Professional Documents
Culture Documents
SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?
Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah,
tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad
Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki
diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para
wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan
oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid.
Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah
manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang
menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang
berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas,
dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak
berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya,
mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama
memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”;
Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh
Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan
Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar
teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan
keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut,
“Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak
bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab
Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan
Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i.
Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan
lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna
kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang
tetap di dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad
Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang
Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S.
Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh
Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang
berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir
dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang
diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam
kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun
Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut
sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori
ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang
Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-
galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah
sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita,
tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu”
[Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita,
tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-
sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam
merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal
sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan
af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas
ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak
akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar
syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati
dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya
ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya
disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu
tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena
badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita
membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar
Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan
yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan
yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan
adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang
dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan.
Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-
benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan
tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie,
hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada
pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya
orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R.
Tanaja, hlm. 42-46).
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu
sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung
Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi
manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan
pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-
Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan
syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul
dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para
ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-
Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan
Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya
pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada
tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui
akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama
Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan
menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan:
“Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk,
hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia
gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran
saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya
menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau
anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan
pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada
susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa
penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan,
sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa
raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya
menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran
Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang
hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah
kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi
kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari
perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam
tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya
adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya
adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat
kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang
saling asing mengasingkan.
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau
sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya
Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan
putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini
sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia
kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan
dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan
uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun
ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada
turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan
oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.”
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya
satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi
pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat
kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud
itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi
untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan
wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua
kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja
belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk
memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima
keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula,
44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat
kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah
dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa
dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-
Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak
mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat
Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di
dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa
antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun
di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar,
menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar
di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu
angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula,
30).
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang
dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama
dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang
selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti
iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga
hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya
menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi
perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya
Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia,
membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh,
tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada
di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada
didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang
kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak
panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat,
bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan.
Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan
debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat
jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak
sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang
shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat
dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat
dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah
juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun
itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an
manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia
untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia,
Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak
hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan
menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian
terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi
manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah
tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya
disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama
keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada
Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang
merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu
akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini
saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat
saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya
kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian
orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup
saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak
sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga
memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup
saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang
sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII
Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya,
maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan
manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan
bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan
kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi
manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak
ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab
dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu
kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus
diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki
kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri,
dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan
tidak mengerti apa yang sedang dialami.
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati,
mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih
puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak
tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya.
Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus,
menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…”
(Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah
Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang
menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan
ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya
terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal,
keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula
kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh
Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak
mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan
salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak
bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap
terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar
cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari,
menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan
terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran
ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran
Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –
sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat
al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai
martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai
syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru
Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan,
kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup
kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula
mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap,
yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-
kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-
tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran];
(2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan,
khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti
Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham
keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan
dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5)
Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha
Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi
kemanunggalan dan keabadian.
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan
nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah
iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun
kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan
jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna
padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang
nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID
Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi
Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada
Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku,
sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat
yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam
segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha
Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna
terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi
sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat
Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R.
Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang
dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan
Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana
wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar
disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan
Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan
ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah
kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung
dengan Kerajaan Pajang.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara)
Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam
bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia
sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah
cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang.
Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya,
sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah
jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran
“langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan
ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin
utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan
Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu)
dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka).
Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama
“merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud
keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri
dan yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan
Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik
manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan
serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah
dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan
hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap
di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh,
bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati.
Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini
menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga
dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan
mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan
mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu
minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan
mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan
Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi
mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya
hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang,
kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang
ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan
air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati
di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging
kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan
kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan
sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan
rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni
Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam
bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat
langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala
Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia
sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan.
Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk
pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat
adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud
kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-
karya yang bermanfaat.
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya
pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada
yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal
sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti
dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap
hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga
tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang
sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan
rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar
pengenalan akan nama-nama Allah.
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat
akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan
mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena
kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang
mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain
adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang
musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati
secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu
penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti
syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau
kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam
pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan,
dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman
kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia
melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya
bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah
arti penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad
atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi
dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka
pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang
pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan
sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju
keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum
‘awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara
sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak
kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap
sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong
manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal.
Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga
hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang
sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang
dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh
Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun
walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.”
(mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman
hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah,
menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia,
yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah,
pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang
umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan
tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi
untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan
syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la
ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya
keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak
sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau
tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya
tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh
adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi
orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan
prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah
mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti
Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu.
Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi
kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara
sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan
shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari
pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah
shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang
shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam
keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk
suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan.
Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul
dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di
sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian
dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya
sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan
kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek
Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya
dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk
memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-
kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan
terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja
diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan
secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat
syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan
kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus
juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada,
jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-
unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar
(junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan
tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran
shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh
kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja
dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain
kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan
dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau
iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah
sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa
digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah
menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah
menjadi manusia sejati.
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang
terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling
efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian
seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam
kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku
rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat
ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu
ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam
nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap
mengerti akan diriku sendiri).
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar,
tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-
ku).
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah,
rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku
rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh
ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat,
yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam
sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma
terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar,
tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail
(malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung
membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku
rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning
sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning
urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing
Rasulku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-
anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung
membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku
rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh
ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu
akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung
membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku
rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu
akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
keinginanku).
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung
membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan
kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa
suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci
diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari
shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat
witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam
rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk
tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai
wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh
karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak
masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan
ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak
begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang
tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat
riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan
mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-
Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang
mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang
khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari
hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat
dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan
diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga
makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan
mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan
shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan
esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar.
Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah
buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan
Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal
bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula
meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan
pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para
pencuri.
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong
kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at
tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu
sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan
kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada
masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian
syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat
melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan
yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa
penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi
dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di
bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah
lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini
juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at
itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya
guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan
rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan
tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat
sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan
profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat
sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah
shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan
Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini
menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah
atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan
pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg
kudus.”
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa
sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam
salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid
dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya
sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar
dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani,
bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan
ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA
Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin
seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan
menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati
adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu
sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan
masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan
Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya
mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia
sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang
oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat
tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba
Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu
hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak
dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi
itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan
yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek
bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg
lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan
serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat
ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan
tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya,
dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara
garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah,
yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya
adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran).
Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang
disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang
menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka
maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu
(adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus
yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba
amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat
kawula-Gusti.
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat
dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali.
Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul
Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah
pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus
dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu.
Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang
Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu
disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang
alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia).
Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama
akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.”
Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag
bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan
alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain
adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa
yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat
setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah
menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam
keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar
af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan
adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti,
sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan
sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu
disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan
dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran
tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang
sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an
merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif.
Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir
kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di
balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki
hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia.
Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap
ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia
ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan
sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya
sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364).
Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh
berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur
kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu
sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup
itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai
sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera,
tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung,
lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat,
menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga
menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya,
sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang
memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam
bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .
Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut
Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera,
akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan
pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang
betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan
bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan
ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa,
kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang
bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa
syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru
syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad,
me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah
dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam
Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu
cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling
Kawula-Gusti.
Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan
manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami),
tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya
memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi
seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik
negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan
diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga
yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam
semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam
yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala
sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama
Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-
nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. .
Maka memang nama itu perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk
memperdebatkan nama.
Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar
Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan
rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi,
yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun
illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan
wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar
mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya,
tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya).
Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan
Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur
yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur
Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat
dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti
pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya
kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa
manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui
orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh
berada dalam penjara badan wadag tersebut.
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud
adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi
kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah
berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis
Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang
realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia)
dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki
dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil
menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni
Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah,
zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya.
Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa
melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin
buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang
yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar
dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam
pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan
hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah
peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain
terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian
hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah
bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun
yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu
adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain
adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus.
Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut,
namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian
naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah
mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,”
serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah
yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan
bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada
Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan
kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar,
dan jelas keliru.
“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya
ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya
napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh
melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan
dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l
‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang
melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur
lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa,
baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur
seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak
dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena
ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang
sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah
yang ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya
tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya
ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid
berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di
sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi
Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina
berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia
makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal
itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang
akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang
pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui
panas, sedih, haus, dan lapar”. .
“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama
janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu
tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak
barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah,
tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang
merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan.
Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga,
jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu,
mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan
kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” .
“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka
semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain.
Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang
dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai
keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru
menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran
(asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang
dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati,
sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap
ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi.
Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal,
mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu
mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang
menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan
pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan
bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau
menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna
sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus
tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan
sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak
bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi
gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan
ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah
Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada
lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu
sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir
batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya,
pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung
dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau.
Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang
tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya
hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang
hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat,
itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan
yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup
yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang
mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi
orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini
hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu,
dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok
sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah.
Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan
orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul,
tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan
Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para
Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh
Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai
atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah
kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat
barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada
berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini
ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali.
Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam
semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan
merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud
itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali
kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha
Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul
insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu
baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah
rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga
apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung,
karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba
seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para
siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama,
yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai
alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan
dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai
selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara
terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian
musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya.
Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah
menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang
menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu
akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba.
Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan
menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada
patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha,
tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng
Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama.
Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang
dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih
sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi
samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan
mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka
masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat
mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali
orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan
memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan
paduka.”.
”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa
Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh
Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda
Sasmaya; hlm. 24):
3. Sedikit tidur.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua
manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa
memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi
dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan
tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
<Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam
menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian.
Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya jangan terjebak dalam segi
kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.
“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup,
dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati
menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi
mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada
kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu,
jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-
was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan
semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus
bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu
tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya,
berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal.
Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang
pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri,
bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak
berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana
utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal.
Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih
dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam
hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika
menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang
Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” .
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang
hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita
manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat
raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan
punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua
lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena
adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at
adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih
adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang
melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada
empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami
dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat
maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak
ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah
milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang
Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil,
seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung.
Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan
Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah
seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah
tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya
persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut
wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang
masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut
ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh
idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud
syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak
batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah
penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi,
api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin
menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik
secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. .
Nuwun [ ALANGALANGKUMITIR ]