You are on page 1of 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Dasar Imunisasi

2.1.1 Pengertian Imunisasi Imunisasi berasal dari kata imun, yaitu kebal atau resisten. Bayi di imunisasikan berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu (Hidayat, 2008). Imunisasi merupakan bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita dengan mencegah penyakit seperti Hepatitis B, Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Campak (Lia Dewi, 2010) Imunisasi adalah Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu (Mahdiana, 2010). 2.1.2 Tujuan Imunisasi Tujuan dalam pemberian imunisasi (Hidayat, 2008) antara lain : a. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu didunia. b. Melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak.

c. Anak menjadi kebal dan terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu. d. Menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat serta bila mungkin didapat eradikasi suatu penyakit. e. Menurunkan angka penderitaan suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bias menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B, gondongan, cacar air dan TBC. f. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang.

2.1.3 Manfaat Imunisasi Manfaat imunisasi menurut Marimbi (2010), yaitu : a) Bagi anak Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan kecactan atau kematian. b) Bagi keluarga Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

c) Bagi Negara Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan keluarga.

2.1.4 Jenis-jenis Imunisasi Imunisasi terbagi dalam dua bagian yaitu pasif dan aktif. Aktif adalah bila tubuh anak ikut menyelenggarakan terbentuknya imunitas, sedangkan pasif adalah bila tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya menerimanya saja (Notoadmodjo, 2003). 1. Imunisasi aktif Imunisasi aktif adalah pemberian satu atau lebih antigen yang infeksiusn pada seorang individu untuk merangsang system imun untuk merangsang antibody yang akan mencegah infeksi. Imunisasi aktif terhadap penyakit infeksi dihasilkan dengan cara inokulasi antigen bakteri, virus, dan parasit, baik dalam bentuk kuman hidup yang dilemahkan atau produk dari organism tersebut. Vaksin diberikan dengan cara disuntikan atau peroral/ melalui mulut. Terhadap pemberian vaksin tersebut, maka tubuh membuat zat-zat anti terhadap penyakit bersangkutan, kadar zat-zat dapat diukur dengan pemeriksaan darah.

Pemberian vaksin dengan cara menyuntikan kuman atau antigen murni akan menyebabkan benar-benar menjadi sakit. Oleh karena itu, dibutuhkan dalam bentuk vaksin, yaitu kuman yang telah dilemahkan. Pemberian vaksin akan merangsang tubuh untuk membentuk antibody. Dalam Imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan yang terdapat dalam setiap vaksinnya, yaitu : a. Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagi zat atau mikroba guna terjadinya semacam infeksi buatan. b. c. Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan. Preservatif, stabilizer dan antibiotika yang berguna untuk menghindar tumbuhnya mikroba dan sekaligus untuk stabilisasi antigen. Ada lima (5) jenis imunisasi pada anak dibawah 5 (lima) tahun yang harus dilakukan, yaiti : (a) BCG (Bacillus Calmette Geurin) (b) DPT (difteri, pertusis, tetanus) (c) Polio (d) Campak (e) Hepatitis B 2. Imunisasi Pasif Imunisasi pasif adalah perpindahan antibody yang telah dibentuk yang dihasilkan host lain. Antibody ini dapat timbul secara alami atau sengaja

diberikan. Imunisasi pasif diberikan dalam bentuk Gama globulin intravena (IVIG) atau serum binatang, menghasilkan proteksi untuk sementara waktu terhadap infeksi atau penyakit. Imunisasi pasif terdiri dari dua macam, yaitu : a. Imunisasi pasif bawaan Imunisasi bawaan merupakan imunisasi pasif dimana zat antinya berasal dari ibunya selama dalam kandungan, yaitu berupa zat antibody yang melalui jalan darah menebus plasenta. Namun, zat anti tersebut lambat laun akan menghilang/ lenyap dari tubuh bayi. Dengan demikian, sampai umur 5 bulan bayi dapat terhindar dari beberapa oenyakit infeksi, seperti campak, difteri dan lain-lain b. Imunisasi pasif didapat Imunisasi didapat merupakan imunisasi pasif dimana zat antinya didapat dari luar tubuh, misalnya dengan suntik bahan atau serum yang mengandung zat anti. Zat anti ini didapat oleh anak dari luar dan hanya berlangsung pendek, yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti ini akan dikeluarkan kembali dari tubuh anak, misalnya pemberian serum anti tetanus terhadap penyakit tetanus (Anik maryuni, 2010).

2.2

Imunisasi Dasar

2.2.1 Pengertian Imunisasi Dasar Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan pada semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir untuk melindungi tubuhnya dan penyakit-penyakit yang berbahaya. Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah imunisasi terhadap tujuh penyakit, yaitu TBC, difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), poliomyelitis, campak, dan hepatitis B (Anik maryuni, 2010). Lima jenis imunisasi dasar yang wajib diperoleh bayi sebelum usia setahun tersebut adalah : a. b. Imunisasi BCG, yang dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan. Imunisasi DPT, yang diberikan 3 (tiga) kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu. c. Imunisasi polio, yang diberikan 4 (empat) kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu. d. Imunisasi campak, yang diberikan 1 (satu) kali pada usia 9-11 bulan. e. Imunisasi hepatitis B, yang diberikan 3 (tiga) kali pada bayi usia 1-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu (Anik maryuni, 2010).

2.2.2 Imunisasi BCG (Bacillius Calmate Guerin) Merupakan imunisasi yang mengandung jenis kuman TBC yang masih hidup tapi telah dilemahkan. Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) (Marimbi, 2010). Imunisasi BCG diberikan pada usia kurang dari 2 bulan dengan dosis 0,05 ml, vaksin BCG diberikan secara intrakutan didaerah lengan atas pada insertio M. Deltoideus (Marimbi, 2010). Vaksin BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80% terhadap tubercolosis. Pemberian vaksin BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas. Vaksinasi BCG tidak terlepas dari efek samping, maka perlu diketahui vaksin ini tidak dianjurkan pada seseorang yang mengalami penurunan status kekebalan tubuh dan tuberculin positif (Cahyono dkk, 2010). 2.2.3 Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) Imunisasi DPT adalah imunisasi yang akan menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin Difteri dibuat dari toksin atau racun kuman difteri yang telah dilemahkan dinamakan toksoid. Vaksin tetanus dibuat dari toksoid tetanus atau toksin/racun kuman tetanus yang sudah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Sedangkan vaksin

pertusis terbuat dari kuman bordetella pertusis yang telah dimatikan selanjutnya dikemas bersama vaksin difteri dan tetanus. Imunisasi DPT diberikan 3 kali (paling sering dilakukan), yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan. Namun biasa ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1 kali di usia 18 bulan dan 1 kali di usia 5 tahun, imunisasi diberikan melalui suntikan intra muskuler (IM). Imunisasi DPT ditandai dengan gejala-gejala ringan seperti sedikit demam dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan, pembengkakan, agak nyeri atau pegal-pegal pada tempat suntikan yang akan hilang sendiri dalam bebrapa hari, atau bila masih demam dapat diberikan obat penurunan panas pada bayi. Imunisasi DPT tidak dapat diberikan pada anak-anak yang mempunyai penyakit atau kelainan saraf baik bersifat keturunan atau bawaan, seperti epilepsy, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi otak (Anik maryuni, 2010). 2.2.4 Imunisasi Polio Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak (Hidayat, 2008). Imunisasi polio diberikan pada bayi umur 0-11 bulan atau saat lahir (0bulan), dan berikutnya pada usia bayi 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT.

Pemberian imunisasi polio melalui oral/ mulut. Di luar negeri, cara pemberian imunisasi polio ada yang melalui suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine / IPV) Imunisasi polio hampir tidak ada efek samping, hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot, kasusnyapun sangat jarang. Imunisasi polio sebaiknya tidak diberikan pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, seperti demam tinggi (diatas 38C). Pada anak yang menderita penyakit gangguan kekebalan tidak diberikan imunisasi polio. Demikian juga anak dengan penyakit HIV/AIDS, penyakit kanker atau keganasan, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, untuk tidak diberikan imunisasi polio (Anik maryuni, 2010). 2.2.5 Imunisasi Hepatitis B Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit yang disebabkan virus hepatitis B, yaitu penyakit infeksi yang dapat merusak hati (Marimbi, 2010). Hepatitis B disebabkan oleh Virus hepatitis B (VHB), suatu anggota yang family hepadnavirus yaitu suatu virus DNA yang berlapis ganda dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati (hati mengeras dan mengecil) atau kanker hati (Cahyono, 2010).

Imunisasi ini sebaiknya diberikan 12 jam setelah lahir, dengan syarat kondisi bayi dalam keadaan stabil, tidak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Kemudian dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 bulan dan usia 3-6 bulan. Pemberian imunisasi melallui intra muskuler (I.M) di lengan deltoid atau paha anterolateral bayi, penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bias mengurangi efektivitas vaksin. Imunisasi ini umumnya tidak ada efek samping, jika-pun terjadi namun sangat jarang berupa keluhan nyeri pada tempat suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan, namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu 2 hari. Imunisasi ini tidak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat (Anik maryuni, 2010). 2.2.6 Imunisasi Campak Penyakit campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis,dan ruam kuli. Campak merupakan penyebab kematian bayi berumur <12 bulan dan anak usia 1-4 tahun. Penyakit campak di sebabkan oleh paramiksovirus dan genus morbili. Virus campak dapat hidup dan berkembang biak pada selaput lendir tenggorokan, hidung dan saluran pernafasan.

Tiga fase tanda dan gejala klinis campak, yaitu : 1. Fase pertama Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, pada tahap ini anak yang sakit belum memperlihatkan tanda dan gejala sakit. 2. Fase kedua (fase prodormal) Pada Fase ini timbul gejala yang mirip penyakit flu sepertti batuk, pilek, dan demam tinggi dapat mencapai 38-40C, mata merah berair, mulut muncul bintik putih (bercak koplik) dan kadang disertai mencret. 3. Fase ketiga Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring demam tinggi yang terjadi. Namun, bercak tak langsung muncul diseluruh tubuh, melainkan bertahap dan merambat. Bermula dari belakang telinga, leher, dada, muka, tangan dan kaki (Cahyono, 2010). Imunisasi diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dan dianjurkan sesuai jadwal. Selain karena antibody dari ibu sudah menurun di usia bayi 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak di usia balita. Jika sampai usia 12 anak belum mendapat imunisasi campak, maka 12 bulan ini anak harus di imunisasi. Cara pemberian imunisasi melalui subkutan, biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisai, mungkin terjadi demam ringan/ bercak merah pada pipi bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah

hari penyuntikan. Imunisasi campak tidak diberikan pada anak dengan penyakit infeksi akut yang disertai demam, penyakit gangguan kekebalan, penyakit TBC tanpa pengobatan, kekurangan gizi berat, penyakit keganasan, kerentanan tinggi terhadap protein telur (Anik maryuni, 2010). 2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar pada Bayi. 1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2007) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, yaitu : 1. Proses adaptasi prilaku Penelitian Rogers (1974) menungkapkan bahwa sebelum orang mengadposi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu : a. Awarenesis (kesadaran), yaitu orang tersebut mnyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. c.

Interest, yaitu orang mulai tertarik pada stimulus. Evaluation (menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. e.

Trial, yaitu orang telah mulai mencoba prilaku baru. Adoption, yaitu subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.

2.

Tingkat pengetahuan di dalam domain aktif Pengetahuan yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : a. Tahu (know), yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. b. Memahami (comprehension), yaitu sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahuii dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (application), yaitu sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau keadaan real (sebenarnya). d. Analisa (analysis), yaitu suatu kemammpuan untuk menjabarkan suatu materi atu suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitanya satu sama lain.

e.

Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f.

Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteri-kriteria yang telah ada (Notoadmodjo, 2007). Menurut Depkes (2001), pengetahuan ibu tentang imunisasi dapat mempengaruhi kesadaran ibu untuk mengimunisasikan anaknya. Peran seorang ibu dalam program imunisasi sangatlah penting, oleh karena itu suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut. Pemahaman ibu atau

pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal ibu (Ali, 2002). Menurut penelitian Masleni (2008), menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar dengan status imunisasi bayi dengan nilai probabilitas deperoleh 0,000<0,01 dengan menggunakan uji korelasi Spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,641. Menurut penelitian Vera Mariyam (2009), menunjukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar dengan hasil uji statistic menunjukan bahwa koefisien korelasi sebesar 0,268 dan p=0,02. Penelitian ini juga dilakukan Deni Adinegoro (2009) yang menunjukan adanya hubungan antara pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar terhadap pemberian imunisasi dasar pada bayi dengan nilai koefisien 0,556 dengan taraf signifikan p=0,01 (p<0,05). 2. Paritas Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup didalam rahim dengan usia kehamilan 28 minggu (Pusdiknakes, 2001). Paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm (Manuaba, 2008).

Klasifikasi paritas, yaitu 1. Primipara, yaitu wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006). 2. Multipara, yaitu wanita yang telah melahirkan seorang ank lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009). Multipara adalah wanita yang sudah pernah melahirkan bayi viable (hidup) bebrapa kali (Manuaba, 2008). Multigravida adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih (Varney, 2006). 3. Grandemultipara Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008). Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney,2006). Menurut Lestari (2007), paritas berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar pada anaknya. Semakin kecil jumlah anak akan semakin banyak waktu yang tersedia untuk memperhatikan anaknya terutama melakukan imunisasi, sebaliknya semakin banyak jumlah anak maka waktu yang tersedia akan semakin sedikit karena kesibukan mengurus anak.

Menurut Friedman (2005), ibu yang tahu dan paham tentang jumlah anak yang ideal, maka ibu akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia ketahui. 3. Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek social yang dapat mempengaruhi tingkah mempengaruhi tingkah laku manusia. Pendidikan akan memepengaruhi seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan, karena mereka yang berpendidikan tinggi mampu menghadapi tantangan dengan rasional (Notoadmodjo, 2003). Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu, mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan (Azwar, 2000). Penelitian Idwar (2001) disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka makin besar peluang untuk mengimunisasikan bayinya yaitu 2,215 kali untuk pendidikan tamat SLTA/ke atas dan 0,961 kali untuk pendidikan tamat SLTP/sederajat. Menurut Lestari (2007), makin tinggi pendidikan ibu maka akan lebih mudah menerima, mempunyai sikap dan berprilaku sesuai dengan yang dianjurkan. Demikian sebaliknya makin rendah pendidikan ibu maka akan

lebih sulit menyerap informasi, tingkat pendidikan formal ibu akan mempengaruhi sikap dan tindakan ibu terhadap pemeliharaan anak terutama imunisasi. Menurut penelitian Feby Angzila (2009), menujukan bahwa adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan formal ibu dengan status imunisasi dasar dengan hasil uji statistik menghasilkan nilai X2 hitung = 12,071 dengan df = 3 dan nilai p value = 0,007. Nilai X tabel = 7,815 maka nilai X2 hitung > X tabel dan nilai p < 0,05. Menurut penelitian Rini (2009), menunjukan bahwa ada hubungan antara pendidikan (p=0,021 dan koefisien phi=0,359) dengan status kelengkapan imunisasi dasar pada bayi. 4. Umur Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya resiko serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur individu tersebut (Noor, N. N (2000). Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi (p < 0,05).

Dari penelitian Salma Padri,dkk (2000) juga menemukan bahwa faktor utama yang berhubungan dengan imunisasi campak adalah umur ibu. Apabila usia ibu >20 tahun dan <35 tahun maka semakin besar peluang ibu untuk mengimunisasikan anaknya. Penelitian Ibrahim (2001) menunjukan bahwa karakteristik ibu yang erat hubunganya dengan status imunisasi anak adalah umur ibu, yaitu umur ibu yang dihitung sejak lahir sampai saat penelitian. 5. Status Sosial Ekonomi Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya. Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah. Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan status sosial ekonomi pada umumnya dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu terdapatnya perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah penyakit atau mendapatkan pelayanan kesehatan dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku hidup yang dimiliki. Menurut Noor, N. N (2000), menyebutkan bahwa berbagai variabel sangat erat hubunganya dengan status sosial ekonomi sehingga merupakan karakteristik. Status sosial ekonomi erat hubunganya dengan pekerjaan,

pendapatan keluarga daerah tempat tinggal, kebiasaan hidup dan lain sebagainya. Menurut Ali Muhammad (2002), status sosial ekonomi berhubungan dengan cakupan imunisasi dan opini orang tua tentang vaksin berhubungan dengan status imunisasi anak mereka. Depkes RI (2000) juga menyebutkan status sosial ekonomi juga merupakan komponen pendukung ibu melakukan imunisasi dasar pada bayi, dalam hal ini sumber pendapatan atau penghasilan.

You might also like