You are on page 1of 7

Masalah keamanan pangan (food safety) masih merupakan masalah utama dibidang pangan dan gizi di Indonesia.

Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 ditegaskan bahwa salah satu sasaran pembangunan dibidang pangan dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II adalah terjamin keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat (Seto, 2001). Pangan atau makanan merupakan kebutuhan primer setiap manusia. Keamanan serta kebersihan makanan tersebut menjadi faktor yang tidak kalah penting untuk diperhatikan oleh masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya efek samping yang ditimbulkan dari beragam makanan seperti terjadinya kontaminasi, penyalahgunaan bahan makanan, dan keracunan makanan. Kasus keracunan makanan sering terjadi pada anak usia sekolah mulai dari anak TK, SD, SLTP bahkan anak usia remaja yaitu SMA (Depkes, 2007). Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat baik konsumen maupun produs n tentang keamanan e pangan perlu perhatian dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat pada umumnya dan anak sekolah khususnya dapat dilakukan melalui program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Program KIE penyampaian materi dapat dilakukan melalui beberapa metode dan media. Media yang digunakan sangat bervariasi, mulai dari yang tradisional yaitu mulut (lisan), bunyi-bunyian (kentongan), tulisan (cetak),3 sampai dengan elektronik yang modern yaitu televisi dan internet (Notoatmodjo, 2007).

Keamanan pangan juga menjadi masalah yang terjadi di negara-negara berkembang. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, perubahan p ola makan, intensifikiasi dan industrialisasi produk pertanian dan pangan. Hal tersebut berimplikasi pada sistem produksi pangan. Kondisi iklim, sanitasi dan infrastruktur publik yang buruk menambah kesulitan ini. Perundang-undangan mengenai keamanan pangan di banyak negara berkembang sering tidak lengkap dan usang atau tidak sejalan dengan persyaratan internasional. Tanggung jawab keamanan pangan dan pengendaliannya cenderung terpecah pada banyak institusi. Sementara itu, banyak laboratorium kekurangan peralatan regular dan peralatan penting. Sistem keamanan pangan yang lemah dapat menyebabkan kejadian permasalahan keamanan pangan yang lebih sering dan penyakit akibat mikroorganisme seperti Salmonella, E. Coli, Campylobacter dan Listeria, melalui residu bahan kimia (pestisida, obat ternak dan lain-lain) serta penggunaan pangan tambahan yang tidak berizin. Diare saja, yang terutama disebabkan air dan pangan yang tidak aman, menyebabkan 1,8 jita anak meninggal setiap tahun. Untuk menjamin produksi pangan yang aman bagi konsumen dan untuk memenuhi persyaratan internasional tentang kebersihan dan phytosanitary bagi eksport pangan, otoritas keamanan pangan nasional harus lebih waspada. Produsen dan pedagang harus bertanggungjawab terhadap produksi pangan yang aman pada seluruh rantai atau jaringan pangan. Di Indonesia sendiri masalah keamanan pangan menjadi hal yang perlu mandpat perhatian khusus dari semua pihak. Dalam beberapa tahun terakhir, kita dapat melihat mencuatnya kasus keracunan makanan seperti adanya kasus keracunan sari buah di Surabaya (Mei 2004),

kasus keracunan sebagian besar karyawan sebuah Televisi Swasta di Jakarta setelah mengkonsumsi katering perusahaan, kasus keracunan susu pada siswa-siswa SD, dan sebagainya. Kasus keracunan di Indonesia kebanyakan disebabkan oleh sektor catering. Hal ini tentu saja disebabkan karena tidak adanya Bagian Quality Control dan rendahnya pengetahuan cara mengolah makanan dan minuman secara aman, serta kurangnya kontrol terhadap kebersihan para pekerja catering.Mesk ipun kasus keracunan yang timbul dari sektor industri cukup rendah, bukan berarti kasus keracunan yang berasal dari sektor industri tidak ada. Bahaya terhadap pangan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya biologi. Peningkatan kasus keracunan makanan akibat bahaya biologi dalam beberapa tahun terakhir timbulnya cukup banyak varian dari mikroba, bakteri dan virus, seperti E.Coli 0157, E.Coli 0111, Salmonella Enteritidis, Norwalk viruses, dan lain-lain. Sedangkan untuk bahaya kimiawi juga mengalami peningkatan yang signifikan karena adanya peningkatan teknologi dan teknik analitik. Kontaminasi bahaya terhadap pangan harus mulai dicermati pada seluruh proses rantai makanan.

Konsep pengawasan keamanan pangan yang dikembangkan Badan POM RI adalah pengawasan keamanan pangan secara total (total food safety control). Ini mutlak dilakukan karena masalah keamanan pangan dapat terjadi di mana saja dari mulai pangan dibudidayakan hingga siap dikonsumsi. Dengan demikian perlu kerja sama yang erat antara pihak-pihak yang terkait dengan keamanan pangan. Selain peran instansi pemerintah, peran industri dan konsumen tidak kalah pentingnya, karena meningkatkan keamanan pangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya dan memuncaknya barang dipasaran sehingga kurangnya pengawasan dapat menjadikan bahaya terhadap konsumen. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dari semua pihak yang terlibat didalamnya tentang pentingnya menjaga mutu dan keamanan produk. Selain itu kedewasaan juga diperlukan oleh pihak produsen untuk tidak selalu mengejar keuntungan tanpa memperhatikan keamanan maupun mutu dari produk tersebut. Ini juga menjadi tanggung jawab kita semua untuk mendapatkan mutu dan keamanan pangan yang benarbenar berkualitas khususnya di Indonesia dan tentunya negara-negara lain.

Perdagangan makanan berskala internasional dipermudah oleh perkembangan teknologi dan transportasi pangan serta oleh migrasi dan perjalanan antarnegara. Namun, akibat perdagangan internasional ini, makanan penduduk mungkin berubah. Orang mungkin mengonsumsi bahan pangan yang asing bagi mereka atau dapat saja menerapkan cara baru dalam menyiapkan makanan. Mengingat setiap makanan dan praktik penyiapannya memiliki karakteristik dan potensi bahayanya sendiri, maka sangat penting kiranya jika konsumen diberi tahu tentang bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh makanan baru atau metode penyiapan yang baru. Contoh, diperkenalkannya tradisi Jepang, mengonsumsi ikan mentah, ke Amerika Utara menyebabkan banyak kasus anisakiasis yang terjadi di kalangan penduduk di Amerika Utara. Masyarakat berhak diberi tahu tentang bahaya yang ditimbulkan makanan jenis baru dan praktik atau teknologi baru dalam penyiapan makanan. Mereka memerlukan pendidikan tentang cara menjaga keamanan makanan. Demikian pula, pelancong harus diberi tahu tentang risiko yang ada di tempat yang akan mereka kunjungi. Hanya konsumen yang terdidik dan berpengetahuan yang dapat ikut memikul tanggung jawab dalam pemeliharaan keamanan makanan bersama pemerintah dan industri makanan (lihat juga
Health education in food safety. Report of a WHO consultation (unpublished document WHO/EHE/FOS/88.7; dapat diperoleh dari Food Safety, World Health Organization, 1211 Geneva 27, Switzerland)

Keamanan makanan berarti bahwa pada saat dikonsumsi, makanan tidak mengandung kontaminan dalam kadar yang dapat membahayakan kesehatan. Semua orang, baik yang menyiapkan atau yang hanya memakannya, merupakan bagian dari rantai makanan. Sebagai bagian dari rantai tersebut, mereka berarti ikut bertanggung jawab bersama pemerintah dan industri makanan dalam menjamin keamanan makanan. Masyarakat ikut memikul tanggung jawab untuk keamanan makanan hanya jika mereka memperoleh saran yang profesional tentang risiko yang ditimbulkan makanan atau praktik tertentu terhadap kesehatan mereka. Mereka juga perlu dibimbing dalam memilih makanannya. Contoh, konsumen harus mendapatkan informasidan terus-menerus diingatkan tentang risiko bahan pangan mentah tertentu, khususnya yang berasal dari hewan. Insidensi penyakit bawaan makanan terjadi berulang kali karena konsumsi daging mentah, susu mentah dan makanan laut yang mentah. Banyak kasus penyakit bawaan susu (milkborne) terjadi akibat susu mentah yang dikonsumsi anak-anak sekolah ketika berkunjung ke peternakan. Sayangnya, di beberapa negara industri, tren untuk mengonsumsi makanan sehat mendorong semakin banyak orang untuk mengonsumsi susu mentah tanpa menyadari risiko yang akan mereka hadapi. Pada kasus munculnya patog yang baru en atau patogen yang sudah ada menunjukkan sifat sifat epidemiologis yang baru (mis., Salmonella enteritidis) yang mengontaminasi isi telur), masyarakat luas perlu mendapatkan informasi tentang patogen baru ini, cara penularannya serta tindakan pengendalian yang diperlukan agar mereka dapat mengambil tindakan untuk melindungi diri mereka.

Masalah keamanan pangan (food safety) masih merupakan masalah utama dibidang pangan dan gizi di Indonesia. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 ditegaskan bahwa salah satu sasaran pembangunan dibidang pangan dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II adalah terjamin keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat (Seto, 2001). Pangan atau makanan merupakan kebutuhan primer setiap manusia. Keamanan serta kebersihan makanan tersebut menjadi faktor yang tidak kalah penting untuk diperhatikan oleh masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya efek samping yang ditimbulkan dari beragam makanan seperti terjadinya kontaminasi, penyalahgunaan bahan makanan, dan keracunan makanan. Kasus keracunan makanan sering terjadi pada anak usia sekolah mulai dari anak TK, SD, SLTP bahkan anak usia remaja yaitu SMA (Depkes, 2007). Perkembangan bisnis makanan gorengan telah memberikan dampak yang hingga kini belum banyak mendapat perhatian, yaitu meningkatnya jumlah minyak goreng bekas. Keadaan menjadi diperparah karena sebenarnya minyak tersebut sudah tidak lay lagi digunakan dan dapat ak membahayakan kesehatan. Hal tersebut terjadi karena penggunaan minyak yang sangat lama tidak diganti menyebabkan terjadinya serangkaian reaksi, yaitu hidrolisis, oksidasi termal dan polimerisasi

termal (Clark dan Serbia, 1991). Produk dari proses-proses tersebut diketahui dapat menyebabkan kerusakan pada liver, ginjal, saluran cerna maupun sel-sel endothelial aorta (Al-Harbi dan Al-Kahtani, 1993). Minyak goreng merupakan trigliserida yang pada kondisi segar (belum digunakan untuk menggoreng) mempunyai komposisi asam lemak tertentu. Proses penggorengan akan menyebabkan dekomposisi asam lemak yang pada batas tertentu mengakibatkan minyak menjadi tidak layak lagi digunakan. Oleh karena jumlah minyak yang demikian cukup banyak dan dal m penggunaan a selanjutnya sangat menurunkan mutu hasil gorengan, maka akan sangat bermanfaat jika minyak tersebut diregenerasi. Proses regenerasi minyak goreng bekas sudah peneliti pelajari sejak tahun 1998 hingga sekarang. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa regenerasi minyak goreng (sawit) bekas dengan menggunakan arang sekam merupakan proses yang paling ekonomis dan praktis (Rukmini, 2001). Secara kimia, fisik dan organoleptik, minyak hasil regenerasi yang diperoleh mempunyai kualitas mendekati minyak segarnya dan tetap stabil selama disimpan hingga tiga bulan (Rukmini dkk., 2003). Dekomposisi minyak goreng akibat proses penggorengan antara lain dipengaruhi oleh komposisi makanan yang digoreng, jenis minyak yang digunakan untuk menggoreng dan kondisi penggorengan (Stevenson dkk., 1984 ; Saguy dan Pinthus, 1995). Oleh karena itu, peneliti pernah meneliti pengaruh jenis bahan yang digoreng terhadap masa guna minyak goreng (minyak sawit komersial). Berdasarkan kriteria minyak goreng layak pakai, seperti yang disebutkan oleh Skrkki(1995), hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa miny ak goreng (sawit) sudah tidak layak pakai setelah digunakan untuk menggoreng bahan makanan sumber karbohidrat selama 4x5 jam pada suhu 180C, atau selama 3x5 jam jika digunakan untuk menggoreng bahan makanan sumber protein, baik nabati maupun hewani (Rukmini dkk., 2003).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses penggorengan maupun proses regenerasi minyak goreng bekasnya menyebabkan perubahan proporsi asam-asam lemak jenuh, sedangkan asam linolenatnya (asam lemak tidak jenuh ganda, PUFA) secara statistik tidak mengalami perubahan.

Al-Harbi, M.M. dan H.A. Al-Kahtani. 1993. Chemical and Biological Evaluation of Discarded Frying Palm Oil from Commercial Restaurant. J.F.Chem. 48:395-401. Clark, W.L. dan G.W. Serbia. 1991. Safety Aspects of Frying Fats and Oils. Food Tech. 45(2):6871;94. Rukmini, A., Sudjatini, D.T.Laswati, Y.Marsono dan P.Hastuti. 2003. Perubahan Profil Asam Lemak dan Stabilitas Minyak Hasil Regenerasi dengan Arang Sekam. Laporan penelitian Hibah Pekerti. DP3M Ditjen Dikti, Jakarta. Rukmini, A., Sudjatini, D.T.Laswati, Y.Marsono dan P.Hastuti. 2004. Pengaruh Proses Regenerasi dengan Arang Sekam terhadap Perubahan Profil Asam Lemak Minyak Goreng Bekas. Prosiding Seminar Nasional Penerapan dan Inovasi Teknologi dalam Agribisnis sebagai Upaya Pemberdayaan Rumahtangga Tani, halaman 388-393. Yogyakarta, 28 Agustus 2004.

Saguy, I.S. dan E.J. Pinthus. 1995. Oil Uptake During Deep-Fat Frying : Factor and Mechanism. Food Tech. 49(4):142-145;152. Health education in food safety. Report of a WHO consultation (unpublished document WHO/EHE/FOS/88.7; dapat diperoleh dari Food Safety, World Health Organization, 1211 Geneva 27, Switzerland) Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 9777 Yogyakarta, 24 November 2007 A-2

Untuk tugas Higiene dan sanitasi makanan ini saya tertarik mengunjungi sebuah tempat penjualan gorengan yang berada di pinggir jalan a.m sangaji . Tidak ada label nama warung di tempat tersebut, yang tertulis hanyalah jual GORENGAN . Tempat jualannya hanya berupa tenda yang di bawahnya terdapat gerobak kecil untuk mendisplay gorengan jualannya, wajan dan tungku kayu bakar yang digunakan untuk menggoreng, serta beberapa baskom yang berisi adonan. Yang berjualan adalah sepasang suami istri paruh baya. Sang istri yang wajahnya ditutupi oleh masker dengan rambut yang terikat rapi bertugas untuk menyiapkan, membuat adonan, dan menggoreng, sementara suaminya yang saat itu hanya menggunakan kaos tanpa lengan bertugas untuk menjualkan gorengan kepada konsumen. Saat konsumen memesan, beliau mengambil makanannya dengan penjepit makanan, serta membungkusnya di plastik putih. Namun sayang, uang konsumen suka singgah di sebelah gorengan yang dijual. ...

Saran yang diberikan 1. Membuat penutup / etalase yang terbuat dari kaca untuk meletakkan gorengannya, sehingga mengurangi masuknya Pb dari jalan raya ke dalam gorengan 2. 3. 4. 5. Mengganti alas peletak gorengan dari koran menjadi kertas putih Menyediakan tempat sampah untuk membuang bungkus tempe dan sebagainya Baik penjual maupun pengolah sebaiknya menggunakan pakaian yang tertutup (berlengan) dan bersih Menggunakan minyak tidak sampai keruh, mengingat bahaya yang dapat dtimbulkan olehnya. sedikitsedikit penggunaanya tapi sering diganti lebih baik dari pada sekali tuang banyak tapi tidak pernah diganti
Ada 3 cara baru untuk menjernihkan minyak jelantah : Cara 1. Dengan membuat alat pengolahan alat jelantah. Alat ini dibuat oleh 2 anak SD yaitu Khotibul Ma'ruf dan Fajar Rizky, dua siswa SD 2 Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur. Alat ini telah diperagakan kepada tim penilai dari Badan Pemberdayaan Mayarakat Pemprov Jateng. Jelantah itu bisa diolah kembali minimal mendekati bentuk keaslian minyak goreng dari pabrikan. Cara kerja melalui 3 tahap. Jelantah dimasukkan ke dalam botol pertama yang dalamnya sudah ada zeolit (bawah) sebesar biji kacang & arang (atas) kemudian disaring. Zeolit sendiri biasanya sebagai media tumbuh untuk tanaman kaktus. Hasil saringan dimasukkan ke botol 2. Isilah filter sama seperti di atas, namun ukuran arang dan zeolit harus lebih kecil! Hasil saringan dimasukkan ke botol ketiga. Lalu ditambahkan air dan soda api. Tunggu beberapa menit hingga minyak goreng siap pakai terbentuk! Botol 1 dan 2 berfungsi untuk menyaring kotoran, sedangkan botol ketiga untuk menjernihkan minyak. Cara 2. Mencampurkan arang sekam yang sudah digoreng dalam kadar tertentu ke dalam minyak goreng bekas. Satu persen arang sekam yang dicelupkan dalam minyak goreng panas selama 30 menit akan menjernihkan minyak bekas secara kimia,

fisik, maupun organoleptik, mendekati kualitas minyak yang masih baru. Minyak hasil arang sekam tersebut masih layak dipakai walaupun disimpan selama 3 bulan berturut-turut. Metode ini ditemukan oleh dosen Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Ir Ambar Rukmini MP. Atas penemuannya, beliau berhasil meraih predikat dosen terbaik tingkat PTS di Kopertis Wilayah V DIY dan masuk sebagai salah satu finalis dosen terbaik se-Indonesia. Cara 3. Perendaman ampas tebu dengan minyak jelantah menjadikan minyak lebih bersih. Warna hitam atau cokelat minyak jelantah akan berkurang drastis karena kotoran itu diserap oleh ampas tebu. Metode ini ditemukan oleh Aster Rahayu, mahasiswi semester delapan Universitas Andalas (UNAND) di Padang, Sumetara Barat Setelah dikaji dalam pembahasan di atas, ternyata lebih banyak kerugian menyantap gorengan terus-menerus daripada manfaatnya. Jika lapar, ada baiknya Anda memilih makanan cemilan lain sebagai pengganti gorengan, misalnya buah-buahan atau kacang. Dalam hidup ini berlaku hukum tabungan . Apa yang kita lakukan sekarang akan menjadi tabungan di masa mendatang. Apa yang kita tabung sedikit demi sedikit akan terasa hasilnya bertahun-tahun kemudian, begitu pun dengan penyakit. Pemicu penyakit dapat berasal dari apa yang Anda makan. Jadi, teliti dan hati-hatilah dalam mengonsumsi makanan apapun jenisnya!

You might also like