You are on page 1of 17

AKU HANYA PUNYA SATU PAKET AIRMATA Pulang dari berjuang di jalanMu Perang batin pun seru dalam

kalbu Kata hati hendak bawa seuntai bahagia Untuk anak-anak dan istri tercinta Memang tenang lenggang, tegar ini dada Namun aku manusia, tak bisa merajut rasa Terlintas bayang linang-linang airmata Mengaliri sayatan luka hakikat tresna Oleh-oleh apa kuberikan pada anak dan istri Kuketuk pintu rumah dengan desir-desir hati Kutatap seribu harap pada sembab mata Nafisa Maaf, Mi, aku hanya punya satu paket airmata Singapura, 2003

SAMPAI NEGERI RIDHOMU Biarlah tangisan istri dan anak-anak kami Menjadi lautan airmata, untuk kami arungi Demi sampainya rindu PadaMu dan RasuMu Biarlah tangisan istri dan anak-anak kami Menjadi layar perahu, biar ditiup angin Hingga laju dan tiba di negeri RidhoMu Biarlah ceceran luka hati kami Menjadi seribu tanda, catatan bagi saksi Perjumpaan pecinta dan Cinta nan hakiki Singapura, 2003

JAUH DI RANTAU FI SABILILLAH Jauh di rantau, kuhibur-hibur ini kalbu Khonsa khusyuk mengaji juz amma Khodijah riang mengeja alif ba ta Abu Bakar tidur nyenyak di ayunan Dan ibu mereka, usai menyeka sisa airmata Dengan ujung mukena Singapura, 2003

KESABARAN ISTRI menjelang khuruj fisabilillah Pabila engkau tak mampu Memahami seribu diam istri Pahamilah, wahai sahabatku Kesabaran istri: luas tak terbatas Bertahun-tahun kita arungi Segara airmatanya Bahkan hatinya yang terluka Dijadikannya dermaga Mestinya dengan senyum kita selami Palung terdalam bening perasaannya Sampai kita temukan di dasar rindunya Mutiara-mutiara cintanya yang tersuci Magetan, 2003

DUHAI YANG BERSIMPUH DI ATAS SAJADAH Mukena lusuhnya basah Bersimpuh di atas sajadah Seperti malu menengadah Menanggung gemunung salah O, siapa yang mau menjadi muara Bagi luapan bengawan airmatanya O, siapa yang mau menjadi dermaga Bagi seribu perahu penyesalannya Duhai yang bersimpuh di atas sajadah Jadikanlah malam padang muhasabah Tempat engkau wukuf berserah padaNya Khusyuk mengharap maghfirah dariNya Sesungguhnya tak ada duka Bagi yang kembali padaNya Menggunung tinggi dedosamu Melangit luas rahmat Rabbmu! Magetan, 2003

MERENUNGI BENTANGAN CAHAYA BIOGRAFI Surat Kangen bagi Kang Godi Suwarna, Merenungi bentangan cahaya biografi Nampak diri kita: dua kakek bungkuk Sibuk memunguti detik-detik Tanggal dari tangkai waktu Sementara malam dan sunyi Tak hendak bersekutu kembali Memaksa jelajahi semesta puisi Yang selalu kepayang kita hakikati Lorong-lorong kehidupan kita susuri Di atas bumi yang jenuh dikembarai Lalu hendak kemana kita melangkah Kalau tak untuk muhasabah jalan sejarah Merenungi bentangan cahaya biografi Dua kakek bungkuk mulai istiqamah Saling mengirim hadiah mauizhah Berjanji setia memohon maghfirah! Magetan, 2003

Dari panggung ke panggung sandiwara Surat Kangen untuk Aktor Teater Wawan Sofwan, Dari panggung ke panggung sandiwara Kita bangun kehidupan maya Tempat melebur bahagia dan derita Dimana terlupa: nyata dan tak nyata Lakon-lakon, babak-babak, adegan-adegan Dalam untaian alur dan ribuan percakapan Adalah ramuan sedihpedih nan indah Bagi jamuan permainan memilukan Setiap waktu kita hidangkan pada meja pementasan Lalu dimakan gemuruh tepuktangan penonton Yang kehausan hakikat kepuasan batin Menanti-nanti kembali musim ruhani seni Satu demi satu penonton pulang Tanpa seorang pun mampu menyisakan Walau hanya satu dengung tepuk tangan Untuk disimpan dalam remuk redam perasaan Sedang sedikit pujian, hanya pelipur sementara Bagi yang menyembunyikan airmata Atau yang menyimpan senyum muram Di balik layar hitam Gedung pertunjukan kembali kosong Dan hening Seperti ruang hati yang ditinggal Seluruh perasaannya Bandung, 1994

BAYANG ITU DATANG SILATURRAHMI Mengenang Almarhum Penyair Beni R Bundiman, Ketika sepi mendekap bumi Bayang itu datang silaturrahmi Berjamaah dengan ribuan sunyi Mengetuk-ngetuk pintu nurani Lewat kerinduan dan kesedihan Yang masih terekam dalam batin Ia ziarahi hari-hari hijrahku Di Temboro, miniatur Madinahku Berkali-kali bayang itu kutepiskan Namun ia selalu kembali datang Seolah membawa seribu permintaan Yang membuatnya enggan pulang Sesekali ia mengungkit kenangan Yang sesungguhnya telah kukuburkan Jauh dan dalam, di sarean kulon perasaan Tempat segala kepedihan dimakamkan Hanya doa yang mampu kupanjatkan Untuk seorang teman sekaligus paman : Ya Allah, luaskan kuburnya Sejauh mata memandang! Bogor/Temboro, 2003 sarean=pusara

SIANG YANG BERANJAK PETANG Memandang rinai-rinai anak hujan Menarikan luak-liuk angin Mengingatkanku pada kampung halaman Tersenyum-senyum dalam kenangan Anak-anak nampak dari kejauhan Sedang menikmati suatu permainan Memperindu kembali pada masa lalu Enteng, jenaka, lucu, dan lugu Alangkah senangnya kembali kanak-kanak Melakoni episode kehidupan tanpa beban Menjadi bapak, ibu, atau anak Hanya dalam keluarga dolanan Namun siang yang beranjak petang Mengisyaratkan waktu bagaikan pedang Siap menyembelih angan-angan Dan memenggal impian-impian! Bojonegoro, 2003

Sudah saatnya mencangkuli ladang umur Surat Kangen untuk Penyair Deden A Aziz, Sudah saatnya mencangkuli ladang umur Lalu kita tanami dengan dzikir-dzikir Kataku, sebelum khatam mengaji epilog sajakmu Sebelum linang airmatamu melelehkan gairah hijrahku Kang, bukankah tidak ada hukum penggal Bagi yang gagal memperjuangkan jihad kata Tanya bayangmu, yang mulai berbenah untuk istirah Di dinihari, tajug untuk mengkuduskan gelisah Kulihat kredo-kredo penyair berguguran Dari pucuk-pucuk pohon pencarian Tetap menjadi pupuk hijau bagi kehidupan Kuhibur bayangmu, demi menutup sepi di tepi hatimu Kang, katakanlah, kini kita sedang menandur syair syukur Dengan kesucian matarasa dari batin yang terbening Biar kelak kita ikhlas memetik limpahan panen kangen Pinta bayangmu, saat tersangkut di kawat ventilasi sunyi Magetan, 2004

BERSAMAMU INGIN KULUKIS PASUNDAN DENGAN PELANGI DOA Surat Kangen untuk Penyair Agus R Sarjono, Langit mendung di atas bandung, tinggal kangen yang sepenggal Cileunca luka dan patengang airmata takkan kuwariskan kepada siapa-siapa. Tidak juga kepada sahabat sejati sekalipun Teman-teman tak usah menanggung beban kenangan Pagi, siang, petang, malam, gerimis, embun, dingin, sepoi angin priangan kutangkup dengan sunyi di hening tangkubanparahu Angan-angan, mimpi-mimpi, dan catatan-catatan pinggir para penyair telah kuepilogkan pada lawang sigotaka bandung utara Diskusi, skripsi, demonstrasi, pun reformasi yang belum tuntas tak sempat aku kemas dalam hati rakyat yang semakin cemas Sedangkan bangku-bangku kuliah serta tumpukan teori-teori telah berlumut pada batu milenium, nisan senyum manusiawi Selamat tinggal bandung, palem-palem kampus, beringin tua dan ibu isola yang masih istiqomah mengandung bayi ilmiah juga sekuntum melati yang memutih wangi di koridor Al-Furqan yang tinggal semusim menanti panen mimpi jadi nyonya asisten dosen Selamat tinggal bandung dan burung-burung berhiber sehabis diusir dari sudut-sudut terkucil humaniora kota hingga gelisah para kinanti tak pernah lagi tumpah ke lembah manah Nini Sunda yang tidak lagi someah Selamat tinggal bandung dengan para seniman pencarian Kepergianku bukan berarti untuk melupakanmu, sayang Tunggulah aku di serambi masjid makrifatmu yang kepayang Bersamamu ingin kulukis cakrawala pasundan dengan pelangi doa Bandung/Temboro, 1998/2005 Someah=ramah

MASIHKAH ADA YANG AKAN KAU DAN AKU PUISIKAN Surat Kangen untuk Penyair Doddi Ahmad Fauji. Masihkah ada yang akan kau dan aku puisikan Ketika embun enggan menetes pada daun Dan malam tak bersapaan dengan rembulan Masihkah ada yang akan kau dan aku puisikan Saat kita saling mencoret nama dan alamat Sedang kangen emoh menghuni kenangan Masihkah ada yang akan kau dan aku puisikan Kalau angin diam-diam tinggalkan pohon kesepian Tanpa satu pun pesan sepoi ia titipkan Masihkah ada yang akan kau dan puisikan Sewaktu rerumputan menjauh dari telapak kaki Sebab sekian lama setiap langkah kita nodai Masihkah ada yang akan kau dan aku puisikan Sebelum menanam pohon yasin dan bunga doa Sambil memetik kuntum senyum bidadari di putik kemboja Masihkah ada yang akan kau dan aku puisikan Setelah nurani makna tercerabut dari kata Dan relung hati sudah menjadi laut mati Masihkah ada yang akan kau dan aku puisikan Apabila musafir sudah tak mengenal tongkatnya Lupa hakikat kembara: pulang kan telanjang! Temboro, 2006

TELAH PERGI ORANG-ORANG YANG KUCINTAI Airmata dari seluruh kesedihan Memendungi langit negeri rerumpun hujan Cengkrik yang diam, rembulan yang temaram Menjadikan malam satu warna: muram Telah pergi orang-orang yang kucintai Kembali kepada Rabb Yang Maha Suci Tak sempat tumpahkan rindu, tunaikan janji Maut lebih cepat menjemput Wa Haji, Bibi Dan kakakku sendiri Orang-orang yang takziah berdatangan Anak-anak muda masjid yasinan dan tahlilan Ibu-ibu mengantarkan nasihat-nasihat kesabaran Bapak-bapak memanjatkan doa-doa pengampunan Rasanya baru kemarin menjenguk Wak Haji Terbayang wajahnya menyimpan kepasrahan Masih terngiang satu pesannya untukku Doakan Wak Haji, Pelan penuh harapan Rasanya baru kemarin menjenguk Bibi Terbayang wajahnya menyimpan kepasrahan Masih terngiang kata-kataku sendiri Sabar saja, Bi, Pelan penuh perasaan Rasanya baru kemarin bertemu kakakku Terbayang wajahnya menyimpan kepasrahan Masih terngiang ceritanya pada ibuku Teteh ingin pensiun muda... Orang-orang yang takziah telah pamitan Seorang ajengan telah menutup yasinan dan tahlilan Tinggal seseorang, seperti merenung sendirian Sesungguhnya kita pun tinggal menunggu giliran...

Suara manuk tiktiktir dari kejauhan Seperti mengulang-ulang pesan Walau tak pernah diundang Kematian pasti kunjung datang! Bogor/Temboro, 2003

DI TAJUG HATI UMMI untuk adikku, si Mul Di tajug hati Ummi Kembali kau dan aku mengaji Mutholaah puing-puing nurani Dari reruntuhan hati Mudzakarah tentang hakikat cinta Pada linang airmata Menafakuri telapak kaki bunda Masih menyimpan sorga Di tajug hati Ummi Kembali kau dan aku mengaji Dan mengaji Hingga mati. Bogor/Temboro, 2002

JIHAD PENYAIR, 1 sajak untuk gola gong, Bagai si Aki yang duka oleh beduk terluka Dan lara oleh kekalahan Lebak Membara Beranjak aku dari mihrab-mihrab senyap Mendobrak benteng-benteng thogut gelap Mengobarkan kembali obor sejarah yang redup Mabuk rindu mati daripada mereguk arak hidup Memperjuangkan lezat dan martabat syahid Meski hanya bersenjata pena, doa, dan wirid Magetan, 2009

JIHAD PENYAIR, 2 sajak untuk toto st radik, VOC tinggal puing-puing benteng tua Jepang pun hengkang ke negerinya Sedasawarsa ORBA porak-poranda Tiada lagi raja kecil alias tuan tanah Namun penjajah tak pernah musnah Sebab ia punya seribu nyawa dan wajah Nurani rakyat masih tetap diranjah Oleh politikus bertopeng malaikat Bangkit dan bergeloralah, Sahabat Enyahkan kecut mati berkalang tanah Hancurkan angkara dari jiwa rahwana Walau cuma dengan setetes tinta! Magetan, 2009

You might also like