You are on page 1of 6

Menikahi TIGA Bocah Kecil. Mengikuti Sunnah Rasullulah?

*Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti Sunnah Rasullulah.

Advice: the following material contains religious discussions.

Dear Zev, Kokiers, kokoers dan komentators, sebelum kutuliskan kata-kataku, ada
baiknya kembali saya memberikan sedikit info tentang latar belakang profesi saya yang
adalah seorang antropolog. Sebagai seorang antropolog, saya diharuskan untuk
memisahkan dengan jelas, mana informasi dan fakta, mana yang merupakan pendapat
saya. Oleh karena itu, saya sudah dibiasakan dan diwajibkan terbiasa untuk melihat dan
menerima perbedaan. Maka, sekalipun saya berkolaborasi untuk menulis suatu tema
yang berbeda dengan agama saya, namun bagi diri ini, bukanlah suatu hal yang
bertentangan. Tulisan bagian saya yang berjudul Pilih, ambil, coret lainnya. Saya
(sudah) mengikuti Sunnah Rasullulah, saya buka dengan sekilas sejarah tentang Nabi
Muhammad S.A.W.

Muhammad ibnu Abdillah dilahirkan di Mekah pada tahun 569 (Hamidullah,1969:10).


Pada tahun 594, saat beliau berumur 25 tahun, beliau menikah dengan seorang JANDA
yang berusia di atas beliau, bernama Khadijah bint al-Khuwaylid, berumur sekitar 40
tahun.

Khadijah adalah seorang wanita kelas atas diantara para Quraish. Kehidupannya yang
bersih dari cacat dan noda membuat beliau terkenal dengan panggilan Al-Tâhirah, "The
pure lady". Pernikahannya dengan Nabi Muhammad S.A.W memberikan kontradiksi akan
pendapat tentang gambaran wanita Arab yang pasiv, modest dan tertutup. Sebagai
informasi tambahan, pada saat jaman Khadijah hidup, sistim sosial masyarakat Arab
bersifat matrilineal (garis keturunan ibu).

Dalam tradisi ini, perempuan bisa menjadi “pemimpin” untuk memungkinkan wanita
meminang seorang lelaki untuk menikah dengannya. Pernikahan dilakukan oleh Nabi
Muhammad S.A.W pada masa muda dan beliau setia mendampingi SATU-SATUNYA istri
beliau, hingga ajal menjelang Khadijah, datang memisahkan mereka berdua. Pernikahan
MONOGAMI yang berusia sekitar duapuluh limatahun terputus oleh kematian. Pada saat
itu Nabi Muhammad S.A.W. berusia lima puluh tahunan.

Setelah kematian Khadijah, Nabi Muhammad S.A.W.menduda selama kurang lebih tiga
tahun lamanya. Kematian Khadijah sangat memukul kehidupan Nabi Muhammad S.A.W.
Tahun-tahun yang penuh dengan duka bagi Nabi Muhammad S.A.W., seorang suami yang
ditinggalkan istrinya, tahun-tahun ini dikenal sebagai tahun berkabung ‘am al-huzn.

Pernikahan kedua Nabi Muhammad S.A.W adalah dengan seorang JANDA bernama
Sawdah Bint Zam'ah Ibn Qays dari suku Quraysh, Makkah. Sawdah termasuk dalam
rombongan muslim yang berimigrasi ke Abyssinia dengan suaminya, Sakran bin' Amr.
Setelah kematian Sakran bin' Amr suaminya, Sawdah mengalami masa-masa sulit dan
berat untuk beradaptasi dengan keadaan yang berbeda dengan tempat tinggal
sebelumnya, ditambahkan lagi dengan kepergian suaminya untuk selama-lamanya.

1
Nabi Muhammad S.A.W pun mengalami hal yang sulit setelah kematian Khadijah, apalagi
dengan adanya dua anak perempuan yang masih membutuhkan perhatian yang besar,
Umm Kulthûm dan Fâtimah. Seorang perempuan bernama Khawlah bint al-Hakeem, yang
juga merupakan sahabat terdekat Nabi Muhammad S.A.W, turut bersedih hati melihat
keadaan beliau dan menyarankan beliau untuk menikah lagi. Reaksi pertama dari Nabi
Muhammad S.A.W saat mendengarkan saran dari Khawlah adalah menangis dan berkata
“Menurutmu, apakah ada yang bisa menggantikan Khadijah?”.
Namun Khawlah melanjutkan dengan mengingatkan pada situasi keadaan yang
membutuhkan kehadiran seorang istri untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
seorang ibu untuk mengurus anak-anak. Khawlah memberikan dua pilihan kepada beliau,
seorang perawan muda bernama Aisya dan seorang janda berusia setengah baya
bernama Sawdah. Nabi Muhammad S.A.W berkata, “Pergilah ke rumah keluarga
Sawdah, dan katakanlah, aku hendak meminangnya menjadi istriku.”

Kurang lebih setahun setelah pernikahannya dengan Sawdah, Nabi Muhammad S.A.W
dijodohkan secara resmi dengan Aisya bint Abu Bakr. Abu Bakr, ayah dari Aisya, adalah
seorang yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad S.A.W, bahkan hubungan mereka
dipererat dengan mengangkat Nabi Muhammad S.A.W sebagai saudara. Abu Bakr adalah
seorang yang sangat menyayangi Nabi Muhammad S.A.W, bahkan ia sangat menginginkan
memperkuat hubungan kekeluargaan mereka dengan pernikahan, keinginan tersebut
dikokohkan dengan menjodohkan dan menikahkan anak perempuannya dengan Nabi
Muhammad S.A.W.

Saya sengaja menulis kata dijodohkan disini, karena maksud dari konotasi dijodohkan
adalah pengikatan hubungan pernikahan secara resmi tanpa melakukan hubungan
seksual. Aisya dijodohkan pada usia dini, dan baru memasuki hubungan perkawinan
suami istri saat ia memasuki masa pubertas (bulugh), dimana secara fisik, badaniah
sudah siap melakukan proses reproduksi.

Setelah pernikahannya yang ketiga dengan Aisya, Nabi Muhammad S.A.W menikah
kembali dengan 9 orang janda dan satu orang budak perawan (Maryah Qibtiyah).
William Montgomery Watt menulis bahwa, struktur keluarga Arab pada awalnya
berdasarkan matrilineal, lalu kemudian berubah menjadi patrilinial (garis keturunan
ayah). Sejak terjadinya perang Uhud pada tanggal 23 Maret tahun 625 (3 Shawwal 3 AH),
banyak perempuan yang kehilangan suami dan anak-anak yang kehilangan ayah mereka.

Dalam kejadian ini, maka struktur poligami dilakukan untuk melepaskan dan mengangkat
penderitaan para janda dan para anak yatim (the “ayah” of polygamy, Surat al-Nisa’ 4:
34). Namun, kebanyakkan dari para lelaki muslim, menginterpretasikan kebijaksanaan
“ayah” untuk memperkuat “kepentingan” mereka dalam berpoligami (cat: mempunyai
banyak istri) dengan menggunakan nilai-nilai karakteristik patriotik. Pergeseran dari
struktur keluarga yang bersifat matrilineal ke patrilineal semakin besar bersamaan
dengan meningkatnya nilai karakteristik patriotik dalam masyarakat islam (Watt, 1956).

Pada tahun 632, diusianya yang ke 63 tahun, Nabi Muhammad S.A.W menghembuskan
napas terakhir.

Kembali kepada judul Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti Sunnah
Rasullulah, saya kembali kepada kisah “besar” Ki Puji dan ulahnya.

2
Apa yang benar dan apa yang salah, ditetapkan dalam norma-norma/hukum yang ada.
Seseorang yang dianggap imoral adalah jika mereka melanggar norma-norma sosial yang
berlaku pada masyarakat. Relativitas moral akibatnya mampu membuat manusia (bisa)
mengekspose standar dari hipokrit menjadi yang benar. Norma-norma yang berlaku pada
jaman Nabi Muhammad S.A.W adalah norma budaya Semitic (Yahudi, Arab, Syria, dll),
yang menyatakan bahwa seorang wanita yang sudah memasuki masa pubertas adalah
wanita yang sudah siap memasuki masa reproduksi.

Dalam pernikahan Aisya dengan Nabi Muhammad S.A.W, dimana Aisya berusia muda,
memacu perdebatan sengit akibat adanya penafsiran negatif dalam perkawinan mereka.
Saya berpendapat bahwa penafsiran tersebut negatif adanya, dikarenakan pada Semitic
Culture, perkawinan dengan wanita ataupun perempuan yang sudah memasuki masa
pubertas adalah hal yang dianggap normal dalam arti, secara fisik badan mereka sudah
siap melakukan proses reproduksi. Adapun masa pubertas pada tiap-tiap negara
sangatlah berbeda. Umumnya, mereka yang tinggal di negara bermusim dingin, lebih
lambat mengalami pubertas dibandingkan mereka yang tinggal di negara bermusim
panas saja (Ploss, Bartels, Bartels, 1988:563).

Ada beberapa teori timeline yang diberikan oleh para sejarawan tentang usia Aisya.
Sebuah buku yang berjudul "Hazrat Aisha: A study of her age at the time of her
marriage", ditulis oleh Ruqaiyyah Waris Maqsood, dengan berdasarkan penelitian dari
Maulana Muhummed Farooq Khan. Buku ini diterbitkan oleh IPCI (UK) pada tahun 1996.
Buku ini mengupas akan keakuratan informasi yang diberikan oleh sejarawan Hisham ibh
Urwah.

Kembali kepada era tahun 600 an, kedewasaan mental seorang perempuan pada era ini
berlangsung lebih cepat dibandingkan pada masa sekarang. Pada umumnya, mental
perempuan (sudah) dipersiapkan sejak dini oleh keluarga (sebagai lingkungan yang paling
dekat) dengan pengetahuan akan konsep suatu pernikahan. Keadaan pada jaman tahun
600 an, jauh berbeda dengan situasi sekarang, dimana saat sekarang, perkembangan
kedewasaan mental berevolusi dengan metode yang berbeda, dibandingkan jaman dulu,
ditambah dengan lingkungan keluarga serta sekitarnya yang tidak selalu mempersiapkan
mental anak sejak dini tentang suatu konsep pernikahan.

Tulisan saya diatas bukanlah hendak meresmikan perbuatan Ki Puji sebagai perbuatan
yang sesuai dengan norma-norma. Namun menekankan, perbedaan pada, standar dari
norma-norma, budaya konsep pernikahan, penerapan pola pernikahan, pola masyarakat
sosial, serta kondisi hidup masyarakat yang jauh berbeda dibandingkan saat era tahun
600-an.

Ada sederet alasan akan pernikahan usia muda dalam Semitic culture, namun satu hal
yang patut dicatat mengenai perbedaan penerapan konsep pernikahan, KEDUA BELAH
PIHAK berada dalam lingkungan lingkaran keluarga besar yang sudah disiapkan terlebih
dahulu oleh lingkungannya, pernikahan dilakukan dalam lingkup yang terbatas (the
larger family circle), serta KEDUA BELAH PIHAK masing-masing memahami serta
menerapkan pola budaya ini secara turun temurun.

Berbeda dengan pernikahan usia dini yang dilakukan oleh Ki Puji, yang (mencoba)
memakai nilai karakter patriotik, dengan alasan membantu, masalah perekonomian dll,
namun menerapkan pola PILIH-PILIH SIAPA (anak kecil) yang harus dibantu. Dalam kasus

3
ini, cerita menjadi berbeda, dengan pola dasar konsep pernikahan yang berbeda,
lingkup ruang yang berbeda dan penerapan budaya yang berbeda. Menurut pendapat
saya, adanya penerapan budaya yang berat sebelah, mendasarkan nilai karakteristik
patriotik yang tidak jelas, kasus ini (Ki Puji dan para “ki Puji lainnya”) cenderung lebih
mengutamakan alasan untuk kepentingan pribadi, yang lebih jauh lagi menjurus kepada
sexual misconduct.

Kenapa saya memberi judul Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti sunah
Rasullulah ?
Kembali kita lihat poin-poin penting sejarah Nabi Muhammad S.A.W dalam kehidupan
pernikahannya.
1. Menikahi seorang Janda yang berusia diatas usianya sendiri.
2. Hidup secara monogami hingga kematian istri.
3. Memilih untuk menikahi janda berusia setengah baya, dari dua pilihan yang
diberikan, seorang perawan muda (Aisya) dan seorang janda berusia setengah
baya (Sawdah Bint Zam'ah Ibn Qays).
4. Menikahi 11 janda dan dua orang perawan (Aisya bint Abu Bakr dan Maryah
Qibtiyah).
5. Dari ke 11 janda, kebanyakkan sudah berusia lanjut, kehilangan suami, korban
perang, kehilangan tempat tinggal dan saudara.

Sekarang bagaimana dengan penafsiran kata “Saya punya dasar agama juga. Enggak
ngawur. Saya mengikuti sunnah rasullullah”?
Marilah kita bersama-sama mencoba melihat kebanyakkan dari “mereka” yang
mendeklarasikan diri bahwa “ia mengikuti sunnah rasullullah” dan membandingkan
bagaimana sejarah berkata (dan menulis) akan sebenarnya Nabi Muhammad S.A.W
bersikap dan bertindak.

Dari lima point diatas, berdasarkan kenyataan yang terlihat pada dunia kehidupan
sehari-hari ataupun berita dari media cetak dan televisi, terpampang hanya segelintir
kaum lelaki muslimin yang BENAR-BENAR menjalankan sunnah (tindakan) rasullullah yang
sesungguhnya dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W dalam kehidupannya. Sedangkan
sisanya, yang kebanyakkan berjumlah mayoritas, lebih sering bertindak dan bersikap:
Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti sunah Rasullulah.

Sekarang saya kembalikan pertayaan-pertanyaan kepada para pembaca, dengan


mendasarkan pada riwayat sejarah Nabi Muhammad S.A.W:

1. Apakah anda (laki-laki berusia duapuluh tahunan) bersedia menikahi seorang


janda yang berusia diatas usianya sendiri (empatpuluh tahunan)?
2. Apakah anda (laki-laki) bersedia hidup secara monogami hingga kematian istri?
3. Apakah anda (laki-laki) mampu MEMILIH untuk menikahi Janda berusia
SETENGAH BAYA diantara dua pilihan, yaitu seorang perawan muda dan
seorang janda berusia setengah baya?
4. Apakah anda (laki-laki) mampu menikahi (hanya) dua orang perawan dan
(selebihnya adalah )11 janda?
5. Apakah anda (laki-laki) bersedia menikahi 11 orang janda yang mana sebagian
besar adalah janda yang sudah berusia lanjut, kehilangan suami, korban
perang, kehilangan tempat tinggal dan saudara?

4
Saya memang bukan seorang muslimah, dan saya hanya tahu segelintir akan sejarah
besar dari Nabi Muhammad S.A.W, namun pergerakan dan pergeseran nilai moral dari
sunnah (tindakan) rasullullah terlalu besar dan mencolok mata, untuk diabaikan begitu
saja. Dasar suatu moralitas, menjadi bagaikan sekeping uang logam bermata dua, yang
diciptakan demi kepentingan sepihak dengan memanipulasi moralitas suatu norma-
norma.

Suatu struktur keluarga patrilineal, yang seharusnya dilakukan untuk mengangkat nilai
lebih dari karakteristik patriotik, malah menjadi struktur keluarga “pahlawan
kesiangan”. Suatu norma yang seharusnya berbasiskan suatu tindakan luhur, dipilih yang
“enaknya” saja lalu dipraktekkan dengan saenak jidatnya, kemudian menjadi sikap yang
“diagung-agungkan” oleh sebagian pihak.

Suatu sikap yang bersifat lebih dalam konsep choose & pick, “saya pilih (yang enak),
saya ambil, saya coret sisanya (yang tidak enak). Saya berada dalam kebenaran
(absolut).” Lalu, pantaskah kita menonton dan membiarkan mereka mencontoh semau
hati sendiri, membiarkan nilai kebajikan bergeser semakin jauh lagi dengan alasan
bertindak secara patriotik?

Mampukah hukum di Indonesia bertindak sesuai dengan norma-norma hukum yang sudah
tercantum dalam undang-undang perkawinan di negara Republik Indonesia, yang
(sebenarnya) tidak menentang ataupun bertentangan dengan Sunnah Rasullulah yang
sesungguhnya telah tersurat?

Pantaskah Ki Puji mengatakan “sudah mengikuti sunah Rasullulah”, jika alasan sang Nabi
sendiri menikahi Aisya BUKAN karena usianya yang muda, BUKAN karena “suka sama
yang kecil”?

“I will not follow your vain desires: if I did I would stray from the path and be not of
the company of those who receive guidance" Qur'an - Surah al-An'aam - 6:56

We hear and we obey, surrender to The Creator...

Salam sejahtera,
J. Arneld Maiullari

Referensi:
o Al-Isabah Fi Tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar Al-Asqalani, vol.4, Maktabatu'l Riyadh Al-
haditha, Al Riyad, 1978, p.377
o Mahdī Rizq Allāh Aḥmad, Syed Iqbal Zaheer “A Biography of the Prophet of Islam:
In the Light of the Original Sources, an Analytical Study”, Darussalam, 2005, P.
253.
o Muhammad Hamidullah, “Introduction to Islam”, Centre Culturel Islamique, Paris,
1969, p.12
o Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Arabic, dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, vol.6, Beirut,
p.210.

5
o Ploss Herman H., Bartels Max and Bartels Paul, “Woman”, Volume I, Lord &
Bransby, 1988, p.563.
o Ruqaiyyah Waris Maqsood, “Hazrat Aisha: A study of her age at the time of her
marriage”, IPCI (UK),London, 1996.
o Ruqaiyyah Waris Maqsood, “Thinking about Marriage”, The Muslim Women’s
Institute, in association with The Muslim Parliament of Great Britain, London,
2005, P.12
o Tarikhu'l-umam wa'l-mamluk, Al Tabari, vol. 4., Arabic, dara'lfikr, Beirut, 1979,
p.50
o The Beloved Companions: Mothers of the Believers: Sawdah Bint Zam'ah Ibn Qays
Amr Khaled.
o Watt, W. Montgomery, “Muhammad at Medina”, Oxford University Press, London,
1956.
o Watt, W. Montgomery, “Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali”, Edinburgh:
University, 1963.
o Zain, Syed Abu Zafar, “The Prophet of Islam, the Ideal Husband”, Kazi
Publications, Lahore , 1983, pp. 10-12.

You might also like