You are on page 1of 4

1

Soekarno : Arwah Leluhur Atau Lelembut ?

Dimuat di KoKi Kolom Kita, Jumat, 19 Maret 2010.

http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1436/soekarno_arwah_leluhur_atau_lelembut_

Di Indonesia, ada tiga aspek yang dikenal dalam mengingat sejarah pada umumnya dan
mengenang para pejuang yang meninggal merebut kemerdekaan pada khususnya;
Aspek pertama menyangkut adanya dimensi ruang, terlihat pada berbagai kompleks
pemakaman (makam pahlawan). Aspek kedua berhubungan dengan kegiatan ritual yang
dinasionalisasikan menjadi bentuk upacara yang dilaksanakan secara berkala di situs
tersebut, yang berpuncak pada ritus " Hari Pahlawan dan peringatan Hari Kesaktian
Pancasila”, dua hari libur politik terpenting selain Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Dimensi
ketiga mengacu pada esensi personifikasi pahlawan yang dihormati/dipuja. Pemilihan tokoh
bersejarah yang mewakili objek penghormatan pada hari-hari penting tertentu dilakukan
dengan seksama dan berhati-hati.

Salah satu tokoh yang paling berarti dalam sejarah Indonesia, setidaknya pada abad ke-20 yang
memainkan bagian penting sebagai politikus terkemuka baik sebelum dan setelah Indonesia
memperoleh kedaulatan nasional adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.

Tidak bisa dibantah lagi kalau Soekarno adalah proklamator kemerdekaan dan ia merumuskan
Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Namun setelah kematiannya, kedua fakta tersebut
tidak dijelaskan dengan tepat kesinambungan peranannya dalam politik Indonesia. Penurunan
kekuasaannya dan penggulingannya, -di kenal dengan nama ‘kudeta Untung’-, serta
pemberhentiannya sebagai presiden pada tahun 1967, menambah ambivalensi posisinya dalam
sejarah kepresidenan di Indonesia.

Kematiannya pada 21 Juni1970 bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan pemerintahan Suharto
menganggap kematian Soekarno sebagai simbol yang kuat dan berbahaya sehingga dibutuhkan 16
tahun setelah kematiannya, agar figur dan nama Soekarno secara resmi «kembali» ke dalam
kehidupan masyarakat Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986.
2

Pemilihan angka 16 sebagai waktu untuk “merehabilitasi” Soekarno terlihat menarik, karena
tidak hanya memunculkan kembali nama Soekarno sebagai pahlawan tepat 16 tahun (sekitar dua
windu dalam kronologi Jawa) setelah kematiannya, namun juga persiapan-persiapan yang
dilakukan sebelumnya.

1 tahun sebelum nama Soekarno terpampang sebagai pahlawan, Pancasila diinterpretasikan dan
diresmikan sebagai prinsip dasar semua politik dan organisasi sosial di tahun 1985. Suharto
membutuhkan Pancasila untuk memperkuat klaimnya dalam kekuasaan. Pengadopsian Pancasila
secara formal ke dalam undang-undang merupakan unsur penting stabilisasi Orde Baru, membuat
Suharto merasa cukup aman untuk membuat beberapa konsesi kecil kepada lawan-lawan
politiknya.

Namun, sekalipun merasa aman tapi jika Suharto diidentikkan dengan pendahulunya (Soekarno),
ia merasakan adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan reinterpretasi sejarah.
Pengadopsian Pancasila ke dalam undang-undang saja belum lengkap menenangkan posisinya.
Oleh karena itu, untuk mengurangi peran Soekarno dalam merumuskan ideologi negara
Pancasila, Suharto “menugaskan” penulis sejarah militer Nugroho Notosusanto menulis ulang
sejarah1.

Masih mengacu pada kelangsungan rehabilitasi figur Soekarno, satu setengah tahun sebelum
Pemilihan Umum 1987, bandara internasional yang baru di Cengkareng diresmikan dengan nama
Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 5 Juli 1985. Namun, gerakan utama rehabilitasi nama
Soekarno dilakukan dengan mendeklarasikan Soekarno sebagai pahlawan secara resmi pada
tahun 1986, 16 tahun setelah kematiannya. Suharto melakukannya dengan sangat hati-hati dan
memeriksa dengan seksama kharisma pendahulunya.

1
Pancasila bukan pemikiran satu orang, melainkan hasil percakapan panjang dari 29 Mei - 18 Agustus
1945, dan penggali Pancasila bukan hanya Soekarno melainkan Yamin dan Supomo, sedangkan jasa
Soekarno hanya pada pemberian nama "Pancasila”. Notosusanto 1981, 24-32.
3

Kehati-hatiannya membuat ia tidak memilih salah satu dari penggunaan kategori pahlawan
umum, tetapi menciptakan hanya satu gelar. Gelar Pahlawan hanya bisa diberikan kepada kedua
orang dan hanya dalam memperingati satu peristiwa bersejarah tertentu: Dwitunggal Soekarno-
Hatta Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Meskipun gerakan ini sekilas terlihat masuk akal dan
wajar, namun dengan «meneropong» pergerakan Suharto secara berkesinambungan, dapat
mengungkapkan dasar dari tujuan politiknya.

Soekarno dihormati - seperti yang ditetapkan secara resmi - hanya pada jasanya pada tanggal 17
Agustus 1945. Kegiatan politiknya baik di dalam gerakan nasionalis tahun 1920-an dan 1930-an
atau karir politiknya pada saat Indonesia merdeka, apalagi pidatonya yang terkenal tentang
Pancasila, tidak ada yang diakui. Dengan bersandingnya Soekarno bersama-sama dengan Hatta
merupakan upaya untuk membatasi nilai dan peran historis Soekarno dalam sejarah. Integrasi ke
dalam jajaran eksklusif pemerintahan juga berarti meningkatkan pengawasan. Dengan
demikian, setelah simbol itu (Soekarno) berada dengan kuat di bawah otoritas negara, maka
penghormatan publik terhadap Soekarno diperbolehkan.

Makam di Blitar yang didirikan untuk Soekarno merupakan perspektif lain dalam strategi Suharto.
Pada awalnya, Suharto, menolak permintaan terakhir Soekarno untuk dimakamkan di Bogor,
dekat dengan istana presiden dan (yang berarti) dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.
Makam di Blitar, yang pada awalnya hanya sebuah makam sederhana orangtua Soekarno,
berkembang menjadi sebuah konstruksi besar yang saat ini menarik ribuan peziarah setiap
harinya.

Kebiasaan orang Indonesia berziarah ke makam pahlawan sudah dikenal sejak tahun-tahun
pertama Republik Indonesia berdiri. Di tahun 1957, Soekarno membangun sistem pengenangan
terhadap pahlawan, dimana hari Peringatan Pertempuran Surabaya menjadi hari libur nasional
untuk mengenang para pahlawan Indonesia. Sampai hari ini, tanggal 10 November menjadi salah
satu tanggal yang paling sakral dalam tanggal-tanggal liburan politik di Indonesia.

Soekarno mulai menciptakan sistim formal untuk meningkatkan nilai kepahlawanan, ia mulai
mengembangkan semangat patriotisme mengenang pahlawan dengan memusatkan dimensi ritual
untuk menghormati para leluhur politik. Ia mengembangkan serangkaian upacara yang rumit
yang juga dapat meningkatkan legitimasi pemerintahannya. Pengambilalihan kekuasaan yang
tiba-tiba pada tahun 1966, bagaimanapun, tidak mengakibatkan perubahan signifikan dalam
politik pahlawan-isme. Suharto terbukti menjadi penerus yang setia dalam hal ini, ia mengubah
isi ideologis tetapi tidak menyentuh ritual asli Hari Pahlawan itu sendiri.

Pemerintah Orde Baru mulai melakukan upacara ziarah tahunan ke makam Soekarno. Pada Hari
Pahlawan 10 November 1986, setelah Soekarno ditetapkan menjadi Pahlawan Proklamator pada
tanggal 23 Oktober 1986, wakil ketua DPR/MPR RI saat itu, M. Kharis Suhud (bukan Suharto
sendiri), memimpin langsung delegasi pertama dari Jakarta untuk memberikan penghormatan
dengan berziarah ke Blitar.

Dengan demikian, rezim orde baru berhasil menggabungkan kultus tidak resmi yang telah
dikembangkan di sekitar makam selama bertahun-tahun ke dalam bingkai ritual tahunan negara.
Pengikut Soekarno puas bahwa kelompok mereka akhirnya diterima. Di sisi lain, Suharto bisa
menampilkan dirinya sebagai yang tokoh setia dan saleh dan diakui sebagai bagian dari
“Keturunan Pendiri Republik”.
4

Ketika Suharto tidak bisa mengenyampingkan Soekarno, baik secara politis ataupun secara ritual,
Suharto selalu menekankan pembaktian dirinya terhadap para pendahulu dan mendefinisikan
peranannya terhadap Soekarno - sesuai dengan tradisi Jawa - bagaikan anak terhadap ayahnya.
Hal ini merupakan hal yang penting karena isu perebutan kekuasaan dari Soekarno adalah sebuah
isu terbuka yang kontroversi.

Suharto selalu menekankan bahwa ia mendapatkan kekuasaan sesuai dengan konstitusi. Sudah
diketahui secara luas - terutama setelah debat publik- bahwa peristiwa pada awal tahun 1967
dimana para anggota MPRS menolak pembenaran Soekarno dan akhirnya memilih Suharto sebagai
Pejabat Presiden, merupakan tindakan yang dengan hati-hati dipilih oleh Suharto sendiri.
Kritikan yang berisikan tindakan inkonstitusional selalu menjadi isu sensitif bagi kekuasaan
Suharto dan selalu dianggap sebagai serangan terhadap Stabilitas Nasional.

Dengan berkurangnya peran Soekarno dalam sejarah menjadi proklamator kemerdekaan, maka
Suharto dengan mudah bisa mengidentifikasikan dirinya sejajar dengan para pendahulunya.
Dengan demikian ia bisa meningkatkan prestise-nya, terutama di mata para masyarakat Jawa
dan para pengikut Soekarno, dan dengan demikian dapat memenangkan suara dalam Pemilihan
Umum 1987.

Hingga saat ini, sosok Soekarno masih menjadi simbol pertentangan dan kekuatan dalam proses
politik di Indonesia. Ia menjadi magnet bagi kelompok-kelompok oposisi dan berpotensi menjadi
ancaman bagi pemerintahan yang ada. Figurnya dalam kancah politik seolah bagaikan lelembut,
menghantui manusia selama ia tidak diperlakukan dengan benar oleh mereka. Rehabilitasi dan
penggabungan ke dalam jajaran resmi adalah bagian dari upaya untuk tetap dan memenuhi
keinginan arwah sehingga menjadi arwah leluhur, arwah yang tidak berbahaya.

Disadur dari: Schreiner, Klaus H., “National ancestors: the ritual construction of nationhood”, in “The
potent dead. Ancestors, saints and heroes in contemporary Indonesia”, ASAA Southeast Asia Publication
Series, Australia, 2002, hal 183-201.

Sumber gambar: KoKi Kolom Kita. http://kolomkita.detik.com

You might also like