Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelainan Afektif
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan
gangguan afek (mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain
bersifat sekunder. Afek bisa terus menerus depresi atau gembira (dalam
mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang yang sama, karena
itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis
serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya
ada disebut bipolar (Ingram dkk, 1993).
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan
dapat dutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk
sebagai contoh adalah depresi, elasi dan marah. Kepustakaan lain,
mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan hati”
seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah (Ismail dkk, 2010).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk
perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi
vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap)
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut
PPDGJ-III (Depkes RI,1993):
F30 Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
F30.9 Episode Manik YTT
F31 Gangguan Afektif Bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala
psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau
sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa
gejala psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat
dengan gejala psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan
gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap
lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang
lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT
B. Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan
depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang
(distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas,
menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua
aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).
C. Angka Kejadian
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar
10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah
didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi
5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dkk, 2010).
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga
adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor
psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang
dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail dkk, 2010).
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi
gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita
dibandingkan dengan laki-laki (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain
disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi
dibandingkan laki-laki (Akhtar, 2007). Walaupun alasan adanya
perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut
didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan hormonal, efek
kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model perilaku
keputusasaan yang dipelajari (Kaplan, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan
bahwa prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria
kemungkinan dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon
yang langsung mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan
mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual
Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat
diperparah dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan
orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara
usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak
atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat
diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif
berat adalah kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien
mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif
berat juga memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia.
Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia
kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi
tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang
terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang
didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi
terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah
untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah
namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan
yang bercerai atau berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan
oleh Akhtar (2007) memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari
depresi didapatkan pada pasangan yang bercerai atau berpisah.
D. Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor
dan gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada
anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik
keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor
penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika.
Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang
kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek
psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan
peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa
sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat
berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara
derajat pertama (Kaplan, 2010; Tomb, 2004).
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di
dalam metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter
norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam
penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida
neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan
terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada
pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal
melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian
tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating
Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar
testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).
Gambar 2.1.4.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi
indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5
HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk,
1993).
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol
dan kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian
dexametason. Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason
dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama
pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit
ini dalam keluarga (Ingram dkk, 1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul
amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin
merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi (Ingram dkk,
1993).
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih
banyak peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak
memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan
pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh
menjadi hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi
diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua di
masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram dkk,
1993).
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang
dicintai, pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit
terminal, sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu
episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik,
psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat
gangguan depresif muncul (Ismail dkk, 2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya
(Kaplan, 2010; Slotten, 2004). Satu teori yang diajukan untuk
menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai
episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan
lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem
pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stresor external (Kaplan, 2010).
E. Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang
tercantum di bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya
menderita suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat
dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.
Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala
lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua
pertiga pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang
dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri
mempunyai umur hidup lebih panjang disbanding yang tidak dirawat.
Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi
dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri
dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi
dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami
kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat
dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,
khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun
dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan
pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian
pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur
lebih lama dari yang biasa (Depkes RI, 1993).
G. Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk
kepada DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10
Classification of Mental and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ
(2003), gangguan afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi episode
depresif dan episode depresif berulang, dimana episode depresif sendiri
terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan
untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini
ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik,
episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat
diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi
kriteria diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat
berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis
yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan
(suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk
membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang
yang berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama),
tetapi hanya mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini
boleh jadi karena DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu
banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang
sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya
pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi
penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak
punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran
anak dan lain-lain.
H. Pemeriksaan
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa
instrumen-instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk
membantu memberikan penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi
yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah beberapa instrumen yang
sering digunakan, yaitu:
a. Beck’s Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk
mengukur keparahan dan kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti
yang tertera dalam the American Psychiatric Association's Diagnostik and
Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV) pada
pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan untuk dewasa ataupun
remaja yang berumur 13 tahun ke atascan be used for both adults and
adolescents 13 years of age and older, dan merupakan sebuah ukuran
standar dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk
mengevaluasi dari efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis,
tetapi lebih kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat
keparahannya sesuai dengan criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan
yang tertera pada BDI II menilai gejala-gejala khas dari depresi seperti
gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan diri, perasaan
bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri sendiri,
pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas,
penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja,
insomnia, kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan
libido.
I. Diferensial Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada
penderita depresi, dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga
menyebabkan terapi yang inadekuat untuk pasien. Berdasarkan
kepustakaan, ada beberapa kondisi yang harus benar-benar diperhatikan
sebagai diagnosa banding dari depresi (Kaplan, 2010), diantaranya adalah:
1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,
2. Pasien yang terdapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat
badan harus diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,
3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk
sindrom imunodefisiensi sindrom (AIDS),
4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis
lainnya,
5. Penyakit Parkinson adalah masalah neurologis yang paling umum
bermanifestasi sebagai gejala depresif,
J. Terapi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan
pada sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua,
pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga,
suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya
gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya (Kaplan, 2010).
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan
obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan
kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat.
Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil
dari farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH, 2002).
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam
efek farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk
pengamatan bahwa pasien individual mungkin berespons terhadap
antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk
membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan (Kaplan,
2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada
proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang
memiliki efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat
ambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim
monoamine oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter
yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin.
Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi
dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari
sistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang
akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan
MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi
golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum
digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan
depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan trisiklik ini dapat dibagi
menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin
sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier
(imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena
mempunyai efek samping yang lebih minimal. Obat golongan
tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan
harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik (Kaplan, 2010).
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder
diduga bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin,
sedangkan amin tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps
neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi akibat
kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih
responsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).
K. Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang
panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif
yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian
besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya
gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama
gangguan depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam
tahun pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi
indikator prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan
depresif berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi
keluarga yangstabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam
waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih
dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang
baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan
distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan
kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya. (Kaplan,
2010).