You are on page 1of 7

ANTARA EKONOMI ISLAM DAN FIQH MUAMALAH

Munculnya perbankan syariah menimbulkan silang pendapat dalam menelaah ke belakang tentang lahirnya ekonomi Islam kaitannya dengan fiqh muamalah. Untuk melihat relasi yang jelas antara fiqh muamalah dengan ekonomi (Islam), Anas Zarqa mengusulkan suatu kerangka pendekatan yang bersifat teoretis dengan mencoba menarik suatu perbedaan antara fiqh yang bermuatan normatif dan ekonomi Islam yang mempunyai wakaf deskriptif atau dengan kata lain deskriptif positif. Istilah deskriptif menggambarkan realitas yang spesifik, sebab istilah itu mengindikasikan apa yang senyatanya ada, sehingga dapat dipersamakan dengan istilah indikatif. Sedangkan istilah normatif mengekspresikan apa yang seharusnya ada dan terjadi.1 Apa saja yang dikaitkan dengan Islam -tidak terkecuali ekonomi Islam-, tentu akan dilihat dan diteliti dari berbagai aspek yang berhubungan dengan Islam itu sendiri baik secara normatif maupun deskriptif-positif. Oleh sebab itu, ekonomi Islam bukan sekedar ekonomi Syariah. Ia adalah ekonomi yang melambangkan peradaban Islam yang mempunyai spektrum yang begitu luas. Dalam hal ini, kaitan ekonomi Islam dengan ilmu-ilmu Islam lainnya jelas bukan hanya dengan ilmu fiqh saja, melainkan dengan ilmu-ilmu lain yang terkait dengan peradaban itu sendiri. Bidang muamalat tampaknya memiliki ruang lingkup yang sangat luas, sehingga potensial untuk berkembang lebih jauh. Pada saat pengembangan masyarakat dititikberatkan pada bidang ekonomi Islam, bidang ini (fiqh muamalat) akan terus berkembang. Bahkan, berbagai indikator ekonomi dijadikan instrumen untuk mengukur kedudukan dan
Anas Zarqa, Achieving The Islamization of Economics : Concept and Methodology, paper tidak diterbitkan, hlm. 10.
1

posisi

suatu

negara

dan

masyarakat

bangsa

dalam

pergaulan

internasional. Akan tetapi, tentu saja yang menjadi subyek dalam hal ini adalah aspek normatif dari ekonomi, dan bukan realitas ekonomi itu sendiri. Penegasan tentang hal ini memiliki makna penting karena dewasa ini terjadi pergeseran cara pandang dari muamalat menjadi ekonomi Islam. Subyek kedua bidang tersebut berpangkal dari dua subject matter2 dan sudut pandang yang berlainan. Muamalat bertitik tolak dari pandangan dunia dan nilai yang diimplementasikan untuk penataan hakhak kebendaan, perikatan dalam lingkungan publik. Ia dapat disebut sebagai hukum ekonomi. Sementara itu, ekonomi bertitik tolak dari pemenuhan kebutuhan terhadap benda (dan jasa) sebagai barang yang dapat diproduksi, didistibusi dan dikonsumsi.3 Fiqh muamalah mempunyai sudut kedekatan dengan ilmu ekonomi (Islam), tetapi ilmu ekonomi jauh lebih besar cakupannya dari sekedari dimensi hukum dan etika dalam fiqh muamalah. Ilmu ekonomi merangkum science yang tidak dirangkum dalam fiqh muamalah. Walaupun begitu, ilmu ekonomi Islam pastinya menggunakan fiqh muamalah sebagai salah satu kerangkan normatifnya.4 Lebih jauh Anas Zarqa5 menegaskan bahwa hubungan antara ekonomi Islam dan fiqh muamalah dapat dilihat dari tiga fungsi utama. Pertama, ekonomi (Islam) memiliki fungsi yang berbeda dari fiqh

George Ritzer menegaskan bahwa perbedaan antara dua disiplin ilmu dapat dilihat dari subjec matter yang dikandung masing-masing ilmu tersebut. Uraian detail lihat George Ritzerh, Sosiologi : Ilmu Sosial Berparadigma Ganda, Terj. Ali Mandan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1989), hlm. 24. 3 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh : Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian Jilid I, (Bogor : Kencana, 2003), hlm. 353. 4 Ugi Suharto, Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi Islam, dalam ISEFID Review Journal of The Islamic Economic Forum for Indonesian Development, hlm. 42. 5 Anas Zarqa, Achieving The Islamization of Economics, hlm. 10.
2

(muamalah),

yakni

fungsi

deskripsi

dan

identifikasi

fakta-fakta,

penemuan terhadap hubungan-hubungan dan hukum-hukum yang menghubungkan fenomena ekonomi secara serentak, dan mengupayakan manfaat ekonomis di antara ketentuan-ketentuan syariah atau

menentukan akibat-akibat ekonomis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dalam kehidupan ekonomi. Pada sisi lain, fungsi fiqh adalah untuk mengidentifikasi perintah-perintah syariah dari bukti-bukti tekstual yang terinci terhadap hukum aktivitas ekonomi. Perbedaan fungsi tersebut dapat dilihat pula dari perbedaan dasar antara fiqh (muamalat) dengan ekonomi (Islam) adalah bahwa tujuan fiqh yang utama adalah memahami asumsi-asumsi normatif yang secara esensial merupakan perintah-perintah syariah. Asumsi-asumsi normatif ini dalam kenyataannya menempati totalitas semu dari fiqh (the quasitotality of fiqh). Pada sisi lain, tujuan ekonomi Islam (maupun ekonomi positif) yang utama adalah memahami asumsi-asumsi deskriptif dalam rangka mengidentifikasi realitas-realitas dan menghubungkan realitas itu dengan fenomena ekonomi secara serentak. Dalam kerangka pikir di atas, dengan mengemukakan contoh berikut ini, memungkinkan untuk melakukan klarifikasi terhadap adanya perbedaan fungsi antara ekonomi Islam dengan fiqh muamalah. Dalam kasus monopoli misalnya, teks-teks fiqh akan mengemukakan bukti-bukti tekstual untuk mendukung pelarangan monopoli, apa saja yang tidak boleh dimonopoli, dan sifat serta syarat yang bagaimana suatu monopoli dilarang. Sedangkan karya-karya di bidang ekonomi (Islam) akan melakukan identifikasi terhadap akar terjadinya monopoli, tipe-tipe monopoli, pengaruhnya terhadap distribusi pendapatan, adanya

perlakuan pricing yang berbeda antara pasar monopoli dengan pasar kompetitif, berbedaan kuantitas barang yang dijual dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam memfokuskan diri pada aspek deskriptif dari fenomena, berusaha melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya dan terhadap hubungan-hubungan kausal yang relevan. Sedangkan fiqh muamalah melihat fenomena (ekonomi) dari aspek yang normatif, yakni bagaimana aturan syariah terhadap fenomena tersebut kemudian menetapkan kriteria kebolehan dan larangan tergantung fenomena dan fakta yang dihadapi. Menurut Monzer Khaf6, suatu pembedaan harus ditarik antara berbagai bagian dari hukum Islam yang membahas fiqh muamalah dengan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama (fiqh muamalah) menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebutkan belakangan (ekonomi Islam), sedangkan yang disebut belakangan (ekonomi Islam) mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat musliml. Menurutnya, ekonomi Islam dibatasi oleh hukum dagang Islam, tetapi itu bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi tersebut. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai pengaruh, atau bahkan lebih banyak terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya. Tidak adanya pembedaan antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku yang lain mengkaji ekonomi Islam dari perspektif fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah pernyataan kembali ke hukum Islam mengenai
Monzer Khaf, Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi Ekonomi Islam, Terj. Machnun Husein, Cet. 1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 15.
6

beberapa jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap sejumlah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produksi. Hal lain yang tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan fiqh muamalat adalah bahwa rancangan seperti itu, pada dasarnya terpecah-pecah, parsial dan kehilangan keterkaitan secara menyeluruh dengan teori ekonomi yang menjadi mainstream.7 Meskipun Anas Zarqa dan Monzer Khaf mengakui adanya perbedaan mendasar antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam, maupun pengakuan mereka terhadap adanya keterkaitan antara keduanya, akan tetapi tidak disebutkan secara eksplisit bagian-bagian yang manakah dalam fiqh muamalah yang mempunyai keterkaitan dengan ekonomi Islam. Untuk mempertegas adanya keterkaitan antara bagian fiqh muamalah dengan ekonomi Islam secara eksplisit, ada baiknya dikutip pendapat Syamsul Anwar sebagai berikut : Pada tiga dasawarsa terakhir ini fiqh muamalah mendapat arti penting yang lebih besar dengan lahirnya ilmu ekonomi Islam dengan institusi perbankan dan asuransi Islam. Ilmu ekonomi Islam terkait dengan fiqh muamalah secara erat. Bahkan ada fase dalam perjalanan ilmu ini mencari bentuk di mana ia dianggap sebagai cabang fiqh muamalat. Walaupun kemudian pandangan itu tidak dapat dibenarkan. Namun hal ini menunjukkan betapa pentingnya fiqh muamalah bagi ekonomi Islam, khususnya menyangkut perbankan dan asuransi Islam.8 Dengan demikian meskipun terdapat kaitan yang sangat erat antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam khususnya dalam aspek

Ibid. Syamsul Anwar, Materi Pengajaran Fiqh Muamalat, dalam Pelatihan Pengajaran Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: FE UII, Sabtu, 10 Juni 1995), hlm. 1.
7 8

perbankan dan asuransi Islam, tetapi tidak serta merta fiqh muamalah identik atau sama dengan ekonomi Islam. Kedua, join fungsi antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam. Dalam hal ini, adalah formulasi terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kesejahteraan publik.9 Contoh yang sangat baik untuk dikemukakan dalam hal ini adalah kebijakan fiskal dan perbendaharaan negara (bait al-ml). Secara historis kebijakan fiskal dan perbendaharaan negara dalam Islam mengalami evolusi sejak masa Rasullah SAW sampai beberapa generasi berikutnya dan hingga sekarang kajian di bidang ini tetap mendapat perhatian yang sangat signifikan. Sumbangan teoretis dalam bidang ini sangat berarti bagi penguatan baik fiqh muamalah maupun ekonomi Islam. Meskipun kedua disiplin keilmuan tersebut akan melihat dari sudut kajian yang berbeda, tetapi dapat dilihat dengan jelas adanya joint function keduanya dalam bidang ini. Dengan melihat joint function antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam yang begitu akomodatif, sehingga ada beberapa penulis menyamakan fiqh muamalah dengan ekonomi Islam. Qodri Azizy10 misalnya, menyatakan bahwa yang benar adalah bahwa ekonomi Islam adalah fiqh muamalah atau cabang dari ilmu fiqh atau ilmu-ilmu keislaman, bukan cabang dari ilmu ekonomi sekuler. Oleh karena itu, masalah keterkaitan antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam muncul bagi kita yang berpandangan bahwa antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam adalah tidak sama dan tidak muncul bagi mereka yang berpendapat sebaliknya (yaitu menyamakan antara fiqh muamalah

Ibid, hlm. 37. A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 190.
9 10

dengan ekonomi Islam), sebab tidak ada perbedaan dari segi objek materialnya. Ketiga, fungsi yang mendukung fiqh. Dalam hal ini, adalah suatu fungsi dalam rangka membentuk faqh sampai pada pemahaman terhadap aturan syariah yang semestinya dalam kasus-kasus tertentu, di mana faktor-faktor ekonomi dapat berperan dalam menentukan di antara beberapa aturan yang mungkin lebih relevan untuk diterapkan dari pada yang lain.11 Sebagaimana dipahami bahwa ketentuan-ketentuan syariah adalah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan (istishlah atau consideration of public interest). Ekonomi Islam diharapkan dapat memainkan peran penting dalam merealisasikan kemaslahatan tersebut dalam konteks istihsan. Operasionalisasinya dapat dilihat apabila dalam kasus perdagangan internasional, misalnya GATT, AFTA, WTO, ekonomi Islam dalam kerangka istihsan dapat memberikan pandangan yang berguna bagi faqih untuk menentukan sikap antara meratifikasi atau tidak perjanjian dagang internasional tersebut.

11

Ibid, hlm. 190.

You might also like