
Meskipun demikian, obat-obat ini dapat menjadi kurang efektif saat penyakit bertambah parah.
Kortikosteroid dapat menyembuhkan gejala. Plasmapheresis (penyaringan elemen penyakit dari
plasma) digunakan saat terjadi ledakan kemarahan yang parah.
Penderita dengan thymoma, perlu mendapatkan pemindahan kelenjar timus, yang dapat
menyebabkan remisi pada beberapa kasus pemunculan penyakit ini pada orang dewasa.
Ledakan kemarahan yang akut dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang parah sehingga
memerlukan pengobatan segera. Trakeotomi, ventilasi tekanan positif, dan penyedotan untuk
memindahkan sekresi biasanya menghasilkan perbaikan dalam beberapa hari.
Karena obat antikolinesterasi tidak efektif dalam krisis miasthenik, penggunaannya dapat
dihentikan sampai fungsi pernafasan pulih. Krisis ini memerlukan pengobatan rumah sakit segera
dan pertolongan pernafasan yang cepat.

Miastenia Gravis
DEFINISI

Miastenia Gravis adalah suatu penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf
(neuromuscular junction) berfungsi secara tidak normal dan menyebabkan kelemahan
otot menahun.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan biasanya mulai timbul pada usia 20-40
tahun.

KELAINAN NEUROMUSCULAR JUNCTION LAINNYA

Sindroma Eaton-Lambert merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan kelemahan.


Penyebabnya adalah pelepasan asetilkolin yang tidak adekuat.
Penyakit ini bisa timbul secara sporadis, tetapi biasanya merupakan efek samping dari
kanker tertentu, terutama kanker paru-paru.

Botulisme merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena mencerna makanan yang
mengandung bahan racun yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum. Bahan
racun ini melumpuhkan otot-otot dengan cara menghambat pelepasan asetilkolin dari
saraf.

Berbagai obat, insektisida tertentu (fosfat organik) dan gas saraf yang digunakan dalam
peperangan kimia bisa menyerang neuromuscular junction.
Beberapa bahan tersebut mencegah pemecahan alami asetilkolin setelah impuls saraf
diantarkan ke otot.
Dosis antibiotik yang sangat tinggi juga bisa menyebabkan kelemahan dengan cara yang
sama.
PENYEBAB

Pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang reseptor
yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction.
Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan
bantuan asetilkolin (bahan kimia yang mengantarkan impuls saraf melalui junction atau
disebut juga neurotransmiter).

Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak diketahui.
Tetapi faktor genetik pada kelainan kekebalan tampaknya memegang peran yang
penting.
Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah dan seorang ibu hamil yang menderita miastenia
gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang dikandungnya. Pemindahan
antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki kelemahan
otot yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah dilahirkan.

GEJALA

Gejala yang paling sering ditemukan adalah:


- kelemahan pada kelopak mata (kelopak mata jatuh )
- kelemahan pada otot mata sehingga terjadi penglihatan ganda
- kelelahan otot yang berlebihan setelah melakukan olah raga.

Bisa terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan dan
tungkai.
Kesulitan dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.

Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah.


Penderita mengalami kesulitan dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa
terjadi kelumpuhan.

Sekitar 10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk pernafasan
(krisis miastenik).

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami kelemahan


umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan yang meningkat
jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang terkena diistirahatkan.

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan pengujian
guna memperkuat diagnosis.
Yang paling sering digunakan untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini
disuntikkan intravena, maka untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot
pada penderita miastenia gravis.

Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap
asetilkolin.
Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang mungkin
merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya.
CT scan dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.

PENGOBATAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami kelemahan


umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan yang meningkat
jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang terkena diistirahatkan.

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan pengujian
guna memperkuat diagnosis.
Yang paling sering digunakan untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini
disuntikkan intravena, maka untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot
pada penderita miastenia gravis.

Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap
asetilkolin.

Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang mungkin
merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya.
CT scan dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.
sumber : www.medicastore.com

You might also like