You are on page 1of 13

Kesulitan likuiditas di industri perbankan sekarang ini belum mereda, mungkin sampai pada tahun 2009 nanti kondisinya

masih akan seperti itu. Tak sedikit bank yang masih terus mencari duit untuk mempertahankan dan memperbesar posisi dana pihak ketiganya dengan berbagai cara, dari memberikan hadiah, berbagai fasilitas dan juga tentunya menaikkan tingkat suku bunga simpanan. Ada kemungkinan banyak bank yang berani menawarkan bunga melebihi batas bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sekarang ini cuma 10% untuk nasabah yang jumlah uangnya besar. Hal ini disebabkan karena derasnya kucuran kredit industri perbankan dan kucuran kredit ini tidak diimbangi dengan pasokan dana masyarakat yang masuk ke industri perbankan. Perang suku bunga terjadi di kalangan perbankan nasional, kondisi ini tentu tidak mengenakkan buat perbankan, karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mempertahankan atau menarik dana nasabah yang akhirnya perbankan nasional menaikkan tingkat suku bunga untuk pinjaman (kredit). Naiknya tingkat suku bunga kredit tsb tentu saja bisa memberatkan sector riil atau anggota masyarakat dalam usahanya membayar kewajibannya ke sector perbankan, yang juga ditambah dengan daya beli masyarakat saat ini yang sedang mengalami penurunan. Bagusnya sekarang kondisi perbankan nasional sekarang lebih kuat menghadapi krisis financial global daripada saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998 ini bisa dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat saat ini yang masih tinggi kepada perbankan nasional. Tetapi kalangan perbankan nasional harus tetap waspada karena dikhawatirkan tingkat suku bunga yang tinggi akan menaikkan tingkat kredit macet (NPL) karena sector riil atau anggota masyarakat bisa sewaktu waktu gagal (macet) membayar kewajibannya kepada perbankan. Contoh tingginya tingkat fluktuatif (volatilitas) sistem bunga yang diterapkan perbankan konvensional tsb karena salah satu penyebabnya adalah system bunga merupakan subsistem dari system ekonomi kapitalis yang tidak berazaskan keadilan tetapi berazaskan materialisme yang mana sangat memanjakan para deposan (pemilik dana). Para deposan dibuat untuk tidak ikut menanggung resiko dari usaha bank konvensional yang sewaktu-waktu bisa mengalami kerugian (kegagalan), mereka dibuat tidur nyenyak

dengan janji-janji pasti mendapatkan bunga dari uang (dana) yang disimpan di bank konvensional. Padahal di dunia ini tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dengan pasti pada hari esok, hanya Allah,SWT yang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada hari esok. Kita bisa melihat contohnya dengan terjadinya krisis financial global saat ini yaitu maksud dari bank-bank Eropa membeli surat utang lembaga keuangan AS yang beresiko tinggi (Credit Default Swaps) untuk mendapatkan bunga tinggi yang nantinya akan dibayarkan kepada nasabah deposannya. Bukannya bunga tinggi yang didapat justru dana yang ditanamkan di lembaga-lembaga keuangan AS tsb tidak bisa kembali Kalau saya analogikan system bunga seperti meminum syrup yang sangat manis, orang yang meminumnya terus menerus ketagihan manisnya sampai akhirnya secara tiba-tiba bisa mendatangkan berbagai penyakit kepada orang tsb seperti sakit gigi dan sakit diabetes yang parah.. Setelah terkena berbagai penyakit tsb, kesadarannya sudah datang terlambat, kondisi penyakitnya telah ikut merepotkan anggota keluarganya yang lain. Mengapa saya analogikan seperti itu, karena system bunga menjadikan para deposan tidak perduli apabila bank tempat ia menyimpan tidak sanggup membayar tingkat suku bunga yang telah dijanjikan, seperti pada krisis perbankan tahun 1997-1998 yang mana bank konvensional banyak yang mengalami kondisi negative spread sehingga menimbulkan kepanikan di kalangan para deposan (krisis kepercayaan) yang berujung pada rush. Kondisi tsb berbeda dengan bank syariah yang memakai system ekonomi syariah dengan subsistem bagi hasilnya, walaupun seperti meminum jamu yang rasanya pahit tetapi untuk jangka panjang sangat menyehatkan tubuh. Bagaimana tidak pahit rasanya di saat kalangan bank konvensional memberikan suku bunga s/d 70%, tingkat bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah pada saat itu hanya sekitar 8%. Tetapi pada akhirnya nasabah bank syariah tidak mengalami kepanikan seperti yang dialami nasabah bank konvensional

karena bank syariah tidak mengalami kondisi negative spread dan juga karena keyakinan nasabah bank syariah akan bahaya system bunga yang ribawi. Alangkah indahnya hidup ini andaikan seluruh perbankan nasional kita memakai system ekonomi syariah dengan subsistem bagi hasilnya bukan hanya sebagi alternative tetapi juga sebagai solusi dari krisis financial global. Sayangnya kapan hidup saat ini menjadi indah bagi semua orang dengan system ekonomi syariah, karena sebagian besar anggota masyarakat kita secara sadar atau tidak sudah terjebak kepada system ekonomi kapitalis dengan segala subsistemnya seperti uang kertas (fiat money), cadangan giro wajib minimum (fractional reserve requirement) dan system bunga (interest). Andaikan ingin keluar dari system ekonomi kapitalis tsb misalnya dari subsystem bunganya saja, amatlah sukar dan payah sekali, ini bisa dilihat dari banyaknya anggota masyarakat yang hanya menjadi penonton dan pengkritik produk-produk dan kinerja bank syariah akan tetapi pada dataran implementatifnya masih memakai system bunga yang ribawi bukan sebagai pelaku ekonomi syariah seperti menjadi nasabah bank syariah.

Kapitalisme terbukti gagal. Dia terbukti hanya meninggalkan kegamangan berupa ekonomi-ekonomi balon yang dari hari ke hari semakin menggelembung, lalu pecah dan timbullah krisis. Krisis ekonomi global dewasa ini, yang diawali dengan krisis sub-prime mortgage di Amerika Serikat menjadi bukti, bahwa kapitalisme merupakan sistem yang terbukti rapuh dan pada akhirnya gagal menjadi solusi bagi problematika ekonomi dunia yang lebih stabil. Indikasi kegagalan sistem ekonomi kapitalis sebenarnya memang sudah dapat diramalkan sejak awal. Menurut data mengenai kronologi krisis ekonomi (Roy & Glyn Davies, 1996), sejak pasca perang dunia I sampai sebelum tahun 2000 saja, sudah terjadi

21 krisis besar yang menghantam berbagai negara di dunia. Mulai dari negara besar seperti Jepang, USA, UK, sampai pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Krisis yang terjadi tersebut juga belum termasuk krisis-krisis keuangan kecil yang melanda berbagai belahan dunia. Krisis itu datang berulang dan terus menerus bahkan dengan frekuensi yang semakin sering terjadi mendekati millennium ketiga. Definisi Kapitalisme Jika dapat dirunut dari definisinya sendiri, kapitalisme mengandung berbagai macam pengertian. Dr Syamsul Hadi, dosen Hubungan Internasional FISIP UI mendefinisikan, kapitalisme bermakna bahwa satu sistem ekonomi yang didasarkan pada pemilikan kapital sebagai satu sentra. Dari seluruh aktivitas perekonomian, ya, sentranya disitu (kapital atau modal -red). Berbeda dengan pendapat di atas, Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, Ketua Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI mengatakan, Kapitalisme itu kan bagaimana dengan upaya yang sekecil-kecinya, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Senada dengan Pak Mustafa, Muhammad Iskandar, Mantan Ketua Departemen Sejarah yang juga Dosen Pengajar Sejarah Ekonomi dan Bisnis di Indonesia mengungkapkan, prinsip kapitalisme berupaya seminimal mungkin modal keluar tapi semaksimal mungkin hasil. Pertanyaannya, mengapa kapitalisme yang selama ini dijunjung dengan tinggitinggi sebagai salah satu sistem ekonomi terbaik dunia pada akhirnya juga mengalami kegagalan? Padahal setelah sosialisme di awal tahun 1990-an tumbang, hanya kapitalisme yang mampu menjadi sistem perekonomian dunia yang dominan. Krisis ekonomi global yang ada sekarang telah menjadi salah satu indikator paling nyata bagi kapitalisme, bahwa dia telah gagal. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D., yang juga dosen mata kuliah ekonomi syariah di FEUI mengatakan penyebab kegagalan kapitalisme, Ya, sudah jelas. Sebenarnya, keruntuhan kapitalisme ini sudah diramalkan jauh-jauh hari karena dianggap akan menciptakan kelas-kelas dalam masyarakat. Kelas pemilik modal,dan kelas ekonomi lemah. Yang kuat akan semakin kuat, dan yang lemah

semakin tertindas. Siapa yang meramalkan ini? Karl Marx. Sayangnya solusi yang Karl Marx kemukakan (sosialis -red) runtuh lebih cepat dari kapitalisme itu sendiri. Ketika ditanya mengapa kapitalisme dapat bertahan begitu lama, Ali Sakti, Junior Researcher Direktorat Perbankan Syariah BI, menjawab, Ya. Karena semuanya mempertahankan, karena kebanyakan yang mempertahankan adalah orang-orang yang kaya. Karena juga orang-orang itulah yang membuat piranti-piranti supaya bisa bertahan. Mereka yang membuat buku-buku teks untuk dipelajari orang. Para remaja, mahasiswa. Jejak Kapitalisme di Indonesia Bagaimana dengan perkembangan kapitalisme di Indonesia? Di Indonesia sendiri, jejak kapitalisme dimulai ketika penjajah Belanda mulai menjejakkan kakinya di Indonesia. Ketika dimintai penjelasan mengenai bagaimana kronologi kapitalisme di Indonesia, Dr. Syamsul Hadi mengatakan bahwa awal mula kapitalisme di Indonesia adalah kolonialisme, Kolonialisme, kita lihat disini bagaimana kolonialisme. Kalau awal-awal mereka (penjajah -red) datang, mereka itu sebetulnya lebih banyak dagang ya, jadi kapitalisme dagang. Disebut kapitalisme karena mereka sudah pakai kapal (yang merupakan modal atau kapital -red) ke sini. Dr. Syamsul Hadi juga melanjutkan bahwa kapitalisme dagang tersebut kemudian berubah menjadi kapitalisme produktif. Waktu kapitalisme produktif mereka pakai sistem pabrik gula. Mereka juga menggunakan culturstelsel. Dengan itu, mereka memakai kapitalisme pertanian dengan cara yang sangat kasar kan gitu. Mereka punya modal untuk bikin gula, bikin tebu. Jadi itu prinsip kapitalisme tadi, ya, yang diadopsi dari ilmu ekonomi, dengan modal sekecil-kecilnya, dapat untung sebanyak-banyaknya. Muhammad Iskandar juga sepakat bahwa jejak awal kapitalisme di Indonesia dimulai ketika praktek tanam paksa terjadi di Indonesia. Ketika itu jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman-tanaman yang laku keras di pasar komoditas dunia. Ini terlihat dalam tanam paksa. Karena tanaman yang diproduksi di perkebunan di kepulauan indonesia ini semua berorientasi pasar. Berbeda dengan prinsip pertanian yang dianut

masyarakat saat itu, orientasinya swasembada atau memenuhi kebutuhan, bukan memenuhi pasar. Nah ini yang berbeda. Padahal, menurut Ali Sakti, masyarakat Indonesia sebelum era kolonialisme menganut sistem yang lebih baik dan lebih sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Sementara apa yang dilakukan oleh Indonesia yang dulu dianggap sebagai ekonomi tradisional, lebih diwarnai oleh adat atau bahkan nilai-nilai Islam yang memang sudah berkembang. Seperti misalnya praktek maro (separuh; membagi sesuai dengan bagiannya masing-masing -red), bagi hasil dan sebagainya. Kalo maro itu kan tradisi, suku-suku yang melakukan bagi hasil dalam berkongsi atau bersyirkah antara pemilik modal dengan pengusaha, atau antara pemilik tanah dengan buruh tanah. Ini kan bagi hasil. Itu kan sebenarnya prinsip-prinsip islam. Pasca era tanam paksa tersebut, kebijakan kemudian berubah. Kapitalisme di Indonesia berganti. Pemainnya bukan lagi sekedar penjajah Belanda, tetapi telah terdiversifikasi. Menurut Muhammad Iskandar, Ini barangkali yang disebut awal kapitalis yang lebih murni. Jadi yang membedakan dengan periode sebelumnya. Kalau sebelum 1870 memang banyak eksploitasi perkebunan, tapi itu milik pemerintah. Tapi setelah 1870 itu milik swasta. Muncullah perkebunan yang besar untuk pasar dunia. Masa ini, menurut Muhammad Iskandar, disebut juga masa kapitalis bebas karena selain di bidang perkebunan, sektor swasta juga mulai merambah sektor lain.Namanya kapitalis, kan bebas, liberal, bebas, jadi pasar yang menentukan. Mereka mendatangkan impor dari Belanda. Industri tenun dari Twente itu masuk ke sini. Jadi yang tadinya pembuat batik-batik itu mengambil bahan-bahan kainnya dari penenun tradisional, sekarang dia melihat karena tenunannya lebih bagus dan lebih murah. Kan lebih murah kalau dengan mesin. Ngapain kain tenun tradisional yang jarang-jarang, kadang-kadang gak rata. Lama kelamaan matilah produk domestik oleh impor itu. Akhirnya, kapitalisme berkembang sampai sekarang di Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir, praktek kapitalis semakin menjadi dengan privatisasi berbagai BUMN

milik negara, sampai kontrak kerja sama pertambangan dan pengeboran minyak yang sangat merugikan negeri ini. Kegagalan Kapitalisme Di mana letak kegagalannya? Mengapa sistem ekonomi yang sehebat itu bisa begitu saja hancur? Mustafa Edwin, yang juga ketua IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) Indonesia, menerangkan secara filosofis penyebab gagalnya kapitalisme.Kalau dalam istilah kita, ada maghrib yaitu maysir, gharar, dan riba. Semua itu ada di sistem ekonomi kapitalisme. Maisir atau judi, kita lihat bagaimana kapitalis itu menjadikan judi menjadi legal dan sistematis, seperti di pasar saham. Gharar, semua yang diajarkan dalam sistem ekonomi kapitalisme ini adalah bagaimana meyakini spekulasi. Padahal Allah mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Dan tentu saja riba (yang secara sederhana berarti praktek membungakan uang -red). Selain itu, penyebab lainnya, menurut Mustafa Edwin adalah penggunaan alat tukar. Kita semua diberikan selembar kertas yang mungkin harganya hanya beberapa cent, kemudian dibubuhi tinta, diberikan cetakan Rp.100.000 misalnya. Dan kita dipaksa untuk mempercayai bahwa nilai kertas itu benar-benar Rp.100.000. Padahal lambat laun nilai itu akan habis dimakan inflasi. Tapi orang-orang kan tenang-tenang saja, selama tingkat pendapatan masih lebih tinggi dari inflasi, padahal mereka tidak sadar, lambat laun nilai uangnya digerogoti. Senada dengan Mustafa, Ali Sakti juga sependapat bahwa kegagalan kapitalisme adalah karena adanya penggunaan bunga dalam ekonomi kapitalis, Karena ada bunga, akan ada orang-orang yang tidak merasakan potensi ekonomi. Jika ada bunga, maka uang akan semakin tertarik ke sektor keuangan sementara sektor barang dan jasa semakin sulit sehingga inflasi terjadi. Faktor lain yang menyebabkan kehancuran kapitalisme adalah greediness (ketamakan -red) dari orang-orang kaya. Kalau anda punya uang 1 Milyar, karena ada bunga, maka pilihan anda apa? Pertama, buka warung atau disimpan aja deh di bank nanti jatuh tempo kan dapat bunga. Saya enggak kerja apa-apa, enggak banting keringat,

saya dapat uang. Jika semua orang berfikir rasional, maka orang-orang yang punya 1 Milyar akan meletakkan uangnya pada instrumen bank. Maka siapa yang memproduksi barang? Akhirnya barangnya sedikit. Kalau barangnya sedikit, berarti harganya naik. Kalau harganya naik, ya yang bisa beli cuma anda saja yang punya 1 Milyar, tambah Ali Sakti dengan panjang lebar. Jika diambil kesimpulan, maka jelaslah bahwa kehancuran kapitalisme secara fundamental disebabkan dua hal, sistem yang salah (karena adanya pengenaan riba) dan ketamakan dari para kapitalisnya sendiri. Geliat Ekonomi Islam Dalam bukunya The Clash of Civilization, Samuel P. Huntington mengungkapkan bagi kalangan umat Islam, kebangkitan keagamaan merupakan fenomena yang melanda masyarakat urban yang berwawasan modern, sangat berpendidikan, memiliki karir dalam berbagai profesi, baik dalam pemerintahan maupun dunia bisnis. Dari pemahaman inilah, kemudian kebangkitan keagamaan yang terjadi pada masyarakat urban tersebut menciptakan pertentangan terhadap sistem ekonomi yang sekarang ada. Mereka menganggap, sistem ekonomi sekarang telah banyak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan. Ali Sakti, yang juga peraih gelar S2 dari IIUM (International Islamic University, Malaysia) mungkin mewakili pendapat generasi yang diungkapkan Samuel Huntington tersebut, Lha kalau memang dia sudah cacat kenapa enggak sistem ekonomi yang dipakai adalah sistem dari Dzat yang menciptakan manusia, sehingga Dia (Allah SWT red) paham betul manusia itu seperti apa. Sejalan dengan pemikiran Ali Sakti, Mustafa Edwin juga menegaskan bahwa ekonomi Islamlah sebenarnya solusi dan alternatif yang kini ada,Kalau di dunia internasional, para ekonom itu juga sudah menyadari, ada yang tidak benar dalam sistem ekonomi kapitalis ini. Mereka mencoba mencari-cari alternatif, dan solusi yang mereka dapatkan sebenarnya sudah ada dalam Islam.

Maka, pada akhir dekade 1990-an sampai sekarang, muncullah banyak lembaga, perangkat/instrumen, sampai dengan regulasi yang mendukung perkembangan sistem ekonomi Islam tersebut. Di Indonesia, kita dapat melihat sendiri keberadaan nyata ekonomi Islam sejak 1992, yaitu kemunculan Bank non-riba pertama kali, sampai kemudian disusul munculnya banyak bank-bank yang menggunakan prinsip Islam lainnya (bank syariah) di awal dekade 2000. Di sisi perangkat, Bank Indonesia (BI) kemudian membentuk Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) yang memayungi perbankan syariah di Indonesia. Selain itu, dari sisi regulasi, di tahun 2008, DPR telah mensahkan UU SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), yang mengatur tentang kebolehan penerbitan obligasi sesuai dengan syariah. Bahkan, bank-bank berskala internasional dan negara-negara yang notabene penduduknya mayoritas nonMuslim pun banyak yang melirik sistem keuangan baru, yang merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam. Ekonomi Islam mulai menggeliat. Ekonomi Islam : Peluang dan Tantangan di Masa Depan Ketika ditanya apakah benar bahwa ekonomi Islam dapat menjadi jawaban sebagai sistem ekonomi di masa yang akan datang, Ali Sakti menjawab, Iya. Ini solusi terbaik karena kita harus kembalikan ke ekonomi dengan ukuran kemanfaatan. Mana yang lebih bermanfaat, ekonomi yang menentramkan orang kaya atau ekonomi yang menentramkan semua golongan. Kalau kapitalis, hanya melihat orang kaya saja yang punya kapital, tapi untuk orang-orang yang enggak punya kapital gimana? Bunga semakin naik, keuntungan orang kaya semakin naik. Ini kan berarti masa depan usaha orang miskin akan semakin buram karena harga modal semakin mahal. Dalam ekonomi syariah, kita tidak mengenal itu. Yang kita kenal adalah menolong orang dengan uang yang kita punya, dan kalau ada lebih kita share, tambah Ali Sakti bersemangat. Lalu bagaimana tantangan yang sebenarnya ada dalam menerapkan ekonomi Islam. Tantangannya, bagaimana meyakinkan masyarakat. Tidak usah jauh-jauhlah, bagaimana meyakinkan ummat muslim sendiri untuk berorientasi akhirat dan akhirnya

mau menerapkan sistem ekonomi ini, kata Mustafa Edwin yang juga akrab dengan panggilan Pak Mus ini. Jangan-jangan kita, mahasiswa, sebagai golongan intelektual yang belum bisa meyakinkan masyarakat bahwa inilah sistem ekonomi masa depan. Atau malahan kita sendiri juga belum memahaminya. Wallahu alam bisshawab.

Hanief,Chai,Qq,(reporter satu orang lagi lupa,,, siapa ya?)

Referensi: Samuel P Huntington, The Clash of Civilization (edisi terjemahan) Dahlan Iskan, Ketika Langit Masih Kurang Tinggi Lampiran Tabel.1 Kegagalan Kapitalisme: Krisis Ekonomi yang Berulang

Tahun

Kronologi Krisis (Roy & Glyn Davies, 1996)

1860-1921 1907 1913 1914-1918 1920

Peningkatan Jumlah Bank di amerika s/d 19 Kali Lipat Krisis Perbankan Internasional dimulai di New York US Federal Reserve System Perang Dunia I Depresi Ekonomi di Jepang

1922-1923

German mengalami hyper inflasi. Karena takut mata uang menurun nlainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari

1927

Krisis Keuangan di Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan. 1981 1901 Jumlah Bank bertambah 20 kali lipat The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national productnya terbangkas lebih dari setengahnya

1929-1930

1931

Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas. Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits) hingga 27 digits. Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua.

1944-1966 1944-1946

1945-1946

1945-1955

Krisis Perbankan di NigeriaAkibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945 Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit. Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit. Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri. Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit. Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

1973-1974 1974 1978-1980

1973-1974 1974

1978-1980

Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri. Krisis Keuangan di Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng. Krisis Keuangan di Rusia; jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Krisis Keuangan di BrazilKrisis Keuangan di Argentina

1997

1998 1998 1999

Sumber: Ali Sakti, presentasi dengan judul Selamat Datang Krisis!

You might also like