You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Selain itu, ginjal juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam basa darah, serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan pada

keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah yang dapat mengganggu kerja orang lain yang menyebabkan penderita memerlukan pegobatan dan penanganan segera.

Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah atau biasa disebut dengan istilah uremia. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Brunner & Suddarth, 2001).

Pada saat ini pasien memerlukan dialysis sebagai terapi pengganti. Dialisis adalah tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal sama dengan yang dilakukan oleh ginjal kita yang sehat. Ada dua tipe tindakan dialisis yang popular di

kalangan medis, yaitu hemodialisis dan peritoneal dialysis. Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun unsur kimiawi lainnya dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita ke dialyzer, diperlukan semacam akses ke pembuluh darah yang dapat dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha. Biasanya hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama

masing masing 4 -5 jam per tindakan. Sedangkan peritoneal dialisis merupakan salah satu tipe dialisis, dimana darah dibersihkan di dalam tubuh. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memasang akses berupa catheter di dalam abdomen penderita. Pada saat tindakan, area abdominal pasien akan secara perlahan diisi oleh cairan dialisa melalui catheter. Ada dua macam peritoneal dialysis yaitu continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) dan Continonus Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD). Penggunaan CAPD di Indonesia lebih lazim digunakan daripada CCPD. Pada CAPD penderita melakukan sendiri tindakan medis tanap bantuan mesin dan biasanya berlangsung 4 kali sehari masing masing selama 30 menit. Efektivitas CAPD juga dapat memberikan beberapa manfaat secara langsung ataupun tidak langsung kepada pasien.

Berdasarkan uraian

diatas, maka perlu kiranya untuk memahami lebih jauh

tentang CAPD yang merupakan suatu tindakan yang diberikan pada pasien yang mengalami gagal ginjal untuk mempertahankan fungsi ekskresinya secara adekuat.

1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diangkat berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya antara lain: 1) Apa yang dimaksud dengan CAPD? 2) Bagaimana prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi, keuntungan serta kerugian CAPD? 3) Bagaimana Asuhan Keperawatan pada CAPD?

1.3 Tujuan 1) Mahasiswa memahami konsep tentang CAPD 2) Mahasiswa memahami prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi keuntungan, serta kerugian CAPD 3) Mahasiswa memahami asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada klien yang mendapatkan CAPD

BAB II ISI

2.1 Pengertian

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki are permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. CAPD bersifat kontinyu dan biasanya dapat dilakukan sendiri. Metode ini bisa dikerjakan di rumah oleh pasien. Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis pasien akan terapi dialisis dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam melaksanakannya.

2.2 Prinsip-Prinsip CAPD

CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yag sama seperti pada bentuk dialisis lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya bergantung pada: y y y fungsi ginjal yang masih terpisah volume dialisa setiap hari Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.

Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisis.

Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml 3000 ml, sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.

Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai alat penyaring, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa

(gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

Gb1. Prinsip Kerja CAPD

Proses penggantian cairan dialysis dalam prosesnya tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat ( 30 menit). Proses tersebut terdiri dari 3 langkah: 1) Pengeluaran cairan Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

2) Memasukkan cairan Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. selama 10 menit. Proses ini hanya berlangsung

3) Waktu tinggal Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.

Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung kontinyu selama 24 jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari ( misalnya pada pukul 06.00 pagi, 16.00 sore dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran memerlukan waktu 30 hingga 60 menit atau lebih tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20 menit periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu retensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih

2.3 Indikasi CAPD

CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan (maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang sekarang, seperti gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisis dan anemia berat yang memerlukan transfusi.

Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia dan hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.

Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan penyakitnya, menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta keinginan untuk melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan terapi CAPD. Selain kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan CAPD harus dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.

Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin, mengontrol sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan meningkatkan asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol tekananan darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum

infus(venipuncture) dan merasa sehat secara umum meskipun CAPD memberi kesan pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara ini membatasi kebebasanya dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.

2.4 Kontraindikasi CAPD

Kontraindikasi dilakukan CAPD adalah adanya : 1) Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik sebelumnya. Perlekatan akan mengurangi klirens solut. 2) Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen yang kontinyu 3) Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan kontraindikasi absolut untuk CAPD.

4) Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter. 5) Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum. 6) Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.

2.5 Komplikasi CAPD

Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :

1) Peritonitis Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental, dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.

Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat

nefrotoksik agar tidak memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus. Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang baru. Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan.

2) Kebocoran Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalh aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml.

3) Perdarahan Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.

10

Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma. Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.

4) Komplikasi lainnya adalah a) Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal,

diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid. b) Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama kematian pada populasi pasien ini. c) Nyeri Pun ggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose. d) Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.

2.6 Keuntungan CAPD

Keuntungan dari CAPD pada klien yang menggunakan antara lain: 1) Fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan. 2) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat kerja. 3) Tidak tergantung pada bantuan orang lain. 4) Tekanan darah pasien lebih terkendali. 5) Kebutuhan akan suplemen zat besi dan eritropoietin (EPO) jauh lebih sedikit. 6) Lebih bebas mengonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman. 7) Kadar kalium darah lebih terkontrol. 11

2.7 Kerugian CAPD

Kerugian CAPD pada klien yang menggunakan antara lain: 1) Risiko terjadinya peritonitis (infeksi peritoneum). 2) Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses dialisis peritoneal.

2.8 Asuhan Keperawatan

2.8.1 Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan sebeum perumusan diagnose keperawatan serta intervensi keperawatan pada klien. Adapun pengkajian yang dilakukan pada klien dengan tindakan CAPD antara lain: Sebelum dialisa a) Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alas an perawatan di rumah sakit. b) Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan. c) Fistula tersumbat bekuan. d) Pembuatan fistula e) Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang diijinkan, obat obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa, jumlah haluaran urin. f) Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi dan bunyi desiran menandakan fistulatersumbat. g) Kaji terhadapmanifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan tentang dialisa : Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan pada tindakan dialisa terakhir.

12

h) Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas dengan kerja fisik maksimal. i) Kelelahan dan kelemahan menetap. j) Hipertensi berat k) Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium. Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.

Sesudah dialisa Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari pembuangan cairan selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik dengan menggunakan anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien pada resiko perdarahan dari sisi akses dan terhadap perdarahan internal.

2.8.2 Diagnosa Keperawatan 1) Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama CAPD 2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan

pengembangan diafragma 3) Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat 4) Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk CAPD

2.8.3 Intervensi Keperawatan 1) Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis Kriteria Hasil: kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan baik Intervensi: a. Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis. b. Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis.

13

c. Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan. d. Jelaskan pada klien tentang kondisi klien serta tindakan yang akan dilakukan e. Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi. f. Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis. g. Kolaborasikan dengan tim medis untuk tindakan kolaboratif h. Pantau konmdisi klien secara berkala setelah tindakan.

2) Pola

napas

tidak

efektif

berhubungan

dengan

keterbatasan

pengembangan diafragma Kriteria hasil : menunjukan pola pernapasan efektif dengan bunyi nafas jelas, GDA dalam batas normal. Intervensi: a. Kaji TTV ; RR b. Jelaskan pada klien terjadinya pola nafas tidak efektif c. Awasi frekuensi / upaya pernapasan.penurunan kecepatan infuse bila ada dispnea. d. Berikan tambahan O2 sesuai indikasi. e. Libatan keluarga dalam proses pelaksanaan tindakan pada klien f. Berikan analgesic sesuai indikasi. g. Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgesic pada klien h. Pantau keefektifan tindakan yang telah diberikan pada klien.

3) Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat.

14

Kriteria Hasil: cidera tidak terjadi pada klien selama tindakan dilakukan. Intervensi: a. Kaji kondisi yang memberikan kondisi resiko terhadap cidera b. Pastikan semua alat berbahaya ditempatkan secara aman c. Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter. d. Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena subklavia. e. Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan hebat, dan periksa bunyi nafas bilateral. f. Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit. g. Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik selama dialisis. h. Bantu klien dalam perawatan (baik bantu langsung atau pengawasan) sehingga terhindar dari cidera.

4) Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang konsep penyakit serta tindakan yang diberikan Intervensi: a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan alasan dialysis. b. Kaji kesiapan untuk belajar. c. Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar termasuk alasan pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang b.d kehilangan fungsi ginjal. d. Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.

15

e. Berikan informasi yang sama pada keluarga sehingga keluarga paham tentang kondisi klien f. Libatkan keluarga dalam memberikan pemahaman pada klien g. Anjurkan klien untuk melakukan sharing dengan tenaga kesehatan terkait proses penyakit serta tindakan yang diberikan h. Beri semangat pada klien untuk proses pembelajarannya.

2.8.4 Implementasi Keperawatan Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta

mendokumentasikan pelaksanaan perawatan (Doenges E Marilyn, dkk, 2000)

2.8.5 Evaluasi Pada tahap yang perlu dievaluasi pada klien dengan dengan CAPD adalah, mengacu pada criteria hasil yang hendak dicapai yakni apakah terdapat : 1) Kurang volume cairan 2) Pola nafas tidak efektif apakah telah teratasi 3) Resiko tinggi cidera masih ada atau tidak 4) Peningkatan pengetahuan pada klien dan keluarga telah tercapai atau belum.

16

BAB III PENUTUP

3.2 Kesimpulan

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki are permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zatzat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai alat penyaring, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

3.2 Saran

1. Perdalam pengetahuan serta konsep tentang CAPD dengan buku penunjang dan studi lapangan. 2. Update informasi kesehatan terutma tentang CAPD dengan sering membuka jurnal kesehatan terbaru untuk mengupdate ilmu yang telah kita dapat

17

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients with Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal Dialysis 2005;21:85-9. Lynda Juall, Carpenito & Moyet. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Makalah Pelatihan. 2002. Fresenius Fundamentals in Peritoneal Dialysis. Fresenius Medical Care. Makalah Pelatihan. 2002. Ginjal Peritoneal Dialysis & Bagaimana Kerjanya, Fresenius Medical Care. Marilynn E. Dongoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Price & Wilson. 1995. Patofisiologi, Edisi 4, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

18

LAMPIRAN

Gb2. Prinsip CAPD

Gb.3 Tindakan CAPD pada klien

19

You might also like