You are on page 1of 13

SAMANDAYU

KELAMIN PAMAN

Kelamin Paman - Samandayu

Kelamin Paman (Antologi Cerpen) Oleh: Samandayu Copyright 2011 by Samandayu

www.wanasedaju.blogspot.com sed4yu@yahoo.com

Desain Sampul: Samandayu

Untuk Sekte Saman

Kelamin Paman - Samandayu

DAFTAR ISI

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Hujan Mereka Menyebutku Cina Tanda Kelabang di Atas Puting Saya Ketika Waktu Berhenti Luka di Bibir Pantai Hitam Kelamin Paman Muda dan Satir Asap Keluarga Pelacur Nyempet/Mairil Lelaki Terkutuk Juda dan Sibil

Hujan
KEDUA anak laki-laki pengojek payung yang mengharapkan datangnya hujan deras itu saling tatap dengan wajah riang. Mereka kemudian berlarian di antara hujan dengan kaki-kaki kecilnya yang lincah "Jangan sampai ke terminal. Bahaya kalau ketemu Bang Ratno," teriak Yanwar kepada Kahfi sebelum keduanya berlainan arah. Kahfi mengangguk tanda mengerti. Anak itu juga takut sesuatu hal yang tidak diinginkannya terjadi. Ia menatap langit yang menghitam seusai mengenyahkan bayangan yang menakutkannya itu. Kilatan petir datang seakan tiada ada habisnya menerangi ruas-ruas jalan. Sementara gemuruhnya menggentarkan jantung siapa saja yang mendengarnya. Hujan sore itu deras sekali. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Mereka menggunakan emperan gedung, depan etalase toko, halte, atau tempat telefon umum untuk berteduh. Kahfi memicingkan matanya agar bisa

Kelamin Paman - Samandayu

Asap
NGGAK akan ada asap kalau nggak ada api. Dia itu perempuan jadi-jadian! itu sudah dengar dan tetanggatetangga. Katanya dia suka rebut suami orang. Bapak jangan mau jadi korban dia selanjutnya! Jangan sekali-kali berkata seperti itu!

Bagaimanapun dia jauh lebih baik daripada kamu! Hati Bayu selalu merasa terluka setiap kali mendapati pertengkaran kedua orang tuanya. Anak berusia 7 tahun itu selalu menyudutkan dirinya di dalam kamar sambil menutup kedua telinganya agar suara teriakan-teriakan itu tidak ia dengar. Seusai mengintip dari balik pintu kamarnya, ia menghampiri ibunya. Saat deru sepeda motor terdengar kemudian, Bayu tahu kalau bapaknya sudah pergi meninggalkan rumah. Namun yang kembali membuatnya ngeri, asap kelabu kembali berkelebat-kelebat di atas kepala ayahnya yang sedang men-starter sepeda motor.

Perempuan jadi-jadian yang di bilang Ibu itu selalu datang ke rumah kalau Ibu sedang mengajar. Ibu pun pada mulanya menerima kehadiran Salimar yang kala itu hendak menawarkan keperluan sandang rumah tangga dengan memakai jasa kredit. Tapi ada satu hal yang membuat Bayu bingung. Perempuan itu temyata punya jakun dilehemya. Bukankah seorang wanita tidak mempunyai jakun? Dia menggunakan riasan amat tebal, bibirya padat merah marun, hidungnya besar penuh isian silikon, belahan dadanya kelihatan sedikit, dan rambutnya terurai lurus dengan cat warna merah gelap. Ibu bilang, seseorang yang bemama Salimar itu waria. Waria adalah laki-laki yang mempunyai tabiat untuk berperilaku, berdandan, dan berkehidupan sebagaimana perempuan. Mereka telah dikatakan sudah menyalahi takdir karena Tuhan menciptakan manusia dengan duajenis kelamin yang berbeda. Laki-laki mesti berlaku sebagaimana laki-laki, begitu pula dengan perempuan. Menyukai lawan jenis adalah lazim, tetapi menyukai sesamajenis adalah haram. Begitulah kata Ibu. Kedatangan Salimar sudah terlalu sering sementara Ibu tidak tahu. Selama ini Salimar yang mempunyai jasa

Kelamin Paman - Samandayu

Nyempet/Mairil
1997 MALAM sebelumnya, para santri tidak bisa tidur karena membicarakan seseorang yang akan masuk pesantren. Salah satu diantara kami mengatakan kalau anak itu juga tampan. Aku dan kelima rekanku dalam kamar tak habis-habis membicarakannya. Dan aku yakin di kamar yang berbeda, mereka juga sedang memperbincangkan topik yang sama. Karena inilah hiburan kami yang paling menarik. Sebab tak ada TV, tak ada radio, tak ada telepon. Mengobrol ngalor ngidul adalah hobby yang sering kami lakukan menjelang petang, usai pengajian malam dilakukan. Di muda pagi-pagi buta, setiap seperti pintu biasanya sambil kami

dibangunkan tepat di jam setengah empat. Seorang ustad menggedor berteriak membangunkan. Aku dan kelima teman santri di kamar yang sama bangun dan menuju kamar mandi yang berderet di lantai bawah. Setelah mandi kami berwudhu dan wajib
8

berada di masjid pada jam setengah lima. Setelah itu aktivitas yang sama pun kami lakukan: salat subuh, mengaji, mendengarkan ceramah, dan salat dhuha. Di jam enam, kami punya waktu setengah jam untuk sarapan dan berseragam sekolah. Setelah itu kami harus tiba di kelas madrasah aliyah (setara dengan SMA), pada jam setengah tujuh. Waktu istirahat selanjutnya ada di jam sembilan sampai 30 menit mendatang. Itu pun biasa kami pakai tidur dan membaca di perpustakaan. Selebihnya ada yang menggunakan lapangan untuk bermain sepak bola atau badminton. Kami keluar dari kelas jam 12. Setelah itu kami tidak lantas pulang ke asrama. Kami langsung bersuci dan melakukan salat zuhur, kembali mendengarkan ceramah dari ustad yang berbeda, sampai tiba jam 13. Setelah itu, inilah waktu luang kami yang paling berharga. Paling tidak sampai jam 15. DI waktu rehat itu aku biasanya menghabiskan waktu di belakang gedung asrama. Dua diantara temanku biasanya merokok di situ. Sisanya mengobrol sambil makan cilok. Tidar dan Sadam memiliki badan yang tegap. Diantara kami berlima, keduanyalah yang tampak kokoh seperti seekor kuda. Tidar memiliki darah Medan dengan struktur wajah yang keras sementara Sadam memiliki garis
9

Kelamin Paman - Samandayu keturunan Arab. Keduanya dikenal perokok berat dan selalu mencuri-curi kesempatan untuk mengisap tembakau. Tapi mereka harus lebih berhati-hati. Sebab pernah suatu kali Sadam, Tidar dan dua santri lain dari kamar sebelah, dikurung semalaman karena kedapatan merokok. Sementara Hanafi memiliki tubuh paling mungil diantara yang lain. Kulitnya pun pucat seperti mayat hidup. Karena memakai kacamata minus, orang-orang sering memanggilnya Nobita. Awal kedatangannya dua tahun lalu sempat menjadi bahan olokan dan bulan-bulanan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama setelah ia mendapatkan mairil yang tepat untuknya. Ia pun dilindungi dan tak lagi diintimidasi. Satu lagi bernama Fian. Satu-satunya di pesantren yang memiliki kulit terang dan bagus karena ia memiliki darah Tionghoa. Dahulu ia menjadi pribadi pendiam karena dideskriminasi golongan pribumi. Lambat laun, ia tak lagi minder dengan keadaan dirinya. Dengan kepemilikan wajah dan tubuh yang proporsional seperti yang dipunyainya, seharusnya ia tak harus menjadi rendah diri. Dan hanya dalam dua bulan setelah ia tiba di pesantren, ia sudah

10

Kelamin Paman
KUKUH tak kehabisan akal untuk mengisengi pamannya. Ia tidak lagi memasukkan upil atau air pipis ke dalam cangkir kopi untuk pamannya itu, melainkan kerak tai ayam yang ia pungut di belakang rumah. Beberapa menit kemudian setelah ia menyiapkan kopi di meja makan untuk sang paman, ia akan mengintip di balik tembok dapur. Saat pamannya menyelurup kopi buatannya itu, ia membekap mulutnya sendiri. Selain menahan tawa, ia juga menahan rasa mual. PADA saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung, Pak Guru kelihatan malas mengajar pagi itu. Jadi ia memberikan tugas membuat puisi selama setengah jam. Setelah itu murid-murid ia tinggalkan. Kukuh tidak mendapat ilham apapun untuk membuat larik-larik puisi. Sementara teman-temannya yang lain mulai menulis dengan antusias. Tiba-tiba ia ingat pada peristiwa sore kemarin. Atau lebih tepatnya pada sore-sore yang telah ia lewati bersama pamannya. Ia pun menulis puisi tentang hal itu. Pak Guru pun datang, puisi dikumpulkan. Muridmurid berseragam putih abu kembali ditugaskan membaca
11

Kelamin Paman - Samandayu cerpen di buku cetak sementara Pak Guru memeriksa puisi-puisi anak didiknya di meja. Beberapa lama kemudian Pak Guru memanggil Kukuh. Kukuh pun beranjak dari bangkunya dan menghadap. Puisi ini kamu yang buat? tanya guru yang diidolakan murid-murid perempuannya karena ketampanannya itu. Iya, Pak, jawab anak itu. Kenapa kamu menulis puisi seperti ini? Memang seharusnya seperti apa, Pak? Ini terlalu.. Kau tahu? Terlalu porno, jawab Pak Guru sambil berbisik. Tapi itu diambil dari keseharian saya, Pak. Itu tidak porno. Pak Guru kelihatan berpikir. Sesaat kemudian ia berkata, jam istirahat kamu temui saya. Baik, Pak. Kukuh kembali ke tempat duduknya. Namun Pak Guru memandang lekuk tubuh bagian belakang dan cara berjalan anak itu sambil menelan ludah.

12

***

13

You might also like