You are on page 1of 19

Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial

(atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dimana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut. [1] Istilah "diasuransikan" biasanya merujuk pada segala sesuatu yang mendapatkan perlindungan.[1]

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 2 Asuransi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) 3 Penanggung menggunakan ilmu aktuaria 4 keuntungan perusahaan asuransi 5 Prinsip dasar asuransi 6 Penolakan asuransi 7 Rujukan 8 Lihat pula 9 Pranala luar 10 Referensi

[sunting] Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992


Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Badan yang menyalurkan risiko disebut "tertanggung", dan badan yang menerima risiko disebut "penanggung". Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan: ini adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar oleh "tetanggung" kepada "penanggung" untuk risiko yang ditanggung disebut "premi". Ini biasanya ditentukan oleh "penanggung" untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan.

Contohnya, seorang pasangan membeli rumah seharga Rp. 100 juta. Mengetahui bahwa kehilangan rumah mereka akan membawa mereka kepada kehancuran finansial, mereka mengambil perlindungan asuransi dalam bentuk kebijakan kepemilikan rumah. Kebijakan tersebut akan membayar penggantian atau perbaikan rumah mereka bila terjadi bencana. Perusahaan asuransi mengenai mereka premi sebesar Rp1 juta per tahun. Risiko kehilangan rumah telah disalurkan dari pemilik rumah ke perusahaan asuransi.

[sunting] Asuransi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)


Definisi Asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tentang asuransi atau pertanggungan seumurnya, Bab 9, Pasal 246:[2] "Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

[sunting] Penanggung menggunakan ilmu aktuaria


Penanggung menggunakan ilmu aktuaria untuk menghitung risiko yang mereka perkirakan. Ilmu aktuaria menggunakan matematika, terutama statistika dan probabilitas, yang dapat digunakan untuk melindungi risiko untuk memperkirakan klaim di kemudian hari dengan ketepatan yang dapat diandalkan. Contohnya, banyak orang membeli kebijakan asuransi kepemilikan rumah dan kemudian mereka membayar premi kepada perusahaan asuransi. Bila kehilangan yang dilindungi terjadi, penanggung harus membayar klaim. Bagi beberapa tertanggung, keuntungan asuransi yang mereka terima jauh lebih besar dari uang yang mereka telah bayarkan kepada penanggung. Lainnya mungkin tidak membuat klaim. Kalau dirata-ratakan dari seluruh kebijakan yang dijual, total klaim yang dibayar keluar lebih rendah dibanding total premi yang dibayar kepada tertanggung, dengan perbedaannya adalah biaya dan keuntungan.

[sunting] keuntungan perusahaan asuransi


Perusahaan asuransi juga mendapatkan keuntungan investasi. Ini diperoleh dari investasi premi yang diterima sampai mereka harus membayar klaim. Uang ini disebut "float". Penanggung bisa mendapatkan keuntungan atau kerugian dari harga perubahan float dan juga suku bunga atau deviden di float. Di Amerika Serikat, kehilangan properti dan kematian yang tercatat oleh perusahaan asuransi adalah US$142,3 milyar dalam waktu lima tahun yang berakhir pada 2003. Tetapi keuntungan total di periode yang sama adalah US$68,4 milyar, sebagai hasil dari float.

[sunting] Prinsip dasar asuransi


Dalam dunia asuransi ada 6 macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu : *Insurable interest Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum. *Utmost good faith Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya adalah : si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat/kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan. *Proximate cause Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen. *Indemnity Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278). *Subrogation Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar. *Contribution Hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.

[sunting] Penolakan asuransi


Beberapa orang menganggap asuransi sebagai suatu bentuk taruhan yang berlaku selama periode kebijakan. Perusahaan asuransi bertaruh bahwa properti pembeli tidak akan hilang ketika pembeli membayarkan uangnya. Perbedaan di biaya yang dibayar kepada perusahaan asuransi melawan dengan jumlah yang dapat mereka terima bila kecelakaan terjadi hampir sama dengan bila seseorang bertaruh di balap kuda (misalnya, 10 banding 1). Karena alasan ini, beberapa kelompok agama termasuk Amish menghindari asuransi dan bergantung kepada dukungan yang diterima oleh komunitas mereka ketika bencana terjadi. Di komunitas yang hubungan erat dan mendukung di mana orang-orangnya dapat saling membantu untuk membangun kembali properti yang hilang, rencana ini dapat bekerja. Kebanyakan masyarakat tidak dapat secara efektif mendukung sistem seperti di atas dan sistem ini tidak akan bekerja untuk risiko besar.

[sunting] Rujukan

1. ^ a b (Inggris) The Free Dictionary.com: Insurace 2. ^ Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Cetakan IV. Citra Umbara, Bandung. 2010

Bagaimanakah Hukum Asuransi dalam Islam (2/3)


03 Agustus 2010 | Dibaca : 5031 kali | 4 Komentar | Kategori: Hukum Perdagangan, Fikih Kontemporer Keputusan Hai'ah Kibarul Ulama' Kerajaan Saudi Arabia Tentang Asuransi "Segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, dan juga kepada keluarga dan setiap orang yang meniti jalannya hingga hari Kiamat. Amma ba'du: Setelah Majelis Hai'ah Kibarul Ulama' mendengarkan seluruh pemaparan yang telah berlalu, kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan berbagai dalil orang-orang yang membolehkan asuransi secara mutlak, dan juga berbagai dalil orang-orang yang melarangnya secara mutlak, serta alasan orang-orang yang merincinya, yaitu dengan membolehkan sebagian bentuk "asuransi komersial" dan melarang yang lainnya. Dan setelah melalui diskusi dan dengar pendapat, Majelis Hai'ah Kibarul Ulama' memutuskan dengan suara terbanyak, bahwa "asuransi komersial" adalah haram hukumnya, berdasarkan dalil-dalil berikut: Pertama: Akad "asuransi komersial" adalah salah satu bentuk akad tukar-menukar barang yang berdasarkan pada asas untung-untungan, sehingga sisi ketidakjelasannya/ gharar besar, karena nasabah pada saat akad tidak dapat mengetahui jumlah uang yang harus ia setorkan dan jumlah klaim yang akan ia terima. Bisa saja ia menyetor sekali atau dua kali setoran, kemudian terjadi kecelakaan, sehingga ia berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen perusahaan asuransi. Dan mungkin juga sama sekali tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga nasabah membayar seluruh setoran, tanpa mendapatkan apapun. Demikian juga, perusahaan asuransi tidak dapat menentukan jumlah klaim yang harus ia bayarkan dan jumlah setoran yang akan ia terima, bila dicermati dari setiap akad secara terpisah. Padahal, telah dinyatakan dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam larangan dari jual beli gharar (yang tidak jelas). Kedua: Akad "asuransi komersial" adalah salah satu bentuk perjudian, dikarenakan padanya terdapat unsur untung-untungan dalam hal tukar-menukar harta benda, dan terdapat kerugian tanpa ada kesalahan atau tindakan apapun, dan padanya juga terdapat keuntungan tanpa ada imbal baliknya atau dengan imbal balik yang tidak seimbang. Karena nasabah kadang kala baru membayarkan beberapa setoran asuransinya, kemudian terjadilah kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menanggung seluruh biaya yang menjadi klaimnya. Dan bisa saja tidak terjadi kecelakaan, sehingga saat itu perusahaan berhasil mengeruk seluruh setoran nasabah tanpa ada imbalan sedikitpun. Dan bila pada

suatu akad unsur ketidakjelasan benar-benar nyata, maka akad itu termasuk perjudian, dan tercakup dalam keumuman larangan dari perjudian yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, perjudian, berkurban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al Maidah: 90) dan juga tercakup dalam ayat setelah ayat tersebut. Ketiga: Akad "asuransi komersial" mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba nasi'ah (penundaan), karena perusahaan asuransi bila ia membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya atau kepada orang yang berhak memanfaatkan suatu klaim yang lebih besar dari uang setoran (iuran) yang ia terima, maka itu adalah riba fadhl, sedangkan perusahaan asuransi akan membayar klaim tersebut kepada nasabahnya setelah berlalu tenggang waktu dari saat terjadi akad, maka itu adalah riba nasi'ah. Dan bila perusahaan membayar klaim nasabah sebesar uang setoran yang pernah ia setorkan ke perusahaan, maka itu adalah riba nasi'ah saja, dan keduanya diharamkan menurt dalil dan ijma' (kesepakatan ulama). Keempat: Akad "asuransi komersial" termasuk pertaruhan yang terlarang, karena masing-masing dari asuransi ini dan pertaruhan terdapat unsur ketidakjelasan, untunguntungan, dan mengundi nasib. Padahal, syariat tidak membolehkan pertaruhan selain pertaruhan yang padanya terdapat unsur pembelaan terhadap agama Islam, dan penegakkan benderanya dengan hujjah/ dalil dan pedang/ senjata. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah membatasi rukhshah (keringanan) pertaruhan dengan tebusan hanya pada tiga hal: "Tiada hadiah selain pada unta atau kuda atau senjata tajam." Dan "asuransi" tidaklah termasuk salah satu darinya, tidak juga serupa dengannya, sehingga diharamkan. Kelima: Akad "asuransi komersial" padanya terdapat praktik pemungutan harta orang lain tanpa imbalan, sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi perniagaan adalah diharamkan, dikarenakan tercakup oleh keumuman firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di antara kamu." (Qs. an-Nisa': 29).

Keenam: Pada akad "asuransi komersial" terdapat pengharusan sesuatu yang tidak diwajibkan dalam syariat, karena perusahaan asuransi tidak pernah melakukan suatu tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinya kerugian. Perusahaan asuransi hanyalah melakukan akad bersama nasabah untuk menjamin kerugian bila hal itu terjadi, dengan imbalan iuran/ setoran yang dibayarkan oleh nasabah kepadanya, sedangkan perusahaan asuransi tidak pernah melakukan pekerjaan apapun untuk nasabahnya, sehingga akad ini diharamkan. Adapun dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang membolehkan "asuransi komersial" secara mutlak atau pada sebagian macamnya, maka bantahannya sebagai berikut: A. Berdalil dengan kaidah "maslahah/ kemaslahatan" tidak dapat dibenarkan, karena kaidah maslahat dalam syariat Islam ada tiga bagian: - Bagian pertama: Maslahat yang dibenarkan oleh syariat penggunaannya, dan bagian ini dapat menjadi dalil. - Bagian kedua: Maslahat yang tidak diketahui statusnya, apakah syariat meninggalkannya atau menggunakannya, dan inilah yang disebut dengan maslahah mursalah, dan maslahah jenis ini merupakan permasalahan yang menjadi ajang ijtihad para ulama. - Bagian ketiga: Masalahat yang telah terbukti bahwa syariat sengaja meninggalkannya, dan akad "asuransi komersial" padanya terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan, perjudian, dan riba, sehingga termasuk maslahat yang ditinggalkan oleh syariat, dikarenakan sisi kerusakannya lebih besar dibanding sisi kemaslahatannya. B. Hukum asal perniagaan yaitu "mubah", tidak dapat dijadikan dalil pada permasalahan ini, karena akad "asuransi komersial" telah terbukti bertentangan dengan dalil-dalil alQur'an dan as-Sunnah. Sedangkan, pengamalan kaidah "hukum asal perniagaan yaitu mubah" disyaratkan tidak ada dalil yang mengubah hukum tersebut, padahal dalil tersebut telah didapatkan, maka batallah pendalilan dengan kaidah dasar tersebut. C. Kaidah: "Setiap keterpaksaan (darurat) membolehkan hal yang dilarang." Tidak dapat dijadikan dalil di sini, karena jalan-jalan mengais penghasilan yang halal jauh lebih banyak berlipat ganda dibanding jalan yang diharamkan atas manusia. Sehingga, tidak ada keadaan darurat yang dibenarkan secara syariat yang memaksa seseorang untuk melakukan hal yang telah diharamkan syariat, yaitu berupa asuransi. D. Tidak dibenarkan berdalil dengan tradisi, karena tradisi bukan termasuk dalil dalam mensyariatkan hukum. Tradisi hanya sebagai dasar dalam penerapan hukum, dan

memahami maksud dari teks-teks dalil dan ungkapan manusia dalam persumpahan, gugatan dan berita masyarakat, serta setiap hal yang memerlukan kepada penentuan maksud, baik berupa perbuatan atau ucapan. Sehingga, tradisi tidak memiliki pengaruh dalam hal-hal yang telah nyata, dan telah jelas maksudnya. Dan dalil-dalil telah menunjukkan dengan nyata tentang larangan dari "asuransi", sehingga tradisi tidak dapat dijadikan pertimbangan. E. Beralasan bahwa akad "aasuransi komersial" termasuk salah satu akad mudharabah/ bagi hasil atau yang serupa dengannya tidak dapat dibenarkan. Karena, kepemilikan modal dalam akad mudharabah tidak pernah keluar dari pemiliknya, sedangkan iuran/ setoran nasabah dalam "asuransi" dengan akad asuransi berpindah dari kepemilikan pemiliknya kepada perusahaan asuransi, sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan asuransi. Modal dalam akad mudharabah akan menjadi hak ahli waris bila pemodal meninggal dunia, sedangkan dalam akad asuransi ahli waris -sesuai dengan peraturan perusahaan- bisa saja memiliki klaim walaupun orang tua mereka belum sempat membayar selain satu setoran saja, dan bisa saja mereka tidak mendapatkan apa-apa, bila orang tua mereka telah menentukan orang yang berhak menerima klaim adalah selain penyetor dan ahli warisnya. Dan keuntungan dalam akad mudharabah dibagi antara kedua belah pihak dengan persentase tertentu, beda halnya dengan asuransi, keuntungan modal dan kerugiannya murni ditanggung perusahaan, sedangkan nasabah tidak barhak apa-apa diluar klaim atau klaim dalam jumlah yang tidak tertentu. F. Menyamakan akad "asuransi" dengan hubungan loyalitas (al-muwalaat) menurut ulama yang membenarkannya, tidak benar; karena penyamaan itu merupakan suatu qiyas dengan adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan antara keduanya: bahwa akad "asuransi" bertujuan mencari keuntungan materi yang sarat dengan untung-untungan, perjudian dan ketidakjelasan. Beda halnya dengan hubungan loyalitas (al-muwalaat), tujuan utamanya ialah menjalin persaudaraan dalam agama Islam, saling membela, dan bahu-membahu dalam kesusahan, kesenangan dan dalam segala keadaan. Adapun keuntungan berupa materi, maka itu merupakan tujuan sekunder. G. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan janji yang mengikat menurut ulama yang membenarkannya, tidak benar; karena penyamaan itu merupakan suatu qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaan antara keduanya ialah: bahwa janji memberi piutang atau pinjaman, atau menanggung kerugian -misalnya- merupakan tindak sosial semata, sehingga memenuhi janji tersebut merupakan hal yang wajib atau salah satu sikap terpuji. Beda halnya dengan akad "asuransi", karena sesungguhnya asuransi adalah akad tukar-menukar komersial, yang didasari oleh keinginan mencari keuntungan materi, maka unsur ketidak-jelasan dan untung-untungan padanya tidak dapat ditoleransi sebagaimana dalam perbuatan sumbangan sosial. H. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad memberikan jaminan/ garansi (dhamaan) terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan menjamin sesuatu yang belum terjadi, tidak benar; karena itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaannya ialah: akad jaminan (dhamaan) salah satu bentuk tindak sosial dan bertujuan untuk berbuat baik/ membantu semata. Beda halnya dengan "asuransi", karena

asuransi merupakan akad tukar-menukar komersial, dan tujuan utamanya ialah mendapatkan keuntungan materi. Dan bila di kemudian hari muncul sikap baik, maka itu merupakan hal sekunder dan tidak disengaja. Padahal hukum-hukum syariat senantiasa dikaitkan dengan tujuan utama, bukan dengan hal-hal sekunder, selama hal-hal tersebut bukan merupakan tujuan. I. Menyamakan akad "asuransi" dengan jaminan (dhamaan) terhadap resiko perjalanan, tidaklah benar; karena itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan, sebagaimana halnya alasan sebelumnya. J. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan peraturan pensiun, juga tidak benar, dan itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan. Karena uang pensiun adalah suatu hak yang telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya. Dan pemerintah dalam penyalurannya mempertimbangkan jasa setiap pegawai dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Dan pemerintah membuat aturan yang mempertimbangkan orangorang terdekat kepada setiap pegawai. Dan karena para penerima uang pensiun biasanya adalah orang-orang yang membutuhkan, maka aturan uang pensiun tidaklah termasuk dalam hal tukar-menukar harta antara pemerintah dan pegawainya. Oleh karena itu, tidak ada kesamaan antaranya dengan akad "asuransi komersial" yang merupakan salah satu akad tukar-menukar harta secara komersial dan perusahaan asuransi bertujuan darinya memanfaatkan keberadaan para nasabah, dan mengeruk keuntungan dari mereka dengan cara-cara yang tidak diizinkan dalam syariat. Karena, uang pensiun yang diterima tatkala seorang pegawai telah pensiun merupakan hak yang telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya, dan diberikan kepada setiap orang yang telah menjalankan tugas melayani masyarakat, sebagai balasan atas jasanya, dan dalam rangka memberikan pertolongan kepadanya sebagai imbalan atas pertolongan yang pernah ia berikan kepada pemerintah dalam wujud badan, pikiran, dan banyak waktu luangnya dalam rangka memajukan masyarakat. K. Menyamakan sistem "asuransi komersial" dan akadnya dengan sistem al-'aqilah tidak dapat dibenarkan. Karena itu adalah suatu qiyas yang disertai dengan adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan antara keduanya ialah: dasar kewajiban kerabat lelaki untuk ikut andil menanggunng beban diyat (denda) pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau sibhul 'amdi ialah adanya jalinan tali persaudaraan dan kekerabatan yang mengharuskan mereka semua untuk saling membela, berhubungan, bahu-membahu, dan memberikan bantuan, walau tanpa ada imbalan. Sedangkan akad "asuransi komersial" bersifat komersial dan menggunakan kesempatan dalam kesempitan, yang murni berasaskan pada sistem imbal balik, tanpa ada kaitan sedikitpun dengan kasih sayang dan amal kebaikan. L. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad "security" adalah tidak benar. Karena penyamaan ini juga merupakan qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaan antara keduanya ialah: keamanan bukanlah objek akad pada kedua permasalahan tersebut. Yang menjadi objek akad pada asuransi ialah uang setoran dan

uang asuransi (klaim). Sedangkan pada akad sewa security, yang menjadi objek adalah uang sewa dan kerja petugas keamanan. Adapun keamanan itu sendiri adalah hasil dan cita-cita, sebab bila keamanan yang menjadi objek akad, niscaya pekerja security tidaklah mendapat upah bila ada dari barang yang ia jaga yang hilang. M. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad "penitipan barang" tidak dapat dibenarkan. Karena itu juga merupakan qiyas dengan adanya perbedaan. Karena, upah dalam penitipan barang adalah imbalan atas jasa penerima titipan yang telah menjaga barang di tempatnya yang senantiasa ia rawat. Beda halnya dengan asuransi, uang setoran yang dibayarkan oleh nasabah, bukan sebagai imbalan atas jasa dari "perusahaan asuransi" yang pernah didapatkan oleh nasabah. Uang tersebut tidaklah lain hanya sebagai jaminan atas rasa keamanan dan ketentraman. Padahal, mensyaratkan upah pada akan jaminan tidak dibenarkan (menurut syariat), bahkan menjadikan akad jaminan terlarang. Dan bila uang klaim dianggap sebagai imbalan atas uang setoran, maka jelaslah bahwa ini merupakan akad tukar-menukar yang bersifat komersial, akan tetapi jumlah klaim dan masanya tidak dapat diketahui. Dengan demikian asuransi berbeda dengan akad penitipan dengan upah.
secara tekstual kita tidak temukan, tetapi secara tersirat prinsip-prinsip asuransi syariah ada beberapa dalil, diantaranya adalah; firman Allah subahanahu wata'ala yang berbunyi: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. An Nisa; 19, firman Allah subahnahu wata'ala: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Al Maidah; 2 dalam hadits Bukhari diterangkan: Amir bin Sa'd bin Abi Waqqash, dari ayahnya, mengatakan; Aku pernah sakit parah di Makkah hingga rasanya berada di ujung kematian. Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menjengukku. Maka Saya bertanya; 'Wahai Rasulullah, saya mempunyai harta yang melimpah ruah, dan tak ada yang mewarisiku selain anak perempuanku bagimana kalau aku sedekahkan dua pertiganya? ' Nabi menjawab: "jangan". Saya bertanya lagi; 'Bagaimana kalau separoh? ' Nabi menjawab: "jangan". Saya tanyakan lagi; 'Bagaimana kalau sepertiganya? ' Nabi menjawab: "Sepertiga itu banyak, Sesunguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik bagimu daripada kamu tinggalkan mereka dengan kondisi papa sehingga meminta-minta kepada orang lain, dan sekali-kali tidaklah engkau memberi nafkah, melainkan kamu diberi pahala sampai berupa suapan yang engkau angkat kedalam mulut isterimu." Maka saya berkata; 'Wahai Rasulullah, apakah aku tetap tinggal (di Makkah dan meninggalkan) hijrahku? ' Nabi menjawab: "Sekali-kali kamu tidak akan tertinggal setelahku kemudian kamu

beramal shalih dengan mengharap wajah Allah kecuali akan menambah bagimu ketinggian dan derajat, Bisa jadi dengan kamu tetap tinggal (di Makkah) setelahku akan mendatangkan manfaat bagi suatu kaum dan mencelakakan yang lainnya." dalam riwayat Ibnu Majah dan MAlik di terangkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat." kemudian kaidah fiqih mengatakan resiko bahaya harus di hilangkan

. Syaikh Abdur Rahman Isa. Syaikh Abdur Rohman Isa adalah salah seorang Guru Besar Universitas AI-Azhar. Dengan tegas ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek muamalali gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, demikian juga para sahabat Nabi. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Ulama telah menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara patut diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka halal menurut syara. Menurutnya, perjanjian asuransi adalah sama dengan perjanjian memberi janji upah. Ia berkata bahwa asuransi mewajibkan dirinya untuk membayar sejumlah uang ganti kerugian, apabila pihak lain mengerjakan sesuatu untuknya, ialah membayar uang premi dengan peraturan tertentu. Maka, apabila seseorang telah mengerjakan perbuatan ini, berhaklah ia atas sejumlah uang pengganti kerugian yang dijanjikan maskapai itu. Selanjutnya, Syekh Abdur Rohman Isa mengatakan bahwa sesungguhnya perusahaan asuransi dengan nasabahnya saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai. Itu merupakan perbuatan yang melayani kepentingan umum, memelihara harta milik orang-orang, dan menolak risiko harta benda yang terancam bahaya. Sebaliknya, perusahaan asuransi memperoleh laba yang memadai, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak sepakat atas perbuatan yang mengandung maslahat yang berhubungan dengan apa yang telah diciptakan oleh Allah swt. bagi kepentingan kita dan bagi manusia perbuatan ini diperlukan. Sementara tidak diperoleh nash yang melarangnya, baik dan kita, sunnah, maupun ijma. Demikian Syaikh Abdur Rahman mengambil konklusi tentang bolehnya asuransi, demi kemudahan manusia dengan menolak kesempatan dan kesulitan. 2. Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo). Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesar premi yang pernah

dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercantum dalam polis, dan ini halal menurut ukuran syara. 3. Syekh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo Ia mengatakan bahwa asuransi itu boleh sebab termasuk akad mudharabah. Akad mudharabah dalam syariat Islam ialah perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang diberikan oleh satu plhak dan dengan tenaga di pihak yang lain. Demikian pula dalam asuransi, orang yang berkongsi (nasabah), memberikan hartanya dengan jalan membayar premi, sementara dari pihak lain (perusahaan asuransi) memutarkan harta tadi, sehingga dapat menghasilkan keuntungan timbal balik, baik bagi para nasabah maupun bagi perusahaan, sesuai dengan perjanjian mereka. Dalam hubungan ini, ada yang memandang bahwa pembagian keuntungan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dengan menetapkan (bunga teknik) sebesar misalnya 3 % atau 4% (di Indonesia biasanya sekitar 7-9 persen) adalah mudharabah yang tidak sah. Maka, Syekh Abdul Wahab memberikan jawaban sebagai betikut. 1. Tafsir ayat riba dalam surah al-Bagarah adalah, Tiadalah termasuk riba yang diharamkan dalam nash (yang sudah jelas keharamannya), apabila seseorang memberikan modalnya kepada orang lain (untuk dijadikan modal usaha) dengan menetapkan bagian keuntungan tertentu dari modal itu. Memang hal ini berbeda dengan pendapat fugaha yang menetapkan bagian keuntungan pemilik modal, berdasarkan keuntungan yang diperoleh dalam perusahaan. Namun, atas dasar pertimbangan mashlahah, maka yang demikian itu tidak mengandung suatu dosa atau kesalahan. Selain itu, kerja sama macam ini bermanfaat bagi keduanya, baik bagi pemilik modal maupun pengusaha itu sendiri. 2. Persyaratan dalam mudharabah bahwa bagian keuntungan berdasarkan laba dan tidak ada ketentuan tertentu (persentase dari modal) belum diterima oleh sebagian mujtahidin fuqaha, dan hal itu bukanlah merupakan suatu hukum yang telah disepakati. Pendapat Syekh Abdul Wahab dalam majalah Hiwaul Islam No 11 Tahun VII ditutupnya dengan kesimpulan bahwa perikatan asuransi jiwa adalah akad yang sah, berguna bagi para anggota (nasabah), bagi perusahaan asuransi, bagi masyarakat dan tidak merusak seseorang. Juga tidak memakan harta seseorang dengan tidak benar, melainkan merupakan tabungan, koperasi, dan memberikan kecukupan bagi kepentingan nasabahnasabah yang usianya telah lanjut dan kepentingan ahli warisnya, ketika dia tiba-tiba meninggal dunia. Syariat Islam hanya mengharamkan yang merusak atau bahayanya lebih besar dati manfaatnya. 4. Prof. Dr. Muhammad al-Bahi, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Dalam kitabnya Nidlomut Tamin fi Hadighi Akkamil Islam wa Dlarurotil Mujtamil Muashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab. 1. Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong-menolong. 2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda. 3. Asuransi tidak mengandung unsur riba.

4. Asuransi tidak mengandung tipu daya. 5. Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah swt. 6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah. 7. Asuransi memperluas lapangan kerja baru. 5. Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasihat Pengadilan Tinggi Mesir. Ia mengatakan bahwa tujuan asuransi ialah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta nasabah, yang sekiranya ia menanggung sendiri kerugian itu, betapa berat beban yang dipikulnya, akibat hilangnya harta bendanya. Karena terpeliharanya harta benda merupakan salah satu tujuan agama, maka asuransi boleh menurut syara. Diterangkan oleh Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi bahwa dengan usaha menghindarkan penanggung (perusahaan asuransi) memenuhi janji membayar polis kepada nasabah ketika mengalami musibah, yang karena itulah diikat dengan perjanjian asuransi, dengan jumlah yang tidak terlampau banyak dari pada pembayaran preminya. Beban musibah ini dibebankan kepada perusahaan pada lahirnya saja. Namun, sebenarnya beban itu jatuh pada tabungan bersama atau kembali ke pundak semua nasabah yang menjadi pemilik tabungan. Menghilangkan malapetaka dengan jalan pemberian polis dan pihak penanggung kepada tertanggung dan pembayaran premi oleh pihak tertanggung kepada penanggung, menjauhkan asuransi dari bentuk yang menyerupai perjudian dan mengeluarkannya dari lingkaran perikatan yang tidak tertentu. Sesungguhnya asuransi itu tolong-menolong di antara Para nasabah. Dan asuransi yang benar bukanlah hasil kebetulan, melainkan tunduk di bawah aturan perhitungan yang hampir pasti. Untuk memperkuat argumen di atas, ia merujuk kepada dalil peraturan agama tentang tindak pidana yang tidak disengaja. Di mana Rasulullah memerintahkan kepada wali-wali dan pelaku pidana untuk membantu membayar diyatnya dengan sabdanya, Ambillah dan tebuslah diyatnya.Rasullullah telah menetapkan adanya pembayaran denda yang diterima oleh korban keluarganya dan keluarga pelaku tindak pidana yang tidak disengaja. Semua itu dimaksudkan untuk meringankan beban, karena ketidakmampuan pelaku memikulnya sendiri. Demikianlah asuransi dimaksudkan untuk meringankan beban nasabah yang terkena bencana. 6. Syaikh Muhammad Dasuki. Dalam kitabnya Majimaul Bukhuts al-Islamiyah, ia mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan beberapa hal. 1. Asuransi sama dengan syirkah mudharabah. 2. Asuransi sama dengan akad kafalah atau syirkatul ainan. 3. Pelaksanaan asuransi dapat didasarkan atas firman Allah dalam surah Al Anaam ayat 82,Orang-orangyang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat Petunjuk.

7. Dr. Muhammad Najatullah Shiddiq, berkebangsaan India, Pengajar Universitas King Abdul Aziz. Nejatullah Siddiq, menganalogikan asuransi dengan kafalah atau ganti rugi. Penafsiran mengenai kafalah itu diangkat dan surah Yusuf ayat 72, Penyeru-penyeru itu berkata,Kami kehilangan piala raja. Barangsiapa dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya. Berkata Ibnu Arabi dalam Ahkamul Quran bahwa maksud dari ayat ini ialah al-jialah memberi janji upah, di mana nilai tukarnya sudah dimaklumi, sedangkan hasil kerjanya belum. Tetapi, menurut Dr. Muhammad Muslehuddin. kafalah itu berbeda dengan asuransi, karena menyangkut tiga pihak. Sedangkan, kontrak asuransi dua pihak. Kafalah timbul karena ada jaminan pihak ketiga, dalam hal ini Nabi Yusuf, sedangkan dalam asuransi yang menjamin hanya perusahaan atau pihak kedua. Menganalogikan asuransi dengan kafalah sebenarnya sudah ditentang oleh ulama sejak abad IX Masehi, misalnya oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Kabir, jilid V. Menurutnya, besarnya beban unta seperti ditafsirkan dari ayat tersebut bukan tidak pasti, karena pada waktu itu sudah dikenal orang. Sekarang, santunan yang diterima nasabah asuransi, belum pasti. Karena itu, tidak bisa dianalogikan dengan seberat beban unta. Bila jumlah santunan itu Iebih besar dari premi, malah bisa menjadi riba. Dan bila nasabah punya pikiran untung-untungan yang dalam Bahasa fiqih disebut gharar, ini memang perjudian adu nasib. Tetapi, menurut Dr. Muhammad Nejatullah Shiddiqh, si penjudi itu bertaruh mencari risiko. Sedangkan, dalam asuransi nasabah justru mencari perlindungan dari risiko yang tak terelakkan, misalnya mati. Semua orang hidup pasti akan mati, apakah ia nasabah asuransi atau bukan. Karena itu, untuk menghindar dari masalah, niat si tertanggung tak cuma melihat ke kafalah, tetapi makna memberi janji upah. Dan, ini ada peranjian jelas di antara kedua pihak. 8. Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB, Sarjana dan pakar ekonomi Pakistan. Syaikh Muhammad Ahmad membolehkan asuransi jiwa dan asuransi konvensional lainnya dengan alasan sebagai berikut. 1. Persetujuan asuransi tidak menghilangkan anti tawakal kepada Allah. 2. Di dalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan. 3. Tujuan asuransi adalah kerja sama dan tolong-menolong. 9. Syaikh Muhammad al-Madni, seorang ulama yang cukup dikenal di Al-Azhar Kairo. Syaikh Muhammad al-Madni mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya menurut syara boleh, sebab premi (iuran) asuransi itu diinvestasikan dan bermanfaat untuk tolongmenolong. Demikian pula sahabat al-Madni Ustadz Ahmad Thoha as-Sanusi, salah satu cendekiawan di Al Azhar Mesir, mengatakan hal yang sama. 10. Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa, Guru Besar pada Universitas Syiria, dan cukup produktif dalam menulis seputar ekonomi Islam. Syaikh az-Zarqa berpendapat, jika ada di antara anggota sebuah asuransi sebelum preminya selesai diangsur, maka kepadanya dibayar penuh oleh perusahaan asuransi sebesar uang yang telah diperjanjikan. Asuransi

yang semacam ini tidak mengandung tipuan bagi kedua belah pihak, karena itu hukum syara membolehkan. Az-Zarqa lebih lanjut mengatakan bahwa sistem asuransi ini memberi keamanan dan ketenangan hati bagi Para anggotanya. Bagi az-Zarqa, kebolehannya karena tidak ada gharar. Perikatan asuransi dipandang sebagai prinsip yang dharuri menurut syara dan harus dipraktekkan di lingkungan pegawai negeri, yaitu peraturan pensiun dan pendapatan pegawai. Peraturan pensiun dan gaji pegawai negeri merupakan hukum kebendaan umum pada zaman kita ini, bagi pegawai negeri yang relatif sedikit dan terbatas. Ketika pegawai telah mencapai usia lanjut, menurut peraturan pensiun, maka dialihkan statusnya sebagai pensiunan dan dia tidak lagl sebagai pegawai yang menerima gaji bulanan secara penuh seperti biasa. Namun, dia akan memperoleh sejumlah uang yang diterima setiap bulan dan hasil pemotongan gaji bulanannya selama ini, sesuai dengan masa ketja, dan dia akan terus-menerus memperoleh tunjangan pensiun selama hidup, betapapun panjang umurnya. Dan, bahkan, setelah yang bersangkutan mati pun akan berpindah kepada keluarganya. Az-Zarga kemudian bertanya, lalu apakah bedanya sistem pensiun tersebut dengan asuransi jiwa? Ulama hukum Islam telah menetapkan bahwa dalam sistem pensiun tidak melihat syubhat apa pun atau suatu noda dipandang dari sudut syariah. Bahkan, sebaliknya, mereka memandang sebagai prinsip yang mendesak dalam sistem kepegawaian negeri dan mengandung maslahat umum. Di mana syariat, akal, dan undang-undang mengharuskan untuk menyantuni para pegawai negeri yang bekerja bagi kepentingan negara, setelah mereka menjadi lemah dan untuk kesejahteraan keluarga dalam suatu masa tertentu, setelah mereka meninggal dunia. Mengapa sistem pensiun ini diterima, sedang perikatan lainnya yang serupa yang diperlukan di antara manusia tidak diperbolehkan? Ustadz Zama lalu mengambil kesimpulan bahwa sistem asuransi pensiun dalam bentuknya yang umum, menjadi bukti bolehnya dalam dalil-dalil syariat Islam yang sesuai dengannya. Pustaka
Asuransi syariah: life and general : konsep dan sistem operasional Oleh Muhamma

Dalam Ensikloped Indonesia di sebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yg di berikan oleh penanggung kepada yg bertanggung utk risiko kerugian sebagai yg ditetapkan dalam surat perjanjian bila terjadi kebakaran kecuriam kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa atau kecelakaan lainnya dgn yg tertanggung membayar premi sebanyak yg di tentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan. A. Abbas Salim memberi pengertian bahwa asuransi ialah suatu kemauan utk menetapkan kerugian-kerugian kecil yg sudah pasti sebagai kerugian-kerugian besar yg belum pasti. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hal itu sama dgn orang yg bersedia membayar kerugian yg sedikit pada masa sekarang agar dapat

menghadapi kerugian-kerugain besar yg mungkin terjadi pada masa yg akan datang. Misalnya dalam asuransi kebakaran seseorang mengasuransikan rumahnya pabriknya atau tokonya kepada perusahaan asuransi. Orang tersebut harus membayar premi kepada perusahaan asuransi. Bila terjadi kebakaran maka perusahaan akan mengganti kerugiankerugian yg disebabkan oleh kebakaran itu. Di Indonesia kita kenal ada beramcammacam asuransi dan sebagai contoh di kemukakan dibawah ini di antaranya Asuransi Beasiswa Asuransi beasiswa mempunyai dasar dwiguna. Pertama jangka pertanggungan dapat 5-20 tahun disesuaikan denagn usia dan rencana sekolah anak kedua jika ayah meninggal dunia sebelum habis kontrak pertanggungan menjadi bebas premi sampai habis kontrak polisnya. Tetapi jika anak yg di tunjuk meninggal maka alternatifnya ialah mengganti dgn anak yg lainnya mengubah kontrak kepada bentuk lainnya menerima uangnya secara tunai bila polisnya telah berjalan tiga tahun lebih atau membatalkan perjanjian . Pembayaran beasiswaa dimulai bila kontrak sudah habis. Asuransi Dwiguna Asuransi Dwiguna dapat diambil dalam jangka 10-15-25-30 tahun dan mempunyai dua guna Perlindungan bagi keluarga bilamana tertanggung meninggal dunia dalam jangka waktu tertanggungan. Tabungan bagi tertanggung bilamana tertanggung tetap hidup pada akhir jangka pertanggungan. Asuransai Jiwa Asuransi jiwa adl asuransi yg bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yg tidak terduga yg disebabkan orang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama. Jadi ada dua hal yg menjadi tujuan asuransi jiwa ini yaitu menjamin hidup anak atau keluarga yg ditinggalkan bila pemegang polis meninggal dunia atau utk memenuhi keperluan hidupnya atau keluarganya bila ditakdir akan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir. Asuransi Kebakaran Asuransi kebakaran bertujuan utk mengganti kerugian yg disebabkan oleh kebakaran. Dalam hal ini pihak perusahaan menjamin risiko yg terjadi krn kebakaran. Oleh krn itu perlu dibuat suatu kontrak antara pemegang polis dgn perusahaan asuransi. Perjanjian dibuat sedemikian rupa agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan. Demikianlah diantara macam asuransi yg kita kenal di Indonesia ini. Kalau kita perhatikan tujuan dari semua macam asuransi itu maka pada prinsipnya pihak perusahaan asuransi memperhatikan tentang masa depan kehidupan keluarga pendidikannya dan termasuk jaminan hari tua. Demikian juga perusahaan asuransi turut memikirkan dan berusaha utk memperkecil kerugian yg mungkin timbul akibat terjadi resiko dalam melaksanakan kegiatan usaha baik terhadap kepentingan pribadi atau perusahaan. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakt di Indonesia ini dan di perkirakan ummat Islam banyak terlibat didalamnya maka perlu juga dilihat dari sudut pandang agama Islam. Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yg melakukan asuransi sama halnya dgn orang yg mengingkari rahmat Allah. Allahlah yg menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhlukNya sebagaimana firman Allah SWT yg artinya Dan tidak ada suatu binatang

melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yg memberi rezekinya. ?dan siapa yg memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan ?? Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup dan makhluk-makhluk yg kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya utk keperluan semua makhluk-Nya termasuk manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya mencarinya dan mengikhtiarkannya. Orang yg melibatkan diri kedalam asuransi ini adl merupakan salah satu ikhtiar utk mengahdapi masa depan dan masa tua. Namun krn masalah asuransi ini tidak ada dijelaskan secara tegas dalam nash maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi yaitu masalah perbedaan pendapat dan sukar dihindari dan perbedaan pendapat tersebut juga mesti dihargai. Perbedaan pendapat itu terlihat pada uraian berikut Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muthi . Alasan-alasan yg mereka kemukakan ialah Asuransi sama dgn judi Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti. Asuransi mengandung unsur riba/renten. Asurnsi mengandung unsur pemerasan krn pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yg sudah dibayar atau di kurangi. Premi-premi yg sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama halnya dgn mendahului takdir Allah. Asuransi di perbolehkan dalam praktek seperti sekarang Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa dan Abd. Rakhman Isa . Mereka beralasan Tidak ada nash yg melarang asuransi. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Saling menguntungkan kedua belah pihak. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yg terkumpul dapat di investasikan utk proyek-proyek yg produktif dan pembangunan. Asuransi termasuk akad mudhrabah Asuransi termasuk koperasi . Asuransi di analogikan dgn sistem pensiun seperti taspen. Asuransi yg bersifat sosial di perbolehkan dan yg bersifat komersial diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah . Alasan kelompok ketiga ini sama dgn kelompok pertama dalam

asuransi yg bersifat komersial dan sama pula dgn alasan kelompok kedua dalam asuransi yg bersifat sosial . Alasan golongan yg mengatakan asuransi syubhat adl krn tidak ada dalil yg tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah asuransi yg berkembang dalam masyarakat pada saat ini masih ada yg mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan sehingga sukar utk menentukan yg mana yg paling dekat kepada ketentuan hukum yg benar. Sekiranya ada jalan lain yg dapat ditempuh tentu jalan itulah yg pantas dilalui. Jalan alternatif baru yg ditawarkan adl asuransi menurut ketentuan agama Islam. Dalam keadaan begini sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW Tinggalkan hal-hal yg meragukan kamu kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu. Asuransi menurut ajaran agama Islam yg sudah mulai digalakkan dalam masyarakat kita di Indonesia ini sama seperti asuransi yg sudah ada selama ini pada PT. Asuransi Bumi Putera Asuransi Jiwasraya dan asuransi lainnya. Macamnya sama tetapi sisitem kerjanya berbeda yaitu dengan system mudharabah . Kita lihat dalam asuransi Takaful berdasarkan Syariah ada beberapa macam diantaranya Takaful KebakaranAsuransi takaful kebakaran memberikan perlindungan tehadap harta benda seperti toko industri kantor dan lain-lainnya dari kerugian yg diakibatkan oleh kebakaran kejatuhan pesawat terbang ledakan gas dan sambaran petir. Takaful pengankutan barangAsuransi bentuk ini memberikan perlindungan terhadap kerugian atas harta benda yg sedang dalam pengiriman akibat terjadi resiko yg disebabkan alat pengankutannya mengalami musibah atau kecelakaan. Takaful keluarga Asuransi takaful kelurga ini tercakup didalamnya takaful berencana pembiayaan berjangka pendidikan kesehatan wisata dan umroh dan takaful perjalanan haji. Dana yg terkumpul dari peserta diinvestasikan sesuai prinsip syariah. Kemudian hasil yg diperoleh dgn cara mudharabah dibagi utk seluruh peserta dan utk perusahaan. Umpamanya 40% utk peserta dan 60% utk perusahaan. Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa macam suransi konvensional sama saja dgn asuransi yg berlandaskan syariah. Namun dalam pelaksanaanya ada perbedaan mendasar yaitu bagi hasil pada asuransi yg berlandaskan syariah dan tidak demikian pada asuransi konvesional. Disamping itu ada alasan lain lagi yg perlu jadi bahan pertimbangan terutama oleh golongan yg menghramkan asuransi konvensional disebabkan oleh tiga hal yaitu Gharar Dalam asuransi konvensional ada gharar krn tidak jelas akad yg melandasinya. Apakah akad Tabaduli atau akad Takafuli . Umpamanya saja sekiranya terjadi klaim seperti asuransi yg diambil sepuluh tahun dan pembayaran premi itu adl gharar dan tidak jelas dari mana asalnya. Berbeda dgn asuransi takaful bahwa sejak awal polis dibuka sudah

diniatkan 95% premi utk tabungan dan 5% diniatkan utk tabarru . Jika terjadi klaim pada tahun kelima maka dan yg Rp. 7.500.000- itu tidak gharar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan terbaru/derma. Maisir Mengenai judi jelas hukumnya yaitu haram sebagaimana di firmankan Allah dalam surat al-Maidah 90. Dalam asuransi konvensional judi timbul krn dua hal Sekiranya seseorang memasuki satu premi ada saja kemungkinan dia berhenti krn alasan tertentu. Apabila berhenti dijalan sebelum mencapai masa refreshing pheriod dia bisa menerima uangnya kembali dan jumlahnya kira-kira 20% dan uang itu akan hangus. Dalam keadaan seperti inilah ada unsur judinya. Sekiranya perhitungan kematian itu tepat dan menentukan jumlah polis itu juga tepat maka pearusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam perhitungan maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini unsur judi . Dalam asuransi takaful berbeda krn sipenerima polis sebelum mencapai refreshing period sekalipun bila dia mengambil dananya maka hal itu di bolehkan. Perusahaan asuransi ialah sebagai pemegang amanah. Malahan kalu ada kelebihan/ untung maka pemegang polispun ada menerimanya. Riba Dalam asuransi konvensioanal juga terjadi riba krn dananya di investasikan . Sedangakn masalah riba dipersoalkan oleh para alim ulama. Ada ulama mengharamkannnya ada yg membolehkannya dan adapula yg mengatakan syubhat. Jalan yg ditempuh oleh asuransi takaful adl cara mudhrabah . Dengan demikian tidak ada riba dalam asurasni takaful. Agar asuransi takaful yg berlandaskan syariah Islamiah dapat berjalan dan berkembang dalam masyarakat kita di Indonesia ini maka asuransi takaful itu perlu dimasyarakatakan dan manajemennya hendaknya dilaksankan dgn baik dan rapi sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat sebenarnya ingin bukti nyata mengenai suatu gagasan ingin mendapat jaminan ketenangan selama masih hidup dan ingin pula jaminan utk anak turunan sesudah meninggal dunia. Apabila asuransi takaful yg berlandaskan syariah Islamiah sudah mewujudkan kehendak anggota masyarakat maka orang yg senang bergelimang dgn hal-hal yg syubhat dan dihadapkan pada ketentuan hukum yg bertolak belakang akan berkurang. Sumber Masail Fiqhiyah; Zakat Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan M Ali Hasan

terja

You might also like