You are on page 1of 133

Kompilasi Kajian Hadits Kompilasi Kajian Hadits Kompilasi Kajian Hadits Kompilasi Kajian Hadits

Di susun oleh:
alif fikri alif fikri alif fikri alif fikri
2
Judul : Kompilasi Kajian Hadits
Penyusun : alif fikri
Penyusunan : Januari 2011








Perhatian: Perhatian: Perhatian: Perhatian:
E EE E- -- -book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran
ilmu dan dawah semata, bukan untuk ilmu dan dawah semata, bukan untuk ilmu dan dawah semata, bukan untuk ilmu dan dawah semata, bukan untuk
dip dip dip diperjualbelikan atau tujuan komersial lainnya. erjualbelikan atau tujuan komersial lainnya. erjualbelikan atau tujuan komersial lainnya. erjualbelikan atau tujuan komersial lainnya.











, ~
27 Muharam 1432 H/ 2 Januari 2011 M




3
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI

Sanad dan Matan Hadits Sanad dan Matan Hadits Sanad dan Matan Hadits Sanad dan Matan Hadits,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,5 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,5 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,5 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,5

Orientalis dan Anomali Studi Hadits Orientalis dan Anomali Studi Hadits Orientalis dan Anomali Studi Hadits Orientalis dan Anomali Studi Hadits,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,10 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,10 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,10 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,10
Wahyudi Abdurrahim

Kajian Hadits Kajian Hadits Kajian Hadits Kajian Hadits di Kalangan Orientalis di Kalangan Orientalis di Kalangan Orientalis di Kalangan Orientalis,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,13 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,13 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,13 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,13
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA

Imam Muslim: Ulama dengan 300.000 Imam Muslim: Ulama dengan 300.000 Imam Muslim: Ulama dengan 300.000 Imam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits di Kepalanya Hadits di Kepalanya Hadits di Kepalanya Hadits di Kepalanya,,,,,,,18 ,,,,,,,18 ,,,,,,,18 ,,,,,,,18
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA

Quo Vadis Tafsir Hadits UIN Quo Vadis Tafsir Hadits UIN Quo Vadis Tafsir Hadits UIN Quo Vadis Tafsir Hadits UIN,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,25 ,,,25 ,,,25 ,,,25
Nashruddin Syarief

Mafia Hukum dalam al Mafia Hukum dalam al Mafia Hukum dalam al Mafia Hukum dalam al- -- -Quran dan Hadits Quran dan Hadits Quran dan Hadits Quran dan Hadits,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,34 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,34 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,34 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,34
Nashruddin Syarief

Metodologi Takhrij Hadits Versi Metodologi Takhrij Hadits Versi Metodologi Takhrij Hadits Versi Metodologi Takhrij Hadits Versi Nashiruddin al Nashiruddin al Nashiruddin al Nashiruddin al- -- -Albany Albany Albany Albany,,,,,,,,,,48 ,,,,,,,,,,48 ,,,,,,,,,,48 ,,,,,,,,,,48
Hamdani Purba

Metodologi Imam Malik bin Anas dalam Metodologi Imam Malik bin Anas dalam Metodologi Imam Malik bin Anas dalam Metodologi Imam Malik bin Anas dalam al al al al- -- -Muwaththa' Muwaththa' Muwaththa' Muwaththa',,,,,,,,, ,,,,,,,,, ,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,64 ,,,,64 ,,,,64 ,,,,64
Muhammad Kastawi

Sanggahan Atas Keraguan Terhadap Sanggahan Atas Keraguan Terhadap Sanggahan Atas Keraguan Terhadap Sanggahan Atas Keraguan Terhadap Otentisitas Hadis Otentisitas Hadis Otentisitas Hadis Otentisitas Hadis,,,,,,,,,,,,,81 ,,,,,,,,,,,,,81 ,,,,,,,,,,,,,81 ,,,,,,,,,,,,,81
Ainul Yaqin

4
Pengantar Memahami Metodologi Takhrij Pengantar Memahami Metodologi Takhrij Pengantar Memahami Metodologi Takhrij Pengantar Memahami Metodologi Takhrij Ulama Hadits Ulama Hadits Ulama Hadits Ulama Hadits,,,,,,,,,,,89 ,,,,,,,,,,,89 ,,,,,,,,,,,89 ,,,,,,,,,,,89
Joko Sumaryono, Lc

Hadits di Hadapan Pengusung Hadits dan Hadits di Hadapan Pengusung Hadits dan Hadits di Hadapan Pengusung Hadits dan Hadits di Hadapan Pengusung Hadits dan Ahli Fiqih Ahli Fiqih Ahli Fiqih Ahli Fiqih,,,,,,,,,,,,,,,,,96 ,,,,,,,,,,,,,,,,,96 ,,,,,,,,,,,,,,,,,96 ,,,,,,,,,,,,,,,,,96
Abduh Zulfidar Akaha, Lc

Menggapai Derajat Siddiqin Menggapai Derajat Siddiqin Menggapai Derajat Siddiqin Menggapai Derajat Siddiqin,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,115 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,115 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,115 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,115
Rikza Maulana, M.Ag

Tiga Sebab Munculnya Ekstremitas Tiga Sebab Munculnya Ekstremitas Tiga Sebab Munculnya Ekstremitas Tiga Sebab Munculnya Ekstremitas,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,122 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,122 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,122 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,122
Tate Qomaruddin, Lc

Samudra Kebaikan Samudra Kebaikan Samudra Kebaikan Samudra Kebaikan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,127 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,127 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,127 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,127
Rikza Maulana, M.Ag
5


SANAD DAN MATAN HADITS


Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/
diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu
periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan
mana hadits yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang
mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.


Pengertian Sanad dan Matan Hadits

Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang
menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu:



Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits. Contoh:

6


"Dihabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari
Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sebagian dari antara
kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya." (al-Hadits)

Dalam hadits tersebut dinamakan sanad adalah:



Dihabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari
Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:...

Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan
menurut istilah ahli hadits, matan yaitu:



perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah
habis disebutkan sanadnya.

7


"Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku,
niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan shalat."
(al-Hadits)

Adapun yang disebut matan dalam hadits tersebut yaitu:




Kedudukan Sanad dan Matan Hadits

Para ahli hadits sangat hati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila
mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada
umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima
periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadits.

Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadits diawasi secara hati-
hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain.
Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya
disumpah.

Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya
merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika
8
dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima
periwayatannya.

Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah
untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang
umum diterima atau tidaknya periwayatan hadits. Yang diperlukan dalam
menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-
waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/ keterangan.

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/
diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu
periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan
mana hadits yang shahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang
mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadits dan atsar
yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh
muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:



"Ilmu ini (hadits ini), adalah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil
agamamu dari mereka"

Abdullah ibn Mubarak berkata:



"Menerangkan sanad hadits, termasuk tugas agama. Andaikata tidak diperlukan sanad,
tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka,
9
ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan
sanad adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga."

Asy-Syafii berkata:



"Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadits tanpa sanad, sama dengan orang yang
mengumpulkan kayu api di malam hari. "

Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghafal sanad-sanad itu
dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian
mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para
pendusta. Karenanya pula imam-imam hadits berusaha pergi dan melawat ke
berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dikenal
dengan sanad 'aali.

Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang
dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW dengan bersambung-sambung perawi-
perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang
Islam. Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-
ketentuan umat Islam.

10


Analisa - Perwakilan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir

ORIENTALIS DAN ANOMALI STUDI HADITS

Oleh:
Wahyudi Abdurrahim


Belakangan ini studi tentang sunnah semakin mendapatkan tempat di kalangan
sarjana muslim. Mempelajari sunnah nabi bahkan menjadi sesuatu yang sangat
urgen. Sunnah merupakan sumber kedua setelah al-Quran. Dalam sebuah hadits
shahih dikatakan, Aku meninggalkan dua perkara kepadamu, jika kalian berpegang pada
dua perkara tersebut, maka kalian tidak akan tersesat untuk selamanya, yaitu kitab Allah
dan sunnahku.

Secara bahasa, sunnah merupakan jalan, baik itu jalan yang lurus maupun
yang melenceng. Ini bisa dilihat dari redaksi hadis Nabi yang mengatakan,
Barangsiapa yang memberikan contoh jalan yang baik (sunnah hasanah), maka dia akan
mendapat pahala kebaikan dan pahala kebaikan bagi orang yang mengikutinya sampai hari
kiamat. Dan barangsiapa yang memberikan contoh jalan kejelekan (sunnah sayyiah), maka
dia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menirunya sampai hari kiamat. (HR
Muslim). Dalam kitab lisn al-Arab juga dikatakan, Sunnah adalah jalan yang baik
atau yang buruk. Jika sunnah dikaitkan dengan syariah, maka sunnah adalah jalan
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

11
Hanya saja, penggunaan sunnah sendiri bervariasi, sesuai dengan konteks dan
subyek masing-masing. Para ulama ushul biasanya menggunakan istilah sunnah
sebagai salah satu sumber hukum syariah. Ulama ulumul hadits biasanya
menisbatkan sunnah, atau mengkaji sunnah dari sisi kesinambungan sunnah
kepada Nabi muhammad Saw. (sanad). Ulama fikih biasanya memandang sunnah
sebagai perbuatan tambahan yang jika dilaksanakan akan mendapatkan pahala,
sementara jika ditinggalkan tidak mendapatkan cela. Bagi para dai, biasanya
menggunakan istilah sunnah untuk perbuatan yang berkaitan dengan perintah atau
larangan dari Nabi Muhammad Saw..

Hanya yang akan kami sampaikan di sini adalah sunnah sebagaimana yang biasa
dipakai oleh ulama hadits. Sunnah di sini maknanya adalah perkataan, perbuatan,
kesepakatan dan sifat-sifat Nabi, baik sifat yang berkaitan dengan fisik, moral
maupun perilaku. Di sini masuk sejarah Nabi Muhammad Saw., baik sebelum
diutus menjadi Nabi, maupun setelah diangkat menjadi Nabi. Jika sebelum
menjadi Nabi beliau dianggap sebagai orang yang amanah, cerdas dan jujur, maka
itu juga masuk dalam kategori sunnah. Persoalannya, apakah sunnah bagian dari
wahyu? Secara jelas, pertanyaan tersebut sudah dijawab oleh al-Quran yang
menyatakan, Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut keinginannya. Tidak lain adalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh jibril yang sangat kuat."
(An-Najm:3-5) . Ini juga dikuatkan oleh hadits Nabi yang berbunyi, Ketahuilah
bahwa aku diberika al-Quran dan perkataan yang setara dengan al-Quran. (HR.
Tirmidzi).

Jika memang demikian, lantas apa bedanya sunnah dengana al-Quran? Bagi
jumhur ulama bahwa al-Quran merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. sebagai mukjizat dengan lafal dan maknanya. Sementara
hadits Nabi adalah wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi Muhamamd Saw.,
bukan sebagai mukjizat dan turun dengan maknanya saja. Jika posisi sunnah setara
dengan al-Quran, secara otomasis seorang muslim juga wajib mengikuti sunnah
seperti dia mengikuti al-Quran. Ayat al-Quran yang memerintahkan seorang
muslim untuk mengikuti sunnah Nabi teramat banyak, salah satunya adalah
firman Allah berikut, Barangsiapa yang mentaati rasul (Muhammad) maka sesungguhnya
dia telah mentaati Allah. (QS. An-Nisa: 80)

12
Sunnah juga mempunyai posisi sangat strategis terhadap al-Quran. Terkadang
sunnah sebagai penguat apa yang datang dalam al-Quran. Kadang ia menerangkan
sesuatu yang masih global dalam al-Quran, mengingat hukum yang masih mutlak,
atau bahkan memberikan ketetapan hukum yang belum tertera dalam al-
Quran. Dari sini sangat jelas bahwa penggunaan sunnah untuk memahami al-
Quran sangat dibutuhkan. Suatu kebohongan jika ada orang yang mencukupkan
diri hanya ingin berpegang kepada al-Quran saja dan melupakan sunnah Nabi.
Banyak amal perbuatan yang tidak diterangkan secara rinci oleh al-Quran, atau
perbuatan yang hanya dapat diketahui dengan melihat kepada sunnah Nabi.

Belakangan banyak upaya dari sarjana Barat untuk kembali mengkaji secara kritis
masalah autentisitas dan validitas hadis Nabi. Jika mereka hanya bergerak dalam
tataran akademis dan kajian ilmiah murni tanpa didasari dengan tendensi apapun,
maka kajian mereka patut mendapatkan penghormatan. Namun yang menjadi
masalah adalah sikap tendensius dan upaya dekonstruksi sunnah, yang tujuan
utamanya adalah menanamkan sikap keragu-raguan bagi ummat Islam dalam
mengamalkan sunnah Nabi. Pada umumnya, kajian orientalis terhadap sunnah
Nabi hanyalah upaya meletakkan racun dalam khazanah keilmuan
Islam. Meragukan sunnah berarti sama halnya dengan menghancurkan ajaran
Islam. Tidak percaya dengan sunnah, akan berujung pada keraguan terhadap nilai
sakralitas nash al-Quran sebagai wahyu Tuhan. Sebagai pribadi muslim, hendaklah
selalu waspada dalam menelaah berbagai macam kitab hadits karya orientalis.
Memang dari mereka ada yang melakukan kajian secara obyektif, namun itu bisa
dihitung dengan jari.

13


KAJIAN HADIS DI KALANGAN ORIENTALIS

Oleh:
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA
Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah, Jakarta


Para pakar berbeda pendapat tentang kapan dan siapa orang barat pertama kali
yang mengenal Islam. Ada yang berpendapat bahwa hal itu terjadi pada waktu
perang Mu'tah (tahun 8 H) kemudian perang Tabuk (tahun 9) di mana terjadi
kontak pertama kali antara orang-orang Romawi dengan kaum muslimin.
Sementara pakar lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika meletus perang
antara kaum muslimin dan kaum Nasrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah
Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/ 1085 M. Ada juga yang
berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh
penaklukan Islam, terutama setelah jatuhnya Konstantinopel (Istanbul) pada
tahun 857 H/ 1453 M ke tangan kaum muslimin di mana kemudian mereka
memasuki Wina. Orang Barat merasa perlu untuk membendung ekspansi ini,
sekaligus mempertahankan eksistensi kaum Nashrani. Sementara itu ada pula
pakar yang berpendapat lain.

Namun sejarah mencatat bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003
14
M), Adelard of Bath (1070-1135 M), Pierre le Venerable (1094-1156 M), Gerard
de Gremona (1114-1187 M), dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah
tinggal di Andalus dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova,
Sevilla. Pulang dari Andalus yang saat itu masih dikuasai oleh umat Islam mereka
menyebarkan ilmunya di daratan Eropa. Misalnya Jerbert de Oraliac yang
kemudian terpilih sebagai Paus Silvestre II (999-1003) mendirikan dua sekolah
Arab di Roma dan Perancis. Bahkan Robert of Cheter (populer antara tahun
1141-1148 M) dan kawannya yang bernama Hermann Alemanus (w.1172 M)
setelah pulang dari Andalus, mereka menerjemahkan al-Qur'an atas saran dari
Paus Silvestre II.

Penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin ini dibantu oleh dua orang Arab
dan selesai pada tahun 1143 M. Dan ini merupakan terjemahan al-Qur'an yang
pertama dalam sejarah. Nama-nama di atas tercatat sebagai orang-orang Eropa
yang pertama kali melakukan kajian tentang Islam yang kemudian lazim dikenal
sebagai orientalisme. Prof. Dr. M.M. Azami, Guru Besar Ilmu Hadis di
Universitas King Saud, Saudi Arabia, menyatakan bahwa sarjana Barat yang
pertama kali melakukan kajian Hadis kemungkinan adalah Ignaz Goldziher,
seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hongaria dan hidup antara tahun 1850-
1921 M.

Pada tahun 1890 ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi dalam
sebuah buku berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Sejak itu hingga
sekarang buku ini menjadi kitab suci di kalangan orientalis.

Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht
juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam
sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon, lebih
dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak itu (tahun 1950 M),
buku Schacht ini menjadi kitab suci kedua di kalangan orientalis. Di banding
dengan Goldziher, Schacht memiliki "keunggulan" karena Schacht sampai pada
kesimpulan "meyakinkan" bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari
Rasulullah, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam,
sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan "meragukan" otentisitas
Hadis. Setelah Goldziher dan Schacht, kajian Hadis memasuki periode Pasca-
Goldziher.
15

Pada masa ini, para orientalis banyak yang melakukan kajian Hadis. Namun
penelitian dan kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.

Kajian dan penelitian mereka lebih merupakan sebagai upaya mengutip pribahasa
Arab "yanfukhu fi al-ramad" (meniup arang), yaitu mengulang-ulang kajian yang
telah ada sebelumnya.

Memburuk-burukkan Islam Orientalisme sejak semula telah memberikan
perhatian kepada penyelidikan Hadis. Motivasi perhatian itu dapat dicari pada
beberapa faktor, antara lain dan yang mungkin terkuat adalah bahwa usaha untuk
memburuk-burukkan Islam melalui penelitian Hadis lebih mudah dari pada
melalui penelitian al-Qur'an. Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam ini
telah mengakibatkan banyak kekeliruan dalam penyelidikan Hadis hingga saat ini.

Gambaran yang sangat negatif dan prasangka yang berlebihan telah menyesatkan
hampir semua kaum orientalis, kecuali beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan
bersifat obyektif dalam melakukan penyelidikan Hadis. Dan tampaknya baik Ignaz
Goldziher maupun Joseph Schacht memiliki sasaran yang sama, yaitu ingin
melecehkan Hadis agar ia tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam.
Keduanya memiliki tesis yang menyatakan bahwa Hadis bukan sesuatu yang
otentik dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang lahir pada abad I dan II hijri, yang
kesemuanya merupakan bikinan ulama. Kiat-kiat Orientalis dalam rangka
mencapai sasarannya, yaitu melecehkan dan menggusur eksistensi Hadis, kaum
orientalis melakukan kiat-kiat antara lain sebagai berikut:

1. Mengubah teks-teks sejarah di antara tokoh-tokoh ulama Hadis yang menjadi
incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). Di
samping dituduhnya sebagai pemalsu Hadis, Goldziher juga mengubah teks-
teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga timbul
kesan bahwa al-Zuhri mengakui bahwa dirinya memang pemalsu Hadis.
Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan; Para penguasa itu telah memaksa
kami untuk menulis Hadis. Kata ahadits dalam kutipan Goldziher tidak
menggunakan "al" yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang telah
definitive (ma'rifah).

16
Sementara dalam teks yang asli, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'd dan
Ibn 'Asakir, adalah al-ahadits yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi
ada secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah.

Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah bahwa para pejabat atau
penguasa itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat
itu sudah ada tapi belum terhimpun dalam satu buku.

Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah bahwa para
pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat
itu belum ada. Dengan kata lain, al-Zuhri dipaksa oleh para penguasa itu
untuk membuat Hadis-hadis palsu.

2. Membuat Teori Rekayasa Untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang
dikenal sebagai Hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi bikinan
ulama abad I dan II hijri, Schacht membuat teori tentang rekonstruksi
terjadinya sanad Hadis. Teorinya kemudian dikenal dengan nama teori
"Projecting Back" (Proyeksi belakang).

Menurut Schacht, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya'bi (w. 110 H).
Ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam,
maka Hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya'bi.
Schacht berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa
pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para Khalifah dahulu tidak pernah
mengangkat qadhi.

Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Kira-
kira pada akhir abad I hijri, pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada "orang-
orang spesialis" yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah
orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang
menjadi kelompok aliran fiqh klasik (madzhab). Hal ini terjadi pada awal abad
pertama hijri. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi
memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih
tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan (mengaitkan) keputusan-
keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya.
Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada
17
Ibrahim al-Nakha'i (w. 95 H). Pada perkembangan berikutnya, pendapat-
pendapat qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu
yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang
lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah berikutnya untuk memperoleh
legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh
yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Shahabat Abdullah bin
Mas'ud. Dan pada ronde terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut
Prof. Dr. Joseph Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat
itu kepada tokoh-tokoh di belakang (Projecting Back). Teori rekayasa ini
bertujuan untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang disebut sanad
Hadis itu adalah palsu. Begitu pula matan atau materi Hadisnya, karena
kesemuanya adalah ciptaan orang-orang belakangan.

18


IMAM MUSLIM:
ULAMA DENGAN 300.000 HADITS DI KEPALANYA

Oleh:
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA
Pengasuh Pesantren Darus-Sunnah dan Imam Besar Masjid Istiqlal


Keharuman namanya tak akan pernah hilang sepanjang zaman. Dalam setiap
ceramah, hampir semua ustadz selalu mengutip karya-karyanya. Beliau adalah
ulama kenamaan, terutama dalam bidang dan ilmu hadits. Nama lengkap berikut
silsilahnya adalah Imam Abu al-Husain Muslim bin Muslim bin Kausyaz al-
Qusyairi al-Naisaburi. Lahir tahun 204 H/ 820 M atau menurut riwayat lain 206
H/ 822 M.

Beliau dinisbahkan kepada nenek moyangnya, Qusyair bin Ka'ab bin Rabiah bin
Sha'sha'ah, suatu keluarga bangsawan besar di wilayah Arab. Di samping
(penisbahan) kepada Qusyair, beliau juga dinisbahkan kepada Naisapur. Hal ini
karena beliau putera kelahiran Naisapur, yakni kota kecil di Iran bagian timur
laut.
19


Pengembaraan

Semenjak berusia kanak-kanak, Imam Muslim telah rajin menuntut ilmu. Di
dukung kecerdasan luar biasa, kekuatan ingatan, kemauan yang membaja, dan
ketekunan yang mengagumkan, konon ketika berusia 10 tahun, beliau telah hafal
al-Qur'an seutuhnya serta ribuan hadits berikut sanadnya. Sungguh prestasi yang
teramat mengagumkan.

Seperti halnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim juga mengadakan pengembaraan
intelektual ke berbagai negeri Islam, seperti Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, Baghdad,
dan lain-lain guna memburu hadits dan berguru pada ulama-ulama kenamaan.
Beliau telah mengunjungi hampir seluruh pusat pengkajian hadits yang ada pada
saat itu, bahkan terkadang dilakukannya berkali-kali, seperti ke Baghdad. Semua
ini merupakan bukti konkret bahwa perhatian Imam Muslim terhadap
peninggalan Nabi saw yang monumental ini sangat besar.

Pengembaraan perdananya dimulai ke Makkah pada tahun 220 H sekaligus
menunaikan ibadah haji. Kemudian pada tahun 230 H beliau melakukan
pengembaraan intelektual yang secara spesifik untuk kepentingan hadits. Sedang
lawatannya yang terakhir terjadi pada tahun 259 H ke Baghdad saat usianya
mencapai 53 tahun. Dalam pengembaraannya itu, beliau tidak mengenal usia.
Semenjak usia yang relatif masih sangat muda sampai berusia senja, beliau tidak
pernah berhenti apalagi putus asa dalam pengembaraannya mengejar dan
memburu Hadits Nabi saw.


Guru dan Muridnya

Dalam lawatan intelektualnya, Imam Muslim tercatat banyak mengunjungi ulama-
ulama kenamaan, tentunya dalam rangka mencari hadits. Beliau berguru kepada
Yahya dan Ishak bin Rahawaih di Khurasan, Muhammad bin Mahran dan Abu
Ghassan di Ray, Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah di Iraq, Said bin
Manshur dan Abu MasUab di Hijaz, Tamr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya di
Mesir. Beliau juga belajar dari Usman dan Abu Bakar (keduanya putra Abu
20
Syaibah), Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Jury, Zuhair bin Harb, Amr al-
Naqid, Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Said al-
UAili, Qutaibah bin Sa'id, dan yang tak boleh terlupakan beliau juga berguru pada
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari.

Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di
antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat dengannya, seperti Abu
Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin
Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa al-
Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam
Muslim antara lain; Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad
bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian banyak muridnya itu, yang paling istimewa
adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih lagi zahid. Ia adalah
perawat utama kitab Shahih Muslim.

Selain karya besar Imam Muslim yang sangat monumental, yaitu kitab Shahih
Muslim, beliau juga tercatat mempunyai buah karya lebih dari 20; antara lain: al-
Ullal, al-Aqran, al-IntifaUbi Uhub al-Siba, Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin
Wahid, Aulad al-Shahabah, Al-Musnad al-Kabir, Al-Thabaqat (Thabaqat al-
Kubra), Kitab al-Mukhadramin, Al-JamiUal-Kabir, Kitab al-Tamyiz, Kitab al-
Asma wa al-Kuna, Kitab Su'alatihi Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya.

Banyak ulama yang memandang Imam Muslim sebagai ulama hadits nomor dua
setelah Imam al-Bukhari. Hal yang tidak mengherankan, mengingat Imam Muslim
merupakan murid Imam al-Bukhari.

Al-Khatib al-Baghdadi mengatakan, Muslim telah mengikuti jejak al-Bukhari,
memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya. Pernyataan ini
tidaklah berarti Imam Muslim hanyalah figur yang hanya mampu bertaqlid pada
al-Bukhari, sebab Imam Muslim mempunyai ciri dan pandangan tersendiri dalam
menyusun kitabnya. Beliau juga mempunyai metode baru yang belum pernah
diperkenalkan ulama sebelumnya.

Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits
maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanad
lengkap dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya melihat Abu Zur'ah dan Abu
21
Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan Muslim bin al-Hajjaj di
bidang pengetahuan hadits sahih atas guru-guru mereka."

Ishaq bin Rahawaih pernah memuji Imam Muslim dengan perkataannya "Adakah
orang yang seperti Muslim?" Demikian pula Ibn Abi Hatim menyatakan "Muslim
adalah seorang hafidh (ahli hadis). Saya menulis hadits yang diterima dari dia di
Ray." Selanjutnya Abu Quraisy al-Hafidh menyatakan bahwa di dunia ini, orang
yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat, salah satunya adalah Muslim.
Tentunya, yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah ahli-ahli hadits terkemuka
yang hidup pada masa Abu Quraisy.

Dengan munculnya berbagai komentar dari para ulama terhadap kepakaran Imam
Muslim dalam disiplin ilmu Hadits ini, cukuplah kiranya menjadi bukti awal bahwa
beliau memang figur yang pantas mendapat sanjungan yang demikian, dan
tentunya setelah al-Bukhari.


Karya Monumental

Sejarah mencatat bahwa Imam Muslim merupakan ulama kedua yang berhasil
menyusun kitab al-Jami' al-shahih yang di kemudian hari terkenal dengan sebutan
Shahih Muslim. Kitab ini berisi 10.000 hadits yang disebutkan secara berulang-
ulang (mukarrar) atau sebanyak 3.030 buah hadits tanpa pengulangan. Hadits
sejumlah itu disaring dengan sangat ketat dari 300.000 buah hadits selama kurun
waktu 15 tahun.

Berdasarkan kualitas keshahihannya, para ulama memasukkan karya Imam
Muslim ini pada peringkat kedua setelah karya monumental Imam al-Bukhari
(Shahih al-Bukhari). Hal ini karena syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim
relatif lebih longgar daripada syarat yang ditetapkan Imam al-Bukhari. Dalam
persambungan sanad (ittisal al-sanad) antara yang meriwayatkan (rawi) dengan
yang menerimanya (marwi'anhu) atau antara murid dan guru menurut Imam
Muslim hanya cukup syarat mu'asharah (semasa), tidak harus terjadi liqa'
(pertemuan) antara keduanya. Sementara Imam Al-Bukhari mensyaratkan
terjadinya liqa 'untuk menyatakan terjadinya persambungan sanad.

22
Shahih Muslim merupakan hasil dari sebuah kehidupan yang penuh berkah.
Pasalnya, ia dikerjakan secara terus-menerus oleh penulisnya, baik ketika berada di
suatu tempat, dalam perjalanan pengembaraan, dalam situasi sulit maupun lapang,
serta melalui proses pengumpulan, penghafalan, penulisan, dan penyaringan yang
ekstra ketat. Sehingga kitab ini sebagaimana kita lihat, merupakan sebuah kitab
shahih yang teramat baik dan sistematis. Oleh karena itu, tidak heran rasanya jika
Imam Muslim sangat menyanjung dan mengagungkan kitab monumentalnya.
Sebagai wujud kegembiraan atas karunia Allah yang diterimanya, beliau pernah
bertutur "Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka
usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini." Maksud
beliau adalah kitab Shahih Muslim itu.

Adapun ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian beliau terhadap hadits yang
dituangkan dalam kitab Shahih-nya itu dapat disimak dari penuturannya sebagai
berikut:

"Aku tidak mencamtumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini melainkan dengan
alasan. Aku juga tiada menggugurkan sesuatu hadits dari kitabku ini melainkan
dengan alasan pula."


Spesifikasi Shahih Muslim

Secara eksplisit, Imam Muslim tidak menegaskan syarat-syarat tertentu yang
diterapkan dalam kitab Shahih-nya. Kendati demikian, para ulama telah menggali
dan mengkaji syarat-syarat itu melalui penelitian yang serius terhadap kitab itu.
Penelitian dan pengkajian ini membuahkan kesimpulan bahwa syarat-syarat yang
diterapkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya adalah antara lain:

Pertama, beliau tidak meriwayatkan hadits kecuali dari para periwayat yang adil,
dlabith (kuat hafalan), dan dapat dipertanggungjawabk an kejujurannya.

Kedua, beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits-hadits musnad
lengkap dengan sanad-nya), muttashil (sanad-nya bersambung), dan marfu'
(berasal dari Nabi saw). Keterangan Imam Muslim dalam muqaddimah kitab
Shahih-nya akan lebih memberikan gambaran yang cukup jelas kepada kita
23
mengenai syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam karya besarnya.
Beliau mengklasifikasikan hadits menjadi tiga katagori: hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi adil dan kuat hafalan; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang tidak diketahui keadaannya (majhul al-hal) dan sedang-sedang saja
kekuatan hafalan dan ingatannya; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
lemah (hafalan dan ingatan) dan rawi yang haditsnya ditinggalkan orang.

Untuk hadits kategori ketiga, Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab
Shahih-nya. Sementara apabila Imam Muslim meriwayatkan hadits kategori
pertama, beliau senantiasa menyertakan pula hadits kategori kedua.

Sebagai buah karya yang monumental, kitab Shahih Muslim memiliki beberapa ciri
khusus, di antaranya; beliau menghimpun matan-matan hadits yang satu tema
lengkap dengan sanad-nya pada satu tempat (bab), tidak memisahkannya dalam
tempat yang berbeda, serta tidak mengulang-ulangnya, kecuali dalam kondisi yang
mengharuskan, seperti untuk menambah faedah pada sanad atau matan hadits.

Ketelitian dan kecermatan dalam menyampaikan kata-kata selalu
dipertahankannya secara optimal, sehingga apabila seorang rawi berbeda dengan
rawi lain dalam penggunaan redaksi yang berbeda, padahal makna (substansi) dan
tujuannya sama; yang satu meriwayatkan dengan suatu redaksi dan rawi lain
meriwayatkan dengan redaksi yang lain pula; maka dalam hal ini Imam Muslim
menjelaskannya. Selain itu, beliau berusaha menampilkan hadits-hadits musnad
(hadits yang sanad-nya Muttashil) dan marfu' (hadits yang dinisbahkan kepada
Nabi saw). Karenanya, beliau tidak memasukkan perkataan-perkataan sahabat dan
tabiin.

Imam Muslim juga tidak banyak meriwayatkan hadits muallaq (hadits yang sanad-
nya tidak ditulis secara lengkap). Di dalam kitab Shahih-nya hanya memuat 12
Hadis muallaq yang kesemuanya difungsikan sebagai mutabi' atau penguat, bukan
sebagai hadits utama (inti).

Begitulah, akhirnya setelah mencapai usia 55 tahun, Imam Muslim
menghembuskan nafas yang terakhir pada Ahad sore, 25 Rajab 261 H. Jenazahnya
dikebumikan di salah satu daerah di luar Naisapur pada hari Senin. Inna lillahi wa
24
inna ilaihi raajiun. Semoga Allah merahmati dan meridhainya, serta menerima jerih
payahnya dalam menyebarluaskan ilmu-ilmu keislaman. Amin.

25


QUO VADIS TAFSIR HADITS UIN

Sejatinya, jurusan Tafsir Hadits perguruan tinggi Islam melahirkan para mufassir dan
muhaddits yang memperluas horizon tafsir dan hadits. Akan tetapi yang terjadi malah
mendekonstruksi (menghancurkan) keilmuan tafsir dan hadits lalu menggesernya dengan ilmu-
ilmu baru yang jauh dari niali-nilai wahyu/ tafsir-hadits. Dengan pola seperti ini,
mungkinkah jurusan Tafsir Hadits melahirkan mufassir dan muhaddits?

Oleh:
Nashruddin Syarief


Tafsir merupakan ilmu yang paling fundamental dalam ranah keilmuan Islam. Hal
itu disebabkan wahyu yang merupakan sumber ajaran Islam dan menjadi dasar
dari semua ilmu Islam hanya bisa digali melalui tafsir. Maka dari itu seluruh
struktur keilmuan Islam berdasar pada ilmu tafsir.

Kedudukan Nabi Muhammad saw selaku penafsir utama dari wahyu Allah swt
kemudian menjadikan hadits yang bersumber darinya menempati posisi yang
sama-sama fundamental dengan tafsir. Maka dari itu, antara tafsir dan hadits satu
sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Dalam konteks keilmuan Islam, seluruh jenis
ilmu-ilmu Islam akan absah disebut Islam jika merujuk pada tafsir dan hadits.

26
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang filosof pendidikan kontemporer,
adalah di antara pakar pendidikan yang mengingatkan pentingnya kedudukan
tafsir dan hadits ini dalam bangunan keilmuan Islam. Dengan merujukkannya
pada pendapat at-Thabari dan az-Zarkasyi, menurut al-Attas tafsir dan hadits
adalah ilmu dasar yang di atasnya dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian
pandangan dan kebudayaan Islam. Maka dari itu setiap keilmuan dalam Islam
tidak bisa melepaskan dirinya dari tafsir dan hadits/ sunnah (The Educational
Philosophy and Practice of S.M.N. Al-Attas, hlm. 344).


Arah Pendidikan Jurusan Tafsir Hadits

Jurusan Tafsir Hadits UIN Bandung, dalam hal ini memiliki pandangan yang sama
terkait kedudukan tafsir dan hadits dalam struktur keilmuan Islam. Menurut
jurusan ini, dalam struktur ilmu Ushuluddin (Fakultas yang menaungi jurusan
tafsir hadits. Artinya: Pokok-pokok agama), tafsir hadits merupakan basis bagi
pengembangan dasar-dasar ilmu agama Islam. Lewat kedua ilmu tersebut, wahyu
(teks suci al-Qur`an dan as-Sunnah) bisa terwartakan secara kritis dalam bentuk
ideal moral dan legal formal bagi perkembangan kehidupan ajaran Islam (Panduan
Akademik Fakultas Ushuluddin Tahun Akademik 2009/2010, hlm. 47).

Akan tetapi di samping itu, Jurusan Tafsir Hadits UIN Bandung memandang
bahwa pewartaan kritis tersebut hanya bisa dilakukan jika proses penafsiran atas
wahyu disertai dengan kesadaran ruang dan waktu. Maka dari itu Jurusan Tafsir
Hadits UIN Bandung mempunyai kebijakan untuk membuat terobosan baru
dalam dunia penafsiran dengan merumuskan metodologi yang lebih tepat untuk
zaman sekarang. Dituliskan dalam Visi-Misi Jurusan tersebut:

Dalam upaya mengapresiasi wahyu (doktrin ideal) ini Jurusan Tafsir Hadits
melakukan penyeberangan ke sebalik ungkapan-ungkapan linguistiknya kemudian
dilakukan penafsiran dengan mempertimbangkan tingkat kesadaran dan
kebutuhan pembacanya; kedua cara tersebut bisa dilakukan dengan penggunaan
hermeneutika. Melalui strategi penyeberangan itu akan tergambarkan bahwa
doktrin ideal yang dalam hal ini adalah teks suci al-Qur`an dan al-Sunnah
merupakan sumber yang sangat dinamis.
27
Oleh karena itu, Jurusan Tafsir Hadits bukan jurusan yang tersterilkan dari jurusan
yang lain; ia memerankan diri sebagai sumber teks tertafsir sekaligus sebagai
pengguna analisis dan temuan jurusan lain mengenai masalah kemasyarakatan
dalam langkap paradigma Ushuluddin. Sebagai pengguna, Jurusan ini menjadikan
temuan dan analisa jurusan lain sebagai masalah yang harus dijawab al-Qur`an dan
al-Sunnah lewat teks tertafsir. Segera setelah itu, Jurusan ini memberikan tafsir
yang dijadikan dasar penyusunan rekonstruksi yang akan dikemukakan oleh
jurusan lain

Untuk memenuhi kebutuhan fungsi tersebut di atas, Jurusan Tafsir Hadits
membekali mahasiswanya sejumlah studi penafsiran secara komprehensif. Pada
jurusan ini mahasiswa tidak hanya mendapatkan disiplin ilmu tafsir tradisional
(Ulum al-Qur`an, Ulum al-Hadits, Mushthalah al-Hadits, dst) atau tidak hanya
mendapatkan kajian mengenai produk tafsir lama (Jalalayn, Ibn Katsir, al-Qurtubi,
Abduh, dst); namun juga mendapatkan teori-teori tafsir yang berkembang di
dunia ilmu secara umum seperti hermeneutika, semiotika, semantik dan teori
wacana post-modernisme. Integrasi sumber ilmu di atas berdasar pada adagium al-
muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Panduan
Akademik, hlm. 47-48).

Apa yang disebutkan sebagai rekonstruksi pada paragraf kedua kutipan di atas,
juga adagium al-muhafazhah dalam paragraf ketiga, adalah penjabaran dari visi-misi
fakultas Ushuluddin:

Visi Ushuluddin sebagai lembaga keilmuan ialah mendekonstruksi ilmu-ilmu
keilmuan konvensional untuk merekonstruksi ilmu keislaman yang sesuai dengan
dinamika perkembangan zaman. Sebuah visi yang mengacu pada adagium al-
muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Panduan
Akademik, hlm. 7).

Ini semua menunjukkan bahwa arah kebijakan pendidikan dari Jurusan Tafsir
Hadits hendak mendekonstruksi ilmu-ilmu tafsir dan hadits yang sudah baku dan
hendak diubah oleh ilmu-ilmu tafsir dan hadits baru yang lebih sesuai dengan
semangat zaman.


28
Analisa Arah Pendidikan

Dengan membaca arah kebijakan pendidikan Jurusan Tafsir Hadits UIN Bandung
sebagaimana tertuang dalam visi-misinya, tampak jelas terlihat sebuah upaya
dekonstruksi yang dibungkus dengan kemasan ilmiah yang berujung pada
pengubahan metodologi dari yang semula tafsir hadits menjadi bukan tafsir hadits.
Jika hendak dirinci, hal itu disebabkan visi-misi yang diembannya mengandung
paradigma sebagai berikut:
1. Tafsir dan hadits dilihat sebagai sebuah produk yang terikat ruang dan
waktu/ sejarah/ historis, sehingga perlu kemudian menerapkan
hermeneutika sebagai mata kuliah utama.
2. Mendikotomikan ilmu menjadi tradisional/ konvensional dan modern-
posmodern, sehingga pada tahap selanjutnya ilmu yang tradisional (Ulum
al-Qur`an, Ulum al-Hadits, Mushthalah al-Hadits, dst) mesti ditambal
sulam dengan ilmu yang modern (hermeneutika, semiotika, semantik dan
teori wacana post-modernisme) .
3. Mengategorikan secara sembarangan hermeneutika, semiotika, semantik
dan teori wacana post-modernisme sebagai ilmu tafsir hadits.

Ketiga paradigma di atas merupakan paradigma keliru tentang tafsir dan hadits
karena menggambarkan paradigma yang terpengaruh oleh Western worldview
(pandangan hidup Barat) dan sama sekali bukan Islamic worldview (pandangan hidup
Islam). Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan analisanya satu persatu.

Pertama, pandangan bahwa tafsir dan hadits sebagai sebuah produk yang terikat
ruang dan waktu/ sejarah/ historis harus dipertanyakan keabsahannya, karena
pandangan ini sangat khas dengan pandangan hermeneutika yang menilai semua
produk teks sebagai produk sejarah yang terikat ruang dan waktu. Padahal semua
ulama-umat Islam meyakini al-Qur`an dan hadits sebagai wahyu yang sifatnya
metahistoris; bukan terikat oleh ruang dan waktu, melainkan melintasi ruang dan
waktu. Dari sejak awal, al-Qur`an sudah mengingatkan bahwa kalau ada pihak-
pihak yang menilai wahyu sebagai sesuatu yang terpengaruh oleh budaya dan
sejarah manusia, maka silahkan buatkan tandingannya yang serupa dari semua
aspek kemujizatan wahyu; bahasanya, kemurniannya, isyarat-isyarat ilmiah yang
dikandungnya, sampai kekuatan ajaran yang dikandungnya. Akan tetapi faktanya
sejarah sendiri membuktikan tidak ada satu peradaban pun yang mampu membuat
29
tandingannya sampai saat ini (QS. Al-Isra` [17]: 88, QS. Hud [11]: 13-14, QS. Al-
Baqarah [2]: 23-24).

Bukti lain bahwa wahyu tidak terikat ruang dan waktu, dari sejak awal
kelahirannya sampai sekarang, teks al-Qur`an tetap terjaga kemurniannya dan
hadits pun terjaga validitasnya. Ajaran-ajaran yang dikandung oleh al-Qur`an dan
hadits dalam bidang aqidah, syariah, dan moral tetap berlaku sebagaimana
awalnya, tidak mengalami perubahan ataupun pergeseran. Kalaupun ada bidang-
bidang tertentu yang ditemukan di dalamnya ragam penafsiran dan pemahaman,
itu bukan disebabkan pengaruh sejarah, melainkan memang dari sejak awalnya
sudah ada perbedaan penafsiran dan pemahaman disebabkan dilalah yang
dikandungnya sudah zhanni (tidak jelas) dari sejak awal. Dan itu adalah corak khas
wahyu tersendiri yang memang menyajikan dilalah yang qathi dan zhanni dari sejak
diturunkannya.

Dalam western worldview (pandangan hidup Barat) semua kitab harus dinilai sebagai
produk sejarah. Artinya, tidak langsung murni diturunkan Allah swt secara
verbatim/ lafzhiyyah, melainkan sudah ikut terpengaruh kandungannya oleh para
pembawanya, dari mulai malaikat, Nabi saw, para shahabat dan terus maju pada
generasi selanjutnya. Untuk kitab-kitab selain al-Qur`an jelas hal ini sangat benar,
karena memang kitab-kitab umat Yahudi, Kristen, Buddha dan Hindu, sudah
tidak ada yang asli secara verbatim. Masing-masingnya berbeda teksnya,
bahasanya, kandungannya, dan otomatis ke sananya penafsirannya, dan hukum-
hukum yang dikandungnya. Perbedaan dan perubahan itu sendiri terjadi dalam
rentang waktu sejarah yang panjang. Oleh karena itulah kitab-kitab mereka
disebut kitab sejarah/ historis/ terpengaruh ruang dan waktu.

Akibat selanjutnya, maka diperlukan hermeneutika; sebuah metode penafsiran
Alkitab/ Bibel yang mengharuskan penafsir melintasi ruang dan waktu dengan
melihat apa motif dari si penulis, bagaimana kondisi sejarah yang terjadi pada
waktu itu, dan bagaimana implementasinya untuk zaman sekarang. Tafsir liar
yang sering disebut tafsir kritis seperti ini jelas akan sangat berbahaya jika
diterapkan pada al-Qur`an. Contohnya, jika diterapkan pada ayat-ayat waris, maka
sang penafsir harus berusaha mengkritisi motif Allah swt dan Nabi sawsebuah
sikap sok tahu terhadap Allah dan Rasul-Nya (naudzubillah min dzalik)kenapa
sampai bagian waris lelaki dan wanita dibedakan. Harus diduga kuat, hal ini
30
terpengaruh oleh situasi sosial masyarakat Arab waktu itu yang lebih
menggunggulkan lelaki. Para shahabat yang menyampaikan ajaran agama kepada
generasi sesudahnya harus diduga kuat turut campur dalam pengabadian hukum
waris yang dinilai tidak adil ini. Konsekuensi hukumnya, untuk zaman sekarang
hukum waris tidak cocok untuk diterapkan.

Pandangan bahwa semua teks terikat sejarah seperti di atas sangat bisa dipahami
karena peradaban luar Islam tidak pernah mengenal konsep wahyu yang
melintasi ruang dan waktu, dan konsep nabi sebagai manusia utusan Allah yang
diberi wahyu dan merupakan rujukan otoritatif dalam keilmuan Islam. Maka dari
itu tidak heran kalau kemudian berkembang ragam penafsiran liar yang keluar
dari konteks awalnya dan semuanya mengklaim sebagai penafsiran yang paling
benar seraya menyebut penafsiran yang sudah ada dari sejak awal sebagai
penafsiran tradisional dan kolot. Padahal siapapun orangnya, jika dia seorang
muslim, tidak boleh bertanya kenapa hukum ini begini dan tidak begitu. Yang
harus dia lakukan adalah samina wa athana karena semua itu adalah wahyu Allah
swt yang dijamin benarnya.

Kedua, dikotomi keilmuan antara tradisonal vs modern merupakan worldview khas
Barat yang selalu mendikotomikan segala sesuatu dan tentunya bertentangan
dengan prinsip tauhid yang memandang segala sesuatu sebagai sebuah kesatuan
yang padu (Islam and Secularism, bab V). Pandangan ini jelas keliru karena ulumul-
qur`an, ulumul-hadits, mushthalah hadits, dan ilmu-ilmu turunannya mempunyai sifat
yang sama dengan wahyu yang menjadi objek ilmunya; metahistoris, tetap relevan
di setiap masa, baik itu masa lampau ataupun modern/ postmodern. Tidak ada
satu pun ulama/ intelektual Islam hari ini yang tidak bisa menjawab persoalan
zamannya karena berpegang pada ilmu-ilmu yang disebut tradisional di atas.
Mereka tetap saja bisa menjawab tantangan zaman walaupun menggunakan ilmu-
ilmu yang disangkakan tradisonal di atas. Lihat misalnya Tafsir al-Furqan A.
Hassan, Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar Hamka, Tafsir al-Munir
Wahbah az-Zuhaili, tafsir-tafsir tematik kontemporer yang ditulis tim Depag RI,
dan kitab-kitab hadits yang ditulis ulama-ulama kontemporer seperti Yusuf al-
Qaradlawi, al-Azhami, al-Albani, al-Utsaimin, dan masih banyak yang lainnya.
Para saintis muslim pun tidak ada yang keberatan dengan metodologi tafsir hadits
yang dituduh tradisional ini.

31
Ketiga, dan ini yang paling fatal, mengategorikan ilmu-ilmu seperti hermeneutika,
semiotika, semantik dan teori wacana post-modernisme sebagai ilmu penafsiran
wahyu (tafsir hadits). Padahal syarat yang paling pokok ketika hendak menafsirkan
wahyu adalah keimanan yang benar terhadap wahyu itu sendiri. Mutlak harus
diyakini terlebih dahulu bahwa wahyu itu firman Allah yang tidak mungkin salah
(Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur`an, hlm. 329-332). Kalau
hermeneutika (ilmu penafsiran Bible), semiotika (ilmu penafsiran simbol/ tanda)
dan wacana post-modernisme (yang membawa misi dekonstruksi dan relativisme
kebenaran), hendak disejajarkan dengan ilmu tafsir hadits, jelas ini merupakan
sebuah kekeliruan besar.

Bible tidak diyakini oleh penganutnya sebagai wahyu yang secara verbatim turun
dari langit (baca: wahyu) dan keabsahan teksnya pun diragukan karena selalu
berubah-ubah seiring perkembangan sejarah (al-Azhami, The History of The
Quranic Text from Revelation to Compilation; A Comparative Study with the Old and New
Testaments, bagian kedua).

Semiotika sebagai ilmu penafsiran lambang atau simbol kebahasaan dengan
mengacu pada logika Aristoteles jelas tidak bisa diterima karena wahyu bukan
simbol/ tanda, melainkan kalamul-Llah. Terlebih pada faktanya semiotika sering
melepaskan tanda dari sang author yang dalam kasus al-Qur`an adalah Allah swt,
sehingga pembahasan al-Qur`an dilepaskan dari keimanan kepada Allah swt
(Dadan Rusmana, Madzhab dan Pemikiran Semiotika Kontemporer; Dari Semiotika
Struktural Hingga Dekonstruksi, hlm. 1-4).

Sementara wacana post-modernisme lebih rusak lagi untuk diterima sebagai ilmu
penafsiran karena membawa misi dekonstruksi dan relativisme kebenaran yang
bertentangan dengan aqidah Islam. Post-modernisme selalu mengajarkan bahwa
yang benar itu adalah dekonstruksi, termasuk dekonstruksi ulumul-Qur`an dan
hadits. Post-modernisme juga selalu mengajarkan bahwa kebenaran tidak mungkin
diraih oleh seseorang, oleh karena itu tidak boleh mengklaim bahwa diri
sendirinyalah yang benar, sebuah pemikiran yang bertentangan dengan prinsip haq
dan bathil dalam Islam (Ahmad Tafsir membahas cukup rinci masalah ini di bab
terakhir bukunya, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003).[1] Adapun semantik (ilmu penentuan makna
kata), bisa dibenarkan selama memakai kaidah kebahasaan Arab (Dalam keilmuan
32
bahasa Arab kontemporer biasa disebut Ilmu Dilalah atau Fiqh Lughah. Ulama yang
otoritatif di bidang semantik al-Qur`an adalah ar-Raghib al-Ashfahani lewat
karyanya Mujam Mufradat Alfazh al-Qur`an, Beriut: Dar al-Fikr, t.th atau Ibn
Manzhur dengan karyanya Lisan al-Arab).

Adagium al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah walau
bagaimanapun tetap tidak bisa berarti bahwa peran tafsir dan hadits harus
didekontsruksi agar sesuai dengan perkembangan zaman, dan untuk itu digantikan
dengan hermeneutika, semiotika dan wacana post-modernisme. Karena walau
bagaimanapun, tafsir dan hadits tetap shalih dan ashlah di setiap masanya, tanpa
harus didekonstruksi.


Wahyu Memandu Ilmu?

Kekeliruan arah kebijakan pendidikan Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin
UIN Bandung ini telah menyebabkan stigmatisasi negatif UIN Bandung. Hal itu
disebabkan munculnya ungkapan Anjinghu Akbar; Assalamualaikum Haleluya;
Selamat Datang di Area Bebas Tuhan; dan kajian-kajian keilmuan yang mempunyai
semangat dekonstruksi wahyu/ tafsir-hadits dari Fakultas Ushuluddin di mana
Jurusan Tafsir Hadits sebagai pemegang stempelnya. Padahal semestinya Jurusan
Tafsir Hadits mampu menelorkan kajian-kajian tafsir hadits kontemporer yang
mampu merespon dinamika zaman, bukan malah menelorkan kajian-kajian yang
justru mendekonstuksi tafsir hadits itu sendiri.

Ironinya, arah kebijakan seperti ini ternyata juga berlaku di semua UIN dan IAIN
seluruh Indonesia. Penelitian khusus tentang hal ini telah dilakukan oleh Adian
Husaini pada tahun 2006 (Diterbitkan menjadi buku Hegemoni Kristen-Barat dalam
Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani Pres, 2006).

Jika hari ini UIN membawa misi integrasi ilmu, dan khusus UIN Bandung dengan
visi khusus Wahyu Memandu Ilmu, maka sudah seyogianya hal itu ditujukan
terlebih dahulu pada Jurusan Tafsir Hadits sebagai laboratorium wahyunya.
Bagaimana mungkin wahyu bisa memandu ilmu jika wahyunya sendiri sudah
didekonstruksi seperti yang dijadikan kebijakan oleh Jurusan Tafsir Hadits UIN
Bandung. Wal-Ilm indal-Llah
33


Catatan Kaki

[1] Ahmad Tafsir membahas persoalan ini di bab terakhir bukunya, Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

34


MAFIA HUKUM DALAM AL-QURAN DAN HADITS

Sebagai pedoman kehidupan bagi manusia, al-Qur`an dan hadits tentu saja turut menyoroti
fenomena mafia hukum. Al-Qur`an dan hadits juga menjelaskan bagaimana hukuman yang
semestinya mereka dapatkan.

Oleh:
Nashruddin Syarief


Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibn Abbas diceritakan ada seorang
Anshar yang baru saja selesai mengikuti peperangan bersama Rasulullah
kehilangan baju besinya. Thumah ibn Ubairiq sebagai sang tertuduh pencuri baju
besi itu kemudian dilaporkan kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, ketika
mengetahui hal tersebut Thumah kemudian mengajak beberapa sanak kerabatnya
di waktu malam untuk melakukan rekayasa kasus. Baju besi itu disimpan di orang
Yahudi, bernama Zaid ibn as-Samin, lalu nanti mereka sama-sama menyatakan
kepada Rasul saw bahwa Thumah bukan pencurinya, melainkan orang Yahudi itu
yang mencurinya. Rasul saw sebagai hakim hampir saja terjebak dalam rekayasa
kasus tersebut seandainya saja tidak turun teguran dari Allah swt sebagai berikut:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang khianat. Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-
orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
35
selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka
tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam
mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridlai. Dan adalah Allah Maha
Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah kamu, kamu sekalian
adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka
siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau
siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? (QS. An-Nisa` [4]: 105-
109. Rujuk Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir Abi as-Suud dalam surat dan ayat terkait)

Dalam riwayat lain, terdapat perbedaan jalan cerita dan aktor perekayasa kasus.
Sebagaimana diceritakan oleh Qatadah: Mereka (keluarga Ubairiq) adalah keluarga
miskin di masa jahiliyah dan Islam, sementara makanan orang-orang di Madinah
hanya kurma dan gandum. Apabila orang itu memiliki keleluasaan rizki, dan ada
unta bermuatan permadani datang dari Syam, ia akan membelinya tapi untuk
dirinya sendiri, sementara keluarga yang menjadi tanggungannya hanya makan
kurma dan gandum. Suatu ketika datanglah unta muatan dari Syam, lalu pamanku,
Rifaah bin Zaid, membeli satu muatan permadani, ia meletakkan di tempat
minumannya, dan di tempat minumannya terdapat senjata, perisai dan pedang.
Ternyata barangnya dicuri dari bawah rumah, yaitu dengan melubangi tempat
minuman dan mengambil makanan dan senjatanya. Di pagi harinya, pamanku,
Rifaah, mendatangiku sambil berkata, Hai keponakanku, sesungguhnya tadi malam
kita telah diperlakukan semena-mena, tempat minum kita dilubangi, makanan dan senjata
kita hilang.

Kami pun mencari-cari di rumah, kami bertanya lalu dikatakan pada kami: Kami
lihat Bani Ubairiq menyalakan api malam ini dan seperti yang kami tahu, mereka
menyuguhkan sebagian makanan kalian. Banu Ubairiq berkata: Kami bertanya-tanya di
perkampungan, demi Allah, kami tidak diperlihatkan teman kalian kecuali Labid bin Sahal,
seseorang di antara kami yang baik dan seorang muslim. Saat Labid mendengarnya, ia
menghunus pedang dan berkata; Saya mencuri? Demi Allah, pedang ini akan menebas
kalian atau kalian menjelaskan pencurian ini. Mereka berkata; Menjauhlah, karena kau
bukan pelakunya. Kami bertanya-tanya di perkampungan hingga kami tidak ragu
lagi bahwa merekalah pelaku pencurian itu.

Pamanku berkata kepadaku; Keponakanku, andai kau mendatangi Rasulullah saw lalu
kau beritahukan hal itu pada beliau. Qatadah berkata; Aku pun mendatangi
36
Rasulullah lalu aku berkata; Sesungguhnya keluarga kami ada yang bertabiat kasar,
mereka menghampiri pamanku, Rifaah bin Zaid, mereka melubangi tempat minum milikya,
mereka mengambil senjata dan makanannya. Hendaklah mereka mengembalikan senjata
kami, adapun makanannya tidak kami perlukan lagi. Nabi saw bersabda: Aku akan
menangani masalah tersebut.

Saat Banu Ubairiq mendengar, mereka mendatangi seseorang dari mereka yang
bernama Usair bin Urwah. Mereka menceritakan hal itu padanya. Orang-orang
kampung pun berkumpul untuk urusan itu, lalu mereka berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Qatadah bin An Numan dan pamannya pergi menemui keluarga kami yang
muslim dan baik, mereka dituduh mencuri tanpa bukti dan kepastian. Qatadah berkata:
Aku segera menemui Rasulullah saw, lalu aku berbicara pada beliau. Beliau justru
menimpali: Kau mendatangi keluarga yang mereka sebut muslim dan baik, kau menuduh
mereka mencuri tanpa kepastian dan bukti. Qatadah berkata: Aku pun kembali, andai
saja aku pergi mengurus sebagian hartaku dan tidak berbicara dengan Rasulullah saw
mengenai masalah itu.

Kemudian pamanku, Rifaah, mendatangiku, ia berkata: Wahai keponakanku, apa
yang telah kau lakukan? Lalu aku memberitahukan kepadanya apa yang dikatakan
Rasulullah saw kepadaku, lalu ia mengucapkan: Hanya Allah yang dimintai
pertolongan.

Tidak lama berselang, turunlah ayat al-Qur`an: [Sesungguhnya kami Telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat] yaitu Bani Ubairiq.
[Dan mohonlah ampun kepada Allah] dari apa yang kau katakan kepada Qatadah.
[Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat
(untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. Mereka bersembunyi dari
manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah] sampai pada firman-Nya [Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang] (QS. An-Nisa` [4]: 113-114). Artinya, andai
mereka meminta ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mengampuni mereka.
[Barangsiapa mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri] sampai firman-Nya [Dosa yang nyata] yaitu
perkataannya kepada Labid. [Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmatNya
37
kepadamu] hingga firman-Nya [Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar]
(QS. An-Nisa` [4]: 105-113).

Saat ayat-ayat al-Quran ini turun, Rasulullah saw membawa senjata lalu
dikembalikan ke Rifaah. Qatadah berkata: Saat aku mendatangi pamanku dengan
membawa senjatadia sudah tua dan rabun di masa jahiliyyah dan aku tahu
keIslamannyaia berkata; Wahai keponakanku, itu untuk keperluan sabilillah
(berjuang di jalan Allah). Aku tahu keIslamannya benar. Saat al-Quran turun,
Busyair bergabung dengan kaum musyrikin, ia singgah di tempat Sulafah bin Sad
bin Sumaiyah. Kemudian Allah menurunkan ayat: [Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia
mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-
jauhnya] (QS. An-Nisa` [4]: 115-116). (Sunan at-Tirmidzi kitab tafsir al-Qur`an no.
3036. Syaikh al-Albani menilai hadits ini hasan. Hadits ini diriwayatkan juga oleh
at-Thabari dan al-Hakim. Menurut al-Hakim, hadits ini statusnya shahih. Demikian
seperti dikutip dari Tafsir Ibn Katsir).

Kedua riwayat di atas mengindikasikan satu hal, rekayasa kasus yang dilakukan
sekelompok orang secara rahasiasebutannya untuk sekarang: mafiasudah
terjadi di zaman Rasulullah saw. Rasul saw hampir saja terjebak oleh rekayasa
kasus tersebut seandainya tidak turun firman Allah swt dalam QS. An-Nisa` di
atas. Dalam hal ini tentu saja bukan berarti bahwa Rasulullah saw telah berbuat
dosa, karena pada faktanya beliau memang tidak berbuat dosa, hanya keliru yang
tidak disengaja. Bahkan justru terlihat lebih jelas lagi bahwa Rasulullah saw
memang di-mashum oleh Allah swt dari kesalahan-kesalahan manusiawinya.

Perihal perintah istighfar dari Allah swt kepada Nabi saw sudah seyogianya kita
posisikan sesuai pepatah Arab: Hasanatul-abrar, sayyi`atul-muqarrab in; kebaikan
orang-orang yang baik (abrar) itu adalah kejelekan bagi orang-orang yang
senantiasa taqarrub (muqarrabin. Kualitas muqarrabin satu level di atas abrar).
Artinya, bagi orang-orang baik pada umumnya, kekeliruan Rasulullah saw itu sah-
sah saja. Akan tetapi untuk orang sesuci Rasulullah saw, kekeliruan itu tidak
38
pantas terjadi, dan kalaupun sudah terjadi segeralah beristighfar kepada Allah swt.
Atau yang lebih sederhananya, perintah istighfar itu memang mutlak dan berlaku
bagi setiap orang yang baru saja menginsafi kekeliruannya, walau kekeliruan itu
bukan merupakan sebuah dosa.

Ayat-ayat di atas memberikan ancaman yang keras kepada siapa saja yang terlibat
merekayasa kasus, mulai dari terdakwa, pembela/ pengacara, saksi, sampai kepada
aparat penegak hukum itu sendiri yang dalam hal ini disorot sikap pembiarannya.
Titik tekan ayat-ayat di atas agar jangan sampai Nabi Muhammad saw masuk
dalam jeratan mafia kasus, pada intinya mencamkan agar jangan ada sikap
pembiaran (impunity) sehingga mafia kasus melenggang begitu saja. Itu artinya
pembiaran dari penegak hukum adalah sebuah kesalahan, apalagi jika sampai
terlibat dalam mafia tersebut untuk merekayasa kasus.


Peringatan untuk Pembela

Dari beberapa ayat di atas secara jelas juga terkandung pelajaran agar tidak
sembarangan melakukan mujadalah (mendebat lawan untuk membela kawan),
khashim (memusuhi lawan untuk membela kawan) dan wakil (pelindung). Atau
dengan kata lain melakukan pembelaan terhadap seseorang, karena tidak mustahil
orang yang dibela justru orang yang bersalah. Apabila ternyata pembelaan yang
dilakukan itu jelas-jelas ditujukan kepada orang yang bersalah, maka Allah swt
sangat murka dan memberikan ancaman yang keras sebagaimana tercermin dalam
QS. An-Nisa` di atas.

Itu artinya bagi yang berprofesi sebagai pengacara/ pembela hendaknya berhati-
hati jangan sampai menjadi pembela orang-orang yang salah. Kalau memang
ternyata yang dibela itu adalah orang yang bersalah maka dudukkanlah
kesalahannya dan arahkan bagaimana sebaiknya ia menghadapi tuntutan hukum,
bukan malah turut berkonspirasi merekayasa hukum. Karena dalam Islam profesi
sebagai pengacara itu tidak dalam posisi membela yang salah dan melawan orang
yang benar, melainkan untuk membela seseorang, baik dalam posisinya sebagai
yang zhalim atau yang dizhalim. Membela yang zhalim artinya mencegah agar
kezhalimannya tidak berkelanjutan, dan membela yang dizhalim artinya
melakukan penuntutan agar-agar orang yang menzhaliminya bisa menunaikan hak
39
kepada yang dizhalim. Meskipun terdengarnya sangat mustahil di dunia pengacara
hari ini, tetap saja norma Islam ini tidak boleh diabaikan. Rasul saw mengingatkan:

Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tolonglah saudaramu baik ia
zhalim atau dizhalimi. Ada seorang laki-laki bertanya: Wahai Rasulullah, saya
maklum jika ia dizhalimi, namun bagaimana saya menolong padahal ia zhalim? Nabi
menjawab: Engkau mencegahnya atau menahannya dari kezhaliman, itulah cara
menolongnya. (Shahih al-Bukhari kitab al-ikrah bab yamin ar-rajul no. 6952)


Peringatan untuk Saksi

Selain itu, ayat-ayat dalam QS. An-Nisa` di atas juga memberikan peringatan
kepada siapa saja untuk tidak semena-mena menjadi saksi. Jangan dikarenakan
yang meminta bersaksi adalah kerabat atau teman dekat, atau seagama dengan kita
sementara pihak lawan berbeda agamanya, kemudian kita bersedia saja menjadi
saksi yang membenarkannya tanpa terlebih dahulu mengecek siapa sebenarnya
yang benar dalam perkara yang dihadapi tersebut.

Untuk persoalan bersaksi ini, baik al-Qur`an ataupun hadits memberikan dua
bentuk arahan antara menjauhi persaksian dan mengamalkan persaksian: Pertama,
haram bersaksi palsu, kedua, wajib menjadi saksi, baik itu diminta atau tidak, jika
memang mengetahui kedudukan sebenarnya.

Kewajiban menjadi saksi, bisa ditemukan dalam ayat-ayat berikut ini:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia (orang yang tergugat/ terdakwa) itu kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan. (QS. An-Nisa` [4]: 135)

40
Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. (QS. Al-
baqarah [2]: 283)

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil (QS. Al-
Baqarah [2]: 282)

Dalam hadits, Rasul saw memberikan pujian kepada orang yang menjadi saksi
kebenaran walaupun tidak diminta. Dengan kata lain, ia sukarela menjadi saksi
demi menegakkan kebenaran. Sikap seperti ini layak untuk diteladani.

'' -= ,=- -+-' -' -', - '+-- .- '+' '-,

Perhatikan, aku akan beritahukan kepada kalian saksi yang paling baik, yaitu orang yang
bersaksi sebelum diminta. (Shahih Muslim kitab al-aqdliyah bab khairis-syuhud no.
3244)

Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim-nya menjelaskan bahwa yang
dimaksud dari sabda Nabi saw di atas adalah orang yang mengetahui duduk
perkara sebenarnya dari yang sedang diperadilankan, lalu ia pun bersaksi atas
perkara tersebut walaupun tidak diminta. Tujuannya murni untuk menegakkan
kebenaran.

Imam an-Nawawi menegaskan, pemahaman terhadap hadits ini harus dibedakan
dengan hadits lainnya yang mengonotasikan saksi yang tidak diminta sebagai
saksi sebagai sebuah perbuatan yang jelek. Dalam hal ini hadits yang dimaksud
masuk kategori jenis persaksian yang kedua, yakni yang harus dijauhi. Haditsnya
adalah sebagai berikut:

,= -- - ` , -' +-,', ` , -' +-,', ' -= '' -- - ,- '`''` `
-- '-, -+-, '' -+---, ,-,=, '' ,---,, --, '' ,-, +=, +, --'

Sebaik-baiknya umatku adalah generasiku (shahabat), lalu generasi sesudahnya (tabiin), lalu
generasi sesudahnya (tabi tabiin)Imran berkata: Aku tidak ingat apakah ia
menyebutkan sesudah generasi beliau itu dua generasi atau tigaKemudian akan
ada sesudah kalian satu kaum yang bersaksi padahal mereka tidak diminta bersaksi,
41
berkhianat dan tidak bisa dipercaya, bernadzar rapi tidak memenuhinya, dan tampak di
tengah-tengah mereka orang-orang yang gemuk [karena terlalu rakus dengan dunia].
(Shahih al-Bukhari kitab al-manaqib bab fadla`il ashhab an-nabiy no. 3650; Shahih
Muslim kitab fadla`il as-shahabah bab fadllis-shahabah tsummal-ladzina yalunahum no.
6638)

Menurut Imam an-Nawawi, hadits yang terakhir ini jelas sekali dikonotasikan jelek
oleh Rasul saw, berbeda dengan hadits yang di atas yang dinilai kebaikan. Maka
dari itu maksud dari hadits tersebut adalah orang-orang yang sebenarnya tidak
layak menjadi saksi tetapi ia malah menjadi saksi, orang-orang yang sebenarnya
tidak terkait pada perkara tetapi mereka memaksakan diri untuk bersaksi sesuai
hawa nafsu mereka. Perbuatan orang-orang tersebut hari ini dinamai sebagai
mafia peradilan atau mafia saksi. Mereka sengaja merekayasa kasus dengan
merekayasa saksi sehingga kemenangan berpihak kepada mereka.

Jenis persaksian seperti inilah yang harus dijauhi. Dengan kata lain, saksi yang
tidak diminta menjadi saksi itu ada yang baik, ada yang tercela. Baik jika ia
berniat benar dan untuk mengungkapkan kebenaran karena memang ia tahu
duduk perkaranya, dan tercela apabila sebenarnya ia tidak tahu duduk perkara
akan tetapi sengaja menjadi saksi untuk memenangkan perkara dengan cara yang
batil. Jenis persaksian yang terakhir ini disebut oleh al-Qur`an dan hadits sebagai
syahadat zur; saksi palsu. Persaksian model ini mutlak dijauhi.

Dari Anas ra, ia berkata, Nabi saw ditanya tentang dosa besar, maka beliau
menjawab: Menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, membunuh, dan bersaksi
palsu. (Shahih al-Bukhari kitab as-syahadat bab ma qila fi syahadat az-zur no. 2653;
Shahih Muslim kitab al-iman bab bayanil-kaba` ir wa akbariha no. 271)

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. (QS. Al-Furqan [25] : 72)


Peringatan untuk Penegak Hukum

Secara khusus, dalam persoalan mafia hukum ini al-Qur`an dan hadits menyoroti
hakim. Akan tetapi dalam konteks sekarang, penegak hukum itu termasuk juga
polisi, jaksa, dan aparat-aparat lainnya yang dibentuk sesuai kepentingan, tidak
42
sebatas hakim saja. Kepada mereka inilah ayat-ayat dalam QS. An-Nisa di atas
secara khusus ditujukan. Walau pada hakikatnya penetapan hukum itu sangat
tergantung pada saksi dan bukti, sehingga faktor kesalahan pun larinya nanti
banyak ke bukti dan saksi, tetap saja dalam hal ini hakim harus mempunyai prinsip
yang teguh jangan membiarkan dirinya terbawa begitu saja oleh arus besar yang
ada.

Dalam QS. An-Nisa` [4]: 105 di atas memang ada potongan kalimat bi ma arakal-
Llah; dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu. Artinya bahwa dalam
urusan penetapan hukum itu akan sangat tergantung pada saksi dan bukti di
persidangan. Berkaitan dengan ini, Rasul saw pernah memberikan penjelasan
ketika ia akan menetapkan suatu hukum atas tanah yang disengketakan:

'-- '- -- - ,---=- ' .' -- ,, =' -==- - - - ' _'= ,=- '-
_-- - -,- ' - = ,= '-,- '' -=', '-- ' _= ' = - '-'

Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, siapa tahu
sebagian di antara kalian lebih pandai bersilat lidah dengan alasannya dari sebagian lain,
sehingga aku memutuskan sebatas yang aku dengar. Maka barangsiapa yang kuputuskan
menang ternyata dengan menzhalimi hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, sebab
hakikatnya aku mengambilkan untuknya satu sulutan api neraka. (Shahih al-Bukhari
kitab as-syahadat bab man aqamal-bayyinah badal-yamin no. 2680, Shahih Muslim
kitab al-aqdliyah bab al-hukm biz-zhahir wal-lahn bil-hujjah no. 4570)

Dalam riwayat Ahmad dijelaskan, ketika dua orang yang bersengketa itu
mendengar sabda Nabi saw tersebut mereka pun kemudian menangis:

Kemudian dua orang lelaki tersebut menangis, dan masing-masing dari mereka
berkata: Hak saya untuk saudaraku. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Bila
demikian yang kalian berdua katakan, maka pergilah dan bersumpahlah kemudian pilihlah
kebenaran. Lantas kalian undi, dan hendaknya setiap salah seorang di antara kalian berdua
saling menghalalkan bagi siapa yang menjadi pemiliknya. (Musnad Ahmad ibn Hanbal
hadits Ummu Salamah no. 26760)

Akan tetapi, Rasul saw tetap tidak membenarkan jika ada penegak hukum yang
menetapkan hukum tidak berlandaskan pada ilmu. Dengan kata lain ia ceroboh
43
menetapkan hukum padahal ia belum mengetahui duduk perkara sebenarnya
seperti apa. Ia berani menetapkan hukum tanpa mau menggali terlebih dahulu
ilmunya dan kedudukan perkara yang sebenarnya seperti apa.

'--' ` `` -= _ -=' '-` _ '-' '- ' -' _ -=' .= = =' _-- - .=
= =' '= _ =' ,+ _ '-' .= _- '-'' _'= .+= ,+ _ '-'

Hakim-hakim itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka. Adapun hakim yang ada di
surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan ia pun memutuskannya berdasarkan
kebenaran. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran tapi ia menyimpang dalam
menetapkan hukum, maka ia di neraka. Demikian juga hakim yang memutuskan satu
keputusan bagi orang-orang tapi didasari ketidaktahuan, maka ia juga masuk neraka.
(Sunan Abi Dawud kitab al-aqdliyah bab fil-qadli yukhthi`u no. 3575)

Dalam hal ini para penegak hukum harus betul-betul mencermati pernyataan
ijtahada yang disampaikan Rasul saw dan kemudian sering dijadikan dalih oleh
sebagian penegak hukum bahwa kalaupun keputusannya ternyata salah, pahala
bagi penegak hukum itu tetap ada satu, tidak sampai terjerumus pada dosa. Sabda
Rasul saw yang dimaksud:

= '=' -+-=' ` '- ' = = -+-=' ` '== ' =

Apabila hakim menetapkan satu hukum, ia berijtihad, dan ternyata benar, maka ia akan
mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia menetapkan satu hukum dengan ijtihad, kemudian
ternyata keliru, maka ia akan mendapatkan satu pahala. (Shahih al-Bukhari kitab al-
itisham bil-kitab was-sunnah bab ajril-hakim idza ijthada fa ashaba au akhtha`a no.
7352; Shahih Muslim kitab al-aqdliyah bab bayan ajril-hakim idza ijthada 4584)

Harus diperhatikan dengan cermat bahwa Rasul saw menyatakan dalam hadits di
atas syarat penegak hukum mendapatkan pahala itumeskipun ternyata
keputusannya keliruadalah ijtahada atau berijtihad. Ijtihad itu sendiri adalah
mencurahkan segenap kemampuan dengan semaksimal mungkin untuk mengkaji
sedalam-dalamnya bagaimana duduk perkara sebenarnya berdasarkan al-Qur`an
dan Sunnah. Maka dari itu jika kemudian yang terjadi seperti yang berlaku dalam
dunia mafia hukum saat ini, di mana para penegak hukum tidak berijtihad,
menetapkan hukum hanya sekenanya saja, bahkan cenderung melakukan
44
pembiaran dan ia pun terseret arus besarnya saja sebagaimana telah disitir dalam
QS. An-Nisa` di atas, maka jelas para penegak hukum itu masuk dalam kategori
penegak hukum yang akan masuk neraka. Sungguh sangat keras sekali ancaman
dari Allah swt bagi mereka.


Hukuman untuk Mafia Hukum

Dalam kelanjutan QS. An-Nisa` yang dikutip di awal, Allah swt menjelaskan
bagaimana konsekuensi hukuman yang akan diterima oleh mafia hukum:

Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon
ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan
barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian menuduhkannya kepada
orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa
yang nyata. (QS. An-Nisa` [4]: 110-112)

Dalam tataran kehidupan dunia, pada prinsipnya mafia hukum itu adalah orang-
orang yang telah sama-sama berbuat satu kejahatan sehingga hukuman pun
diterapkan sama untuk mereka. Walau nanti sangat kasuistik; tergantung kasusnya,
tergantung dari peran masing-masingnya, dan di sini hakim harus melakukan
ijtihad semaksimal mungkin, tetapi tetap saja pada prinsipnya mereka
mendapatkan hukuman yang sama dengan kejahatan (jinayah) yang divoniskan
kepada mereka. Kalau mafia tersebut terlibat dalam pencurian, berarti hukuman
yang dijatuhkannya adalah hukuman untuk pencurian dan itu berlaku sama untuk
semua yang terlibat. Demikian halnya kalau mafia tersebut terlibat dalam kasus
pembunuhan.

Imam al-Bukhari mencantumkan satu bab (pembahasan) di dalam kitab Shahih-nya
tentang pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang, apakah mereka
yang terlibat dikenakan hukuman semuanya ataukah tidak (idza ashaba qaum min
rajulin hal yuaqabu au yuqtashshu minhum kullihim). Al-Hafizh Ibn Hajar
menjelaskan, maksudnya jika ada seseorang yang dibunuh oleh 10 orang, tentu
yang membunuhnya satu orang, sisanya yang sembilan hanya turut berpartisipasi
45
saja, lalu permasalahannya apakah hukum qishash itu hanya dikenakan kepada satu
orang yang membunuhnya saja, atau juga kepada sembilan orang lainnya yang
turut terlibat walau hanya sekadar berpartisipasi?

Dalam hal ini, Imam al-Bukhari mencantumkan sebuah riwayat tentang putusan
Umar untuk mafia pembunuh dari Shana. Tepatnya ketika ada seorang laki-laki
yang dibunuh oleh satu komplotan mafia, di mana masing-masing di antara
mereka ada yang bertugas membunuh, ada yang sekedar membantu, dan ada yang
hanya merencanakan. Waktu itu Umar menjatuhkan hukuman qishash (balas
bunuh) kepada mereka semua seraya mengeluarkan sebuah pernyataan:

,' -- '+, . '-- +-'--'

Seandainya yang turut berkonspirasi itu semua penduduk Shana, pasti aku akan menetapkan
hukum balas bunuh kepada mereka semua. (Shahih al-Bukhari kitab ad-diyat bab idza
ashaba qaum min rajulin hal yuaqabu au yuqtashshu minhum kullihim no. 6896)

Itu artinya bahwa hukuman bagi mafia disamakan dengan hukuman kejahatan
(jinayah) yang dituntutkan kepada mereka. Terlebih jika kita simak juga riwayat lain
tentang riba, gratifikasi/ suap, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang pasti
melibatkan beberapa orang, Rasul saw ternyata memberikan ancaman yang sama
kepada mereka:

Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh
makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya. Beliau berkata: Mereka semua sama.
(Shahih Muslim kitab al-musaqah bab lani akilir-riba wa mu`kilahu no. 4177)

Dari Abdullah ibn Amr, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Laknat Allah akan
menimpa orang yang menyuap dan yang disuap. (Sunan Ibn Majah kitab al-ahkam bab
at-taghlizh fil-haif war-risywah no. 2313. Riwayat semakna ditemukan juga dalam
Sunan Abi Dawud kitab al-aqdliyah bab fi karahiyah ar-risywah no. 3582; Sunan at-
Tirmidzi kitab al-ahkam bab ar-rasyi wal-murtasyi fil-hukmi no. 1336-1337)


Menyikapi Mafia Hukum

46
Uraian di atas sudah harus cukup mengingatkan kita betapa mafia hukum
merupakan sebuah kemunkaran yang tidak boleh didiamkan. Usaha amar maruf
nahyi munkar layak untuk digelindingkan dengan bentuk dan cara apapun sesuai
dengan posisi dan kedudukan kita masing-masing. Jika tidak, maka kehancuran
tatanan kehidupan masyarakat akan semakin parah, karena seperti itulah
sunnatullah dan sunnaturrasul telah menggariskannya.

Ketika ada beberapa pihak yang berpendapat lebih baik fokus pada diri sendiri
saja, fokus memperbaiki diri sendiri, persoalan orang lain yang bejat jangan
dihiraukan karena tidak akan membuat diri sendiri celaka, Abu Bakar tampil
membantah asumsi tersebut. Meskipun asumsi tersebut didasarkan oleh mereka
pada ayat:

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu
kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(QS. Al-Ma`idah [5]: 105)

Menurut Abu Bakar, ayat tersebut benar mengajarkan bahwa kesesatan orang lain
tidak akan mengganggu kita, meskipun mereka mengganggu dengan sehebat-
hebatnya, jika kita telah teguh dalam hidayah. Akan tetapi itu tidak berarti boleh
meninggalkan amar maruf nahyi munkar, karena Rasul saw sudah dengan tegas
menyatakan:

'-' ''=' ' -=', _'= , -, =- +-, - '-- --

Sesungguhnya manusia apabila mereka melihat orang zhalim, tapi mereka tidak
menindaknya, maka hampir dipastikan siksa dari Allah akan menimpa mereka. (Sunan at-
Tirmidzi kitab al-fitan bab nuzul al-adzab idza lam yughayyar al-munkar no. 2168)

Para ahli hukum sudah cenderung sepakat bahwa pemberantasan mafia hukum ini
akan berjalan efektif jika dibongkar oleh orang-orang dalam sendiri. Maka dalam
hal ini siapapun yang menjadi orang dalamapakah itu di lembaga penegak
hukum atau instansi-instansi lainnyaatau masuk dalam kategori orang yang tahu
duduk persoalan, wajib bergerak membongkar kebusukan mafia ini. Tidak boleh
diam, karena justru sikap diam hanya akan memperparah kehancuran saja. Orang-
47
orang yang mengetahui praktik-praktik mafia wajib hukumnya menjadi saksi
yang tidak diminta sebagai saksi demi memperjuangkan kebenaran.

Ini semua harus menyadarkan kita semua betapa al-Qur`an dan hadits sudah
cukup jelas menjelaskan mafia hukum ini. Dari berbagai ancaman dan hukuman
yang diancamkannya pun sudah semestinya menimbulkan efek jera. Bagi kita
umat Islam sudah semestinya melakukan tawashau bil-haq di antara sesama kita.
Dan yang paling penting tidak membiarkan praktik-praktif mafia berkeliaran di
tengah-tengah kita dengan bersikap masa bodoh, yang penting diri sendiri tidak
terbawa-bawa. Karena justru sikap seperti itulah yang akan mempercepat
kehancuran kehidupan itu sendiri, naudzubil-Llah min dzalik.

48


Kajian Ilmiah - Perwakilan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir

METODOLOGI TAKHRJ* HADITS VERSI NASHIRUDDIN AL-ALBANY

Oleh:
Hamdani Purba


Mukaddimah

Abad ke-III H dikenal sebagai masa keemasan ilmu hadits yang dimulai dengan
instruksi pembukuan hadits-hadits Rasulullah Saw oleh Umar bin Abdul Aziz.
Beberapa tokoh terkemuka pun mulai bermunculan, seperti Ibnu Syihab al-Zuhry,
Ibnu Hajm, Malik bin Anas, dsb. Perkembangan ini semakin pesat pada abad ke-
IV dan pertengahan abad ke-V H, ditandai oleh tokoh-tokoh legendaris, seperti:
Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lain sebaginya. Usaha
pengumpulan dan pembukuan ini tentu saja menuntut adanya sebuah metodologi
tertentu. Karena itu, setiap tokoh memiliki metode-metode tersendiri untuk
menyaring, meriwayatkan untuk kemudian membukukan hadits-hadits tersebut.

Setelah seluruh hadits-hadits Rasulullah Saw ditulis dalam bentuk buku, maka
perhatian para tokoh hadits tidak lagi terfokus pada periwayatan hadits melalui
beberapa sanad, namun lebih kepada takhrj hadits. Salah satu muhaddits yang
menggaungkan pembaharuan tersebut adalah Nashiruddin al-Albany. Bagi al-
Albany takhrj hadits tidak hanya sebatas metodologi untuk mengembalikan
hadits-hadits kepada sumber aslinya tanpa memberikan penilaian shahh, hasan atau
dha`if, namun takhrj atas sebuah hadits juga merupakan seleksi bagi setiap
perawinya dengan meneliti ulang berbagai literatur utama yang ditulis oleh para
ahli hadits.[1]
49

Hal tersebut tentu saja banyak menimbulkan respon dari berbagai kalangan, mulai
dari kritikan sampai pujian. Bisa dikatakan, metodologi takhrj yang diusung al-
Albany berangkat dari kondisi umat Islam yang sering menggunakan hadits
untuk mempertahankan madzhab tanpa memperhatikan orisinalitasnya. Bagi al-
Albany, hal ini bisa menjadi ancaman nyata bagi validitas hadits-hadits yang ada.
Oleh karena itu, perlu ada sebuah filter yang menggabungkan antara metode
takhrj klasik dan metode takhrj modern sebagai upaya proteksi atas sunnah
Rasulullah Saw.


Biografi Nashiruddin al-Albany

Adalah Muhammad bin Nashiruddin Abu Abdirrahman, lebih akrab dipanggil
dengan sebutan Al-Albany. Lahir pada tahun 1914 M di Asyqudarrah, ibu kota
Albania saat itu dari keluarga sederhana yang tidak tertarik dengan kekayaan
dunia, namun kental dengan nuansa agama dan ilmiah. Ayahnya biasa dipanggil
dengan sebutan Haji Nuh merupakan salah satu ulama terkemuka di Albania
yang cukup fanatik dengan mazhab Hanafi. Al-Albany hanya tinggal selama
sembilan tahun di Albania, kemudian pindah ke Syria karena tidak sealiran dengan
Raja Ahmad Zagu yang banyak meniru gaya-gaya sekuler Kemal Attaturk. Secara
formal, al-Albany hanya menamatkan pendidikan Ibtidaiyah, namun secara
nonformal ia banyak menyerap ilmu-ilmu keislaman melalui talaqqy dengan para
ulama.[2]

Keinginannya untuk melakukan penelitian ilmiah muncul setelah membaca tulisan
Rasyid Ridha di majalah al-Manar yang membedah kitab Ihya Ulmuddn secara
mendetail. Al-Albany dengan tekun mengamati analisa Rasyid Ridha tersebut,
hingga muncul keinginan untuk men-takhrj hadits-hadits dalam Ihy Ulmuddn.
Keinginannya ini tidak surut meski ia tahu Imam Hafidz al-Iraqy telah men-takhrj
hadits-hadits dalam buku tersebut yang kemudian ditulis dalam Al-Mughni 'An
Hamlil Asfr f Asfr f Takhrj Ma fil Ihy minal Akbar. Tekad dan keuletan al-
Albany pun membuahkan hasil. Ia mendapatkan beberapa hadits yang belum
disentuh oleh al-`Iraqy dalam kitab Ihy Ulmuddn.

50
Setelah beberapa lama di Syria, ternyata keadaan sosio politiknya juga mengalami
kegoncangan dan menuntut Nashiruddin al-Albany untuk pindah ke Madinah.
Sekitar tahun 1981 al-Albany diminta untuk menjadi dosen di Universitas
Islamiyah, Madinah. Dari sanalah ia dikenal sebagai orang pertama yang
menjadikan kritik sanad sebagai salah satu mata pelajaran fakultas hadits. Sejak itu,
banyak permintaan untuk menjadi dosen dan rektor dari berbagai Universitas,
namun mengingat keadaan fisiknya yang tidak mendukung, al-Albany tidak bisa
memenuhinya.

Nashiruddin Al-Albany wafat pada hari Sabtu, 23 Jumadil Akhir 1420H
bertepatan dengan 2 Oktober 1999M. Selama hidupnya, al-Albany telah banyak
memberikan konstribusi nyata bagi umat Islam melalui ratusan karya ilmiahnya
dalam bidang hadits, fiqh, atau pun akidah.[3]


Al-Albany dan Perdebatan Seputar Tashh Hadits

Sebelum membahas metodologi al-Albany dalam proses takhrj hadits, ada baiknya
kita menilik posisi dan sikap al-Albany seputar perdebatan tashh wa tadh`f hadits.
Posisi ini bisa ditilik dari dua pointer utama, yaitu:

Pertama: Dalam memberikan penilaian atas sebuah hadits serta meneliti
perawinya, al-Albany sering tidak sependapat dengan ulama klasik seperti Imam
Suyuthy, Imam Munawy, Ibnu Hibban, dsb. Menurutnya, standar kesalahan
baik matan atau sanad akan terus berkembang sejalan dengan perjalanan waktu.
Dengan demikian dituntut adanya penelitian ulang atas penilaian para ulama klasik
melalui ilmu takhrj.[4]

Barangkali pendapat yang beliau kemukakan ini merupakan penolakan keras
atas pernyataan Ibnu Shalah yang melarang ulama mutaakhkhirn[5] untuk
melakukan tashh atas beberapa hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab shahh,
seperti kutub al-sittah.[6] Dalam pendapat Ibnu Shalah, ulama mutaakhkhirn
memiliki kemampuan di bawah ulama mutaqaddimn dalam proses pen-tashhh-an
sebuah hadits. Sebab, para ulama mutaqaddimn tidak akan memberikan sebuah
penilaian tanpa melalui proses panjang, dan para mutaqaddimn memiliki
pengalaman lebih atas sebuah hadits dari semua sisi. Di samping itu, sebuah hadits
51
tidak cukup untuk bisa dianggap shahh hanya karena memiliki sanad lengkap.
Karena bisa jadi, salah satu perawinya tidak memenuhi standar hadits shahh.[7]
Oleh sebab itu, belum dapat dibenarkan bagi ulama mutaakhkhirn untuk
memberikan label shahh atas sebuah hadits yang sebelumnya tidak dianggap shahh
oleh ulama mutaqaddimn.

Dalam hal ini, al-Albany sependapat dengan Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan
Ibnu Katsir yang membolehkan ulama mutaakhkhirn melakukan tashhh atas
sebuah hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab shahh, dengan syarat harus
menguasai dasar-dasar ilmu hadits, dan menelaah seluruh penilaian ulama atas
hadits tersebut dalam berbagai referensi yang dapat dipertanggungjawabk an. Ibnu
Hajar menambahkan bahwa pendapat Ibnu Shalah akan berimbas kepada
penolakan sejumlah hadits shahh dan penerimaan beberapa hadits yang tidak
memenuhi kriteria shahh. Sebab menurut Ibnu Hajar, banyak sekali hadits yang
dinilai shahh oleh mutaqaddimn, namun setelah dilacak validitasnya oleh ulama
mutaakhkhirn tidak memenuhi kriteria shahh, dan begitu pula sebaliknya.

Menurut hemat penulis, sebenarnya pendapat Ibnu Shalah tidaklah
sepenuhnya salah, sebab hal itu muncul dari kekhawatiran serta kewaspadaannya
dan bukan meremehkan kemampuan mutaakhkhirn. Agar terhindar dari menjadi
golongan orang-orang yang disabdakan Rasulullah: "Barang siapa yang mengucapkan
sebuah hadits dan mengetahui bahwa hadits tersebut adalah palsu, maka ia termasuk salah
satu orang yang memalsukannya" (HR. Muslim dalam bab Mukaddimah dan Imam
Tirmidzy dalam bab Ilmu). Selain itu juga menjadi stimulan bagi generasi
setelahnya untuk melakukan proses penelitian secara lebih optimal dan intensif,
tidak hanya dengan menukil perkataan seseorang tanpa melacak keakuratannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Muhammad Mahmud Bakar ketika
mengomentari pendapat Ibnu Shalah, menurut beliau, pendapat tersebut jika
diteliti lebih cermat sebenarnya tidak bermuatan larangan mutlak, namun lebih
berindikasi kepada sikap preventif untuk lebih menjaga hadits-hadits Rasulullah
Saw. Kemudian beliau menambahkan, meskipun memberikan penilaian terhadap
sebuah hadits dengan melihat sanad-nya adalah satu hal yang dibolehkan, namun
perlu dicatat, bahwa tidak selamanya sebuah hadits yang memiliki sanad shahh
maka matan-nya juga shahh. Oleh karena itu dalam penilaian shahh atas sebuah
52
hadits, harus menekankan ke-shahh-an sanad, seperti dengan mengatakan: "hadits
ini shahh dari sisi sanad-nya"[8].

Kedua: Al-Albany sering berbeda pendapat dalam menentukan metodologi
takhrj. Baginya, kebanyakan ulama saat ini seringkali mengaburkan atau
menghilangkan catatan kaki alias plagiat, disebabkan minimnya pengetahuan
mereka terhadap istilah-istilah yang digunakan para ulama hadits. Di samping itu,
mayoritas mereka belum memiliki basic keilmuan hadits, sehingga sering terjebak
dalam hadits-hadits yang tidak layak untuk diamalkan karena memiliki cacat yang
tidak diketahui penulisnya. Sebagai contoh, Dr. Said Ramadhan al-Butty dalam
bukunya Fiqh Srah menurut al-Albany telah melakukan plagiat dengan
mengaburkan footnote takhrj hadits, sehingga banyak dari hadits-hadits dalam
bukunya yang tidak memenuhi standar sah untuk dijadikan sebagai dalil.
Contohnya adalah riwayat al-Waqidy, yang dianggap sangat lemah dan tidak bisa
dijadikan sebagai dalil oleh para ahli hadits.[9]


Defenisi Takhrj

Secara etimologi, kata takhrj berasal dari khurj antonim kata dukhl.[10] Namun
maknanya meluas sejalan dengan zaman kendati masih mengacu pada arti:
memperlihatkan, mengeluarkan, menjelaskan dan menerangkan. Seperti istilah
para ahli hadits: akhrajahu'l Bukhri atau akhrajahu'l Muslim yang mengandung
maksud untuk memperlihatkan kepada orang lain sumber munculnya hadits
dengan menyebutkan silsilah perawinya secara lengkap.[11]
Sedangkan secara terminologi, istilah takhrj senatiasa mengalami perkembangan,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Abu Muhammad Abdul Mahdi
bahwa pada fase pertama, takhrj hanya menyebutkan hadits lengkap dengan
sanad-nya, kemudian seorang mukharrij hanya memberikan komentar sekedarnya
atas keadaan sanad, bahkan terkadang mengkritik matan-nya. Kemudian pada fase
selanjutnya, seorang mukharrij di samping menyebutkan sanad hadits secara
lengkap, juga berusaha menyebutkan sanad lain sebagai penguat bagi hadits
pertama. Pada fase ketiga, setelah seluruh hadits dibukukan maka takhrj hanya
dimaksudkan mengembalikan hadits-hadits kepada sumber-sumber aslinya.[12]

53
Adapun Dr. Muhammad Abu Syuhbah mengatakan bahwa takhrj hadits adalah
mengembalikan hadits kepada sumber aslinya, yaitu kitab-kitab hadits dan
kemudian menyebutkan sanad lain yang berasal dari sumber lain dengan
memberikan komentar atas keadaan setiap sanad dan perawinya, untuk kemudian
memberikan penilaian shahh, hasan, atau dha`f atas hadits tersebut.[13]

Adapun Nashiruddin al-Albany, kendati tidak memberikan sebuah definisi
tertentu, namun dapat disimpulkan bahwa ia lebih cenderung menggabungkan
semuanya (baik metode takhrj secara global sebagaimana defenisi takhrj pada fase
pertama maupun metode takhrj dalam defenisi Shubhy Samiry) dengan syarat
hadits yang akan di-takhrj tidak terdapat dalam kitab shahhain, namun jika
terdapat dalam kitab shahhain maka al-Albany hanya meringkasnya dengan hanya
menyebutkan tingkatan hadits, nomor hadits dan jilid buku.


Metode Takhrj Nashiruddin al-Albany

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa al-Albany cukup selektif dalam
melakukan proses takhrj hadits, bagi beliau, takhrj adalah proses ilmiah yang
menuntut penyelidikan optimal sesuai dengan kaidah dasar yang telah diletakkan
oleh para ulama hadits, sehingga akan menghasilkan sebuah penilaian yang
objektif. Barangkali dapat sedikit kita rumuskan ke dalam beberapa pointer
metode yang dominan digunakan al-Albany dalam melakukan proses takhrj:
Pertama: Dalam men-takhrj hadits, salah satu yang merupakan identitas al-Albany
adalah bahwa beliau menggabungkan metode takhrj klasik dengan metode takhrj
kontemporer. [14] Langkah pertama yang beliau lakukan adalah memberikan
penilaian atas hadits yang akan di-takhrij, kemudian mengembalikan hadits
tersebut kepada sumber aslinya dengan menyebutkan nomor hadits dan jilid buku.
Di samping itu, beliau menambahkan sumber-sumber buku yang juga
meriwayatkan hadits tersebut dengan metode yang sama. Kemudian al-Albany
meletakkan sanad lain yang dimiliki hadits tersebut dan meneliti keadaan setiap
perawinya melalui komentar beberapa ulama, kemudian membandingkan
komentar-komentar tersebut dan akhirnya memberikan penilaian atas keadaan
sanad hadits. Jika dalam sanad lain terdapat penambahan teks hadits maka al-
Albany akan meletakkannya dalam tanda { } agar dapat dibedakan antara hadits
54
yang di-takhrij dengan hadits yang hanya merupakan penguat karena memiliki
sanad yang berbeda.[15]

Kedua: Jika hadits yang akan di-takhrij terdapat dalam kitab shahhain
(Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya, maka biasanya al-Albany
hanya memberikan penilaian shahh dan kemudian menuliskan nomor hadits serta
jilid buku saja tanpa memberikan komentar atas perawinya. Sebab, dalam
pandangan beliau, hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim
seluruhnya adalah hadits shahh, sehingga tidak lagi membutuhkan komentar yang
mendetail, meskipun terkadang ada sebagian perawinya yang lemah hafalan,
namun hal itu tidak mengurangi kredibilitas setiap perawi dari hadits Bukhari dan
Muslim.

Dalam hal ini, al-Albany menggunakan istilah yang berbeda namun
maknanya tetap sama, misalnya ia hanya mengatakan "rawhu al-Syaikhni" atau
"rawhu al-Bukhary" atau "rawhu Muslim" tanpa memberikan penilaian shahh.
Namun terkadang ia juga menggabungkan keduanya dengan mengatakan: "shahh,
rawhu al-Syaikhni" atau "shahh, rawhu al-Bukhry" atau " shahh, rawhu Muslim".
Hal itu hanya menunjukkan penegasan atas ke-shahh-an hadits Bukhari Muslim
atau salah satu dari keduanya.[16]

Ketiga: Jika hadits yang akan di-takhrj selain dari hadits Bukhari dan
Muslim, misalnya terdapat dalam kitab-kitab sunan, maka al-Albany selalu
memberikan penilaian shahh, hasan atau dha`if atas hadits tersebut, setelah meneliti
seluruh silsilah sanad-nya. Jika dalam sanad-nya terdapat perawi yang tsiqqah
(terpercaya) maka al-Albany tidak banyak memberikan komentar, namun lebih
mencukupkan komentar beberapa ulama. Akan tetapi jika salah satu perawinya
didebatkan oleh para ulama, maka terlebih dahulu beliau menyalin seluruh
komentar tersebut dan membandingkannya sesuai dengan kaidah jarh wa ta'dl
untuk selanjutnya melakukan tarjih atas sanad tersebut.[17] Begitu juga halnya, jika
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab selain sunan seperi mustadrak, shahh Ibnu
Khuzaimah, shahh Ibnu Hibban, dsb., al-Albany menggunakan metode takhrij yang
sama seperti hadits-hadits yang terdapat dalam kitab sunan. Sebab, bagi beliau
kitab-kitab sunan dan kitab yang diklaim pengarangnya sebagai kitab yang telah
memuat hadits-hadits shahh ternyata masih banyak dijumpai hadist-hadits hasan
bahkan dha'f yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dalam hal ini al-Albany
55
memberikan komentar lebih mendetail. Oleh karena itu beliau melarang keras
menyandarkan hadits kepada Abu Daud misalnya, atau Imam Nasa'i tanpa
memberikan penilaian dan meneliti silsilah sanad-nya, sebab bisa jadi hadits
tersebut masih mengandung beberapa aib dan cacat.

Keempat: kaitannya dengan sistematika penulisan sumber hadits. al-Albany
sangat berhati-hati dalam menuliskan sumber sebuah hadits, terlebih lagi jika
hadits tersebut dimuat pada seluruh kitab-kitab hadits. Maka al-Albany selalu
menyalin seluruh sumber hadits tersebut sesuai dengan urutan dan tingkatannya
dalam ilmu hadits misalnya riwayat Bukhari harus didahulukan dari pada
riwayat Muslim, riwayat Muslim didahulukan dari riwayat Abu Daud, sunan Abu
Daud harus didahulukan dari pada sunan Tirmidzy. Hal itu bagi beliau sangat
urgen, sebab berkaitan dengan amanah ilmiah dan penghargaan kepada setiap
sumber-sumber yang diambil.[18]


Seputar Metodologi Tashhih wa Tadh'f al-Albany

Memberikan penilaian shahh atau dha'f atas sebuah hadits merupakan langkah
akhir dalam proses takhrj, dan merupakan tujuan pokok dari ilmu hadits diryah.
Dua buah karangan monumental al-Albany: Silsilah Ahdts al-Shahhah dan Silsilah
Ahdts al-Dha`fah adalah bukti kongkret bahwa ia sangat selektif dalam
menyaring hadits-hadits Rasulullah Saw.. Banyak tokoh yang menjadikan kedua
buku ini sebagai rujukan utama dalam mengetahui tingkatan sebuah hadits, atau
pun keadaan para perawinya. Dalam hal ini, tentu al-Albany memiliki simpanan
epistemologi yang menarik untuk dikaji, terutama metodologi tarjih hadits yang
digunakannya dalam mengkomparasikan beberapa sanad yang didebatkan oleh
ulama mutaqaddimn maupun mutaakhkhirn .

Bagi Nashiruddin al-Albany, proses tashhh dan tadh'f tidak hanya cukup dengan
mengadopsi penilaian ulama mutaqaddimn, akan tetapi, juga harus mengumpulkan
beberapa sanad lain yang dimiliki oleh hadits tersebut. Dengan demikian, al-
Albany berusaha untuk mengkolaborasikan antara metodologi ulama mutaqaddimn
dan metodologi ulama mutaakhkhirn dalam memberikan komentar seputar sanad
dan perawi hadits. Berikut ini dengan keterbatasan penulis akan dijabarkan
kerangka landasan epistemologi al-Albany dalam proses tashhh dan tadh'f:
56

1. Kritik Sanad

Dalam menilai sanad hadits, al-Albany mengacu kepada kaidah dasar jarh wa ta'dl
yang telah diletakkan para ulama, kemudian melacak beberapa sanad yang dimiliki
oleh satu hadits dan melihatnya sesuai dengan tarjamah al-ruwh yang terdapat
dalam kitab-kitab hadits. Dalam menilai sanad maupun perawi sebuah hadits ada
beberapa istilah yang dominan digunakan al-Albany sebagai berikut:

Pertama: Tsiqqah, istilah ini beliau gunakan dalam hadits yang memiliki
silsilah sanad shahih dan telah memenuhi kriteria hadits shahih[19] yaitu:

( '-- ---' '-= ' -`-' - '=--` ,'--' '-`'
--' )

Kedua: Shadq atau Jayyid, digunakan pada hadits hasan yang silsilah sanad-
nya masih belum memenuhi kriteria shahih secara lengkap.[20]

Ketiga: Lam A'rifhu, Majhl, digunakan ketika ia tidak mengetahui keadaan
salah satu perawi yang berada di antara tsiqqah dan shadq, sehingga dalam
beberapa hadits beliau sering mengatakan bahwa hadits tersebut mauqf.[21]

Keempat: Dha`f atau Whiy, istilah ini beliau gunakan ketika sanad dalam
sebuah hadits sangat lemah sekali dan termasuk ke dalam hadits dha`if.[22]

Kelima: Kadzdzb, istilah ini biasa beliau gunakan untuk menyatakan hadits
maudhu` atau hadits yang tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum.[23]

Kelima istilah di atas hanyalah hasil pembacaan penulis dalam beberapa karya-
karya beliau, dan penulis tidak menafikan bahwa masih terdapat istilah lain atau
bahkan tingkatan lain yang digunakan al-Albany dalam mengkritik sanad ketika
proses takhrj. Kemudian kelima istilah di atas tidak selamanya mutlak digunakan
al-Albany sesuai dengan penggunaanya, sebab terkadang ia juga menggunakan
istilah "rijluhu tsiqqt" pada hadits dha`f jika salah satu dari perawinya tidak
memenuhi kriteria shahih, misalnya sering berdusta atau memiliki kelemahan
hafalan dan sebagainya. Begitu juga dengan istilah dha`if yang terkadang digunakan
57
juga oleh al-Albany pada hadits hasan jika terdapat sanad lain yang menguatkannya.
Kemudian istilah majhl juga terkadang ia gunakan dalam hadits dha`f jika setelah
meneliti, ia mendapatkan sanad lain dan memiliki cacat atau aib yang dapat
digolongkan ke dalam hadits dha`f.

Adapun yang berkaitan dengan tarjih yang biasa dilakukan al-Albany, jika salah
satu sanad dalam hadits ada yang merupakan perdebatan ulama, dalam hal ini yang
paling urgen bagi beliau adalah banyaknya sanad. Jika sebuah hadits memiliki
perawi dha`f maka al-Albany tidak langsung memberi penilaian dha'f, melainkan
berusaha mencari sanad lain yang meriwayatkan hadits yang sama. Sebab,
sebagaimana kesepakatan para ulama hadits, bahwa hadits dha`f jika memiliki
banyak silsilah perawi yang berbeda, maka hadits tersebut akan berubah tingkatan
dari hadits dha'f yang tidak bisa diterima sebagai hujjah menjadi hadits hasan li
ghairih dan termasuk dalam kategori hadits yang dapat diterima serta dijadikan
hujjah.

Namun perlu dicatat, bahwa menurut beliau kaidah ini bersyarat, dan tidak
sepenuhnya mutlak menjadi hadits yang dapat diterima, akan tetapi harus
diperhatikan tingkatan kelemahan yang dimiliki masing-masing silsilah sanad
sebuah hadits. Jika perawi atau sanad tersebut dikenal sebagai pendusta dalam
periwayatan, maka meskipun terdapat hadits lain yang memliki sanad yang
berbeda, tidak dapat menguatkan kelemahan hadits tersebut menjadi hadits yang
dapat diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika kelemahan perawinya hanya terletak
pada kekurangan hafalan misalnya, maka ia dapat berubah dari hadits dha'f
menjadi hasan li ghairih jika memiliki silsilah sanad lebih dari satu.[24]

Kemudian dalam proses tarjh, al-Albany biasanya mendahulukan lafadz tajrh dari
pada lafadz ta`dl, jika para ulama berdebat dalam mengomentari satu perawi
hadits.[25] Akan tetapi hal itu tidak selamanya beliau gunakan, sebab bagi al-
Albany untuk mentarjih sebuah hadits terlebih dahulu diperlukan analisa terhadap
biografi perawi dan komentar beberapa ulama terhadapnya. Hingga hasilnya akan
lebih objektif, meski tidak dipungkiri terkadang beliau juga mengakui terdapat
kesalahan pada analisanya, dan sebagai manusia hal itu adalah wajar.[26]

2. Kritik Matan

58
Dalam menganalisa matan sebuah hadits biasanya al-Albany berpegang kepada
kaidah dasar ilmu hadits atau yang biasa disebut dengan ilmu mushthalahu'l hadts.
Ilmu mushthalahu'l hadits adalah salah satu cabang ilmu hadits yang membahas
matan atau sanad sebuah hadits secara terperinci; baik dari segi defenisi setiap
hadits, pembagian hadits ke berbagai macam cabang berdasarkan tinjauannya,
kemudian membahas cacat yang terdapat dalam matan hadits yang biasa disebut
dengan "sydz" dan "'illah" atau yang lainnya. Adapun dalam melihat matan hadits,
al-Albany tidak banyak berbeda dengan ulama lain. Hadits yang memenuhi kriteria
shahh dalam pandangan beliau bila ditinjau dari segi sanad mencakup beberapa
syarat:

a. Matan sebuah hadits harus terhindar dari kelemahan susunan kata dan
lafadznya, jika terdapat kesalahan dalam kaidah penggunaan bahasa misalnya, atau
kosakata yang termuat dalam matan hadits dan dinilai sangat lemah bahasanya, hal
itu merupakan indikator kuat untuk melacak keabsahan hadits. Sebab, hal seperti
itu mustahil muncul dari perkataan Rasulullah Saw., akan tetapi besar
kemungkinan bahwa itu hanya rekayasa seorang pendusta.

b. Matan dari sebuah hadits harus terhindar dari cacat (sydz) yang ditimbulkan
akibat munculnya sanad lain yang lebih tsiqqah dari sanad hadits pertama. Di dalam
hadits terkadang memiliki sanad yang shahh, namun ketika ditinjau kembali
ternyata ada hadits lain yang memiliki sanad yang lebih shahh dari yang pertama,
dengan syarat sanad pertama berlawanan dengan sanad kedua, dan tidak
memungkinkan untuk digabungkan. [27] Begitu juga halnya jika dalam sanad
terdapat kerancuan atau yang biasa disebut dengan 'illah, yang diakibatkan karena
percampuran antara perkataan Rasulullah Saw. dengan perkataan orang lain,
sehingga menurunkan kualitas hadits, atau terlihat dalam hadist seolah-olah telah
terjadi percampuran antar sanad atau matan yang berbeda. Dengan mengetahui
keadaan matan yang bersih maka dapat diberi penilaian positif, begitu pula
sebaliknya jika matannya masih bermasalah, maka harus ditinjau kembali
berdasarkan kaidah dasar ilmu hadits yang telah ditetapkan para ulama.

c. Al-Albany selalu menegaskan bahwa, hadits yang memiliki sanad yang lemah
atau dha'f tidak selamanya mengindikasikan bahwa matan-nya juga dha'f, sebab
tidak jarang terdapat hadits yang subtansinya tidak menyalahi syariat Islam,
bahkan merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam al-Quran dan hadits shahh,
59
meskipun hadits tersebut diriwayatkan dari seorang perawi yang sangat lemah
menurut ulama jarh wa ta'dl. Oleh karena itu, ketika mendapatkan sebuah hadits
dalam keadaan seperti di atas, maka seorang mukharrj harus berusaha mencari
sanad lain yang memiliki perawi tsiqqah dan dapat menguatkan hadits tersebut.[28]

Metodologi al-Albany di atas hanya merupakan hasil pengamatan dan penilaian
penulis dari sebagian kecil buku-buku al-Albany, sebab penulis menyadari bahwa
masih banyak karya beliau yang belum tersentuh, sehingga makalah ini masih jauh
dikatakan sempurna untuk mengeruk metodologi seorang kritikus dan ahli hadits
Nashiruddin al-Albany yang telah menyumbangkan umurnya selama 70 tahun
untuk mendalami dan memelihara hadits-hadits Rasulullah Saw.


Penutup

Keunggulan al-Albany dalam proses takhrj hadits tidak dapat dinafikan oleh umat
Islam. Dengan metodologi selektif yang menggabungkan metode klasik dan
metode modern menjadikannya figur utama tokoh perkembangan takhrj.
Beberapa tokoh umat Islam sangat menghargai keilmuan dan sepak terjang al-
Albany dalam dunia hadits, di antaranya adalah Yusuf Qardhawi yang senantiasa
bertanya kepada beliau (sebelum wafat) tentang derajat beberapa hadits yang tidak
beliau ketahui, sehingga suatu saat Qardhawi meminta al-Albany untuk men-
takhrj hadits-hadits yang terdapat dalam bukunya: Al-Hall wa'l Harm. Begitu
juga dengan Muhammad Ghazali salah satu tokoh populer Mesir yang juga
meminta al-Albany untuk men-takhrj hadits-hadits dalam bukunya yang berjudul
Fiqh Srah.

Dalam perjalanannya di dunia hadits, al-Albany selalu menjauhkan baju fanatik
mazhab, hal itu terlihat jelas pada diri Al-Albany. Meskipun ayahnya adalah
seorang ulama mazhab Hanafi namun al-Albany tidak sealiran dengan orang
tuanya, bahkan beliau sering kontradiksi dengan pendapat orang tuanya sendiri.
Maka tidak heran jika beliau sangat terbuka untuk menerima kritikan jika memang
terdapat kesalahan dalam tulisannya, dan beliau sangat kritis dalam mengamati
para tokoh-tokoh yang hanya menjadikan hadits-hadits Rasulullah sebagai
justifikasi bagi salah satu aliran atau mazhab tertentu tanpa meneliti validitas
hadits tersebut. Sebab implikasinya akan sangat buruk bagi eksistensi hadits
60
Rasulullah Saw. yang merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam sepanjang
masa.

Makalah sederhana ini, penulis akui masih belum komprehensif untuk menelaah
sosok ulama besar seperti al-Albany. Namun setidaknya hal ini dapat sedikit
membuka jendela cakrawala kita untuk lebih mengenal seorang sang kritikus
hadits Nashiruddin al-Albany.


Daftar Pustaka

Abdul Qadir, Abu Muhammad Abdul Mahdi, Thuruq al-Takhrj al-Hadts, Maktabah al-Iman,
Kairo, cet. II, 1983

Abu Bakar, Umar, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dalam Kenangan, At-Tibyah, Solo, Edisi
Indonesia, 2000

Al-Albany, Muhammad Nashiruddin, Ghyatu'l Marm fi Takhrj Ahdtsi'l Hall wa'l Harm,,
Maktabah Islami, Beirut, cet. IV, 1994

------------ --------- --------- ---------Irwu'l Ghall fi Takhrj Ahdts Manr al-Sabl, al-Maktab al-
Islamy, Beirut, cet. II, 1985

------------ --------- --------- ---------Shahh Sunan al-Tirmdzy, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, 2002

------------ --------- --------- --------Shifah Shalt al-Nabi; min al-Takbr il al-Taslm ka Annaka Tarha,
Maktabah al-Ma`arif li an-Nasry wa Tauji`, Riyadh, cet. II, 1996

------------ --------- --------- --------Syarh `Aqdah al-Thahwiyah, Dar as-Salam dan al-Maktab al-
Islamy, Kairo / Beirut

Al-Atsary, Abu Hafsh, Imthatu'l Litsm bi Srah Syaikhi'l Imm Muhammad Nshiruddn Al-Albny,
cet. I, 2001

Al-Malibary, Hamzah Abdulllah, Nazhzharh Jaddah f `Ulmi'l Hadts, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet.
II, 2003

Ayyub, Ahmad Bin Sulaiman, Muntaha'l Amny bi Fawid Mushthalah al-Hadts ll al-Albny, al-Faruq
al- Haditsiyah li al-Thiba'ah wa an-Nasyr, cet. I, 2003

Mahmud Bakar, Muhammad, Maus'ah `Ulm al-Hadts al-Syarf, Majlisi'l 'Ala li al-Syu'un al-
Islamiyah, Kairo, cet. I, 2003
61

Manzhur, Ibnu, Lisnu'l `Arab, Dar al-Hadits, Kairo, vol. III, 2003

Musayyar, Sayyid Ahmad Ramadhan, Al-Sunnah Al-Muthahharah, Maktabah al-Iman, cet. III,
2003


Catatan Kaki

[1] Muhammad Nashiruddin al-Albany, Ghyatu'l Marm fi Takhrj Ahdts'l Hall wa'l Harm, al-
Maktab al-Islamy, Beirut, cet. IV, 1994, hal. 9

[2] Abi Hafsh al-Atsary, Imthatu'l Litsm Bisrah Syaikhi'l Imm Muhammad Nshiruddn al-Albny,
cet. I, 2001, hal. 66

[3] Abi Hafsh al-Atsary, ibid., hal. 86

[4] Lihat: Ahmad Bin Sulaiman Ayyub, Muntaha'l Amny bi Fawid Mushthalah al-Hadts lil al-
Albny, al-Faruq al- Haditsiyah li al-Thiba'ah wa an-Nasyr, cet. I, 2003, hal. 18 et. seqq

[5] Ada beberapa pendapat dalam penentuan batasan ini: pertama, ulama mutaqaddimn adalah
generasi antara abad I H sampai pertengahan abad V H (100 H - 400 H), maka ulama
mutaakhkhirn adalah generasi yang muncul dari tahun 400 H sampai sekarang. Kedua, ulama
mutaqaddimn adalah generasi tiga abad pertama (shahabat, tbi`n, dan tbi` al-tbi`n), dan
mutaakhkhirn adalah generasi setelah itu. Namun pendapat ini masih kurang tepat, sebab hanya
berdasarkan pada keistimewaan tiga generasi pertama. Ketiga, pengertian mutaakhkhirn dan
mutaqaddimn bersifat relatif. Ibnu Shalahmisalnyamengkategorikan semua ulama setelahnya
sebagai mutaakhkhirn, sedangan ulama sebelum beliau sebagai mutaqaddimn. Pendapat ini juga
kurang bisa diterima karena nilai subjektifitas lebih dikedepankan, sedangkan sebuah ilmu
seharusnya bersandar pada nilai-nilai objektif. Untuk itu, penulis lebih cenderung untuk memilih
pendapat pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Hamzah Malibary dan Prof. Dr. Yasir
Muhammad Syahata bahwa perkembangan hadits terbagi atas dua fase. Pertama, fase periwayatan;
di mana konsentrasi para ahli hadits lebih terfokus pada periwayatan hadits-hadits melalui
sejumlah perawi. Hal itu jelas dimulai sejak masa sahabat sampai pertengahan abad V H. Kedua,
fase analisa, ditandai dengan usaha para ahli hadits untuk mencari hadits-hadits dari berbagai buku
seperti Shahh Bukhri dan Shahh Muslim, al-Muwaththa, kitab-kitab Sunan, dsb. Artinya, pada masa
ini hadits tidak lagi didapatkan dari para perawi, namun dari buku-buku yang ada. Lihat: Dr.
Hamzah Abdulllah al-Malibary, Nazhzhrah Jaddah f 'Ulm al-Hadts, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet.
II, 2003, hal. 13 et. seqq. Lihar juga Prof. Dr. Yasir Muhammad Syahata, Maus'ah 'Ulm al-Hadts
al-Syarf, Majlis al-Ala li al-Syu'un al-Islamy, tk., cet. I, 2003, hal. 221

[6] Kutub al-Sittah adalah: Kitab al-Jam' Al-Shahh karangan Imam Bukhari (193-256 H), kitab al-
Jam' Al-Shahh karya Imam Muslim (206-261 H), Sunan Ab Dwd (202-275 H), Sunan Tirmidzi
62
(209-279), Sunan Kubr dan Sunan Sughra karangan Imam Nas'ai (215-303 H), Sunan Ibn Mjah
(209-279). Lihat: Dr. Sayyid Ahmad Ramadhan Musayyar, Al- Sunnah al-Muthahharah, Maktabah
Al-Iman, tk., cet. III, 2003, hal 57

[7] Muhammad Mahmud Bakar, Maus'ah `Ulm al-Hadts al-Syarf. op. cit., hal. 263.

[8] Ibid., hal. 264.

[9] Nashiruddin al-Albany, Ghyatu'l Marm fi Takhrj Ahdtsi'l Hall wa'l Harm, op. cit., hal. 11

[10] Ibnu Manzhur, Lisnul 'Arab, Dar Al-Hadits, Kairo, vol. III, 2003, hal. 53

[11] Dr. Yasir Muhammad Syahata, Maus'ah `Ulm al-Hadts al-Syarf, op. cit., hal. 216

[12] Prof. Dr. Abu Muhammad Abdul Mahdi Bin Abdul Qadir, Thuruq al-Takhrj al-Hadits,
Maktabah al-Iman, Kairo, cet. II, 1983, hal. 10

[13] Dr. Yasir Muhammad Syahata, Maus'ah `Ulm al-Hadts al-Syarf, op.cit., hal. 218

[14] Yang dimaksud metode takhrj klasik adalah: hanya mengembalikan hadits kepada sumber
aslinya tanpa memberikan penilaian shahih, hasan atau dha`if. Sedangkan metode takhrj
kontemporer disamping mengembalikan hadits kepada sumber aslinya, juga menyertakan
penilaian atas hadits tersebut dan meneliti setiap pendapat ulama mengenai perawinya sehingga
akhirnya dapat melakukan sebuah tarjih dari sekian banyak komentar ulama atas keadaan sebuah
hadits baik dari segi sanad maupun matan-nya. Lihat Abu Hafsh, Imthatu'l Litsm Bisrah Syaikhi'l
Imm Muhammad Nshiruddn al-Albny, op. cit., hal. 15

[15] Lihat: Muhammad Nashiruddin al-Albany, Shifat al-Shalt al-Nabiy min al-Takbr il al-Taslm ka
Annaka Tarha, op. cit., hal. 41 et. seqq

[16] Muhammad Nashiruddin al-Albany, Irwu'l Ghall f Takhrj Ahdts Manr al-Sabl, al-Maktab
al-Islamy, Beirut, cet. II, 1985, hal. 10

[17] Lihat: Muhammad Nashiruddin al-Albany, Shahh Sunan al-Tirmdzy, Maktabah al-Ma'arif,
Riyadh, 2002, hal. 7 et. seqq

[18] Muhammad Nashiruddin al-Albany, Ghyatu'l Marm fi Takhrj Ahdtsi'l Hall wa'l Harm, op.
cit., hal. 23

[19] Ibid., hal. 57

[20] Ahmad Bin Sulaiman Ayyub, Muntaha'l Amny bi Fawid Mushthalah al-Hadts ll al-Albny, op.
cit., hal. 134
63

[21] Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Ghyatu'l Marm fi Takhrj Ahdtsi'l Hall wa'l Harm,,
op. cit., hal. 21 dan lihat juga: Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syarh `Aqdah al-Thahwiyah, Dar
as-Salam dan al-Maktab al-Islamy, Kairo dan Beirut, hal. 28

[22] Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Ghyatu'l Marm fi Takhrj Ahdtsi'l Hall wa'l Harm,op.
cit., hal. 142

[23] Ahmad Bin Sulaiman Ayyub, Muntaha'l Amny bi Fawid Mushthalah al-Hadts ll al-Albny op. cit.,
hal. 289

[24] Ibid., hal. 141

[25] Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syarh `Aqdah at-Thahwiyah, op. cit., hal. 34

[26] Ibid., hal. 21

[27] Dr. Muhammad Mahmud Bakar, Maus'ah `Ulm al-Hadts al-Syarf, op. cit., hal.261

[28] Ahmad Bin Sulaiman Ayyub, Muntaha'l Amny bi Fawid Mushthalah al-Hadts ll al-Albny, op.
cit., hal. 19.

64


Kajian Ilmiah - Perwakilan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir

METODOLOGI IMAM MALIK BIN ANAS DALAM AL-MUWATHTHA'

Oleh:
Muhammad Kastawi


Ftihah

Mempelajari pemikiran orang lain merupakan suatu hal yang sangat membantu
bagi pengembangan dinamika khazanah intelektual, karena olah pikir kita tidak
dapat berangkat dari kekosongan. Menelaah dengan harapan dapat memperoleh
keluasan dalam wawasan ilmu, baik dari sudut materi maupun metodologi
khususnya dalam bidang syariah dan ilmu-ilmu hadits. Selain sebagai salah satu
imam dari empat imam madzhab Fiqh, Malik bin Anas juga dikenal sebagai
seorang muhaddits. Kita mungkin akan bertanya-tanya tentang sistematika
penulisan al-Muwaththa' itu sendiri dan bagaimana Imam Malik menyaring hadits-
hadits yang sampai kepadanya, atau bagaimana dengan keberadaan hadits-hadits
Mursal yang terdapat dalam al-Muwaththa' . Dalam tulisan ini, penulis berusaha
untuk mengupas masalah-masalah tersebut, juga memaparkan sejauh manakah
ushlul madzhab Imam Malik untuk memposisikan dirinya dalam ilmu Fiqh dan
syariat.


Mengenal Lebih Dekat Imam Malik bin Anas (93 -179 H/712 -798 M)

65
Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harits
Al-Ashbahy, adalah seorang Imam Darul Hijrah (limul Madinah), dikenal sebagai
seorang faqh dan imam madzhab Maliki. Nenek moyangnyaAbu Amiradalah
seorang sahabat yang mengikuti seluruh peperangan pada zaman Nabi, kecuali
perang Badar. Sedang kakeknyaMalikdikenal sebagai salah satu kibru al-
tbin dan fuqah kenamaan. Ia juga salah seorang dari empat tbin yang
jenazahnya diusung sendiri oleh Khalifah Utsman ke tempat pemakaman. Ayah
Imam Malik bernama Anas bin Malik, sedangkan ibunya bernama Aliyah binti
Syarik bin Abdur Rahman.[1]

Imam Malik, dilahirkan pada tahun ke-93H, di Dzil Marwah Madinah, setelah
bertahan di dalam rahim ibunya selama tiga tahun. Menurut orang Arab, hal ini
merupakan pertanda bahwa bayi tersebut merupakan keturunan luhur
sebagaimana unta yang dilahirkan lebih lambat dari waktu yang seharusnya, maka
ia akan menjadi unta yang lebih kuat dari yang dilahirkan tepat waktu.[2] Imam
Malik hidup seiring dengan tumbuh suburnya berbagai kelompok Islam seperti:
Mu'tazilah, Syiah, Qadariyah, dsb. Sehingga tak heran jika Imam Malik terpacu
untuk menganalisa validitas hadits-hadits yang ada, karena menjamurnya
penyalahgunaan hadits demi kepentingan madzhab. Imam Malik hidup selama 87
tahun. Beliau hidup pada zaman Umayyah selama 40 tahun dan hidup di zaman
Abbasiyah selama 47 tahun. Beliau sempat mengenali 9 khalifah Umayyah
diantaranya: Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul
Aziz, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul Malik. Ketika khalifah Umar
bin Abdul Aziz meninggal, Imam Malik masih berusia 9 tahun. Sedangkan
khalifah Abbasiyah yang masih sempat ia jumpai ada lima khalifah yaitu: Abu
Abbas Al-Sifah, Abu Jafar Al-Manshur, Al-Mahdy, Al-Hady dan Harun Al-
Rasyid. Beliau meninggal pada masa Harun Al-Rasyid.[3]


Guru-Guru dan Murid-Muridnya

Adalah masjid Nabawy, di mana Imam Malik belajar. Beliau belajar ilmu kurang
lebih dari 900 orang: 300 diantaranya adalah para tbin dan 600 tbi al-tbiin.
Kesemuanya dianggap guru oleh Imam Malik, yang kemudian disebut dengan
astidzah al-zirin.[4] Orang yang pertama kali menjadi gurunya adalah Ibnu
Hurmuz Abdur Rahman bin Hurmuz Al-Araj Abu Dawud Al-Madany seorang
66
tbin, rwy dari Abu Hurairah, Abu Sa'id, Ibnu Abbas, Muawiyah Ibnu Abu
Sufyan dan para sahabat yang lainnya. Ibnu Hurmuz adalah seorang muhaddits
terkenal dan Imam Malik belajar darinya selama 13 tahun. Kemudian beliau
berguru kepada Syaikh Madinah; Rabiah Ar-Rayi Rabiah bin Abu Abdir
Rahman sehingga dari segi metodologi Imam Malik banyak terpengaruh
pemikiran Rabi'ah Ar-Ra'yi. Beliau mengambil hadits secara qirah dari Nafi bin
Abi Nuaim, Ibnu Syihab Az-Zuhry, Ibnu Umar, Zaid bin Aslam dan lain
sebagainya. Dalam usia 20 tahun, Imam Malik sudah menjadi mengajar di masjid
Nabawy. Adapun ulama-ulama yang pernah berguru kepada beliau diantaranya
adalah: Al-Auzaiy, Sufyan Al-Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Ibnul Mubarak, Waki
bin Jarah, Al-Syafiiy, dsb. Sebagai seorang muhaddits yang selalu menghormati dan
menjunjung tinggi hadits Rasulullah Saw., bila hendak memberikan hadits, Imam
Malik selalu berwudhu terlebih dahulu. Kemudian duduk di atas alas shalat
dengan tenang dan tawadhu. Beliau tidak menyukai untuk memberikan hadits
sambil berdiri, di tengah jalan atau tergesa-gesa. Di samping keahliannya dalam
bidang Fiqh, seluruh ulama juga mengakuinya sebagai muhaddits yang tangguh.
Bahkan seluruh warga Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya Sayyid
Fuqahil Hijz.

Imam Bukhari mengatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahhul asnid, adalah
apabila sanad itu terdiri dari Malik, Nafi dan Ibnu Umar.[5] Sebagai seorang
muhaddits yang konsekwen dengan ilmu yang dimilikinya, Imam Malik tidak
pernah melalaikan shalat berjamaah, selalu menjenguk kawan-kawannya yang sakit
atau pun kewajiban-kewajiban lainnya.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang kuat dalam mempertahankan pendapat bila
dianggap benar. Beliau pernah diadukan orang kepada khalifah Jafar bin
Sulaiman, paman Jafar Al-Manshury dengan tuduhan tidak menyetujui
pembaiatan khalifah. Menurut Ibnul Jauzy, Imam Malik disiksa dengan 70 kali
cambukan sampai ruas lengannya sebelah atas bergeser dari persendian
pundaknya. Siksaan ini dilakukan karena fatwanya tidak sesuai dengan kehendak
Khalifah.[6] Akibat dari penyiksaan ini, namanya bukan menjadi pudar, akan
tetapi bertambah harum, di kalangan para ulama. Imam Malik juga mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi di kalangan orang-orang pemerintahan, khalifah dan
para raja. Bahkan sampai khalifah Harun Al-Rasyid pun belajar darinya bersama
dengan murid-murid yang lainnya. Beliau wafat pada hari Ahad, tangal 14 Rabiul
67
Awal tahun 179 H di Madinah dan disemayamkan di Baqi dengan meninggalkan
tiga putra: Yahya, Muhammad dan Hammad serta 1 putri: Fathimah.


Ushl Imam Malik

Al-Syahristani dalam Milal wa Nihal-nya mengatakan, bahwasannya berbagai
permasalahan dalam hal ibadah dan muamalah tidak akan pernah berakhir.
Karena berbagai masalah selalu muncul, yang mana hal ini tidak disebutkan
dalam nash atau belum tersurat sebelumnya di dalam al-Sunnah. Sedangkan wahyu
telah berakhir, maka ijtihd dan qiys wajib dilakukan.Setiap imam mempunyai
metode dalam berijtihad, dan mempunyai ushl tersendiri dalam Fiqh-nya walau
pun tidak tertulis. Imam Malik dikenal sebagai ahli hadits dan ahli Fiqh sekaligus.
Beliau juga dikenal dengan hadits mursal-nya dalam mengambil dalil seperti halnya
Abu Hanifah. Karena dalam kitab Muwaththa' terdapat beberapa hadits mursal.[7]

Walaupun ushl Imam Malik bermacam-macam, namun Imam Qarafy
menyimpulkan bahwa ushl madzhab Imam Malik terdiri dari: al-Quran, hadits,
ijm, ijm penduduk Madinah, amal penduduk Madinah, qiys, aqwl al-shahbiy,
mashlahah mursalah, al-urf, al-dah, sadd al-dzari, istishhb dan istihsn. Imam
Syathibi meringkasnya menjadi empat yaitu: al-Kitb, al-Sunnah, Ijm dan al-Ray.
Menurut pemahaman Imam Malik, as-Sunnah meliputi: ijm penduduk Madinah,
amal penduduk Madinah, qiys, aqwl al-shahbiy. Sedangkan Al-Ray meliputi:
mashlahah mursalah, al-urf, al-dah, sadd al-dzari, istishhb dan istihsn. Menurut
Imm Mlik, amal penduduk Madinah lebih kuat posisinya daripada hadits hd;
maka jika ada hadits hd bertentangan dengan amal penduduk Madinah maka ia
mengedepankan amal penduduk Madinah.[8] Akan tetapi beberapa ulama dari
madzab yang lain tidak sependapat dengan Imam Malik, di antarnya adalah Imam
Syafii, kemudian disusul oleh Ibnu Hazm yang mengkritik Imam Malik dalam
pengambilan amal penduduk Madinah sebagai hujjah.[9]


Imam Malik Sebagai Seorang Muhaddits

Menurut ulama hadits, Imam Malik berada pada tingkat ketiga dalam pembukuan
hadits. Syaikh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Syarh l Alfiyatul Mushthalah lil
68
Irqiy berkata: Yang pertama kali membukukan hadits adalah Ibnu Jarij di
Makkah, kemudian kitab Mamar Ibnu Rasyid al-Yamani, kemudian Al-
Muwaththa.[10]

Imam Malik dikenal gigih dalam mengumpulkan hadits tsiqqah. dalam
penguraiannya Imam Malik mengambil Hadits yang paling kecil syubhat-nya dan
tidak dihitung dalam al-jarh wa tadl. Tetapi jika dilihat hadits itu mengandung jarh,
maka ia pun meninggalkannya. Tidak ada perantara antara beliau dengan shahbiy
kecuali satu atau dua orang yaitu shhibu al-silsilah al-dzahabiyyah, yang terdiri dari:
Malik dari Nafi dari Ibnu Umar.[11]

_-`-= _,=, = =''- = _'- = ---= - -= ,- - _'- -
,'= '- ': )`- ='-=' .--- `- --' _--- ,-= =).

Hadits di atas adalah salah satu contoh al-silsilah al-dzahabiyyah yang akan kita
temui dalam kitab Al-Muwaththa.[12] Sebagai muhaddits, Imam Malik banyak
terpengaruh dengan Ibnu Syihab Az-Zuhry. Oleh karena itu Imam Malik tidak
mengumpulkan hadits kecuali sedikit dengan alasan tidak akan mengumpulkan
hadits, kecuali hadits shahh. Ibnu Abu Hatim berkata kepada Ibnu Muin: Jumlah
hadits Imam Malik sangat sedikit sekali, tapi banyak keistimewaannya.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik hafal sebanyak seratus ribu hadits. Sembilan
puluh ribu di antaranya mengandung cacat, hingga yang tersisa adalah sepuluh
ribu hadits; sebagiannya lupa dan yang tersisa enam ratus hadits shahh.


Kitab al-Muwaththa'

Karya beliau yang sangat gemilang, dalam bidang ilmu Hadits, kitab al-
Muwaththa, di samping karya-karya lainnya seperti al-Jam fil Fiqh wa al-Ahkm,
Rislah fil Qadar, Al-Sirr dan Rislah fil Aqdhiyah. Al-Muwaththa adalah kitab
pertama yang mencakup fiqh, atsr dan hadts, serta menjadi marja utama di
zamannya. Kitab al-Muwaththa juga menjadi pembuka jalan bagi para ulama
sesudah Imam Malik untuk mengumpulkan hadits serta menganalisanya. Kitab
tersebut baru selesai dituliskan setelah memakan kurang lebih 40 tahun.

69
Al-Muwaththa dalam bahasa Arab berarti al-muzhallal, al-Mumahhad dan al-
Munaqqah, yang memiliki makna mudah untuk mencapainya atau tidak ada
halangan bagi orang untuk memahaminya.[13] Kitab tersebut ditulis pada tahun
144 H atas anjuran Khalifah Jafar Al-Manshur, sewaktu berjumpa saat
menunaikan ibadah haji. Yaitu untuk menghindari perbedaan; kerasnya Ibnu
Umar dan rukhshah Ibnu Abbas serta untuk menyatukan berbagai pendapat di
kalangan umat dalam satu kitab.

Diriwayatkan bahwa Imam Malik berkata kepada Khalifah Jafar Al-Manshur:
Baginda tidak berhak untuk menyatukan manusia dengan satu buku dan
menyalahkan atau membenarkannya, karena kebenaran berasal dari Rasulullah
Saw. Sedangkan para sahabat telah berpencar ke berbagai negara dan setiap
penduduk dari negara tersebut mengikuti madzab yang dibawa oleh para sahabat
tersebut yang mereka tetapkan sebagai madzhab yang sah untuk diikuti.[14]

Di antara para ulama yang men-syarh al-Muwaththa adalah: Abdul Barr Yusuf bin
Abdillah Al-Qurthuby wafat 463 H, dalam buku At-Tamhd lim f al-Muwaththa
minal maniy wa al-asnd, Abul Walid Sulaiman dalam buku Al-Mauib, Al-Zarqani
dan Al-Dahlawi dalam Al-Musawwa. Di samping itu, banyak juga ulama yang
menyusun biografi ruwat Imam Malik dan men-syarh lafadz-lafadz gharb. Seperti
al-Qadhi Iyadh dengan kitabnya Tartbul Madrik, Ibnu Farh dengan al-Dbj al-
Muhadzdzab, Syaikh al-Zawawi dengan kitabnya Manqib Mlik dan Imam Suyuthi
dengan kitabnya Tazynul Mamlik f Manqib al-Imm Mlik.


Ruwt dalam al-Muwaththa

Al-Qadhi Iyadh menyebutkan bahwa perawi al-Muwaththa berjumlah sekitar
enam puluh orang. Sedangkan riwayat Muwaththa yang tersebar ada sekitar tiga
puluh naskah dan yang paling terkenal di antaranya: al-Muwaththa Yahya bin
Yahya bin Katsir al-Laitsi, al-Muwaththa Ibnu Bukair Yahya bin Abdillah bin
Bukair, wafat 231 H al-Muwaththa Mushab Abu Mushab Ahmad bin Abi
Bakar Al-Zuhri, al-Muwaththa Ibnu Wahhab dan al-Muwaththa Imam
Muhammad bin al-Hasan. Ke semua naskah al-Muwaththa ini berbeda satu sama
lain; ada beberapa kitab dan bab yang didahulukan dan ada juga yang diakhirkan,
ada yang lebih dan ada juga yang kurang. Ini semua disebabkan oleh tenggang
70
waktu antara saat periwayatannya dan masa hidup Imam Malik. Dengan demikian
terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam setiap
naskah. Al-Muwaththa Imam Muhammad bin al-Hasan Al-Syaibani adalah
naskah al-Muwaththa yang paling terkenal. Tersebar di al-Haramain dan India.
Al-Muwaththa versi ini terdiri dari hadits-hadits marfah, tsar mauqfah dari
sahabat dan tbin, musnad, mursal dan munqathi yang keseluruhannya berjumlah
1180; dengan perincian 1005 berasal dari Imam Malik, 13 dari Abu Hanifah, 4 dari
Abu Yusuf, dan sisanya dari ulama-ulama yang lain. Khalifah Harun Al-Rasyid
juga merupakan salah seorang perawi al-Muwaththa. Abu Bakar al-Abhari
mengatakan, jumlah Hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa baik itu berupa
tsar dari Nabi, sahabat maupun tbin berjumlah 1720 dengan perincian
sebagai berikut: 600 buah musnad, sebanyak 222 buah mursal, 613 buah mauqf dan
285 buah maqth.[15]


Jumlah Kitab, Bab dan Hadist dalam al-Muwaththa

Muhammad Fuad Abdul Baqimuhaqqq al-Muwaththamenyebutkan bahwa
jumlah kitab yang ada dalam Muwaththa adalah 61 kitab yang meliputi 703 bab.
Abdul Baqi memberi nomor untuk setiap hadits secara berurutan, kemudian
setiap kitab diklasifikasikan dan memberi nomor di setiap haditsnya.Setiap ulama
akan berbeda pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan periwayatan, ada yang lebih dan ada juga yang
kurang.[16]


Guru Imam Malik dalam Penyusunan al-Muwaththa

Guru Imam Malik lebih dari 1000 rijl al-tsiqt, tetapi sebagaimana tertulis dalam
al-Muwaththa Imam Malik meriwayatkan dari 95 orang. Hal ini senada dengan
yang diungkapkan oleh al-Hafidz Abu al-Hasan Ali bin Umar al-Daruquthni
dalam bukunya Ahdts al-Muwaththa. Imam Suyuthi dalam kitabnya Tazyn al-
Mamlik menyebutkan bahwa Imam Malik meriwayatkan hadits dari Imam al-
Zuhry sebanyak 180 hadits dengan perincian: 95 muttafaq alaih dan 13 di antaranya
mukhtalaf fh. Dari Nafi, Imam Malik meriwayatkan 85 hadits: 75 muttafaq alaih dan
71
10 sisanya mukhtalaf fh. Dari Abdullah bin Dinar meriwayatkan 31 Hadits: 5
diantaranya mukhtalaf fh.[17]


Metode Kodifikasi Hadits Versi Imam Malik

Perhatian kaum Muslimin terhadap hadits adalah imbas dari posisi hadits itu
sendiri dalam Islam. Karenanya dapat dimengerti bahwa sejak zaman Nabi Saw.
di samping penjagaan Al-Qur'an hadits pun diperlakukan secara istimewa
oleh para sahabat, juga generasi-generasi berikutnya. Di masa Nabi Saw., para
sahabat sedikit pun tidak pernah ragu dalam menunaikan seruan-seruan beliau,
karena mereka menyakini bahwa beliaulah satu-satunya hamba yang mempunyai
wewenang untuk menerjemah instruksi-instruksi Allah Swt. ke dalam amalan
praktis. Namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi penyelewengan terhadap
penafsiran hadits-hadits Nabi, karena kepentingan individu atau golongan. Oleh
karena itu para tbin melakukan berbagai usaha untuk menjaga keotentikan hadits
dan memerangi orang-orang yang sesat. Salah satu usaha yang dilakukan para
tbin adalah menyeleksi hadits dengan hati-hati dari sisi periwayatannya. Mereka
yakin bahwa hadits Nabi adalah bagian dari agama. Maka semua orang harus
waspada dari siapa agamanya itu diambil, sebagaimana yang dikatakan
Muhammad bin Sirin: Ilmu ini (hadits) adalah bagian dari agama, maka waspadalah dari
siapa kamu mengambil agamamu. Beliau juga berkata: Para tbin sebelumnya tidak
pernah bertanya tentang isndul hadts, akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka mengatakan:
Sebutkanlah nama-nama perawi hadits yang kamu terima. Mereka akan melihat, jika
hadits itu bersumber dari ahli sunnah maka diambilnya, dan jika berasal dari ahli bidah,
maka mereka akan menolaknya.[18]

Kodifikasi hadits menurut Imam Malik harus didukung dengan berbagai hal,
diantaranya:
1. Kejelasan biografi imam-imam hadits;
2. Adanya syarat yang ketat dalam menerima dan menolak suatu riwayat hadits,
yang meliputi:
a. Kesinambungan sanad (ittishl al-sanad);
b. Perawi-perawi hadits ini haruslah orang yang terjamin keadilannya (al-
'adl). Adil berarti memiliki sifat terpuji, wara dan muruah (menjaga
kehormatannya) menurut pandangan umum. Di antara kriteria adil
72
adalah: muslim, baligh, berakal, tidak melakukan dosa besar, sering
melakukan amalan sunah, dll. Hal ini tidak hanya terbatas kepada kaum
lelaki saja, tetapi mencakup siapa saja yang memiliki sifat tersebut;
c. Dhbith, dibagi menjadi dua: pertama, dhbith shadran yaitu kuatnya
ingatan dan hafalan seseorang, sehingga ia dapat mengulangi hafalan
haditsnya kapan dan di mana saja saat dibutuhkan; kedua, dhbith kitaban
yaitu terjaganya hadits pada tulisan seseorang dari sejak ia
mendapatkannya hingga periwayatannya kepada orang lain dan tidak ada
kerusakan atau perubahan yang mempengaruhi esensi dan validitas hadits
yang diriwayatkan.
d. Matan hadits tidak ada yang cacat, yang bisa menyebabkannya ditolak,
atau hadits ini tidak sydz atau menyalahi riwayat yang terpercaya atau yang
lebih terpercaya.
3. Dukungan perangkat analisa antara lain ilmu al-jarh wa tadl, ilmu rijlul hadts,
ilmu gharbul hadits, dan ilmu Nsikh wal Manskh fil hadts. Dalam hal ini Imam
Malik pernah berkata: Ilmu itu tidak diambil dari empat orang, yaitu: orang yang jahil,
orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak kepada perkara bidah, pembohong yang
selalu berbohong jika berbicara dengan sesamanya, jika tidak ingin dicap sebagai pembohong
terhadap hadits Nabi, juga tidak diambil dari Syaikh yang memiliki banyak kelebihan dan
ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dibawa dan yang bicarakannya.[19] Dari sini
dapat kita ketahui bahwa Imam Malik adalah ulama yang sangat memperhatikan
kodifikasi hadits baik itu dari segi riwyah maupun diryah.


Sistematika Imam Malik dalam Penulisan al-Muwaththa

1. Di antara tradisi Imam Malik dalam menuliskan al-Muwaththa adalah: dalam
muqaddimah judul, ia menyebutkan hadits-hadits yang datang dari Rasululullah dan
juga tsar yang berasal dari para sahabat dan tbin. Selain itu salah satu syarat
perawi adalah harus dari penduduk Madinah, karena Imam Malik sendiri tidak
pernah keluar dari kota Madinah.

2. Terkadang dalam Kitab al-Muwaththa disebutkan amal penduduk Madinah dan
perkara-perkara sosial yang berlaku di kota Madinah.

73
3. Selain itu Imam Malik kadang-kadang menyertai suatu hadits dengan penafsiran
beberapa kalimat, ungkapan atau menyertakan keterangan dan tujuan dari
beberapa jumlah kalimat.

4. Ia juga menerapkan sistem penulisan menurut urutan kitab dan bab Fiqh. Setiap
kitab terdiri dari beberapa bab dan setiap bab terdiri beberapa hadits yang sesuai
dengan judul bab tersebut, kemudian disertai dengan tsar sahabat dan tabin.

5. Penyeleksian sanad hadits dengan ketat.

6. Imam Malik menuliskan hadits tentang amal penduduk Madinah ke dalam
beberapa bab, walau hadits itu merupakan hadits hd yang bertentangan dengan
amal ahlu Madinah itu sendiri.[20] Di antara ulama yang memperhatikan hadits
mursal, munqathi dan mudhal yang terdapat dalam al-Muwaththa adalah al-Hafidz
Ibnu Abdul Barr. Abdul Barr mengatakan bahwa semua hadits yang mengandung
lafadz _--- dan Q- --- dan tidak disertakan sanad-nya berjumlah 61
hadits. Dari 61 Hadits ini, ada empat hadist yang tidak diketahui sanad-nya,
yaitu:[21]
- _-`-= = =''- :- '- : ,- - _'- - ,'= '- ' : (_- `
_-- ' _-- -`) [22]- ,- - _'- - ,'= '- ': (
'-= '-' '- '-'- - - =' -' '-=-'-- -- ` ,'-, -
.-' .`- -' _'- ,= _ ,= -' -'==' - ',' --')
[23]
- _-`-=
= =''-, '- - .-= ': =' '- _-'- - ,- - _' - ,'= '-
,= -- '= _ ' ': ( -= =-'= '-'')
[24]
- ' ,- -
_'- - ,'= '-:( '-- ,=-" -'=-'" ` --'-- ='- ,=
-,-= " ,` '-'")[25]

Para ulama hadits sendiri membela keempat hadits tersebut dan menyatakan
bahwasanya makna dari hadits tersebut benar adanya. Ini dapat dibuktikan dalam
beberapa buku-buku hadits. Akan tetapi Syaikh Al-Syinqithi dalam bukunya yang
berjudul Idhaatul al-Hlik mengambil pendapat Ibnu Shalah dengan memberikan
sanad terhadap keempat hadits di atas. Imam Al-Suyuthi menyatakan bahwa semua
isi al-Muwaththa shahh dengan tanpa pengecualian. Karena al-Muwaththa terdiri
dari beberapa hadits mursal yang dapat dijadikan hujjah menurut Imam Malik
dalam madzabnya tanpa syarat tertentu, demikian juga halnya telah disepakati
74
oleh ulama dari beberapa madzhab lain. Sedangkan Ibnu Hazm menyatakan
bahwa dalam al-Muwaththa terdapat beberapa hadits dhaf karena beberapa
ulama men-dhaf-kan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hazm menemukan sekitar 500
hadits musnad dan sekitar 103 hadits mursal.


Kedudukan al-Muwaththa dalam Kutubul Ahdts

Dari uraian di atas akan terlihat bahwa para ulama yang lebih mengistimewakan
al-Muwaththa dari kitab Shahhain bisa dikatakan sangat berlebihan. Di antara
mereka adalah Ibnu al-Araby. Adapun Imam Syafii mengatakan, bahwa al-
Muwaththa adalah ashahhul kutub setelah al-Quran, dengan alasan Shahh Bukhriy
dan Shahh Muslim belum ada. Sedangkan Ibnu al-Atsir (wafat 606H) dalam
bukunya Jmi al-Ushl min Ahdts al-Rasl mengatakan bahwa al-Muwaththa
menempati posisi keenam kutub al-sittah menggantikan Sunan Ibnu Majah. Namun
banyak ahli hadits yang tidak sependapat dengan hal ini.

Sedangkan Ibnu Shalah dan beberapa ulama lainnya menempatkan al-Muwaththa
pada posisi ketiga setelah Shahh Bukhriy dan Shahh Muslim. Akan tetapi sebagian
ulama berpendapat lain, yaitu bahwa al-Muwaththa tidak termasuk dalam kutub al-
shahhh, sebab di dalamnya terdapat hadist mursal, balght dan munqathi, serta
ditambah dengan keberadaan pendapat-pendapat Imam Malik atau pun beberapa
permasalahan Fiqh.[26]


Imam Malik dan Syubht Sekitar al-Muwaththa

Tidak ada perdebatan di kalangan para ulama bahwa al-Muwaththa merupakan
kitab pertama hasil kodifikasi hadits. Akan tetapi kaum orientalis tak pernah
berhenti untuk menyelewengkan sejarah Islam. Hingga muncul anggapan bahwa
al-Muwaththa adalah kitab Fiqh dan bukan kitab hadits. Bahkan diantara ulama
Muslim sendiri pun ada yang mengatakan hal ini. Salah satunya adalah Ali Hasan
Abdul Qadir dalam bukunya Nadhrah mmah f Trkhil Fiqhil Islmiy
melontarkan beberapa syubhat atau keraguan kepada umat Islam yaitu bahwa al-
Muwaththa adalah kitab Fiqh dan bukan kitab Hadits. Beliau juga mengatakan
Imam Malik bukanlah seorang muhaddits.[27]
75

Jika al-Muwaththa dikelompokkan pada Majmu Zaid, maka ia berhak diberi label
kitab Fiqh pertama yang sampai kepada kita, hingga tidak bisa dikatakan sebagai
kitab hadits. Dengan demikian, al-Muwaththa dan pengarangnya sama sekali tak
mempunyai tempat yang layak dalam agama Islam. Jika seandainya Imam Malik
adalah seorang muhaddits, tentu ia akan menyampaikan kepada kita semua hadits
yang ada dan bukan mencampuradukkan dengan berbagai fatwa ulama. Dari sini
terlihat bahwa Imam Malik tidak menguasai seluruh hadits. Musthafa al-Shibai
dalam bukunya Al-Sunnah wa Maknatuha fil Tasyr al-Islmiy memberikan
beberapa jawaban atas syubhat ini:

1. Orang yang mengatakan bahwa Imam Malik bukanlah seorang muhaddits berarti
ia telah menyalahi kebenaran. Karena Imam Malik dikenal oleh semua ulama akan
usahanya dalam pengumpulan hadits. Bahkan ia juga mengajarkan hadits-hadits
dan dianggap sebagai kibrul muhadditsn. Selain itu, seseorang tidak akan menjadi
faqh sebelum menjadi muhaddits. Sebab keduanya saling berkaitan. Maka tidak ada
larangan untuk menggabungkan dua hal yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya, yaitu: pemahaman dan hafalan. Sedangkan mengapa ada hadits mursal
dan munqathi dalam buku Imam Malik, bisa dijawab karena dalam madzhabnya
hadits mursal boleh dijadikan dalil. Adapun sebab tidak ditulisnya beberapa sanad
di sana adalah karena perawinya merupakan para sahabat yang dikenal dengan ke-
adlah-annya; dan hal itu sudah dimaklumi pada zamannya. Maka tidak benar
kalau Imam Malik, tidak memperhatikan sanad hadits. Sebab, Imam Malik sendiri
tidak akan meriwayatkan hadits kecuali yang berasal dari orang-orang tsiqqah,
sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan ibn Tsauri.

2. Sedangkan syubhat yang mengatakan bahwa al-Muwaththa bukanlah kitab
hadits melainkan kitab Fiqh, menurut banyak ulama adalah tidak benar
sebagaimana yang dikemukakan oleh banyak ulama dari berbagai madzhab yang
ada. Contohnya: Muhamamad ibn Hasan ulama mazdab Hanafi ia
meriwayatkan hadits dari Imam Malik, begitu pula al-Auzai, Imam Syafi'i, dll. Jika
seandainya al-Muwaththa adalah kitab Fiqh, maka tidak mungkin semua madzhab
itu mendukung penuh dengan mengambil hadits dari Imam Malik.[28]


Penerimaan Hadits Mursal
76

Imam Malik menerima hadits mursal dan balght karena sejalan dengan apa yang
telah berlaku pada mayoritas ulama kala itu, seperti: Hasan al-Bashry, Sufyan bin
Uyyainah dan Abu Hanifah. Salah satu contoh hadits mursal yang ada dalam kitab
tersebut adalah Riwayat Nabi dengan ahli Khaibar, Imam Malik berkata: dari
Ibnu Syihab, dari Sa'id bin Musayyab, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda
kepada Yahudi Khaibar ketika hari penaklukan Khaibar: Aku membebaskan kalian
di tanah Khaibar ini, sebagaimana Allah telah memberi kebebasan kepada kalian sebelumnya,
akan tetapi buah-buahan ini menjadi milik kami dan kalian.[29]

Di sini Imam Malik menyandarkan haditsnya kepada Sa'id ibnu Musayyab seorang
tbin yang terkenal dengan ke-adlah-annya. Dengan demikian Imam Malik tidak
menerima hadits mursal secara mutlak tetapi menentukan syarat-syarat tertentu.
Seluruh sahabat diakui kedil-annya karena mereka mendapat kehormatan dari
Allah Swt. untuk menemani Nabi dalam berjuang, berjihad dalam membawa dan
menyebarkan risalah Islam. Mereka bersabar atas penderitan dan siksaan kaum
kafir atau musyrik. Juga karena mereka berhijrah meninggalkan kampung
halaman, harta benda serta anak istri demi mengikuti serta menolong Nabi Saw.


Khtimah

Inilah deskripsi singkat seputar Imam Malik dan al-Muwaththa. Keistimewaannya
adalah bisa menyatukan gelar muhaddits dan faqh sekaligus.

Dari uraian di atas, kita akan mengetahui dalam pengambilan dan pengamalan
hukum-hukum Islam bagi seorang pakar hukum (mujtahid) atau pun seorang
muqallid tidak akan bisa lepas dari pendapat imam madzhab atau imam lainnya.
Salah satu usaha dalam pembaharuan dan pembuktian bahwa syariat Islam itu
berdimensi luas, yaitu dengan metodologi studi komparatif antar madzhab;
tentang perbedaan persepsi mereka dalam menginterpretasikan sumber-sumber
ajaran Islam. Berbeda pendapat merupakan fitrah dan tabiat manusia. Maka yang
terpenting bagi seorang muslim adalah bagaimana menyikapi perbedaan tersebut
hingga menjadi rahmat, bukan menjadi petaka. Pemahaman etika dasar seorang
Muslim dalam menyikapi perbedaan pendapat juga merupakan unsur yang urgen
77
bagi nilai ikhtilf. Sehingga dari pemahaman yang benar didapat manfaat yang
nyata.

Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Al-Shahwah al-Islmiyah baina al-Ikhtilf wa al-
Masyru wa al-Tafarruq al-Madzmm mensinyalir beberapa etika dasar dalam berbeda
pendapat, di antaranya: pertama, ikhlas karena Allah dan menjauhkan diri dari hawa
nafsu; kedua, tidak fanatik terhadap seorang ulama, kelompok atau madzab; ketiga,
berprasangka baik terhadap orang lain; keempat, tidak menyakiti orang yang
berbeda pendapat dengan kita; kelima, menghindari riya' (mengharap pujian) dan
permusuhan; keenam, berdialog dengan baik.[30] Terakhir, penulis sendiri
menyadari banyak kekurangan dalam menggali khazanah-kazhanah Islam. Semoga
dengan hadirnya tulisan ini dapat memotivasi pribadi penulis dan khalayak untuk
lebih giat membaca, menghayati dan menuliskannya. Semoga keinginan untuk
berbenah diri selalu hadir. WalLahu alam bi al-shawb.


Daftar Pustaka

Athiyyah, Izzat, Mausah Ulm al-Hadts al-Syarf, al-Majlis al-Ala li al-Syun al-Islmiyyah,
Kairo, cet. I, 2003.

Al-Daqur, Abdul Ghani, al-Imm Mlik ibnu Anas Imm Dru'l Hijrah, Darul Qalam, Damaskus,
1998

Al-Khauliy, Amin, Mlik Tajrib al- Hayt, al-Muassasah al-Misriyah al-Ammah

Al-Qardhawi, Yusuf, al-Shahwah al-Islmiyyah baina al-Ikhtilf wa al-Masyru wa al-Tafarruq al-
Madzmm, Dar al-Shahwah, Kairo, cet.V, 1994

Al-Shibai, Musthafa, Al-Sunnah wa Maknatuha f al-Tasyr al- Islmiy, Darussalam, Kairo, cet. II,
2003.

Al-Sisi, Muhammad, Hilal, Mahmud, al-Dhiy al-Mubn f Manhijil Muhadditsn, Kairo, cet. II,
1994,

Bin Anas, Malik, al-Muwaththa Riwyah Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibniy, direvisi dan
dikomentari oleh Abdul Wahab Abdul Lathif, al-Majlis al-Ala li al-Syun al-Islmiyyah, Kairo,
2001, cet. VII

78
------------ --------al-Muwaththa, direvisi dan dikomentari oleh Mahmud bin Jamil, Maktabah Shafa,
Kairo, cet. I, 2001

------------ --------al-Muwaththa, direvisi dan dikomentari oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Darul
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, Kairo, 1951

Rahman, Fatchur, Ikhtishr Mushthalahu'l-Hadts, al-Ma'arif, Bandung, 1987

Zahrah, Abu, Muhammad, Mlik; Haytuhu wa Ashruhu wa Rayuhu wa Fiqhuhu, Darul Fikr al-
Arabi


Catatan Kaki

[1] Amin al-Khauliy, Mlik Tajrib al- Hayt, al-Muassasah al-Misriyah al-Ammah, hal. 47

[2] Ibid., hal. 57

[3] Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imm Mlik ibnu Anas Imm Dru'l Hijrah, Darul Qalam, Damaskus,
1998, hal. 15

[4] Amin Al-Khauliy, Mlik Tajrib al- Hayt, op.cit., hal. 47

[5] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishr Mushthalahu'l-Hadts, al-Ma'arif, Bandung, 1987, hal. 321

[6] Di sini ada beberapa riwayat yang menyatakan sebab mengapa Imam Malik dicambuk: pertama,
Imam Malik berfatwa tentang pengharaman nikah Mutah, hal ini bertentangan dengan apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas kakek Jafar al-Manshur yang membolehkan nikah Mutah, tetapi ini
bukan sebab yang kuat; kedua, Imam Malik melebihkan Ustman bin Affan dari Ali bin Abi Thalib,
lalu Alawiyah menfitnahnya saat Jafar menjadi khalifah, tapi ini juga bukan penyebab yang kuat,
karena saat kejadian itu Alawiyah sangat membenci Ja'far al-Manshur dan tidak menyetujui
pembaiatan ini; ketiga, karena beliau mengemukakan hadits Rasulullah yang berbunyi: "" ,'
_'= ---- ,-, sehingga menyebabkan Alawiyah tak menyetujui pembaiatan Khalifah Jafar
al-Manshur dengan dalih bahwa kekuasannya didapat secara paksa. Lihat: Dr. Ahmad Abdu'l
Mughni, al-Bahtsu'l Fiqhiy, Jamiatul Azhar, Kairo, 2003, hal. 163

[7] Musthafa al-Shibai, Al-Sunnah wa Maknatuha f al-Tasyr al- Islmiy, Darussalam, Kairo, cet. II,
2003, hal. 387

[8] Hadits hd adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawtir. Akan tetapi hadits hd ini
yfdu al-zhann bukan yfdul ilm. Sedangkan amal penduduk Madinah termasuk bab Ijm ahlil
Madnah dari sahabat dan tbin, maupun fatwa-fatwa dari perkataan para sahabat dan tbin dari
ahli Madinah. Permasalahan amal penduduk Madinah berkisar kurang lebih sekitar 37
79
permasalahan, seperti: tidak menyaringkan bacaan basmalah dalam shalat, ijma adzan sebelum
shalat fajar, ijma tidak adanya zakat atas sayur-sayuran dll. Salah satu contoh hadits hd yang
bertentangan dengan amal penduduk Madinah adalah: bacaan Makmum di belakang Imam yang
sedang menyaringkan bacaannya. Imam Malik mengatakan: Pendapat kami dalam masalah ini
adalah seorang makmum boleh membaca al-Fatihah ketika Imam tidak menyaringkan bacaannya,
tapi ketika imam menyaringkan bacaannya, maka makmum tidak boleh membaca sesuatu. Imam
Malik menguatkannya dengan amal penduduk Madinah: Ibnu Abdul Barr mengatakan, seorang
makmum tidak boleh membaca sesuatu dibelakang imam, ketika imam menyaringkan bacaannya.
Ini sesuai dengan amal penduduk Madinah, hal ini dikuatkan oleh Ibnu al-Arabi dalam bukunya:
ahkmul Qurn. Hadits hd yang bertentangan dengan amal penduduk Madinah di antaranya
adalah hadits masyhr: Tidak sah shalat seseorang tanpa membaca al-Ftihah (HR. Bukhari, kitab
Adzan, bab Wajib membaca al-Fatihah bagi makmum di setiap shalatnya baik itu dalam keadaan
mukim atau dalam perjalanan). Imam Nawawi mengatakan, ini berlaku bagi setiap orang yang
melakukan shalat, tanpa pengecualian termasuk makmum. Hal ini bertentangan dengan al-Quran
dan hadits-hadits lainnya. Dalam al-Quran Allah berfirman: Dan apabila dibacakan Al Qur'an,
maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (
QS. al-Araf: 204) Ibnu Abdul Barr mengatakan bahwa ayat ini juga mencakup ketika dalam
keadaan shalat. Lalu pendapat ini dikuatkan dengan hadits Nabi yang berbunyi: Jika kalian hendak
shalat maka luruskanlah shaf kalian, kemuidan salah satu diantara kalian menjadi imam, jika imam
bertakbir bertakbirlah kalian, apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik. (HR.
Abu Daud kitab Shalat, bab Tasyahud: 1/255-256). Lihat: Hasan bin Muhammad Husain
Palimbani, Khabarul hd idz Khlafa amal ahlil Madnah Dirsatan wa Tathbqan, Darul Buhust li
al-Dirasat al-Islamiyyah, Dubai, cet. II, 2002, hal. 34, 58 dan 207

[9] Lihat: Musthafa al-Shibai, Al-Sunnah wa Maknatuha f al-Tasyr al- Islmiy, op.cit., hal. 387

[10] Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imm Mlik ibnu Anas Imm Dru'l Hijrah, op.cit., hal. 57

[11] Ibid., hal. 60

[12] Malik bin Anas, al-Muwaththa, direvisi dan dikomentari oleh Mahmud bin Jamil, Maktabah
Shafa, Kairo, cet. I, 2001, hal 87

[13] Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imm Mlik ibnu Anas Imm Dru'l Hijrah, op. cit., hal.103

[14] Malik bin Anas, al-Muwaththa Riwyah Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibniy, direvisi dan
dikomentari oleh Abdul Wahab Abdul Lathif, al-Majlis al-Ala li al-Syun al-Islmiyyah, Kairo,
2001, cet. VII, hal. 14

[15] Musthafa al-Shibai, Al-Sunnah wa Maknatuha f al-Tasyr al- Islmiy, op. cit., hal. 390

[16] Izzat Athiyyah, Mausah Ulm al-Hadts al-Syarf, al-Majlis al-Ala li al-Syun al-Islmiyyah,
Kairo, cet. I, 2003. hal. 858
80

[17] Lihat: Abdul Ghani Al-Daqur, al-Imm Mlik ibnu Anas Imm Dru'l Hijrah, op. cit., hal. 116

[18] Izzat Athiyyah, Mausah Ulm al-Hadts al-Syarf, op. cit., hal. 847

[19] Muhammad Abu Zahrah, Mlik; Haytuh wa Ashruh wa Rayuhu wa Fiqhuhu, Darul Fikr al-
Arabi, hal. 188

[20] Mahmud Hilal Muhammad Al-Sisi, al-Dhiy al-Mubn f Manhijil Muhadditsn, Kairo, cet. II,
1994, hal. 206

[21] Izzat Athiyyah, Mausah Ulm al-Hadts al-Syarf, op. cit., hal. 857

[22] Malik bin Anas, al-Muwaththa, direvisi dan dikomentari oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, Kairo, 1951, hal.107

[23] Ibid., hal. 273

[24] Ibid., hal. 706

[25] Ibid., hal. 176

[26] Izzat Athiyyah, Mausah Ulm al-Hadts al-Syarf, op. cit., hal. 859

[27] Musthafa al-Shibai, Al-Sunnah wa Maknatuha f al-Tasyr al- Islmiy, op.cit., hal. 391

[28] Ibid., hal. 393

[29] Muhammad Abu Zahrah, Mlik; Haytuh wa Ashruh wa Rayuhu wa Fiqhuhu, op. cit., hal. 245

[30] Yusuf al-Qardhawi, al-Shahwah al-Islmiyyah bain al-Ikhtilf wa al-Masyru wa al-Tafarruq al-
Madzmm, Dar al-Shahwah, Kairo, cet.V, 1994, hal.189.

81


SANGGAHAN ATAS KERAGUAN TERHADAP OTENTISITAS HADIS

Oleh:
Ainul Yaqin

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Quran. Keberadaan al-
Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-
Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus
menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-
Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu
sendiri.

Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat
berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik
dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan
al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-
Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang
relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi
al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-
Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang
relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai
spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.

Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran
82
tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap
otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische
Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits
pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim
seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham sebagaimana dikutip Mustafa al-
Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits
ini.

Tulisan ini selanjutnya akan membahas berkaitan dengan proses kodifikasi al-
Hadits. Sebuah pertanyaan yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas al-Hadits
patut diragukan mengingat kodifikasi al-Hadits baru dilakukan pada akhir abad
pertama hijriyah? Untuk menjawab pertanyaan ini dalam tulisan ini akan
disinggung tentang keberadaan al-Hadits sebelum masa kodifikasi khususnya
berkaitan dengan adanya penulisan al-Hadits sebelum kodifikasi resmi. Selain itu
disingung pula pembahasan tentang adanya larangan penulisan al-Hadits. Tentang
penulisan al-Hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta
gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah
suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event
yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw
adalah al-Hadits.

Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan
al-Hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap
peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah. Para sahabat yang hidup
menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang
mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam
secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat
dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu
merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian
lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.

Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk
menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana
sabdanya; "Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan
dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain). Mungkin
saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih
83
faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang
faqih" (Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321)

Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para
sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang
berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam
bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: Dari Abu Hurairah ra beliau
berkata; "tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan
hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia
mencatat hadits sedangkan aku tidak" (Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal.
32). Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi Juz V,:
hal. 39). Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan
bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan
Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut:
"Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: "Saya menulis setiap yang saya dengar
dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku
dengan berkata; "apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari
Rasulullah saw? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang
berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?", maka
akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw,
maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, "Tulislah! Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah)
kecuali yang hak"" (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II,
hal. 162)

Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-
Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana
pernyataannya: "Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini
kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku
tulis dari Rasulullah saw". (Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)

Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya
shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara
lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada
Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Sa'ad bin Ubaddah. Sekitar
84
larangan penulisan al-Hadits sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan
penulisan al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup.
Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis al-
Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.

Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan
menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagaimana sabdanya: "Bersabda Rasulullah
saw, "tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah"" (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31)

Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang
penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa'id al Khudri "Dari Abu Sa'id
Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian semua
menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah
menghapusnya" " (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12
dan 21)

Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta
penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi
kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya
terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan
hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya
hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat
umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang
kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang
mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat
ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits
bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.

Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang
pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad
Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa
hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat
menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-
nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis
al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.

85
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para
sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar
keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah
bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan
penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada,
maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya
kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa
yang mereka tulis.

Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-
Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar:
"Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah
Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa
kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab
Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu
apapun buat selama-lamanya"

Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan
penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu
naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits
dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa
Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada
dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh
banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan
tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat
khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.


Proses Kodifikasi al-Hadits

Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses
pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal
ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau
merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara
perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh
wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan
86
membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa
sesudahnya.

Abu Na'im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin
Abd al-Aziz mengirimkan pesan "Perhatikan hadits Nabi dan kumpulkan". Al-
Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: "Perhatikanlah apa yang ada
pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan
terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima
selain hadits Nabi saw". (Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29)

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117
H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada 'Amrah binti Abd al-
Rahman bin Sa'd bin Zaharah al-Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq

Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara
lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini
diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang
terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang
paling menonjol di zamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun
memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah
bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-
Hadits).

Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-
Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah
(khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah
berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga
masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis
muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena
baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini
menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam
melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.

Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah
87
sengaja melakukan kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan
terhadap otentisitas al-Hadits. Tetapi amat disayangkan banyak penulis
kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya. Sungguh aneh karya Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht telah ditelan mentah-mentah oleh kelompok liberal
Islam untuk menghantam karya-karya ulama terdahulu tentang hadits.

Dalam bukunya "Studies In Early Hadith Literature" yang diterjemahkan oleh Ali
Musthafa Yaqub dengan judul "Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya" , M M.
Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan
penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad
kedua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer
informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat
hingga masa tabi'in kecil dan tabi'ttabi'in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga
dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang
terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu
Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu'aib bin Muhammad
bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu'aib ini berlanjut ke tangan putra dari
Syu'aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu'aib.

Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab
Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami'
dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikanny a Hadits atas dasar
shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang
disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya
hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa
ta'dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma'il al-Bukhari.


Kesimpulan

Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang
dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata
kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara
berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari
realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi
88
diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak
beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya
larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu
menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga
dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan
al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.


Daftar Kepustakaan

Abu Dawud, al-Imam, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia, tt

Azami, Muhammad Musthafa., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa
Yaqub), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994

Al-Bukhari, al-Imam, Shahih Bukhari, Dar al-Fikr, Bairut, tt

Al-Darimi, Abu Muhammad, Sunan al-Darimi, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1987

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya, 1998

Ibnu Hanbal, al-Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Dar al-Fikr, Bairut, tt

Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (tejemahan Endang Sutari dan Mujio), Penerbit
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994

Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis, Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004

Muslim, al-Imam, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, tt.

al-Siba'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid),
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993

Al-Tirmidzi, al-Imam, Sunan al-Tirmidzi Juz V, Dar al-Fikr, Bairut, tt.

89


PENGANTAR MEMAHAMI METODOLOGI TAKHRIJ ULAMA HADITS

Oleh:
Joko Sumaryono, Lc.

Pengantar

Konsentrasi kajian ulama hadits, baik ulama mutaqaddimn maupun mutaakhirn
seputar sunnah selalu mengarah pada satu titik utama, yaitu otentifikasi hadits.
Untuk mewujudkan hal tersebut, para ulama menerapkan dua pilar utama ilmu
hadits; ar-riwyah dan ad-diryah.

Sejarah mencatat, kodifikasi (at-tadwn) sunnah sampai masa keemasannya pada
abad ke-3 Hijriyah, yang ditandai dengan lahirnya dua masterpiece kitab hadits:
Bukhari dan Muslim juga diikuti dengan perkembangan metodologi ilmu hadits
yang ditandai dengan munculnya kitab al Muhaddits al-fsil baina ar-rwi wal wi
yang ditulis al-Hasan ibn abd-Rahman ibn Khalad atau lebih dikenal dengan al-
Qdh Abu Muhammad ar-Ramharmuz (w.360 H) diikuti oleh beberapa ulama
sampai ada masa Qadhi Iyadh (w.544 H) dengan kitabnya al ilm. Fase ini adalah
fase awal perkembangan ilmu hadits.

Dan sekitar abad ke-6, Abu Amr ibn as-Shalh mengarang kitabnya
Muqaddimah. Kitab ini adalah referensi utama para ulama hadits dalam
90
pengembangan musthlah sampai abad ke-10 hingga muncul buku-buku seperti
al-Bitsul al-Hatsis karangan Ahmad Sykir, Tadrbur Rwy karangan Imam as-
Suythi dan Fathul Mughts karangan as-Sakhwy dan al-Irqy.

Takhrj secara sederhana sebenarnya adalah salah satu disiplin ilmu yang
dikembangkan oleh para muhaddts sejak zaman Rasulullah S.a.w, sahabat,
thabiin sampai setelah kodifikasi sunnah secara sempurna pada abad ke-4
Hijriyah. Takhrj ibarat sebuah alat yang dipergunakan untuk mengetahui, melacak
dan menyeleksi sebuah riwayat.

Setiap fase yang dilaluinya memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan
perkembangan kitab-kitab hadits yang disusun dan diriwayatkan oleh para ulama.
Perbedaan ini akan terlihat jelas dari sejarah petumbuhan dan perkembangannya,
baik takhrj yang dipahami dan dikembangkan oleh ulama mutaqaddimn atau apa
yang didefinisikan oleh ulama mutaakhirn.

Definisi Ilmu Takhrij

Secara etimologi, takhrj berasal dari akar kata ( ) , yang memiliki arti secara
sederhana adalah: keluar, muncul, lahir di samping bisa juga diartikan dengan al-
istinbth atau menggali dan mengeluarkan serta sekian makna yang berbeda sesuai
dengan susunan kata yang dimasuki oleh akar kata ini.

Secara terminologi, sebagaimana yang disimpulkan oleh Dr. Abd Muhd abd
Qdir abd Hd dalam bukunya Thuruq Takhrj dapat dibagi ke dalam tiga definisi
berbeda sesuai dengan masa dan perkembangannya masing-masing. Maka takhrj
menurut beliau adalah:
1. Seorang rawi menyebutkan hadits yang ia riwayatkan dengan silsilah sanadnya
sendiri di dalam kitab yang ia susun. Maka almukharrij di sini sering diistilahkan
dengan zkirul riwyah yang menyusun kitab hadits berdasarkan apa yang telah ia
dengar dari syekh dan seluruh hadits yang ia riwayatkan dan yang ia tulis memiliki
sanad yang ia riwayatkan langsung seperti Bukhari, Muslim, dll. Terkadang penulis
melakukan studi kritik terhadap sanad ataupun matan seperti yang dilakukan oleh
Imam at-Tirmzi dalam as-sunan-nya dan Abu Daud.
2. Takhrj disinonimkan dengan makna Mustakhrj, yaitu ketika seorang rawi
meriwayatkan hadits-hadits yang persis terdapat dalam salah satu kitab hadits yang
91
disusun oleh pengarang lain dengan sanad yang ia miliki sendiri. Silsilah sanad
antara dua rawi yang berbeda ini bertemu dengan salah seorang syekh pada
thabaqat sanad sebelumnya. Sebagai contoh, mustakhraj Abi Iwnah terhadap
kitab Shahh Muslim.
3. Pasca kodifikasi sunnah, ketika seluruh hadits telah tersusun dalam berbagai
kitab, maka takhrj saat ini didefinisikan dengan menyebutkan sumber asli hadits
yang terdapat dalam berbagai kitab yang dikarang dan disusun oleh Ulama hadits
dalam kitab mereka seperti al-jawmi, as-sunan, dan al-masnd. Bahkan imam al-
Munwy berpendapat, bahwa takhrj pada fase ini harus bisa berperan sebagai
standar untuk menilai kekuatan sebuah hadits dari sisi shhih, hasan ataupun
dhaf.

Takhrj selalu mengalami perkembangan makna disetiap fase yang dilaluinya.
Maka standar yang dipahami oleh para ulama berbeda setiap zamannya. Ulama
mutaqaddimin memahami makna takhrj berbeda dengan apa yang dipahami dan
diterapkan oleh ulama mutaakhirin, bahkan ulama hadits kontemporer saat ini.

Ulama mutaqaddimin mamahami takhrj sebagaimana definisi pertama. Walaupun
sebenarnya tidak mutlak demikian. Hal ini terbukti menurut Muhammad abd
Aziz al-Khouly dalam bukunya Trikh funnul hadits bahwa pada masa Imam
Mlik mengarang kitabnya yang spektakuler al-Muwtha, sebenarnya banyak
sekali ulama yang semasa dengan Mlik yang mentakhrij hadits-hadits yang
tedapat dalam al-Muwtha terutama mereka yang mengambil hadits dari syekh
yang sama dengan Imam Mlik.

Sedangkan ulama mutaakhirin, sesuai dengan perkembangan kitab-kitab hadits
yang muncul pada abad ke-3 H dan setelahnya, metodologi takhrj yang mereka
kembangkan persis seperti definisi kedua dan ketiga dari definisi takhrj yang
disebutkan di atas.

Urgensi Takhrij

Secara garis besar, tujuan takhrj dalam kajian dan studi kritis seputar sunnah
dititikberatkan pada dua dimensi pokok, yaitu:

Mengetahui sumber hadits yang tersebar dalam berbagai kitab mutabarah ulama
92
hadits. Jika kita menemukan sebuah hadits dalam berbagai karangan ulama yang
notabene mereka bukan ulama yang spesialis dalam kajian sunnah, maka dengan
takhrj kita bisa melacak di mana letak dan posisi hadits ini sebenarnya.

Di samping itu, tujuan takhrj yang sangat primer juga adalah, melacak kedudukan
dan kekuatan hukum sebuah hadits, apakah termasuk kategori hadits maqbl atau
mardd.

Di samping dua tujuan utama di atas, dengan menggunakan metodologi takhrj
seorang yang intens dengan kajian ini, akan dapat menyelami samudra yang maha
luas sehingga akan menemukan sekian banyak mutiara berharga yang berkaitan
dengan hadits. Secara garis besar, maka keuntungan yang diperoleh dari
metodologi ini adalah:
1. Mengumpulkan sanad-sanad yang sama-sama meriwayatkan sebuah hadits.
Sebab dengan takhrj, dapat dibuktikan bahwa sebuah hadits ternyata diriwayatkan
oleh sekian banyak sanad dan thuruq yang berbeda. Perbedaan sanad ini dapat
membantu meneliti kedudukan sebuah hadits sehingga kita tidak terjebak dengan
mengklaim berdasarkan sebuah hadits saja tanpa meneliti apakah haits ini
diriwayatkan melalui sanad yang lain atau tidak.
2. Dengan takhrj, kita juga mampu mengumpulkan lafazh matan hadits yang
berbeda sembari melakukan kajian perbandingan, terutama dalam memahami
hadits-hadits yang berkaitan dengan satu permasalahan yang sama. Sebab sering
kali kita hanya memahami satu lafazh matan hadits saja, tanpa pernah meneliti
apakah masih ada tambahan lafazh lain atau tidak di dalam riwayat yang lain.

Beberapa Hal Penting Seputar Takhrij

Seringkali bagi pemula dalam memahami takhrj, mengalami kesulitan ketika
dihadapkan pada sebuah hadits. Hal apa yang pertama kali harus dilakukan dan
urutan seperti apa yang ideal dalam mentakhrij.

Sebenarnya tidak ada yang terlalu sulit dalam memulai mentakhrj sebuah hadits
jika kita bisa memahami kaidah umum yang harus diperhatikan dalam mentakhrij.
Di antara beberapa kaidah yang perlu diperhatikan adalah:
1. Urutan takhrj yang ideal adalah menyebutkan perawi hadits, kitab, bab, urutan
kitab (juz) jika ada, halaman, nomor urutan hadits jika ada, kemudian penerbit
93
kitab jika kita mentakhrij satu hadits saja atau tidak dalam jumlah banyak. Namun
jika mentakhrij hadits dalam jumlah besar maka lebih baik menyebutkannya di
akhir pembahasan.
2. Dalam mentakhrij, kita dituntut memberikan informasi sebanyak-banyaknya
seputar hadits yang sedang dibahas. Terutama yang berkaitan dengan hukum
hadits dari segi qabl atau radd ataupun yang berkaitan dengan kedudukan sanad
atau keterangan lengkap untuk menggabungkan (al-jamu) jika terjadi tarud
antara dua hadits.
3. Jika sebuah hadits yang akan kita takhrj tanpa dibatasi oleh perawi (sahabat),
maka kita harus mentakhrij hadits tersebut dari seluruh sahabat yang
meriwayatkannya. Adapun jika sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut sudah
dibatasi, misalnya hadits Ibn Umar, maka kita cukup mentakhrij hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Umar saja. Jika ketika mentakhrij kita menemukan hadits
yang sama, maka itu dinamakan syhid. Namun jika kita cantumkan, itupun lebih
baik.
4. Standar pokok dalam mentakhrij adalah hadits dengan kandungan yang sama
(ashlul hadits), walaupun terdapat perbedaan lafazh yang tidak membedakan
makna hadits tersebut. Ini sering disalahpahami oleh pentakhrij pemula, sehingga
menemukan keraguan jika menemukan sebuah hadits yang ternyata sedikit
berbeda dengan hadits yang sedang ia takhrj. Padahal hal itu tidak berpengaruh
besar.
5. Dalam mentakhrij kita membutuhkan wawasan luas seputar kitab-kitab hadits
dan metodologi ulama di dalamnya sehingga dengan itu kita mampu lebih leluasa
dalam menggunakan beberapa metodologi yang akan digunakan dalam
mentakhrij.

Metodologi Takhrij

Dalam mentakhrij hadits, kita bisa menggunkan sedikitnya lima metode takhrj
sesuai dengan kebutuhan ataun kemampuan serta metode termudah yang dapat
kita tempuh. Jadi urutan metodologi yang dituliskan di sini tidak bersifat hirarkis.
Artinya, kita leluasa menggunakan salah satu metode tersebut.

Metode atau pendekatan yang dapat kita gunakan untuk memulai takhrj adalah:

Dengan menggunakan metode al-istiqra atau tatabbu. Metode ini bisa kita
94
terapkan langsung dengan mencari hadits dalam kitab-kitab sunnah secara manual.
Metode ini tidak membutuhkan informasi banyak seputar hadits baik ar-rwi al-
ala atau tema hadits yang sedang dibahas. Metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri. Namun, metode ini secara khusus dapat melatih malakah
atau dzauq seorang pentakhrij dalam mengenal lebih jauh kitab-kitab sunnah.

Takhrj dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode; mengetahui awal
lafazh hadits, dan setelah itu kita dapat mencarinya dengan menggunakan buku-
buku yang ditulis oleh ulama hadits yang mengumpulkan hadits mereka dengan
menulis awal lafazh hadits. Para ulama menulis buku mereka dengan urutan huruf
al-hijaiy. Buku-buku yang bisa digunakan untuk mencari hadits dengan
menggunakan metode ini cukup banyak, diantaranya: al-jmi al-saghr karangan
Imam al-Suythi, al-jmi al-Azhar karangan Imam al-Munwy, dll.

Dengan mengetahui lafazh hadits, kita juga mampu untuk mentakhrij hadits yang
akan kita cari. Bedanya dengan metode sebelumnya adalah kita tidak terikat
dengan lafazh awal hadits, namun dengan lafazh apapun yang terdapat di dalam
hadits. Di antara buku yang dapat dijadikan dalam menggunakan metode ini
adalah kitab kitab al-Mujam al-Mufahras karangan orientalis W. Singh.

Ar-Rwiy al-ala sebuah hadits juga dapat digunakan sebagai kata kunci untuk
mentakhrij sebuah hadits. Metode ini hanya dapat kita gunakan ketika kita
mengetahui ar-Rwiy al-ala sebuah hadits dan selanjutnya kita cari dalam kitab-
kitab sunnah yang disusun oleh para ulama berdasarkan metode al-Athrf dan al-
Masnid.

Dengan mengetahui tema sentral yang dikandung oleh sebuah hadits, kita juga
bisa melacak keberadaannya dalam berbagai kitab sunnah. Namun metode ini
sedikit membutuhkan feeling yang kuat seputar fiqh hadits. Cukup banyak buku-
buku takhrj yang disusun para ulama yang mengkhususkan hadits-hadits yang
ditulis dan dikumpulkan berdasarkan tema-tema sentral tertentu. Jika kita bisa
menebak dengan tepat tema sentral hadits yang sedang kita bahas, maka dengan
mudah kita akan mengklasifikasikann ya. Namun itu belum menjamin kita akan
menemukan hadits kita secara langsung. Sebab bisa saja terjadi perbedaan antara
perkiraan kita dengan tema yang disusun oleh para ulama hadits.

95
Jika hadits yang akan kita takhrj memiliki karakter atau sifat yang sedikit atau
banyak berbeda dengan hadits lain, maka dapat juga kita gunakan sebagai sarana
takhrj. Misalkan hadits yang akan kita takhrj adalah hadits qudsy maka kita bisa
melacaknya di dalam kitab-kitab hadits yang khusus ditulis oleh para ulama
seputar hadits qudsy. Metode ini kita kenal dengan takhrj hadits berdasarkan sifat
sebuah hadits.

Demikianlah beberapa metode takhrj yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij
sebuah hadits. Kita bebas menggunakan metode yang paling cepat dan tepat yang
dapat kita gunakan tanpa terikat dengan salah satu metode.

Dan satu hal yang perlu diingat adalah ketelitian kita dalam mentakhrij, sebab
seringkali terjadi kesalahpahaman dalam menggunakan buku-buku kunci takhrj
disebabkan kekurangtahuan kita dengan buku-buku tersebut.

Penutup

Demikian makalah singkat yang mudah-mudahan dapat dijadikan bahan dan
pengantar diskusi seputar takhrj. Penulis menyadari banyak kekurangan yang
ditemukan dalam tulisan singkat ini. Maka, masukan ide para diskusan adalah
penyempurna dari makalah sederhana ini.

Daftar Bacaan

Thuruq Takhrj, karangan Dr. Abd. Muhdiy abd. Qdir abd. Hdiy.

Kasyful litsm, karangan Dr. Abd. Maujd M. Abd Lathf.

Ilmu Musthalah Hadits al-Tathbqi, karangan Ali ibn Ibrhim Hasysy

Manhijul Muhadditsn, karangan Dr. Muhammad S.a.w Mubarak As-Sayyyid.

96


HADITS DI HADAPAN PENGUSUNG HADITS DAN AHLI FIQIH

Oleh:
Abduh Zulfidar Akaha, Lc


Prolog

Judul ini mungkin mirip dengan judul kitab karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali
rahimahullah (1917 1996 M), As-Sunnah Baina Ahli Al-Hadits wa Ahli Al-
Fiqh. Tidak masalah, kesamaan judul bukan berarti harus sama isinya, meski bisa
saja tema yang diangkat ada kesamaannya. Fakta bicara, munculnya sekelompok
umat Islam yang dalam beribadah dan muamalah langsung mengacu kepada hadits
tanpa melirik fiqih, memang sebuah fenomena.

Kaum muslimin sepakat bahwa Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua
setelah Al-Qur`an. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat RA mengamalkan
Sunnah dengan cara meneladani beliau. Mereka mengambil Sunnah langsung dari
sumbernya. Namun, masing-masing sahabat tidak senantiasa sama dalam hal
pengetahuan terhadap Sunnah. Sebabnya logis dan sederhana; intensitas
kebersamaan, tingkat pemahaman, cara Nabi dalam mengajar yang terkadang
berbeda dikarenakan menyesuaikan dengan lawan bicara, dan faktor kemanusiaan
beliau.

Sepeninggal Nabi, sebagian sahabat ada yang tetap tinggal di Madinah, dan
sebagian lain berpencar ke berbagai penjuru negeri. Mereka menyampaikan dan
mengajarkan Sunnah kepada generasi tabiin sesuai apa didapatkan dari Nabi. Para
tabiin pun mengamalkan Sunnah sebagaimana yang mereka peroleh dari para
97
sahabat.

Tidak berlebihan, jika kami mengatakan bahwa sesungguhnya bermadzhab dalam
agama ini sudah ada sejak zaman tabiin. Madzhab mereka memang bukan Hanafi,
Maliki, Syafii, Hambali, atau Zhahiri; melainkan mengikuti sahabat-sahabat
tertentu seperti Umar bin Al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abud Darda`, Muadz bin Jabal, dan lain-lain.


Pelopor Gerakan Tanpa Madzhab

Bukanlah hal yang mudah untuk melacak secara pasti siapa yang pertama kali
menyuarakan beragama tanpa madzhab, langsung merujuk (Al-Qur`an dan)
Sunnah (baca: hadits), dan meninggalkan taklid secara mutlak. Beberapa ulama
besar yang mempunyai kecenderungan ke arah ini kami buka-buka kembali
sebagian karyanya, atau tulisan orang lain tentang sejumlah pemikiran mereka.
Mereka yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab, Syaikh Muhammad Abduh, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani.[2]


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Menurut kami, benih pergeseran dari hadits ke fiqih dan dari fiqih ke madzhab
menjadi dari hadits langsung ke madzhab, atau langsung mengambil hukum dari
hadits tanpa melalui fiqih, pertama kali dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah (661
H 728 H). Dia dikenal sebagai seorang ulama yang sangat anti taklid, keras
terhadap bidah, menyerukan ijtihad, dan terkadang pendapatnya berbeda dengan
para atau sebagian imam madzhab yang empat.

Ibnu Taimiyah memang tidak mengatakan secara tegas agar umat Islam
meninggalkan madzhab yang empat dan langsung mengambil hukum dari
sumbernya; Al-Qur`an dan Sunnah. Bagaimanapun dia dikenal sebagai seorang
ulama yang bermadzhab Hambali atau setidaknya mempunyai kecenderungan
pada madzhab Imam Ahmad bin Hambal.

98
Dr. Amir an-Najjar berkata, Sesungguhnya dia bermadzhab dengan madzhab
Imam Ahmad. Tidak diragukan lagi, dia adalah seorang pengikut madzhab
Hambali yang faqih. Kemudian, dia berijtihad sendiri sehingga mencapai level
seorang mujtahid. Ya, dia adalah seorang yang bermadzhab Hambali karena
ayahnya adalah seorang ulama besar dari madzhab Hambali. Dia mengambil
madzhab Hambali dari ayahnya.[3]

Sebagai seorang yang faqih sekaligus ahli hadits, Ibnu Taimiyah menyerukan tajdid
dalam agama. Dia mengajak kaum muslimin untuk kembali kepada Al-Qur`an dan
Sunnah. Dia ingin mengembalikan kaum muslimin sebagaimana yang pernah
dipraktikkan oleh para sahabat dan tabiin, kembali kepada manhaj salaf. Tak
heran jika para ulama mentahbiskan Ibnu Taimiyah sebagai seorang mujaddid
pada masanya dan masa-masa sesudahnya.[4] Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
menukil perkataan Qadhi Al-Qudhah Syamsuddin bin al-Hariri, Kalau Ibnu
Taimiyah bukan Syaikhul Islam, lalu siapa lagi?[5]

Sejumlah pendapat Ibnu Taimiyah yang berbeda dengan jumhur ulama atau
bahkan menyelisihi empat imam madzhab, menunjukkan bahwa dia adalah salah
seorang tokoh ulama yang dalam berpendapat lebih mengedepankan pengambilan
dalil langsung dari (Al-Qur`an dan) Sunnah. Dalam masalah mengqashar shalat
misalnya. Dia berpendapat bahwa orang yang bepergian baik jauh maupun dekat,
selama itu bisa disebut sebagai safar, sudah boleh mengqashar shalatnya, karena
tidak ada dalil yang menunjukkan batas jarak minimal dalam hal ini.

Menurut madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali, jarak minimal bolehnya
mengqashar shalat adalah dua marhalah atau empat barid atau 16 farsakh atau 48
mil atau sekitar 81 km.[6] Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits,

', . - ` --- `-' _ _- - - - - - _' '--= .

Hai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam jarak kurang
dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.[7]

Dalam Shahihnya, Kitab Al-Jumuah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah, Imam
Al-Bukhari menyebutkan hadits,

99
' - -= - '-= - '' +-= --, =-, - - -- -= '=- .

Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA mengqashar shalat dan tidak puasa dalam jarak
perjalanan empat barid, yaitu enam belas farsakh.[8]

Sedangkan menurut madzhab Hanafi, jarak minimalnya yaitu tiga hari perjalanan,
karena menurut mereka hitungan dalam hal ini adalah waktu perjalanan,[9] bukan
jarak perjalanannya.[10] Mereka berpegangan pada hadits,

_--' _'= ,-=' '--'' `''` ', ,--'' ,, ',' .

Mengusap bagian atas sepatu bagi musafir itu tiga hari dan bagi orang yang
mukim sehari semalam.[11]

Pendapat Ibnu Taimiyah ini berbeda dengan pendapat empat madzhab yang
masyhur. Dia berkata,

Sesungguhnya pembedaan antara perjalanan jauh dan perjalanan pendek tidak
ada dasarnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab, hukum-hukum
yang berkaitan dengan perjalanan semuanya bersifat mutlak (tidak dibatasi).[12]

Lalu, Ibnu Taimiyah menyebutkan sejumlah ayat[13] dan hadits untuk
memperkuat pendapatnya. Di antara hadits-hadits yang disebutkan, yaitu,

- --' '- -- ' .`- '- ' .-, '-,-- '=,=- .

Jika seorang hamba sakit atau bepergian, apa yang biasa dilakukannya saat
mukim dan sehat tetap dicatat.[14]

--' = - -' _--, -= -'= - - -,- ' _- --+- .=,' _' ' . (---
,'=)

Bepergian itu sepotong siksaan yang menghalangi salah seorang kalian dari
makan, minum, dan tidurnya. Jadi, apabila dia sudah selesai urusannya, segeralah
kembali kepada keluarganya. (Muttafaq Alaih)[15]

100
Setelah memaparkan sejumlah dalil, Ibnu Taimiyah berkata, Jadi, dalam teks-teks
dari Al-Kitab dan Sunnah ini tidak ada perbedaan antara perjalanan jauh dan
perjalanan pendek. Maka, barangsiapa yang membedakan antara ini dan ini,
sesungguhnya dia telah membeda-bedakan apa yang disatukan oleh Allah dengan
pembedaan yang tidak ada dasarnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya.[16]

Pada halaman berikutnya, Ibnu Taimiyah berkata, Bolehnya mengqashar shalat
itu bukan dibatasi oleh jarak, melainkan dengan apa yang disebut sebagai
perjalanan (safar). Jadi, barangsiapa yang melakukan suatu perjalanan di mana itu
bisa dikatakan sebagai perjalanan, maka dia boleh mengqashar. Jika tidak, maka
dia tidak boleh mengqashar.[17]

Pendapat Ibnu Taimiyah yang langsung mengacu pada hadits ini bukan hanya
berbeda dengan empat madzhab yang muktabar, melainkan juga berbeda dengan
pendapat Ibnu Hazm Al-Andalusi (w. 456 H) dari madzhab Zhahiri.[18] Menurut
Ibnu Hazm, batas jarak minimal bolehnya mengqashar shalat adalah satu mil.

Ibnu Hazm berkata, Adapun menurut kami, maka sesungguhnya jarak di bawah
satu mil dari rumah terakhir di kotanya itu masuk hukum mukim. Dengan
demikian, dia tidak boleh mengqashar shalat dan buka puasa. Namun, apabila
jaraknya mencapai satu mil, maka pada saat itulah berlaku hukum safar baginya.
Dia boleh mengqashar shalatnya dan juga boleh membatalkan puasa.[19]

Ibnu Hazm mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ibnu Umar RA,

,' -= = `,- --' ''-' .

Kalau saya keluar satu mil, niscaya saya akan mengqashar shalat.[20]

Ini hanya salah satu contoh saja dari sekian pendapat Ibnu Taimiyah yang berbeda
dengan empat bahkan lima madzhab yang masyhur, di mana dia mengambil
langsung dalilnya dari (Al-Qur`an dan) Sunnah. Dan, masih banyak lagi pendapat
Ibnu Taimiyah yang menyelisihi empat madzhab. Dalam kitabnya yang berjudul
Manhaj Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyyah At-Tajdidiy As-Salafiy wa Dawatih Al-
Ishlahiyyah, Syaikh Said Abdul Azhim menyebutkan delapan belas (18) pendapat
101
Ibnu Taimiyah dalam masalah fiqih yang menyelisihi empat madzhab, delapan (8)
pendapat yang berbeda dengan tiga madzhab, dan empat belas (14) pendapat yang
berbeda dengan jumhur ulama secara umum.[21]

Namun demikian, Ibnu Taimiyah tidak bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan
tanpa madzhab yang menyerukan kembali langsung kepada (Al-Qur`an dan)
Sunnah tanpa menimbang pendapat para imam madzhab, terutama dalam
masalah-masalah fiqih. Sebab, selain Ibnu Taimiyah memang dikenal sebagai salah
seorang ulama besar bermadzhab Hambali, dia juga masih banyak menyebutkan
dan mengambil pendapat para imam madzhab dalam berbagai fatwa dan kitab-
kitab karyanya.


Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab

Tiada yang menyangkal dan mengingkar, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
At-Tamimi An-Najdi (1115 1206 H) adalah seorang ulama besar yang
mempunyai peran sangat penting dalam pembentukan kerajaan Saudi Arabia. Dia
dikenal sebagai seorang ulama yang sangat gencar mendakwahkan pemurnian
tauhid, memberantas bidah, membasmi segala bentuk khurafat, membuka pintu
ijtihad, meninggalkan taklid madzhab, dan menyerukan kembali kepada Al-
Qur`an dan Sunnah. Ibnu Abdil Wahhab juga menyerukan kepada para hakim
agar mengambil pendapat dari madzhab mana saja yang lebih mendekati kepada
Al-Qur`an dan Sunnah. Meskipun dalam masalah fiqih, dia mempelajari dan
berkecenderungan pada madzhab Imam Ahmad. [22]

Dikarenakan dakwahnya yang mengajak umat Islam untuk kembali kepada
sumber ajarannya yang asli, yakni Al-Qur`an dan Sunnah, serta meninggalkan
taklid pada madzhab tertentu, Ibnu Abdil Wahhab pun layak dimasukkan dalam
jajaran para ulama yang memelopori gerakan tanpa madzhab. Atau, gerakan
pemikiran yang langsung mengambil dari (Al-Qur`an dan) Sunnah tanpa melalui
fiqih dan madzhab. Dalam hal ini, bisa dibilang apa yang dilakukan Ibnu Abdil
Wahhab sama dengan apa yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Tak heran, jika banyak
yang mengatakan bahwa dia adalah penerus dakwah salafnya Ibnu Taimiyah.

Dari penelusuran yang kami lakukan,[23] kami menarik kesimpulan bahwa Ibnu
102
Abdil Wahhab selangkah lebih maju dalam hal loncatan istimbat dalil dari (Al-
Qur`an dan) Sunnah. Banyak sekali pendapatnya yang sama sekali tidak
menyinggung satu pun pendapat imam madzhab. Bahkan, menyebut nama para
imam pun hampir tidak dia lakukan dalam berbagai risalah dan sejumlah kitabnya.
Hal ini bisa dimaklumi, selain mungkin karena Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab kurang dikenal sebagai seorang faqih,[24] konsentrasi dakwahnya pun
lebih pada pemurnian tauhid.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz berkata, Ringkasnya, sesungguhnya
imam ini yakni Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahmatullah alaih, hanya
berdakwah untuk memenangkan agama Allah, memberikan bimbingan kepada
manusia untuk mentauhidkan Allah, mengingkari berbagai bidah dan khurafat
yang dimasukkan orang ke dalamnya. Dia juga mengajak umat untuk konsisten
pada kebenaran, mengingatkan mereka dari perbuatan batil, menyuruh pada
perbuatan makruf, dan melarang dari perbuatan mungkar.[25]

Dengan demikian, bisa dimaklumi jika sangat sulit mencari pembahasan fiqih
sebagaimana kitab-kitab fiqih pada umumnya dalam kitab-kitab atau risalah karya
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Apalagi, apabila kita hendak mencari
pendapat beliau yang menyelisihi madzhab-madzhab yang ada, akan lebih susah
lagi mendapatkannya. Bahkan, kitab (kutaib) beliau yang bertema fiqih yang
berjudul Adab Al-Masyyi Ila Ash-Shalah (Adab Berjalan Menuju Shalat),
dikomentari oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan sebagai kitab yang
ringkas tentang shalat menurut madzhab Hambali bagi pemula.[26] Dan, faktanya
memang demikian.

Adapun jika kita mau mencari pendapat-pendapat Ibnu Abdil Wahhab sesuai
dengan tema yang sedang kita kaji, yakni beristimbat langsung dari (Al-Qur`an
dan) Sunnah tanpa melalui fiqih, maka kita akan dengan sangat mudah
mendapatkannya. Sebab, hampir semua pendapat dan tulisan Ibnu Abdil Wahhab
memang langsung berdalil dengan ayat dan hadits. Hampir tidak ada atau jarang
sekali pendapat imam madzhab yang dia nukil. Bahkan, dalam kitab Adab Al-
Masyyi Ila Ash-Shalah pun, di mana kitab tersebut merupakan buku shalat
madzhab Imam Ahmad, pendapat Imam Ahmad hanya sekitar sepuluh kali saja
disebut. Meskipun, dalam buku tersebut Ibnu Abdil Wahhab tidak (terus terang)
mengatakan bahwa tata cara dan bacaan shalat ini menurut madzhab Hambali.
103
Akan tetapi, hal ini bisa dimaklumi karena dia memang anti taklid.

Menilik kitab-kitab dan risalah karya Ibnu Abdil Wahhab, kami masih belum bisa
memasukkannya sebagai tokoh pelopor gerakan tanpa madzhab. Lebih tepatnya,
jika kami menyebut Ibnu Taimiyah sebagai benih gerakan ini, maka Ibnu Abdil
Wahhab bisa dibilang sebagai akarnya. Ada kesamaan antara kedua tokoh ini,
yakni sama-sama menyerukan merujuk langsung kepada Al-Qur`an dan Sunnah.
Mereka ingin mengembalikan umat Islam kepada generasi salaf dalam hal
pemahaman agama dan praktik ibadahnya.

Bedanya, dalam mengacu langsung kepada (Al-Qur`an dan) Sunnah, Ibnu
Taimiyah hampir selalu memaparkan secara panjang lebar permasalahan yang
dibahas. Dia menyebutkan berbagai pendapat imam-imam madzhab dan para
ulama pendahulunya, sebelum akhirnya dia menentukan pendapatnya sendiri, baik
itu menyelisihi atau menyepakati.

Adapun Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, dia cenderung mengambil
pendapat langsung dengan dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah, tanpa merasa perlu
menimbangnya dengan pendapat para imam madzhab dan para pendukungnya.


Syaikh Muhammad Abduh

Sosok kontroversial, barangkali ini kata paling ringkas dan tepat untuk
menggambarkan tentang siapa Syaikh Muhammad Abduh (1849 1905 M). Di
satu sisi, Abduh sangat dipuja dengan gerakan pembaruan dan seruannya untuk
memerdekakan diri dari kungkungan taklid madzhab,[27] dan kejumudan.
Sementara di sisi lain, dia sangat dicela karena beberapa pemikirannya yang
dianggap terlalu mengagungkan akal dan rasionalitas.[28] Bagaimanapun, tidak ada
seorang tokoh di dunia ini yang dicintai dan didukung oleh semua manusia tanpa
ada penentang. Sebagaimana tidak ada orang yang dibenci dan dihujat semua
manusia tanpa ada seorang pun pengikut.

Selain kontroversial, menurut kami, Syaikh Muhammad Abduh juga sosok yang
unik. Sebagai seorang ulama yang dianggap mujaddid dan mufakkir yang sangat
lantang menyerukan ar-ruju ila Al-Qur`an wa As-Sunnah,[29] ternyata Abduh
104
sangat jarang menggunakan hadits Nabi SAW dalam fatwa-fatwa[30] dan sejumlah
kitabnya.[31] Justru, sejatinya Abduh adalah seorang faqih tulen.[32] Hal ini bisa
dilihat dengan jelas dalam fatwa-fatwanya saat menjabat sebagai mufti Mesir.
Semua fatwa-fatwanya terasa sangat kental nuansa fiqihnya, bahkan sering kali
tanpa menyebutkan dalil apa pun dari Al-Qur`an dan Sunnah. Padahal, dia sangat
lantang menyerukannya.

Kami katakan unik, karena Abduh ini disebut-sebut sebagai orang yang
terpengaruh oleh gerakan pembaruan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.[33]
Akan tetapi, dia mempunyai kecenderungan pemikiran yang jauh berbeda dengan
Ibnu Abdil Wahhab. Meskipun sama-sama anti taklid, keras terhadap bidah, dan
menyerukan tajdid kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah, namun dia terlalu
merdeka dalam sebagian pendapat-pendapatnya. Sementara Ibnu Abdil Wahhab,
dia cenderung selalu menampilkan ayat dan hadits dalam kitab-kitabnya.

Keunikan Abduh yang lain dengan parameter Ibnu Abdil Wahhab, adalah
begitu getolnya dia berfiqih ria[34] dalam fatwa-fatwanya. Sementara Ibnu Abdil
Wahhab, hampir-hampir tidak masuk area fiqih dalam berbagai karyanya. Namun
demikian, Abduh tetap layak untuk dimasukkan sebagai salah seorang tokoh yang
menyerukan pengambilan dalil langsung dari hadits tanpa melalui fiqih.[35] Sebab
bagaimanapun, gerakan tajdid dan reformasi pemikiran yang diserukan Abduh
mempunyai pengaruh sangat besar bagi dunia Islam untuk kembali kepada Al-
Qur`an dan Sunnah, tanpa melalui fiqih dan madzhab.[36]


Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Kecenderungan sebagian kaum muslimin yang langsung memakai hadits dalam
berdalil untuk praktik ibadah dan muamalahnya tanpa melalui fiqih atau tanpa
melihat pendapat empat madzhab yang ada, mulai menggeliat dan bergairah
dengan munculnya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1914 1999 M/
1333 1420 H). Kepiawaiannya dalam hadits dan ilmu hadits memang sangat
memungkinkannya untuk melakukan hal ini.

Tiada yang menyangkal, baik kawan maupun lawan, Al-Albani adalah seorang
ulama besar dalam hadits dan ilmu hadits, meskipun ada sebagian yang meragukan
105
kapasitasnya dikarenakan cara belajarnya yang otodidak. Dan, dari sekitar 75-
an[37] kitab karya peninggalannya, yang (hampir) semuanya di bidang hadits
termasuk yang berupa tahqiq dan takhrij, nyata terlihat bahwa Al-Albani adalah
sosok yang sangat tepat untuk ditahbiskan sebagai pelopor gerakan tanpa
madzhab. Ya, Al-Albani membuktikan dalam tulisan-tulisan dan fatwa-fatwanya,
bahwa dirinya (hampir) senantiasa langsung mengacu pada (Al-Qur`an) dan
Sunnah (baca: hadits), tanpa melalui fiqih.[38]

Berdalil pada perkataan sebagian imam madzhab, _- -, -=' ,+ --- [39]
(Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku) dan perkataan-perkataan lain
yang senada, Al-Albani mencoba membangun pemikirannya dengan langsung
mengacu pada hadits-hadits Rasulullah SAW. Bisa dipastikan, kalaupun ada
pendapat imam madzhab atau ulama madzhab tertentu yang ditampilkan, biasanya
hal ini untuk menguatkan pendapatnya yang telah dibangun terlebih dahulu
berdasarkan hadits yang dianggapnya shahih. Atau, bisa juga untuk
menyalahkannya atau mengatakannya bidah.

Sekadar contoh pendapat Al-Albani yang langsung mengacu pada hadits dan juga
berbeda pendapat dengan empat madzhab, yaitu masalah meletakkan tangan di
atas dada dalam shalat. Dalam kitab Shifatu Shalati An-Nabiy, Al-Albani membuat
sub-bab berjudul, Wadhuhuma Ala Ash-Shadr (Meletakkan keduanya tangan
kanan dan kiri di Atas Dada), Al-Albani berkata, Dan beliau meletakkan tangan
kanannya di atas telapak tangan kirinya, pergelangan, dan lengan bagian
bawah.[40] Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal
tersebut.[41] Beliau juga kadang-kadang menggenggam tangan kirinya dengan
tangan kanannya.[42] Dan, beliau meletakkan keduanya di atas dada.[43] [44]

Hadits yang dimaksud Al-Albani dalam masalah ini adalah perkataan Thawus bin
Kaisan (33 106 H) yang berbunyi,[45]

' ,- '' _'- '' ,'= '- _-, - -, _--,' _'= - -, -,' ` --, '-+-,- _'= - -- ,
''-' .

Adalah Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya di atas tangannya yang kiri,
kemudian menekankan antara keduanya di atas dadanya pada waktu shalat.[46]

106
Juga perkataan Wa`il bin Hujr RA,

-,'- _- ,- - _'- - ,'= '- _- - -, _--,' _'= - -, -,' _'= - -- .

Saya shalat bersama Rasulullah SAW, dan beliau meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya di atas dadanya.[47]

Pendapat Al-Albani ini berbeda dengan pendapat empat madzhab yang ada.
Menurut madzhab Hanafi, kedua tangan diletakkan di bawah perut untuk laki-laki,
dan untuk perempuan di atas dada. Menurut madzhab Maliki, tangan dilepas (al-
irsal)[48] dalam shalat fardhu dan boleh meletakkannya di bawah dada di atas
perut dalam shalat sunnah. Menurut madzhab Syafii, diletakkan di bawah dada di
atas perut agak ke sebelah kiri. Sedangkan menurut madzhab Hambali, ada dua
pendapat; di bawah dada di atas perut dan di bawah perut.[49]

Meletakkan tangan di atas dada pun bukan berarti maknanya tepat di atas dada
atau menempel persis di dada. Hadits ini bisa juga bermakna lain, yakni
meletakkan tangan di atas pusar atau perut, sebagaimana yang dikatakan Imam
An-Nawawi (w. 676 H) dalam Syarh Shahih Muslim. Kitab Ash-Shalah, Bab
Wadhi Yadihi Al-Yumna Ala Al-Yusra Bada Takbirati Al-Ihram Tahta Shadrihi
Fawqa Surratihi wa Wadhihima fi As-Sujud Ala Al-Ardh Hadzwa Mankibaih,
penjelasan hadits nomor 401. An-Nawawi berkata, Hadits-hadits dalam masalah
ini banyak sekali, dan dalil meletakkan kedua tangan di atas pusar adalah hadits
Wa`il bin Hujr yang mengatakan[50] (An-Nawawi menyebutkan hadits Wa`il
yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah di atas)

Sebagaimana kami katakan, ini sekadar contoh saja. Sebab, jika kita mau mencari
pendapat-pendapat Al-Albani yang langsung merujuk kepada (Al-Qur`an dan)
Sunnah, niscaya kita akan dengan mudah mendapatkannya karena teramat banyak
jumlahnya. Dan, tampaknya tidak terlalu meleset sekiranya Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani layak ditahbiskan sebagai seorang ulama pelopor gerakan
tanpa madzhab. Dengan catatan, sekalipun dia juga anti taklid dan enggan
bermadzhab,[51] harus diakui bahwa Al-Albani juga bisa dikatakan sebagai
seorang faqih, atau lebih tepatnya faqih yang merdeka dari madzhab apa pun.


107
Epilog

Sejujurnya, kajian tentang masalah ini sangat menarik. Banyak yang kami dapatkan
selama proses penulisan. Bahkan, sejatinya tanpa disadari banyak di antara umat
Islam sekarang ini mungkin termasuk kita di Indonesia yang sebetulnya telah
menjadi pengikut pemikiran atau kelompok ini. Di dunia Arab, pasca Syaikh
Muhammad Abduh, sudah mulai banyak kaum muslimin yang tidak bermadzhab
dengan madzhab tertentu sekalipun mereka menggunakan fiqih dalam praktik
ibadah dan muamalahnya. Kehadiran Syaikh Sayyid Sabiq (w. 1420 H) dengan
Fiqh As-Sunnah[52]nya, yang menyusun kitab fiqih tanpa terpaku madzhab
tertentu, bisa dibilang sebagai pelopor munculnya aliran baru dalam dunia fiqih
tanpa madzhab.

Di tanah air, justru lebih hebat lagi pengaruhnya. Sejak kembalinya KH. Ahmad
Dahlan dan datangnya Syaikh Ahmad Syurkati ke Indonesia pada tahun 1900-an,
umat Islam di Tanah Air mulai tercerahkan dengan gerakan pembaruan yang
dibawa oleh mereka. Gerakan dakwah semacam Muhammadiyah, Al-Irsyad,
PERSIS, dan DDII,[53] adalah buah sekaligus bukti nyata adanya kelompok
pengusung langsung ke hadits tanpa melalui fiqih. Sebagian ada yang memakai
hadits dengan dasar penguasaan fiqih, dan sebagian lagi ada yang langsung
merujuk pada hadits tanpa mengetahui fiqih. Tetapi, yang lebih banyak adalah
yang mempelajari fiqih tanpa penguasaan terhadap hadits. Wallahu alam.


Catatan Kaki

[1] Makalah ini disusun sebagai pelaksanaan tugas dari Dr. H. Ahmad Luthfi Fathullah, MA. (dan
Dr. H. Ahmad Zain an-Najah, MA.) pada program S2 Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jurusan
Pemikiran Islam, dengan tema besar tentang pergeseran dari hadits ke fiqih dan dari fiqih ke
madzhab. Diprsentasikan pada Ahad 11 Januari 2009 M.

[2] Sebetulnya ada yang lebih tepat daripada empat ulama besar ini, yaitu Syaikh Muhammad
Sulthan Al-Mashumi Al-Khujandi Al-Makki (1297 1380 H/ 1880 1960 M) yang mengalami
masa Abduh dan Al-Albani. Dia dikenal sebagai seorang ulama salafi yang sangat anti madzhab.
Dia mengatakan bahwa madzhab-madzhab yang ada adalah bidah yang muncul setelah tiga
generasi pertama dan bermadzhab pada madzhab tertentu juga bidah yang tercela! Di antara 30-an
kitab karyanya, ada yang berjudul Hal Al-Muslim Mulzim Bi Ittiba Madzhab Muayyan Min Al-
Madzahib Al-Arbaah? Kitab ini dibantah dengan sangat bagus oleh Syaikh Prof. DR.
Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dengan kitabnya yang berjudul Allamadzhabiyyah; Akhthar
108
Bidah Tuhaddid Asy-Syariah Al-Islamiyyah. Akan tetapi, karena Al-Khujandi jarang disebut
namanya di dunia per-ulama-an dan persilatan pemikiran, maka kami menganggap Al-Khujandi
tidak layak dimasukkan dalam kajian ini.

[3] Prof. Dr. Amir An-Najjar, Min Syawamikh Al-Fikr Al-Islamiy Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyyah,
Penerbit Al-Haiy`ah Al-Mishriyyah Al-Aammah li Al-Kitab: Kairo, Cet. I, 2004, hlm 13.

[4] Syaikh Dr. Aidh bin Abdillah Al-Qarni, Ala Sahil Ibn Taimiyyah, Penerbit Maktabah Al-
Ubaikan: Riyadh, Cet. III, 2004 M 1425 H, hlm 75 dan 95.

[5] Abul Fida` Ismail bin Amr bin Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Tahqiq:
Syaikh Muhammad Bayumi, Penerbit Maktabah Al-Iman: Manshurah (Mesir), tanpa keterangan
cetakan dan tahun, jld VII, hlm 464.

[6] DR. Muhammad Bakr Ismail menyebutnya hampir 78 kilo meter. Beliau berkata, Dua
marhalah adalah empat barid, satu barid adalah empat farsakh, dan satu farsakh adalah tiga mil.
Jadi, jaraknya adalah 48 mil, atau hampir 78 Km. (Syaikh Dr. Muhammad Bakr Ismail, Al-Fiqh
Al-Wadhih Min Al-Kitab wa As-Sunnah, Penerbit Dar Al-Manar: Kairo, Cet. II, 1997 M 1417
H, jld I, hlm 220.)

[7] HR. Ad-Daraquthni (1463), Al-Baihaqi dalam Al-Marifah (1639) dan Al-Kubra (5187), dan
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (10999); dari Ibnu Abbas RA.
Hadits dhaif. Ibnu Hajar berkata, Hadits ini lemah sanadnya, karena di dalamnya ada Abdul
Wahab (bin Mujahid). (Al-Fath, syarah hadits no. 1023). Ibnu Hajar juga mendhaifkan hadits ini
dalam Bulugh Al-Maram (hadits no. 440) dan At-Talkhish (609).
Imam An-Nawawi berkata, Diriwayatkan Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang
lemah sekali. (Al-Khulashah, hadits no. 2557)
Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashatu Al-Badr Al-Munir (701), Ibnul
Jauzi dalam At-Tahqiq fi Ahadits Al-Khilaf (761), Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqih At-Tahqiq fi
Ahadits At-Taliq (824), Al-Haitsami dalam Al-Majma (2954), dan Al-Albani dalam Al-Irwa`
(565). Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah wa Al-Maudhuah (439), Al-Albani memaudhukan
hadits ini.

[8] Hadits senada diriwayatkan Imam Malik dalam Al-Muwaththa` (307 dan 308), Ath-Thabari
dalam Tahdzib Al-Atsar (1023), Asy-Syafii dalam Al-Musnad (91 dan 92), Al-Baihaqi dalam Al-
Kubra (5180), dan Ibnul Mundzir dalam Al-Awsath (2218 dan 2220).
Hadits marfu shahih. Imam An-Nawawi berkata, Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad shahih,
dan disebutkan Al-Bukhari dalam Shahihnya secara muallaq. (Al-Khulashah, hadits no. 2551)
Syaikh Al-Albani berkata, Shahih. Al-Baihaqi menyambungkan sanadnya dalam Sunannya.
(Irwa` Al-Ghalil, hadits no. 568)

[9] Imam As-Sarakhsi berkata, Tidak ada artinya menghitung perjalanan dengan farsakh. Sebab,
mudah dan sulitnya perjalanan ini tergantung jalan yang dilalui; gunung, laut, atau darat. Jadi, yang
109
benar adalah menghitung dengan hari dan lamanya perjalanan (As-Sarakhsi, Al-Mabsuth,
Program Al-Maktabah Asy-Syamilah, jld II, hlm 191.)

[10] Lihat: Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arbaah, Penerbit
Muassasah Al-Mukhtar: Kairo, Cet. I, 2001, jld I, hlm 363; Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah,
Penerbit Al-Fath li Al-Ilam Al-Arabi: Kairo, Cet. XXIII, 1999 M 1419 H, jld I, hlm 212-213;
Wizaratu Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyyah (Kuwait), Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyyah, Penerbit Dar As-Salasil: Kuwait, Cet. II, 1427 H, jld XXVII, hlm 269-270; Imam
Syamsuddin As-Sarakhsi Al-Hanafi, Al-Mabsuth, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah, edisi
kedua, jld II, hlm 191; Ibnu Rusyd Al-Maliki Al-Hafid, Bidayatu Al-Mujtahid wa Nihayatu Al-
Muqtashid, tahqiq: Ustadz Khalid Al-Aththar, Penerbit Dar Al-Fikr: Beirut, Cet. I edisi revisi,
1995 M 1415 H, jld II, hlm 135; Imam Muhyiddin An-Nawawi Asy-Syafii, Al-Majmu,Program
Al-Maktabah Asy-Syamilah, jld IV, hlm 325; Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali, Asy-Syarh
Al-Kabir Ala Al-Matni Al-Muqni, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah, jld 2, hlm 90.

[11] HR. Abu Dawud (135), Ibnu Majah (547), Ahmad (20856), Abdurrazaq (791), Ibnu Baththah
(2419), Ath-Thabarani dalam Al-Awsath (1487), dan Al-Humaidi (460); dari Khuzaimah bin Tsabit
RA.
Hadits shahih. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud (157), Shahih
Sunan Ibni Majah (554), dan Shahih Al-Jami Ash-Shaghir (9220).
Hadits tentang mengusap khuf ini juga diriwayatkan Imam Muslim (661), Ibnu Majah (545),
Ahmad (710), Abu Yala (537) dari Ali bin Abi Thalib RA; At-Tirmidzi (3458, An-Nasa`i (127),
Ahmad (17396) dari Shafwan bin Assal; Ibnu Majah (548) dari Abu Hurairah.; dan lain-lain.
Syaikh Abu Jafar Al-Kattani memasukkan hadits ini dalam Nazhmu Al-Mutanatsir fi Al-Ahadits
Al-Mutawatir, hadits no. 33 ( Hadits At-Tawqit fi Al-Mashi Min Al-Khuffain ). Al-Kattani
menyebutkan 22 sahabat yang meriwayatkan hadits ini.
Lebih jauh tentang hadits ini, bisa dilihat dalam Jamu Al-Jawaminya Imam As-Suyuthi (hadits no.
512).

[12] Ibnu Taimiyah, Majmu Al-Fatawa, Tahqiq: Ustadz Anwar Al-Baz dan Amir Al-Jazzar,
Penerbit Dar Al-Wafa`: Iskandariyah (Mesir), Program Al-Maktabah Asy-Syamilah, Cet. III, 2005
M 1426 H, jld XXIV, hlm 34.

[13] Ayat-ayat tersebut; An-Nisaa`: 43 (Al-Maa`idah: 6), Al-Baqarah: 184, dan An-Nisaa`: 101.
Ayat lain yang menyinggung safar, yaitu; Al-Baqarah 185 dan 283.

[14] HR. Al-Bukhari (2774), Ahmad (18848), Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir (779), dan Al-
Baihaqi dalam Asy-Syuab (9577), dan Abd bin Humaid (536); dari Abu Musa Al-Asyari RA.

[15] Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Jihad wa As-Siyar, Bab As-Surah fi As-Siyar, hadits nomor 2779;
dan Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Bab As-Safar Qithah Min Al-Adzab, hadits nomor 5070.
Dari Abu Hurairah RA.

110
[16] ___, Majmu Al-Fatawa, jld XXIV, hlm 35.

[17] ___, Majmu Al-Fatawa, jld XXIV, hlm 42.

[18] Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi (w. 744 H), selah seorang murid Ibnu Taimiyah, mengatakan
bahwa pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah batas jarak qashar shalat sama dengan Ibnu Hazm.
Ibnu Abdil Hadi berkata, Dan di antara pendapat Ibnu Taimiyah yang berbeda dengan mereka
atau menyelisihi yang masyhur dari perkataan mereka, adalah pendapatnya dalam masalah qashar
shalat yang boleh dilakukan untuk setiap kepergian yang bisa disebut sebagai perjalanan, baik itu
jauh maupun dekat. Ini sama seperti pendapat madzhab Zhahiriyah dan perkataan sebagian
sahabat. (___, Al-Uqud Ad-Durriyyah fi Manaqib Syaikh Al-Islam Ahmad ibn Taimiyyah, taliq:
Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqiy, tahqiq: Ustadz Ad-Dani Munir Alu Zahwi, Penerbit Al-
Maktabah Al-Ashriyah: Beirut, Cet. I, 2005 M 1426 H, hlm 257.)
Demikian menurut Ibnu Abdil Hadi. Akan tetapi, jika membaca Majmu Al-Fatawa, kita akan
menemukan bahasan panjang lebar dalam hal ini, termasuk ketidaksetujuan Ibnu Taimiyah
terhadap Ibnu Hazm yang membatasi jarak qashar dengan satu mil.

[19] Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-Andalusi Azh-Zhahiri, Al-Muhalla, Tahqiq: Syaikh Ahmad
Syakir, Penerbit Dar Al-Fikr: Beirut, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah, jld V, hlm 21.

[20] ___, Al-Muhalla, jld V, hlm 20.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang perkataan Ibnu Umar di atas dan perkataannya yang lain -
'- '' ='-' - '+-' - ', Sanad dua atsar ini adalah shahih. (Fath Al-Bari, penjelasan bab Fi
Kam Yaqshuru Ash-Shalah, sebelum hadits nomor 1024)
Syaikh Al-Albani juga menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` (568).

[21] Syaikh Said Abdul Azhim, Manhaj Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyyah At-Tajdidiy As-Salafiy wa
Dawatih Al-Ishlahiyyah, Penerbit Dar Al-Iman: Iskandariyah (Mesir), Cet. I, 2004 M 1425 H,
hlm 188-200.

[22] Disarikan dari: Syaikh Muhammad Said Mursi, Uzhama` Al-Islam Abr Arbaah Asyar
Qarnan Min Az-Zaman, Penerbit Muassasah Iqra`: Kairo, Cet. IV, 2004 M 1425 H, hlm 287-
288; dengan penyesuaian redaksi.

[23] Kami membuka-buka kembali beberapa kitab dan risalah karya Ibnu Abdil Wahhab, seperti:
Kasyfu Asy-Syubuhat, Masa`il Al-Jahiliyyah, Al-Amr bi Al-Maruf wa An-Nahy An Al-Munkar,
Kitab At-Tauhid, dan Adab Al-Masyi Ila Ash-Shalah. Kami juga menelaah sejumlah kitab
kumpulan fatwa beberapa ulama Saudi di mana di dalamnya banyak dikutip pendapat Ibnu Abdil
Wahhab.

[24] Sejumlah penulis biografi atau tulisan tentang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rata-rata
menyebutnya sebagai seorang mujaddid, tetapi tidak mengatakannya sebagai seorang faqih atau
ahli fiqih. Setidaknya hal ini dilakukan oleh: Syaikh Nashir Ibrahim At-Tuwaim dalam kitabnya
111
Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab: Hayatuhu wa wa Dawatuh, Syaikh Muhammad bin
Abdillah As-Salman dalam Dawatu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhabwa Atsaruha fi Al-
Alam Al-Islamiy, Syaikh Muhammad Said Mursi dalam Uzhama` Al-Islam, DR. Muhammad
Imarah dalam Tayyarat Al-Fikr Al-Islamiy, dan Khairuddin Az-Zarkali dalam AlAlam. Bahkan,
Syaikh Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad Alu Asy-Syaikh (keturunan Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab) pun yakni tidak menyebutnya sebagai seorang faqih, dalam kata sambutan beliau
untuk buku Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab: Hayatuhu wa wa Dawatuh yang ditulis
Syaikh Nashir Ibrahim At-Tuwaim. Selain itu, (hampir) semua kitab karya beliau tidak ada yang
secara spesifik membahas tema fiqih, selain Adab Al-Masyi Ila Ash-Shalah. Wallahu alam.

[25] Syaikh Bin Baz, Al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, Program Al-Maktabah Asy-
Syamilah, hlm 48.

[26] Lihat: Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Al-Muntaqa Min Fatawa Al-Fauzan, Program
Al-Maktabah Asy-Syamilah, hlm 10.

[27] Setidaknya buku-buku yang ditulis tentang Muhammad Abduh, seperti; Tarikh Al-Ustadz Al-
Imam Muhammad Abduh karya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh;
Siratuhu wa Amaluh karya DR. Muhammad Imarah, dan Al-Imam Muhammad Abduh karya
DR. Muhammad Al-Bahi, serta berbagai tulisan tentang biografi dan pemikiran-pemikirannya;
membuktikan hal ini. Beberapa tahun lalu (2005) di Kairo, juga diperingati seratus tahun
meninggalnya Syaikh Muhammad Abduh secara besar-besaran.

[28] Secara umum, para ulama Saudi tidak menyukai Muhammad Abduh. Dan kaum salafi di mana
pun, bisa dibilang (hampir) semuanya tidak menyukai Muhammad Abduh. Beberapa pendapat
Abduh yang dianggap menyimpang dan berbau muktazilah, membuat mereka membenci Abduh.
Sebagian di antara mereka ada yang bisa bersikap adil, dan sebagiannya cenderung berlebihan.

[29] Syiar ar-ruju ila Al-Qur`an wa As-Sunnah (kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah) sangat
masyhur di kalangan Muhammadiyah di Indonesia. Dalam sejarahnya, KH. Ahmad Dahlan sang
pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh yang sangat terpengaruh oleh paham pembaruan
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan Syaikh Muhammad Abduh (juga muridnya: Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha) saat masih menuntut ilmu di Makkah, Saudi Arabia.

[30] Ratusan fatwa Syaikh Muhammad Abduh (bersama fatwa-fatwa ulama Al-Azhar yang lain)
bisa dilihat dalam Fatawa Al-Azhar yang diterbitkan oleh Wizaratu Al-Awqaf (Kementerian
Wakaf) Mesir yang terdapat dalam program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[31] Kami memiliki beberapa kitab karya Syaikh Muhammad Abduh, seperti; Risalatu At-Tauhid,
Syarh Nahju Al-Balaghah,dan Al-Amal Al-Kamilah jilid 1-5 (pdf, download dari
http://www.4shared.com).

[32] Dalam makalah ini kami tidak bicara masalah tafsir, namun lebih fokus pada hadits dan fiqih.
112
Sebab, baik Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdil Wahhab, maupun Muhammad Abduh; semuanya dikenal
sebagai mufassir dan memiliki karya kitab tafsir atau ilmu tafsir. Khusus Muhammad Abduh, kita
akan selalu menemukan namanya dalam kajian tafsir kontemporer, baik berupa artikel maupun
buku, karena dia adalah tokoh dalam tafsir aqlani.

[33] Syaikh Muhammad Said Mursi berkata, Dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab adalah
pelopor bagi para tokoh modern di dunia Islam yang muncul sesudahnya. Di antara tokoh-tokoh
tersebut, yaitu: Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. (___, Uzhama` Al-Islam, hlm
289.)
Itulah makanya, ketika disebut gerakan pembaruan Islam terutama di Indonesia, akan muncul
nama Ibnu Abdil Wahhab dan Muhammad Abduh. Namun uniknya, para pengikut Ibnu Abdil
Wahhab justru tidak menyukai Muhammad Abduh.

[34] Sekiranya Abduh fleksibel dalam fiqihnya, mungkin masih bisa dipahami. Namun, pengaruh
madzhab Hanafi yang sangat kental dalam fatwa-fatwanya dibandingkan madzhab-madzhab yang
lain, menjadikannya inkonsisten dengan slogan anti taklid madzhabnya.

[35] Meskipun sangat gencar menyerukan anti taklid madzhab, Abduh sama sekali tidak bisa
dikatakan sebagai pelopor gerakan tanpa madzhab. Seperti kita ketahui, Abduh adalah seorang
faqih yang sangat terpengaruh madzhab Hanafi. Bahkan, Syaikh Athiyah Shaqr rahimahullah,
mentan Ketua Lembaga Fatwa Al-Azhar, mengatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh fanatik
terhadap madzhab Abu Hanifah. (Fatawa Al-Azhar, jld IX, hlm 75).

[36] Faktanya, gerakan Muhammadiyah (yang pendirinya terpengaruh Abduh) sangat getol
menyerukan kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah. Dan, buku Himpunan Putusan Tarjih
adalah bukti nyata hal ini, di mana ia adalah kitab fiqih tanpa madzhab namun dijadikan
madzhab tersendiri oleh Muhammadiyah.
Selain itu, salah satu faktor KH. Hasyim Asyari mendirikan NU, juga adalah karena
ketidaksetujuannya terhadap pemikiran Abduh yang hendak membebaskan umat Islam dari
kehidupan bermadzhab. (Demikian kata Prof. DR. Deliar Noor, sebagaimana dikutip majalah
SAHID dalam salah satu edisinya. Lihat: http://www.muslimdelft.nl/titian-
ilmu/biografi/hadratus-syaikh-kyai-haji-m-hasyim-asyari).

[37] Dalam Program Al-Maktabah Asy-Syamilah edisi kedua, terdapat 79 kitab karya Al-Albani,
termasuk kitab mukhtashar atau talkhis (seperti mukhtashar Ash-Shahihah, Mukhtashar Adh-
Dhaifah, Mukhtashar Al-Irwa, dan Talkhish Shifat Ash-Shalah). Adapun kitab yang berjilid
seperti Silsilah Ash-Shahihah yang lima jilid dan Silsilah Adh-Dhaifah yang enam jilid dihitung
satu judul. Bisa jadi, masih ada kitab Al-Albani yang belum masuk Maktabah Syamilah. Wallahu
alam.

[38] Maksud kami, Al-Albani tidak mendasarkan pendapatnya karena mengikuti madzhab tertentu,
malainkan karena keshahihan hadits.

113
[39] Dalam Hasyiyah Radd Al-Mukhtar (I/72), Ibnu Abidin menisbatkan perkataan ini pada Imam
Abu Hanifah. Dan dalam Al-Majmu (I/92), Imam An-Nawawi menisbatkan perkataan ini pada
Imam Asy-Syafii.
Al-Albani menyebutkan perkataan ini dalam sejumlah kitabnya, seperti Al-Hadits Hujjah bi
Nafsih, Hukm Tariki Ash-Shalah, Shifat Shalati An-Nabiyy, Tahqiq Al-Ayat Al-Bayyinat, dan
Hadits Ifthar Ash-Sha`im.

[40] Al-Albani menulis dalam footnote, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan Ibnu Khuzaimah (2/54/1)
dengan sanad shahih dan dishahihkan Ibnu Hibban (485).

[41] Al-Albani menulis dalam footnote, Malik, Al-Bukhari, dan Abu Awanah.

[42] Al-Albani menulis dalam footnote, An-Nasa`id an Ad-Daraquthni dengan sanad shahih.
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa menggenggam adalah sunnah, sedangkan pada hadits
pertama adalah meletakkan. Jadi, keduanya adalah sunnah. Adapun menggabungkan antara
meletakkan dan menggenggam seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama mutaakhkhirin dari
madzhab Hanafi; ini adalah bidah.

[43] Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (2/54/1), Ahmad, dan Abu Asy-Syaikh
dalam Tarikh Ashbahan (hlm 125). At-Tirmidzi menghasankan salah satu sanad hadits ini. Malik
meriwayatkan hadits semakna dalam Al-Muwaththa` dan Al-Bukhari dalam Shahihnya jika
direnungkan (inda at-ta`ammul) Catatan: Meletakkan kedua tangan di atas dada inilah yang
benar-benar terdapat (tsabata) di dalam Sunnah. Adapun yang selain ini, bisa jadi haditsnya dhaif,
atau bisa juga tidak ada dasarnya.

[44] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shifat Shalati An-Nabiyy SAW Min At-Takbir Ila
At-Taslim Ka`annaka Taraha, Penerbit Maktabah Al-Maarif: Riyadh, Cet. II edisi baru dan revisi,
1996 M 1417 H, hlm 88.

[45] Al-Albani hanya mengisyaratkan haditsnya dan menyebutkan perawinya saja, tidak
menampilkan matan haditsnya.

[46] Sunan Abi Dawud, Kitab Ash-Shalah, Bab Wadhi Al-Yumna Ala Al-Yusra fi Ash-Shalah,
hadits nomor 648. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan Abi Dawud
(hadits no. 749).
Catatan: Hadits ini adalah hadits mursal. Sebab, Thawus bin Kaisan adalah seorang tabiin yang
tidak berjumpa Nabi SAW. Imam Abu Ath-Thayyib Abadi menukil perkataan Imam Al-Baihaqi
dalam Al-Marifah dan Al-Hafizh Al-Mizzi dalam Al-Asyraf, bahwa hadits ini riwayatkan Abu
Dawud dalam Al-Marasil. Lalu, Abu Ath-Thayyib berkata, Jadi, hadits Thawus ini mursal. Selain
itu, dalam sanadnya ada Sulaiman bin Musa yang didhaifkan oleh An-Nasa`i dan selainnya, meski
juga dianggap tsiqah oleh yang lain. (___, Aun Al-Mabud Syarh Sunan Abi Dawud, penjelasan
hadits nomor 647 dan 648.)

114
[47] Shahih Ibn Khuzaimah, Kitab Ash-Shalah, Bab Wadhi Al-Yamin Ala Asy-Syimal fi Ash-
Shalah Qabla Al-Qira`ah, hadits nomor 463.
Hadits shahih. Dishahihkan Al-Albani dalam Misykat Al-Mashabih (797) dan An-Nawawi dalam
Al-Khulashah (1096). Menurut kami (Abduh), hadits ini memang shahih. Hampir semua kitab
takhrij dan syarah hadits, serta kitab-kitab fiqih yang membahas atau menyinggung masalah ini
menyebutkan riwayat Ibnu Khuzaimah; ada yang tidak memberikan komentar, ada yang
mengatakan diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, dan ada juga yang mengatakan
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Mungkin dikarenakan hal ini, Imam Asy-Syaukani berkata,
Tidak ada hadits yang lebih shahih dalam bab ini daripada hadits Wa`il tersebut. (___, Nail Al-
Authar, III/305).

[48] Syaikh Dr. Muhammad Bakr Ismail berkata, Sebagian pengikut madzhab Maliki berpendapat
bahwa melepaskan tangan ke samping itu lebih utama daripada menggenggamnya. Padahal, dalam
Al-Muwaththa` sendiri disebutkan bahwa Imam Malik rahimahullah selalu menggenggam
tangannya dalam shalat hingga dia menemui Allah Azza wa Jalla. (___,Al-Fiqh Al-Wadhih Min
Al-Kitab wa As-Sunnah Ala Al-Madzahib Al-Arbaah, jld I, 183).

[49] Lihat perincian berikut dalil-dalilnya di: ___, Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jld
XXXVIII, hlm 369; ___, Al-Fiqh Ala Al-Madzhahib Al-Arbaah, jld I, hlm 285; ___, Al-Fiqh Al-
Wadhih Min Al-Kitab wa As-Sunnah Ala Al-Madzahib Al-Arbaah, jld I, 183; dan ___, Al-Fiqh
Al-Islamiy wa Adillatuh, jld II, hlm 262-263.

[50] Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, tahqiq:
Syaikh Muhammad Abdul Azhim, Penerbit Dar At-Taqwa: Syubra Khaima (Mesir), tanpa
keterangan cetakan dan tahun, jld 2, juz 4, hlm 667.

[51] Awalnya, Al-Albani bermadzhab Hanafi, namun kemudian meninggalkannya.

[52] Fiqh As-Sunnah selesai ditulis Syaikh Sayyid Sabiq pada tahun 1365 H, dan diberi kata
pengantar oleh Syaikh Hasan Al-Banna.

[53] Termasuk juga dakwah salafiyah, meski datangnya ke Tanah Air agak belakangan.

115


MENGGAPAI DERAJAT SIDDIQIN

Oleh:
Rikza Maulana, M.Ag


_ ` ,, ` , . , ` , _ ` ,, ` ` . . , , ` , ` _ . ` ` `
. , _,` - _ ` ,, . . , ,` . ., , _` - ` ` ` . , ` -` , . , ` -
` ,, _,` - , ` . `, _` - ` . , ` -` , . , _` _

Dari Abdullah bin Masud r.a., dari Nabi Muhammad saw. bahwasanya beliau
bersabda. Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan
menunjukkan pada surga. Dan seseorang berperilaku sidiq, hingga ia dikatakan
sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada
keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang
berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)


Sekilas Tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh seluruh Aimmah
Ashab Kutub Al-Sittah, kecuali Imam Nasai:
116
Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur sanad Jarir bin Mansur, dari Abi
Wail, dari Abdullah bin Masud, dari Rasulullah saw., dalam Shahihnya,
Kitab Al-Adab, Bab Qoulullah Taala Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah
Wakunu Maas Shadiqin, hadits no 6094.
Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab, Bab
Qabhul Kadzib Wa Husnus Shidq Wa Fadhluh, hadits no 2607.
Imam Turmudzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr Was Sillah An Rasulillah,
Bab Ma Jaa Fis Sidqi Wal Kadzibi, hadits no. 1971, melalui jalur sanad
Amasy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Ibnu Masud.
Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Adab, bab Fi Attasydid Fil
Kadzib, hadits no. 4989, melalui jalur sanad Al-Amasy, dari Abi Wail dari
Ibnu Masud.
Imam Ibnu Majah dalam Muqaddimah di Sunannya, Bab Ijtinab Al-Bida
Wal Jadl, hadits no 46, malalui jalur sanad Abu Ishaq, dari Abu Al-
Ahwash, dari Abdullah bin Masud.
Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya, pada Musnad Al-Muktisirn
Minas Shahabah dalam Musnad Ibnu Masud, hadits no 3631, 3719, & 4097.


Gambaran Umum Tentang Hadits

Hadits sederhana ini menggambarkan dua hakikat perbedaan yang begitu jauh.
Pertama mengenai as-sidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan
Rasullah saw. sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang
ke surga. Sementara hakikat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang
merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke
dalam neraka.

Rasulullah saw. ketika menggambarkan kedua hal di atas, sekaligus mengaitkan
juga dengan mashirah (kesudahan) dua sifat yang berbeda tadi, yaitu surga bagi
yang shadiq serta neraka bagi yang kadzib. Faidahnya adalah untuk memberikan
tadzkir. Karena secara tabiat, manusia seringkali menganggap remeh keduanya.


Pengertian as-Sidq

117
Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang
satu sama lain saling melengkapi.

Lawan kata sidiq adalah kadzib (dusta). Di antara arti sidiq adalah: benar, jujur/
dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Sidiq di sini
lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari
Allah dan Rasulullah saw. yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang
mendalam. Contoh, kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat
membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan
membenarkan peristiwa Isra dan Miraj, di waktu tiada orang yang mempercayai
Rasulullah saw.

Para ulama memiliki beragam gambaran, di antaranya:
Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena
orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang
membayahakan dirinya.
Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan
diharapkan.


Sidiq Merupakan Hakikat Kebaikan

Sidiq merupakan hakikat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena
mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah
swt. dalam surat al-Baqarah: 177.

Dalam ayat ini digambarkan sidiq yang meliputi keimanan, menginfakkan harta
yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam
kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk
senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar
(sidiq). (At-Taubah: 119)


118
Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin-nya menyebutkan enam hadits dalam bab
sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut:
1. Dari Ibnu Masud ra, Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya sidiq itu
menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam
surga (Mutafaqun alaih)
2. Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib merupakan sumber dari
keburukan: Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada
keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka. (Mutafaqun
alaih)
3. Sidiq merupakan ketenangan. Dari Abu Haura as-Sady, aku berkata
kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah saw?
Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah saw: Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.
Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketenangan dan dusta itu
membawa pada keragu-raguan. (HR. Tirmidzi)
4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah saw. Hal ini dikatakan oleh Abu
Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus: Apa yang dia perintahkan
pada kalian? Abu Sufyan menjawab, Untuk menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran
nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan
santun dan menyambung tali persaudaraan. (Mutafaqun alaih)
5. Rasulullah saw. mengatakan: Barangsiapa yang meminta kesyahidan
kepada Allah swt. dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan
menempatkannya pada posisi syuhada, meskipun ia meninggal di atas
ranjangnya. (HR. Muslim)
6. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah swt.
Rasulullah saw. mengemukakan: Penjual dan pembeli keduanya bebas
belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas
kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta
maka terhapuspah berkah jual beli tersebut. (Mutafaqun alaih)


Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada dan Shalihin

119
Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan
menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan
bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah
berfirman: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (An-Nisa: 69)


Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi

Dalam Al-Quran setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat
siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim a.s. Allah memujinya karena
memiliki sifat ini: Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-
Kitab (Al-Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan
lagi seorang Nabi. (Maryam: 41)

Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris a.s. Allah juga memujinya dalam Al-
Quran karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: Dan ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.
(Maryam: 56)

Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf a.s. Beliau membuktikan kebenaran
keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina,
meskipun disertai dengan ancaman (Yusuf: 51).


Ciri-ciri Orang yang Sidiq

Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, di antara ciri-ciri mereka yang Allah
gambarkan dalam al-Quran adalah:
1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah swt.
mencontohkan dalam Al-Quran, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang
mereka janjikan (baiatkan) kepada Allah: (Al-Ahzab: 23).
120
2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam Al-
Quran (Al-Hujuraat: 15).
3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah saw., berinfaq, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menepati janji dan sabar (Al-Baqarah: 177).
4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam Al-
Quran: Barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh
dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus. (Ali Imran: 101)


Cara Mencapai Sifat Sidiq

Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati
kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar
merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat
yang paling dicintai Rasulullah saw., yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq. Ada beberapa
cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:
1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan)
kepada Allah swt. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan
kepada Allah.
2. Melatih diri untuk bersikap jujur di mana saja dan kapan saja serta kepada siapa
saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.
3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-
Quran dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio.
Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih
sangat memungkinkan adanya kesalahan.
4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya;
aqidah, ibadah, akhlaq dan syariah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki
komitmen yang tinggi terhadap Islam: Barangsiapa yang berpegang teguh dengan
agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang
lurus. (Al-Baqarah: 101)
5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai sifat
sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang
sangat membekas dalam jiwa manusia.
6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafush
shalih, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.
121
7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal
tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan
mudah dihiasi sifat sidiq.

Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq
dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif,
maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, mari kita menjaga
hati dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita
dari sifat sidiq.
122


TIGA SEBAB MUNCULNYA EKSTREMITAS

Oleh:
Tate Qomaruddin, Lc


` ,` , ` , ' , ` ,` , _ , ` ,` ` ` . ` - ' ` `,` ` `, ` , ` ,` `, `,` . , _- ,

Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama itu
melainkan pasti ia (agama) akan mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus, moderat, dan
sikapilah dengan gembira (lapang dada). (Al-Bukhari)

dakwatuna.com Hadits di atas menegaskan kepada kita bahwa aslinya Islam
adalah moderat dan jauh dari ekstremitas. Al-Quran dan Sunnah telah
menggariskan segala sesuatu yang membuat manusia mencapai kebaikan,
kebahagiaan, serta kejayaan dunia dan akhirat. Ada nash-nash yang amat rinci
seperti penjelasan mengenai praktik ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat
dan haji. Petunjuk untuk ibadah-ibadah seperti itu telah sangat gamblang dan
lengkap. Hal lain yang diterangkan secara rinci adalah pembagian harta waris.
Siapa yang berhak memperolah harta waris dan berapa bagian untuk masing-
masing orang yang berhak itu.

Selain itu, ada pula petunjuk-petunjuk Islam yang bersifat global dan umum.
Perinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang yang berkompeten untuk itu.
Yakni para ulama dengan kualifikasi tertentu. Petunjuk yang bersifat global ini
123
banyak berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan lain
sebagainya. Namun semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang telah diberikan
oleh Islam.

Tanpa standar itu maka akan terjadi bias dalam penilaian. Bisa saja karena
seseorang tidak suka dengan cara temannya berislam yang belum tentu salah
dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan sebaliknya orang yang selalu mengambil pilihan
yang sulit dan keras akan menuduh orang yang berbeda dengan dirinya sebagai
orang yang tidak komit, lembek, dan penakut. Jadi tidak ada Islam ekstrem, yang
ada adalah muslim ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah saw., Binasalah
mutanath-thiun. Beliau mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. (Muslim)

Imam Nawawi, dalam kitabnya Riyadhush-Shalihin, menjelaskan kata mutanath-
thiun yang ada dalam hadits itu: Mutanath-thiun adalah orang-orang yang
mendalam-dalami (secara memaksakan diri) dan bersikap keras dalam hal yang
tidak seharusnya keras.

Mengapa muncul sikap memberat-beratkan diri sendiri dalam melaksanakan
Islam? Banyak sebab, antara lain:

1. Memahami Syariat Islam secara parsial.

Pemahaman parsial tentang Islam (syariat Islam) mempunyai peran besar dalam
memunculkan perilaku ekstrem. Syariat Islam Islam merupakan satu bangunan
utuh yang satu komponen dengan lainnya saling menguatkan. Fondasinya akidah
dan keimanan. Lantai pertamanya adalah akhlak dan perilaku. Ibadah-ibadah ritual
(taabbudi) adalah lantai kedua. Lantai ketiganya adalah muamalat dengan segala
cabangnya. Dan bangunan Islam tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-
bagian itu.

Syariat Islam bukanlah hanya berisikan hudud seperti hukum potong tangan,
hukum rajam, atau hukum cambuk. Karenanya, dalam kacamata Islam,
menegakkan syariat Islam bukan hanya menegakkan hudud itu. Terkait dengan hal
ini, Dr. Ali Juraisyah menegaskan, Bukan hanya dengan hudud syariat Islam
ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum muamalah.
Sedangkan muamalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syariat.
124
Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan muamalat secara keseluruhan,
sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua,
dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?

Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah mengatur
urusan pribadi sama kelirunya dengan pandangan yang menyatakan bahwa jihad
lebih penting dari shalat, atau sebaliknya. Dan sama salahnya dengan pandangan
yang menyatakan bahwa mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyyah
adalah lebih penting dari membina akidah dan akhlak, atau sebaliknya. Karena
kesemuanya itu adalah merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari
integralitas Islam.

Dalam pembahasan iman kepada Allah, misalnya, ada bagian yang oleh para
ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal
nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini merupakan bentuk ketiga tauhid. Yang
pertama dan keduanya adalah tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.

Dari situ jelas bahwa akidah bukan saja urusan tauhidul asma wash-shifat. Ia adalah
merupakan bagian dari pembahasan iman kepada Allah. Dan iman kepada Allah
adalah rukun pertama dari rukun iman. Dan selain mempunyai rukun, iman juga
mempunyai cabang-cabang. Dalam urusan ibadah, shalat hanyalah satu dari
rukun Islam. Dan rukun Islam adalah bagian azasi dari Islam dan bukanlah
keseluruhan Islam. Di dalam Islam ada dzikir, ada ukhuwwah, ada khusyu, ada
tawadhu, ada jihad dan seterusnya.

2. Kedangkalan Ilmu

Semangat saja belum cukup untuk membela Islam. Selain semangat harus ada
ilmu. Akibat kedangkalan pemahaman dan tidak menguasai sendi-sendi hukum
dalam Islam dapat pula memunculkan ekstremitas. Syaikh Yusuf Qardhawi
semoga Allah menjaganya untuk menggambarkan hal itu dengan menggunakan
istilah dhaful-bashirati bihaqiqatid-din (lemahnya pemahaman tentang hakikat
agama).

Lebih jelasnya beliau menyebutkan, Yang saya maksudkan bukanlah kebodohan
mutlak tentang agama. Kebodohan yang macam itu biasanya tidak memunculkan
125
sikap ekstrem bahkan boleh jadi memunculkan sikap sebaliknya: tidak punya
pegangan dan lumer. Yang saya maksudkan justru sepotong ilmu yang dengannya
pemiliknya merasa sudah masuk ke dalam kelompok ulama. (Lihat Ash-
Shahwatul-Islamiyyah Bainal-Juhud Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)

Dari kedangkalan ilmu pula dapat muncul perilaku mudah mengkafirkan orang
lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak wajib dimiliki oleh para dai. Ini ditegaskan
dalam Al-Quran, Katakanlah: Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)

3. Terburu Nafsu

Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat saat menginginkan tercapainya
tujuan-tujuan besar. Baik terkait dengan dunia maupun akhirat. Apabila untuk
mencapainya mengambil jalan pintas dengan cara berlebihan dalam ketaatan dan
ibadah sambil berkeyakinan bahwa manhaj Islam yang asli tidaklah cukup dan
tidak akan mengantarkan kepada tujuan, maka ini jelas kesalahan besar. Dari
sinilah berangkatnya sikap mengharamkan untuk dirinya hal-hal yang jelas-jelas
mubah (boleh). Atau mewajibkan untuk dirinya ibadah-ibadah yang hukumnya
sunnah, kata Dr. Muhammad Zuhaili.

Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan hawa nafsunya dan merasa
bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari beranggapan bahwa jalan yang
ia tempuh adalah jalan yang benar. Ini biasanya juga dibarengi dengan tudingan
bahwa jalan yang ditempuh orang lain adalah jalan yang salah atau kurang, imbuh
Muhammad Zuhaili (Al-Itidal Fit-tadayyun hal. 11-12).

Sikap istijal kerap muncul dan seringkali tampil sebagai ekstremitas. Tidak
terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi ketika cita-cita menegakkan kedaulatan
Islam tidak dibarengi dengan kesabaran untuk menempuh perjalanan yang pernah
ditempuh oleh Rasulullah saw. Dr. Sayyid Muhammad Nuh menggambarkan
sikap istijal itu, Ia ingin mengubah kondisi atau realita kehidupan kaum
muslimin dalam waktu sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa
memperhatikan situasi dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan
segala uslub dan wasilahnya. (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal. 81)
126

Jadi, aslinya Islam itu mudah, adil, seimbang, dan wasath (moderat). Orang yang
paling moderat adalah yang paling komitmen kepada seluruh ajaran Islam. Dan
ekstremitas terjadi justru manakala orang meninggalkan Islam atau menyimpang
dari pelaksanaan Islam yang digariskan oleh Rasulullah saw. Allahu Alam.

127


SAMUDERA KEBAIKAN

Oleh:
Rikza Maulana, M.Ag


dakwatuna.com Dari Abu Malik al-Harits bin Ashim al-Asyari r.a. berkata,
bahwa Rasulullah saw. bersabda, Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.
Alhamdulillah itu memberatkan timbangan. Subhanallah dan Alhamdulillah
keduanya memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat itu adalah cahaya,
shadaqah itu adalah burhan (bukti/ petunjuk). Kesabaran adalah cahaya. Al-
Quran adalah hujjah (bukti) untuk membelamu atau menentangmu. Setiap
manusia bekerja, maka ada yang menjual dirinya dengan bekerja berat untuk
keselamatannya atau kehancurannya. (HR. Muslim)


Takhrij Hadits

Hadits ini (sebagaimana teks hadits di atas, riwayat Imam Muslim) melalui jalur
Abu Malik al-Harits bin Ashim al-Asyari dari Abu Sallam dan Zaid, diriwayatkan
oleh:
Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Thaharah, Bab Fadhl Al-Wudhu,
hadits no. 328.
128
Imam Turmudzi dalam Jaminya, Kitab Al-Daawat Anir Rasul, Bab Minhu,
hadits no. 3439, dengan sanad serupa.
Imam Nasai dalam Sunannya, Kitab Al-Zakat, Bab Wujub Al-Zakat, hadits no.
2394, dengan sanad serupa.
Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam dua tempat yaitu pada Baqi
Musnad Al-Anshar, Hadits Abi Malik Al-Anshari, hadits no 21828 dan no 21834,
keduanya dengan sanad serupa.
Imam Al-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Thaharah, Bab Ma Jaa Fi Al-
Thahur, hadits no. 651, dengan sanad serupa.


Gambaran Tentang Hadits

Hadits di atas memberikan gambaran kepada kita, betapa sesungguhnya peluang
dan kesempatan untuk melakukan amal kebaikan begitu terbuka lebar. Hadits
dibuka dengan ungkapan Rasulullah saw, Kebersihan adalah bagian dari iman.
Yaitu bahwa Islam merupakan Diin yang membawa manusia pada hakikat
kesucian. Baik kesucian yang bersifat lahiriyah seperti wudhu dan mandi, ataupun
kesucian yang sifatnya manawiyah, seperti kesucian hati dan jiwa. Ini semua
artinya bahwa Islam ditegakkan atas prinsip kesucian. Segala sesuatu harus dimulai
dari kesucian, baik kesucian niat maupun kesucian fisik dan pakaian, seperti shalat,
membaca Al-Quran dsb. Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan bahwa segala
amal kebaikan adalah shadaqah. Mengucapkan alhamdulillah, subhanallah, shalat,
shadaqah, kesabaran, membaca Al-Quran dan sebagainya. Masing-masing dari
kebaikan tersebut memiliki nilai luhur yang mulia, meskipun merupakan hal-hal
sesungguhnya sangat sederhana.

Namun pada akhirnya, manusia sendirilah yang akan menentukan arah dan tujuan
hidupnya. Rasulullah saw. mengatakan, Setiap manusia itu bekerja, maka ada
yang menjual dirinya dengan bekerja berat untuk keselamatannya atau
kecelakaannya. Artinya, ada manusia yang menjual dirinya kepada Allah swt.
dengan melakukan segala ketaatan, dan oleh karenanya ia membebaskan dirinya
dari azab api neraka. Namun ada juga yang menjual dirinya kepada syaitan, dengan
berlaku sebaliknya; senantiasa bergelimang dengan kemaksiatan, maka ia telah
menghancurkan dirinya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka.

129

Kebersihan Adalah Setengah dari Iman

Dalam Syarah Muslimnya, Imam Nawawi mengemukakan bahwa di antara makna
kebersihan bagian dari iman, adalah:
1. Bahwa pahala dalam bersuci dapat berlipat pahalanya sampai setengahnya
pahala keimanan.
2. Bahwa keimanan akan menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan seseorang
sebelumnya, demikian juga dengan wudhu. Karena wudhu tidak sah dilaksanakan
tanpa iman

Hikmah yang dapat dipetik dari keharusan adanya proses thaharah ini adalah
bahwa seluruh ibadah yang dilakukan oleh setiap hamba Allah adalah bertujuan
untuk mensucikan pelakunya sendiri dari karat-karat dan noda kehidupan dunia.
(QS. Al-Maidah: 6)

Hikmah lain adalah, bahwa sesungguhnya Allah swt. sendiri sangat mencintai
orang-orang yang senantiasa bersuci (QS. Al-Baqarah: 222), Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang senantiasa
mensucikan diri.

Karena dengan bersuci, dosa-dosa seseorang akan diampuni oleh Allah swt..
Dalam sebuah hadits dari Utsman bin Affan r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Barang siapa yang berwudhu kemudian ia menyempurnakan
wudhunya, maka akan keluar dosa-dosa dari jasadnya, hingga keluar (dosa-
dosanya tersebut) dari bawah kuku-kukunya. (HR. Muslim)


Fadhilah Subhanallah dan Alhamdulillah

Hadits di atas menggambarkan bahwa Alhamdulillah memberatkan timbangan.
Bahkan Rasulullah saw. mengulanginya lagi dengan mengatakan bahwa fadhilah,
subhanallah dan Alhamdulillah adalah akan memenuhi ruang antara langit
dan bumi. Dalam hadits lain, Rasulullah saw. menguatkan fadhilahdzikir ini
dengan mengatakan: Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Ada dua kalimat yang ringan diucapkan lisan namun berat di atas
130
timbangan dan disukai oleh Allah yang Maha Rahman, yaitu subhanallah wa
bihamdihi dan subhanallahil adzim. (HR. Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, Barang siapa yang bertasbih seratus kali pada setiap
selesai shalat, dan bertahlil seratus kali, maka akan diampuni dosa-dosanya
meskipun dosa-dosanya tersebut seumpama buih di lautan. (HR. Nasai)

Urgensi Dzikrullah dalam Kehidupan Muslim

Rasulullah saw. juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir
kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir
kepada Allah sebagai orang yang mati: Perumpamaan orang yang berdzikir
kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup
dan mati. (HR. Bukhari)

Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah saw. juga mengumpamakannya dengan
rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup,
dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau
kuburan.

Seorang mumin yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada Allah,
akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada porsi seorang
muslim biasa. Karena pada hakikatnya, ia ingin kembali menghidupkan hati
mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia dapat mengemban
amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup remang-remang, atau bahkan
juga turut mati dan porak-poranda.

Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir
dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakikatnya sama seperti
pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia
lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah,
Allah gambarkan dalam Al-Quran, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram
(13: 28)

Ketenangan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak
131
bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan penulis melihat
bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan
hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana
dzikir juga dapat menjadikan hati menjadi tenang. Dan ini pulalah letak urgensitas
dzikir dalam hati seorang dai.

Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang dai, meninggalkan dzikir dalam
setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak keistimewaan yang
teramat penting guna menjadi bekalan dawah yang akan mereka lalui. Salah
seorang salafuna saleh ada yang mengatakan, Lisan yang tidak berdzikir adalah
seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh.
Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan
Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri.

Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang
sangat indah: Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan
dalam tilawatul Quran, dan kalian akan mendapatkannya. Jika tidak maka
ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup.

Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang dai. Dengan dzikir, seorang
hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana syaitan menundukkan
manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah, amal shaleh menjadi hidup.
Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad yang tidak memiliki ruh. Akankah
aktifitas dawah yang dilakukan dai menjadi seperti jasad tanpa ruh?


Shalat Adalah Cahaya

Shalat merupakan kewajiban seorang muslim dalam seluruh masa dari
kehidupannya, dan merupakan rukun Islam kedua. Dalam hadits di atas
Rasulullah saw. menggambarkan bahwa shalat adalah cahaya, Imam Nawawi
mengemukakan, bahwa terdapat beberapa makna mengenai hal ini:
Bahwa shalat mencegah dari kemaksiatan, membentengi dari perbuatan keji dan
kemungkaran dan menunjukkan pada kebenaran, sebagaimana cahaya menerangi
jalannya.
Bahwa pahala dari shalat itu akan menjadi cahaya bagi pelakunya pada hari
132
kiamat kelak.
Bahwa shalat itu akan menjadi cahaya yang terlihat terang pada wajah pelakunya
di hari kiamat, dan di duniapun seseorang yang shalat akan terlihat pada wajahnya
kecerahan, berbeda dengan orang-orang yang tidak shalat.

Dalam Al-Quran Allah swt berfirman, Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut: 45)

Shalat merupakan cahaya manawi yang menerangi jalan hidayah dan kebenaran
sebagaimana cahaya menerangi jalan yang lurus dan akhlak yang benar, dengannya
seorang muslim akan menjadi orang yang berwibawa dan terhormat di dunia dan
wajahnya akan bersinar pada hari kiamat. Dalam ayat lain, Allah mengatakan,
Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah
kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Shadaqah Adalah Burhan (Bukti/ Petunjuk)

Shadaqah merupakan bukti dari keimanan seseorang. Karena orang yang
beriman senantiasa akan menyisihkan sebagian hartanya untuk shadaqah fi
sabilillah. Bahkan dalam Al-Quran, Allah swt mengatakan, Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.

Ayat di atas menggambarkan bahwa seseorang tidak akan pernah mencapai derajat
kebaikan hingga ia mau menginfakkan di jalan Allah, harta yang paling
dicintainya. Dan dari ayat tersebut, terlahir sebuah kisah, bagaimana salah seorang
sahabat Rasulullah saw. yang bernama Abu Thalhah ketika mendengar ayat ini
beliau langsung pergi menemui Rasulullah saw. Beliau mengatakan bahwa harta
yang paling dicintainya adalah Bairaha, yaitu sebidang tanah yang berada persis di
depan Masjid Nabawi. Bahkan diriwayatkan Rasulullah saw. sangat menyukai
untuk memasuki tanahnya tersebut untuk meminum air dari mata air yang
133
terdapat di dalamnya. Beliau mengemukakan bahwa tanahya itu diinfakkan fi
sabilillah. Ketika itu Rasulullah saw. mengatakan, bahwa ini adalah harta yang
menguntungkan, ini adalah harta yang menguntungkan.

Di samping itu, Allah swt. juga menjanjikan kepada orang-orang yang mau
berinfak dengan balasan pahala yang demikian besar. Dalam Al-Quran Allah swt
mengatakan, Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.

You might also like