You are on page 1of 10

TINJAUAN PUSTAKA SPONDILITIS ANKILOSIS

A. Definisi Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifat sistemik, ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama menyerang sendi tulang belakang (vertebra) dengan penyebab yang tidak diketahui. Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovia, dan rawan sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan mengakibatkan fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka merupakan tanda khas penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada stadium lanjut dan jarang terjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama lain SA adalah Marie Strumpell disease atau Bechterew's disease1,2 B. Etiologi Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA merupakan penyakit yang diperantari oleh sistem imun, dibuktikan dengan adnya peningkatan IgA dan berhubungan erat dengan HLA B27.3 Secara imunologi terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27 dan Limfosit T. Tumor necrosis factor (TNF) teridentifikasi sebagai pengatur sitokin.4 Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang diturunkan secara genetik, dan mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir dengan suatu gen yang disebut dengan HLA B27. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya HLA B27 gene marker yang dapat menjelaskan adanya hubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen HLA B27 ini hanya menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat terhadap terjadinya SA ini meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti lingkungan. Akhir-akhir ini, dua gen lain telah teridentifikasi berhubungan dengan SA, yaitu ARTS1 dan Il23R yang mempunyai peran dalam mempengaruhi fungsi imunitas.4

C. Epidemiologi Di Amerika Serikat, prevalensi spondilitis ankilosis sebesar 100-200 per 100.000 penduduk, yang merupakan penyakit spondiloartitis terbanyak. Namun, prevalensi spondilitis ankilosis di Jerman mencapai 1% hingga 5% sedangkan di Prancis 0,49%.5 Spondilitis ankilosis biasanya mulai sejak dekade kedua hingga ketiga kehidupan dengan median usia 23 tahun. Pada 5% pasien, gejala timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Usia yang rinci sulit ditentukan karena diagnosis seringkali tidak dikenali selama bertahun-tahun.5

Prevalensi spondilitis ankilosis antara pria dan wanita berbanding 2:1 hingga 3:1. Spondilitis ankilosis pada wanita seringkali timbul lebih ringan gejalanya.5

D. Faktor Risiko Penyakit ini sering dimulai pada usia antara 20-40 tahun, tapi dapat pula dimulai sebelum usia 10 tahun. Pada umumnya pria lebih banyak menderita Pada umumnya pria lebih banyak menderita dari pada wanita dengan perbandingan laki-laki : wanita kurang lebih 5:1, bahkan ada yang menyebutkan 2-10:1. Faktor-faktor risiko ini meliputi riwayat keluarga dengan spondilitis ankilosa dan jenis kelamin lakilaki.5,6,7.

E. Patofisiologi Proses patofisiologi yang terjadi pada spondilitis ankilosa ditandai dengan adanya inflamasi dan terjadinya fusi. Hal tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar dibawah ini:8,9.

Gambar 1. Tulang Belakang Normal dan Tulang Belakang dengan Spondilitis Ankilosa8

Sedangkan manifestasi terjadinya spondilitis ankilosa ditunjukkan dalam skema sebagai berikut:

Gambar 2. Mekanisme Spondilitis ankilosis8

F. Manifestasi Klinis Gejala klinik Spondilosis Ankilosa (SA) dapat dibagi dalam manifestasi skeletal dan ekstraskeletal. Manifestasi skeletal berupa artritis aksis, artritis sendi panggul dan bahu, artritis perifer, entensopati, osteoporosis, dan fraktur vertebra. Manifestasi ekstraskeletal berupa iritis akut, fibrosis paru, dan, amiloidosis.9,10 Gejala utama SA adalah sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual dengan nyeri hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah pada daerah paha. 2-5, 7-13. Keluhan konstitusional biasanya sangat ringan seperti anoreksia, kelemahan, penurunan berat badan, dan panas ringan yang biasanya terjadi pada awal penyakit.9,10. Manifestasi pada Tulang Keluhan yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri pinggang dan sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3 bulan, diserati kaku pinggang pada pagi hari, dan membaik dengan aktivitas fisik atau bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya tumpul dan sukar ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral. Nyeri bilateral biasanya menetap, beberapa bulan kemudiandaerah

pinggang bawah menjadi kaku dan nyeri. Neri ini lebih terasa di daerah bokong dan bertambah hebat bila batuk, bersin, atau pinggang mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan menambah nyeri dan kaku. Keluhan nyeri dan kaku pinggang merupakan keluhan dari 75% kasus di klinik. 9,10. Nyeri tulang juksa artikular dapat menjadi keluhan utama, misalnya entesis yang dapat menyebabkan nyeri di sambungan kostosternal, prosesus spinosus, krista iliaka, trokanter mayor, tuberositas tibia, atau tumit. Keluhan lain dapat berasal dari sendi kostovertebra dan manubrium sternal yang menyebabkan keluhan nyeri dada, sering disaladiagnosiskan sebagai angina. 9,10.. Manifestasi di Luar Tulang Manisfestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan sindroma kauda ekuina. Manifestasi di luar tulang yang paling sering adalah uveitis anterior akut, biasanya unilateral, dan ditemukan 25-30% pada pasien SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan kabur. Manifestasi pada jantung dapat berupa insufisiensi aorta, dilatasi pangkal aorta,, jantung membesar, gangguan konduksi. Pada paru dapat terjadi fibrosis, umumnya setelah 20 tahun menderita SA, dengan lokasi pada bagian atas, biasanya bilateral, dan tampak bercak-bercak linier pada pemeriksaan radiologis, menyerupai tuberkulosis. 9,10.

G. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik spondilitis ankilosis dapat ditemukan:9,10,11. Sikap/postur tubuh Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang. Lordosis lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal. Apabila vertebra cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta menimbulkan rasa nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke depan dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara : penderita diminta berdiri tegak, apabila terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada dinding. 9,10,11

Mobilitas tulang belakang Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak. Biasanya ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra lumbal, yang dapat dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke depan, ke samping dan ekstensi. 9,10,11 Tes Schober atau modifikasinya, berguna untuk mendeteksi keterbatasan gerak fleksi badan ke depan. Caranya : penderita diminta untuk berdiri tegak, pada prosesus spinosus lumbal V diberi tanda (titik), kemudian 10 cm lurus di atasnya diberi tanda ke dua. Kemudian penderita diminta melakukan gerakan membungkuk (lutut tidak boleh dibengkokkan). Pada orang normal

jarak kedua titik tersebut akan bertambah jauh; bila jarak kedua titik tersebut tidak mencapai 15 cm, hal ini menandakan bahwa mobilitas tulang vertebra lumbal telah menurun (pergerakan vertebra lumbal mulai terbatas). Di samping itu fleksi lateral juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan menimbulkan rasa sakit. 9,10,11

Ekspansi dada Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai pada kasus ankylosing spondylitis stadium dini dan jangan dianggap sebagai stadium lanjut. Pada pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai normalnya sangat bervariasi dan tergantung pada umur dan jenis kelamin. Sebagai pedoman yang dipakai adalah : ekspansi dada kurang dari 5 cm pada penderita muda disertai dengan nyeri pinggang yang dimulai secara perlahan-lahan, harus dicurigai mengarah ke adanya ankylosing spondylitis. Pengukuran ekspansi dada ini diukur dari inspirasi maksimal sesudah melakukan ekspirasi maksimal. 9,10,11

Enthesitis Adanya enthesitis dapat dilihat dengan cara menekan pada tempat-tempat tertentu antara lain : ischial tuberositas, troc-hanter mayor, processus spinosus, costochondral dan manubriosternal junctions serta pada iliac fasciitis plantaris juga merupakan manifestasi dari enthesitis.
9,10,11

Sacroilitis Pada sacroiliitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan tetapi hal ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium lanjut sering kali tanda-tanda ini tidak ditemukan. Pada stadium lanjut tidak ditemukan nyeri tekan pada sendi sacroiliaca oleh karena telah terjadi fibrosis atau, bony Ankylosis9,10,11

H. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada spondilitis ankilosis meliputi: 1. Pemeriksaan Laboraturium Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju endap darah ditemukan pada 75% kasus, tetapi hubungannya dengan keaktifan penyakit kurang kuat. Serum C reactive protein (CRP) lebih baik digunakan sebagai petanda keaktifan penyakit. Kadang-kadang, ditemukan peninggian IgA. Faktor rematoid dan ANA selalu negatif. Cairan sendi memberikan gambaran sama pada inflamasi. Anemia normositik-normositer ringan ditemukan pada 15% kasus. Pemeriksaan HLA B27 dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis. 9,10.

2.

Pemeriksaan Radiologi Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi aksial, terutama pada sendi sakroiliaka, diskovertebral, apofisial, kostovertebral, dan kostotransversal. Perubahan pada sendi S2 bersifat bilateral dan simetrik, dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkonral, diikuti erosi yang memberi gambaran mirip pinggir perangko pos. Kemudian, terjadi penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan osilikasi. Setelah beberapa tahun, terjadi ankilosis yang komplit. 9,10. Beratnya proses sakroilitis terdiri dari 5 tingkatan berdasarkan radiologis, yaitu tingkat 0 (normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah adanya sclerosis periartikuler, jembatan sebagian tulang atau pseudo widening, tingkat 3 (tingkat 2 ditambah adanya erosi dan jembatan tulang), serta tingkat 4 (ankilosa yang lengkap). 9,10. Akan terlihat gambaran squaring (segi empat sama sisi) pada kolumna vertebra dan osifikasi bertahap lapisan superfisial anulus fibrosus yang akan mengakibatkan timbulnya jembatan di antara badan vertebra yang disebut sindesmofit. Apabila jembatan ini sampai pada vertebra servikal, akan membentuk bamboo spine. Keterlibatan sendi panggul memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi yang konsentris, ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada tepi luar permukaan sendi, baik pada asetabulum maupun femoral. Akhirnya, terjadi ankilosis tulang dan pada sendi bahu memperlihatkan penyempitan celah sendi dengan erosi. 9,10.

I.

Penatalaksanaan Medikamentosa Pengobatan dengan Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) untuk mengurangi nyeri, mengurangi inflamasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Indometasin 75-150 mg perhari memegang rekor terbaik. Apabila pasien tidak mampu mentolerir efek samping seperti gangguan lambung atau gangguan SSP berupa sakit kepala dan pusing, maka AINS yang lain dapat dicoba. 10,11. Pasien yang tidak responsif dengan indometasin atau AINS yang baru lainnya dapat dicoba dengan fenilbutazon 100-300 mg per hari. Tingginya insiden agranulositosis atau anemia aplastik akibat efek samping obat ini dibandingkan dengan AINS yang lain perlu disampaikan pada pasien dengan jumlah eritrosit dan leukosit harus selalu dimonitor. 9,10. Preparat emas dan penisilamin telah digunakan pada pasien dengan poliartritis perifer. Publikasi studi klinik terakhir dari Sulfasalazin 2-3 gram perhari, baik nyeri maupun kelainan spinal. 4,5.

Bila keluhan sangat mengganggu dalam kegiatan sehari-hari dapat dipertimbangkan untuk dilakukan artroplasti atau koreksi deformitas spinal. Tindakan ini sangat berguna untuk mengurangi keluhan akibat deformitas tersebut. 9,10. Pengobatan lain dapat digunakan Biologic Response Modifiers (Remicade = Infliximab; Enbrel

= Etanercept; Kineret = Anakinra; Humira = Adalimumab; Mabtera = Rituximab). AS yang tidak responsif dengan AINS dapat digunakan protokol Step-down Bridge menggunakan kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral (SBP-6-IMNs). AS yang refrakter terhadap AINS adalah AS yang laju endap darah (LED), C-Reactive Protein (CRP) dan Skor BASDAI-nya tidak membaik atau memburuk secara bermakna meskipun telah diterapi dengan paling sedikit 2 AINS yang berbeda dalam kurun waktu sedikitnya 2 bulan. Pada AS dengan LED, CRP, dan BASDAI skor tinggi (> 4), inflamasi autoimun harus ditekan seluruhnya sesegera mungkin.11 Metode terapi standar protokol Step-down Bridge menggunakan kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral harian intravena 5 kali per minggu yang terdiri dari:11 y Siklofofamid + Metilprednisolon + 5 Fluro Urasil harian + Metrotreksat mingguan + tanpa

kortikosteroid oral (metilprednisolon, prednison, atau prednisolon), atau y Siklofofamid + 5 Fluro Urasil + Metrotreksat mingguan tanpa Metilprednisolon dan kortikosteroid oral. Jumlah maksimum sesi intravena harian adalah 5 kali per minggu untuk mencegah dosis kumulatif mingguan yang tinggi dan efek samping. Pada AS refrakter siklofosfamid, Ifosfamid adalah suatu analog yang menggantikan siklofosfamid. Pada kasus-kasus resisten, pasien tidak lagi imuno-naif terhadap Siklofosfamid + Metilprednison + Metrotreksat mingguan. Walau demikian, pasien-pasien ini masih imuno-naif terhadap kombinasi baru Ifosfamide + 5 flourourasil intravena. Ini dapat kembali menimbulkan remisi pada AS yang refrakter terhadap Siklofofamid + Metilprednisolon + Metrotreksat mingguan (komunikasi pribadi).11 Dosis intravena 1. Siklofosfamid 25 100 mg per sesi + 2. Metilprednison 0 125 mg per sesi + 2. Metrotreksat 5 15 mg per sesi sekali seminggu + 3. 5 Flurourasil 25 100 mg per sesi) +

Dosis minimum perlu digunakan pada pasien yang sensitif atau pada mereka dengan berat badan yang sangat rendah (< 35 Kg). Pasien yang sensitif mungkin menderita efek samping dengan dosis 100 mg siklofosfamid dan 5 flurourasil, 15 mg metrotreksat, dan 125 mg metilprednison, tapi tidak pada dosis 75, 50 atau 25 mg siklofosfamid, 5 flurourasil atau dosis 5 mg metrotreksat. 11 Sebenarnya metilprednisolon tidak mutlak dibutuhkan untuk mencapai DiC dan RworalDs pada Nr-AS, tetapi secara relatif dibutuhkan untuk tapering-off dan mencapai DiC pada pasien yang masih

menggunakan kortikosteroid oral saat datang. Akan tetapi kombinasi CyC + 5FU + MPS + MTX mingguan (SBP-6-IMNs) memberikan: efikasi yang lebih cepat, mengurangi jumlah total frekuensi sesi intravena; mengurangi ketergantungan pada kortikosteroid yang masih diminum pasien saat datang. 11

Penurunan kadar terapi IV secara bertahap (Tapering Off) Jika LED turun menjadi < 40, < 30 dan < 25 mm/1 jam (pria < 30, < 20, dan < 15 mm/1 jam), sesi IV diturunkan masing-masing menjadi 3, 2 dan 1 kali per minggu. Setelah CRP < 3 mg%, BASDAI < 1, dan LED < 25 (wanita) atau < 15 mm (pria) Nr-AS dikatakan telah mencapai DiC. Kemudian sesi IV diturunkan menjadi 1 kali tiap dua minggu, 1 kali tiap 4 minggu, 1 kali tiap 8 minggu dan dihentikan. Pada beberapa pasien dengan AS yang telah lama diderita, dosis final pada minggu ke-12 mungkin dibutuhkan.11

J.

Penatalaksanaan Non-Medikamentosa Fisioterapi Tujuan utama fisioterapi pada SA adalah untuk memperbaiki mobiltas dan kekuatan serta mencegah atau menurunkan terjadinya abnormalitas kurva tulang belakang. Pengobatan dan fisioterapi adalah bersifat koplementer satusama lain.9 Prinsip pengobatan utama pada SA adalah dengan menghilangkan nyeri, mengurangi inflamasi, latihan fisik untuk perbaikan kekuatan otot, dan memelihara postur tubuh. Penderita dianjurkan tidur terlentang menggunakan kasur yang agak keras dengan sebuah bantal tipis. Menggunakan bantal yang tebal atau beberapa bantal sebaiknya dihindari. Pada pagi hari, mandi air hangat, diikuti latihan fisik untuk penguatan otot-otot belakang (sesuai dengan petunjuk dokter atau dokter fisioterapi). Hal ini sebaiknya dilakukan di rumah secara teratur. Tidur tengkurap selama beberapa menit dilakukan beberapa kali dalam sehari merupakan tindakan yang bermanfaat dalam menjaga pergerakan ekstensi spinal. 6,10. Latihan fisik penting dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi kelainan berupa fleksi spinal yang progresif. Oleh karena itu, otot-otot ekstensor spinal harus diperkuat. Manuver lain yang perlu dilakukan adalah bernapas dalam dan gerakan fleksi lumbal yang isometrik. Posisi postur tubuh harus diperhatikan setiap saat. Kursi dengan sandaran yang keras dianjurkan, tetapi diutamakan lebih banyak berjalan dari pada duduk.6,10. Berenang merupakan latihan fisik yang terbaik selama otot-otot masih boleh menahan dalam keadaan ekstensi. Fusi spinal merupakan komplikasi dari spondilitis. Karena itu, postur harus dipertahankan dan menghindari terjadinya kontraktur dalam posisi fleksi dari bahu dan lutut. Penderita Fisioterapi mempunyai peranan terhadap manajemen SA namun tidak dapat menggantikan pengobatan medikamentosa.

dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong, pundak, bahu, dan belakang kepala selalu bersandar pada dinding.6,10. Pembedahan Pembedahan mungkin dibutuhkan dalam beberapa kasus SA. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya osifikasi ligamen dan sendi sehingga terjadi fusi pada columna vertebrae belum dijelaskan secara rinci. Sebagai dampak dari fusi columna vertebrae ini terjadi keterbatasan dalam gerakan dan elatisitas. Munurunnya fleksibilitas dapat berakibat akan terjadinya berbagai kelainan pada tulang belakang seperti fraktur dan dislokasi, atlanto-axial dan atlanto-occipital subluxiation, deformitas tulang belakang, stenosis tilang belakang, dan kelainan pinggul. Ketika komplikasi ini terjadi. Tindakan pembedahan mungkin dapat dibutuhkan.6,10.

K. Prognosis Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara umum, penderita lebih cenderung dengan pergerakan yang normal daripada timbulnya restriksi berat. Keterlibatan ekstraspinal yang progresif merupakan determinan penting dalam menentukan prognosis. Beberapa survei epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan, berkurangnya pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka perkembangan penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi perifer yang berat menunjukkan prognosis buruk. Sebagian besar penderita dengan SA memperlihatkan keluhan serta perlangsungan yang ringan dan dapat dikontrol sehingga dapat menjalankan tugas dan kehidupan sosial dengan baik.12 Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo spine lebih sering terlihat pada pria2-5,12-15. Terdapat dua gambaran yang secara langsung berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas, dan prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat dari trauma, baik yang tidak disadari maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada salah satu diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa dilokalisir, dan ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang mendadak. Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua yang menyusul trauma berat maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.12

DAFTAR PUSTAKA

1.

Taurog JD, Lipsky P. Ankylosing spondylitis, reactive arthritis, and undifferentiated spondyloarthropathy. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Marthin JB, Fauci AS, Kasper DL (Eds): Harrison's Principles of Internal Medicine, 13th ed., Mc Graw-Hill Inc., International Edition, 1998, 1, 1664-69.

2.

Weisman MH. Spondyloarthropathies. In: Stein JH, Hutton JJ, Kohler PO (Eds): Internal Medicine, 4th ed., Mosby Year Book Inc., Missouri 1994, pp 2454-62.

3. 4. 5.

J Sieper, J Braun et al : Ankylosing Spondylitis , an overview,Ann Rheum Dis 2002; 61. (suppl 3) iii 8-18. Ckou CT, Factors effecting pathogenesis of AS, Chin Med J (Engl) 2001; 114 : 212-13. Braun J, Bollow M, Remlinger G, et al. Prevalence of spondyloarthropathies in HLA-B27 positive and negative blood donors. Arthritis Rheum 1998;41:58-67.

6.

6. Hadi S . Spondiloartropati seronegatif, dalam Prijanto Poerjoto, Sugiri, Sutikno T (eds) Pendidikan Kedokteran berkelanjutan ke II Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1997: 31-5.

7.

Sunarto. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondiloartropati Seronegatif, dalam Hirlan, M Husein Gasse , Lestariningsih (eds) Pertemuan Ilmiah Tahunan VII Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Cabang Semarang. Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2004: 144-7.

8.

Isbagio H, Spondiloartropati Seronegatif dalam Sarwono waspaji, D Muin Rahman, LA Lesmana, Djoko Widodo, Hari Isbagio, Idrus Alwi, Unggul Budi Husodo (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga . Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996: 143-6

9.

Weisman MH. Spondylopathies. In:Stein JH Hutton JJ. Kohler PO (eds): Internal Me22dicine, 4th ed., Mosby Year Book Inc., Missouri 1994, pp 2454-62.

10. Isbagio H. Spondiloartropati Seronegatif. Dalam: Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, et al (Eds): Buku Ajar Penyakit Dalam I 3rd., Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1996, 142-5 11. Klippel J H, Seronegative Spondyloarthropathies, Ankylosing Spondylitis in Primer on The Rheumatic Desease Edition 12. Arthritis Fondation. Atlanta Georgia. 2001: 250-4. 12. Darmawan John. Terobosan dalam Pengobatan Spondilitis Ankilosis yang Refrakter Terhadap AINS memakai Protokol Step-down Bridge (Kombinasi 6 Imunosupresan Intravena dan Oral). Semarang. (Diunduh dari : http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/download/mi-07.pdf 10-8-2011)

10

You might also like