You are on page 1of 101

A.

HADITS2 DLAIF MUSAFIR (TIDAK) WAJIB JUMAT


http://subhan-nurdin.blogspot.com
Hadis pertama:



.


















Dari Jabir bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda, Siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, baginya kewajiban Jumat pada hari Jumat, kecuali yang sakit,
musafir, perempuan, anak kecil, atau hamba sahaya. Maka siapa yang tidak butuh
dengan kesenangan (yang melalaikan) atau perdagangan, niscaya Allah tidak
membutuhkannya. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji. H.R. ad-Daraquthni dan
al-Baihaqi
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daraquthni dalam Sunan ad-Daraquthni, II : 3
dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, III : 184. Mereka sama-sama meriwayatkan
melalui dua orang rawi yang dhaif yaitu Muadz bin Muhammad dan Ibnu Lahiah.
Adapun keterangan kedaifannya adalah sebagai berikut:
1.

Muadz bin Muhammad al-Anshari

Tentangnya al-Uqaili mengatakan, Pada hadisnya terdapat waham (kesamaran).


Ibnu Adi mengatakan, Munkarul Hadiits (hadisnya diingkari). Lisan al-Mizan, VI : 55
2.

Ibnu Lahiah, yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Lahiah, dinamai

juga Ibnu Uqbah Abu Abdurrahman al-Hadrami.


Dia adalah seorang yang shaleh, akan tetapi ia berbuat tadlis dari rawi-rawi yang
daif, kemudian kitab-kitabnya terbakar. Adh-Dhuafa ash-Shagir tulisan Imam alBukhari : 69. Ibnu Main mengatakan, (Dia itu) daif, tidak dijadikan hujjah
dengannya. Al-Humaid mengatakan dari Yahya bin Said, Bahwa ia tidak melihatnya
sama sekali. Mizan al-Itidal, II: 475-476 Ibnu Wahb mengatakan, Ibnu Lahiah itiu
dapat dipercaya. Abu Hatim Ibnu Hibban mengatakan, Aku telah menyiarkan beritaberita Ibnu Lahiah, maka aku melihatnya mentadlis (memalsukan) dari rawi-rawi
yang daif atas rawi-rawi yang tsiqat. Kemudian ia tidak menghiraukan apa yang
ditolak kepadanya. Ia membacanya baik itu dari hadisnya atau pun bukan dari
hadisnya. Maka wajib menjauhi riwayat-riwayat yang telah lalu sebelum kitabkitabnya terbakar, sebab pada riwayat-riwayatnya itu terdapat khabar-khabar yang
mudallas (yang dipalsukan) dari rawi-rawi yang matruk. Maka wajib meninggalkan
hujjah dengan riwayat-riwayat yang kemudian setelah kitab-kitabnya terbakar karena

pada riwayat-riwayatnya terdapat hadis-hadis yang bukan riwayatnya. Adh-Dhuafa


wa al-Matrukin, Ibnul Jauzi, II : 136-137
Menurut penelitian kami, Ibnu Lahiah itu memang seorang yang Shaduq. Namun ia
sering melakukantadlis dari rawi-rawi yang daif. Selain itu, tulisan-tulisan/karyakaryanya pernah terbakar hangus. Apabila riwayat-riwayatnya ketika sebelum kitabkitabnya terbakar ditolak, tentulah riwayat-riwayatnya setelah kitab-kitabnya
terbakar
Hadis kedua:








:








r



.














Dari Tamim ad-Dari, dari Nabi SAW. bersabda, Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas
anak kecil, hamba sahaya, musafir (yang dalam perjalanan). Dan dalam riwayat
Abdan, Sesungguhnya Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas anak kecil, hamba
sahaya, musafir (yang dalam perjalanan). H.R. al-Baihaqi
hadis ini pun daif karena pada sanadnya terdapat dua orang rawi yang daif yaitu alHakam bin Amr dab Dharar bin Amr al-Multhi.
1.

Al-Hakam bin Amr, yang disebut juga Ibnu Umar ar-Ruaini.

Tentangnya Yahya bin Main mengatakan, Al-Hakam bin Amr ar-Ruaini itu laisa
bisyai-in.
Saad bin Abu Maryam berkata, Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Main
mengenai al-Hakam bin Amr, beliau mengatakan, (ia itu) daif, hadisnya tidak ditulis.
Al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, II : 207
2.

Dharar bin Amr al-Multhi

Tentangnya Ibnu Adi mengatakan, (ia) Munkarul Hadis (hadisnya diingkari). Imam
al-Bukhari mengatakan, Fihi Nadzarun (ia itu tertuduh dusta). Yahya bin Main juga
mengatakan, (ia itu) daif. Al-Uqaili dan Ibnu al-Jarud menerangkannya dalam
(kelompok) rawi-rawi yang daif. Abu Nuaim berkata dari Yazid ar-Ruqasyi dari Anas
dari Tamim, Hadisnya munkar. Lisan al-Mizan, III : 202-203
Adapun pengertian Fiihi Nadzarun yang diungkapkan oleh Imam al-Bukhari memiliki
pengertian khusus, yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh adz-Dzahabi, Jarang
sekali menurut Imam al-Bukhari bagi seorang rawi yang dinyatakan fiihi Ndzarun,
kecuali ia itu rawi yang tertuduh dusta. Syifa-u al-Alil, I: 313
Hadis ketiga:
.







:



r

Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW. bersabda, Tidak ada kewajiban Jumat bagi
musafir. H.R. ad-Daraquthni
Pada hadis ini ada seorang rawi yang daif, yaitu Abdullah bin Nafi Maula Ibnu Umar
al-Qurasyi al-Madini Abu Bakar. Imam al-Bukhari mengatakan, (ia itu) munkarul
hadis. Ibnu al-Madini mengatakan, Ia meriwayatkan dari rawi-rawi yang munkar.
Imam al-Bukhari juga mengatakan, Diperselisihkan tentang hadisnya. Serta Imam
an_Nasai berkomentar, (ia itu) matruk. Lihat Adh-Dhuafa ash-Shagir, al-Bukhari,
Adh-Dhuafa wa al-Matrukin, Ibnul Jauzi, halaman 71, dan Mizan al-Itidal, II : 3-5.
Abbas ad-Dauri dari Yahya bin Main mengatakan, (ia itu) daif. Ali bin al-Madini
mengatkan, Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar. Abu Hatim mengatakan,
Munkarul Hadis, dan ia itu anak Nafi yang paling daif. An-Nasai mengatakan,
Matrukul Hadis. Tahdzib al-Kamal, XIV : 214

B. HADITS2 SHAHIH GHAIR SHORIH TTG MUSAFIR


BOLEH MENINGGALKAN JUMAT
01- Hadits Wuquf Nabi SAW di Arafah
Hadis yang menerangkan bahwa pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jumat di
Arafah Rasulullah saw. salat zhuhur dijama dengan ashar









...















... Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan
tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di
Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa
(unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di
lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-oran...(kemudian
dikumandangkan adzan) selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian
iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat
itu. H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:886
PENJELASAN sudah dibahas pada

http://www.scribd.com/doc/21992540/Shalat-Jum-at-

Jama-Qashar-Bagi-Musafir

02- Hadits tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat


ketika safar sebagai berikut:

Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid
bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar
berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan
Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari, Fathul Bari, VII:360, No. 3.991
PENJELASAN:

HADITS IBNU UMAR MENINGGALKAN JUMAT

No. Hadist: 3691 | Sumber: Bukhari | Kitab: Peperangan


Bab: Keutamaan orang-orang yang ikut perang Badar











Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami
Laits dari Yahya dari Nafi' bahwa Ibnu 'Umar RAa diceritakan kepadanya bahwa Sa'id
bin Zaid bin 'Amru bin Nufail, salah serang yang ikut perang Badar sedang menderita
sakit pada hari Jum'at. Maka Ibnu 'Umar RAa mendatanginya dengan berkendaraan
saat tengah hari dan waktu shalat Jumat sudah dekat dan dia meninggalkan shalat
Jum'at". Dan telah berkata Al Laits telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibnu
Syihab berkata, telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah
bahwa bapaknya menulis surat kepada 'Umar bin Abdullah bin Al Arqam Az Zuhriy
untuk menyuruhnya menemui Subai'ah binti Al Harits Al Aslamiyyah dan
menanyakannya tentang hadits yang disampaikannya dan tentang apa yang disampaikan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya ketika dia meminta fatwa kepada
beliau. Maka 'Umar bin Abdullah bin Al Arqam menulis surat balasan kepada Abdullah
bin 'Utbah dan mengabarkan bahwa Subai'ah binti Al Harits telah mengabarkan
kepadanya bahwa dia dahulu berada dalam tanggungan Sa'ad bin Khawlah, dia adalah
dari keturunan Bani 'Amir bin Lu'ay dan dia juga termasuk orang yang ikut dalam
perang Badar. Lalu Sa'ad meninggal dunia ketika Hajji Wada' dan Subai'ah dalam
keadaan mengandung dan kemudian dia melahirkan tidak lama setelah kematian Sa'ad.
Setelah masa nifasnya berakhir, dia berhias diri kepada orang yang hendak
meminangnya. Maka Abu as-Sanabil bin Ba'kak, laki-laki dari Bani 'Abdid Dar datang
menemuinya dan berkata kepadanya; "Aku memandang, kamu tidak patut bersoleh di
hadapan orang yang meminangmu dengan tujuan menikah. Karena, demi Allah, kamu
4

tidak boleh menikah hingga kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari". Subai'ah
berkata; "Setelah dia mengatakan itu, aku mengemas pakaianku ketika sore hari lalu aku
menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lantas aku bertanya kepada beliau
tentang masalah tadi. Beliau memberikan fatwa jawaban kepadaku bahwa aku telah
halal ketika aku melahirkan dan beliau menyatakan bahwa aku boleh menikah jika aku
mau". Hadits ini juga diikuti oleh Ashbagh dari Ibnu Wahb dari Yunus. Dan Al Laits
berkata, telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab; "dan kami bertanya
kepadanya lalu dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin 'Abdur
Rahman bin Tsauban, maula Bani 'Amir bin Lu'ay bahwa Muhammad bin Iyas bin Al
Bukair, yang bapaknya adalah salah seorang yang ikut perang Badar, telah
mengabarkan kerpadanya".
- Siapakah Said Bin Zaid Bin Amr Bin Nufail ?
Said Bin Zaid Bin Amr Bin Nufail adalah suami Fatimah Binti Khath-thab
adik perempuan Umar Bin Khatthab. Maka Said Bin Zaid adalah paman dari
Abdullah bin Umar Bin Khatthab (Ibnu Umar) yang juga sama-sama tinggal di
Madinah setelah Hijrah. Said Bin Zaid wafat tahun 51 H. di Madinah, dan Ibnu
Umar ketika sakit pada hari Jumat menjenguknya.
- Mungkin bagi yang menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan musafir
boleh tidak Jumat adalah kalimat FAROKIBA ILAIHI (maka Ibnu Umar
mengunjunginya). Sebenarnya lafazh RAKIBA tidak selamanya diartikan
berkendaraan (Periksa Lisanul Arob) namun bisa juga diartikan
bergegas/mengunjungi dengan berjalan kaki (RUKBAH artinya lutut). Jika
tetap diartikan berkendaraan-pun tidak selalu dipandang safar, karena yang
disebut safar itu bukan karena berkendaraan atau tidak. Ibnu Umar dan Said
Bin Zaid sama-sama tinggal di Madinah, mungkinkah jalan-jalan di dalam
kota dipandang musafir?
- Hadis tentang Ibnu Umar yang melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:






























Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat
Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat,
kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di
Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak
salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, "Rasulullah saw.
melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud, Sunan Abu
Daud, I:363

03- Hadits Anas kadang-kadang Tidak Jumat


( )
Dan adalah Anas ibn Malik r.a. ketika safarnya, kadang-kadang melaksanakan
jumat, dan kadang-kadang tidak melaksanakan jumat. Dan ia berada di azZawiyah sejarak dua farsakh (6 mil atau kurang lebih 9 km). (HR. Al. Bukhari).
PENJELASAN:
Terjemahan hadits ini tidak tepat, FI QASHRIHI (ketika safarnya) padahal justeru
artinya, di rumahnya. Kata WA HUWA (dan ia berada) adalah Rumah Anas,
bukan diri Anas. Dalam Al-Fathu syarah hadits ini dijelaskan bahwa rumah Anas
itu berada sekitar 2 farsakh dari masjid Jami di Bashrah sehingga kadangkadang ia mendengar/menyaksikan nida shalat Jumat dan kadang-kadang tidak.
Dan hadits ini dimuat dalam Bab Berangkat dari Mana Sepatutnya
Seseorang Menghadiri Shalat Jum'at dan Atas Siapa Diwajibkan? Dan
bisa difahami dengan membaca rangkaian hadits selanjutnya :

No. Hadist: 851 | Sumber: Bukhari | Kitab: Jum'at


Bab: Berangkat dari Mana Sepatutnya Seseorang Menghadiri Shalat Jum'at dan
Atas Siapa Diwajibkan?

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih berkata, telah menceritakan kepada
kami 'Abdullah bin Wahab berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Amru bin Al Harits
dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far bahwa Muhammad bin Ja'far bin Az Zubair
menceritakan kepadanya dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah isteri Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, ia berkata, "Orang-orang datang berbondong-bondong pada hari
Jum'at dari tempat tinggal mereka dan pinggiran kota yang jauh, mereka datang
melewati padang pasir yang berdebu sehingga mereka pun berdebu dan berkeringat.
Lalu seorang dari mereka mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang saat
itu beliau sedang bersamaku, beliau lantas bersabda: "Seandainya kalian mandi
dahulu."

. : ./9 :/ .{ } :
:
.
6


.
- 860 : :
:

:



) : (.
) : , :
( ,
.
,
.
" " : .
,
" : . : "
, .
" " ,
, : . ,
,
. ) : ( ,
" , , ,
, :
: .
) : - - (
. " " , . ) :
( ,
. : . " "
.
,
,
, "
"
,
, .

- Catatan Pinggir, Musafir (Tidak) Wajib Jumat


7

Setelah mendengarkan ceramah Ust. Wawan Sh.


Pada Acara Daurah di PW. Persis Jakarta yg
didownload di

http://www.4shared.com/file/v3wQ1nuu/KHWawan_Sofwan.html yg
ditemukan di wall facebook Ust. Abu Alifa (Jazakalloh Khairan)
dan membaca catatan lengkap sidang Dewan Hisbah bag. 1 s.d. 11 yg
dimuat di facebook Ust. Amin Mukhtar (Jazakalloh Khairan), ada beberapa
catatan penting menurut hemat penulis, yang belum terbahas dalam kedua
materi fiqih ini,
1. Tentang hukum berdagang ketika Jumat, karena perintah kewajiban
Jumat sangat jelas menyatakan WA DZARUL BAI (dan tinggalkanlah
jual beli). Kalimat ini menurut hemat penulis, adalah kata kunci dari
hukum Musafir (tidak) wajib Jumat, karena :
a. Asbabnuzul QS. Al-Jumuah ayat 9-11 adalah ketika Rasulullah SAW
sedang melaksanakan Jumat tiba-tiba datang rombongan musafir
pedagang dari Syam yang dipimpin oleh Dihyah bin Khalifah dan
para shahabat meninggalkan Jumat memburu perniagaan, hingga
yang tersisa di masjid hanya 12 orang saja.
b. Para pedagang pada masa itu sekaligus

2.

sebagai seorang musafir laki-laki, sehat,


baligh dan orang merdeka, dan ini sebagai
mafhum mukhalafah dari hadits Thariq ttg 4
golongan yg dikecualikan dari kewajiban
Jumat, yaitu wanita, orang sakit, anak kecil
dan budak sahaya.
Thariqatul Jami antara hadits qauly (hanya 4
yg dikecualikan wajib Jumat) dan Hadits Fily
(Nabi
Jama
qashar
di
Arafah)
dengan
beristinbath yang dikecualikan wajib jumat
menjadi 5 (walaupun istilahnya 4 + 1) sudah
merubah hukum ashal dari hadits qauly yang
shahih dan sharih, padahal sebagaimana
diketahui Hadits qauly lebih kuat daripada
hadits fily. Penulis lebih cenderung pada
Thariqatul Jami Ibnu Hazm yg pada makalah
ini tidak dibahas, bahwa filun Nabi SAW di
Arafah itu adalah shifat shalat Jumat yg
dilakukan ketika safar. Keterangan Ibnu Hazm
itu cukup beralasan, dan cocok dengan
kenyataan, tidak bertentangan dengan dalil8

dalil yang lainnya.


Abdurrahman)

(Risalah

Jumat,

KH.E.












{ 3:203 } .


Dan tidak ada perselisihan, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW (pada hari
Arafah ) khutbah lalu solat dua rakaat, dan ini adalah sifat solat jumat .
( Al-Muhalla,
Ibnu Hazm 3 : 203 ) http://persatuan-islam-singapura.com/Html/text/Kitab
%20Solat/Jum'at%20bagi%20Musafir.doc
3.

Hukum boleh dalam istilah fiqh dikenal


dengan Mubah berarti musafir mubah
meninggalkan
Jumat
yg
konsekuensi
hukumnya tidak berdosa dan tidak berpahala,
dan tidak bisa disandingkan dengan tetapi
musafir wajib melaksanakan Zhuhur karena
konsekuensi hukumnya jelas dan tegas dalam
konteks ibadah mahdlah.

4.

Istinbath musafir terkena Hukum Takhyir


(kebolehan memilih Jumat atau Zhuhur)
dengan mengkompromikan dua dalil yang
dianggap
bertentangan,
jelas
tidak
bisa
dianalogikan dengan hukum tayamum atau
wudlu bagi musafir, karena hukum tayamum
dalilnya qathi (Al-Quran) sedangkan dalil
musafir boleh meninggalkan Jumat semuanya
dlaif.

5.

Contoh kasus seorang musafir di dalam


pesawat yang hanya dia seorang yang
muslimnya, dia tidak terkena kewajiban Jumat
bukan karena safarnya, tetapi karena dia tidak
berada dalam jamaah (Fi Jamaatin). KH.E.
Abdurrahman menjelaskan : Laki-laki yang
9

baligh, sehat akalnya, sehat badannya, bila ia


hidup sendirian di tengah hutan atau di negara
yang tidak ada Muslim kecuali dia, tidak ada
nida
atau
panggilan
adzan
untuk
sembahyang Jumah atau ia ada di negara Islam
tapi ia tidur, ketinggalan berjamaah dengan
kawan-kawannya, tinggal dia sendiri dan
kebetulan
tidak
ada
yang
mau
diajak
berjamaah
mengadakan
nida
buat
sembahyang jamaah, maka ia lepas dari
amar mesti sembahyang Jumah, dikarenakan
diantara yang jadi sebab wajib melakukan
sembahyang jumah itu ala kulli muslimin fie
jamaaatin Wajib atas tiap muslim yang ada
dalam jamaah (kita artikan pakai kata yang
sebab susunan kalimat itu Jumlah-jumlah atau
sibih-jumlah sesudah nakirah), dia tidak
diizinkan
melakukan
sembahyang
jumah
sebatas yang ia mampu lakukan, umpamanya
sendirian, tidak berjamaah, dan Rasulullah
tidak pernah walaupun hanya satu kali
melakukan (memberi contoh) sembahyang
jumah
munfarid,
karenanya
dia
mesti
sembahyang zhuhur empat rakaat. (hlm. 65)
Adapun berjamaah dalam sembahyang Jumat
adalah sebab, dikarenakan ia ada dalam
jamaah, ada nida maka ia wajib sembahyang
Jumat, dan bila tidak ada kawan untuk
berjamaah, dia tidak terkena hukum wajib
Jumat. (hlm.66)
6.

Jika
musafir
dimasukan
dalam
katagori
rukhshoh sama dengan wanita, orang sakit,
10

dll, maka akan berlaku Kaidah JAMIU ASBABIR


RUKHOSH MAWANI MINAT THOLAB LAA MINAL
ADAA (Seluruh sabab rukhshoh adalah
Maani (penghalang) dari tuntutan hukum
tetapi tidak (menghalangi) dari pelaksanaan
(eksekusi hukum) artinya musafir itu tidak
wajib Jumat tetapi sah jika melakukan Jumat.
Namun, karena dasar hukumnya dlaif, maka
kaidah ini-pun tidak bisa diberlakukan.
7.

Dalam Hadits Haji Wada tsb. Ketika selain hari


Jumat (di Mina dan selama perjalanan) hanya
menyebutkan shalat zhuhur dan ashar saja,
sedangkan ketika hari Jumat di Arafah,
disebutkan Nabi SAW berkhutbah, khutbah
apakah itu selain dari Khutbah Jumat ?!

Wallahu Alam Bish Shawwab.


Jumat, 8 Juli 2011
http://subhan-nurdin.blogspot.com
BAHAN KAJIAN
Musafir Boleh Tidak Jumat [bag 1]
Pendahuluan.
Islam adalah agama sempurna sehingga semua problema umat landasannya telah
ditetapkan dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw., mulai dari kaifiyat ibadah
hingga masalah-masalah kontemporer yang muncul kemudian, baik dalam bidang
sains, sosial maupun ekonomi. Meskipun demikian tidak banyak yang berhasil
menelaah kesempurnaan Islam itu karena minimnya perangkat ilmu yang dimiliki.
Dewan Hisbah Persatuan Islam sebagai lembaga khusus pengkajian hukum-hukum
Islam, menempatkan dirinya dalam menjaga kesempurnaan hukum Islam tersebut;
menyelamatkan aqidah umat dan menyelamatkan umat dalam beraqidah,

11

menyelamatkan ibadah umat dan menyelamatkan umat dalam beribadah,


menyelamatkan muamalah umat dan menyelamatkan umat dalam bermuamalah.
Namun Dewan Hisbah bukanlah pembuat hukum atau sumber hukum, karena
sumber hukum hanyalah Alquran dan sunah atau pembuat hukum hanyalah Allah
swt. dan Rasul-Nya. Dewan Hisbah hanyalah pengawas hukum agar hukum berlaku
atau diberlakukan terutama dikalangan anggota Persatuan Islam, sekaligus
mengawasi agar tidak terjadi praktik bidah, khurafat, dan takhayul.
Produk hukum Dewan Hisbah Persis ditetapkan dalam persidangan yang dihadiri oleh
ulama Dewan Hisbah. Sidang dilakukan secara periodik.[1] Dewan Hisbah dapat
mengundang pakar yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Keputusan Dewan
Hisbah disiarkan melalui Pimpinan Pusat.
Secara teknis, mekanisme dan proses penetapan produk hukum Dewan
Hisbah Persis berawal dari inventarisasi berbagai masalah yang penting yang perlu
dibahas dan diputuskan dalam persidangan. Inventarisasi masalah penting tersebut
ditempuh melalui tiga tahap, yakni inventarisasi, seleksi, dan sidang.
Tahap inventarisasi masalah dilakukan secara struktural yang melibatkan
seluruh jajaran Persis ditingkat pusat, wilayah, daerah dan cabang di selulruh
Indonesia. Dalam hal ini, Dewan Hisbah mengirim surat agar para pimpinan Persis
melaporkan masalah-masalah penting yang menurut mereka perlu disidangkan dan
menerima masukan langsung dari anggota dan simpatisan Persis.
Tahap kedua adalah tahap penyeleksian. Topik masalah-masalah penting
yang disidangkan Dewan Hisbah biasanya tidak lebih dari tujuh topik. Hasil laporan
dari seluruh jajaran Persis tersebut diseleksi oleh tim dari sekretariat dengan
meminta saran dan masukan dari Ketua Umum PP Persis. Tahap terakhir adalah
persidangan. Setelah masalah tersebut terseleksi menjadi tujuh masalah penting
(biasanya masalah aktual dan kontemporer yang sedang menjadi wacana umum),
lalu disidangkan.
Proses persidangan untuk memutuskan masalah-masalah hukum Islam
kontemporer yang telah tersleksi, dimulai dari ceramah atau presentasi makalah oleh
seorang pembicara yang dipandang menguasai disiplin ilmu yang sedang
dibicarakan. Selesai ceramah, moderator mempersilahkan kepada para peserta
sidang yang terdiri dari para anggota Dewan Hisbah untuk menanggapi dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pemakalah. Lalu, tampil pembicara
kedua, yakni salah seorang ulama anggota Dewan Hisbah yang dipandang ahli dalam
disiplin syariat. Ia membawakan makalah tentang topik yang dibahas dari sudut

12

tinjauan hukum Islam. Pada sesi kedua, tanya jawab dan diskusi intensif dilakukan
antara pembicara (pemakalah) dan para anggota Dewan Hisbah yang hadir
(peserta). Kesimpulan ceramah dan diskusi ini dirumuskan oleh sebuah tim (panitia)
sehingga menjadi keputusan Dewan Hisbah. Hasil keputusan Dewan Hisbah itu
diserahkan kepada PP Persis untuk disebarkan kepada PW, PD, PC Persis di seluruh
Indonesia.
Sepanjang sejarah Dewan Hisbah sejak berdiri tahun 1956, yang waktu itu
masih bernama Majelis Ulama[2], hingga tahun 2007, salat Jumat merupakan satusatunya masalah salat yang tidak pernah berhenti dimuthalaah, dikaji ulang oleh
para ulama persis, baik as-sabiqun al-awwalun(generasi awal) atau generasi salaf,
khususnya A.Hasan dan kawan-kawan sehingga diterbitkannya buku Risalah Jumat[3]
tahun 1956 dan 1972, pada kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman[4] melalui rubrik
Istifta Majalah Risalah[5], K.H.A.Qadir Hasan dalam Kata Berjawab[6], maupun
generasi khalafpasca K.H.E. Abdurrahman wafat tahun 1983.[7]
Pada generasi khalaf, paling tidak Dewan Hisbah telah 4 kali mengkaji masalah
tersebut; Pertama, hari Ahad tanggal 5 Rabiuts Tsani 1415 H/11 September 1994 M
di Jakarta, dengan topik Salat Jumat di Arafah. Kedua, hari Ahad tanggal 19 Shafar
1419 H/14 Juni 1998 di Bandung, dengan topik Salat Salat Dzuhur Pada Hari Raya
Bertepatan Hari Jumat. Walaupun fokus analisisnya lebih ditujukan kepada status
salat dzuhurnya, namun persoalan salat Jumat tetap dijadikan landasan utama.
Ketiga, hari Jumat tanggal 23 Rabi'ul Awwal 1422 H/15 Juni 2001 M di di Pesantren
Persis No. 84 Ciganitri Kabupaten Bandung, dengan topik Hukum Salat Jumat Bagi
Musafir. Keempat, hari Sabtu tanggal 3 Rabiuts Tsani 1428 H/22 April 2007 di
Pesantren Persis Jamaah Cihamerang Banjaran Kabupaten Bandung, dengan topik
yang sama.
Sebelum hasil keputusan Dewan Hisbah tahun 2007 itu diserahkan kepada PP Persis
untuk disebarkan kepada PW, PD, PC Persis di seluruh Indonesia, keputusan masalah
Jumat itu sudah tersebar di sebagian kalangan umat secara oral (dari mulut ke
mulut), namun tampaknya terjadi distorsi (penyimpangan makna) sehingga yang
dipahami oleh sebagian umat itu adalah "musafir tidak wajib Jumat".
Setelah keputusan itu disebarkan secara resmi oleh PP Persis (secara tertulis dalam
bentuk surat keputusan dan lampiran makalah) keputusan itu ditanggapi oleh umat
secara beragam. Ada yang memahaminya seperti di atas. Ada pula yang
mempertanyakan mengapa terjadi revisi pada sidang tersebut. Sebagian besar

13

menghendaki penjelasan kerangka metodologis sehingga lahirnya keputusan


sebagaimana tertuang dalam surat keputusan tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami sebagai tim yang terlibat langsung
dalam proses penetapan hukum masalah itu merasa perlu untuk segera menyusun
tafsir metodologis yang digunakan Dewan Hisbah dalam sidang itu dan kerangka
pemikiran dalam mengistinbath masalah tersebut. Besar harapan kami semoga
tulisan yang sederhana ini dapat meluruskan kesimpangsiuran sekaligus
membangun pemahaman umat terhadap proses istinbath (pengambilan) hukum
tersebut. Karena itu sumbang saran dan fikir untuk mengurangi kekeliruan yang
tidak diharapkan senantiasa kami nantikan. Allah Maha mengetahui dan hanya Ia
Maha Pengampun atas segala kekhilapan dan kealpaan

Fote Noote
[1]Berdasarkan Qanun Dakhili (ART) PERSIS (produk Muktamar XII tahun 2000) Bab
VI pasal 36 bahwa Dewan Hisbah melakukan sidang-sidangnya sekurang-kurangnya
satu semester. Sedangkan Berdasarkan Qanun Dakhili (ART) PERSIS (produk
Muktamar XIII tahun 2005) Bab VIII pasal 50 bahwa Dewan Hisbah melaksanakan
sidang-sidangnya sekurang-kurangnya setiap catur wulan.
[2]Majelis Ulama Persatuan Islam secara resmi berdiri pasca Muktamar ke-6 di
Bandung, 15-18 Desember 1956
[3]Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 191
[4]Pada masa Persis dipimpin oleh K.H.E. Abdurahman antara tahun 1962-1983,
Majelis Ulama berubah menjadi Dewan Hisbah. Namun, Dewan Hisbah tidak berjalan
sebagaimana sebelumnya. Sekalipun sempat dipimpin oleh K.H. Abdu Qadir Hasan
(putra A.Hassan), namun karena kesibukan beliau, Dewan Hisbah tidak berjalan.
Akhirnya, Dewan Hisbah dikelola oleh K.H.E. Abdurahman seorang diri. Beliau
menjawab secara langsung berbagai permasalahan umat di setiap mimbar pengajian
atau lewat tulisan di majalah Risalah yang dipimpinnya sendiri. Sejarah tidak
mencatat, mengapa kevakuman ini terjadi. Analisis sementara menyimpulkan, sosok
K.H.E. Abdurahman merupakan sosok karismatik bahkan ada yang menyebut ulama

14

besar Persis kedua setelah A. Hassan sehingga umat merasa cukup dengan sosok
K.H.E. Abdurahman.
[5]Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No. 138 tahun XIII hal. 313
[6]Lihat, Kata Berjawab, III:43
[7]K.H.E. Abdurahman, tokoh karismatik Persis wafat tanggal 12 April 1983.
Kepemimpinan Persis selanjutnya diserahkan kepada K.H.A. Latief Muchtar, M.A.
Pada masa kepemimpinan K.H.A. Latief Muchtar, M.A., Dewan Hisbah Persatuan Islam
berfungsi kembali, dengan ketua K.H.E. Abdullah.

Kerangka Pemikiran 1: Musafir Tidak Dikecualikan dari Kewajiban Jumat

Pada sidang ke-2 pasca Muktamar Persis XII, 23-25 Rabi'ul Awwal 1422 H bertepatan dengan 15-17
Juni 2001, di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Kabupaten Bandung, yang salah satu pembahasannya
adalah hukum Jumat bagi musafir, Dewan Hisbah Persis setelah mendengar paparan makalah yang
disampaikan K.H. Wawan Shofwan Sh, pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah
terhadap masalah tersebut, memutuskan dan menetapkan bahwa "musafir tidak dikecualikan dari
kewajiban Jumat". Ketetapan ini dibuat dengan acuan dalil dan dilalah (penunjukan terhadap
hukum) sebagai berikut:
a.

Berdasarkan ayat 9 surat al-Jumuah Musafir termasuk mukallaf (dikenai hukum) salat Jumat

b.

Berdasarkan Sabda Nabi dalam riwayat Thariq bin Syihab Musafir tidak termasuk yang

dikecualikan dari taklif Jumat


c.

Berdasarkan amaliah Ibnu Umar (shahabat yang taassi kepada Rasulullah saw.) ketika safar ke

Makkah melakukan salat Jumat


d.

Hadis-hadis yang menyatakan musafir dikecualikan dari kewajiban Jumat adalah daif.

Keputusan tahun 2001 tersebut memperteguh al-qaul al-qadim (fatwa lama) para ulama Persis assabiqun al-awwalun (generasi awal), khususnya A.Hasan dalam Risalah Jumat[1], K.H.E.
Abdurrahman dalam Istifta Majalah Risalah[2], K.H.A.Qadir Hasan dalam Kata Berjawab.[3]
Untuk lebih memahami penggunaan dalil dan pengambilan dilalah (penunjukkan) keputusan tahun
2001 tersebut maka perlu diuraikan dalam kerangka metodologis (cara penetapan hukum) sebagai
berikut:
Sebagaimana telah kita maklumi bahwa proses penetapan syariat ibadah Jumat ditetapkan
berdasarkan dua hidayah: Pertama, bi an-nash, yaitu dengan turun surat al-Jumuah:9. Kedua, bi al-

15

ijtihad, yaitu keinginan para sahabat untuk memiliki hari Ied yang beda dengan Yahudi dan Nashara.
Dan ini disebut hidayah at-taufiq.
Sejarah turunnya ayat tersebut telah dijelaskan oleh Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq sebagai
berikut: Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba
pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 13 kenabian (24 September 622 M) waktu Dhuha (sekitar
jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari hingga
hari Kamis 15 Rabiul Awwal (27 September 622 M) dan membangun mesjid pertama (yang disebut
mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabiul Awwal (28 September 622 M), beliau berangkat menuju
Madinah. [4] Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah)
milik keluarga Banu Salim bin Auf, datang kewajiban Jumat dengan turunnya ayat 9 surat al-Jumah.




















Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat dan khutbah Jumat
yang pertama kali dilakukan oleh beliau. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan
perjalanan menuju Madinah.[5]
Pada saat yang sama, para sahabat laki-laki yang sudah lebih dahulu hijrah dan tinggal di Madinah,
melaksanakan salat Jumat di imami oleh Asad bin Zurarah (riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah).
Pelaksanaan salat ini didasarkan atas ijtihad sahabat, yaitu keinginan para sahabat untuk memiliki
hari Ied yang beda dengan Yahudi dan Nashara. [6]
Sebelum ayat ini turun, selama 3 tahun (sejak disyariatkan salat)[7], salat yang ditaklifkan
(disyariatkan) bagi kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan), baik ketika safar atau mukim,
pada hari Jumat waktu zhuhur adalah salat zuhur. Namun sejak turun ayat itu (tahun 1 hijriah) salat
yang ditaklifkan menjadi dua macam: Pertama, taklif salat zhuhur. Kedua, taklif salat Jumat. Bagi
siapa taklif salat Jumat itu? Dalam hal ini Nabi bersabda:



Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, Jumat itu adalah hak yang wajib bagi
setiap muslim secara berjamaah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak,
dan yang sakit. H.r. Abu Daud[8]
Hadis tersebut menegaskan bahwa taklif salat Jumat itu adalah bagi laki-laki muslim yang sehat lagi
merdeka, baik ketika safar maupun muqim. Sedangkan bagi wanita, laki-laki yang sakit yang tidak
dapat menghadiri Jumat, dan hamba sahaya tidak dikenai taklif salat Jumat. Dengan perkataan lain,
taklif bagi mereka tidak berubah dengan turunnya ayat tersebut, yakni tetap salat zhuhur. Jadi,

16

seolah-olah bagi 4 golongan tersebut ayat 9 surat al-Jumu'ah itu tidak ada. Dengan demikian,
musafir tidak dikecualikan dari taklif (kewajiban) salat Jumat. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh Ibnu
Umar, shahabat yang taassi kepada Rasulullah saw., ketika safar ke Makkah beliau melakukan salat
Jumat sebagaimana diterangkan oleh Atha sebagai berikut:
































.
r
















Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia (Atha) berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat.
(setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke
depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke
rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia
berkata, "Rasulullah saw.. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud[9]
Adapun hadis-hadis yang mengecualikan musafir dari taklif Jumat semuanya daif dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Hadis pertama:















.



Dari Jabir bahwasanya Rasulullah saw.. telah bersabda, Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, baginya kewajiban Jumat pada hari Jumat, kecuali yang sakit, musafir, perempuan, anak kecil,
atau hamba sahaya. Maka siapa yang tidak butuh dengan kesenangan (yang melalaikan) atau
perdagangan, niscaya Allah tidak membutuhkannya. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam ad-Daraquthni[10] dan al-Baihaqi[11] melalui dua orang rawi
yang dhaif, yaitu Muadz bin Muhammad dan Ibnu Lahiah. Adapun keterangan kedaifannya adalah
sebagai berikut:
a.

Muadz bin Muhammad al-Anshari

Tentangnya al-Uqaili mengatakan, Pada hadisnya terdapat waham (kesamaran). Ibnu Adi
mengatakan, Munkarul Hadis (hadisnya diingkari). [12]
b.

Ibnu Lahiah, yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Lahiah, dinamai juga Ibnu Uqbah

Abu Abdurrahman al-Hadrami.


Dia adalah seorang yang shaleh, akan tetapi ia berbuat tadlis dari rawi-rawi yang daif, kemudian
kitab-kitabnya terbakar.[13] Ibnu Main mengatakan, (Dia itu) daif, tidak dijadikan hujjah
dengannya. Al-Humaidi mengatakan dari Yahya bin Said, Bahwa ia tidak melihatnya sama sekali'.
[14] Ibnu Wahb mengatakan, Ibnu Lahiah itu tidak dapat dipercaya. Abu Hatim Ibnu Hibban
mengatakan, Aku telah menyiarkan berita-berita Ibnu Lahiah, maka aku melihatnya mentadlis
(menyamarkan) dari rawi-rawi yang daif atas rawi-rawi yang tsiqat. Kemudian ia tidak menghiraukan
apa yang ditolak kepadanya. Ia membacanya baik itu dari hadisnya atau pun bukan dari hadisnya.

17

Maka wajib menjauhi riwayat-riwayat yang telah lalu sebelum kitab-kitabnya terbakar, sebab pada
riwayat-riwayatnya itu terdapat khabar-khabar yang mudallas (disamarkan) dari rawi-rawi yang
matruk. Maka wajib meninggalkan hujjah dengan riwayat-riwayat yang datang kemudian setelah
kitab-kitabnya terbakar karena pada riwayat-riwayatnya terdapat hadis-hadis yang bukan
riwayatnya.'[15]
Hadis kedua:












:










r




.








Dari Tamim ad-Dari, dari Nabi SAW. bersabda, Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas anak kecil,
hamba sahaya, musafir (yang dalam perjalanan). Dan dalam riwayat Abdan, Sesungguhnya Ibadah
Jumat itu wajib kecuali atas anak kecil, hamba sahaya, musafir (yang dalam perjalanan). H.r. alBaihaqi[16]
Hadis ini pun daif karena pada sanadnya terdapat dua orang rawi yang daif yaitu al-Hakam bin Amr
dab Dharar bin Amr.
1.

Al-Hakam bin Amr, yang disebut juga Ibnu Umar ar-Ruaini.

Tentangnya Yahya bin Main mengatakan, Al-Hakam bin Amr ar-Ruaini itu laisa bisyai-in. Saad bin
Abu Maryam berkata, Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Main mengenai al-Hakam bin Amr,
beliau mengatakan, (ia itu) daif, hadisnya tidak ditulis. [17]
2.

Dharar bin Amr

Tentangnya Ibnu Adi mengatakan, (ia) Munkarul Hadis (hadisnya diingkari). Imam al-Bukhari
mengatakan, Fihi Nadzarun (ia itu tertuduh dusta). Yahya bin Main juga mengatakan, (ia itu) daif.
Al-Uqaili dan Ibnu al-Jarud menerangkannya dalam (kelompok) rawi-rawi yang daif. Abu Nuaim
berkata dari Yazid ar-Ruqasyi dari Anas dari Tamim, Hadisnya munkar. [18]
Hadis ketiga:
.







:



r
Dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.. bersabda, Tidak ada kewajiban Jumat bagi musafir. H.r. adDaraquthni[19]
Pada hadis ini terdapat seorang rawi yang daif, yaitu Abdullah bin Nafi Maula Ibnu Umar al-Qurasyi
al-Madini Abu Bakar. Imam al-Bukhari mengatakan, (ia itu) munkarul hadis. Ibnu al-Madini
mengatakan, Ia meriwayatkan dari rawi-rawi yang munkar. Imam al-Bukhari juga mengatakan,
Diperselisihkan tentang hadisnya. Serta Imam an-Nasai berkomentar, (ia itu) matruk.[20] Abbas
ad-Dauri dari Yahya bin Main mengatakan, (ia itu) daif. Ali bin al-Madini mengatkan, Ia
meriwayatkan hadis-hadis munkar. Abu Hatim mengatakan, Munkarul Hadis, dan ia itu anak Nafi
yang paling daif. An-Nasai mengatakan, Matrukul Hadis. [21]

18

Selain berargumentasi dengan hadis-hadis daif itu, ada yang berpendapat pula bahwa musafir
dikecualikan dari taklif Jumat itu dengan pertimbangan karena tidak ditemukan keterangan
Rasulullah saw.. salat Jumat waktu shafar. Namun pada sidang tersebut pertimbangan itu dibantah
dengan pertimbangan lain sebagai berikut: Tidak diberitakan, atau diriwayatkan Rasulullah saw.
dalam safarnya mendirikan salat Jumat, tidak berarti Rasulullah tidak melakukan salat termaksud,
sebab kita tidak dapat memastikan tidak ada, dengan dalih karena tidak disebut, kita dapat
mengatakan tidak ada bukan karena tidak disebut atau tidak dibicarakan, tapi kita dapat
mengatakan tidak ada karena kita tahu akan tidak adanya (al-Ilmu bi Adamihi). Bila kita membaca
atau mendengar perjalanan (safar) seorang muslim, dan dalam laporan itu tidak disinggungsinggung, tidak disebut-sebut makan minumnya, atau sembahyangnya, itu tidak berarti dia dalam
safarnya tidak makan atau minum atau tidak sembahyang, sebab yang pertama adalah sesuatu
yang sudah lazim dan kedua adalah kewajiban yang mesti dilaksanakan. [22]
Berdasarkan dalil dan dilalah tersebut dapat ditetapkan madlul (hukum yang ditunjuki)
bahwa taklifJum'at bagi musafir merupakan azimah (keharusan) atau wajib mu'ayyan (tidak ada
pilihan).
Dari penggunaan dalil dan dilalah tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh
Dewan Hisbah dalam menetapkan hukum Jumat bagi musafir adalah metode analisis ibarah annashatau mantuq sharih[23], yaitu petunjuk hukum yang diperoleh dari apa yang tersurat
dalam nashmelalui istidlal.
Demikian kerangka pemikiran dan landasan metodologis yang digunakan oleh Dewan Hisbah dalam
menetapkan istinbath "musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat"
Kerangka Pemikiran 2: Musafir Boleh tidak Melaksanakan Jumat
Pada sidang ke-2 pasca Muktamar Persis XIII, 3-4 Rabi'uts Tsani 1428 H yang betepatan dengan 2122 April 2007, di Pesantren Persis Jamaah Cihamerang Banjaran Kabupaten Bandung, hukum Jumat
bagi musafir, sebagai salah satu tema sidang tersebut, dibahas kembali atas usulan sebagian
anggota Dewan Hisbah. Dewan Hisbah Persis setelah mendengar paparan makalah yang
disampaikan K.H. Luthfi Abdullah Ismail, Lc (ulama Persis dari Bangil), pembahasan dan penilaian
dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut, memutuskan dan menetapkan
1.

Merevisi keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang menetapkan bahwa "Musafir tidak

dikecualikan dari kewajiban Jumat"


2.

Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat

3.

Musafir yang tidak melaksanakan Jumat wajib salat zuhur

Meskipun ketetapan ini dibuat dengan acuan dalil dan dilalah (penunjukan terhadap hukum) yang
tidak berbeda dengan sidang sebelumnya (tahun 2001), namun terdapat perbedaan fokus analisis.
Pada sidang sebelumnya fokus pembahasan lebih ditujukan terhadap fiqih sanad hadis tentang

19

musafir dikecualikan dari taklif Jumat, yaitu dari segi keabsahannya. Sedangkan pada sidang kali ini
fokus analisis banyak ditujukan terhadap dilalah hadis tentang Nabi salat zhuhur dan ashar dijama
dan diqashar ketika wukuf di Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. dan fakta pelaksanaan
Jumat Nabi ketika safar.
Sehubungan dengan itu dalil dan dilalah keputusan ini dapat dibagi menjadi dua: Pertama, dalil dan
dilalah keputusan 2001 sebagaimana disebutkan di atas. Kedua, dalil dan dilalah sebagai berikut:
a.

Tidak ditemukan satu keteranganpun selama Nabi melakukan safar haji atau lainnya melakukan

Jumat.
b.

Ditemukan satu keterangan ketika Nabi melakukan safar haji (wukuf di Arafah pada hari Jumat,

9 Dzulhijjah tahun 10 H). Nabi tidak salat Jumat.


c.

Ditemukan satu keterangan ketika Ibnu Umar (shahabat yang taassi kepada Rasulullah saw.)

safar (menjenguk yang sakit) tidak salat Jumat


Untuk lebih memahami penajaman dilalah tersebut maka perlu diuraikan dalam kerangka
metodologis sebagai berikut:
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa menurut Dewan Hisbah musafir tidak dikecualikan
dari taklif(kewajiban) salat Jumat. Hanya secara faktual sejak turun ayat itu (al-Jumuah:9) dan
lahirnya sabda tersebut (yang mengecualikan 4 golongan dari taklif Jumat), selama 10 tahun Nabi
hidup di Madinah tidak ditemukan keterangan Nabi saw. salat Jumat waktu safar. Meskipun
demikian fakta tersebut tidak dijadikan qarinah (indikator, keterangan pendukung) untuk
mengecualikan musafir dari taklifJumat. Namun ketika dikaitkan dengan dalil bahwa waktu safar ke
Mekah untuk pelaksanaan haji tahun 10 H. dan pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. Nabi wukuf
di Arafah, beliau melaksanakan salat zhuhur dan ashar dijama dan diqasar bukan salat Jumat, maka
dapat diambil dilalah bahwa musafir boleh tidak melaksanakan Jumat. Secara tersirat hal itu
menunjukkan adanya rukshah(keringanan) bagi musafir dalam melaksanakan taklif Jumat.
Dalam Bulug al-Maram Ibnu Hajar mengutip hadis tersebut dengan redaksi sebagai berikut:




...


,

















,

,

, ,



,


...
...Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah
dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir
matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya.
Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-orang kemudian
Bilal adzan selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar,
serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu. H.r. Muslim[24]
Dalam Shahih Muslim dengan redaksi

20





...








r












...







...Selanjutnya Rasulullah saw. berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda
yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala
tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu
diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada
orang-orang...(kemudian dikumandangkan adzan) selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur,
kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu.
[25]
Dalam riwayat an-Nasai dengan redaksi




























Sesungguhnya Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah saw. berangkat hingga sampai di Arafah,
maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah
di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau),
lalu berangkat hingga sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-orang,
kemudian Bilal adzan, selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus
salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu.[26]
Dari dalil dan dilalah yang dijadikan pertimbangan di atas tampak jelas bahwa kebolehan tidak
Jumat bagi musafir itu bukan karena tidak taklif Jumat (bukan karena dikecualikan dari kewajiban
Jumat), melainkan karena Nabi tidak Jumat (untuk menunjukkan adanya rukshah Jumat bagi
musafir).
Dari kerangka pemikiran di atas tampak jelas persamaan dan perbedaan di antara kedua keputusan
tersebut. Dikatakan sama jika dilihat dari aspek taklif Jumat, yakni musafir tidak kecualikan
dari taklifJumat. Dikatakan berbeda jika dilihat dari aspek madlulnya. Pada keputusan 2001
tampaknya taklifjum'at bagi musafir merupakan azimah (keharusan) atau wajib mu'ayyan (tidak ada
pilihan). Sedangkan pada keputusan 2007 menunjukkan bahwa dalam taklif Jum'at
terdapat rukhsah(keringanan) atau wajib mukhayyar (boleh memilih) bagi Musafir. Karena
perbedaan madlul inilah dilakukan revisi terhadap keputusan tahun 2001.
Perlu diketahui bahwa hadis tentang wukuf Nabi pada hari Jumat itu telah dijadikan pertimbangan
pula oleh A.Hasan, K.H.A.Qadir Hasan, dan K.H.E. Abdurrahman dalam menetapkan masalah ini,
namun aspek yang dianalisis keduanya sedikit berbeda. A.Hasan dan K.H.A. Qadir Hasan
membantah penggunaan dalil wukuf Nabi dalam masalah ini dengan pendekatan tarikh, yakni wukuf
Nabi itu bukan hari Jumat, melainkan hari Sabtu.[27] Karena itu musafir tetap wajib Jumat.[28]

21

Sedangkan K.H.E. Abdurrahman dalam Istifta Majalah Risalah menegaskan bahwa wukuf Nabi di
Arafah itu adalah hari Jumat[29], dan salat yang dilaksanakannya adalah salat Jumat. Dalam hal ini
beliau berpendapat: Bila adzan dalam sembahyang Jumat di Arafah itu, yang kebetulan terkumpul
dua hari raya, dilakukan bada khutbah, itu adalah satu contoh dari Rasulullah bagaimana cara
sembahyang Jumat bila kebetulan sedang wukuf di Arafah, sebagaimana disyariatkan Rasulullah
bagaimana cara sembahyang Jumat bila kebetulan Jumat pada hari raya Adha atau Fithri, ia
mempunyai cara khusus, orang yang ikut sembahyang hari raya, ia bebas dari wajib Jumat, yakni
dia sudah melakukannya dengan cara yang khas.[30] Dari analisis tersebut tampaknya beliau
memposisikan hadis wukuf Arafah itu sebagai dalil khas (khusus), yakni hanya berlaku apabila
wukuf Arafah jatuh pada hari Jumat.
Pertimbangan K.H.E Abdurrahman di atas dikemukakan pula oleh sebagian anggota Dewan Hisbah
pada sidang bulan April 2007 tersebut. Namun para anggota Dewan Hisbah tidak
menemukan qarinah(keterangan pendukung) untuk menunjukkan bahwa Nabi tidak Jumat itu
karena wukuf yang terjadi hari Jumat. Karena itu mayoritas para anggota cenderung menetapkan
bahwa Nabi tidak Jumat itu karena safarnya. Dengan demikian ketentuan ini (boleh tidak Jumat)
berlaku bagi musafir yang ibadah haji (wukuf hari Jumat atau hari Jumat bukan hari wukuf) maupun
yang tidak ibadah haji.
Kerangka Pemikiran 3: Bagi Musafir Yang Tidak Melaksanakan Jumat Wajib Zuhur
Masalah lain yang dijadikan pertimbangan revisi adalah pelaksanaan zhuhur bagi musafir yang tidak
Jumat. Keputusan ini dapat dikatakan bukan hanya merevisi keputusan tahun 2001 tetapi lebih jauh
dari itu telah "merombak" fiqih Persis yang telah terbentuk selama bertahun-tahun, yakni bahwa
tidak ada zhuhur bagi musafir. Atau dengan perkataan lain, bagi musafir hanya ada satu taklif (salat
Jumat). Sedangkan keputusan ini (2007) menunjukkan bahwa bagi musafir ada dua taklif: (1) salat
Jumat (bagi musafir yang hendak salat Jumat), (2) salat zhuhur (bagi musafir yang tidak salat
Jumat).
Tampaknya keputusan ini juga tidak terlepas dari fokus analisis terhadap dilalah hadis tentang Nabi
salat zhuhur dan ashar dijama dan diqashar ketika wukuf di Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah
tahun 10 H. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim di atas yang menegaskan bahwa pada hari
Jumat itu Nabi menjama salat zhuhur dan ashar, bukan salat Jumat.
Dari dalil dan dilalah itu dapat ditetapkan madlul bahwa pelaksanaan zhuhur bagi musafir yang tidak
Jumat karena Nabi sendiri melaksanakan salat zhuhur dan ashar dijama' dan diqashar pada hari
Jumat ketika safar di Arafah itu.
Pemahaman terhadap dua taklif bagi musafir itu diperkuat oleh dua riwayat tentang Ibnu Umar yang
tetap melaksanakan Jumat ketika safar. Namun pada satu waktu beliau tidak melaksanakan salat
Jumat tersebut. Hadis tentang Ibnu Umar yang melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:

22






















Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat.
(setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke
depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke
rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia
berkata, "Rasulullah saw.. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu
Daud[31]
Sedangkan hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:









Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid bin Amr bin
Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya
menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. AlBukhari[32]
Sebagian ulama menjelaskan alasan Ibnu Umar tidak melaksanakan salat Jumat itu. Imam al-Kirmani
berkata,



"Beliau tidak salat Jumat karena uzur, yakni kerabatnya mendekati saat kematian. Karena Ibnu
Umar (ada hubungan kerabat) dengan suami saudara perempuannya (Said bin Zaid). [33]
Menurut Imam al-'Aini, pendapat senada disampaikan pula oleh penyusun kitab at-Taudhih. Namun
pendapat keduanya dikoreksi oleh al-Aini sebagai berikut:























Pendapat keduanya perlu ditinjau kembali. Memang benar, andaikata ketidakhadiran Ibnu Umar
menyebabkan meninggalnya Sa'id, ini bisa dijadikan salah satu alasan dari berbagai alasan yang
menyebabkan Ibnu Umar meninggalkan Jumat pada waktu itu. [34]
Ibnu at-Tin berkata:















Beliau meninggalkan Jumat apabila tidak ada orang lain yang menemani berjamaah. [35]
Dalam masalah ini Ibnu Hajar tidak berkomentar selain menjelaskan maksud al-Bukhari
menempatkan kisah ini pada kitabul maghazi[36]
Imam as-Sindi berpendapat:

23

Dari hadis ini dipahami bahwa meninggalkan Jumat karena uzur seperti ini adalah perkara yang
diperbolehkan, karena hal itu merupakan darurat yang .dibolehkan meninggalkan Jumat karena
darurat semacam itu. Karena terkadang keperlukan menemuinya lebih mendesak; (seperti) untuk
mengikrarkan hutangnya atau berwasiat tentang anak-anaknya atau berwasiat tentang pengurusan
hartanya, dan lain-lain. Maka bila ia pergi salat perkara-perkara tersebut menjadi terlewatkan[37]
Menurut Ibnu Sa'ad peristiwa ini terjadi pada tahun 51 hijriah. [38]
Perlu diketahui bahwa kisah ini diriwayatkan pula oleh para mukharrij (pencatat hadis) lainnya







Dari Ismail bin Abdurrahman bin Abu Dzuaib (Dzi'b), ia berkata, "Abdullah bin Umar dipanggil untuk
(menjenguk) Said bin Zaid pada saat dia akan wafat, dan Ibnu Umar (ketika itu) sedang bersuci
untuk salat Jumat. Lalu ia mendatanginya dan meninggalkan salat Jumat" H.r. As-Syafi'i[39],
Abdurazaq[40] dan al-Baihaqi[41]









Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid bin Amr bin
Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya
menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. AlBaihaqi[42]








Dari Ayub, dari Ibnu Umar: "Beliau (Ibnu Umar) dimintai tolong atas Said bin Zaid bin Amr bin Nufel
pada hari Jumat setelah siang, lalu beliau pergi kepadanya, ketika itu beliau tidak salat Jumat" H.r.
Abdurazaq[43]
Pada riwayat Ibnu Jurej dengan redaksi









"setelah lewat waktu dhuha, maka Ibnu Umar mendatanginya di Aqiq" H.r. Abdurazaq [44]





Dari Nafi, sesungguhnya putra Said bin Zaid bin Amr bin Nufel tinggal di satu tanah (miliknya) di
Aqiq beberapa mil dari Madinah, maka ia menemui Ibnu Umar hari Jumat pagi. Lalu mengabarkan
sakitnya (Said), maka ia pergi ke sana dan meninggalkan salat Jumat. H.r. Ibnu Abu Syaibah[45]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan para ulama sepakat mengakui bahwa Ibnu Umar tidak
melaksanakan salat Jumat ketika safar. Namun mereka berbeda pendapat dalam menjelaskan
sebabnya. Hal itu terjadi karena pada riwayat-riwayat tersebut tidak ada satupun keterangan
tentang illat (sebab) tidak salat Jumat itu. Dengan demikian, hemat kami semua keterangan itu

24

tidak lepas dariihtimal (kemungkinan). Sedangkan ihtimal tidak dapat dijadikan landasan istinbat
(menetapkan kesimpulan)
Demikian kiranya kerangka pemikiran dan landasan metodologis yang digunakan oleh Dewan
Hisbah dalam menetapkan istinbath "Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat. Musafir yang tidak
melaksanakan Jumat wajib salat zuhur"

Fote Noote
[1]Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 191

[2]Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No. 138 tahun XIII hal. 313

[3]Lihat, Kata Berjawab, III:43

[4]Konversi (perbandingan hijriah ke masehi) di atas berdasarkan perhitungan sebagian ahli hisab.
Sedangkan ahli hisab lainnya menghitung bahwa Nabi singgah di Quba itu pada hari Senin 8 Rabiul
Awwal bertepatan dengan tanggal 20 Maret 622 M. Dan berangkat hingga sampai di Madinah hari
Jumat 12 Rabiul Awwal bertepatan dengan 24 Maret 622 M. Lihat, Almanak Alam Islami, 2000:184

[5]Lihat, Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal.
98

[6]Lihat, Fathul Bari, III:4

[7]Salat lima waktu disyariatkan pada malam Mi'raj tiga tahun sebelum hijrah sebanyak 11 rakaat,
masing-masing 2 rakaat kecuali salat maghrib 3 rakaat, baik bagi musafir maupun muqim. Setelah
hijrah, masing-masing ditambah 2 rakaat kecuali Maghrib dan subuh (17 rakaat). Namun setelah
turun ayat 101 surat an-Nisa tahun 4 hijriah, maka bagi musafir salat itu dapat dilakukan 2 rakaat
(Lihat,Fathul Bari, I:554; Taudhihul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram, I:469)

[8]Lihat, Sunan Abu Daud, I:347. Ada orang yang berpendapat bahwa hadis Thariq ini tidak dapat
dipakai hujjah, karena: (1) Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Huraim. Menurut Ibnu Hazm,
Huraim adalah rawi yang majhul (tidak terkenal). Karena itu, hadis yang pada sanadnya terdapat
rawi yang majhul tidak dapat dipakai hujjah, karena tidak dapat diketahui apakah rawi itu benar
atau tidak. (2) Thariq bin Syihab, walaupun ia bertemu dengan Nabi saw.. tetapi tidak mendengar

25

apapun dari beliau. Karena itu, tentu ia mendengar dari orang lain yang tidak disebut namanya.
Hadis yang seperti ini disebut mursal, sedangkan hadis mursal itu tidak boleh dipakai hujjah.
Tanggapan
(1) Pernyataan majhul dari Ibnu Hazm terhadap Huraim bin Sufyan tertolak, karena ia telah
dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Main, Abu Hatim, Ibnu Saad, Al-Ijli (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,
XXX:169). Karena itu, rawi tersebut dipergunakan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab
Shahih-nya (Lihat, Shahih al-Bukhari, Dar al-Salam, Riyadh, 1997, hal. 235, No. hadis 1199; Shahih
Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1992, I:242, No. hadis 538).
(2) Hadis yang dikatakan oleh sahabat dari Nabi saw.. padahal ia tidak mendengar secara langsung
dari beliau, disebut mursal sahabi. Menurut ahli hadis mursal shahabi dapat dipakai hujjah.
Meskipun demikian, hadis tersebut sebenarnya tidak mursal sahabi, karena pada riwayat Al-Hakim,
Thariq bin Syihab menerima dari sahabat lain, yaitu Abu Musa. Adapun keterangan lengkapnya
sebagai berikut:




















425 :1 Keterangan para rawi Abu Daud dan Al-Hakim di atas
[a] Al-Abbas bin Abdul Azhim (w. 246 H). An-Nasai berkata, Tsiqat (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,
XIV:222-225)
[b] Ishaq bin Manshur. Ibnu Main berkata, Laisa bihi Basun (tsiqat) (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,
II:478-480)
[c] Huraim bin Sufyan. Ibnu Main berkata, Tsiqat (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994, XXX:169).
[d] Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir. Abu Hatim berkata, Tsiqat (Lihat, Tahdzibul Kamal,
1994, II:183-184).
[f] Qais bin Muslim. Ibnu Main berkata, Tsiqat (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994, XXIV:81-83).
[g] Thariq bin Syihab sahabat Rasul
[h] Abu Musa Shahabat Rasul

[9]Lihat, Sunan Abu Daud, I:363

[10]Lihat, Sunan ad-Daraquthni, II : 3

26

[11]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III : 184

[12]Lihat, Lisan al-Mizan, VI : 55

[13]Lihat, adh-Dhuafa ash-Shagir lil Bukhari : 69

[14]Lihat, Mizan al-Itidal, II: 475-476

[15]Lihat, adh-Dhuafa wa al-Matrukin, libnil Jauzi, II : 136-137

[16]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:183

[17]Lihat, al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, II : 207

[18]Lihat, Lisan al-Mizan, III:202-203

[19]Lihat, Sunan ad-Daraquthni, II:40

[20]Lihat, adh-Dhuafa wa al-Matrukin:71; Mizan al-Itidal, II : 3-5

[21]Lihat, Tahdzib al-Kamal, XIV:214

[22]Lihat, Risalah Jumat KHE.Abdurrahman:72

[23]Metode ibarat al-nash adalah istilah yang dikemukakan Imam Hanafi, sedangkan mantuq
sharihdikemukakan oleh Imam as-Syafi'I, yakni mengambil makna hukum sesuai ungkapan lafal
teks.

[24]Hadis tersebut disampaikan oleh Jabir bin Abdullah. Lihat, Bulugh al-Maram, hal 156-157, No.
Hadis 742, kitab al-hajj, bab sifat al-haj wadukhul Makah

[25]Lihat, Shahih Muslim, II:886. Ada yang berpendapat bahwa wukuf Nabi di Arafah itu pada hari
Sabtu, 10 Dzulhijjah tahun 10 H. Seandainya pendapat ini dapat diterima, berarti pada hari Jumat
Nabi berada di Mina dan beliau melaksanakan salat zhuhur dan ashar bukan salat Jumat. Dengan
demikian pertimbangan ini tetap tidak menunjukkan bahwa waktu itu Nabi salat Jumat.

27

[26]Lihat, as-Sunan al-Kubra, I:504, No. hadis 1619

[27]A.Hasan dengan mengutip keterangan dari Zad al-Ma'ad I:229; Muhammad


Rasulullah:443; Hayat Muhammad:471 menegaskan bahwa haji Wada yang Nabi saw. dan sahabatsahabatnya kerjakan itu adalah pada hari Sabtu, bukan hari Jumah. Di dalam riwayat Muslim itupun
tidak ditegaskan Nabi saw. berhaji Wada pada hari Jumah, sedang dalam tarikh, diterangkan bahwa
mulai Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat keluar mengerjakan haji Wada adalah pada tanggal 25
Dzulqa'dah. Tanggal 25 Dzulqa'dah ini jatuh pada hari Sabtu. Dzulqa'dah ini jumlahnya 30 hari
karena dalam satu riwayat Aisyah berkata: "Nabi saw. keluar haji dalam bulan Dzilqa'dah dan
tinggal 5 hari lagi. Wukuf di Arafah dikerjakan pada tanggal 9 Dzilhijjah. Kalau kita menghitung dari
tanggal 25 Dzulqa'dah sampai tanggal 9 Dzilhijjah, maka tanggal Dzilhijjah itu jatuh pada hari Sabtu
juga. Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 185.

[28]Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 185-187; Kata Berjawab, III:43

[29]Yang mengetahui bahwa hari Arafah termaksud jatuh pada hari Jumat bukan Sd. Umar saja,
Ibnu Abbas, Muawiyah, Samurah bin Jundab dan Sd. Ali, semuanya mengatakan seperti yang
dikatakan oleh Sd. Umar tadi. Berpedoman kepada nama hari yang diketahui oleh beberapa
sahabat, yaitu tanggal 9 DzulHijjah itu adalah hari Jumat, dengan mudah dapat diketahui dari
tanggal satu dari bulan termaksud, yaitu hari Kamis, dan mudah pula kita mengetahui hari yang
terakhir dari bulan sebelumnya, yaitu bulan DzulQodah, yaitu hari Rabu, dan dengan berpedoman
kepadanya dapat kita mengetahui hari bertolak Rasulullah dari Madinah ke Mekkah, yang
dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan Siti Aisyah, beliau bertolak pada tanggal 25 DzulQadah, tanpa
keterangan harinya. Dan sebaliknya bila kita berpedoman kepada tanggal 25 atau 24 Dzulqa'dah
yang tidak diketahui harinya yang pasti, sulit atau tidak mungkin dengan pedoman tanggal tersebut
mengetahui hari apa tanggal satu bulan DzulHijjah, yang tidak diketahui pula umur bulan
Dzulqa'dah, apakah tiga puluh hari atau dua puluh sembilan hari, dan sebenarnya tidak perlu
diselidiki lagi hari apa Rasulullah wukuf di Arafah, sebab sudah ada yang mengetahuinya, yaitu
Umar dan sahabat-sahabat yang lain. Riwayat Umar itu tidak bertentangan dengan riwayat yang
lain, sebab bila diketahui tanggal 9 DzulHijjah itu hari Jumat, tentu tanggal 1 DzulHijjah itu jatuh
pada hari Kamis, dan hari Rabu adalah hari yang terakhir dari bulan DzulQadah, dan berdasarkan
riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah Rasulullah bertolak pada tanggal 25, kita dapat mengatakan bahwa
Rasulullah bertolak dari sana pada hari Sabtu setelah sembahyang Zhuhur empat rakaat. Rasulullah
bertolak bukan hari Jumat, sebab diterangkan sembahyang Zhuhur empat rakaat sebelum pergi,

28

dan biasanya Rasulullah tidak bepergian hari Jumat, dan bukan hari Ahad, sebab kan berubah hari,
tanggal 1 DzulHijjah, dan tidak cocok dengan keterangan Sd. Umar yang ia ketahui dengan yakin
tanggal 9 nya itu hari Jumat. Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No. 138 tahun XIII hal. 313-314

[30]Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No.138 tahun XIII, hal. 191, masalah No. 445

[31]Lihat, Sunan Abu Daud, I:363

[32]Lihat, Shahih al-Bukhari, 1997:820, kitabul maghazi, No. hadis 3990.

[33]Lihat, Umdah al-Qari, juz XVII, hal. 102.

[34]Ibid.

[35]Ibid.

[36]Lihat, Fathul Bari, VII:360, No. 3.990

[37]Lihat, Musnad as-Syafi'I bi Tartib as-Sindi, hal. 462

[38]Lihat, at-Thabaqat al-Kubra, III:384

[39]Lihat, Musnad as-Syafi'i, hal. 146, No. hadis 436

[40]Lihat, Mushannaf Abdurrazaq, III:240, No. hadis 5495

[41]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:185, No. hadis 5433

[42]Ibid, III:185, No. hadis 5434

[43]Ibid., III:239, No. hadis 5494,

[44]Ibid., III:240, No. hadis 5497. Menurut Ibnu Abdul Bar, jarak antara Aqiq-Madinah 10 mil (16 km)
Lihat, at-Tamhid, XXI:218

29

[45]Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, I:443, No. hadis 5108; I:479, No. hadis 5525

Pertanyaan:
Dengan keputusan tahun 2007 apakah dapat dikatakan bahwa yang dikecualikan
dari kewajiban Jumat itu menjadi 5 golongan?
Jawaban:
Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa yang dikecualikan dari kewajiban Jumat itu
menjadi 5 golongan, karena kedudukan musafir berbeda dengan ke-4 golongan
tersebut, yakni musafir dikenai taklif Jumat sedangkan ke-3 golongan tersebut tidak
dikenai taklif selain salat zhuhur. Adapun anak-anak tidak dikenai taklif keduanya.
Pertanyaan:
Apakah kebolehan musafir tidak Jumat pada keputusan tahun 2007 itu sama dengan
keputusan boleh tidak salat Jumat ketika ied jatuh pada hari Jumat?
Jawaban
Dalam sidangnya tanggal 17-19 Shafar 1419 H yang bertepatan dengan 12-14 juni
1998 di Bandung tentang "salat dzuhur pada hari raya bertepatan hari Jumat"
Dewan Hisbah memutuskan: "Menetapkan bahwa tidak ada salat dzuhur bagi orang
yang wajib salat Jumat, yang di pagi harinya mengikuti salat 'ied yang jatuh pada hari
Jumat"
Dari keputusan tersebut tampak jelas persamaan dan perbedaan tentang masalah
tersebut dengan keputusan tahun 2007 ini. Dikatakan sama karena keduanya
menetapkan boleh tidak melaksanakan salat Jumat. Dikatakan berbeda, karena pada
keputusan 1998 disebutkan "bagi orang yang wajib salat Jumat jika di pagi harinya
mengikuti salat 'ied yang jatuh pada hari Jumat, maka tidak ada salat zhuhur".
Sedangkan pada keputusan ini disebutkan bahwa bagi musafir yang tidak
melaksanakan salat Jumat wajib salat zhuhur.
Pertanyaan:
Mengapa hadis tentang khutbah dan salat zhuhur saat Nabi wukuf di Arafah dijadikan
dalil dibolehkannya musafir meninggal Jumat, padahal hadis itu khusus berkaitan
dengan sunnatul haj(syariat ibadah haji) pada saat wukuf jatuh hari Jumat?
Jawaban:
Hadis yang anda maksud sebagai berikut

30









...















... Selanjutnya Rasulullah saw.. berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau
menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau
singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh
dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya
beliau sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-orang...
(kemudian dikumandangkan adzan) selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur,
kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara
kedua salat itu. H.r. Muslim[1]

Lampiran 1. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 1994


KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH
TENTANG
SALAT JUMAT DI ARAFAH

Dewab Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) dalam sidangnya hari Ahad Tanggal 5
Rabiuts Tsani 1415 H / 11 September 1994 M di Jakarta, setelah :
MENDENGAR:
1.

Pengarahan dari Ketua Umum PP. Persis Al-Ust. KHA. Latief Muchtar, MA

2.

Makalah tentang masalah salat jumat di Arafah yang disampaikan oleh Al-Ust.

KHM. Abdurrahman ks.

31

3.

Pembahasan dari seluruh anggota Dewan Hisbah tentang masalah tersebut.

MENGINGAT:
Berdasarkan keterangan hadis serta perhitungan Dewan Hisab Persatuan Islam
menyatakan bahwa Nabi saw. wukuf pada haji wadanya jatuh pada hari Jumat dan
beliau tidak melaksanakan salat Jumat melainkan salat Zhuhur dan ashar di jama
qasar.
MENIMBANG:
Perlu adanya kejelasan tentang ada tidaknya salat Jumat di Arafah saat wukuf.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan bahwa pelaksanaan salat Zhuhur dijama dengan ashar pada saat wukuf
yang jatuh pada hari Jumat lebih utama.
Demikian KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH mengenai masalah tersebut dengan
makalah terlampir.

Jakarta, 5 Rabuts Tsani 1415 H/11 September 1994 M
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
KETUA,
ttd.

SEKRETARIS,
ttd.

KH. E. SAR'AN

KH. DRS. SHIDDIQ AMIEN, MBA

NIAT : 03897

NIAT : 6490.00

Fote note.
[1]Lihat, Shahih Muslim, II:886.
RIWAYAT AZ-ZUHRI TENTANG JUMAT BAGI MUSAFIR

32








:









Ibrahim bin saad berkata dari Az-Zuhri: Apabila Muadzin adzan pada hari Jumat dan
dia dalam keadaan safar, hendaklah ia menghadirinya H.r. al-Bukhari secara
muallaq, Shahih al-Bukhari, I:307, kitab al-Jumah bab al-masy ila al-jumah wa
qaulillahi taala fasauu ilaa dzikrillah (Q.s. al-Jumuah:9)
Riwayat ini dapat kita analisa dari dua pendekatan: Pertama, kedudukan dan
pemahaman riwayat az-Zuhri menurut para ulama. Kedua, pemahaman riwayat azZuhri dalam konteks fiqh al-Bukhari. Artinya maksud Imam al-Bukhari dengan
mencantumkan riwayat tersebut dalam bab tersebut. Yang disajikan dalam makalah
ini adalah riwayat az-Zuhri menurut pendekatan pertama. Adapun menurut
pendekatan kedua, insya Allah akan diuraikan dalam makalah terpisah.
Kedudukan & Pemahaman Riwayat az-Zuhri
Sejauh pengetahuan kami, riwayat az-Zuhri dengan redaksi di atas hanya
diriwayatkan oleh al-Bukhari secara muallaq (tidak disebut sanadnya). Hemat kami,
para ulama pensyarah Shahih al-Bukhari, semisal al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Aini pun
tidak mendapatkan riwayat itu secara maushul (disebut secara lengkap
ketersambungan sanadnya). Yang ditemukan secara maushul dengan redaksi
sebagai berikut:




Dari Mamar, dari az-Zuhri, ia (Mamar) berkata, Saya bertanya kepadanya tentang
musafir yang melewati sebuah kampung, lalu ia singgah padanya di hari Jumat. Ia
menjawab, Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri Jumat H.r.
Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:174, No. 5205
Sedangkan Ibn Hazm memuat dengan redaksi













:






Dan ia menjawab apabila ditanya tentang musafir yang memasuki sebuah kampung
di hari Jumat, lalu ia singgah padanya. Ia menjawab, Apabila ia mendengar adzan,
hendaklah ia menghadiri Jumat Lihat, al-Muhalla, V:51, tanpa mencantumkan sanad
dan mukharrij (periwayat hadis)

33

Selain itu pernyataan az-Zuhri di atas seakan-akan bertolak belakang dengan


pernyataannya sendiri sebagaimana dinyatakan para ulama. Kata Ibn al-Mundzir:







:



Dan perkataan az-Zuhri: Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri
Jumat dan sungguh diikhtilafkan darinya Lihat, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma wa
al-Ikhtilaf, IV:20
Adapun riwayat yang dimaksud sebagai berikut:





















Musafir tidak wajib Jumat. Dan jika musafir mendengar adzan Jumat ketika berada di
suatu negeri yang mengadakan Jumat, hendaklah ia hadir bersama mereka H.r. Ibn
al-Mundzir, dari al-Walid bin Muslim, dari al-AuzaI, dari az-Zuhri. Lihat, al-Ausath fi
as-Sunan wa al-Ijma wa al-Ikhtilaf, IV:20
Perbedaan riwayat az-Zuhri di atas disikapi oleh para ulama sebagai berikut:
1.

Kata Ibn al-Mundzir:







Dan perkataannya: falyahdhur maahum, kemungkinan yang ia maksud adalah


istihbab (hukumnya sunat), dan kalau maksudnya tidak begitu maka perkataannya
syadz, menyalahi pendapat ahli ilmu dan menyalahi petunjuk sunnah Lihat, alAusath fi as-Sunan wa al-Ijma wa al-Ikhtilaf, IV:20
2.

Badruddin al-Aini berkata:

Dan dikatakan perkataan az-Zuhri dimaknai pada dua keadaan: Ketika ia berkata,
Laa Jumata ala musafirin maksudnya atas dasar kewajiban (musafir tidak wajib
Jumat) dan ketika ia berkata, Fa alaihi an yasyhada maksudnya atas dasar
mustahab (musafir disunatkan Jumat) Adapun riwayat Ibrahim bin Saad darinya
maka mungkin dimaknai bahwa apabila bersesuaian/bertepatan kehadirannya di
suatu tempat yang di sana didirikan salat Jumat, lalu ia mendengar Adzan Jumat,
sesungguhnya Jumat itu memestikan musafir Lihat, Umdah al-Qari, X:93
3.

Kata Ibn Hajar:

34







Dan mungkin perkataan az-Zuhri dimaknai pada dua keadaan: Ketika ia berkata,
Laa Jumata ala musafirin maksudnya atas dasar kewajiban (musafir tidak wajib
Jumat) dan ketika ia berkata, Fa alaihi an yasyhada maksudnya atas dasar
mustahab (musafir disunatkan Jumat) Dan mungkin riwayat Ibrahim bin Saad ini
dimaknai pada keadaan khusus, yaitu apabila bersesuaian/bertepatan kehadirannya
di suatu tempat yang di sana didirikan salat Jumat, lalu ia mendengar Adzan Jumat,
bukan Jumat itu yang sesungguhnya memestikan musafir secara mutlak hingga
haram safar sebelum zawal dari negeri yang dikunjunginya sekadar lewat/singgah
(tidak menetap), sebagai misal Lihat,Fath al-Bari, II:391
Analisa Kami
Dari kedua perkataan az-Zuhri di atas kami berkesimpulan bahwa menurut az-Zuhri
musafir itu punya dua keadaan: Pertama, musafir yang hadir/tiba ditempat safar
waktu Jumat, lalu ia mendengar adzan, maka hendaklah menghadiri Jumat. Hemat
kami ini yang dimaksud dengan perkataannya:












Apabila Muadzin adzan pada hari Jumat dan dia dalam keadaan safar, maka dia
wajib menghadirinya
Pemaknaan ini diperoleh dengan memperhatikan fatwanya kepada Mamar ketika
ditanya tentang musafir yang melewati sebuah kampung, lalu ia singgah padanya di
hari Jumat. Ia menjawab:







Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri Jumat H.r. Abdurrazaq, alMushannaf, III:174, No. 5205
Kedua, musafir belum hadir/tiba ditempat safar atau sedang dalam perjalanan waktu
Jumat, baik ia mendengar adzan ataupun tidak, ia tidak wajib menghadiri Jumat.
Dengan demikian perkataanya:

35

Hemat kami, tidak menunjukkan bahwa menurut beliau musafir itu wajib Jumat,
namun menunjukan anjuran atau mustahab sebagaimana dikatakan para ulama di
atas. Adapun qarinahnya (keterangan pendukung) diperoleh dari perkataannya:





















Musafir tidak wajib Jumat. Dan jika musafir mendengar adzan Jumat ketika berada di
suatu negeri yang mengadakan Jumat, hendaklah ia hadir bersama mereka
TIDAK ADA SALAT JUMAT DI ARAFAH
Oleh: H.M.Abdurrahman Ks
Menetapkan ada dan tidak adanya salat Jumat tatkala wukuf di Arafah,terlebih
dahulu harus meneliti hari apa Rasulullah wuquf tatkala haji Wada, selanjutnya
meneliti bagaimana pelaksanaan Rasulullah pada waktu itu.
Kalaulah wuquf Rasulullah bukan hari Jumat, maka bila hari wuquf jatuh pada hari
Jumat, hutbah harus dilaksanakan 2 kali, satu hutbah Arafah sebelum adzan,kedua
hutbah Jumat setelah adzan, kemudian salat Jumat dan terus salat ashar.
Hari apa Rasulullah wuquf di Arafah tatkala haji Wada?
Menurut keterangan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Shahabat Umar
bin al-Khaththab sebagai berikut:















17 : 1 .






Artinya: Dari Umar bin al-Khaththab r.a. bahwa seseorang dari golongan Yahudi
berkata padanya,Hai Amirul Mukminin! Ada satu ayat dalam kitab kamu yang kamu
suka membacanya, kalau pada kami (bangsa Yahudi) ayat itu turun, pasti kami akan
menjadikan hari itu, hari raya. Berkata Umar, Ayat apa? orang Yahudi berkata, AlYauma Akmaltulakum........ berkata Umar, Sungguh saya tahu hari itu, dan tempat
turun ayat itu pada Nabi SAW, Nabi sedang berdiri di Arafah, di Arafah. Al-Bukhari I :
17
Berdasarkan hadits ini jelaslah wuquf Rasulullah itu Jumat.

Syaikh Abu Abdillah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi


menegaskan:


61 : 6 .









Artinya: Sesungguhnya ayat itu turun di hari Jumat, dan hari itu hari Arafah, bada
Ashar di haji Wadatahun ke-10 dan Rasulullah SAW wuqufnya di atas untanya

36

Adlba,tulang depan kaki unta itu hampir patah akibat beratnya ayat itu, kemudian
unta itu berlutut (bahasa sunda: depa). Al-Qurthubi VI : 61
Komentar Syaikh Abu Fida Ismail Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya:



14 : 2 .







Artinya: Bahkan yang benar yang tidak ragu dan tidak syak lagi, sesungguhnya ayat
itu diturunkan di hari Arafah dan hari itu hari Jumat,seperti telah meriwayatkan
padanya Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib....... Ibnu Katsir II : 14
Selanjutnya berdasarkan ilmu hisab yang telah saya hitung, juga al-Ustadz K.H.A.
Ghazali dan lainnya, ternyata benar bahwa wuquf di Arafah pada masa Rasulullah
haji Wada itu hari Jumat. (Hitungannya terlampir)
Dengan bukti dari hasil perhitungan itu, bahwa yang dimaksud Yauma Jumuatin
(tidak pakai alif lam) adalah hari Jumat.
Setelah yakin bahwa wuquf di zaman Rasulullah tatkala haji wada itu hari Jumat,
marilah kita teliti bagaimana kaifiyat Rasulullah pada waktu itu, apakah salat Jumat
atau tidak.
Kita telah tahu bahwa Rasulullah SAW ibadah hajinya hanya satu kali dan tidak
ibadah haji lagi sebab 85 hari setelah itu beliau meninggal dunia, sedangkan dalam
cara ibadah haji Rasulullah memerintahkan:


.









Kamu harus mengambil (dariku) cara ibadah haji kamu, maka sesungguhnya saya
tidak tahu mungkin saya tidak haji lagi setelah haji ini.
Berdasarkan hadits riwayat Muslim dari sahabat Jabir r.a.:



)
150 : , )
Artinya: Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau
menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau
singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh
dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya
beliau sampai di lembah, terus <span>beliau memberi hutbah pada manusia,
kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya qomat, terus beliau salat Dzuhur,
kemudian qomat, dan terus salat Ashar</span>, serta beliau tidak salat apapun
diantara kedua salat itu. H.S.R. Muslim dari Jabir, lihat Bulugh al-Maraam bab Shifat
al-Hajj

37

Terjemah yang digaris bawahi itulah yang menunjukan kaifiyat amal ibadah tatkala
wuquf di Arafah, waktu itu hari Jumat, Rasul tidak melaksanakan salat Jumat. Dan
itulah yang disebut khutbah Arafah, yang harus dilaksanakan di Arafah di hari
apapun terjadinya hari Arafah.
Dengan dua alasan di atas, maka:
a.

Hari wuquf di zaman Rasulullah (haji wada) adalah hari Jumat.

b.

Rasulullah pada waktu itu tidak salat Jumat.

Maka dapat ditetapkan bahwa : TIDAK ADA SALAT JUMAT DI ARAFAH.


Bagaimana hubungannya dengan hadits tentang salat Jumat? Hadits bab Jumat
yang bunyinya:



.




















Artinya: Salat Jumat itu haq sertawajib bagi seluruh umat Islam,dengan berjamaah,
kecuali 4 golongan: abid, perempuan, anak-anak, dan yang sakit. H.R. Abu Daud dari
Thariq bin Syihab
Hadits tentang Rasulullah tidak salat Jumat di Arafah, termasuk pentakhsis dari
keumuman wajib Jumat bagi seluruh umat Islam.
Perlu kita ingat tentang Ushul Fiqh, bahwa takhsis itu ada dua macam, ada yang
muttashil dan ada yang munfashil.
Contohnya takhsis muttashil (bersambung langsung dalam susunan kalamnya),
seperti riwayat Abu Daud di atas.
Takhsis munfashil (pentakhsisnya di matan yang lain) seperti dalam bab Arafah hari
Jumat, Nabi tidak menyelenggarakan salat Jumat. Takhsis bi al-Fili.
Takhsis munfasil satu lagi dengan qaulinya, tentang rukhshah tidak berjumat bila
bersamaan hari ied dengan hari Jumat/hari iedil fihri atau adlha di hari Jumat.



.


















Artinya: Sungguh telah berkumpul di hari kamu ini dua perayaan, maka siapa yang
mau cukup padanya tidak berjumat sedangkan saya akan berjumat. H.R. Abu Daud
dari Abu Hurairah
Pesantren Persis No. 7
Jalan Campaka Warna 75, telp. 330905
Cilembang Tasikmalaya 46123
<span>05 Rabi al-Awwal 1415 H</span>
13

Agustus

1994 M

38

Lampiran 2. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 1998


KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH
TENTANG
SALAT DZUHUR PADA HARI RAYA BERTEPATAN HARI JUMAT

Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) dalam sidangnya pada tanggal 17-19 Shafar
1419 H/12-14 Juni 1998 di Bandung, setelah :
MENDENGAR:
1.

Pengantar dan pengarahan dari Ketua Umum PP Persis dan Ketua Dewan

Hisbah.
2.

Makalah tentang Salat Dluhur Pada Hari Raya yang Jatuh pada Hari Jumat yang

disampaikan oleh Al Ustadz KH. A. Zakaria yang menyatakan bahwa orang yang
wajib Jumat, pagi harinya ikut salat 'ied, maka siang harinya mesti salat dzuhur.
3.

Pembahasan dari seluruh anggota Dewan Hisbah tentang masalah tersebut.

MENGINGAT DAN MENIMBANG:


1.

Zhohir hadis Ibnu Zubeir menunjukkan bahwa beliau tidakk salat dzuhur,

setelah pagi harinya mengimami salat 'ied yang jatuh pada hari Jumat.
2.

Kalimat "Fajama'ahuma Jami'an" dalam hadis Ibnu Zuber menunjukkan bahwa

yang salat 'ied pagi hari berarti ia juga sekaligus telah Jumat.
3.

Bagi yang wajib Jumat tidak ada kewajiban dzuhur

4.

Salat sendiri-sendiri yang dilakukan oleh Atha dan yang lainnya tidak berdasar

sunnah, dan Atha sendiri ragu-ragu, terbukti ia menanyakan hal itu kepada Ibnu
Abbas RA.
5.

Yang dinilai "Ashaba Sunnah" oleh Ibnu Abbas adalah perbuatan Ibnu Zuber,

bukan perbuatan 'Atha dan yang lainnya, sesuai dengan hadis Nabi SAW. :



73:1 : -


















1311 : -

MEMUTUSKAN:

39

Menetapkan bahwa tidak ada salat dzuhur bagi orang yang wajib salat Jumat, yang di
pagi harinya mengikuti salat 'ied yang jatuh pada hari Jumat
Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah tentang masalah tersebut dengan
makalah terlampir.

Bandung,19 Shafar 1419 H


14

Juni 1998 M

DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM

Ketua
k.H.E. Saran

Sekretaris
Drs. Shiddiq Amien

Niat: 03897

Niat: 06490

Lampiran Makalah
Salat Dzuhur pada Hari Raya bertepatan Hari Jum'at
oleh: K.H. Aceng ZAKARIA
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama:





















.














Dari Ibnu Juraij berkata: Atha telah berkata: telah terjadi bersamaan hari Jumat
dengan hari raya Ied Al-Fitri di jaman ibnu Zubair, maka ibnu Zubair berkata: telah
terjadi bertepatan dua Ied pada satu hari, lalu beliau menyatakan keduanya dengan

40

salat dua rakaat di pagi hari. Beliau tidak menambah lagi (salat) sampai salat Ashar.
H.r. Abu Daud



(
























...








Ungkapan tidak menambah lagi (salat) sampai salat Ashar menurut dhahirnya
hadis tersebut (menunjukkan) bahwa beliau tidak salat Dzuhur. Hadis ini
menunjukkan bahwa apabila Jumat itu gugur dengan cara-cara yang dibenarkan
(agama), maka bagi yang gugur Jumat itu tentu tidak wajib salat Dzuhur.



.













321 : 3
Engkau pasti tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah kepada hambanya pada hari
Jumat adalah salat Jumat, (bukan Dzuhur). Dengan demikian maka kewajiban salat
Dzuhur bagi yang meninggalkan Jumat dengan sebab ada alasan, (hal) itu
memerlukan dalil, sedangkan di dalam hal ini menurut sepengetahuan kami tak
terdapat dalil yang dapat dijadikan pegangan untuk itu (wajibnya Dzuhur). (Nail Al
Authar III : 321)




409 : 3 .


:




Menurut Atha, Jumat dan Dzuhur itu keduanya gugur pada hari itu, maka tidak ada
lagi salat setelah salat Ied, kecuali salat Ashar. (Aun Al Mabud III : 409
Kedua:







.


















Dari Atha bin Abi Rabah ia berkata: Ibnu Zubair telah salat bersama kami pada hari
raya di hari Jumat pagi hari, kemudian kami pergi Jumat, akan tetapi Ibnu Zubair
tidak keluar, lalu kami salat sendiri-sendiri, sedang Ibnu Abbas waktu itu berada di
Thaif. Ketika dia datang, kami ceritakan hal itu kepadanya, lalu ia menjawab bahwa
hal itu cocok dengan sunnah. (HR. Abu Daud)




(











)



.

Menurut (Al Shanani) : tidak samar lagi bahwa keterangan Atha yang menerangkan
tentang Ibnu Zubair tidak keluar untuk salat Jumat, itu tidak berarti dalil yang pasti
bahwa Ibnu Zubair tidak salat di rumahnya.

41

53 : 2
Maka yang pasti/jelas bahwa pendapat Ibnu Zubair ialah gugur salat Dzuhur pada
hari Jumat, karena merupakan perayaan bagi orang yang salat Ied. Dengan dasar ini,
hal itu tidak benar sebab mungkin saja ia salat Dzuhur di rumahnya, bahkan dalam
hadis Atha itu sendiri menerangkan bahwa mereka salat sendiri-sendiri, yakni salat
Dzuhur. Hal ini memberi pengertian bahwa tidak ada yang berpendapat gugur (salat)
Dzuhur, dan tidak bisa diartikan bahwa mereka salat Jumat sendiri-sendiri, karena
salat Jumat itu tidak boleh/sah kecuali dengan berjama'ah. (Subul Al Salam : 53).
Kesimpulan
1.

Apabila kebetulan bertepatan pada hari Jumat dengan hari raya, maka bagi

yang telah melaksanakan shala Ied, boleh tidak melaksanakan salat Jumat.
2.

Hadis-hadis yang menyatakan adanya rukhshah Jumat adalah hadis yang

shahih menurut para ulama ahli hadis.


3.

Mereka yang menyatakan dlaif terhadap hadis-hadis tersebut tidak

berdasarkan alasan-alasan yang kuat.


4.

Adanya rukhshah Jumat telah diakui oleh Ibnu Abbas, Utsman serta Ibnu Zubair.

5.

Orang yang menyatakan tidak ada rukhshah dalam Jumat dengan sebab/alasan

tidak mungkin yang wajib gugur oleh yang sunat. Itu tidak kuat, buktinya
mendengarkan khutbah Jumat itu wajib sedang salat tahiyat al mesjid sunat.
Ternyata Nabi menyuruh seseorang untuk salat tahiyat al masjid pada waktu Nabi
sedang berkhutbah, atau dalam perjalanan dibolehkan membataklan puasa padahal
puasa itu wajib sedangkan bepergian itu mubah.
6.

Mereka (laki-laki) yang tidak sempat melaksanakan salat Ied tetap wajib

melaksanakan salat Jumat


7.

Mereka yang tidak melaksanakan salat Jumat karena telah melaksanakan salat

Ied (menurut hema: penulis, pen.) tetap wajib melaksanakan salat Dzuhur,
mengingat pendapat hadis yang menyatakan kami salat sendiri-sendiri.
8.

Ibnu Zubair yang tidak melaksanakan salat Jumat, tidak berarti tidak

(melaksanakan) salat Dzuhur di rumahnya.


9.

Pernyataan bahwa Ibnu Zubair tidak menambah lagi salat sampai dengan salat

Ashar, itu bukan pernyataan Ibnu Zubair sendiri, tetapi dugaan dan perkiraan orang
lain (Atha) terhadap Ibnu Zubair.
Lampiran 2. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 2001
KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH

42

TENTANG
HUKUM SALAT JUMAT BAGI MUSAFIR

Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah
MENGINGAT:
Alquran dan Hadis Rasulullah saw.. yang menerangkan tentang wajib Jumat
















9 :


Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.s. Al-Jumuah:9

































Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, Jumat itu adalah hak
yang wajib bagi setiap muslim secara berjamaah kecuali empat golongan; hamba
sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit. H.r. Abu Daud
MENDENGAR:
1.

Pengarahan dari Ketua Umum PP Persis K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA dan

Pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.A. Syuhada.


2.

Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh KH.Wawan Shofwan tentang

makalah tersebut
3.

Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah

tersebut di atas
MENIMBANG:
1.

Ada pemahaman bahwa musafir tidak wajib Jumat karena tidak ditemukan

keterangan Rasulullah saw.. salat Jumat waktu shafar.


2.

Perlu diambil istinbat tentang masalah tersebut

MENGISTINBAT:
Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat
Demikian keputusan sidang dewan hisbah mengenai masalah tersebut dengan
makalah terlampir.

43

Bandung,
15

Juni

23 R. Awwal 1422 H
2001 M

DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM

Ketua

Sekretaris

K.H. Akhyar Syuhada

K.H.Dr. M. Abdurrahman, MA

NIAT: 1632

NIAT: 7070

Lampiran Makalah
MUSAFIR TIDAK DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN JUMAT
Oleh: Wawan Shofwan Sh
Ibadah Jumat itu adanya dinyatakan oleh asy-Syaari, yaitu Allah SAW.. Dengan
demikian ibadah Jumat adalah ibadah yang masyru, yang hukumnya wajib. Allah
SWT berfirman:
















9 : .


Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila engkau dikumandangkan seruan
kepada salat di hari Jumat maka pergilah kepada dzikrullah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Q.S. alJumuah : 9
Ayat di atas berlaku umum, tetapi keumumannya dikecualikan oleh sabda Rasulullah
SAW. di dalam hadis sebagai berikut:

.






Artinya: Dari Thariq bin Syihab dari Nabi SAW. beliau bersabda, Jumat itu hak yang
wajib atas setiap muslim dalam jamaah kecuali empat; hamba sahaya, perempuan,
anak kecil, atau yang sakit. H.R. Abu Daud

44

Hadis ini mengecualikan keumuman ayat di atas sehingga empat macam tersebut itu
tidak diseru oleh panggilan Jumat.
Dengan dua keterangan ini jelaslah bahwa untuk menandakan ibadah yang masyru,
wajib berdasarkan dalil.
A. Hassan, beliau pernah menerima pendapat K.H. Masum tentang tiadanya salat
Jumat bagi musafir, berdasarkan hadis yang mengecualikan musafir bersama
perempuan, anak-anak, orang yang sakit, dan hamba sahaya, bukan berdasarkan
tidak diceritakannya Jumat Rasul di dalam perjalanannya. Sehingga yang
dikecualikan dari kewajiban Jumat menjadi lima. Tetapi setelah ternyata hadis-hadis
yang menyatakan dikecualikannya musafir dari kewajiban Jumat itu dhaif, rujuklah
beliau kepada pendapat awalnya berdasarkan ayat dan hadis yang shahih, yaitu
Jumat itu wajib atas setiap muslim kecuali empat.
K.H.E. Abdurrahman menyatakan, Tidak diberitakan, atau diriwayatkan Rasulullah
saw.. dalam safarnya mendirikan salat Jumat, tidak berarti Rasulullah tidak
melakukan salat termaksud, sebab kita tidak dapat memastikan tidak ada, dengan
dalih karena tidak disebut, kita dapat mengatakan tidak ada bukan karena tidak
disebut atau tidak dibicarakan, tapi kita dapat mengatakan tidak ada karena kita
tahu akan tidak adanya (al-Ilmu bi Adamihi).
Bila kita membaca atau mendengar perjalanan (safar) seorang muslim, dan dalam
laporan itu tidak disinggung-singgung, tidak disebut-sebut makan minumnya, atau
sembahyangnya, itu tidak berarti dia dalam safarnya tidak makan atau minum atau
tidak sembahyang, sebab yang pertama adalah sesuatu yang sudah lazim dan kedua
adalah kewajiban yang mesti dilaksanakan. Risalah Jumat : 72
Adapun hadis-hadis yang menerangkan bahwa musafir dikecualikan dari kewajiban
Jumat adalah sebagai berikut:
Hadis pertama:



.


















Dari Jabir bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda, Siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, baginya kewajiban Jumat pada hari Jumat, kecuali yang sakit,
musafir, perempuan, anak kecil, atau hamba sahaya. Maka siapa yang tidak butuh
dengan kesenangan (yang melalaikan) atau perdagangan, niscaya Allah tidak
membutuhkannya. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji. H.R. ad-Daraquthni dan
al-Baihaqi

45

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daraquthni dalam Sunan ad-Daraquthni, II : 3


dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, III : 184. Mereka sama-sama meriwayatkan
melalui dua orang rawi yang dhaif yaitu Muadz bin Muhammad dan Ibnu Lahiah.
Adapun keterangan kedaifannya adalah sebagai berikut:
1.

Muadz bin Muhammad al-Anshari

Tentangnya al-Uqaili mengatakan, Pada hadisnya terdapat waham (kesamaran).


Ibnu Adi mengatakan, Munkarul Hadiits (hadisnya diingkari). Lisan al-Mizan, VI : 55
2.

Ibnu Lahiah, yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Lahiah, dinamai

juga Ibnu Uqbah Abu Abdurrahman al-Hadrami.


Dia adalah seorang yang shaleh, akan tetapi ia berbuat tadlis dari rawi-rawi yang
daif, kemudian kitab-kitabnya terbakar. Adh-Dhuafa ash-Shagir tulisan Imam alBukhari : 69. Ibnu Main mengatakan, (Dia itu) daif, tidak dijadikan hujjah
dengannya. Al-Humaid mengatakan dari Yahya bin Said, Bahwa ia tidak melihatnya
sama sekali. Mizan al-Itidal, II: 475-476 Ibnu Wahb mengatakan, Ibnu Lahiah itiu
dapat dipercaya. Abu Hatim Ibnu Hibban mengatakan, Aku telah menyiarkan beritaberita Ibnu Lahiah, maka aku melihatnya mentadlis (memalsukan) dari rawi-rawi
yang daif atas rawi-rawi yang tsiqat. Kemudian ia tidak menghiraukan apa yang
ditolak kepadanya. Ia membacanya baik itu dari hadisnya atau pun bukan dari
hadisnya. Maka wajib menjauhi riwayat-riwayat yang telah lalu sebelum kitabkitabnya terbakar, sebab pada riwayat-riwayatnya itu terdapat khabar-khabar yang
mudallas (yang dipalsukan) dari rawi-rawi yang matruk. Maka wajib meninggalkan
hujjah dengan riwayat-riwayat yang kemudian setelah kitab-kitabnya terbakar karena
pada riwayat-riwayatnya terdapat hadis-hadis yang bukan riwayatnya. Adh-Dhuafa
wa al-Matrukin, Ibnul Jauzi, II : 136-137
Menurut penelitian kami, Ibnu Lahiah itu memang seorang yang Shaduq. Namun ia
sering melakukantadlis dari rawi-rawi yang daif. Selain itu, tulisan-tulisan/karyakaryanya pernah terbakar hangus. Apabila riwayat-riwayatnya ketika sebelum kitabkitabnya terbakar ditolak, tentulah riwayat-riwayatnya setelah kitab-kitabnya
terbakar
Hadis kedua:








:








r



.














Dari Tamim ad-Dari, dari Nabi SAW. bersabda, Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas
anak kecil, hamba sahaya, musafir (yang dalam perjalanan). Dan dalam riwayat

46

Abdan, Sesungguhnya Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas anak kecil, hamba
sahaya, musafir (yang dalam perjalanan). H.R. al-Baihaqi
hadis ini pun daif karena pada sanadnya terdapat dua orang rawi yang daif yaitu alHakam bin Amr dab Dharar bin Amr al-Multhi.
1.

Al-Hakam bin Amr, yang disebut juga Ibnu Umar ar-Ruaini.

Tentangnya Yahya bin Main mengatakan, Al-Hakam bin Amr ar-Ruaini itu laisa
bisyai-in.
Saad bin Abu Maryam berkata, Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Main
mengenai al-Hakam bin Amr, beliau mengatakan, (ia itu) daif, hadisnya tidak ditulis.
Al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, II : 207
2.

Dharar bin Amr al-Multhi

Tentangnya Ibnu Adi mengatakan, (ia) Munkarul Hadis (hadisnya diingkari). Imam
al-Bukhari mengatakan, Fihi Nadzarun (ia itu tertuduh dusta). Yahya bin Main juga
mengatakan, (ia itu) daif. Al-Uqaili dan Ibnu al-Jarud menerangkannya dalam
(kelompok) rawi-rawi yang daif. Abu Nuaim berkata dari Yazid ar-Ruqasyi dari Anas
dari Tamim, Hadisnya munkar. Lisan al-Mizan, III : 202-203
Adapun pengertian Fiihi Nadzarun yang diungkapkan oleh Imam al-Bukhari memiliki
pengertian khusus, yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh adz-Dzahabi, Jarang
sekali menurut Imam al-Bukhari bagi seorang rawi yang dinyatakan fiihi Ndzarun,
kecuali ia itu rawi yang tertuduh dusta. Syifa-u al-Alil, I: 313
Hadis ketiga:
.







:



r
Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW. bersabda, Tidak ada kewajiban Jumat bagi
musafir. H.R. ad-Daraquthni
Pada hadis ini ada seorang rawi yang daif, yaitu Abdullah bin Nafi Maula Ibnu Umar
al-Qurasyi al-Madini Abu Bakar. Imam al-Bukhari mengatakan, (ia itu) munkarul
hadis. Ibnu al-Madini mengatakan, Ia meriwayatkan dari rawi-rawi yang munkar.
Imam al-Bukhari juga mengatakan, Diperselisihkan tentang hadisnya. Serta Imam
an_Nasai berkomentar, (ia itu) matruk. Lihat Adh-Dhuafa ash-Shagir, al-Bukhari,
Adh-Dhuafa wa al-Matrukin, Ibnul Jauzi, halaman 71, dan Mizan al-Itidal, II : 3-5.
Abbas ad-Dauri dari Yahya bin Main mengatakan, (ia itu) daif. Ali bin al-Madini
mengatkan, Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar. Abu Hatim mengatakan,
Munkarul Hadis, dan ia itu anak Nafi yang paling daif. An-Nasai mengatakan,
Matrukul Hadis. Tahdzib al-Kamal, XIV : 214

47

Hal ini lebih diperkuat lagi oleh Ibnu Umar. Beliau adalah shahabat yang taassi
kepada Rasulullah SAW.. Ketika beliau sebagai musafir ke Makkah, beliau melakukan
salat Jumat.


























r .
Dari Atha, ia berkata, Adalah Ibnu Umar jika berada di Makkah, ia salat Jumat
kemudian maju lalu salat dua rakaat kemudian maju lagi lalu salat empat rakaat,
namun jika ia berada di Madinah, ia salat Jumat kemudian pulang ke rumahnya lalu
salat dua rakaat dan tidak salat ke mesjid. Kemudian ditanyakan kepadanya, ia
menjawab, Adalah Rasulullah SAW. mengerjakannya. H.R. Abu Daud
Kesimpulan:
Pelaksanaan salat dzuhur bagi yang wajib Jumat adalah bidah.
Lampiran 3. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 2007
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
Pada Sidang Dewan Hisbah II Pasca Muktamar XIII
Di PC Persis Banjaran, <span>03 Rabi'uts Tsani 1428 H</span>
21

April

2007 M

Tentang:
HUKUM JUMAT BAGI MUSAFIR

Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah:
MENGINGAT:
1. Firman Allah tentang wajib Jumat



Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.s. Al-Jumuah:9
2. Hadis Rasulullah saw. tentang golongan yang dikecualikan dari kewajiban Jumat

48

Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw. saw. beliau bersabda, Jumat itu adalah hak
yang wajib bagi setiap muslim secara berjamaah kecuali empat golongan; hamba
sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit. H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud,
I:347
3. Hadis yang menerangkan bahwa pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jumat di
Arafah Rasulullah saw. salat zhuhur dijama dengan ashar









...















... Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan
tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di
Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa
(unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di
lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-oran...(kemudian
dikumandangkan adzan) selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian
iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat
itu. H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:886
4. Hadis tentang Ibnu Umar yang melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:






























Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat
Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat,
kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di
Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak
salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, "Rasulullah saw.
melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud, Sunan Abu
Daud, I:363
5. Hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai
berikut:





Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid
bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar

49

berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan
Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari, Fathul Bari, VII:360, No. 3.991
MENDENGAR:
1.

Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Usman Shalehudin

2.

Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis K.H. Drs. Shiddiq Amien,

MBA
3.

Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh: K.H. Luthfi Abdullah Ismail, Lc

4.

Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah

tersebut di atas
MENIMBANG:
1.

Keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang beristinbath bahwa "Musafir tidak

dikecualikan dari kewajiban Jumat"


2.

Hadis-hadis tentang empat golongan yang dikecualikan dari wajib Jumat

adalah sahih.
3.

Hadis-hadis tentang musafir yang dikecualikan dari wajib Jum'at semuanya

daif.
4.

Wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. dan

Nabi melaksanakan salat zhuhur dan ashar dijama dan diqasar.


5.

Ada pemahaman wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Sabtu, 10 Dzulhijjah

tahun 10 H. Dengan demikian, pada hari Jumat Nabi berada di Mina dan beliau
melaksanakan salat zhuhur dan ashar bukan salat Jumat.
6.

Ada pemahaman bahwa musafir tidak wajib Jumat karena tidak ditemukan

keterangan Nabi saw. salat Jumat waktu shafar termasuk waktu pelaksanaan haji.
7.

Tidak ditemukan satu keteranganpun selama Nabi melakukan safar haji atau

lainnya melakukan Jumat.


8.

Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar salat Jumat ketika Safar di Mekah.

9.

Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar ketika menjenguk yang sakit di

Badar tidak melaksanakan Jumat


10.

Orang yang sedang melaksanakan ibadah haji adalah musafir.

11.

Perlu dipertegas kembali tentang hukum Jumat bagi musafir.

Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam


MENGISTINBAT:
1.

Merevisi keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang menetapkan bahwa

"Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat"


2.

Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat

50

3.

Musafir yang tidak melaksanakan Jumat wajib salat zuhur

Demikian keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan makalah


terlampir.

Bandung, <span>03 R. Tsani 1428 H</span>
21

April

2007 M

ketua

sekretaris

<span>K.H. Usman Shalehuddin

K.H. Wawan Shofwan

Sh</span>
NIAT: 05336

NIAT: 30400

Lampiran Makalah
JUM`AT BAGI MUSAFIR[1]
Oleh : Luthfie Abdullah Ismail
Ketika kita membicarakan hukum Shalat Jum`at bagi musafir, maka dapat dipastikan
pembicaraan kita akan berkisar pada 2 pendapat yang kontraversial yaitu pendapat
yang mewajibkan dan pendapat yang tidak menganggap wajib.

Pendapat Pertama beralasan bahwa semua hadis yang mengecualikan


musafir dari kewajiban Jum`at adalah lemah.
Pendapat Kedua mengatakan: Meskipun hadis-hadis yang secara khusus
mengecualikan musafir dari kewajiban Jum`at adalah lemah, tapi riwayat
Hajjinya Rasulullah saw bisa dijadikan dasar bahwa dalam safar tidak ada
Jum`at, karena pada saat Wuquf di Arafah Rasulullah saw menjama` shalat
Zhuhur dengan Ashar, padahal hari itu adalah hari Jum`at.

Kalau kita memperhatikan alasan masing-masing golongan di atas, maka dapat


dikatakan kedua golongan tersebut sudah sepakat bahwa hadis-hadis khusus yang
mengecualikan musafir dari kewajiban Jum`at adalah lemah. Mas`alah kita sekarang

51

adalah memastikan apakah benar peristiwa wuquf tersebut jatuh pada hari Jum`at
atau lainnya ?
Untuk itu kita perlu menampilkan hadis-hadis yang terkait dengan masalah di atas
antara lain :
(1) - :
}
{
< span>< /span> 2][ 2312 - 4 ]

(2) -
} :
{
< span>< /span> -

250 - 5 ] ]
Kedua hadis di atas sebenarnya tidak terkait langsung dengan mas`alah yang kita
bahas, tapi dikait-kaitkan supaya bisa dijadikan dasar untuk menafikan kewajiban
Jum`at bagi musafir. Jadi intinya kedua hadis itu menerangkan bahwa ayat 4 surah
al-Maidah diturunkan ketika Rasulullah saw wuquf dan wuquf saat itu terjadi pada
hari Jum`at, sedangkan pada riwayat lain yang terpisah diterangkan bahwa pada hari
itu Rasulullah saw menjama` shalat Zhuhur dengan Ashar atau tegasnya tidak shalat
Jum`at.
Tentang kata-kata "fi yaumi Jumu`atin" pada hadis yang pertama ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "hari berkumpul" - bukan hari Jum`at,
alasannya karena Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya berangkat mengerjalan
Hajji Wada` pada tanggal 25 Dzul Qa`dah, jatuh pada hari Sabtu[3], sedangkan bulan
Dzul Qa`dah waktu itu berusia 30 hari. Kalau dihitung mulai tgl 25 Dzul Qa`dah
hingga 9 Dzul Hijjah, maka wuquf tahun itu jatuh pada hari Sabtu.
Golongan ini menambahkan bahwa riwayat yang shah tentang turunnya ayat ini
adalah riwayat-riwayat yang tidak menggunakan " al " pada kata "jumu`at ",
sedangkan yang me makai (alif lam) adalah lemah[4].
Pendapat ini ternyata tidak benar, karena riwayat Tirmidzi yang penulis sebutkan di
atas adalah shahih [5]. Selain Tirmidzi hadis semakna juga diriwayatkan oleh imam
Ahmad dengan sanad yang shahih[6] .

52

Hadis riwayat Tirmidzi dan Ahmad ini memakai lafazh "fi yaumil Jumu`ati " yang
mau tidak mau mesti di artikan "pada hari Jum`at" bukan hari berkumpul
sebagaimana hadis yang pertama.
Oleh karena hadis riwayat Tirmidzi dan Ahmad ini sudah jelas shahih, maka penulis
meyakini bahwa wuqufnya Rasulullah saw pada saat itu adalah pada hari
Jum`at bukan hari Sabtu. Selanjutnya dari hadis ini, penulis kemudian
mengistinbath bahwa ketika safar seseorang boleh tidak melaksanakan shalat
Jum`at, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw ketika wuquf.
<span>Kesimpulan</span>
Musafir boleh tidak melaksanakan shalat Jum`at.

[1] Makalah ini disampaikan pada sidang Dewan Hisbah di Banjaran hari Sabtu tgl 21
April 2007
[2] Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Muslim, Nasaa`i, Tirmidzi
dan Thabrani dalam Mu`jamul Kabir 12:184
[3] Lihat , Zaadul Ma`aad 1:97 ; Muhammad Rasulullah 413 serta Hayat Muhammad
hal 471
[4] Tafsir ath-Thabari 4:47; Risalah Jum`at A Hassan hal 121; Kumpulan Risalah A
Hassan hal 186
[5] Lihat Sunan Tirmidzi, Kitab Tafsir Qur`an, bab Surah al-Maidah hadis no 2969
[6] Lihat Musnad Ahmad hadis no 183 dan 261
MAKALAH STAIPI PERSIS

Mohon penjelasan tentang pendapat-pendapat dibawah ini: 1. Waktu wuquf


Rasulullah th. 10 H jatuh hari jumat, begitulah cara jumat di Arafah!
2. Yaumu jumatin pada hadits Muslim tidak menunjukkan hari jumat melainkan

53

hari berkumpul, jadi ada kemungkinan wuquf tahun 10 H hari Sabtu.


3. Hadits-hadits tentang musafir tidak wajib jumat dhaif.
Anonimus
Jawaban :
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa jumat itu hukumnya wajib berdasarkan
dalil berikut ini:

.
Hai orang-orang yang beriman, apabila disuruh untuk menunaikan shalat pada
hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. AlJumuah : 9)
Ayat ini masih bersifat umum, yaitu semua mukmin wajib melaksanakan jumat
dimanapun ia berada dan dalam keadaan apapun. Namun kita dapatkan hadits
yang shahih sebagai pengecualian dari keumuman yang wajib jumat sebagai
berikut:
:
: .
.
Dari Thariq bin Syihab dari Nabi Saw ia bersabda: Jumat itu haq yang wajib atas
setiap muslim dalam jamaah, kecuali empat: hamba sahaya, perempuan, anak
kecil atau yang sakit. (HR. Abu Dawud).
Dalam hadits ini jelas dan terang musafir tidak termasuk yang dikecualikan dari
kewajiban melaksanakan jumat. Adapun hadits yang mengecualikan musafir
dari kewajiban jumat haditsnyadlaif, tidak bisa dijadikan hujjah. Dengan
demikian musafir tetap wajib jumat.

54

Ibnu Umar ketika sedang berada di Makkah (sedang safar pada hari jumat,
karena beliau adalah orang Madinah), ia melaksanakan jumat, tidak
melaksanakan shalat zhuhur seperti keterangan berikut ini.
. :
:
) ) .
Dari Atha ia berkata: Adalah Ibnu Umar jika berada di Makkah shalat jumat, ia
maju kemudian ia shalat dua rakaat, kemudian ia maju lalu ia shalat empat
rakaat. Dan apabila ia berada di Madinah ia shalat jumat, kemudian ia pulang
ke rumah, lalu shalat dua rakaat, dan ia tidak shalat di masjid. Ditanyakan
kepadanya (hal itu). Ia berkata, Adalah Rasulullah Saw melakukan yang
demikian. (HR. Abu Dawud).
Lalu bagaimanakah dengan keputusan Dewan Hisbah yang menyatakan Musafir
boleh tidak jumat?
Kiranya perlu kita perhatikan keterangan-keterangan yang menjelaskan tentang
musafir tidak melaksanakan jumat. Seperti berikut ini:
...
... .
)... )
Dari Jabir: Selanjutnya Rasulullah Saw berangkat hingga sampai di Arafah,
maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah,
sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qashwa (unta
beliau), kemudian unta itu diserahkan kepadanya. Selanjutnya beliau sampai di
lembah, beliau memberi khutbah kepada manusia kemudian dikumandangkan
adzan selanjutnya iqamat, terus beliau shalat dzuhur, kemudian iqamat, dan
terus shalat ashar, dan beliau tidak shalat apapun di antara kedua shalat
itu. (HR. Muslim).

55

Pelaksanaan haji Rasulullah Saw tidak lepas dari safar, sedangkan pelaksanaan
wuqufnya ketika itu bertepatan dengan hari jumat. Akan tetapi beliau
melaksanakan shalat dzuhur dan ashar dijama.
Ada yang mengatakan bahwa waktu wuquf Nabi Saw di Arafah itu hari Sabtu itu
sebabnya Nabi Saw tidak mengerjakan jumat.
Jika demikian, pada hari jumatnya sedang berada di Mina, sedangkan beliau dan
para sahabatnya ketika di Mina melaksanakan shalat dzuhur, ashar, maghrib,
isya dan shubuh. Jelasnya beliau tidak melaksanakan jumat.
Keterangan lainnya:

.
Nabi Nafi bahwasanya Ibnu Umar diterangkan kepadanya bahwa Said ibn Zaid
ibn Amr ibn Nufail, ia (peserta perang Badar) sakit pada hari jumat. Maka Ibnu
Umar pergi menjenguknya padahal hari sudah siang, datanglah waktu jumat, ia
pun meninggalkan jumat. (HR. Al. Bukhari).
Ada yang menyatakan bahwa tidak jumatnya Ibnu Umar ketika itu karena tidak
ada orang lain untuk bersama-sama melaksanakan jumat. Sedangkan Said
ketika itu sakit keras (jelas tidak bisa jumat dan memang tidak wajib jumat),
kemudian istri Said ia pun tidak wajib jumat. Dengan demikian hanya tinggal
Ibnu Umar sendirian untuk jumat tidak memenuhi syarat fi jamaatin. Dengan
demikian beliau tidak jumat.
Sebenarnya ketika Ibnu Umar tidak sendirian tetapi bersama Saad ibn Abi
Waqqash yang membantu mengurus jenazah. Dengan demikian beliau tidak
jumat itu bukan karena sendirian atau tidak memenuhi fi jamaatin, tetapi
karena safar.
Keterangan lainnya:

56

) )
Dan adalah Anas ibn Malik r.a. ketika safarnya, kadang-kadang melaksanakan
jumat, dan kadang-kadang tidak melaksanakan jumat. Dan ia berada di azZawiyah sejarak dua farsakh (6 mil atau kurang lebih 9 km). (HR. Al. Bukhari).
Dengan menjamakkan (memadukan) keterangan-keterangan tersebut, maka
kesimpulannya adalah, jumat bagi musafir menjadi wajib mukhayyar. Yaitu
musafir wajib jumat, jika tidak jumat harus shalat dzuhur. Kiranya inilah yang
dimaksud dengan Musafir Boleh Tidak Jumat.

Ketetapan Forum Bahtsul Masail Program Pasca Diniyah


Bumi Damai Al-Muhibbin PPBU Tambakberas Jombang
tentang:
SHOLAT JUMAT KARYAWAN PABRIK
Bismillahirrahmannirrahim
Forum Bahtsul Masa-il Program Pasca Diniyyah Bumi Damai al-Muhibbin Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang pada forum tanggal 23 Pebruari 2010
telah membahas berbagai masalah antara lain mengenai Sholat Jumat bagi pekerja
pabrik, setelah:
MENIMBANG:
1. Bahwa terdapat sejumlah industri yang sistem operasionalnya bersifat
non-stop 24 jam, tanpa henti, serta harus ditangani secara langsung
dan terus-menerus; dan jika operasionalnya dihentikan beberapa saat
saja, atau tidak ditangani segera mesin industri menjadi rusak yang
pada akhirnya timbul kerugian besar dan para pekerja kehilangan
pekerjaan yang menjadi sumber kehidupannya;
2. Bahwa dengan sifat industry seperti itu, muslim yang bekerja di industry
tersebut tidak dapat melaksanakan shalat jumah, sehingga mereka
bertanya-tanya tentang hukumnya;
3. Bahwa oleh karena itu forum Bahtsul Masa-il Program Pasca Diniyyah
Madrasah al-Muhibbin PPBU perlu memberikan fatwa tentang hukum
termaksud.
MEMPERHATIKAN:
1. Usulan Peserta Forum Bahtsul Masa-il program Pasca Diniyah AlMuhibbin;
57

2. Rumusan Dewan Perumus Forum Bahtsul Masa-il program Pasca


Diniyah Al-Muhibbin;
3. Tashhih Dewan Mushahhih Forum Bahtsul Masa-il program Pasca
Diniyah Al-Muhibbin.
MENGINGAT:
1. Shalat Jumat adalah salah satu ibadah dalam Islam
hukumnya fardlu ain, berdasarkan sejumlah dalil, antara lain:

yang

a. Firman Allah swt. Surah al-Jumuat ayat 9:

Hai orang yang beriman! Apabila sudah diserukan untuk


menunaikan shalat pada hari Jumat, segeralah mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.
b. Hadits Nabi saw. Riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim
vol. I, h. 29:

..
:






















.







Nabi saw. Berkata kepada kaum yang meninggalkan shalat Jumat:
Saya sudah berniat untuk memerintahkan seorang laki-laki agar
menjadi imam shalat, kemudian saya akan membakar rumah orangorang yang meninggalkan shalat Jumat.

2. Sebagai suatu ibadah, bentuk maupun tata-cara pelaksanaan sholat


jumat harus mengikuti segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh
hokum Islam serta dipraktekkan oleh Rasulullah. Kaidah fiqih
menegaskan:

Suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali disyariatkan oleh Allah.

Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif (mengikuti


ketentuan dan tata-cara yang ditetapkan oleh syariat).
3. Ketentuan hukum Islam yang menegaskan bahwa tidak boleh mengikuti
seseorang apapun pangkat dan kedudukannya dalam bermaksiat
kepada Allah.

Tidak diperbolehkan mentaati makhluq dalam hal bermaksiat


kepada pencipta.
4. Keringanan dalam hukum Islam tidak dapat masuk pada hal-hal yang
bersifat pelanggaran Agama. Kaidah fiqih berbunyi:
58

Rukhshah (keringanan hukum) tidak dapat diperoleh dengan


melakukan kemasiatan.
5. Permasalahan

rizqi apapun bentuknya tidak boleh melanggar dari


ketentuan syariat. Sebab rizqi adalah ketentuan dari Allah yang tidak
dapat diprediksi oleh siapapun seperti halnya jodoh dan kematian. Dan
barang siapa berkenan menjalankan ketaqwaan, maka rizqinya diberi
kemudahan oleh Allah swt.:

Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan


jalan keluar baginya dan memberikannya rizqi dari jalan yang tidak ia
duga-duga.

6. Pendapat sebagian ulama yang telah menetapkan udzur-udzur shalat


Jumat adalah (1) hujan, (2) sakit, (3) kehawatiran atas keselamatan
jiwa, harta, dan harga dirinya, (4) menghindari bertemu dengan orang
yang menghutanginya, (5) mengharap terbebas dari hukuman, (6)
menahan hadats, (7) tidak mempunyai pakaian yang layak pakai, (8)
tertidur, (9) sangat lapar dan dahaga, (10) memakan makanan yang
berbau tidak sedap, (11) merawat mayat, (12) disumpah oleh orang lain
agar ia tidak keluar rumah, (13) orang buta yang tidak menemukan
orang yang menuntunnya.
Kesemua udzur di atas mempunyai syarat dan ketentuannya masingmasing yang terdapat dalam kitab:
a. Al-Muqaddimah al-Hadramiyyah, vol. 1, h. 91:

)(









.
b. Fiqih Ibadah imam Syafii, vol. 1, hal. 428

:
( 1

59

" :

: " .
" :
:
.
:
- -
".
(2 .


"

"
(3

. " :
) :
( . :
) :
( "
(4
(5
(6
(7
(8
(9
: :
)
(
(10

60

) :
(
(11
(12
(13
"
:


) : (
"

.
7. Larangan melakukan jual beli dan seluruh akad dengan segala
bentuknya yang dapat menghambat melakukan shalat jumat. Pendapat
tersebut antara lain tercantum dalam kitab:
a. Al-Jami li Ahkam al-Quran, vol. 18, h. 107:

{
- } :

.



} :


{ .





.
. :

. -
.

.
. :
.
:
.
..
61

b. Tafsir ayat Ahkam, vol. 1, h. 585:

: ) (


. :



.

c. Al-Majmu Syarh al-Muhadzab, vol. 4, h. 500:

)(


.
d. Fathul Muin, h. 95:

)( ) (
)( ) (

e. Hasyiyah Ianah at-Thalibin, vol. 2, h. 95:

) (
}
{









) (

62

.
) (
) (

)
(



.
8. Pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa akad ijarah tidak
termasuk udzur shalat Jumat. Hal ini tercantum dalam kitab,
diantaranya:
a. Hasyiyah al-Bujairami, vol. 1, h. 374








.
b. Hasyiyah Jamal, vol. 3, h. 232









63




.
c. Tuhfatul Muhtaj, vol. 9, h. 94





:
)

(


(



)





:


(

:



)


:
)




















64







.


d. Hawasyi Syarwani, vol. 2, h. 406

) (



)(


) (


) (







65

















.
9. Pendapat sebagian ulama yang memperkenankan menjama shalat
sebab ada hajat dengan catatan tidak dilakukan secara kontinyu, dan
pendapat ynag memutlakkan boleh nya menjama shalat, dapat
dijadikan solusi atas permasalahan ini. Hal ini tercantum dalam kitab:
a. Al-Majmu Syarh al-Muhadzab, vol. 4, h. 384:

)(
:


.
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN: Forum Bahtsul Masa-il Program Pasca Diniyah Madrasah alMuhibbin PPBU Tambakberas menetapkan tentang pelaksanaan
shalat Jumat bagi karyawan pabrik sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang termaksud di atas bukanlah termasuk salah
satu udzur (alasan) syari yang memperbolehkan untuk
66

meningglkan shalat jumat dan menggantinya dengan


shalat Dhuhur.
2. Apabila dimungkinkah mencari pekerjaan yang lain,
diharapkan karyawan tersebut mencari pekerjaan yang lain
yang tidak menghambat aktifitas keagamannya.
3. Apabila tidak memungkinkan, sebagai solusi atas
permasalahan ini, dianjurkan agar karyawan tersebut
memakai
penpapatnya
Ibnu
Mundzir
yang
memperkenankan menjama shalat meskipun tanpa ada
udzur sekalipun.
4. Menghimbau bagi segenap pimpinan perusahaan atau
industri untuk mengupayakan dan memperkenankan
karyawannya yang beraga Islam untuk melakukan shalat
Jumat.
Ditetapkan di:
Jombang
Pada
Tanggal: 23
Pebruari
2010

:


250


.

67

. 1 -
2 -




.




.



.

68

.


.
:







. .
.
/

01 HADITS HAJI WADA


| |


69

|
|
|
|
|
|
|
|

) (1
) (2
) (3
|
) (4
| |
) (5
| | |
) (6
| | | |
) (7
| | | | |
) (8
| | | | | |
) (9
| | | | | | |

) (10 : ] :

[
) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
) (8
| | | |
) (9
| | | | |

) (10 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |
|

) (9 : ] :

[
|

) (9 : ] :

[
70

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
) (7
) (8
|

) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |

) (9 : ] : [

) (9 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] : [
71

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |
) (9
| | | | | |

) (8
) (9
|

) (10 : ] : [

) (10 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |

) (10 : ] : [

) (7
72

) (8
) (9
|

) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |

) (10 : ] : [

) (8
) (9
|

) (10 : ] : [

) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (8
) (9
|
|

) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] :

[
) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |

) (10 : ] : [

) (7
73

) (8
) (9
|
|

) (10 : ] :

[
|

) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |

) (8
) (9
|

) (10 : ] : [

) (10 : ] :

[
|

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (8
) (9
|
|

) (10 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
74

) (9

) (8
) (9
|

) (10 : ] : [
) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |

) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |

) (10 : ] : [

) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
75

) (7
) (8
|
) (9
| |
|

) (10 : ] :

[
|

) (7
) (8
|
) (9
| |
|

) (10 : ] :

[
) (7
) (8
|
) (9
| |

) (7
) (8
|
) (9
| |

) (10 : ] : [

) (10 : ] :

[
|

) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
76

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (6
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
77

) (7 : ] :

[
) (5
) (6
|

) (7 : ] :

[
|

) (6
|

) (7 : ] :

[
) (5
) (6
|

) (5
) (6
|

) (5
) (6
|

) (7 : ] : [
) (6

) (7 : ] : [
) (7 : ] : [
) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
78

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
|

) (7 : ] :

[
|

) (7 : ] :

[
|

) (6
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
79

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
) (4
) (5
|
) (6
| |

) (4
) (5
|
) (6
| |

) (7 : ] : [

) (7 : ] :

[
|
|
|
|
|

) (2
) (3
|
) (4
| |
) (5
| | |
|

) (6 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
|

) (6 : ] :

[
|

) (3
) (4
|
) (5
| |
|

) (6 : ] :

[
|

) (6 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
80

) (6 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
|

) (6 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |

) (7 : ] : [
) (7 : ] : [

) (4
) (5
|
) (6
| |

) (7 : ] :

[
|

) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
|

) (7 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
81

) (7 : ] :

[
|

) (6
) (7 : ] :

[
) (7 : ] :
| | | | | |
[
) (7 : ] :
| | | | | |
[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
|

) (7 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
|

) (7 : ] :

[
|
|
|

) (2
) (3
|
) (4
| |

) (2
) (3
|
) (4
| |
) (5
| | |

|
|
|
|

) (5 : ] : [

) (6 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
|

) (6 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
|

) (6 : ] :

[
|

) (5

82

) (6 : ] :

[
) (6 : ] : [

) (4
) (5
|

) (6 : ] : [
) (6 : ] : [

) (4
) (5
|

) (6 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
|

) (6 : ] :

[
|
|
|
|

) (2
) (3
|
) (4
| |
|

) (5 : ] :

[
|

) (4

) (5 : ) ( ] : [

) (4
) (5 : ) ( ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |
) (9
| | | | | |

) (10 : ] : [
) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
83

) (10 : ] : [

) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
|

) (10 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
|

) (10 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |
) (9
| | | | | |
) (10
| | | | | | |
) (11
| | | | | | | |
) (12
| | | | | | | | |
|

) (13 : ] :

[
|

) (13 : ] :

[
|

) (13 : ] :

[
) (5
) (6
) (7
|
) (8
| |
) (9
| | |
) (10
| | | |
) (11
| | | | |
) (12
| | | | | |
84

) (13 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |
) (9
| | | | | |
) (10
| | | | | | |
|

) (11 : ] :

[
) (9
) (10
|

) (8
) (9
|
) (10
| |

) (11 : ] : [

) (11 : ] : [

) (6
) (7
) (8
|
) (9
| |
) (10
| | |
|

) (11 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
) (10
| | | | |
|

) (11 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
) (10
| | | | |
85

) (11 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
) (10
| | | | |
|

) (11 : ] : [

) (8
) (9
|
) (10
| |

) (9
) (10
|

) (11 : ] : [

) (11 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
) (10
| | | | |
|

) (11 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
) (10
| | | | |
|

) (11 : ] :

[
|

) (11 : ] :

[
|
|
|
|

) (2
) (3
|
) (4
| |
) (5
| | |
86

) (6 : ] :

[
|

) (3
) (4
|
) (5
| |
|

) (6 : ] :

[
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |

) (9 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] : [

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
) (8
| | | |
|

) (9 : ] : [

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
|

) (9 : ] : [

) (2
87

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
) (8
| | | |
) (9
| | | | |
) (10
| | | | | |
) (11
| | | | | | |
|

) (12 : ] :

[
|

) (4
) (5
) (6
|
) (7
| |
) (8
| | |
) (9
| | | |
) (10
| | | | |
) (11
| | | | | |
|

) (12 : ] :

[
|

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
) (8
| | | |
) (9
| | | | |
) (10
| | | | | |
) (11
| | | | | | |
|

) (12 : ] :

[
|

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
) (8
| | | |
) (9
| | | | |
) (10
| | | | | |
) (11
| | | | | | |
88

) (12 : ] :

[
|
|

|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
|

) (7 : ] : [

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
|

) (8 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
) (7
| |
|

) (8 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
|

) (8 : ] :

[
|

) (5
) (6
|
) (7
| |
|

) (8 : ] :

[
) (5
) (6
|
) (7
| |

) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |

) (8 : ] : [

89

) (8 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
|

) (8 : ] :

[
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
|

) (8 : ] :

[
|

) (8 : ] :

[
|

) (8 : ] :

[
|

) (6
) (7
|
|

) (8 : ] :

[
|

) (6
) (7
|
|

) (8 : ] :

[
) (6
) (7
|

) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |

) (8 : ] : [

) (8 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
90

) (8
) (9
|
) (10
| |
|

) (11 : ] : [

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
) (8
| | | |
) (9
| | | | |
) (10
| | | | | |
|

) (11 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
|

) (7 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
|

) (8 : ] :

[
|

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
|

) (8 : ] : [

) (3
) (4
) (5
|
) (6
| |
) (7
| | |
91

) (8 : ] :

[
|
|
|
|

) (2
) (3
|
) (4
| |
|

) (5 : ] :

[
) (5 : ] :
| | | |
[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
|

) (8 : ] :

[
|
|

) (2
) (3
) (4
|
) (5
| |
) (6
| | |
) (7
| | | |
) (8
| | | | |
) (9
| | | | | |
) (10
| | | | | | |
) (11
| | | | | | | |
|

) (12 : ] :

[
|
|
|
|
|
|
|
|

) (1
) (2
) (3
|
) (4
| |
) (5
| | |
) (6
| | | |
) (7
| | | | |
) (8
| | | | | |
|

) (9 : ] : [

) (1
) (2
|
) (3
| |
92

( 4)
( 5)
( 6)
|
( 7)
| |
( 8)
| | |
( 9)
| | | |
( 10)
| | | | |
( 11)
| | | | | |
( 12)
| | | | | | |
( 13)
| | | | | | | |
: ]:( 14)

( )
Dan adalah Anas ibn Malik r.a. ketika safarnya, kadang-kadang melaksanakan
jumat, dan kadang-kadang tidak melaksanakan jumat. Dan ia berada di az.(Zawiyah sejarak dua farsakh (6 mil atau kurang lebih 9 km). (HR. Al. Bukhari
Terjemahan hadits ini tidak tepat, FI QASHRIHI (ketika safarnya) padahal justeru
di rumahnya. Dalam Al-Fathu syarah hadits ini dijelaskan bahwa rumah Anas itu
berada sekitar 2 farsakh dari masjid Jami di Bashrah sehingga kadang-kadang ia
mendengar/menyaksikan nida shalat Jumat dan kadang-kadang tidak. Dan
hadits ini dimuat dalam Bab Berangkat dari Mana Sepatutnya Seseorang
Menghadiri Shalat Jum'at dan Atas Siapa Diwajibkan? Dan bisa
difahami dengan membaca hadits selanjutnya :

No. Hadist: 851 | Sumber: Bukhari | Kitab: Jum'at


Bab: Berangkat dari Mana Sepatutnya Seseorang Menghadiri Shalat Jum'at dan
Atas Siapa Diwajibkan?
0 Komentar

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih berkata, telah menceritakan kepada
kami 'Abdullah bin Wahab berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Amru bin Al Harits
dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far bahwa Muhammad bin Ja'far bin Az Zubair
93

menceritakan kepadanya dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah isteri Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, ia berkata, "Orang-orang datang berbondong-bondong pada hari
Jum'at dari tempat tinggal mereka dan pinggiran kota yang jauh, mereka datang
melewati padang pasir yang berdebu sehingga mereka pun berdebu dan berkeringat.
Lalu seorang dari mereka mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang saat
itu beliau sedang bersamaku, beliau lantas bersabda: "Seandainya kalian mandi
"dahulu.

: . } : {/ ../9 :
:
.

.
- 860 : :
:

:



) : (.
) : , :
( ,
.
,
.
" " : .
,
" : . : "
, .
" " ,
, : . ,
,
. ) : ( ,
" , , ,
, :
: .
94

) : - - (
. " " , . ) :
( ,
. : . " "
.
,
,
, "
"
,
, .

HADITS IBNU UMAR MENINGGALKAN JUMAT

No. Hadist: 3691 | Sumber: Bukhari | Kitab: Peperangan


Bab: Keutamaan orang-orang yang ikut perang Badar
0 Komentar











Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami
Laits dari Yahya dari Nafi' bahwa Ibnu 'Umar RAa diceritakan kepadanya bahwa Sa'id
bin Zaid bin 'Amru bin Nufail, salah serang yang ikut perang Badar sedang menderita
sakit pada hari Jum'at. Maka Ibnu 'Umar RAa mendatanginya dengan berkendaraan
saat tengah hari dan waktu shalat Jumat sudah dekat dan dia meninggalkan shalat
Jum'at". Dan telah berkata Al Laits telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibnu
Syihab berkata, telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah
bahwa bapaknya menulis surat kepada 'Umar bin Abdullah bin Al Arqam Az Zuhriy
untuk menyuruhnya menemui Subai'ah binti Al Harits Al Aslamiyyah dan
menanyakannya tentang hadits yang disampaikannya dan tentang apa yang disampaikan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya ketika dia meminta fatwa kepada
beliau. Maka 'Umar bin Abdullah bin Al Arqam menulis surat balasan kepada Abdullah
bin 'Utbah dan mengabarkan bahwa Subai'ah binti Al Harits telah mengabarkan
95

kepadanya bahwa dia dahulu berada dalam tanggungan Sa'ad bin Khawlah, dia adalah
dari keturunan Bani 'Amir bin Lu'ay dan dia juga termasuk orang yang ikut dalam
perang Badar. Lalu Sa'ad meninggal dunia ketika Hajji Wada' dan Subai'ah dalam
keadaan mengandung dan kemudian dia melahirkan tidak lama setelah kematian Sa'ad.
Setelah masa nifasnya berakhir, dia berhias diri kepada orang yang hendak
meminangnya. Maka Abu as-Sanabil bin Ba'kak, laki-laki dari Bani 'Abdid Dar datang
menemuinya dan berkata kepadanya; "Aku memandang, kamu tidak patut bersoleh di
hadapan orang yang meminangmu dengan tujuan menikah. Karena, demi Allah, kamu
tidak boleh menikah hingga kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari". Subai'ah
berkata; "Setelah dia mengatakan itu, aku mengemas pakaianku ketika sore hari lalu aku
menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lantas aku bertanya kepada beliau
tentang masalah tadi. Beliau memberikan fatwa jawaban kepadaku bahwa aku telah
halal ketika aku melahirkan dan beliau menyatakan bahwa aku boleh menikah jika aku
mau". Hadits ini juga diikuti oleh Ashbagh dari Ibnu Wahb dari Yunus. Dan Al Laits
berkata, telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab; "dan kami bertanya
kepadanya lalu dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin 'Abdur
Rahman bin Tsauban, maula Bani 'Amir bin Lu'ay bahwa Muhammad bin Iyas bin Al
Bukair, yang bapaknya adalah salah seorang yang ikut perang Badar, telah
mengabarkan kerpadanya".
Siapakah Said Bin Zaid Bin Amr Bin Nufail ?
Said Bin Zaid Bin Amr Bin Nufail adalah suami Fatimah Binti Khath-thab
adik perempuan Umar Bin Khatthab. Maka Said Bin Zaid adalah paman dari
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) yang juga sama-sama tinggal di Madinah
setelah Hijrah. Said Bin Zaid wafat tahun 51 H. di Madinah, dan Ibnu Umar
ketika sakit pada hari Jumat menjenguknya.
Mungkin bagi yang menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan musafir
boleh tidak Jumat adalah kalimat FAROKIBA ILAIHI (maka Ibnu Umar menaiki
kendaraan menuju kepadanya). Sebenarnya lafazh RAKIBA tidak selamanya
diartikan berkendaraan (Periksa Lisanul Arob) namun bisa juga diartikan
bergegas/mengunjungi dengan berjalan kaki (RUKBAH artinya lutut). Jika
tetap diartikan berkendaraan-pun tidak selalu dipandang safar, karena yang
disebut safar itu bukan karena berkendaraan atau tidak. Ibnu Umar dan Said
Bin Zaid sama-sama tinggal di Madinah, mungkinkah bepergian di dalam kota
dipandang musafir?


( )


.
96


.

.

][

][


.
.

: .

][
97


-




" :




:
"






.





) :
.








!


:
" :


(.




.







.
.
.

.

][
:
"

"

][
:
: : . :
: . :
.
. . :
)( . : .
: :
. . . :
.
: :
. . : . .
. .
.
. . .
98

. .
. . .
.
: : .
: . :

. .
. :
. . . .
. :
. . :
. .
)
( . . .
.
. :
. .
.
: .

][
.
.
. .
: :
.
: : !
. :! .
: .
. :
. : . .
. . .
.
. :
. ) (
: .
99

:
.
: ) ( ...
) ( :
: :
:

) ( :
.
.
. .
. ) ( . )
( . )
( . .
) ( .

][
.
.
. :
. .
: .

. .
.
.
. : .
: . :
.
:
. .
. .
.
. .
. .
100

][

. :
. . .
: :
. : : .
. .
. .
. .
: : .
. : : :
.
.. :
.

][
.
.

101

You might also like