You are on page 1of 19

LAPORAN KASUS PASIEN ABSES PERITONSIL

Disusun Oleh : OKTAVIA MAULITA 030.06.189

Pembimbing : Dr. Asnominanda, SpTHT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA, HIDUNG TENGGOROKAN RUSPAU PERIODE 23 MEI 24 JUNI 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

STATUS KEPANITERAAN BAGIAN THT RUSPAU Identitas Nama: Lusiana Purwati Umur: 10 tahun Jenis kelamin: perempuan Agama: Islam Pekerjaan: murid SD Alamat: Jl. Anggrek no. 7 Rt 07/05 Jakarta Timur Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan cara auto dan alloanamnesis, tanggal 6 Juni 2011 pukul 10.00 Keluhan utama Sakit menelan sejak 3 hari yang lalu Keluhan tambahan Demam Riwayat Penyakit Sekarang Pasien anak perempuan, 10 tahun, 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam yang ringan serta rasa tidak enak pada tenggorokan. Kemudian ibu pasien memberikan obat
2

paracetamol untuk menurunkan demamnya. Saat itu pasien tidak berobat ke dokter karena demam turun, namun keluhan pada tenggorokan masih belum membaik. 3 hari yang lalu pasien merasakan nyeri menelan dirasakan makin memberat dan disertai penjalaran ke telinga kiri. Pasien juga mengeluh demam serta muntah setelah pasien makan. Pasien juga merasakan mulut berbau tidak enak, saat berbicara seperti orang yang sedang bergumam, serta sulit membuka mulut. Pasien menyangkal adanya batuk dan pilek, gigi bolong. Karena keluhan pasien makin memberat, ibu pasien membawanya ke klinik THT

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah alami hal serupa sebelumnya, dan tidak ada riwayat alergi obat-obatan Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa Keadaan Umum Tampak sakit sedang Kesadaran: compos mentis Tanda vital -

Tensi: 110/70 Nadi: 92x/ menit Suhu 380C Pernapasan: 20x/menit

Pemeriksaan Fisik Telinga Kanan Bentuk Daun Telinga Normal Normal Kiri

Deformitas (-) Kelainan Congenital Tumor Nyeri Tekan Tragus Penarikan Daun Telinga Valsava Test Toyinbee Test Regio Mastoid Liang Telinga Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak ada kelaianan CAE sedikit Membran Timpani lapang,

Deformitas (-) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak ada kelaianan lapang, serumen

serumen CAE sedikit

MT intak, hiperemis (-), MT intak, hiperemis (-), edema (-), refleks cahaya edema (-), refleks cahaya (+) jam 5 (+) jam 7

Tes Penala : Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Kesan : Tidak ada kelainan pada kedua telinga. Memanjang Tidak lateralisasi Sama dengan pemeriksa Memanjang Tidak lateralisasi Sama dengan pemeriksa

Hidung dan Sinus Paranasal Bentuk Tanda peradangan Vestibulum : Normal, tidak ada deformitas : Hiperemis (-), Panas (-), Nyeri (-), Bengkak (-) : Hiperemis -/-, sekret -/-

Cavum nasi Konka inferior Konka medius Meatus nasi medius Septum nasi Pasase udara Daerah sinus frontalis

: Lapang +/+, edema -/-, hiperemis -/: Eutrofi/eutrofi : Eutrofi/eutrofi : Sekret -/: Deviasi -/: Hambatan -/: Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

Daerah sinus maksilaris : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

Nasofaring (RHINOSKOPI POSTERIOR) ---- Tidak dilakukan pemeriksaan Koana Septum nasi Muara tuba eustachius Torus tubarius ::::-

Konka inferior dan media : Dinding posterior :-

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI Kanan Sinus frontalis, grade: Sinus maksilaris, grade: LARING (Laringoskopi) Epiglotis : tidak ada kelainan
5

Kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Plika aryepiglotis Arytenoid Ventrikular band Pita suara asli Rima glotis Cincin trakea Sinus piriformis

: tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan

Faring
-

dinding faring: hiperemis, permukaan licin, benjolan (+) Arkus faring: arcus faring sinistra tampak permukaan hiperemis, licin, bengkak, nyeri tekan (+), undulasi (+)

Tonsil: T2B, T2B, permukaan tampak hiperemis, imbedded (+), detritus (+), kripta melebar.

Leher
-

Uvula: tampak uvula hiperemis, bengkak, terdorong ke arah dekstra Gigi: tampak gigi lengkap, caries (-), bolong (-) Lain-lain: palatum mole: tampak membengkak dan menonjol ke depan

Kelenjar limfe submandibula: teraba membesar 1 buah pada submadibula sinistra berukuran 1x1 cm, permukaan licin, konsistensi kenyal, mobilitas(+), nyeri tekan (+)

Kelenjar limfe servikal: tidak teraba membesar

Maksilo-fasial Deformitas : tidak ada


6

Parase saraf otak

: tidak ada

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin Hb= 13,8 Ht= 42 leukosit= 18.000 trombosit= 255000

Resume 1 minggu yang lalu pasien mengalami demam yang ringan serta rasa tidak enak pada tenggorokan. Kemudian ibu pasien memberikan obat paracetamol untuk menurunkan demamnya. Saat itu pasien tidak berobat ke dokter karena demam turun, namun keluhan pada tenggorokan masih belum membaik. 3 hari yang lalu pasien merasakan nyeri menelan dirasakan makin memberat dan disertai penjalaran ke telinga kiri. Pasien juga mengeluh demam serta muntah setelah pasien makan. Pasien juga merasakan mulut berbau tidak enak, saat berbicara seperti orang yang sedang bergumam, serta sulit membuka mulut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38oC, dan pada pemeriksaan faring didapatkan tampak permukaan arkus faring sinistra hiperemis, licin, bengkak, nyeri tekan (+), undulasi (+), tonsil T2B, T2B, permukaan tampak hiperemis, detritus (+), imbedded (+), kripta melebar(+), uvula: tampak uvula hiperemis, bengkak, terdorong ke arah dekstra, palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan Pada permukaan penunjang darah rutin didapatkan leukosit meningkat menjadi 18.000. Diagnosa Banding Abses retrofaring, abses parafaring. Diagnosa Kerja Abses peritonsil
7

Pemeriksaan Penunjang yang Dianjurkan Pemeriksaan gram dan kultur kuman dari aspirasi pus peritonsil Foto polos lateral orofaring dan nasofaring

Tatalaksana Non-medikamentosa kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.

Medikamentosa Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau

ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg. Pembedahan Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tonsilektomi

Prognosis
-

Ad vitam: ad bonam Ad functionam: ad bonam Ad sanationam: ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang

terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis

Gambar 1. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya ANATOMI dan FISIOLOGI Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009). A) Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: Lateral muskulus konstriktor faring superior Anterior muskulus palatoglosus Posterior muskulus palatofaringeus Superior palatum mole Inferior tonsil lingual Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di

10

seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal (Anggraini D, 2001). Fosa Tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008). Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005). Pendarahan Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).

Aliran getah bening Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007). Persarafan

11

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005). Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Hermani B, 2004). B) Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 37 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004). C) Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).
12

EPIDEMIOLOGI Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anakanak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. ETIOLOGI Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic

PATOLOGI Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.

13

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis). GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation). Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

14

Gambar 2. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan7: 1. Hitung darah rutin 2. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik. 3. Plain radiography: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. KOMPLIKASI Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema. 2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. DIAGNOSIS BANDING Abses retrofaring, abses parafaring. TERAPI
15

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses2. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6 8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.

16

Gambar 3. tonsilektomi Indikasi Tonsilektomi Indikasi Absolut a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi Indikasi Relatif a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten d) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan

17

PROGNOSIS Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

18

TINJAUAN PUSTAKA

1. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N. 2007.Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: FKUl, 2. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com. Accessed at Juni 2011
3. Caparas, Lim. 1993. Basic Otolaryngology. Filipina: university of the Philippines.

19

You might also like