Professional Documents
Culture Documents
Oke.. sampai di sini dulu. See..?? kita ga akan tahu permasalahan kalau hanya membaca 3-4 kata tanpa mengetahui
lebih dalam isinya. Dari paragraf pertama saja kita sudah mendapatkan konten yang berbeda dengan judul. Bukan
berarti judul tidak sesuai dengan kontennya, hanya saja terkadang judul itu bisa menipu, mengecoh, karena judul
memang difungsikan untuk menarik perhatian, membuat penasaran, bahkan memainkan emosi pembacanya.
Penjelasan yang bisa kita peroleh dari paragraf pertama adalah mengenai pergantian judul mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan saja. Loh.. itu kan sama
saja dengan Pendidikan Pancasila dihapus! Belum tentu juga, siapa tahu penanaman nilai-nilai Pancasila tetap
disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ah, mana bisa?! Nanti, deh.. kita cek kurikulum
Pendidikan Kewarganegaraan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai SMA. Saya sudah download tadi, semoga
saja infonya update
Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sindung Tjahyadi mengatakan,
penghapusan Pendidikan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi bangsa terkesan disengaja karena dalam
undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) memang tidak ada
tentang kurikulum pancasila.
“Karena UU Sisdiknas tak mencantumkan Pancasila dalam kurikulum, sekolah atau perguruan tinggi tak berani
mengajarkan hal tersebut. Dengan kebijakan ini, pemerintah sendiri yang sebenarnya justru mengabaikan nilai-
nilai Pancasila,” ungkapnya.
Yang aneh adalah.. sistem pendidikan tersebut diatur dalam UU tahun 2003, berarti sebelum tahun 2003 itu tidak
ada “pengaturan” tentang kurikulum Pancasila. Dengan kata lain, kalau dulu ada mata pelajaran bernama
Pendidikan Moral Pancasila, berarti ada UU yg mengatur kurikulum Pendidikan Pancasila dong, kan pelajarannya
boleh beredar, berarti memang disertakan dalam kurikulum. (FYI: perubahan nama mata pelajaran mulai dari
PMP-PPKn-PKn).
Pertanyaan lanjutannya, kenapa mulai tahun 2003 tidak diberlakukan kembali kurikulum Pendidikan Pancasila..???
Adakah yang salah dengan kurikulum tersebut? Oh, ada 1 lagi.. Kalau ga salah, perubahan nama Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganeraan itu sudah dimulai sekitar tahun 2006
(googling), dan sekarang tahun 2011. Correct me if I’m wrong.. So.. kenapa sekarang baru diributkan? Apakah
karena momennya pas dengan isu radikalisasi yang belakangan jadi santer diberitakan?
Yang menarik dari artikel ini sebenarnya lebih pada opini masing-masing pihak yang terkait. Coba, deh, simak
tulisan yang saya kutip dari Kompas ini:
Sejumlah guru di beberapa daerah, Kamis (5/5), mengatakan, kini sangat sulit menanamkan nilai-nilai seperti
musyawarah, gotong-royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid karena pelajaran Kewarganegaraan
lebih menekankan aspek wacana dan hafalan.
“Sesuai kurikulum, materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang
penanaman nilai dan pembentukan moral anak,” kata Kepala SMAN 1 Lawa, Muna, Sulawesi Tenggara, La Ose.
“Pendidikan karakter yang dibebankan kepada guru tak akan efektif karena kurikulum yang ada tidak aplikatif,”
kata Kepala SMA Pembangunan Yogyakarta Maruli Taufik.
Di sisi lain, guru sulit menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme karena sulit mencari teladan atau
contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ini.. ini.. yang bikin saya ngakak sekaligus prihatin. Bukan.. saya bukan prihatin karena menurut tulisan tersebut
(entah itu opini dari guru atau dari editor) sulit mencari teladan yang nyata. Saya prihatin karena mereka tidak
dapat melihat sekitarnya dengan mata dan hati yang terbuka. Teladan atau contoh nyata yang menggambarkan sifat
nasionalis atau patriotis, sulitkah??? Seberat itukah makna nasionalisme dan patriotisme? Saya rasa tidak. Kenapa,
sih harus mempersulit diri dan mempersempit sudut pandang?
Sudah pernah mendengar nama @JalinMerapi ? Relawan yang berjuang saat bencana erupsi gunung merapi
melanda beberapa bulan lalu. Atau sudahkah mereka mendengar tentang @IndonesiaMengajar ? Kumpulan
mahasiswa fresh graduate yang mengabdikan diri untuk mengajar di pedalaman. Dan banyak tokoh-tokoh modern
yang sebenarnya bisa mereka jadikan sebagai teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Apakah untuk menjadi
teladan harus memegang bambu runcing dan maju ke medan perang dahulu? Nasionalisme dan patriotisme tak
sesempit itu. Orang-orang yang berkarya dan menciptakan perubahan yang lebih baik untuk bangsa ini juga patut
dijadikan teladan. Come on.. era sudah berganti, jangan mengerdilkan sudut pandang.
Guru pendidikan kewarganegaraan SMA Negri 1 Palembang, Sumatera Selatan, Maimun, menuturkan,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diberlakukan sebelum tahun 2004 lebih berorientasi pada
penanaman nilai-nilai kebangsaan, kerukunan, dan keutuhan bangsa. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan
saat ini lebih menekankan agar warga Negara menjadi patuh dan taat hukum,” kata Maimun.
Kondisi ini, menurut guru pendidikan kewarganegaraan SMAN 10 Medan, Sumatera Utara, Derry Marpaung,
menyebabkan lunturnya semangat kebangsaan pada para pelajar, terutama berkurangnya kecintaan terhadap
bangsa dan kepedulian sosial.
Well.. sebenarnya jika melihat fokus yang ditekankan saat ini, sih, ga salah juga. Mengajarkan siswa untuk patuh
dan taat hukum bukan sesuatu yang salah, kan? Mungkin yang dikhawatirkan adalah hilangnya kesempatan untuk
menanamkan nilai-nilai pancasila dalam proses belajar mengajar. Oke.. saya cukup memaklumi hal ini, meski saya
bukan guru atau mahasiswa jurusan pendidikan.
Tadi sore saya pinjam buku paket sepupu saya yang kelas 6 SD. Covernya, sih, cukup catchy, menarik, fullcolor,
dan mencerminkan keragaman budaya gitu. Tapi… begitu baca daftar isinya, mata saya langsung melotot, jantung
saya serasa mau copot
Dari 6 Bab yang disajikan, hanya Bab
pertama yang membahas tentang
Pancasila, itupun juga lebih pada proses
perumusannya, bukan nilai-nilainya.
Fine.. mungkin ini karena buku untuk
kelas 6, sudah sepatutnya jenjang yang
lebih tinggi mendapat materi yang lebih
rumit juga, kan? Tapi, koq saya tetap
kurang rela, mengingat apa yang dulu
saya dapatkan waktu duduk di bangku
sekolah dasar tak serumit sekarang. Ah,
ini mah emang karena dasarnya males
belajar yang sulit aja.. haha.. enggak,
bener, deh.. coba bandingkan sama
pelajaran PPKN yang saya dapat waktu
kelas 5 SD dulu.
Entah kenapa, apa mungkin karena PPKN adalah pelajaran favorit saya
selain kesenian, Bahasa Indonesia dan IPA. Tapi rasanya waktu itu belajar
PPKN menyenangkan sekali. Saya suka membaca setiap materi dalam
Babnya, belum lagi kalau ada ceritanya, kadang di rumah suka saya baca
lagi, mengulang pelajaran di sekolah atau membaca lanjutannya. Ada 1 lagi
yang membuat saya betah baca buku ini. Ilustrasi di bagian akhir materi per Babnya itu selalu menarik perhatian
saya. Honestly, ilustrasinya memang tidak sekeren ilustrasi2 yang sekarang, baru berupa goresan2 kasar hitam
putih, tapi saya suka sekali melihatnya. Rasanya materi yang disajikan waktu itu benar-benar mengena dan
membekas sampai saya beranjak tua dewasa sekarang..
Okee… sekarang kita beralih kembali pada opini pihak lain dalam artikel
surat kabar hari ini.
Padahal, dalam kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini, kata Mungin, peran guru sangat penting, terutama
untuk merancang kurikulum sekolah yang lebih mengarah pada pembentukan karakter peserta didik.
“Jika guru tak mampu menerjemahkan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dengan contoh konkret, peserta
didik akan kesulitan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Wow.. apakah Anda merasakan hal yang sama dengan saya? Kenapa ini jadinya pihak guru dan pengembang
kurikulum terkesan saling lempar kesalahan, ya? Sudah.. sudah.. Pak, Buk.. ngopi dulu sambil ngobrol santai, yuk..
Rupanya perlu ada sinkronisasi antara kedua belah pihak, sekedar membentuk sinergi agar bisa sejalan dan seiya-
sekata
Tapi.. tunggu deh, kata Pak Mungin tadi, nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah termuat dalam kurikulum
pendidikan nasional sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, lha terus yang dimuat dalam UU nomor 20
tahun 2003 tentang tidak adanya kurikulum pendidikan Pancasila dalam sistem pendidikan nasional itu gimana
maksudnya, Pak? Maaf.. saya benar-benar awam, yang dimaksud nilai-nilai Pancasila dan Pendidikan Pancasila ini
beda, ya, Pak?
Oke.. untuk sekedar merefresh (semoga bener2 bisa refresh, ga tambah puyeng) mari kita lihat Kurikulum Mata
Pelajaran PKn mulai dari SD s/d SMA ini.. (saya sebutkan point “Standar Kompetensi”nya saja, ya)
Kelas III: Makna Sumpah Pemuda, Norma masyarakat, Harga diri, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Kelas IV: Sistem pemerintahan desa dan kecamatan, Sistem pemerintahan kabupaten, kota, dan provinsi, Sistem
pemerintahan tingkat pusat, Globalisasi lingkungan.
Kelas VI: Nilai-nilai juang dlm proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara-Sistem pemerintahan
Republik Indonesia-Peran Indonesia dalam lingkungan negara-negara di Asia Tenggara-Peranan politik luar
negeri Indonesia dalam era globalisasi.
Kelas VII: Norma-norma bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara-Makna Proklamasi Kemerdekaan dan
konstitusi pertama-Penegakan HAM-Kebebasan berpendapat
Kelas X: Hakikat bangsa dan NKRI-Sistem hukum dan peradilan nasional-Penegakan HAM-Hubungan dasar
negara dengan konstitusi-Persamaan kedudukan warga Negara-Sistem politik di Indonesia
Kelas XI: Budaya politik di Indonesia-Budaya demokrasi masyarakat madani-Keterbukaan dan keadilan
berbangsa dan bernegara-Hubungan internasional dan organisasi internasional-Sistem hukum dan peradilan
internasional
Kelas XII: Pancasila sebagai ideologi terbuka-Berbagai sistem pemerintahan-Peranan pers dalam demokrasi-
Evaluasi dampak globalisasi
Bagaimana..?? sudah fresh apa tambah ngantuk? Saya yang jadi mulai ngantuk ini, sekarang jam menunjukkan
pukul 00:42 Waktu Nulis Malam2 Sebelum Diposting
Well.. kalau dicemati dari standar kompetensi kurikulumnya, sih.. porsi nilai-nilai Pancasila memang tak sebanyak
jaman saya SD dulu (kelahiran ’85 tunjuk kaki!). Kurikulum kini lebih fokus pada kewarganegaraan, yaiyalah..
wong judulnya memang Pendidikan Kewarganegaraan, hehe.. Materi yang sekarang lebih bisa membuat anak
muda jadi “melek politik”. Saya rasa, sih, itu cukup bagus, mengingat bangsa kita memang sedang “lucu-lucunya”
(ibarat bayi) dalam membangun demokrasi. Dan memang, sesuai perkembangan era, anak muda memang dituntut
untuk lebih mengetahui seluk beluk Negara dan pemerintahan. Sebenarnya saya lebih suka kalau jenjang sekolah
dasar diberikan materi tentang nilai-nilai Pancasila saja, baru nanti waktu SMP mulai diajarkan tentang
kewarganegaraan dan sistem pemerintahan. Tapi mungkin pemerintah dan para pengembang kurikulum merasa
perlu mengenalkan pendidikan tersebut sejak jenjang dasar. Hmm.. tak apalah, toh nilai-nilai Pancasila masih tetap
disisipkan, meski memang tidak sedetail 10 tahunan yang lalu. Yah.. pinter-pinternya para pendidik aja untuk
mencari celah.. Dan.. tentunya tanggung jawab tidak hanya dibebankan pada pendidik, melainkan juga keluarga.
Saling support lah..
Ada atau tidaknya Pendidikan Pancasila dalam kurikulum tak berhak menyurutkan semangat kita untuk
mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang terangkum di dalamnya. Tak ada di kurikulum, lantas tak
berani mengajarkannya? Kenapa harus takut untuk mengajarkan kebaikan? Bukankah pancasila itu mengandung
nilai-nilai kebaikan?
Tak ada di kurikulum juga bukan berarti hilang begitu saja dari materi ajar, kan? Setiap guru bisa menyisipkan
nilai-nilai Pancasila di sela-sela materi yang diajarkannya. Tak perlu memiliki nama mata pelajaran tertentu jika
memang tak dikehendaki dalam kurikulum, tak perlu bubuhkan nilai dalam raport jika tak tersedia kolom kosong,
karena nilai yang baik pun belum menjamin pemahaman siswa. Yang penting siswa mengerti dan mampu
menerapkan nilai-nilai Pancasila.