You are on page 1of 12

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA SUMATERA UTARA

TAHUN 2005 s.d 2009


(ANALISIS KONTEKSTUAL, METODOLOGI, DAN LITERATUR)
Akmaluddin Syahputra

Kata Kunci: MUI, hukum Islam, fatwa

Perkembangan Hukum Islam di Sumatera Utara tidak terlepas dengan


perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Kedatangan Islam telah
memberi pengaruh yang kuat terhadap hukum asli di dalam beberapa segi
kehidupan, terutama di bidang hukum keluarga.1 Dalam lintasan sejarah,
hukum Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan yang cukup
signifikan untuk dikaji secara ilmiah akademis.
Penulis melihat bahwa melalui lembaga Peradilan agama inilah
perkembangan Hukum Islam di Indonesia yaitu melalui qadi atau hakim,
sedangkan para ulama yang tidak menduduki lembaga tersebut tetap
dapat berkiprah dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan
agama Islam melalui fatwa, qaul, maupun pendapat individu. Bahkan
ditangan ulama inilah perkembangan hukum Islam itu terasa lebih
signifikan dan komperhensif.
Penelitian yang lebih memfokuskan pada produk hukum fatwa. Di
Indonesia (demikian juga halnya di Sumatera Utara) fatwa-fatwa
sepenuhnya dilakukan oleh para ulama. Dimulai dari fatwa perorangan
hingga fatwa berkelompok.2 Pada tahun 1912 organisasi Muhammadiyah
terbentuk, meski pada awal pembentukannya tidak menghasilkan fatwa
hukum, namun pada tahun 1927 telah dibentuk Majlis Tarjih yang bertugas
menetapkan soal-soal keagamaan umumnya dan hukum, yang pada
intinya Majlis Tarjih ini menghasilkan produk hukum yang disebut fatwa.
Sedangkan pada tahun 1926 para ulama tradisionil telah mendirikan
perkumpulan Nahdatul Ulama sekaligus menghasilkan fatwa-fatwa secara
berkelompok.
Di Indonesia, fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan,
termasuk di dalamnya fatwa Mejelis Ulama Indonesia mempunyai peranan
yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan
kepada masyarakat, sekalipun ia diangg wap tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat (ghair mulzimah).
Penelitian tentang fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera
Utara menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, disebabkan bahwa
Mejelis Ulama Indonesia Sumatera Utara terlebih dahulu ada (berdiri)

1 Lihat R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hal 17;
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1973, hal. 26
2 Sebelum tahun 1926 fatwa fatwa di Indonesia diberikan pada ulama secara perorangan, setelah itu
barulah fatwa-fatwa dikeluarkan secara berkelompok
sebelum MUI Pusat, artinya bahwa masyarakat Sumatera Utara adalah
masyarakat yang agamis dan memiliki ulama yang patut diperhitungkan
dan dikaji serta dianailis pola pikir mereka. Kedua bahwa secara
organisasi, fatwa yang berskala Nasional akan diputuskan oleh MUI Pusat,
akan tetapi permasalahan yang berskala lokal (tingkat Provinsi) akan
diputus di Propinsi. Nah tentunya banyak sekali hal yang perlu dikaji dan
dianalisis tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara terutama
di tahun 2005 s/d 2009 baik dari segi kontekstual, metodologis, maupun
literatur.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dirumuskanlah beberapa pokok
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah metodologi MUI Sumatera Utara merumuskan fatwa?
2. Faktor-faktor apakah yang Mempengaruhi dalam merumuskan fatwa
tersebut?
3. Literatur apakah yang dipakai MUI Suamtera Utara dalam
merumuskan fatwa?

Kegunaan Penelitian
Penelitaian ini berguna untuk:
1. memberikan gambaran yang lengkap dan tepat tentang sifat fatwa-
fatwa, dalam kaitannya dengan isi maupun cara kerjanya
2. menjadi sumbangsih pengetahuan tantang fiqh (hukum Islam) dan
ushul fiqh (teori hukum Islam)

Batasan Istilah
1. Majelis Ulama Indonesia adalah tenda besar ummat Islam, yang
merupakan wadah tempat berkumpulnya ulama, zuama, dan
aghniya didirkan di Jakarta pada tanggal 117 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M.
2. Fatwa, Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab al
fatwa. Fatwa merupakan jawaban hukum (legal oponion) yang
dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa
(based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai
jawaban atas pertanyaan atau merupakan peristiwa atau kasus yang
telah terjadi atau nyata.

Kerangka Teritis
Kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Adanya interaksi anatara perubahan sosial dengan perubahan
hukum merupakan keharusan.3 Setiap peristiwa atau kejadian
3 Sodjono Hardjo Siswono, Sosiologi Hukum Studi Tentang Perubahan Huikum dan Sosial, CV
Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 1

2
yang dihadapi kaum muslimin pasta ada hukum yang mengikatnya
2. Hukum Islam ditetapkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
hamba-Nya.4 Senantiasa berjalan mengikuti perjalanan masa dan
perubahan sosial budaya.
3. Teori-terori perubahan, para sosiolog berpendapat bahwa
kecendrungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan
gejala-gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup
manusia. Perubahan sosial terjadi karena adanya unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya
perubahan dalam unsur-unsur ekonomis, biologis, geografis,
kebudayaan, agama, dan lan-lain5 Teori teori lain tentang
perubahan sosial yang sejalan dengan yang diungkapkan
Soerdjono Soekanto ini, antara lain teori perubahan sosial Mac
Iver, Gillin and Gillin, William F. Obgurn, Kingsley Davis, Samuel
Koening, dan Selo Soemardjan.6
4. Kaedah-kaedah fiqhiyah yang berkaitan dengan perubahan fatwa
disebabkan perubahan zaman (masa) dan tempat serta syari’at
Islam selalu sesuai untuk setiap masa dan tempat
7
‫الشريعة السلمية صالحة لكل زمان ومكان‬
Artinya: Syariat Islam itu (akan selalau) sesuai setiap masa dan
tempat
8
‫تغير الفتوى بتغير الزمنة والمكنة والحوال والعوائد‬
Artinya: Fatwa (hukum) itu dapat berubah disebabkan perubahan
zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan

Metodologi Penelitian
Sesuai dengan topiknya penelitian ini bersifat kualitatif. Data-
data dianalisis dengan menggunakan metode deskriftif 9 analitis
yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang
dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara konkrit
tentang Fatwa Mejelis Ulama Indonesia baik dari segi metodologis
maupun literatur
Penelitian ini dilakukan di Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera
Utara, ditetapkan di Provinsi Sumatera Utara sebagai tempat penelitian
4 Imam Syafi’i, Ar-Risalah, Darul Saqafah, Mesir, 1983, hal 14
5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1982, hal 285
6 Ib.id., dan Selo Sumardjan, Social Change in Yogyakarta, Cornel University Press, New York, 1962,
hal. 379
7 Muhammad Anis Ubadah, Tarikh al Fiqh al Islami fi Ahdi al-Nubuwwat wa al Shahabat wa al
Tabi’in, juz I, Darul al Thiba’at, Mesir, 1980, hal. 12
8 Ibn Qayyim al Jauziyah, I’lam al Muwaqi’in Rabb al ‘Alamin, juz III, Darul Jayi, Mesir, tth, hal. 10
9 diskripsi disini maksudnya secara sistematis, faktual, dan akurat, bertujuan membangun atau
menguji hipotesis Lihat, Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 36, lihat juga. Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktik. Sinar Grafika, Jakarta,
hal 8-9

3
berdasarkan pertimbangan bahwa propinsi Sumatera Utara merupakan
salah satu provinsi yang penduduknya heterogen. Memiliki jiwa ke-Islaman
yang kuat dan memiliki ulama-ulama yang mu’tabar.
Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan studi
naskah yaitu dengan menentukan identitas dan klasifikasi fatwa-fatwa
dalam hubungan dengan isinya serta metode yang dipakai para ulama
dalam merancang fatwa tersebut. Hal ini diperlukan guna mengadakan
perbandingan dengan naskah naskah klasik hukum Islam, dan menetapkan
ragam masing-masing, dengan melihat literatur-literatur yang dipakai
dalam menetapkan fatwa.

Temuan Penelitian
Metodologi Perumusan Fatwa
Pada tahun 1986 MUI mengeluarkan pedoman tentang dasar-dasar
pembuatan fatwa menurut tingkatan, yaitu; alQuran, sunnah, ijma, dan
qiyas. Hal ini masih harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam
mazhab yang ada dan fuqaha yang telah melakukan penalahan mendalam
tentang masalah serupa.
Majelis Ulama Indonesia berwenang mengeluarkan fatwa mengenai:
Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat
islam Indonesia secara nasional. Masalah-masalah keagamaan di suatu
daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. Majelis ulama Indonesia
Daerah berwenang mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah
keagamaan dan bersifat local (kasus-kasus di daerah) dengan terlebih
dahulu mengadakan konsultasi dengan MUI/komisi fatwa MUI. Penentuan
klasifikasi masalah dilakukan oleh tim khusus.
Setiap Surat keputusan fatwa dilingkungan MUI manapun MUI daerah
dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam surat keptusan ini
mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan. Jika
terjadi perbedaan antara surat keputusan fatwa MUI dan surat keputusan
fatwa MUI daerah menganai masalah yang sama, perlu diadakaan
pertemuan antara kedua Dewan pimpinan untuk mencari penyelesaian
yang paling baik.
Sidang komisi harus dihadiri oleh para anggota komisi yang
jumlahnya dianggap cukup memadai oleh ketua komis dengan
kemungkinan mengundang tenaga ahli yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas jika dipandang perlu.
Sidang komisi diadakan jika ada :
a. Permintaan atau pertanyaan dari masyarakat yang oleh Dewan
Pimpinan MUI dianggap perlu untuk dibahas dan diberikan
fatwanya.
b. Permintaan atau pertanyaan dari pemerintah, lembaga sosial
kemasyarkatan, atau MUI sendiri.
c. Sidang komisi dipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya atas

4
persetujuan ketua komisi.
Secara teori setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas
kitabullah dan sunnah rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan
dengan kemasalahatan umat. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan
sunnah rasul. Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan
ijma' Qiyas dan mu'tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan,
masalih mursalah, dan sadd az-zari'ah. Sebelum pengambilan keputusan
fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para dalil - dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipegunakan oleh pihak
yang berbeda pendapat. Pandangan tenaga ahli dalam bidang maslah
yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
Dalam praktiknya, kempat hal di atas tidaklah dijalankan dengan
baku sesuai urutan, bahkan biasanya ketika muncul permasalahan, maka
pertama sekali yang dilakukan oleh para komisi fatwa adalah merujuk dan
mengacu kepada kitab-kitab fiqh klasik, baru kemudian melihat kepada
yang lainnya.
Dalam hal contoh putusan tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah
dengan uang (qimah) dan jumlahnya Jika dilihat dengan contoh kasus di
atas, tentang metodologi yang paling memepengaruhi sebuah fatwa itu
lahir. Dari informan diperoleh data bahwa ”Ada yang mengatakan bahwa
ini merupakan talfik, atau penggabungan dua pendapat mazhab, yakni
Hanafiyah, da Syafiiyah,” Akan tetapi komisi memandangnya pengambilan
istimbat hukum bukanlah melalui talfik, akan tetapi melalui muqarnah
mazahib, yaitu antara mazhab Hijaz yang diwakili oleh Syafi’i, Maliki, dan
Hambali, dan mazhab Iraq, yang diwakili oleh mazhab Hanafi, dan Abu
Yusuf. Dalil yang pertama, apakah dibolehkan membayar zakat dengan
qimah, pendapat yang pertama tidak, karena hadis teks hadis menyuruh
untuk membayar dengan 1 sha’ gandum, dan 1 sha’ tamar. Pendapat ini
tentunya hanya berdasarkan teks hadis tanpa melihat konteks hadis ini
turun.
Jika kita melihat dari kontekstual dimana hadis ini turun di kota
Madinah yang dikenal sebagai kota pertanian, maka wajar kalau hadis
tersebut, menyebutkan tamar, gandum untuk pembayar zakat. Namun
jika dilihat lebih lanjut secara filosofis untuk apa zakat itu diberikan, maka
kesimpulannya akan berbeda. Ibnu Rusy dalam bukunya Bidayatul
Mujtahid mengatakan bahwa tujuan dari zakat fitrah adalah untuk saddul
lil khullah, (atau mengeyangkan perut). Dan uang dapat mengenyangkan
perut. Apalagi diberbagai tempat yang pertanian bukanlah pekerjaan
masyarakat.
Jika ada masyarakat yang berpendapat bahwa Tidak ada teks yang
menyatakan kebolehannya, maka itu merupakan perbuatan mengada-ada,
maka beras juga tidak ada teksnya. Dan kita menjadikan beras sebagai
bahan pembayar zakat juga melihat kontekstual. Dimasa Rasulullah di
tanah Arab, tamar, gandum adalah makanan pokok, sedangkan di

5
Indonesia makanan pokoknya adalah beras.
Dalil kedua, Berapakah jumlah yang harus dibayarkan?. Imam Syafi’i
mengatakan 1 sha’ gandum (Hijaz) yang kalau di konversi ke ukuran kati
adalah 5,3 kati dan kurang lebih 2, 7 kg, Imam Abu Hanifah (Iraq)
mengatakan 1 sha’ air (Irak) kalau dikonversi ke ukuran kati adalah 8 kati
yang dikonversi kilogram adalah kurang lebih 3,8 kg. Namum demikian
ketika Abu Yusuf, ke Madinah dan melihat fakta dilapangan dia
berpendapat bawha 1 sha’ itu adalah 5 kati,
Dalil yang lain bahwa masyarakat sudah lama mengamalkan pendapat
ini.10
Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi terlebih dahulu
dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus
sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan. Mengenai masalah
yang telah jelas hukumnya (Qat'iy) komisi menyampaikan sebagaimana
adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nass-nya dari Al
Quran dan sunnah.
Dalam masalah yang terjadi khilaffiyah di kalangan mazhab, maka
yang difatwakan adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fiqih muqaran
(pebandingan) denga menggunakan kaidah-kaidah usul fiqih muqaran
yang berhubungan dengan pen-tarjih-an. Setelah melakukan pembahasan
secara mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan
pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi mentapkan keputusan
fatwa.
Setiap Keputuasan Fatwa yang telah dihasilkan terlebih dahulu di
-tanfiz-kan setelah ditandatangani oleh dewan pimpinan dalam bentuk
surat keputusan fatwa atau yang disingkat (SKF). Dalam SKF harus
dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara
ringkas,serta sumber pengambilannya.
Keputusan hukum yang dilakukan oleh komisi fatwa Majelis Ulama
Indonesia Sumatera Utara ada yang dikatagorikan fatwa dan ada pendapat
hukum. Hal ini dilakukan untuk lebih membatasi diri dalam mengeluarkan
fatwa, bahwa tidak setiap persoalan yang diajukan oleh umum atau oleh
pemerintah kepada MUI akan ditanggapi dalam bentuk fatwa. Beberapa
pertanyaan hendaknya cukup dilayani dengan pendapat hukum atau
semacam surat nasihat dan tidak denga fatwa yang lengkap. MUI
Sumatera Utara memandang bahwa fatwa adalah sebagai pilihan terakhir,
yang dikeluarkan jika memang dibutuhkan. Sedangkan nasihat atau
pendapat hukum terkadang dianggap lebih sesuai dan lebih baik dalam
menyelesaikan permasahan hukum di samaping lebih cepat dan
sederhana.
Berikut ini adalah beberapa fatwa dan pendapat hukum Majelis
Ulama Indonesia Sumatera Utara yang peneliti kumpulkan dari tahun
2005 sampai 2009
10 Hasil Wawancara dengan Sekretaris Komisi Fatwa & anggota komisi fatwa

6
1. Hibah Ibu kepada Salah Seorang Anaknya Dengan Satu Orang Saksi
Wanita
2. Azan Shalat Sebelum Masuk Waktu
3. Hukum Mendirikan Bangunan (Kios, Toko, Swalayan dan Sejenisnya)
di atas tanah wakaf yang ada bangunan mesjid
4. Apakah Harta Zakat yang sudah dizakati dikenakan Zakat kembali
pada tahun berikutnya
5. Hukum Memberikan Zakat Mal dan Zakat Profesi Kepada Panitia
6. Pembelian Tanah Wakaf Kuburan Kaum Muslimin Komplek
Perumahan Pemda Provinsi Sumatera Utara dan Bank Sumut
7. Hukum Melakukan Ruqyah untuk mengobati penyakit dan mengusir
jin
8. Ajaran-jaran sesat dan menyimpang yang meresahkan masyarakat
9. Hukum Khitan bagi perempuan
10.Hukum Memalamkan Jenazah
11.Keberadaan kenaziran mesjid al Amin Medan
12.Ongkos Naik Haji dengan uang pinjaman Dari Bank Konvensional
13. Arah Kiblat Mesjid Al-Mukhlisin
14.Permohonan Pembagian Harta Warisan
15.Pencurian Aliran Listrik Menurut Hukum Islam
16.Hukum Mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (qimah) dan
jumlahnya
17.Hukum Pengelolaan Lubuk Larangan
18.Pendirian Beberapa Masjid di Satu Kampung/Desa
19.Hukum Mengeluarkan Zakat Pertanian Padi yang Pembiayaannya
Lebih Besar dari Penghasilannya
20.Hukum Membayar Fidyah Shalat
21.Shalat di masjid yang disekitarnya ada kuburan
22.Bolehkan masjid dijadikan tempat kampanye Caleg (Pendapat
Hukum)
23.Bolehkah masjid dijadikan tempat jual beli”? (pendapat hukum)
24.Apakah seorang muazzin boleh langsung menjadi imam” (pendapat
hukum)
25.Apakah boleh seseorang yang dibenci masyarakat menjadi imam”.?
26.Hukum Membayar Fidyah Sholat (pendapat hukum)
27.Penjelasan Tentang Tulisan Nama Mesjid (pendapat hukum)
Sebahagian besar fatwa MUI SU mengenai soal-soal ibadah yang
berkenaan dengan shalat, zakat, sarana ibadah, wakaf atau sekitar ibadah
lainnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam merumuskan fatwa


Meskipun pada dasarnya hampir semua putusan fatwa MUI adalah
permintaan atau pertanyaan masyarakat akan tetapi fatwa-fatwa tersebut
terkadang juga terkait dengan faktor yang bersifat politik. Beberapa fatwa

7
kelihatannya tidak hanya terikat pada satu faktor saja, tetapi terkait
dengan beberapa faktor, sehingga sulit untuk menentukan faktor mana
yang paling dominan.
Faktor pertama yang mempengaruhi sebuah fatwa adalah berkaitan
dengan kecendrungan untuk membantu kebijakan pemerintah, misalnya
“fatwa haramnya mencuri aliran listrik”. Mengingat permasalahan listrik
merupakan permasalahan strategis, yang pada akhir-akhir ini sering
mendapat sorortan, ditambah lagi sudah semakin maraknya pencurian
listrik yang terjadi di Sumatera Utara, Fatwa tentang haramnya mencuri
listrik diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menghadapi
permasalahan pencurian listrik. Namun demikian keinginan untuk
mendukung kebijakan pemerintah itu tidaklah berarti bahwa fatwa
tersebut tidak berdasarkan keagamaan.
Faktor kedua, adalah faktor yang biasanya paling dominan, yaitu
dalam merumuskan fatwa hendaklah hasil dari fatwa tersebut tidak
meresahkan masyarakat, tepatnya jika sudah ada pendapat dikalangan
masyarakat tetang sesuatu hal, yang pada hakikatnya tidaklah dilarang,
maka pendapat ulama-ulama terdahulu dan masyarakat muslim lebih
diutamakan. Misalnya tentang hukum membayar zakat dengan qimah dan
jumlahnya. Di Sumatera Utara khususnya di Medan selalu membayar zakat
fitrah jika dengan beras 2,7 mengikuti pendapat Syafi’i dan uang sebanyak
(senisbah) dengan beras 2,7 kg. Antara lain pendapat Al Ustaz Arsyad
Thaib Lubis.
Faktor Ketiga; menjaga agama Islam dari penistaan. Hal ini terlihat
bahwa telah dikeluarkannya fatwa tentang ajaran-ajaran dan menyimpang
yang meresahkan masyarakat. Bahwa akhir-akhir ini banyak ajaran-
ajaran yang terjadi dan berkembang ditengah-tengah masyarakat muslim
di berbagai tempat di wilayah Sumatera Utara yang meresahkan umat
Islam tidak hanya yang menyangkut masalah furu’, tetapi juga masalah
aqidah.
Kondisi yang demikian itu, tidak dapat diabaikan
dan dibiarkan belanjut begitu saja karena dapat mengakibatkan fatal bagi
kehidupan intern umat beragama khususnya umat Islam.
Aliran-aliran sesat ini terkadang tidak hanya diputus di MUI Sumatera
Utara, akan tetapi juga difatwakan di beberapa kabupaten kota, misalnya
di fatwa Hasil Keputusan Fatwa MUI Kabupaten Langkat nomor:
01/KPTS/MUI-LKT/II/2007 tanggal 06 Safar 1428 H, bertepatan dengan
tanggal 24 Pebruari 2007 M. Tentang sebuah aliran sesat di Langkat yang
kemudian dikukuhkan dengan fatwa MUI Sumatera Utara.
Di antara aliran-aliran sesat yang muncul di beberapa kabupaten
kota provinsi Sumatera Utara adalah aliran sesat fardhu ain, Darul Hikmah
di Langkat, Jubir Amir di Medan Labuhan, Soul Traning di Lubuk Pakam Deli
Serdang, dan beberapa aliran-aliran kecil lainya.
Dari analisa penulis bahwa pada dasarnya aliran-aliran sesat itu

8
dapat digolongkan kepada 3 golongan, pertama Syi’ah, Ahmadiyah, dan
yang ketiga inkarus sunnah, golongan yang ketiga inilah yang banyak
muncul di daerah Sumatera Utara.
Inkarus sunnah yang sering terjadi adalah pengakuan sesorang
menjadi nabi, dan atau pengakuan menerima wahyu. Meski mereka tidak
menyebutnya sebagai golongan inkarus sunnah, akan tetapi penulis
cendrung mengelompokkan mereka kepada inkarus sunnah, disebabkan
dalil-dalil yang mereka gunakan adalah dengan memutar balikkan
pemahaman nash al Qur’an dan sama sekali tidak melihat kepada
perkatan dan perbuatan nabi Muhammad Saw.

Literatur Perumuskan fatwa


Oleh karena masyarakat Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i
maka gambaran utama fatwa masih dikuasai oleh pandangan Syafi’i akan
tetapi perlu dicatat bahwa ada beberapa fatwa yang menyimpang dari
mazhab Syafi’i, bahkan empat mazhab Sunni. Beberapa naskah Syaf’i
tertentu seperti Syarh Muhazzab dari an Nawawi dan Fath Wahhab dair al
Ansari mendapat prioritas lebih dari lainnya, kemudian Tuhfat al muhtaj
karangan Ibn Hajar al Haitami dan I’anatu Thalibin. Adapun karya Imam
Syafi’i sendiri seperti al Umm jarang dipergunakan.
Meskipun karya-karya keempat mazhab sunni tidak disebutkan
dalam beberapa fatwa tidak disebutkan judulnya, akan tetapi buku
tersebut tidaklah sulit untuk dilacak.
Yang menarik dalam beberapa kasus terkadang ada fatwa yang
tidak mengikuti pandangan naskah-naskah fiqh aliran Syafi’i atau mazhab
lainnya, tapi justru mengambil pandangan Ibn Hazm. Misalnya fatwa
tentang shalat Jum’at bagi orang yang berpergian. Meski tidak secara
tegas menyatakan dan memperlihatkan kutipan dari karya Ibn Hazm,
namun sangat jelas bahwa fatwa itu bersumber pada karya tertentu Ibn
Hazm, yaitu al Muhalla. Hampir semua dalil Ibn Hazm dalam al Muhalla
menggunakan zahir (pernyataan jelas) dari al Quran.
Penggunaan qiyas dalam perumusan fatwa sudah merupakan
metodogi yang dipakai dalam istimbat hukum. Akan tetapi penerimaan
pandangan Ibn Hazm, atau mazhab Zahiri tentunya merupakan suatu hal
yang berkembang dan menunjukkan adanya dinamika dalam pemikiran
hukum Islam.
Dahulu cara berfikir dengan menerima dua pandangan mazhab
yang berbeda di antara empat mazhab sunni atau yang dikenal dengan
istilah talfik tidak diperbolehkan, terlebih tentunya pandangan-pandangan
Ibn Hazm yang notabene adalah diluar mazhab sunni.

Penutup

9
Kesimpulan
1. Bahwa dalam hubungan perumusan fatwa secara metodologi fatwa –
fatwa itu tidak mengikuti suatu pola tertentu. Beberapa fatwa
berawal dengan dalil al Qur’an dan merujuk kepada hadis-hadis
Rasulullah serta merujuk kepada kitab-kitab fiqh klasik. Fatwa
lainnya langsung meneliti naskah-naskah fiqh yang ada dan
menganalogikan tentang masalah tanpa mempelajari terlebih dahulu
ayat-ayat dan hadis-hadis yang bersangkutan. Akan tetapi, hal ini
tidak berarti bahwa MUI-SU tidak mempunyai metodologi yang
dipakai. Secara teori MUI percaya bahwa suatu fatwa hanya
dikeluarkan sesudah MUI secara mendalam mempelajadri keempat
sumber hukum Islam. Sumber-sumber itu adalah: alQuran, hadis,
ijma, dan qiyas, demikian urutannya menurut mazhab Syafi’i,
namum demikian dalam praktiknya, prosedur metodologis semacam
ini tidak selalu dipergunakan.
2. Faktor faktor yang mempengaruhi munculnya fatwa adalah
pertanyaan masyarakat yang bertujuan untuk menentramkan
gejolak yang terjadi dimasyarakat, fatwa tentang hukum membayar
zakat dengan uang dan berapa jumlahnya. Meskipun pada dasarnya
hampir semua putusan fatwa MUI adalah permintaan atau
pertanyaan masyarakat akan tetapi fatwa-fatwa tersebut terkadang
juga terkait dengan faktor yang bersifat politik. Beberapa fatwa
kelihatannya tidak hanya terikat pada satu faktor saja, tetapi terkait
dengan beberapa faktor, sehingga sulit untuk menentukan faktor
mana yang paling dominan.
3. Gambaran utama fatwa masih dikuasai oleh pandangan Syafi’i akan
tetapi perlu dicatat bahwa ada beberapa fatwa yang menyimpang
dari mazhab Syafi’i, bahkan empat mazhab Sunni. Beberapa naskah
Syaf’i tertentu seperti Syarh Muhazzab dari an Nawawi dan Fath
Wahhab dair al Ansari mendapat prioritas lebih dari lainnya,
kemudian Tuhfat al muhtaj karangan Ibn Hajar al Haitami dan I’anatu
Thalibin. Adapun karya Imam Syafi’i sendiri seperti al Umm jarang
dipergunakan.

Rekomendasi
1. Kepada Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara agar dapat lebih
bekerjasama dengan pemerintah dalam mengeksekusi fatwa-fatwa
yang dikeluarkan sehingga memiliki kekuatan dan mendatangan
kemaslahatan ummat khusunya umat Islam
2. Kepada Pemerintah agar cepat menanggapi fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia, baik melalui pengukuhan
perundang-undangan, maupun menjadikan fatwa MUI sebagai acuan
dalam mengambil keputusan hukum.
3. Kepada orang awam atau orang yang tidak mengerti tentang hukum

10
Islam diharapan tidak mengomentari isi fatwa, hal ini akan
menjadikan permasalahan semakin rumit.

Penulis: Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, sedang


menyelesaikan S.3 pada Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara.

Pustaka Acuan
Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Yayasan Risalam, 1984
Arnold, Thomas, Sejarah Dakwah Islam, Terj. Nawawi Rambe, Jakarta:
Widjaja, 1985
Aulawi, Wasit, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amrullah
Ahmad, et al. (Peny), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65
Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: PP IKAHA, 1994
Al Turabi, Hasan, Pembaharuan Ushul Fiqh, Terjemahan Afif Muhammad,
Bandung: Pustaka, 1986
Azra, Azzumardy, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVIII, Bandung: Mizan, 1994
A. Hasyimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
Bandung: PT Al Maa’rif, 1993
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Alih Bahasa Zaini
Ahmad Noeh, Jakarta: PT Intermasa, 1980
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Terj Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali, 1991
G.F. Fijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1945,
terj. Tudjimah dan Yessy Augusdin, Jakarta: UI Press, 1984
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1981
Ibrahim, Ahmad, et al. (Ed), Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah,
Jakarta: LP3ES, 1989
Rickles, MC., Sejarah Indonesia Medern, terj. Dhamono Hardjowidjono,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993

11
R. Supomo-R. Djokosutomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jilid I, Jakarta:
Djambatan, 1955
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang:
Angkasa Raya, 1990
Soebardi dan Harsojo, Pengantar Sejarah Dan Ajaran Islam, Bandung: Bina
Cipta, 1986
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-
19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo,
Jakarta, 1998
Thalib, Sajuti , Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan Dan Peranan
Hukum Adat dan Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasiona,
Bandung: Binacipta, 1987
Tresna, R, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1978
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik. Sinar Grafika,
Jakarta, 1996
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung:
Alumni, 1973
Zuhri, Syaifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia, Bandung: PT. Al Maa’rif, 1980

12

You might also like