You are on page 1of 141

Sebuah Refleksi Terhadap Motto UKI:

“Melayani bukan Dilayani”


Abraham Simatupang

Penerbit UKI-Press
Cetakan II. Jakarta Januari 2005
ISBN 979-8148-13-4
Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Simatupang, Abraham

Sebuah Refleksi terhadap motto UKI


“Melayani bukan Dilayani”/ oleh Abraham Simatupang
- Cet. 2. Jakarta: UKI-Press, Februari 2005
- xv, 125 hlm, 20 cm

1. UKI
2. Refleksi
3. Kepemimpinan
4. Pendidikan tinggi
5. Perguruan tinggi Kristen

ISBN 979-8148-13-4
Cetakan 2005, 2003

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan


cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Sebuah Refleksi terhadap motto UKI:


“Melayani bukan Dilayani”
Diterbitkan oleh
UKI Press
Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang
Jakarta 13630.
www.uki.ac.id email: lpuki@indo.net.id
Disain sampul dan tata-letak: AS
Cetakan ke-2: 500
Percetakan : Grace Nababan, Jakarta
Buku ini dipersembahkan untuk para
pendiri UKI:
• Prof. Dr. Mr. Sutan
Gunung Mulia
• Yap Thiam Hien, SH
• Benjamin Philip Thomas
Sigar

Tapi terutama untuk


Anda dan saya agar tetap
meneruskan visi mereka ……..
Daftar Isi
Pengantar Cetakan Pertama i
Pengantar Cetakan Kedua iii
Sambutan Rektor UKI v
Daftar Isi vii
Catatan muka Tapi Omas Ihromi ix
1. Kepemimpinan Kristen Untuk Pembaruan dan Peningkatan 1
Mutu Pelayanan UKI. Pemimpin yang Melayani bukan
Dilayani
2. Pola Kepemimpinan yang “Menjadi” bukan “Memiliki”. 11
Suatu Tanggapan dan Harapan.
3. Menjadi Pemimpin di UKI. Siapa takut? 19
4. Kandang yang Bersih Tidak Menghasilkan Sesuatu. 23
Suatu Pemikiran Tentang Generasi Pembaharu UKI
5. Lebih Baik Menyalakan Beberapa Lilin Daripada 31
Menggerutu Tentang Kegelapan
6. Pembudayaan Penelitian Sebagai Bahan Reformasi 35
Pendidikan
7. Peningkatan Sumber Daya Manusia Bidang Penelitian 43
Dalam Menjawab Tantangan Globalisasi
8. Keunggulan Suatu Perguruan Tinggi Dilihat dari Pola 57
Ilmiah Pokok yang Dimilikinya
9. Terus Terang, UKI Kita Masih Perlu Diterangi 65
10. Berpikir Seperti Kanak-kanak, Bertindak Seperti 73
Orang Dewasa
11. UKI, UKI, lama sabakhtani? 81
12. Mempersiapkan Masa Depan UKI yang Lebih Baik 85
13. The new UKI Project 95
14. What next? Suatu usulan alternatif pembaharuan 101
Catatan penutup Dra. Antie Solaiman, MS 115
Sekilas tentang UKI 131
Biodata Penulis 133

Refleksi UKI vii


Refleksi UKI
viii
Pengantar
rasmus, pujangga Belanda pernah mengungkapkan: “When I have

E little money I buy books, and if there is little left, then I buy food and
clothes.”
Ungkapan di atas menunjukkan betapa cintanya Erasmus akan
pengetahuan yang didapatkannya dari buku-buku yang dibacanya. Dalam
sejarah ada banyak orang yang hidup bersahaja namun dari mereka
muncul ide-ide, tulisan atau pun gaya hidup yang mempengaruhi begitu
banyak orang dan pikiran-pikiran tersebut bukan hanya berlaku pada
masa mereka masih hidup tapi seakan-akan bersifat “abadi”. Kalau kita
baca riwayat hidup mereka, maka mereka tidak lepas dari budaya
membaca. Abraham Lincoln, salah seorang Presiden Amerika yang
menentang perbudakan, ditengah-tengah kekerasan hidup keluarganya
yang miskin, tidak pernah meluputkan waktunya untuk membaca.
Mahatma Gandhi salah seorang Bapak bangsa India sanggup
melancarkan gerakan yang paling revolusioner melalui tanpa kekerasan,
dan dalam biografinya mengaku bahwa membaca merupakan bagian
kehidupannya yang terpenting. Apakah ini semua analog dengan apa
yang dikatakan Kristus bahwa manusia (bisa) hidup bukan saja dari roti
namun dari firman Allah?

Buku ini berisi kumpulan tulisan yang dituliskan dalam kurun waktu
kurang-lebih empat tahun dari tahun 1997-2000 dan beberapa telah
diterbitkan di Buletin UKI. Tulisan-tulisan ini seringkali dibuat seiring
dengan kejadian atau permasalahan-permasalahan yang timbul dan
“bergejolak” di UKI. Jadi kalau dapat dikatakan tulisan-tulisan ini
merupakan potret atas masa-masa tertentu di sepenggal perjalanan
panjang UKI. Secara garis besar, topik yang banyak dibicarakan dalam
buku ini adalah organisasi, kepemimpinan, pendidikan dan penelitian
yang dikaitkan terutama dengan kinerja (performance) UKI.

i
Tulisan-tulisan ini tidak berpretensi menjawab masalah-masalah yang
mengemuka, namun tulisan-tulisan tersebut merupakan ajakan bagi agar
warga UKI dan yang mencintai UKI untuk mengadakan refleksi
sekaligus diskusi dan terlebih penting yaitu mengambil tindakan-tindakan
nyata, sekecil apa pun tindakan tersebut.
Pada mulanya tulisan-tulisan ini dibuat untuk UKI yang secara rutin
diterbitkan di Buletin UKI, namun pesan-pesan dasar yang tersirat di
dalamnya diharapkan dapat juga berguna bagi perguruan tinggi (kristen)
Indonesia lainnya.
Untuk tujuan penerbitan buku ini, beberapa artikel telah direvisi.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada


Ibu Prof. Dr. Tapiomas Ihromi kesediaannya memberikan Catatan muka
untuk buku ini. Juga kepada Rektor UKI, Dr. Atmonobudi Soebagio,
MSEE disampaikan rasa terima kasih atas Sambutannya. Ucapan terima
kasih tak lupa disampaikan kepada Mbak Antie Solaiman yang telah
meluangkan waktunya yang untuk menuliskan Catatan penutup serta
membaca ulang naskah artikel dan memberikan masukan di sana-sini.
Kepada para sponsor dan pihak yang telah membantu terbitnya buku ini
saya ucapkan banyak terima kasih.

Buku ini saya persembahkan pertama-tama kepada para generasi penerus


UKI, baik itu di Yayasan, maupun di Universitas, baik itu di tingkat
struktural yang tertinggi, para sejawat staf pengajar, maupun karyawan
biasa dan teristimewa untuk para mahasiswa.
Disamping itu, buku ini saya persembahkan pula kepada ayahanda Prof.
Dr. Maurits Simatupang yang darinya saya belajar mencintai buku dan
membaca. Juga rasa kasih saya kepada istri serta anak Rebecca, Vanessa
dan ibunda tercinta.

Jakarta, awal Juli 2000


Abraham Simatupang

ii
Pengantar pada cetakan kedua

L ima tahun sudah sejak buku ini pertama kali diluncurkan pada
Oktober 2000, dan tentu sudah lima tahun pula baik penulis,
pembaca dan UKI sebagai suatu entitas perguruan tinggi
(Kristen) menjalani pahit-manisnya kehidupannya masing-masing,
maupun secara bersama-sama dalam rangka turut memberikan kontribusi
bagi amanat di pembukaan UUD 1945 y.i. turut mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Sudah cerdaskah bangsa kita? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab, sebab
kita pun masih belum mampu mendefinisikan secara umum apa yang
dimaksud dengan kecerdasan bangsa bagi bangsa sebesar bangsa
Indonesia ini. Namun, perseteruan para elite politik, pergolakan ekonomi
yang tidak kunjung memberikan tanda-tanda ke arah perbaikan, konflik
masyarakat bernafaskan SARA, dan carut-marutnya dunia pendidikan
kita sudah cukup jelas menggambarkan bahwa kita masih belum “cerdas”
sebagai bangsa.

Lantas bagaimana dengan tugas dan panggilan UKI untuk juga turut
mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan visi dan misi yang
disampaikan oleh para pendiri UKI, seperti yang ditulis ulang di buku
Agar Semua Menjadi Baru: Refleksi 50 Tahun UKI (2003)?
Ah, alih-alih mau turut menyumbangkan sesuatu untuk bangsa dan
negara, lha wong masalah-masalah klasik yang penulis pernah sampaikan,
tengarai dan prediksi mengenai sistem, organisasi dan SDM UKI selama
lebih kurang 8 tahun ke belakang, masih saja muncul, bahkan di sana-sini
menjadi semakin membesar, menunjukkan ketidak-seriusan segenap
komponen UKI untuk membaca “tanda-tanda jaman”.

Coba kita lihat peta kondisi dan perubahan-perubahan di dunia


pendidikan (tinggi) dan semua aspek yang berkaitan dengannya seperti,
lapangan kerja, kurikulum, UU Sisdiknas, masalah relevansi, kualitas, dan
akuntabilitas – apakah semua ini sudah masuk dalam perhitungan UKI?
Didasari „kegelisahan-kegelisahan“ itulah, disamping dorongan dari
beberapa teman untuk menerbitkan ulang buku ini, maka Penulis
menyampaikan kembali buku kecil ini ke hadapan pembaca.
Ada penambahan artikel dalam buku ini, y.i. “Mempersiapkan Masa
Depan UKI yang Lebih Baik: Rekomendasi Perbaikan terhadap
Permasalahan-permasalahan yang Dihadapi UKI Sekarang,” yang ditulis
secara bersama-sama oleh Penulis dan Ganda Hutapea, Mompang
Panggabean serta Ied Veda Sitepu. Tulisan ini kembali menggambarkan
“kegelisahan” dan tanggapan kami atas niat Yayasan UKI untuk mulai
merambah ke bentuk-bentuk bisnis lain, y.i. bisnis property, selain yang
selama ini menjadi core business nya y.i. pendidikan tinggi. Sebab UKI
masih belum optimal dengan panggilan utamanya di pendidikan tinggi,
dan sangat nihil penglaman di bidang bisnis properti.
Beberapa salah-ketik yang luput dikoreksi pada cetakan I, telah kami
perbaiki di cetakan ke 2 ini.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada


Mbak Antie Solaiman; istri saya terkasih, Ied V Sitepu dan beberapa
rekan yang telah membaca kembali buku ini dan kembali memberikan
masukan-masukan serta dorongannya agar buku ini dicetak ulang.
Kepada saudara Dandy Sendayu, SIP dan Pasti Hutagalung saya ucapkan
terima kasih atas bantuannya mengetik ulang beberapa naskah yang
sudah tidak kelihatan lagi rimbanya.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih dan selamat membaca kepada
para pembaca lama atau pembaca baru, semoga buku ini membawa
manfaat untuk kita semua, terutama untuk terus menerus
„mengingatkan“ UKI akan tugas dan panggilannya!

Jakarta, awal Januari 2005


Abraham Simatupang

iv
Catatan muka

atutlah kita memberi penghargaan kepada Dr. Abraham

P Simatupang yang dengan tekun menulis sejumlah karangan yang


dikumpulkan dalam buku ini.
Dalam era reformasi ini masalah kepemimpinan sudah seyogyanya
memperoleh perhatian kita semua, terutama yang bekecimpung dalam
dunia perguruan tinggi.
Rakyat mengharapkan banyak sekali dari para pemimpinnya dan
mendambakan, bahwa kinerja mereka-mereka, yang termasuk jajaran
orang-orang yang berpotensi mempengaruhi keadaan orang lain secara
positip, akan menghasilkan dampak-dampak yang memperbaiki
kehidupan mereka.

Ajakan Dr. Abraham Simatupang untuk merefleksikan pola


kepemimpinan kristiani hendaknya memperoleh sambutan yang baik dari
kalangan para pembaca, khususnya di kalangan civitas akademi UKI.
Saya harapkan bahwa tulisan-tulisan ini akan memperoleh perhatian.

Tapi Omas Ihromi ∗


Guru Besar UI dan UKI

ix
Sambutan

P
ertama-tama saya ucapkan selamat kepada Dr. Abraham
Simatupang atas diterbitkannya buku Sebuah Refleksi Terhadap
Motto UKI: “Melayani bukan Dilayani” yang menambah
khasanah tulisan mengenai UKI pada khususnya dan perguruan tinggi
(kristen) pada umumnya.
Di tengah-tengah persaingan yang semakin keras dan tuntutan
masyarakat akan pembaharuan di segala bidang, maka sudah sepatutnya
perguruan tinggi melakukan “adjusment” di segala aspek. Persoalan visi-
misi, manajemen, kurikulum dan proses pembelajaran, penelitian,
hubungan universitas dengan pemerintah dan industri adalah pokok-
pokok yang aktual harus dihadapi oleh siapa saja yang berkecimpung di
pendidikan tinggi.

UKI termasuk perguruan tinggi perintis di republik Indonesia dan pada


bulan Oktober tahun ini UKI genap berusia 47 tahun; suatu usia yang
telah banyak memakan “asam dan garam” pendidikan tinggi. Justeru
dalam usia yang sudah tidak muda lagi, UKI harus berani melakukan
pemikiran ulang tentang makna dan keberadaannya bagi pendidikan
tinggi di Indonesia dalam konteks kesaksian umat kristiani ditengah-
tengah bangsa yang majemuk yang sedang mengalami krisis.
Syukurlah, ada banyak tulisan-tulisan dalam buku ini mengajak kita untuk
melakukan itu semua dan terlebih penting dari semuanya adalah
bagaimana kita secara bersama-sama mewujudkan cita-cita semula para
pendiri UKI.

Rektor UKI

Dr. Atmonobudi Soebagio, MSEE.

Refleksi UKI v
1
Kepemimpinan Kristen untuk Pembaruan dan
Peningkatan Mutu Pelayanan UKI 1
Pemimpin yang Melayani bukan Dilayani

Saya kelaparan,
dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
dan Anda menyelinap ke kapel Anda untuk berdoa bagi kebebasan saya.
Saya telanjang,
dan Anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
dan Anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan Anda.
Saya tak mempunyai tempat berteduh,
dan Anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat
berteduh spiritual.
Saya kesepian,
dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
Tapi saya tetap amat lapar – dan kesepian – dan kedinginan

(Sajak seorang wanita malang yang mengharapkan pertolongan dari seorang pendeta yang berjanji
akan mendoakannya).

Stott, John (1984)

“Kepemimpinan adalah suatu pengaruh,” (leadership is influence) menurut


John Maxwell (1999). Kepemimpinan tidak dikaitkan dengan berapa
banyak jabatan, gelar kehormatan, gelar akademis, harta yang dimiliki

1 Disampaikan pada Diskusi Panel Perayaan Paskah UKI, Jumat 5 Mei 2000
Kepemimpinan Kristen

seseorang tapi bagaimana ia mempengaruhi pengikutnya menuju suatu


impian, cita-cita atau visi. Jadi, kepemimpinan berbicara tentang satu
kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lainnya.

Hal pertama yang harus kita pelajari adalah bahwa kepemimpinan yang
luas dibangun dari karakter yang dalam. Karakter yang dalam diperlukan
sebagai dasar untuk melakukan hal-hal yang besar.

Kepemimpinan Kristiani: Suatu Utopia?

Bila kita membaca koran, melihat televisi dan mendengarkan radio


tentang apa yang terjadi setiap hari di sekitar kita, tentang peperangan,
kriminalitas, kerusakan lingkungan, kelaparan, wabah AIDS, kenakalan
remaja dengan segala bentuknya, maka kita akan berpikir sejenak, “masih
adakah kedamaian di dunia ini? Masih adakah pemimpin yang bisa
membereskan masalah-masalah ini?” Kita seakan-akan pasrah dan
bertanya-tanya, di manakah suara persekutuan, gereja, organisasi,
dermawan, rohaniawan, dan intelektual Kristen dalam menjawab
tantangan di atas? Suatu kerinduan umat manusia yang kehilangan arah
dan patokan di tengah-tengah kemajuan teknologi dan informasi yang
membuat dunia menjadi satu. Agama seringkali tinggal diam atau bahkan
dianggap menyetujui status quo dan pada akhirnya agama hanya berkisar
pada ritual dan sibuk mengurus kesucian dirinya sendiri. Hal ini menjadi
pertanyaan yang mendasar bagi kita: masih perlukah kepemimpinan
Kristen untuk menjawab isu-isu dan tantangan global, sementara
pemimpin non-Kristen tampak lebih perduli terhadap hal ini?

Visi dan Misi. Ah, apa pula itu?


Pemimpin Kristen dan organisasinya harus memiliki pandangan ke depan
dan memiliki arah yang jelas ke tujuan yang akan dicapai yang akan
diikuti oleh pengikutnya. Ia dan organisasi itu harus punya visi, cita-cita,
“impian”.

2 Refleksi UKI
Kepemimpinan Kristen

Untuk memulai berpikir tentang visi, baiklah ia bertanya: “Apakah


keberadaan saya ini untuk melakukan sesuatu atau untuk
mempertahankan (status quo) atau memimpin untuk melangkah lebih
jauh?

Visi adalah suatu perencanaan jangka panjang tentang apa yang akan
terjadi. Memiliki visi berarti melihat ke masa depan, memiliki intuisi
tentang apa yang Tuhan telah rencanakan dan akan diberikan kepada
kita. ∗
Visi tentang “Tanah Perjanjian”, “Bumi dan Langit baru” harus mampu
menimbulkan “gairah” (passion) agar kita mencapainya apa pun
bayarannya. Apa yang menjadi dasar dan penggerak visi dan gairah
tersebut? Iman dan pengharapan serta optimisme yang timbul dari
hubungan kita dengan Tuhan.

Visi tidak boleh hanya dimiliki oleh pimpinan atau menjadi sesuatu yang
sakral atau disimpan di lemari besi, tapi visi harus menjadi milik semua
anggota. Jangan sampai orang berkata: Para pimpinan atas memiliki visi
“apel”, pimpinan di bawahnya “jeruk” dan kita memahaminya sebagai
“mangga”.

Pemimpin harus mampu menyampaikan visi


Visi tidak boleh hanya kepada yang yang lain secara terus-menerus
dimiliki oleh pimpinan dan kreatif. Tom Peters dalam bukunya
atau menjadi sesuatu yang Thriving on Chaos menyatakan visi organisasi
sakral atau disimpan di yang efektif bersifat: **
lemari besi, tapi visi harus 1. Memberi inspirasi (inspiring). Orang
menjadi milik semua ingin menjadi bagian dari inspirasi ini.
2. Jelas dan menantang (clear and challenging)


Reflections dari http://www.carey.ac.nz/leadership/ref10.htm
** http://www.leadertips.org

Refleksi UKI 3
Kepemimpinan Kristen

3. Dapat direalisasikan di dunia nyata. Dapat bertahan akibat terpaaan


uji coba dari dunia luar.
4. Stabil namun secara terus-menerus dapat berobah
5. Sebagai panduan dan kontrol bagi siapa pun yang (mulai) kehilangan
arah.
6. Tertuju untuk pemberdayaan anggota dahulu baru kemudian orang
lain
7. Menyongsong masa depan namun tidak melupakan masa lalu
8. Terinci dengan baik bukan hanya gagasan-gagasan besar.

Bagaimana cara seorang pemimpin menumbuhkan dan mempertahankan


suatu visi?
Dalam “The leadership challenge” oleh Kouzesk Poiner dinyatakan 5 prinsip
penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin:
1. Mempertanyakan” (challenge) sistem yang sedang berlaku
2. Menerjemahkan inspirasi yang dimilikinya dan mengajak orang lain
untuk memahaminya.
3. Mengajak orang lain melaksanakan visi tersebut setelah membekali
mereka dengan pemahaman atas visi tersebut.
4. Memberi contoh nyata agar visi tersebut dapat dilaksanakan dengan
baik (leading by modelling).
5. Memberikan tanggapan, pujian atas
prestasi dan keberhasilan (kecil atau Tidak ada perbedaan yang
besar) yang dicapai oleh orang lain. besar antara pemimpin
Kristen dengan pemimpin
Bila pemimpin tidak sanggup melakukan lainnya kecuali dalam hal
upaya-upaya di atas maka dia gagal sifat pelayanannya…
membawa kelompoknya ke visi yang
diinginkan.

Jadi, seorang pemimpin perlu memiliki visi. Komunitas Kristen yang


memiliki visi yang dibicarakan, didoakan dan dilaksanakan bukan saja
akan menarik bagi orang Kristen tapi juga bagi kelompok di luarnya.

4 Refleksi UKI
Kepemimpinan Kristen

Melayani bukan dilayani

Sungguh tepat para pendiri UKI menetapkan “Melayani bukan dilayani”


sebagai motto UKI (lih. Mark 10:45 dan 9:35). Menurut Greenleaf,
pemimpin Kristen haruslah memiliki predikat pemimpin-pelayan, artinya
pertama-tama ia adalah pelayan (servant) baru kemudian sebagai
pemimpin. Tidak ada perbedaan yang besar antara pemimpin Kristen
dengan pemimpin lainnya kecuali dalam hal sifat pelayanannya.
Menurut Greenleaf pula, jauh lebih penting bagi seorang pemimpin
Kristen untuk meneladani Kristus yang melayani daripada memiliki
pengaruh dan otoritas. (being is much more important than having and
doing).
Kristus sendiri menjadi teladan dalam hal pelayanan, bahkan sampai mati
di kayu salib. Di dalam 3 tahun masa “kepemimpinannya”, Kristus selalu
ingin menjadi pelayan yang setia bagi semua orang yang dijumpainya,
seperti yang dituntut oleh BapaNya.

Cukup manusiawi bahwa kita seringkali terjebak terhadap perangkap


dunia, untuk lebih mengutamakan faktor kecanggihan kepemimpinan
dengan memperlengkapi diri dan organisasi dengan perangkat-perangkat
psikologis dan manajemen yang dikemas sedemikian rupa seakan-akan
mampu meningkatkan efektifitas kepemimpinan kita. Namun tidak
berarti bahwa peningkatan personal-skills tidak perlu, tapi hal itu bisa
menjadi usaha-usaha yang manipulatif apabila tidak didasari oleh sifat
melayani.
Kepemimpinan Kristen yang sesungguhnya dicapai melalui pengabdian
sepenuhnya kepada Tuhan dan sesama.

Yusuf dan Daniel adalah beberapa contoh pemimpin-pelayan. Mereka


seperti kepala-susu yang selalu akan muncul ke atas permukaan meskipun
fitnah dan penjara membuatnya seakan-akan hilang dari peredaran.
Karena mereka lebih mengutamakan kehendak Tuhan daripada tujuan-

Refleksi UKI 5
Kepemimpinan Kristen

tujuan sesaat yang mungkin pada saat itu lebih menggiurkan. Singkat
kata, mereka memiliki integritas dan jauh dari prinsip “aji mumpung!”

Sendirian tapi tidak kesepian

Bersiap-siaplah Anda atau kelompok Anda kecewa, merasa sendirian


dan ditinggalkan bahkan oleh orang-orang yang paling kita percayai
sekalipun (bandingkan Judas Iskariot dan murid-murid yang
meninggalkan Yesus pada saat-saat terakhir di taman Getsemani) dalam
menjalankan pola kepemimpinan Kristen. Satu-satunya kekuatan yang
bisa mendorong kita agar terus setia melakukannya adalah karena kita
sedang melakukan Visi dan Misi Allah! Itu saja!
George Bush, mantan Presiden Amerika Serikat, menyatakan: “Gunakan
kekuasaan untuk menolong orang lain. Kita diberikan kekuasaan bukan untuk
kepentingan pribadi, juga bukan untuk mempertontonkan kepada dunia, juga
bukan untuk ketenaran. Hanya ada satu tujuan yang benar dari kekuasaan, yaitu
untuk melayani orang lain.” Bandingkan dengan perkataan Yesus dalam
Mat. 20:26: “………barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu…”

Selain itu, pemimpin Kristen harus juga selalu mempersiapkan kader dan
memberdayakan sesamanya (empowerment). Musa, setelah mendapatkan
nasihat dari mertuanya tentang perlunya pendelegasian wewenang agar
dapat lebih mengefektifkan pekerjaannya, menemukan Joshua sebagai
kader dan bahkan Joshua yang membawa bangsa Israel masuk ke Kanaan
bukan Musa.
Yesus memilih 12 murid untuk bersama-sama dengan dia hidup, melihat,
merasakan dan mempraktekkan visi dan misi Allah di dunia. Meskipun
pada waktu Yesus mati, para Imam Farisi dan bahkan murid-
murid sendiri berpikir bahwa tamatlah sudah riwayat
(kepemimpinan) Kristus, tapi lihatlah, sampai detik ini, pola
kepemimpinan Kristus tetap dipraktekkan di banyak tempat di
dunia!

6 Refleksi UKI
Kepemimpinan Kristen

Jadi, kepemimpinan Kristen jauh dari usaha untuk mempertahankan


kedudukan dan kekuasaan. Bahkan setiap pemimpin Kristen sejak awal
harus segera mempersiapkan kader dan tim
yang tidak hanya membantu mereka ketika Jadi kepemimpinan
sang pemimpin masih ada, tapi yang akan Kristen jauh dari usaha
meneruskan pekerjaan yang ditinggalkan untuk mempertahankan
ketika ia harus pergi. kedudukan dan
Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang kekuasaan.
tidak bekerja sendirian, namun ia aktif
membangun tim, jaringan yang diinspirasi oleh visi dan misi Allah serta
dijiwai oleh sifat pelayanan.

Tiga kunci pengembangan organisasi Kristen

Mari kita tengok diri kita baik sebagai individu maupun sebagai
organisasi UKI.
Di manakah posisi dan status kita sekarang? Masihkah kita memiliki visi,
cita-cita atau impian yang “merasuk” agar kita secara terus-menerus
mengupayakannya menjadi kenyataan?
Masihkah kita memiliki dan menghasilkan pemimpin-pelayan?
Bila pertanyaan diajukan kepada dosen atau pegawai UKI, “Sedang apa
kamu di UKI?”, maka bila ada yang menjawab:
“Saya sedang cari makan di UKI”, atau
“Saya sedang mendidik calon sarjana,” atau
“Saya sedang mendidik calon sarjana dan pemimpin-pelayan.” Maka
jelaslah jawaban terakhir merupakan cita-cita kita semua.
Kunci pertama adalah memiliki visi yang mengarah ke masa depan,
dan kedua adalah visi itu harus dituliskan, dibicarakan, didoakan
dan dikerjakan dengan antusias. Sedangkan kunci ketiga adalah
memiliki rencana yang jelas dan terus-menerus untuk
memperbanyak dan mengembangkan pelayan-pemimpin
(kaderisasi).

Refleksi UKI 7
Kepemimpinan Kristen

UKI, UKI, lama sabakhtani!

Suasana Paskah masih membekas pada kita semua, yaitu suasana


kegetiran akan kematian Anak Manusia akibat keangkuhan hukum adat,
hukum agama dan politik kekuasaan yang merupakan wajah dari visi dan
misi dunia (baca: Iblis), yang kemudian digantikan menjadi berita sukacita
karena Yesus bangkit dan mengalahkan kematian sekaligus
memperbaharui dan menguatkan siapa pun yang terpanggil untuk
melaksanakan visi dan misi Allah.
Allah melalui Yesus Kristus telah memanggil UKI sebagai mitra kerja
untuk menjalankan visi dan misiNya. Panggilan itu telah berlangsung
hampir 47 tahun lamanya. Investasi termahal yang telah ditanamNya
adalah tubuh dan darahnya. Tentunya Ia mengharapkan bahwa dari situ
tumbuh pokok anggur yang bukan saja rindang daunnya tapi juga lebat
buahnya.
Kristus berjalan menuju gerbang Kesetiaan dan menunggu, namun UKI
tidak muncul, Ia pun pergi ke pintu Kemajuan, juga UKI tak
menampakkan dirinya. Sekali lagi Ia pergi ke pintu Keberhasilan, namun
sekali ini pun Ia kecewa, karena UKI tidak ada di sana. Ia pun sedih dan
berseru: “UKI, UKI, lama sabakhtani?”

Orang yang paling menyedihkan di dunia


adalah orang yang memiliki penglihatan
tetapi tidak mempunyai visi.

-HELEN KELLER

Bacaan

1. Barna, George. 1997. Mengejawantahkan Visi ke dalam Aksi.


(terjemahan). Metanoia. Yayasan Media Buana Indonesia, Jakarta.

8 Refleksi UKI
Kepemimpinan Kristen

2. Foundations of christian leadership:


http://www.ourworld.compuserve.com/homepages/Leadership/
need.htm
3. Maxwell, John. 1999. Kepemimpinan. (terjemahan)
Metanoia.Yayasan Media Buana Indonesia, Jakarta.
4. Palfreyman, Barrie. Leadertips. Associated Canadian Theological
Schools of Trinity Western University. 1999-2000.
http://www.leadertips.org
5. Reflections: http://www.carey.ac.nz/leadership/ref10.htm
6. Simatupang, Abraham. 2000. UKI, UKI, lama sabahtani? Buletin
UKI, XVI, 1:19-20.
7. Stott, John. 1996. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani.
(terjemahan) Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Jakarta.

Refleksi UKI 9
2
Pola Kepemimpinan yang “Menjadi” Bukan
“Memiliki 1
Suatu tanggapan dan harapan

P
ada tanggal 8 Maret 1997 diadakan suatu diskusi panel yang diikuti
oleh seluruh sivitas akademika UKI. Acara ini diprakarsai oleh
Komisi Akademik dan Personalia Yayasan UKI.
Di dalam acara tersebut peserta dipandu untuk mendiskusikan beberapa
pokok permasalahan aktual dengan acuan makalah yang berjudul:
”Beberapa catatan tentang tentang permasalahan dan kepemimpinan di
UKI, peluang dan tantangan” yang ditulis oleh Drs. Jakob Tobing MPA.
Sayang, seperti cacatan beberapa peserta diskusi, bahwa baik penulis
maupun makalah yang disampaikan hanya tunggal dan makalah lain yang
dapat menjadi pelengkap tidak disertakan. Mungkin karena keterbatasan
waktu, hal tersebut terlupakan.

Untuk itu tidak ada salahnya bila penulis menyampaikan makalah “pasca
diskusi panel” yang dapat bersifat sebagai addendum (pelengkap)
terhadap makalah yang telah didiskusikan.

Catatan yang terungkap di makalah tersebut adalah rekaman peristiwa


demi peristiwa yang terjadi belakangan ini baik di tingkat mondial,
regional, lokal maupun intern UKI. Penulis sependapat bahwa kita tidak
bisa tinggal diam dan berpangku tangan dalam menghadapi kejadian-
kejadian ini. Tema globalisasi, perkembangan iptek, sumber daya
manusia (SDM) dan timbulnya benih konflik baru yang berbau SARA
yang terjadi tidak saja di luar negeri tapi juga di dalam negeri telah
mewarnai kehidupan kita. Kita sebagai warga UKI dipacu untuk
mengantisipasi keadaan-keadaan tersebut karena permasalahan-
1 Diterbitkan di Buletin UKI Maret 1997, Tahun XIII, No.3: 14-16.
Pola Kepemimpinan

permasalahan itu, secara kecil atau besar, langsung atau tidak langsung
mempengaruhi keberadaan UKI juga. Namun permasalahan itu dapat
dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Dalam makalah itu
disampaikan pula beberapa pemikiran tentang kepemimpinan di UKI
serta pola hubungannya dengan Yayasan.

Tulisan ini tentu saja tidak berpretensi untuk mencoba menjawab


pertanyaan yang ada, tulisan ini adalah suatu buah pemikiran dalam
rangka mencoba melihat permasalahan secara terang iman Kristiani dan
common sense untuk bisa kita tindak lanjuti bersama-sama.

Sikap Kritis

Suatu sikap yang mutlak kita perlukan untuk melihat suatu permasalahan
adalah sikap kritis. Melalui sikap kritis kita tidak hanya disanggupkan
untuk menangkap tanda, gejala, fenomena atau pesan yang ada namun
juga sanggup memilih dan “membedakan” agar tampak lebih jelas dan
nyata. Kita menjadi sanggup memilih “kulit” dari “isi”, mana yang
substansial dan non substansial, yang penting dari yang tidak penting.
Pikiran dan hati nurani yang terbuka dan intuisi yang tajam merupakan
syarat mutlak untuk dapat bersifat kritis.

Salah satu hasil telaah kritis terhadap suatu masalah adalah kritik.
Bagaimana kita menanggapi pesan atau informasi hasil buah pikiran yang
kritis? Kita sering mendengar orang berkata: “Kritik ya kritik tapi caranya
dong!” Dari pernyataan itu, ada dua komponen yang bisa kita perhatikan.
Pertama, tentang pesan atau informasi yang disampaikan dan yang kedua,
bagaimana cara pesan atau kritik itu disampaikan.

Kita tentu lebih senang menerima oleh-oleh berupa mangga Arummanis


yang legit dibungkus dengan kertas koran dari pada kado yang dibungkus
kertas emas yang ternyata berisi buah-buahan yang sudah busuk.
Tentunya kita akan lebih senang lagi bila mendapatkan kado yang lebih

12 Refleksi UKI
Pola Kepemimpinan

bermanfaat dengan bungkus yang indah. Intinya adalah, yang penting isi
kado bukan bungkusnya. Seorang pemimpin (Kristen) seharusnya tidak
begitu mementingkan bagaimana cara kritik itu disampaikan karena ia
akan lebih tertarik pada isi informasi yang disampaikan.
Dalam sejarah seringkali orang sangat memperdulikan cara daripada isi
kritik. Hal ini bisa dilihat dari Alkitab: karena hati nurani, keterbukaan
dan common sense tidak dimiliki lagi, maka para pemimpin Yahudi dan
Farisi lebih melihat bagaimana Kristus menyampaikan kritik-kritiknya
(yang memang tegas, tajam dan langsung pada sasaran) dari pada isi dan
kebenaran kritik tersebut (band. Mat. 23). Mereka pun berencana agar
Yesus disingkirkan.

Kalau memang (isi) kritik itu benar dan bisa membawa perbaikan, maka
dengan rendah hati si pemimpin (Kristen) akan mengambil dan
menggunakan pesan itu. Kita ingin agar sikap kritis dan tanggap terhadap
kritik ada dan ditumbuhkembangkan di UKI.
Tapi hal ini bukan menjadi alasan kita untuk melakukannya secara
semena-mena sebab yang penting apakah kritik itu mengena pada akar
atau hanya pada kulitnya saja. Perlu diingat bagaimana pun juga orang
lebih suka menerima kritik atau teguran sesuai dengan etika dan tata cara
yang lazim dianut, yang penting kritik diterima dan orang tersebut
melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan masukan atau kritik yang
diberikan.

“Memiliki” atau “Menjadi”?

Di dalam makalah tersebut juga disebut bahwa Rektor adalah figur yang
penting, yang harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan visi
dan misi UKI serta memiliki loyalitas timbal balik dengan Yayasan.
Menurut hemat penulis, sudah saatnya kita coba telaah istilah tersebut.
Bahwa visi dan misi UKI adalah jiwa dan bagian yang inherent bagi setiap
sivitas akademika. Visi dan misi bukan hanya milik Yayasan, Rektor,
Pimpinan Fakultas, Dosen, Karyawan dan Mahasiswa. Visi dan misi

Refleksi UKI 13
Pola Kepemimpinan

harus menjadi nyata dan dinyatakan atau “menjadi” (Das Sein, to be)
pertama-tama di lingkungan UKI sendiri dan di tengah–tengah bangsa
dan negara kita. Kata milik dan kepemilikan hanya terbatas pada nilai
kuantitaf-kumulatif, tapi kita justru mau agar visi dan misi itu menjadi
nyata, bermanfaat dan kualitatif. Hal “menjadi” bersifat dinamis,
memberi, partisipatif, lebih mementingkan isi dari pada “bungkus” dan
fungsional. Sedangkan hal “memiliki” bersifat statis, posesif, selalu ingin
menerima, tidak ingin memberi dan cenderung eksploitatif (Erich
Fromm,1980).

Di kala dunia sekitar kita lebih mementingkan nilai-nilai kuantitaf-


kumulatif, artinya seseorang akan semakin dihargai bila memiliki sekian
hektar tanah, sekian banyak kendaraan, sekian banyak informasi, sekian
banyak gelar, dan lain-lain maka UKI harus muncul dengan pembaruan-
pembaruan pemahaman bahwa masyarakat UKI adalah masyarakat yang
lebih mengindahkan hal “menjadi” (to be) dari pada “memiliki” (to have).
UKI sanggup mengolah miliknya menjadi suatu yang lebih berguna. Bila
UKI berhadapan dengan Tuhan (yang adalah pemilik UKI yang
sesungguhnya) dan melapor bahwa UKI telah memiliki sekian banyak
gedung, sekian banyak alumni, sekian banyak tokoh di Yayasan, sekian
banyak penelitian, sekian banyak kegiatan pengabdian kepada
masyarakat, dan lain-lain, lalu apa yang akan kita jawab kalau Tuhan
bertanya: “ Lantas “menjadi” apa itu semua?”.
Tampaklah bahwa milik serta kepemilikan dalam terang iman Kristiani
mempunyai arti penugasan agar milik itu semakin mendapatkan nilai
tambah fungsional dan kualitatif.

Kepemimpinan Figur atau Kepemimpinan Kemitraan?

Bagian lain dari makalah itu yang penting kita bicarakan di sini, kata
figur atau tokoh yang menjadi sentral untuk menjalankan visi dan misi
organisasi. Ketokohan dan kefiguran suatu pemimpin bukanlah yang
amat penting.

14 Refleksi UKI
Pola Kepemimpinan

Ketokohan suatu pemimpin bisa disalahartikan dan disalah-gunakan.


Kita lihat contoh sederhana lagi. Sesudah Yesus memberi makan sekitar
5000 orang, maka mereka berusaha serta menginginkan agar Yesus
menjadi pemimpin dan raja mereka. Namun Yesus justru sedih dengan
ide tersebut karena apa yang dilakukannya terhadap mereka telah disalah
artikan sebagai mencari pengaruh atau “pengikut”. (band.Yoh. 6, ter-
utama ayat 15).
Ia paham betul bahwa orang-orang tersebut menginginkannya menjadi
pemimpin karena mereka sudah “kenyang”. Karena sang tokoh telah
mengenyangkan kami, maka kami anggap dia pantas menjadi pemimpin
kami. Pola hubungan kepemimpinan seperti ini adalah pola
kepemimpinan yang cenderung korup, yang dapat memberi peluang pada
kolusi, koncoisme, atau nepotisme. Apa yang akan terjadi kalau si tokoh
tidak sanggup lagi memuaskan keinginan-keinginan yang dipimpin?
Anarkisme dan dongkel-mendongkel adalah jalan keluar yang terburuk
yang paling mungkin terjadi. Atau sebaliknya. Bila yang dipimpin tidak
bisa lagi mengenyangkan si pemimpin maka penghisapan dan penindasan
yang menjadi jawabannya.

Hal kedua, yaitu disalahgunakan. Kepemimpinan yang berdasarkan


ketokohan semata biasanya tumbuh pada masa kepercayaan diri orang
banyak tipis kadarnya atau timbul pada masa krisis, pada saat diperlukan
tindakan-tindakan drastis oleh seorang atau sekelompok “Superman”
untuk segera memuaskan dan mengenyangkan massa. Di masa ketidak-
pastian dan tempat berpijak mulai runtuh muncul “mesias-mesias” yang
menjanjikan jalan pintas atas permasalahan-permasalahan yang ada. Pola
kepemimpinan seperti ini menghasilkan massa yang tumpul hati
nuraninya dan akan selalu berkata: ”Right or wrong is my group; right or wrong
is my Yayasan; right or wrong is my Rektor; right or wrong is my Dekan; right or
wrong is my dosen dan seterusnya.” Seandainya menurut analisis kita UKI
sedang mengalami “krisis”, maka kita tidak mau keadaan ini menjadi fait
accomply untuk menimbulkan seorang atau sekelompok orang yang
seakan-akan bisa menjawab semua persoalan.

Refleksi UKI 15
Pola Kepemimpinan

Proses penentuan dan pemilihan kepemimpinan di UKI harus tetap


rasional, terbuka, kritis dalam rangka untuk “menjadi” bukan hanya
sekedar “memiliki” pemimpin.

Kalau UKI berusaha menjawab tantangan-tantangan yang ada di dalam


maupun di luar dirinya dengan mengambil strategi “menjadi”, maka
tembok-tembok arogansi hierarkis (yang lebih mementingkan arti
kepemilikan!) jelas tidak cocok. Kepemimpinan yang menjunjung tinggi
kemitraanlah yang dapat kita pergunakan untuk lebih berani,lugas dan
kritis menjawab tantangan dan peluang yang ada. Dalam konteks
kemitraan, kita memandang teman kerja secara terbuka, penuh
kepercayaan dan kritis. Dalam kemitraan yang benar, loyalitas (kesetiaan)
diperlukan. Tapi bukanlah kesetiaan buta (yang biasanya pamrih) yang
terimbas oleh kepentingan kelompok atau golongan.

Kesetiaan dalam hubungan kemitraan yang benar mempunyai makna


kepentingan akan penegakan cita-cita bersama (visi dan misi UKI) dalam
suasana hati yang penuh kemerdekaan. Allah sendiri memilih manusia
menjadi teman kerjaNya dan Ia setia akan pilihanNya.

Bukan di sana tapi di sini

Dari beberapa pokok pikiran di atas jelas bahwa Allah sang pemilik UKI
mengajak kita sebagai teman kerjaNya agar UKI dalam menjawab
segenap tantangan yang ada memiliki pola dasar yang jelas, yaitu, agar
setiap warga UKI, baik itu Yayasan, Rektor, Dekan, Dosen,Karyawan
dan Mahasiswa memiliki sifat kepemimpinan yang “menjadi” bukan
“memiliki”. Sifat kepemimpinan yang “menjadi” adalah sifat
kepemimpinan yang terbuka, dinamis, memberi, kritis dan mengejar
tujuan-tujuan yang bersifat fungsional-kualitatif. Sekecil apapun produk
yang dihasilkan, asal ia berguna, akan lebih di indahkan dari pada banyak
secara kuantitaif namun malah menambah beban.

16 Refleksi UKI
Pola Kepemimpinan

Pada suatu pagi yang cerah, Nassarudin Hoja, salah seorang tokoh cerita
dunia 1001 malam, tampak sibuk mencari sesuatu di pekarangan
rumahnya. Hari semakin petang dan Nassarudin masih saja sibuk
mengais seakan-akan mencari sesuatu di pekarangannya.
Bertanyalah tetangganya: “Bang Nas, apa abang kehilangan sesuatu?
Sejak tadi pagi sampai petang saya melihat abang hilir-mudik
dipekarangan, seakan-akan ada sesuatu yang dicari.”
“Betul. Aku kehilangan kunci rumahku padahal aku hendak pergi ke
pasar untuk menjual untaku,” jawab Nassarudin.
“Dimana terakhir bang Nas letakkan kunci itu,” tetangganya
bertanya kembali.
“Seingat aku, terakhir kali, aku letakkan kunci itu di ruang
tengah,” Jawab Nassarudin sambil terus mengais-ngais tumpukan daun
kering di pekarangan.
“Lantas mengapa abang cari di sini ?” tanya tetangga dengan heran.
“Itulah, ruangan tengahku gelap, kurang cahaya karena itu aku
mencari kunciku di pekarangan ini,” jawab Nassarudin sambil
menggaruk-garukkan tangannya di kepalanya.

Mudah-mudahan UKI tidak mengulang kembali tindakan Nassarudin


Hoja, dengan mencoba mencari dan menggali jawaban atas
permasalahan-permasalahan di tempat lain.

Never let yesterday use up too much of


today.

-WILL ROGERS

Refleksi UKI 17
3
Menjadi Pemimpin di UKI.
Siapa Takut? 1

i UKI sekarang sedang mewabah diskusi yang diprakarsai,

D diselenggarakan, dan diikuti, oleh siapa saja yang mengaku dirinya


bagian dari sivitas akademika. Hal ini suatu pertanda yang baik,
bahkan bagi penulis hal ini merupakan suatu kerinduan agar tercipta
suatu budaya intelektual di kampus yang selama ini ditengarai oleh
beberapa tokoh terasa mampet.
Yang menarik, perbincangan itu berkisar antara ketidakberesan yang
terjadi di UKI yang dikaitkan (atau tidak mau dikaitkan) dengan proses
pemilihan rektor masa jabatan 2000-2004.

Dua jenis penyakit


Kalau mau diambil analogi yang terjadi di UKI dengan apa yang terjadi di
negara berkembang dari aspek kesehatan, maka cerita (dan faktanya)
begini:
Negara-negara berkembang menghadapi dua masalah kesehatan besar
yang sulit, yaitu mereka masih harus bergelut dengan penyakit-penyakit
“kuna”, yang telah dikenal oleh para nenek moyang atau kakek-nenek
kita di masa penjajahan seperti malaria, kurang gizi, diare, frambusia
(patek), angka kematian bayi dan ibu yang tinggi dan sekarang
diperhadapkan pula dengan penyakit-penyakit “moderen”, seperti stroke,
penyakit jantung-koroner, kanker, Alzheimer (sejenis pikun, karena
semakin banyak penduduk usia tua), depresi dan bunuh diri. Kedua
mode penyakit ini datang bersamaan dan harus ditangani secara
menyeluruh yang menghabiskan banyak dana, tenaga, dan pikiran.
Dari diskursus yang sedang menghangat di UKI tampaklah bahwa kita
diperhadapkan pada fenomena yang mirip yaitu “penyakit-penyakit”
kronis seperti: (a) masih belum jelasnya tugas, wewenang dan tanggung-
1 Dimuat pada Buletin UKI April 2000, Tahun XVI, No. 4: 9-10
Menjadi Pemimpin

jawab setiap komponen di UKI, (b) transparansi hubungan kerja dan


lalu lintas uang antara Yayasan dan Universitas, (c) mahasiswa yang
merasa dikangkangi hak-haknya, (d) gaji pegawai yang di bawah standar
sampai yang paling aktual, proses pemilihan rektor. Di lain pihak kita
dihadang dengan masalah-masalah yang dikaitkan dengan era globalisasi.
Sudah seberapa jauhkah usaha kita menghasilkan lulusan UKI yang siap
memasuki pasar global? Apakah UKI sebagai institusi pendidikan tinggi
(Kristen) reliable, accountable memasuki era itu? Masih banyak pertanyaan
yang bisa kita daftarkan untuk mempertanyakan keberadaan dan kesiapan
kita untuk menyikapi tantangan itu.

Sindroma Musa
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dan siapa yang bisa mengambil
tindakan kuratif dan preventif agar “penyakit” lama tidak kambuh lagi
dan terhindar dari penyakit baru?
Ingat Musa? Ia adalah salah seorang tokoh pelepas (liberator) yang sangat
dihormati bangsa Israel, karena memimpin bangsa itu lepas dari
perbudakan di Mesir. Tapi, lihatlah, betapa sedih dan pilunya riwayat
Musa ketika memimpin bangsa itu. Apa sih kekurangan Musa? Ia mantan
anak angkat Firaun yang menikmati pendidikan tinggi yang
mengosongkan diri ke gurun Midian untuk
mencari jati diri dan yang dipanggil serta
Inti kepemimpinan adalah dipilih Allah untuk memimpin bangsa
tindakan bukan (hanya) Israel. Tapi lihatlah, mengapa bangsa itu
kedudukan… berputar-putar selama 40 tahun di gurun
dan bahkan akhirnya Joshua bukan Musa
yang membawa bangsa Israel masuk ke Kanaan. Karena sifat ”tegar-
tengkuk” dan keras-kepala bangsa itu yang membuat bukan saja Musa
putus asa bahkan Allah juga!
“Bangsa” UKI secara tidak sadar mungkin sering terjebak pada
sindroma Musa. Kita hanya sibuk dan repot untuk memilih “musa” di
UKI, dan kalau “musa” itu memberlakukan persyaratan-persyaratan agar

20 Refleksi UKI
Menjadi Pemimpin

dapat mencapai tujuan, maka kita mulai bersungut-sungut dan segera


sibuk lagi mencari “musa” pengganti.

Jadi, dari kacamata dinamika organisasi dan manajemen yang sederhana,


kemajuan bukan hanya melulu terletak pada pemimpinnya tapi juga yang
dipimpin dan interaksi di antara mereka.

Legitimasi dan Popularitas


Azas legitimate dalam arti yang sebenarnya mengemuka setelah Indonesia
selama 32 tahun dikuasai oleh pemerintah yang memiliki legitimasi semu.
Popularitas juga suatu hal yang mencolok, hampir setiap tokoh yang
ingin didukung oleh massa yang akan memberi legitimasi kekuasaan
harus mencari “popularitas” (dikenal dan terkenal), dan seringlah ia
muncul di media massa dengan mengemukakan segala macam teori yang
malah bikin mumet rakyat.
Kita pun sekali lagi bisa terjebak oleh ini semua, kita menganggap bahwa
orang atau tokoh yang akomodatif serta aspiratif dan selalu
menyenangkan itulah yang cocok jadi pemimpin. Padahal yang utama
adalah kita butuh orang yang bisa membawa kita ke tujuan yang jelas
yang seringkali harus dibayar dengan keringat dan airmata!

Jimat dan Kepemimpinan


Di dalam masyarakat agraris, antara jimat dan ketenangan batin serta
kekuatan kekuasaan sangat lah berhubungan erat, dan berbicara soal
“jimat” (dalam konteks ini saya terjemahkan dengan dukungan) di kalangan
UKI, maka berlomba-lombalah kita mencari “jimat” Yayasan, “jimat”
Senat, “jimat” Mahasiswa dan "jimat" para tokoh, dan tentu semakin
banyak “jimat” yang dikumpulkan maka semakin merasa yakin dan
tenanglah para pemimpin.
Persoalannya bukan akumulasi "jimat" tapi, bagaimana para pemimpin
dan kita, segenap “bangsa” UKI, y.i. yayasan, senat, dosen, karyawan
dan mahasiswa secara bersama-sama untuk saling mendukung dan
membangun serta tidak mencampur-adukkannya dengan ego-pribadi,

Refleksi UKI 21
Menjadi Pemimpin

ego-kelompok, ego-marga, ego-suku, dan bentuk egositas lainnya. Inti


kepemimpinan adalah tindakan bukan (hanya) kedudukan.
Percayalah, kata orang Betawi, barang siape nyang suke ngumpulin dan ngasih
jimat sembarangan ntar matinye suseh!

22 Refleksi UKI
4
Kandang yang Bersih Tidak
Menghasilkan Sesuatu
Suatu Pemikiran Tentang Generasi Pembaharu UKI 1

H
ampir semua orang suka melihat-lihat riwayat keluarga atau garis
keturunan (family tree, tarombo menurut orang Batak), dan
sambil melihat-lihat kita akan menunjukkan kepada anak dan
cucu tentang siapa dan bagaimana kehidupan setiap anggota keluarga di
garis keturunan tersebut. “Ini, kakekmu, dia itu orang pertama di
kampungnya yang bisa berbahasa Belanda,” atau “Nah, ini nenekmu,
ketika masih muda sekali pergi ke tanah Jawa untuk sekolah,” dan
seterusnya dan seterusnya. Bahkan dalam suku tertentu, setiap anak harus
dapat menyebutkan secara fasih siapa dan bagaimana kakek—nenek
moyang mereka sekurang-kurangnya empat generasi di atas. Ini penting
untuk menjaga identitas dan sekaligus melihat “track record” keluarga
tersebut. Memang sangat membanggakan bagi anak keturunan kalau
“track record” keluarganya baik dan berhasil, namun sebaliknya bisa
menjadi beban mental kalau ternyata anak keturunannya tidak dapat
menunjukkan prestasi yang mirip atau lebih dari prestasi kakek-nenek
moyangnya. Ini suatu tantangan bagi anak keturunannya!

Survival of the fittest


Salah satu hipotesis yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1809-1882),
seorang ahli biologi dari Inggris, dalam bukunya yang klasik “The Origin of
Species” (1859) adalah bahwa keberadaan organisme (manusia sebagai
salah satu jenis “hewan” dengan nama Homo sapiens termasuk di
dalamnya) pada saat ini merupakan hasil suatu proses evolusi yang
memakan waktu berjuta-juta tahun bermula dari organisme sederhana

1 Diterbitkan di Buletin UKI Mei 2000, Tahun XVI, No. 05: 15-17.
Kandang yang bersih

sampai kompleks, dan kemunculan spesies-spesies baru adalah akibat


proses seleksi alam (natural selection).

Richard Dawkin seorang pengikut Darwin mengungkapan secara


metaforis pengertian teori Darwin dan umat manusia melalui esai di
bawah ini (garis bawah dan terjemahan bebas oleh penulis):[1]
1. Organisms are constructed by groups of genes whose
goal is to leave more copies of themselves. The
hereditary material is basically 'selfish'.

Organisme dibentuk oleh sekelompok gen yang bertujuan


melanggengkan diri mereka. Materi herediter pada dasarnya bersifat
sangat “egois”.

2. The inherently selfish qualities of the hereditary material


are reflected in the competitive interactions between
organisms that result in survival of fitter variants,
generated by the more successful genes.

Sifat materi herediter yang mementingkan-diri sendiri itu tampak pada


interaksi kompetitif antara organisme yang akhirnya menghasilkan
varian yang lebih baik, yang diturunkan oleh gen yang berhasil
(memenangkan kompetisi tersebut).

3. Organisms are constantly trying to get better (fitter). In


a mathematical/ geo-metrical metaphor, they are
always trying to climb up local peaks in a fitness
landscape in order to do better than their competitors.
However, this landscape keeps changing as evolution
proceeds, so the struggle is endless.

Setiap organisme selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Secara


istilah matematis /geometris, ia selalu mencoba mencapai
keberhasilan-keberhasilan dalam medan “adu-ketahanan” agar dapat

24 Refleksi UKI
Kandang yang bersih

melakukan yang lebih baik dari pesaingnya. Namun medan berubah


terus selama evolusi berlangsung, sehingga perjuangan itu tiada
hentinya.

4. Paradoxically, humans can develop altruistic qualities


that contradict their inherently selfish nature, by means
of education and other cultural efforts.

Sebaliknya, manusia dapat membentuk sifat altruistis (mementing-


kan orang lain, melayani) yang bertentangan dengan sifat egois
yang diturunkan melalui pendidikan dan upaya-upaya kebudayaan
lainnya.
Dawkin meneruskan, bahwa sejalan dengan metafora di atas terdapat
beberapa persamaan dengan hal-hal di bawah ini:
1. Humanity is born in sin; we have a base inheritance.

Manusia dilahirkan dalam dosa, kita memiliki sifat dasar yang


diwariskan.

2. Humanity is therefore condemned to a life of conflict


and ...

Karena itu manusia dikutuk untuk menjalani hidup yang penuh


konflik dan…

3. ... Perpetual toil

……..Kerja keras sepanjang masa

4. But by faith and moral effort humanity can be saved


from its fallen, selfish state

Namun dengan iman dan kekuatan moral, manusia dapat


diselamatkan dari sifat tercela yaitu mementingkan dirinya sendiri.

Refleksi UKI 25
Kandang yang bersih

Jadi, Dawkin menjelaskan bahwa Darwin-isme memiliki akar


metafora atas mitos kebudayaan akan kejatuhan dan penebusan
manusia.
Kekuatan Fisik, Harta dan Kekuasaan
Banyak orang yakin bahwa kekuatan fisik, harta dan kekuasaan belaka
dapat menciptakan atau melanggengkan keturunan yang baik. Pendapat
ini tidak seluruhnya benar, bila kita perhatikan beberapa argumen di
bawah ini.
Gajah, badak, “ikan” paus adalah termasuk kelompok binatang yang
dilindungi karena hampir punah (endangered species), bahkan dinosaurus
yang memiliki bentuk dan kekuatan fisik sangat besar sudah punah
berjuta-juta tahun yang lampau. Namun berbagai jenis serangga dan
hewan-hewan kecil lainnya tetap sanggup melangsungkan kehidupan
jenisnya (survived) sejak jaman purbakala. (catatan: untuk tidak menghilangkan
arti kontekstual diskusi kita, perbandingan ini terpaksa diambil karena belum
diketahui secara ilmu kepurbakalaan dan anthropologi apakah pada jaman dahulu
terdapat spesies manusia yang berukuran (fisik) lebih besar daripada manusia
sekarang, namun sudah terbukti bahwa volume otak manusia sekarang lebih besar
daripada manusia purbakala).

Beberapa orang percaya harta dapat membantu kelanggengan suatu


dinasti atau keluarga bahkan sampai tujuh turunan, tapi bila dilihat
sejarah manusia, ada banyak konglomerat yang hanya bisa bertahan
sampai turunan ketiga, setelah itu lenyap karena anggota keluarga saling
menghabiskan atau perusahaan atau hartanya dikelola/diambil alih oleh
pihak lain. Mengenai kekuasaan pun demikian, ada banyak kerajaan,
diktatorisme, otoriterisme hanya mampu bertahan pada umur yang
singkat, misalnya Adolf Hitler, Mussolini, Ken Arok, Soeharto, dll.

Kembali ke konteks semula dan seperti yang tergambar dalam metafora


dari Dawkin, tampaklah bahwa kekuatan kelanggengan pewarisan suatu
generasi tergantung pada bagaimana generasi itu mengindahkan nilai

26 Refleksi UKI
Kandang yang bersih

iman (penulis maksudkan di sini tidak selalu menunjuk pada iman yudeokristiani
tapi lebih kepada religiositas), moral dan pendidikan.

Dalam konteks ketahanan budaya dan bangsa


…kekuatan bisa kita lihat contohnya pada bangsa Yahudi.
kelanggengan pewarisan Meski populasi bangsa Yahudi tidak berarti
suatu generasi tergantung dibandingkan bangsa-bangsa lain, tapi tidak
pada bagaimana generasi dapat dipungkiri bahwa banyak puncak-
itu mengindahkan nilai puncak ilmu dan kebudayaan manusia
iman diprakarsai oleh bangsa ini. Albert Einstein
dengan teori Relativitasnya, Karl Max dengan
Sosialisme-Materialistiknya, Sigmund Freud
dengan Psikoanalisanya, Steven Spielberg sutradara kondang penggaet
penghargaan Oscar berkali-kali, George Soros dengan kekuatan
perusahaan pialangnya dan Bill Gates dengan imperium Microsoftnya
adalah beberapa contoh nyata kekuatan kualitas bangsa ini. Lihatlah
bangsa Jepang dan Jerman yang luluh lantak di masa Perang Dunia II,
namun dalam waktu kurang dari 15 tahun telah bangkit kembali menjadi
pemimpin ekonomi dunia.

UKI, Alma Mater Kita


Kalau kita mau menganggap UKI adalah Alma Mater yaitu Ibu yang
melahirkan dan mengasuh kita, maka sudah merupakan kewajiban kita
untuk menjaga dan menjadikan “keluarga” UKI terjaga track recordnya.
Menjaga serta memelihara UKI agar kelak para alumni dan pengguna
jasa (client) kita bangga dan mengacungkan jempol serta berkata: “Untung
anak saya tamatan UKI,” atau “Apa jadinya kalau saya bukan lulusan
UKI?”
Pujian di atas menunjuk pada kata kualitas, dan kualitas tidak terlepas
dari masukan (input), proses dan segenap faktor yang memproses agar
terbentuk produk yang berkualitas.

Refleksi UKI 27
Kandang yang bersih

Persoalannya sekarang bagaimana caranya agar proses dan segenap


faktor yang bertanggung-jawab atas proses itu berjalan dengan baik (on
the right track)?

UKI, ladang pembenihan suatu generasi pembaharu


Dalam rangka tugas mulia yang diemban oleh UKI sebagai perwujudan
panggilan iman kristiani, maka sudah sepatutnya UKI menyediakan diri
menjadi ladang perbenihan untuk munculnya generasi pembaharu.
Generasi yang dihasilkan oleh UKI, mau tidak mau, harus terjun ke
“medan pembantaian”, dalam konteks biologis maupun sosial. Secara
realistis, akhirnya, hanya generasi yang bijak dan pandai lah yang mampu
bertahan dan meneruskan serta mewariskannya kepada generasi
berikutnya.
Karena itu, sudah sewajarnya bila faktor masukan (input), menjadi
perhatian kita semua. Masukan akan “benih” yaitu para dosen, karyawan,
dan mahasiswa dan orang-orang lain yang ingin mengabdi di UKI harus
terseleksi dengan baik. Mekanisme penyeleksian yang dipunyai sekarang
layaknya dikaji ulang dan kriteria yang selama ini lebih mengunggulkan
aspek intelektual atau kognitif semata harus ditambah dengan aspek
emosi, sebab terbukti bahwa faktor kepintaran emosi (Emotional
Intelligence) juga memegang peranan akan
keberhasilan individu mau pun
Hanya generasi pendahulu organisasi.[2,3]
(baca: para pemimpin, dosen Sebagai contoh: seorang insinyur bekerja
dan karyawan) yang beriman di bagian perencanaan merasa sangat
dan bermoral tinggi serta cinta dipermalukan dan kehilangan gairah
akan pendidikan dalam arti bekerja ketika manajer perusahaannya
yang seluas-luasnya yang mengkritik pekerjaannya secara habis-
akan berhasil “menurunkan” habisan di depan peserta rapat yang lain.
generasi pembaharu… Kata-lata yang dikeluarkan manajer
tersebut adalah: “Sudah berapa tahun
kamu lulus dari perguruan tinggi?

28 Refleksi UKI
Kandang yang bersih

Spesifikasi yang kamu rancang ini tidak masuk akal dan pasti tidak akan
saya luluskan.”
Akhirnya insinyur tersebut memberanikan diri menghadap ke manajer
dan berkata: “Saya bingung tentang apa yang Anda lakukan. Asumsi saya
Anda tidak ingin mempermalukan saya, namun adakah usulan Anda yang
lebih baik terhadap rancangan saya tersebut?”
Sang manajer sadar bahwa kritik yang ia lontarkan pada waktu itu
sebenarnya keluar begitu saja dari mulutnya, namun memiliki efek negatif
yang besar atas motivasi dan kegairahan anak buahnya dan ia pun
meminta maaf atas kejadian tersebut.
Artinya kritik tidak selalu menghasilkan sesuatu yang baik bahkan
sebaliknya kritik dapat menurunkan kreativitas dan akhirnya
produktivitas individu dan kelompok.
Secara ringkas faktor-faktor seperti kepemimpinan, kepemimpinan
kelompok, rasa percaya diri, optimisme, penguasaan diri, pengaruh,
mampu mendengarkan, empati, melayani, integritas adalah hal-hal yang
menggambarkan kedewasaan emosional individu dan organisasi yang
dapat dilatih (learned abilities) serta dikembangkan secara terus-menerus.

Bagaimana UKI dapat menjadi ladang perbenihan generasi pembaharu?


Sesuai dengan metafora di atas, generasi baru yang muncul merupakan
hasil seleksi alam dari suatu proses “pemurnian” atas generasi
sebelumnya. Hanya generasi pendahulu (baca: para pemimpin, dosen dan
karyawan) yang beriman dan bermoral tinggi serta cinta akan pendidikan
dalam arti yang seluas-luasnya yang akan berhasil “menurunkan” generasi
pembaharu.
Kita harus selalu memfasilitasi agar di dalam ladang itu tercipta interaksi
antar komponen tersebut. Akan tampak bahwa proses saling belajar
sesama anggota kelompok bisa mempertajam intelektualitas (ranah
kognitif), kepekaan emosional (ranah afektif) serta kepintaran bertindak
(ranah psikomotorik) yang sangat diperlukan bagi dinamisme organisme
dalam menghadapi perubahan.

Refleksi UKI 29
Kandang yang bersih

Seperti metafora di atas, “setting dan plot” tempat interaksi “manusia” UKI
berada berubah terus secara dinamis baik secara internal maupun
eksternal. UKI harus secara sadar memperlengkapi diri dengan perangkat
evaluasi diri dan lingkungan, agar selalu dapat mengikuti dan menjawab
tantangan perubahan yang ada. Hal ini hanya bisa terjadi bila UKI
dipimpin, dikelola dan dihuni oleh generasi pemba-haru. Kalau tidak,
maka UKI akan masuk ke dalam kelompok perguruan tinggi yang harus
dilestarikan (to be preserved) atau bahkan punah sama sekali!

Daftar Bacaan:

1. Bradbury, AJ. Charles Darwin- The Truth? Part 1 Metaphors


and Myths. http://www3.mistral.co.uk/bradburyac / dar1.html
2. Cherniss, C. The Business case for emotional intelligence.
www.eiconsortium.org.
3. Cooper RK, Sawaf A. 1998. Kecerdasan Emosional dalam
Kepemimpinan dan Organisasi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
4. Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence.
Bantam, New York.

The test of a first-rate intelligence is the


ability to hold two opposed ideas in mind
at the same time and still retain the ability
to function.

F. Scott Fitzgerald.

30 Refleksi UKI
5
Lebih Baik Menyalakan Beberapa Lilin
Daripada Menggerutu Tentang Kegelapan 1

idak dapat dipungkiri bahwa alam demokrasi yang sedang mekar di

T negara kita mengimbas pula di UKI. Setidak-tidaknya hal ini tampak dari
terbitnya media-media “kagetan” yang dari segi perwajahan maupun gaya
tulisan mirip dengan tabloid panas yang ada di luar sana. Berita yang
disajikan tentu saja yang “hangat” dan mampu menggugah masyarakat kampus
agar terpicu untuk mendiskusikannya atau kalau perlu mengambil langkah-
langkah yang lebih jauh.

Dalam etika pergaulan ada dalil bahwa kita dianjurkan untuk tidak
menilai seseorang dari penampilan (fisik) belaka namun dari tutur kata yang
disam-paikan yang merupakan jendela buah pikirannya. Artinya, kalau bisa
sebanyak mungkin kita harus menyingkirkan prasangka terhadap lawan bicara
agar kita tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan yang salah (atau yang benar)
terhadapnya. Dalam semangat kristiani tentunya, kita diharapkan bisa
mengambil intisari ungkapan yang kasar dan biadab sekali pun. Sebab mungkin
saja apa yang diungkapkan itu benar (tapi ini pun harus dibuktikan dahulu
kebenarannya), hanya saja cara pengungkapannya saja yang belum pandai.

Struggle for power


Kita harus ingat, bila hal ini dikaitkan dengan maraknya proses
pergantian pimpinan, maka hal yang lumrah dalam politik kekuasaan bahwa
opini publik harus direbut dan dimenangkan dengan cara apa pun. Opini harus
tercipta bahwa yang “paling busuk” adalah lawan dan yang “paling suci” adalah
kita. Caranya? Sudah terbukti di seantero dunia bahwa tabloid panas dan koran
kuning ampuh untuk tujuan tersebut. Namun kalau kita harus kembali ke
semangat positive thinking, maka informasi dari segala sumber harus disimak
dengan seksama termasuk dari Peka atau “Pesan Terbuka” yang ditulis oleh
penulis tunggal, seorang dosen UKI yang tentunya dibantu oleh beberapa
informan (sukarelawan?). Tulisan itu menengarai adanya segudang

1 Disampaikan pada rapat Senat UKI, tanggal 31 Mei 2000.


Lebih baik menyalakan beberapa lilin

penyelewengan dan keganjilan di UKI lengkap dengan bilangan nominalnya juga


masalah nepotisme (catatan penulis: yang telah disalah-kaprahkan selalu
berkonotasi dengan korupsi bukan pada unjuk kerja sama seperti istilah
“oknum” misalnya). Maka sudah sepatutnya informasi itu kita lihat, pilah dan
buktikan secara seksama. Kita ingin di UKI ini berkembang dan diindahkan
pola pikir kritis namun tidak fatalistis.

Pertama-tama, mengenai penyelewengan dana, perlu dilihat apakah


telah terjadi penyalahgunaan atau pencurian dana secara kasat mata untuk tujuan
yang tidak jelas (misused dan abused) atau yang terjadi adalah akibat sistem
administrasi yang belum beres?
Kedua, tentang nepotisme yang berkembang. Mari kita lihat apakah kita bisa
jujur terhadap diri sendiri, bahwa di UKI dengan jumlah presentase suku
tertentu yang signifikan mau tidak mau tidak lepas dari hubungan kekerabatan.
Sayangnya masyarakat kita bukanlah, masyarakat migran yang multi ras seperti
Amerika Serikat, sehingga singgungan kekerabatan itu minimum. Namun di
negara yang paling demokratis pun hal ini tidak terhindari. Terpenting (untuk
sementara ini) justeru bahwa nama baik kekerabatan itu terjaga karena penilaian
orang terhadap hasil dan produk yang dihasilkan serta integritas orang-orang itu
sendiri. Lagipula pengertian nepot tidak melulu tertuju pada kerabat tapi juga
clique, gang atau kelompok. Jadi sekali lagi, dalam hal evaluasi lihatlah pada proses
dan produk. Kalau proses dan produk tidak
...bukan saja mencari seperti yang ditargetkan maka pihak yang
penyelewengan uang tapi bertanggung-jawab atas hal itu perlu
yang lebih penting juga menjelaskannya. Itu namanya accountable!
penyelewengan (“wan
Kalau pun terbukti bahwa memang ada
prestasi”) tentang fungsi
kejanggalan, lalu terapi apa yang mau diambil?
serta tanggung jawab Diistirahatkankah? Amputasikah? Menurut saya,
setiap komponen... seperti tertulis pada Buletin UKI, April 2000;
UKI harus segera mengambil keputusan membereskan penyakit kronis sekaligus
bersiap-siap menghadapi era globalisasi. Bila tindakan pertama mau dilakukan,
maka bersiap-siaplah kita untuk membuka semua “file” persoalan di UKI,
menyortir, menganalisis, mendiagnosis serta mengambil tindakan terhadapnya,
dan pasti hal itu memakan waktu, enerji, dan biaya dan bisa jatuh pada
kesimpulan ternyata kita ada yang “busuk banget”, “cukup busuk” dan “sedikit
busuk”. Secara kongkrit, dibentuk saja suatu komisi semacam “ombudsman”

32 Refleksi UKI
Lebih baik menyalakan beberapa lilin

yang bertugas bukan saja mencari penyelewengan uang tapi yang lebih penting
juga penyelewengan (“wan prestasi”) tentang fungsi serta tanggung jawab setiap
komponen di UKI dari aras yang tertinggi (yayasan) sampai yang terendah. Soal
penyelewengan fungsi ini juga harus disoroti lebih seksama, karena justeru
banyak sekali di UKI ini yang secara arogan mengatakan bahwa kamilah yang
paling tahu, kamilah yang paling senior, kamilah yang paling mengabdi di UKI
ini karen aitu kamilah yang paling berhak menentukan arah dan tujuan UKI, tapi
kenyataannya… justeru merekalah yang menjadi biang kerok proses
pembusukan UKI!
Kalau kita mau dan berani untuk itu! Kalau tidak, orang pun sinis berkata:”Ini
sih cuma pertikaian elit!”

Refleksi UKI 33
6
Pembudayaan Penelitian sebagai Bagian
dari Reformasi Pendidikan 1

ila kita mendengar kata penelitian, maka kita menduga bahwa hal

B itu adalah urusan para guru besar, peneliti, cendekiawan dan


badan-badan penelitian. Penelitian kita anggap di luar jangkauan
masyarakat awam, sulit dan seakan-akan kegiatan yang penuh rahasia.
Pendapat itu tidak seluruhnya benar sebab penelitian dalam arti luas
adalah kegiatan yang bahkan ibu rumah tangga pun sering melakukan,
apalagi pada masa krisis sekarang. Misalnya riset pasar: ibu-ibu akan
melihat, menghitung dan membandingkan harga-harga yang ada sebelum
mengambil keputusan membeli barang yang dibutuhkannya. Memang
untuk masalah yang lebih penting, misalnya bagaimana kinerja pimpinan
unit produksi lebih ditingkatkan, berapa dosis obat x yang paling tepat
diberikan untuk penyakit z, dll., penelitian harus dilakukan secara lebih
seksama menurut kaidah-kaidah ilmu yang berlaku.

Penelitian dan Budaya Masyarakat

Dari sejarah dunia dapat kita ketahui bahwa sebenarnya banyak sekali
cikal bakal ilmu pengetahuan dan benih-benih kemajuan teknologi
berasal dari Asia. Jauh sebelum bangsa Eropa mengenal mesiu, orang
Cina sudah mengenalnya. Mereka menggunakannya untuk kembang api
dan petasan sebagai bagian dari perayaan-perayaan keagamaan. Tapi
mengapa justru mesiu itu menjadi senjata yang mendukung imperialisme
dan kolonialisme Barat dan mengilhami mereka untuk membuat roket,
yang pada akhirnya mendaratkan mereka di bulan? Nenek moyang kita
telah lama tahu dan bijaksana memanfaatkan kandungan keragaman
biologis hutan, laut yang berlimpah-ruah di negara-negara tropis.

1 Diterbitkan di Buletin UKI Mei 1998, Thn XIV, No.5:6-10.


Pembudayaan Penelitian

Penggunaan daun jambu klutuk untuk diare, misalnya. Tapi mengapa


justru obat-obatan dan segenap produk kesehatan dan penunjang
kehidupan lainnya datang dari Barat?
Sejarah bangsa-bangsa yang sudah dimulai pada 3000 tahun S.M., seperti
Mesir, India dan Cina dengan sistem pemerintahannya pada waktu itu
telah terbukti mampu membawa masyarakatnya ke tingkat kejayaan dan
kemakmuran yang cukup. Tapi mengapa justru sekarang di jazirah
tersebut masih sering terjadi kekacauan dan proses politik yang sering
memakan korban cukup banyak? Dapatlah dikatakan bahwa
“pengetahuan” yang telah dimiliki oleh bangsa-bangsa di Timur hanya
mempunyai tradisi “pewarisan” tanpa pengembangan. Pengetahuan
telah menjadi dogma, “mengkristal’’ dilestarikan dan disakralkan,
tidak lagi relatif tapi absolut.
Hal ini pernah pula terjadi di dalam sejarah peradaban Barat. Salah satu
contohnya ialah ketika Copernicus mengemukakan teori Heliosentris,
yaitu, matahari yang menjadi pusat perputaran benda-benda angkasa.
Gereja menolaknya berdasarkan dogma dan norma yang berlaku waktu
itu, karena bumi dianggap sebagai pusat (Geosentris).
Tapi sejak masa Renaisan (abad 14-16 M) yang diikuti dengan
gelombang-gelombang perkembangan (filsafat) ilmu dan teknologi, dan
reformasi adalah bagian yang mengejawantah (inherent), maka dunia Barat
telah sampai pada keadaan yang kita kenal sekarang.

Menurut kamus bahasa Inggris Webster (1996), penelitian adalah suatu


tindakan penyelidikan atau eksperimen untuk menemukan dan
menginterpretasikan fakta, merevisi atau memperbaharui teori atau
hukum yang dituntun oleh fakta-fakta baru atau aplikasi praktis teori
tersebut. Penelitian merupakan sebagian usaha manusia untuk mencari
kebenaran yang adalah nilai hakiki dari suatu kebebasan (berpikir).
Menerapkan hasil penelitian adalah dasar untuk suatu perkembangan.
Jadi (kegiatan) penelitian merupakan proses dan usaha manusia mencari
atau membuktikan kebenaran yang dapat memberikan hasil untuk
kemajuan dan perkembangan umat manusia.

36 Refleksi UKI
Pembudayaan Penelitian

Penelitian bisa dilaksanakan dan tumbuh subur pada suatu masyarakat


yang memiliki budaya menghargai rasa ingin tahu (curiosity), keterbukaan
pikiran (open-mindedness), mampu menerima perbedaan-perbedaaan,
karena suatu penelitian bisa saja tidak mendukung atau bahkan menolak
hasil penelitian sebelumnya. Artinya, ada suatu budaya yang menghargai
ilmu pengetahuan dalam pengertian yang luas.
Penelitian merupakan suatu proses panjang dan program penelitian
diartikan sebagai investasi jangka panjang. Untuk negara berkembang
seperti Indonesia, harus dibuat suatu landasan yang kuat agar terbentuk
suatu “budaya pengetahuan”(Oei, 1993). Kapan dan bagaimana budaya
ini ditumbuhkan? Di bawah ini saya ceritakan pengalaman penulis
tentang hal tersebut. Suatu hari kemenakan penulis yang bersekolah di
Jakarta International School dengan bangga menunjukkan karangannya
tentang dinosaurus. Tulisannya merupakan hasil penelusuran literatur
tentang dinosaurus yang tersedia di perpustakaan sekolah. Ia mengaku
merasa sangat senang waktu mengerjakannya dan mengatakan akan segera
menulis seri kedua karangannya. Usia kemenakan itu baru delapan
tahun. Pengalaman lainnya, ketika penulis sedang mengamati sebuah
lukisan kuno tentang Indonesia di sebuah museum di Amsterdam, tiba-
tiba muncullah serombongan anak sekolah setingkat SD yang berangsur-
angsur berdiri di depan lukisan tersebut. Salah seorang dari mereka maju
ke muka dan mulai menjelaskan tentang lukisan tersebut.
Kedua cerita di atas menunjukkan bahwa secara tidak langsung dan
dengan senang hati sang murid sudah diperkenalkan dengan budaya ilmu.
Kedua anak murid tersebut tentunya sudah melakukan “penelitian”
tentang topik yang telah dipilihnya dan hasil penelitiannya diartikulasikan
melalui bahasa tulisan (peristiwa pertama) dan bahasa lisan (peristiwa
kedua).

Proteksi “No’, Litbang ‘Yes’.


Krisis yang kita hadapi sekarang telah membuka mata kita tentang masih
banyaknya ketergantungan kita pada pihak asing di segala aspek. Industri
yang kita banggakan selama ini sebagai lokomotif pembangunan ternyata

Refleksi UKI 37
Pembudayaan Penelitian

tidak mempunyai daya saing yang tinggi karena komponen kandungan


impornya besar. Karena itu seringkali industri kita disebut baru pada
taraf “tukang”.
Di samping itu, fasilitas monopoli dan proteksi yang dinikmati oleh
pelaku industri, BUMN, dan (sistem) birokrat selama ini telah membuat
mereka terlena. Hak pasar dan konsumen (masyarakat) untuk memilih
dan menggunakan produk (barang, jasa ataupun perundang-undangan)
yang baik sangat kurang. Hal ini dapat pula kita lihat pada sistem
ekonomi (dan politik) yang sedikit sekali mengikutsertakan partisipasi
masyarakat.
Sistem demokrasi dan mekanisme pengambilan keputusan yang selama
ini dianggap paling benar dan selalu benar, yang seringkali hanya
mengandalkan feeling dan ‘sabda pandita’, ternyata telah memberikan
andil dalam timbulnya krisis di segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. Sampai seberapa jauhkah sebenarnya dalam proses
pengambilan kesimpulan dan keputusan rapat baik di bagian, perusahaan,
sekolah, yayasan, departemen maupun DPR dan MPR, fakta dan data
yang tersedia dicermati dengan benar dan tepat? Padahal hampir semua
organisasi massa, departemen, institusi pendidikan dan industri memiliki
bagian penelitian dan pengembangan (Department of Research and
Development).
Proteksi yang berlebihan dan monopoli memandulkan daya kreatifitas
dan jiwa pionir untuk berpikir secara “berbeda” dan visionaris
menembus kemapanan yang dibutuhkan bagi perkembangan suatu
masyarakat.

Segitiga Emas

Segitiga yang dimaksud di sini ialah hubungan antara masyarakat


(konsumen termasuk pemerintah), industri dan perguruan tinggi.
Masing-masing pihak sebenarnya membutuhkan keberadaan pihak lain.
Konsep ini sebenarnya sudah lama disadari dan dipraktekkan di negara-
negara industri maju di Eropa, Amerika Utara dan Jepang.

38 Refleksi UKI
Pembudayaan Penelitian

Kita tentu masih ingat bahwa pada mulanya orang sangat melecehkan
produk-produk buatan Jepang
dan Korea. Orang masih sangat
…efek alih teknologi paling-paling menggemari barang-barang yang
dinikmati oleh satu atau dua generasi terdapat tulisan Made in USA atau
tapi efek alih budaya ilmu yang Made in Holland. Tapi sekarang
diakumulasikan dan dikembangkan orang Amerika dan Eropa gelisah
serta bersifat transgeneratif bisa karena produk mereka di pasaran
menjadi dasar landasan masyarakat dunia banyak yang mulai
tersebut untuk berkiprah dalam tersingkir oleh produk Jepang dan
keilmuan… Korea, terutama di bidang
otomotif, komputer dan
perangkat elektronik rumah
tangga (electronic home appliances). Mengapa hal ini terjadi?
Produk-produk Jepang dan Korea di samping memang harganya lebih
kompetitif juga memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik
daripada produk buatan Amerika dan Eropa. Keberhasilan ini tentunya
tidak lepas dari penelitian yang tidak Efek alih teknologi paling-paling
dinikmati oleh satu atau dua generasi tapi efek alih budaya ilmu yang
diakumulasikan dan dikembangkan serta bersifat transgeneratif bisa menjadi dasar
landasan masyarakat tersebut untuk berkiprah dalam keilmuanEfek alih teknologi
paling-paling dinikmati oleh satu atau dua generasi tapi efek alih budaya ilmu yang
diakumulasikan dan dikembangkan serta bersifat transgeneratif bisa menjadi dasar
landasan masyarakat tersebut untuk berkiprah dalam keilmuanputus-putusnya
dari pihak perusahaan yang didukung pula oleh perguruan tinggi dan
masyarakat (Simatupang, 1998).
Seberapa jauhkah komitmen P.T. Jasa Marga, misalnya, mendukung
penelitian untuk efisiensi dan kemudahan sistem transportasi atau P.T.
Semen Cibinong turut membiayai penelitian tentang pengurangan polusi
udara akibat industri?

Tugas umum pendidikan tinggi di Indonesia adalah pendidikan,


penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dikenal dengan

Refleksi UKI 39
Pembudayaan Penelitian

Tridarma Perguruan Tinggi. Selama ini telah banyak waktu, usaha dan
dana dicurahkan kepada darma pendidikan dan pengabdian kepada
masyarakat meskipun harus kita akui bersama bahwa hal-hal ini masih
belum mengenai sasaran, namun haruslah diakui bahwa bidang penelitian
masih lebih tertinggal dari kedua darma di atas.

Terbukanya kesempatan kerja sama antar institusi pendidikan kita


dengan luar negeri merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi kita
untuk mulai benar-benar melakukan alih budaya ilmu. Kita perlu serap
dan tumbuh-kembangkan budaya ilmu di masyarakat dan ini bukanlah
“Westernisasi”, seperti yang ditakutkan oleh beberapa orang. Karena
Barat pun dahulu, seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini, menyerap
ilmu (dan budaya) dari Mesir, Cina dan Arab (Islam). Gerakan ini
sebaiknya dimulai dari keluarga dengan memberikan ruang pada anak-
anak untuk bertanya, mengemukakan pendapat. Dan sekonyol apapun
pertanyaaan atau pendapat mereka, kita tetap harus hargai. Hal ini lebih
mempunyai efek yang ajek dan residual daripada alih teknologi dan ilmu
(transfer of technology and knowledge) yang hanya menghasilkan luaran (output)
yang bersifat sesaat dan seringkali memerlukan investasi yang banyak.
Efek alih teknologi paling-paling dinikmati oleh satu atau dua generasi tapi efek
alih budaya ilmu yang diakumulasikan dan dikembangkan serta bersifat
transgeneratif bisa menjadi dasar landasan masyarakat tersebut untuk berkiprah
dalam keilmuan.

Masa Pencerahan Indonesia


Peristiwa Trisakti dan tanggal 14 Mei kelabu yang diikuti oleh turunnya
Soeharto adalah suatu rentetan peristiwa perubahan yang terjadi secara
cepat yang merupakan pintu gerbang menuju Reformasi Total. Gerakan
reformasi yang mula-mula lebih bernuansa politik dan moral ternyata
telah merebak ke semua aspek kehidupan. Ini merupakan titik balik agar
kita secara sadar, konsisten dan bertanggung-jawab melakukan
pembaharuan masyarakat yang menjadi modal dasar untuk menuju
masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan. Kita masih sempat

40 Refleksi UKI
Pembudayaan Penelitian

untuk segera berbenah diri, juga di sektor pendidikan, untuk tidak lagi
melihat sumber daya manusia Indonesia sebagai aset ekonomi belaka
namun sebagai aset budaya.

Karena itu kemauan politik harus disertai dengan keputusan politik agar
tujuan pendidikan di Indonesia bukan lagi hanya untuk mencerdaskan
bangsa namun terlebih penting adalah “memanusiakan” bangsa. Artinya,
azas kemanusiaan menjadi salah satu tiang kehidupan berbangsa dan
bernegara dan bukan politik, ideologi dan kekuasaan semata.
Selamat tinggal Indonesian Dark Ages, selamat datang Masa Pencerahan
Indonesia!

There is hope for the future because


God has a sense of humor.

-BILL COSBY

Bacaan

1. Barnet R.1990. The Idea of Higher Education. The Society for


Research into Higher Education & Open University Press.
Buckingham.U.K.
2. Jakarta Post. 1998
3. Oei Ban Liang. 1993. Graduate Education, University Research and
the Inter-Univesity Center Concept dalam Higher Education in
Indonesia: Evolution and Reform (Balderston JB dan Balderston
FE., Ed.). Center for Studies in Higher Eduction. University of
California, Berkeley, USA, 149-54.

Refleksi UKI 41
Pembudayaan Penelitian

4. Simatupang, A. Peningkatan Sumber Daya Manusia Khusus Bidang


Penelitian dalam Menjawab Tantangan Globalisasi. Orasi Ilmiah
yang disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Kristen
Indonesia, 30 Agustus 1997.
5. Encyclopedia. Encarta®97. Microsoft CD-ROM.
6. Friedman J. 1994. Cultural Eijsvoogel (ed), 1990, The discipline of
curiosity, Elsevier Science Publ., Amsterdam.

42 Refleksi UKI
7
Peningkatan Sumber Daya Manusia
Bidang Penelitian Dalam Menjawab Tantangan
Globalisasi 1

P
ertama-tama saya ucapkan selamat datang kepada Adik-adik
sekalian ke dalam dunia yang sama sekali baru bagi kalian, yaitu
dunia kampus. Dunia kampus dan orang-orang di dalamnya
mungkin bagi sebagian besar orang adalah dunia yang aneh dan penuh
misteri. Tempat berkumpulnya orang-orang yang berkaca-mata tebal
dengan rambut yang menipis, hilir-mudik sambil mengkerutkan dahi
dengan membawa buku-buku yang tebal di tangannya. Pendapat itu tak
seluruhnya salah. Memang dunia kampus adalah salah satu tempat orang-
orang yang berusaha memecahkan misteri alam semesta. Tetapi orang-
orang di dalamnya bukanlah seperti penjaga kuburan yang menjaga agar
kemisterian dan kekeramatan suatu tempat tetap terpelihara dengan baik.
Namun mereka berusaha agar misteri itu semakin terkuak, semakin
dipahami , semakin disebar-luaskan serta semakin berguna bagi orang
banyak.

Judul orasi ilmiah pada penerimaan mahasiswa baru Universitas Kristen


Indonesia kali ini ialah “Peningkatan Sumber Daya Manusia Khusus
Bidang Penelitian Dalam Menjawab Tantangan Globalisasi”. Saya
melihat bahwa paling sedikit ada tiga kata kunci dari judul di atas y.i. 1.
Globalisasi, 2. Sumber daya manusia (SDM) dan 3. Penelitian. Marilah
kita bersama-sama mencoba menyoroti hal-hal tersebut di atas.

1Disampaikan pada Orasi Ilmiah Sidang Senat Terbuka bulan Oktober 1997, di
Gedung Aneka Tambang, Jakarta.
Peningkatan sumber daya manusia

1. Globalisasi
Manusia sekarang hidup di jaman yang hampir tidak memiliki batas
(borderless world). Hampir tidak ada kejadian di belahan bumi yang lain
secara cepat tidak diketahui oleh masyarakat di belahan bumi yang
lain. Kemajuan media elektronik telah memungkinkan semua hal itu
terjadi. Tersedianya satelit, faksimili, telepon, TV, intranet dan
internet membuat dunia ini seakan-akan “mengecil”, semua sudah
menjadi terjangkau dan dalam jangkauan manusia.
Kapan tepatnya proses globalisasi itu dimulai? Tidak terlalu mudah
untuk menjawabnya karena sejarah peradaban manusia merupakan
suatu alur perjalanan yang mengikuti garis lurus yang kontinyu dan
mencari titik-titik peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
peradaban manusia dalam garis itu tidaklah mudah karena perubahan
suatu masa ke masa yang lain seringkali saling tumpang tindih dan
penyebab perubahan itu seringkali bersifat multifaktorial.
Kalau ide atau informasi merupakan obyek yang terlebih dahulu
mendunia, maka Johannes Gutenberg (1400?-1468) dari Jerman,
penemu mesin cetak tangan pertama, dapat dikatakan sebagai salah
seorang yang memicu terjadinya globalisasi informasi. Meskipun
mula-mula Gutenberg bermaksud agar mesin temuannya dapat
mempermudah penyebaran Kitab Suci, namun dengan alat
temuannya terbukalah cara untuk menyebar-luaskan suatu ide atau
informasi, bersamaan dengan masa Renaisans (abad 14-16 M),
setelah itu diikuti pula dengan timbulnya semangat mencari daerah
(jajahan) baru, maka sebenarnya proses globalisasi sudah dimulai.
Revolusi Industri dan Revolusi Perancis (Abad ke 18) turut pula
memberi andil akan proses globalisasi.
Ditunjang dengan kemajuan teknologi informasi beberapa dekade
belakangan ini, maka proses itu mencapai percepatan yang luar biasa.
Motor penggerak utama globalisasi adalah kegiatan ekonomi seperti
yang dikatakan oleh Theodore Levitt (1983) dalam artikelnya di
majalah Harvard Business Review. Pemasaran dan penggunaan produk
ekonomi yang mendunia telah terlebih dahulu menerjang batas-batas

44 Refleksi UKI
Peningkatan sumber daya manusia

negara, misalnya Coca-Cola dan kedai makanan siap saji (fast-food)


McDonald telah menyerbu Rusia dan Cina meskipun hubungan
politik kedua negara dengan Amerika Serikat masih diliputi banyak
perbedaan. Seiring dengan proses globalisasi ekonomi, penyebar-
luasan budaya atau nilai , atau lebih cocok disebut “gaya hidup” akan
berlangsung pula secara cepat dan luas.
Secara politis pertemuan kepala-kepala negara ASEAN, Jepang,
Korea, Australia, Selandia Baru serta negara-negara Amerika Utara
lainnya telah memutuskan suatu kesepakatan adanya era
perdagangan bebas yang akan diberlakukan secara bertahap, y.i. di
mulai pada tahun 2003 (Asean free-trade agreement), tahun 2010
sebagai awal tahun perdagangan bebas kawasan Asia-Pasifik dan
tahun 2020 sebagai awal tahun perdagangan bebas dunia.

Kita dapat melihat globalisasi sebagai suatu hal yang menawarkan


kemungkinan-kemungkinan yang baru bagi umat manusia melalui
pesat dan cepatnya lalu-lalang informasi, orang dan barang. Namun
globalisasi juga sarat akan persaingan yang dapat membawa
destabilisasi, disorientasi serta marginalisasi bagi negara-negara atau
kawasan yang gagal dalam kompetisi tersebut. Masalahnya sekarang,
apakah Indonesia sudah mempersiapkan dirinya untuk memasuki
pertandingan tersebut? Dan apa kontribusi UKI terhadap peristiwa
ini?

2. Sumber daya manusia (SDM)


Istilah SDM sekarang sedang populer, kalau kita baca surat kabar
hari ini, istilah ini akan muncul di beberapa artikel dan berita.
Sumber daya manusia adalah istilah yang mendudukkan manusia
sebagai milik sekaligus insan pelaku aktifitas (ekonomi) kehidupan.
Di tengah-tengah proses globalisasi dan semakin menipisnya sumber
daya alam (natural resources) terutama yang tidak dapat diperbaharui
lagi (non renewable resources) maka tumpuan utama untuk ikut serta
dalam memenangkan kompetisi tersebut adalah SDM yang

Refleksi UKI 45
Peningkatan sumber daya manusia

berkualitas. Hal ini sudah lama dibuktikan oleh negara-negara yang


memiliki sumber daya alam terbatas namun cukup akan SDM y.i.
Jepang, Korea, Singapura, Taiwan dan negara-negara Eropa Barat
serta Amerika Utara.
Bila kita perhatikan Tabel 1 di bawah, secara kuantitas tampak
bahwa negara-negara berkembang (Asia dan Afrika) memiliki jumlah
peneliti yang jauh dari memadai dibandingkan Jepang, Amerika
Serikat dan Eropa.
Apalagi bila segi kualitaspun ikut diperbandingkan maka kita sangat
tertinggal jauh. Jadi perlu segera dilakukan program-program yang
menunjang peningkatan jumlah dan kualitas peneliti di kalangan
negara-negara berkembang dan khususnya di Indonesia.
Seperti yang telah kita soroti di atas bahwa dalam menghadapi
persaingan global diperlukan produk-produk yang berkualitas yang
hanya dapat dihasilkan melalui penelitian yang berkualitas dan ini
sangat erat kaitannya dengan jumlah dan mutu tenaga peneliti yang
dimiliki suatu negara atau kawasan.
3. Penelitian
Seorang prajurit yang baik mengenal betul tentang senjata yang
dimiliki atau yang akan dipergunakannya di medan pertempuran.
Jenis dan model senjata, jenis peluru yang dibutuhkan, cara pengisian
peluru, jarak tembak maksimal yang dapat dicapai dan daya tembus
peluru itu adalah hal-hal yang harus diketahuinya. Pemahaman serta
penguasaan akan senjata yang dimilikinya sudah merupakan sebagian
kemenangan dari pertempuran yang akan dihadapinya.
Demikian pula para peneliti atau ilmuwan, dalam usaha mereka
mencoba menyingkapkan tabir misteri alam semesta, dan menjawab
tantangan kompetisi serta persoalan-persoalan yang timbul di era
globalisasi mereka harus mampu menggunakan secara optimal
senjata yang dimilikinya. Senjata tersebut adalah penelitian.

46 Refleksi UKI
Peningkatan sumber daya manusia

Tabel 1. Jumlah ilmuwan dan insinyur per satu juta penduduk


(Odhiambo, 1989)

Jumlah ilmuwan
Negara
dan insinyur
Jepang 3.548

Amerika Serikat 2.685

Eropa 1.632

Amerika Latin 209

Negara-negara Arab 202

Asia (kecuali Jepang) 99

Afrika 53

Penelitian adalah suatu proses mencari kebenaran, sedangkan hal


mencari kebenaran adalah nilai hakiki dari suatu kebebasan
(manusia), selanjutnya menerapkan hasil penelitian adalah dasar
untuk suatu perkembangan. Jadi (kegiatan) penelitian
merupakan proses dan usaha manusia mencari atau
membuktikan kebenaran yang dapat memberikan hasil untuk
kemajuan dan perkembangan umat manusia.

Pada prinsipnya, penelitian adalah proses siklus dan evaluasi suatu


pengujian hipotesis seperti yang digambarkan pada gambar 1. di
bawah ini. Pertama-tama observasi atau pengamatan terhadap fakta,
kemudian penegakan suatu hipotesis, selanjutnya menguji hipotesis,
menganalisis dan mengambil kesimpulan dan merobah hipotesis.

Refleksi UKI 47
Peningkatan sumber daya manusia

Observasi terhadap fakta

Penegakan Hipotesis

Modifikasi hipotesis

Perancangan uji eksperimental

Penelitian

Kesimpulan

Gambar 1. Metode ilmiah sebagai proses siklus dari evaluasi dan


pengujian hipotesis (Tait RC, 1997)

Penelitian dan Kemajuan Peradaban Manusia


Kita tidak dapat membayangkan bagaimana bentuk kehidupan
manusia apabila tidak ada penelitian. Mungkin kita masih hidup
seperti nenek moyang kita pada jaman batu dengan cara dan pola
hidup serta perkakas yang sangat sederhana. Sebagai contoh, saya
sekarang dapat menyampaikan orasi ilmiah ini kepada ribuan orang
sekaligus, tanpa harus berteriak-teriak, karena adanya bantuan
perangkat elektronik berupa microphone, penguat (amplifier) dan kotak
suara (loudspeaker), atau contoh lain di bidang kesehatan tentang
vaksin polio yang ditemukan oleh ahli virus dari Amerika bernama
Abert Bruce Sabin (1906-1993) dan Jonas Salk.
Secara perlahan-lahan pola dan peradaban manusia berkembang
seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang dikuasainya.
Perkembangan ini tidak lepas dari peningkatan khasanah ilmu
pengetahuan, peningkatan pemahaman manusia akan dirinya dan
alam semesta serta peningkatan kebutuhan akan kenyamanan hidup.

48 Refleksi UKI
Peningkatan sumber daya manusia

Kita mungkin masih ingat bahwa pada mulanya orang sangat


meremehkan produk-produk buatan Jepang, orang masih sangat
menggemari buatan Eropa atau Amerika Serikat, tapi sekarang orang
Amerika dan Eropa gelisah karena produknya di pasaran dunia
banyak yang mulai tersingkir oleh produk Jepang dan Korea,
terutama di bidang otomotif, komputer dan perangkat elektronik
rumah tangga (electronic home appliances). Mengapa hal ini terjadi?
Salah-satu penyebabnya adalah karena produk-produk mereka,
disamping memang harganya lebih kompetitif namun produk
tersebut memang memiliki kualitas yang mirip atau bahkan lebih baik
daripada buatan Amerika dan Eropa. Keberhasilan ini tentunya tidak
lepas dari penelitian yang tidak putus-putusnya dari pihak
perusahaan yang didukung pula oleh dunia perguruan tinggi.
Jadi, di masyarakat industri, penelitian ilmiah sering dilihat sebagai
sumber informasi baru yang dapat menyediakan jawaban terhadap
permasalahan, inovasi untuk peningkatan kualitas hidup atau
peningkatan mutu suatu barang.

Usaha-usaha Peningkatan Mutu Peneliti


Sebelum kita membahas tentang upaya peningkatan mutu peneliti
ada baiknya kita pertama-tama membicarakan tentang hal-hal yang
menarik mengenai penelitian dan apa yang menyebabkan seseorang
menjadi peneliti.
Kita seringkali melihat seorang anak kecil yang sibuk sedang
mencabik-cabikkan boneka atau seekor cicak hanya untuk
mengetahui apa yang terdapat di dalamnya atau kita masih ingat
bahwa ketika kita masih remaja membongkar radio milik ayah kita,
hanya sekedar ingin tahu apa yang terdapat di dalamnya tanpa bisa
mengembalikan radio itu seperti semula. Menurut cerita, Thomas
Alva Edison (1847-1931), seorang penemu terbesar di dunia, ketika
ia masih kanak-kanak pernah ditemukan di kandang ayam dan
sedang duduk mengerami telur ayam, persis seperti ayam mengerami
telurnya. Hal-hal diatas adalah contoh sederhana dari sifat dasar yang

Refleksi UKI 49
Peningkatan sumber daya manusia

harus dimiliki peneliti yaitu rasa keingintahuan yang besar dan


dorongan untuk “menjelajah” hal-hal yang dianggapnya perlu
diketahuinya. Sangat disayangkan, seringkali sifat “keingintahuan”
yang “kekanak-kanakan” dan kreatif itu semakin memudar dengan
bertambahnya usia dan bahkan ada beberapa pakar pendidikan
mengatakan bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang membuat
kemampuan manusia untuk “menjelajah” terpasung seiring dengan
tujuan pendidikan yang hanya ingin mencetak manusia menjadi
sarjana atau “tukang” yang setelah lulus siap menyerbu lapangan
pekerjaan yang tersedia.
Hal kedua adalah sifat kritis, yaitu sanggup mengamati, memilah dan
mengevaluasi persoalan atau fakta yang ada. Pada saat sekarang,
pengambilan, penghitungan dan penampilan data dapat dilakukan
dengan bantuan alat, a.l. untuk pengukuran digunakan termometer;
untuk pengolahan data digunakan perangkat lunak (software) statistik
SPSS serta untuk penampilan data digunakan Harvard Graphics®.
Namun interpretasi serta pengambilan kesimpulan tentang data atau
fakta yang ada masih sepenuhnya dipegang oleh sang ilmuwan atau
peneliti.
Hal ketiga ialah integritas dan kejujuran, dua hal yang mutlak pula
dimiliki oleh seorang peneliti. Kedua hal ini bisa menjadi rambu-
rambu yang tangguh agar dalam melakukan pekerjaannya sang
peneliti tetap berpegang teguh pada tujuan ilmu yang luhur yaitu bagi
kemaslahatan umat manusia.
Sifat keempat yang juga tidak kalah penting adalah tidak mudah
putus asa. Hal ini penting karena seringkali penelitian yang
dilaksanakan tidak langsung memberikan jawaban atau hasil yang
diharapkan, karena itu sifat keajegan atau konsisten terhadap apa
yang diteliti atau ditekuni juga merupakan salah satu modal penting
bagi peneliti.
Sifat kelima adalah kerjasama dan kesejawatan atau kolegialitas. Hal
ini sangat diperlukan karena kita sadar bahwa apa yang kita teliti dan
temukan hanyalah sebutir pasir di padang pasir misteri semesta alam

50 Refleksi UKI
Peningkatan sumber daya manusia

yang ada. Jadi setiap temuan yang dihasilkan menambah gambaran


mosaik yang telah ditemukan oleh rekan-rekan peneliti lainnya. Kita
menganggap peneliti yang lain adalah rekan sekerja yang juga
bersama-sama dengan ribuan peneliti yang lain berusaha
memecahkan rahasia alam semesta. Makin lama gambaran dan
pengertian kita terhadap sesuatu hal akan semakin jelas karena
akumulasi temuan-temuan yang dihasilkan oleh jutaan peneliti
sepanjang sejarah manusia.

Di samping hal-hal di atas seorang peneliti juga harus mempunyai


jiwa manajerial yang cukup, karena di samping pekerjaan
penelitiannya iapun harus tahu membagi waktu, membagi beban
pekerjaan, membuat laporan penelitian, mengikuti seminar atau
kongres serta pekerjaan-pekerjaan administratif lainnya.
Faktor eksternal yang juga penting agar peneli-peneliti dapat lahir,
tumbuh dan berkembang dengan baik adalah budaya ilmiah
masyarakat. Budaya ilmiah ini harus selalu dikembangkan di
masyarakat. Secara umum dikatakan adanya budaya ilmiah yang baik
dimasyarakat, apabila kaidah-kaidah ilmiah bukan tahayul atau mistik
yang menjadi dasar dalam gerak-langkah individu, kelompok
masyarakat dan negara, baik itu dalam menjalankan roda kehidupan
maupun dalam upaya penyelesaian masalah pribadi, keluarga
ataupun bangsa dan negara.

Meskipun penelitian merupakan darma ke 2 dari Tridarma perguruan


tinggi, selain pendidikan dan pengabdian masyarakat. Namun
Didasari akan tarikan serta dorongan-dorongan di atas tadi, maka
Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah yang tepat dalam
rangka meningkatkan mutu peneliti dan penelitian yang dihasilkan.
Usaha-usaha tersebut adalah meningkatkan dan menumbuh-
kembangkan penelitian-penelitian di segenap unit-unit penelitian
baik di lingkungan perguruan tinggi, departemen dan badan-badan
penelitian lainnya. Program-program yang pengembangan penelitian

Refleksi UKI 51
Peningkatan sumber daya manusia

yang diprakarsai oleh Pemerintah a.l. Hibah Bersaing, Riset


Unggulan Terpadu (RUT), Riset Pembinaan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Kedokteran (Risbin Iptekdok). Diharapkan melalui
program-program ini dapat dihasilkan penelitian-penelitian yang
berbobot yang bukan saja dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan namun dapat langsung digunakan untuk kesejahteraan
nusa dan bangsa.

Adik-adik mahasiswa dan saudara-saudara sekalian,


Bagaimana dengan usaha-usaha tersebut di UKI? Apakah UKI
sudah, sedang dan akan selalu meyumbangkan sesuatu untuk
pengembangan dunia penelitian khususnya dan bagi kemajuan ilmu
di Indonesia pada umumnya? Haruslah diakui meskipun UKI
termasuk peguruan tinggi swasta yang tertua di Indonesia (didirikan
tahun 1952), namun sumbangsih kita terhadap dunia penelitian
masih sangat minim. Ini terlihat dari sedikitnya hasil-hasil penelitian
yang bertaraf nasional apalagi internasional yang dihasilkan baik oleh
mahasiswa ataupun staf pengajar UKI. UKI sudah harus sadar untuk
mengambil tindakan-tindakan yang nyata, agar UKI tidak ketinggalan
dibandingkan perguruan tinggi swasta yang bahkan lebih muda
daripadanya. Sebab itu pengiriman staf pengajar untuk mengikuti
studi lanjutan sudah merupakan langkah yang tepat, tapi ini harus
diikuti pula dengan pengembangan prasarana dan sarana penelitian
yang memadai agar staf pengajar yang kembali dari tugas belajar
dapat langsung mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya. Sebab
bila tidak, maka terbuanglah dengan percuma investasi yang tidak
murah tersebut dan lagipula bisa terjadi bahaya tersedotnya tenaga-
tenaga siap pakai itu ke perguruan-tinggi atau lembaga lain yang siap
menampung mereka (brain drain).
Tentunya hal-hal di atas membawa pengaruh terhadap keuangan
universitas secara keseluruhan, tapi saya percaya bahwa investasi
yang diberikan untuk pengembangan SDM dan sarananya di bidang
penelitian akan memberikan hasil (return of interest) yang tidak sedikit

52 Refleksi UKI
Peningkatan sumber daya manusia

bagi perguruan tinggi bersangkutan. Sekurang-kurangnya penelitian


itu akan berjalan dengan sendirinya (self-sufficient), tanpa bantuan
modal dari pihak perguruan tinggi.

Kegiatan penelitian di lembaga penelitian baik di tingkat Fakultas


maupun Universitas harus lebih ditingkatkan lagi, pertama-tama
dengan merubah kesan bahwa tempat ini hanyalah tempat
“buangan” bagi orang-orang yang tidak terpakai; bahkan harus
ditumbuhkan pandangan bahwa penelitian adalah salah satu motor
penggerak yang penting untuk eksistensi (raison d’être) suatu
perguruan tinggi.
Untuk itu perlu dikembangkan penelitian-penelitian yang mengikut-
sertakan mahasiswa dan asisten-asisten muda agar mereka sejak awal
diperkenalkan dan dibiasakan dengan dunia penelitian. Agar kelak
bila mereka sudah lulus dan bekerja atau mungkin menempati posisi-
posisi yang penting di tempat bekerjanya tidak melupakan azas-azas
penelitian yang dapat diterapkan pada pekerjaan mereka.
Sebab menurut hemat saya, seorang sarjana, pimpinan atau menejer
yang mengetahui dan mengaplikasikan dasar-dasar penelitian seperti
yang telah diungkapkan pada Gambar 1 di atas, adalah orang-orang
yang dapat meningkatkan baik kinerja ataupun kualitas produk dan
pekerjaan yang dihasilkannya.

Mission possible
Bila saudara-saudara adalah penggemar film Mission impossible yang
ditayangkan secara berseri di layar televisi, maka saudara dapat
melihat bahwa untuk melaksanakan tugas yang diberikan, seringkali
para jagoan dalam film tersebut mengadakan penelitian pendahuluan
tentang apa, di mana, siapa, kapan dan bagaimana misi itu
dilaksanakan. Demikianlah juga dengan tugas yang ada di hadapan
kita semua. Kita sedang berusaha mendayagunakan, meningkatkan
dan memberdayakan sumber daya manusia yang tersedia, yaitu para
mahasiswa yang telah secara sadar memilih UKI sebagai tempat ia

Refleksi UKI 53
Peningkatan sumber daya manusia

membekali diri, melalui prasarana dan sarana yang UKI miliki. Tugas
ini bukanlah tugas yang tidak mungkin dilaksanakan melainkan yang
mungkin dilaksanakan (Mission possible). Marilah saudara-saudara
mahasiswa, staf pengajar serta pihak-pihak yang lain secara bersama-
sama berusaha agar proses-belajar mengajar yang sebentar lagi akan
kita laksanakan juga merupakan proses perkenalan saudara dengan
dunia penelitian. Semoga dalam waktu mendatang UKI akan lebih
aktif memberikan warna terhadap dunia penelitian di Indonesia
melalui karya-karya penelitian yang baik, yang dihasilkan oleh
peneliti-peneliti UKI yang handal.
Akhir kata, kepada Adik-adik mahasiswa baru, saya ucapkan selamat
memasuki dunia kampus yang penuh misteri, belajar dan berjuanglah
dengan giat di sana, sambil turut membuka teka-teki alam semesta
yang masih banyak terselubung.

Bacaan

Bligh, D. 1990. Higher Education. Cassel Ed. Ltd. London, 142-53.


Cohen L dan Manion L. 1994. Research methods in education.
Routledge, London.
Encyclopedia. Encarta 97. Microsoft CD-ROM.
Friedman J. 1994. Cultural identity and global process. Sage Publ.
London.
Groen J, Eefke S, Juurd Eijsvoogel (ed.), 1990. The discipline of
curiosity. Elsevier Science Publ. Amsterdam.
Kennedy P. 1993. Preparing for the 21st century. Fontana Press.
London.
Medawar PB. 1990. Nasihat untuk ilmuwan muda (terj.) Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
McRae H. 1995. The world in 2020. HarperCollins Publ. London.
Odhiambo TR. 1989. “Human resources development:Problems and
prospects in developing countries,” Impact of Science on Society 155,
214.

54 Refleksi UKI
Peningkatan sumber daya manusia

Robins K. 1996. Globalisation dalam The social science


encylopaedia, Kuper A dan Kuper J (ed.). Routledge, London,
345-46.
Suriasumantri, JS. 1994. Ilmu dalam perspektif. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Tait RC. 1997. An Introduction to Molecular Biology. Horizon
Scientific Press. England.
Toffler A. 1991. Power shift. Bantam Books. New York.

Refleksi UKI 55
8
Keunggulan Suatu Perguruan Tinggi
Dilihat dari Pola Ilmiah Pokok yang Dimilikinya ∗

P
erkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung sangat cepat
telah mengubah interaksi manusia baik di dalam negeri sendiri
maupun dengan luar negeri. Kegiatan ekonomi dunia yang cepat
telah pula mengubah sifat dan tujuan bisnis serta organisasi-organisasi.
Orang harus berorientasi pada pasar global yang tidak lagi dibatasi oleh
waktu, tempat dan jarak.
Semua faktor di atas tidak lepas dari unsur sumber daya manusia yang
dimiliki oleh suatu bangsa atau negara dan ini tentunya tidak lepas dari
sistem dan "industri" pendidikan yang ada yang harus pula mengubah
filosofinya dari universitas "elite dan tradisional" menjadi universitas
"modern" berwawasan regional dan global dan laku jual.

"To be or not to be, that is the answer"


Untuk memenuhi hal tersebut kurikulum sebaiknya disempurnakan dan
tidak hanya difokuskan pada sistem konstekstual namun juga konseptual.
Perguruan tinggi harus "pintar" membaca peluang, kekuatan, kelemahan
dan ancaman yang dimiliki serta yang ada di lingkungannya agar "survival
rate" -nya tinggi dalam "industri" pendidikan yang semakin kompetitif.
Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh suatu perguruan tinggi agar
tetap survive adalah a.l.:

1. Lulusan yang telah diakui kualitasnya di pasar lokal, regional ataupun


global.
2. Suasana keilmiahan yang kondusif.


Kertas kerja yang disampaikan pada rapat Komisi II Senat UKI, tanggal 19
Maret 1999.
Keunggulan suatu perguruan tinggi

3. Prasarana dan sarana untuk proses belajar-mengajar yang baik.


4. Investasi peserta didik (atau orang-tua atau stake holder lainnya)
berkembang dengan baik (What you pay is what you get, WYPWYG).

Maka sudah menjadi suatu conditio sine qua non agar suatu perguruan tinggi
berhasil dan jaya, selalu berusaha "menjadi" yang terbaik di tiga aspek tri
darma yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Keunggulan kompetitif
Sama seperti setiap produk yang yang dihasilkan oleh suatu pabrik akan
diiklankan dengan memiliki keunggulan-keunggulan tertentu yang tidak
dimiliki oleh produk lain, maka perguruan
tinggi akan berusaha menonjolkan kelebihan
atau keunggulannya. Hal ini tentu saja harus
…pola ilmiah pokok
berangkat dari kenyataan yang ada, kalau
adalah suatu pilihan
tidak mau dikatakan sebagai perguruan tinggi
wawasan keilmiahan
"papan nama". Bisa saja dalam katalog dan
yang diambil
brosur digambarkan seolah-olah perguruan
berdasarkan keberadaan
tinggi itu telah memiliki semuanya dan
institusi tersebut untuk
termasuk kelompok yang terbaik, padahal
menjadi semacam penuju
dalam kenyataan tidak begitu. Lagipula
yang (lama-kelamaan)
haruslah disadari bahwa, khususnya di bidang
akan menjadi ciri khas
ilmu-ilmu sosial dan humaniora ada
perguruan tinggi
kecenderungan terdapat kesamaan warna dari
tersebut…
program studi yang ditawarkan. Contohnya
hampir semua perguruan tinggi negeri
maupun swasta menawarkan program studi Magister Manajemen untuk
program pasca-sarjananya dengan isi kurikulum yang kurang-lebih
identik.
Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas maka sudah
sepatutnya dicarikan pola yang berbeda yang bisa memberikan "ciri khas"
suatu perguruan tinggi. Diharapkan kekhasan itu menjadi keunggulan

58 Refleksi UKI
Keunggulan suatu perguruan tinggi

kompetitif sekaligus daya tarik bagi peserta didik maupun "stake holder"
yang lain.

Pola Ilmiah Pokok


Kalau kekhasan menjadi keunggulan komparatif suatu perguruan tinggi,
maka tentu saja perguruan tinggi harus berusaha mencari, menciptakan,
mengembangkan dan mempertahankan kekhasan tersebut. Persoalannya
adalah, apa dan bagaimana menciptakan kekhasan itu?
Hukum alam mengatakan:"Lebih mudah mengolah yang sudah
ada daripada membuat dari yang tidak ada", artinya usaha, tenaga dan
dana akan lebih sedikit dikeluarkan untuk mengembangkan apa yang
sudah ada daripada menciptakan hal yang baru. Dalam hal
pengembangan ciri khas suatu perguruan tinggi, maka hal itu tidak lepas
dari ciri khas keilmiahan yang dimilikinya.
Pola ilmiah pokok adalah suatu pilihan wawasan keilmiahan
yang diambil berdasarkan keberadaan institusi tersebut untuk menjadi
semacam penuju yang (lama-kelamaan) akan menjadi ciri khas perguruan
tinggi tersebut.
Sedangkan sumber atau dasar-dasar penetapan pola ilmiah pokok
perguruan tinggi yang dihasilkan melalui analisis SWOT (strength,
weakness, opportunity and threat) adalah:
1. Sumber daya manusia
2. Letak geografis dan sumber daya alam
3. Sifat dan bentuk perguruan tinggi
4. Ideologi, nilai dan latar-belakang politik tertentu

Contoh beberapa perguruan tinggi atau program studi yang sudah


menetapkan atau memiliki Pola Ilmiah Pokok (PIP) dapat dilihat dari
tabel di bawah ini.

Refleksi UKI 59
Keunggulan suatu perguruan tinggi

Tabel 1. Beberapa Universitas atau program studi yang menetapkan PIP

Perguruan Tinggi Pola Ilmiah Pokok


Unika Atmajaya Urban University

Undip Semarang Pantai dan Kelautan

Unpatti Ambon Kelautan

UI Research University

Tahapan realisasi pola ilmiah pokok

Penetapan pola ilmiah pokok oleh suatu perguruan tinggi membawa


konsekuensi bahwa segenap daya dan usaha ditujukan dalam rangka
mewujudkan pola ilmiah pokok tersebut. Menurut hemat penulis upaya
perwujudan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan pertama-tama
melalui darma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Penyebaran
hasil-hasil penelitian melalui seminar, simposium dan program-program
peng-abdian yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
yang dibantu pula oleh media massa proses pembentukan opini
masyarakat terhadap kekhasan perguruan tinggi tersebut dapat
berlangsung lebih cepat.
Langkah kedua adalah secara perlahan-lahan melakukan perubahan
darma pendidikan dengan melakukan modifikasi proses belajar-mengajar
yang ada terutama kurikulum. Perubahan-perubahan perlu dilakukan
pada muatan lokal, karena melalui muatan lokallah sebenarnya terpancar
kekhasan dari institusi tersebut. Lihat Gambar 1. Diagram alir tahapan
pelaksanaan pola ilmiah pokok di suatu perguruan tinggi.

60 Refleksi UKI
Keunggulan suatu perguruan tinggi

UKI suatu Urban University?

Menurut Rencana Induk Pengem-bangan UKI (RIP-UKI) tahun 1997-


2003 telah ditetapkan bahwa UKI memiliki PIP sebagai Urban University,
yaitu universitas yang berkiprah pada masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat urban (perkotaan). Pilihan ini memang tampaknya strategis
dan tepat karena kampus UKI letaknya di kota metropolitan Jakarta.
Sangat tidak tepat kalau UKI mengkonsentrasikan diri untuk menjadi
Rural University. Namun secara jujur pilihan ini belum dilaksanakan secara
terencana. Hal ini nampak dari belum adanya suatu petunjuk pelaksanaan
atau dalam bentuk nyata, kegiatan-kegiatan Tri Dharma perguruan tinggi
yang menggambarkan bahwa UKI "menuju" suatu urban university.
Paling tidak, masih ada ketidaksamaan pendapat tentang apakah UKI
ingin menjadi urban, research atau rural university dan adanya kerancuan
antara PIP dan (pusat) unggulan.

Bila dilakukan analisis SWOT terhadap UKI, maka lebih tepat kalau UKI
memiliki PIP sebagai urban university, karena faktor letak dan keberadaan
UKI di kota Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta orang
dengan segudang permasalahannya.

Refleksi UKI 61
Keunggulan suatu perguruan tinggi

• SDM

SWOT
• SDA
• Geografi

PIP

Masalah 1. Penelitian dan


Diabetes? Pengabdian kepada
RSU FK-UKI! masyarakat

Masyarakat dan stake holder

2. Pendidikan: Kurikulum → Muatan lokal

Gambar 1. Diagram alir tahapan pelaksanaan pola ilmiah pokok


di suatu perguruan tinggi

Daftar singkatan : PIP : pola ilmiah pokok, SDA: sumber daya


alam, SDM: sumber daya manusia, SWOT:
strength, weakness, oportunity, threat

: langkah pertama
: langkah kedua

62 Refleksi UKI
Keunggulan suatu perguruan tinggi

Tentunya UKI tidak boleh menjadi menara gading serta tidak perduli
atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat kota, bahkan
seharusnya UKI dapat menjadi contoh universitas yang perduli dan
mampu memberikan jawaban-jawaban yang kongkrit terhadap
permasalahan perkotaan, misalnya masalah lalu-lintas (termasuk
kecelakaan, polusi, disiplin dan keteraturan, hukum, tata-ruang, dll.),
kekerasan (violence), dan anak jalanan yang bisa dilihat dan digeluti secara
mandiri atau komprehensif oleh berbagai program studi yang ada di
UKI.
Bila UKI ingin dikategorikan sebagai universitas riset maka hal ini masih
sangat jauh dari jangkauan karena sesuai dengan pembagian tingkat
universitas riset menurut Carnegie yang diberlakukan di Amerika Serikat,
suatu universitas riset harus mampu menghasilkan sekurang-kurangnya
50 Doktor per tahun serta sanggup mendapatkan serta mengerjakan dana
penelitian sebesar 15 juta dolar.

Namun kita harus sadar dan setuju bahwa peletakan dasar agar UKI
kelak menjadi universitas riset harus dilakukan mulai dari sekarang dan
modal yang dimiliki oleh UKI sebenarnya cukup baik yaitu visi dan misi
serta SDM yang umumnya sudah memiliki kualifikasi S2 dan S3.
Sayangnya bila dilihat dari produktivitas ilmiah, tampak bahwa UKI
masih sangat tertinggal dengan perguruan tinggi (swasta) yang lain.
Kembali dikemukakan di sini, bila PIP dipilih secara bijaksana dan
dilaksanakan secara taat asas maka secara perlahan tapi pasti budaya
ilmiah dan budaya riset di UKI akan tumbuh dengan sendirinya.

Penutup

Pada saat ini animo lulusan SMU yang berkeinginan untuk masuk
perguruan tinggi sangat besar, mereka berharap bahwa dengan seberkas
ijazah yang akan dimilikinya akan mudah masuk ke pasar kerja, namun
secara empiris kita tahu bahwa ternyata pasar kerja tidak begitu saja mau

Refleksi UKI 63
Keunggulan suatu perguruan tinggi

menerima mereka. Di pasar akan terjadi mekanisme seleksi yang sangat


ketat dan hanya lulusan yang mampu menunjukkan prestasi yang akan
mudah memasuki pasar kerja; tentunya hal ini tidak lepas dari kualitas
alma mater yang telah mendidik mereka menjadi sarjana.

Kalau demikian masyarakat pun akan semakin selektif memilih


perguruan tinggi untuk pendidikan anak-anaknya serta untuk membina
kemitraan-kemitraan lainnya seperti penelitian terapan dengan industri
dan peningkatan pemberdayaan sumber daya manusia dalam bentuk
pelatihan-pelatihan. Hal ini menjadi lebih mudah apabila perguruan
tinggi tersebut mempunyai trade mark yang secara empiris maupun ilmiah
terbukti dikembangkan secara terus-menerus melalui produk yang
dihasilkan lewat penelitian dan pengabdian masyarakat yang mengacu
pada suatu pola ilmiah pokok.

Bacaan

Boedisantoso, RA (1998). Menjembatani Universitas Indonesia


memasuki abad dua puluh satu. UI-Press. Jakarta.
Lewis RG dan Smith, DH (1994). Total quality in higher education. St.
Lucie Press. Florida, USA.
Rencana Induk Pengembangan UKI tahun 1997-2003. UKI-Press.
Jakarta.

64 Refleksi UKI
9
Terus Terang, UKI Kita Masih Perlu Diterangi 1

S
emua bentuk kehidupan (living organism) butuh interaksi. Dari mulai
sel sebagai suatu unit terkecil bentuk kehidupan sampai kepada
bentuk yang paling kompleks, yaitu manusia, selalu ingin
berinteraksi dengan diri dan lingkungannya. Hasil interaksi itulah yang
akan menunjukkan eksistensi atau keberadaan makhluk tersebut.
Interaksi (artinya: hal saling mempengaruhi) bisa berlangsung lewat
komunikasi dan secara sederhana komunikasi berlangsung lewat media
(perantara), a.l. berbicara, tulisan, tayangan (audio-visual) dan bahasa tubuh
(gesture atau body language).

Dalam masyarakat moderen media tulisan banyak digunakan untuk


berinteraksi, karena efektif, relatif murah, bersifat massal, dan
terdokumentasi namun tidak selalu mudah dalam menuliskan dan
menginterpretasikannya. Dibutuhkan ketenangan jiwa dan pikiran bila
mau menghasilkan dan membaca tulisan yang baik, dan sebaliknya
(dengan tujuan-tujuan tertentu) Anda bisa menuliskan tulisan yang
amburadul dan picisan serta bisa salah mengartikan suatu tulisan. Sebab
kadang-kadang kita pun harus pandai membaca arti kiasan suatu kalimat
atau tulisan (read between the lines).

Pesan, informasi atau just a piece of junk adalah satuan yang dipertukarkan
dalam proses komunikasi dan dari situlah diharapkan timbul interaksi.
Anda bisa bayangkan kalau yang dipertukarkan melulu "sampah", maka
tanpa melihat sampahnya, kita pun bisa kebagian baunya.

Mulutmu Harimaumu
Idealnya, tulisan merupakan buah pikiran (dan jiwa) yang memperkaya
dan mencerahkan (Aufklarung) individu yang disapanya. Pencerahan (atau

1 Diterbitkan di Buletin UKI Juni 2000, Tahun XVI, No. 6:10-13


Terus terang

“pembusukan”) jiwa yang didapat dari suatu tulisan atau buku dapat
bersifat "langgeng", karena tulisan sanggup mengubah dan
menginspirasi individu, kelompok, bangsa bahkan umat manusia
(bandingkan dengan Kitab-kitab Suci agama). Sebuah buku atau tulisan
yang baik sanggup membuka tingkap-tingkap baru pikiran dan jiwa
pembaca. Saya yakin bahwa di balik kemiskinan Mahatma Gandhi,
Abraham Lincoln, Martin Luther King, Jr., dan Pramoedya Ananta Toer
terdapat kekayaan pikiran dan jiwa yang diperoleh mereka dari membaca.

Akhir-akhir ini di UKI muncul serangkaian tulisan berbau koran kuning.


Tujuan penanggung-jawab selebaran-selebaran tersebut katanya untuk
membeberkan ketidak-beresan, ketidak-adilan yang terjadi di (Rektorat
dan Fakultas-fakultas) UKI dan menurut mereka bahwa sekarang adalah
jaman yang sah untuk mencaci-maki siapa pun yang ditengarai terlibat
dalam masalah-masalah di atas. Maksudnya mungkin untuk
“mencerdaskan”, tapi kelihatan kental sekali unsur “Agipropse” nya,
yaitu agitasi, propaganda dan sabotase. Mari kita lihat secara jernih
tentang istilah penyebarluasan informasi. Memang betul bahwa era
sekarang adalah era informasi dan transparansi. Apa yang terjadi di suatu
kampung di Afrika besoknya sudah menjadi bahan diskusi di kota-kota di
Brazil atau di Jakarta.
Namun perlu kita lihat bahwa ada etika dan moral penyebar-luasan
informasi. Seorang dokter tidak akan “dengan sengaja” menyebarluaskan
kepada siapa pun bahwa pasiennya menderita sifilis. Dia akan
menyampaikan informasi itu terlebih dahulu kepada si pasien dan
bersama-sama dengannya membicarakan langkah-langkah terapi yang
akan diambilnya untuk menyembuhkan pasien tersebut. Seorang akuntan
yang diserahi kepercayaan untuk melihat neraca keuangan suatu
perusahaan tentu saja tidak akan semena-mena membocorkan hasil
pemeriksaannya. Ia tentu akan berusaha bersama-sama dengan kliennya
memperbaiki sistem manajemen keuangan kliennya, kecuali bila ada
maksud dan tujuan tertentu bagi pihak-pihak ketiga. Saya ambil contoh
yang trivial: Apakah setiap pembicaraan suami dan isteri di balik kamar

66 Refleksi UKI
Terus terang

tidur mereka wajib diketahui oleh anak-anak mereka? Seorang


rohaniawan, psikiater dan psikolog tentu akan memegang rahasia paling
pribadi para kliennya, dan ini pun dijamin oleh undang-undang. Apalagi
kalau kita ingat semangat kristiani dalam menyelesaikan masalah.
Tidakkah Yesus menganjurkan bila ada 2 orang (kristen) bermasalah,
maka sebaiknya diusahakan untuk diselesaikan secara empat mata
sebelum menghadap hakim?

Atas Nama Hukum


Demokrasi, reformasi, kebebasan mengemukakan pendapat dan
superioritas hukum akhir-akhir ini menjadi kata-kata kunci yang
seringkali dipakai untuk melawan kekuatan status quo di kalangan
pemerintah. Hal ini merembet pula ke UKI. Banyak sekali orang dari
berbagai kalangan di UKI tiba-tiba melek hukum dan lebih
mengherankan lagi pasal-pasal dan teori-teori hukum diajukan untuk
menuntut dan memaksakan kehendak.

Tidakkah kita ingat?


Atas nama hukum dan demokrasi (Pancasila) Soeharto berkuasa secara
otoriter dan menindas kemanusiaan di Indonesia selama 32 tahun, dan
atas nama hukum pula (begitu menurut para pembela Soeharto) maka ia
dan para kroninya sampai sekarang belum tersentuh oleh hukum. Atas
nama hukum dan legalitas formal
parlemen Jerman, maka Adolf Hitler
“diperkenankan” untuk membunuh ...hukum itu penting untuk
(genocide) orang Yahudi, orang cacat, orang mengatur kehidupan dan
Gypsy dan semua bangsa yang tidak perlu ditegakkan, tapi yang
termasuk dalam bangsa Aria. Di masa lebih penting daripada itu
pemerintahan Hitler yang kurang dari 10 ialah hati nurani dan akal
tahun lebih-kurang 6 juta orang terbunuh, sehat...
belum lagi dihitung jumlah manusia yang
tewas akibat Perang Dunia II yang
ditimbulkannya. Atas nama hukum (agama) dan adat istiadat Yahudi

Refleksi UKI 67
Terus terang

maka terbunuhlah Anak Manusia, Yesus Kristus yang menyembuhkan


orang pada hari Sabat dan yang mempersilakan siapa pun yang merasa
dirinya tidak berdosa untuk merajam (melemparkan batu kepada orang
yang didakwa bersalah sampai mati) seorang perempuan yang kedapatan
berzinah.
Penulis percaya bahwa hukum itu penting untuk mengatur kehidupan
dan perlu ditegakkan, tapi yang lebih penting daripada itu ialah hati
nurani dan akal sehat (common sense). Karena jauh sebelum umat manusia
mengenal hukum formal dan legal, hati nurani dan akal sehatlah yang
membimbing, menjaga dan mengawal setiap budaya dan peradaban
manusia di segala tempat di muka bumi.

Panasea
Di dalam dunia kedokteran ada suatu cita-cita yang berbau utopis yaitu
menciptakan obat yang cespleng dapat menyembuhkan semua jenis
penyakit, disebut panasea. Apapun penyakit yang Anda derita; dari
hanya sekedar panu sampai dengan kanker, maka cukup dengan panasea
maka semua akan sirna!
Pertanyaannya sekarang apakah semua persoalan di bumi ini bisa
diselesaikan hanya melalui pendekatan satu bidang ilmu? Apakah masalah
penyakit tuberkulosa paru hanya bisa diselesaikan dengan pemberian
obat TBC? Ternyata tidak, diperlukan kerjasama yang erat dengan bidang
ilmu lain. Telah diketahui bahwa ada hubungan yang erat dengan tingkat
pendapatan (ekonomi), perilaku (psikologi) dan pola penyakit tertentu.
Apakah masalah kelaparan hanya masalah ekonomi belaka? Apakah
masalah korupsi masalah hukum belaka? Kita membutuhkan pendekatan
yang komprehensif (holistik), kalau tidak maka kita bisa dinilai sebagai
“Fachidiot”, artinya merasa bahwa dirinya (dan ilmunya) yang paling benar
dan merupakan jawaban untuk segala permasalahan tapi ternyata tidak.

Reformasi Menuju Pencerahan


Kalau beberapa kelompok di UKI merasa bangga bahwa UKI secara
aktif telah berpartisipasi dalam proses reformasi dengan menumbangkan

68 Refleksi UKI
Terus terang

rezim Soeharto, maka tugas kita berikutnya adalah melakukan


pencerahan. Menurut saya, pencerahan tidak berkaitan dengan tumbang-
menumbangkan rezim, se-seorang atau ideologi, namun lebih menuju
pada pembentukan karakter dan budaya, dan ini terus terang tidak
mudah.

Karakter dan budaya apa yang akan ditumbuhkan? Karakter dan budaya
yang bernafaskan religiositas, keilmuan dan kemanusiaan. Suatu karakter
yang berdasar atas kekuatan individu, kelompok atau pun bangsa yang
mau maju dalam rangka perbaikan nasib umat manusia. Apakah ini upaya
yang fantastis? Utopis? Mari kita simak sebuah ungkapan oleh anonim di
bawah ini:

Ketika aku muda,


Aku ingin merubah dunia,
Ketika aku dewasa,
Aku ingin merubah bangsa,
Ketika aku semakin tua,
Aku ingin merubah sanak-keluarga,
Ketika aku mendekati ajal,
Aku pun sadar, yang kuperlukan ternyata merubah diri.

Kita mau, agar di UKI terbentuk terlebih dahulu upaya


reformasi diri. Semua komponen UKI, baik itu secara individu maupun
organisasi; Yayasan, Rektorat, Fakultas dan Lembaga secara sadar dan
ajeg serta penuh komitmen melakukan upaya tersebut. Kondisi dan
lingkungan untuk hal itu harus tercipta serta terencana dengan baik.
Interaksi positif antar komponen di UKI harus ditumbuh-kembangkan.
Kalau itu dilaksanakan, maka percayalah, setiap individu di UKI akan
menunjukkan kualitasnya sendiri dan inilah yang akan membawa kualitas
UKI sebagai organisasi pendidikan kristen di Indonesia.

Refleksi UKI 69
Terus terang

Pencerahan yang dimaksudkan di sini


Sebab “sebersih” dan serapi adalah agar segenap komponen di UKI,
apa pun organisasi menggali kembali serta berusaha
penyelenggara pendidikan, memahami kembali tugas, fungsi dan
tidak bisa hanya wewenangnya yang diperhadapkan dengan
mengandalkan dana dari visi dan missi UKI. Biarlah anggota
mahasiswa saja... Yayasan secara rendah hati mau belajar
tentang seluk-beluk pendidikan tinggi
(kristen) di tengah-tengah persaingan antar perguruan tinggi di Jakarta,
dalam negeri dan bahkan dengan luar negeri.

Biarlah Yayasan juga boleh memahami tentang kepelikan manajemen


pendidikan tinggi yang berdiri di tengah tawaran untuk setia kepada
panggilan ilmu dan iman, namun juga harus memperhitungkan segi
mendapatkan penghasilan dari pelayanan dan jasa, bukan hanya
mengandalkan masukan dari mahasiswa. Artinya Yayasan secara proaktif
memberdayakan dirinya sebagai badan pendidikan (kristen) yang dapat
dipercaya baik oleh individu maupun institusi-institusi penyandang dana
di dalam dan luar negeri. Sebab “sebersih” dan serapi apa pun organisasi
penyelenggara pendidikan, tidak bisa hanya mengandalkan dana dari
mahasiswa saja. Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan terutama di
bidang jasa (penelitian dan konsultansi) yang bisa dikembangkan oleh
setiap unit di Universitas yang berpotensi untuk melakukan hal itu.
Disamping itu, Yayasan harus memberdayakan sumber daya manusia
serta sumber-sumber daya lainnya seperti Universitas, Fakultas dan
Lembaga-lembaganya.

Biarlah para pemimpin di UKI baik di tingkat Rektorat maupun Fakultas


lebih memikirkan upaya-upaya peningkatan mutu kelulusannya melalui
pemberdayaan tenaga pengajar dan karyawan administrasi secara optimal.
Untuk itu manajemen yang memiliki sifat-sifat universal layaknya di suatu
perusahaan tentu dapat diberlakukan tanpa meninggalkan ciri-ciri khas
suatu perguruan tinggi yang bersifat “nirlaba”.

70 Refleksi UKI
Terus terang

Biarlah para staf pengajar lebih berusaha untuk meningkatkan kualitas


diri dalam hal melaksanakan pembelajaran dan penelitian serta biarlah
kita membuka diri untuk menempatkan mahasiswa sebagai “teman”
dalam mengarungi dunia ilmu.

Biarlah para karyawan administrasi menemukan kembali esensi bahwa


mereka adalah bagian dari pilar pelayanan UKI dalam menjalankan
fungsinya.
Biarlah para mahasiswa merasa nyaman, terlindungi, dan terpacu untuk
ikut ambil bagian dalam menciptakan kampus ilmiah. Butir lain yang juga
penting dipelajari dan ditumbuh-kembangkan adalah belajar untuk bisa
bekerjasama dan hidup bersama (learning to live together). Ini harus
dilaksanakan terus-menerus oleh semua pihak, agar UKI semakin terang,
bukan semakin gelap. Bila hal ini terjadi, maka kita tidak perlu lagi saling
menyalahkan, menjatuhkan, menum-bangkan, namun justeru saling
memperkuat, menopang untuk tujuan agar Sang Pemilik UKI yang
sesungguhnya berkata:”Baik benar perbuatanmu hambaKu yang setia!”

Bacaan

Epstein LD. 1974. The campus and public interest. Governing the
university. Jossey-Bass, Inc., Publ. San Fransisco, USA.
Lewis RG and Smith DH. 1994.Total quality in Higher Education. St.
Lucie Press, Delray Beach, Florida, USA.
Williams G. 1992. Changing patterns of finance in Higher Education.
SHRE and Open University Press, Buckingham, United Kingdom.
Nettleford R. 1998. Universities: Mobilising the Power of Culture A
View from the Caribbean. An article in Higher Education in the
Twenty-first Century Vision and Action; UNESCO, World
Conference on Higher Education, Paris 5-9 October 1998.

Refleksi UKI 71
Terus terang

72 Refleksi UKI
10
Berpikir Seperti Kanak-kanak, Bertindak
Seperti Orang Dewasa 1

T
ulisan ini dibuat terutama dalam rangka pelantikan kepemimpinan
baru di UKI yang baru-baru ini kita selenggarakan.
Prof. Dr. –Ing. K. Tunggul Sirait dilantik sebagai Rektor untuk
kedua kali dan demikian juga beberapa Dekan dipercaya untuk
memegang jabatan itu untuk masa kedua, di samping beberapa Dekan
yang sama sekali baru.
Periode kepemimpinan di lingkungan UKI pada kali ini adalah periode
kepemimpinan yang penting, karena pada masa kepemimpinan inilah kita
umat manusia akan memasuki milenium baru, abad ke 21 yang penuh
tantangan dan mungkin gejolak.

Lokomotif yang terseok-seok


Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis moneter dan ekonomi yang sedang
kita hadapi secara langsung atau tidak langsung telah membawa dampak
kepada dunia pendidikan. Kemajuan ekonomi yang selama ini dianggap
sebagai lokomotif untuk menghela kereta-kereta sektor kehidupan
lainnya telah kehabisan tenaga dan bahkan telah dipanggil montir asing
untuk segera memperbaikinya yaitu International Monetary Fund (IMF)
serta badan-badan atau negara-negara lainnya.
Salah satu contoh pengaruh krisis tersebut adalah membumbungnya
harga buku (ajar) dan gulung tikarnya beberapa penerbit surat kabar
akibat meningkatnya harga kertas secara drastis. Buku dan surat kabar
masih merupakan media pengajaran yang efektif dan utama. Bagi fakultas
kedokteran dan fakultas-fakultas yang banyak menggunakan sarana dan

1 Dimuat di Buletin UKI Januari 1998, Tahun XIV, No. 1:7-10.


Berpikir seperti kanak-kanak

bahan praktikum dengan bahan-bahan impor maka tentu dapat


dibayangkan akibatnya terhadap proses pengajaran tersebut.
Krisis yang dihadapi sekarang tidak lepas dari tingkah laku serta
kegagalan kita dalam mengantisipasi semua tantangan yang ada dan
apabila kita gagal menanggulangi krisis ini maka tak terbayangkan efek
“bola salju” yang akan ditimbulkannya.
Ada dampak besar yang diramalkan dapat terjadi, pertama adalah reaksi
akut masyarakat terhadap berbagai hal yang terjadi seperti kenaikan harga
(bahan pokok), pengangguran dan memanasnya situasi politik menjelang
SU MPR bulan Maret mendatang. Reaksi akut yang ditunjukkan oleh
masyarakat seringkali bersifat amok. Sedangkan salah satu reaksi kronis
yang dapat timbul berkaitan dengan dunia pendidikan seperti yang telah
disebut di atas.

Budaya atau Penyakit Asia (?)


Dari kacamata berpikir pragmatis, dunia pendidikan seringkali hanya
diterjemahkan sebagai institusi yang bertugas menghasilkan SDM yang
bermutu sesuai dengan kebutuhan pasar (market driven). Artinya, di tengah
kompetisi global dan suasana seleksi alam ala Darwinisme (survival for the
fittest), faktor kualitas intelektual dan motorik manusialah yang terutama
didewakan. Pendapat ini, meskipun dikritik oleh banyak ahli pendidikan,
namun ironisnya arah pendidikan yang kita ambil sekarang justeru
cenderung mengarah ke sana, dan sayangnya pula tidak tuntas seperti
yang dituliskan oleh David Harries (the Jakarta Post, 7 Februari 1998):
“Too many schools, universities, students, and teachers in Asia are ignoring, or
avoiding, the issue of quality and the need for appropriate and credible qualifications.
Too many individuals want to earn their qualification, and expect to prosper from it,
with little or no work” (garis bawah dari penulis)
Kalau yang diperkirakan David Harries sepenuhnya benar, maka kita
sedang menghadapi masalah yang gawat, karena baik secara institusional
maupun pelaku, kita mengabaikan faktor-faktor penting yang dibutuhkan
agar terjadi kemajuan masyarakat dan bangsa.

74 Refleksi UKI
Berpikir seperti kanak-kanak

Meskipun sangat disadari bahwa peningkatan SDM sangat erat kaitannya


dengan peningkatan pendayagunaan dunia pendidikan namun justeru
pada saat negara-negara Asia menikmati surplus ekonomi yang luarbiasa,
dunia pendidikan sangat kurang menerima perhatian.
David Harries mengemukakan hal itu di Jakarta Post (ibid):
“But, like so much else connected with the fall from grace of the Asian “economic
miracle”, education is being exposed as the recipient of at least as much lip service as
system improvement in the recent past.”
Hal ini nyata bahwa pada setiap pengajuan APBN tampak anggaran
pendidikan masih sangat kecil.

Bagaimana posisi dan antisipasi UKI?


Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita merenung
dan mencoba melihat sudah sampai seberapa jauh kontribusi UKI dalam
rangka menyatakan visi dan missinya di Indonesia. UKI adalah salah satu
perguruan tinggi swasta (kristen) yang tertua di Indonesia, dibangun oleh
para tokok-tokoh pergerakan kemerdekaan dan pendidikan pada waktu
itu. Mereka merasa bahwa umat kristen harus mempunyai kontribusi
nyata untuk membangun bangsa dan negaranya dari ketertinggalan di
segala bidang kehidupan akibat penjajahan.
Dalam kurun waktu 45 tahun, UKI telah turut ikut dalam pasang surut
dunia pendidikan di Indonesia. Pertanyaannya adalah, sampai seberapa
jauh UKI telah memberi warna atau apakah justeru UKI telah berubah
bentuk, baik dari segi visi dan missinya? Apakah kita masih seperti
kanak-kanak baik dalam berpikir dan bertindak?
Penyakit-penyakit sosial masyarakat seperti inefisiensi, korupsi, kolusi,
oportunistik, malas dan bisnis mencari rente yang secara akumulatif dan
progresif telah membawa keadaan krisis yang kita derita saat ini,
janganlah sampai terjadi pula di UKI. Hal-hal di atas telah terbukti
mampu menggerogoti organisasi yang besar y.i. negara, apalagi bila hal
tersebut kita kembangbiakkan di UKI.
Kinerja harus ditingkatkan semaksimal mungkin bahkan kalau perlu
dilakukan revisi program atau kegiatan yang selama ini sedikit atau tidak

Refleksi UKI 75
Berpikir seperti kanak-kanak

membawa dampak postif terhadap pengembangan institusi. Etos kerja


dan moral (kristiani) tidak hanya sebatas ungkapan kata-kata namun
dipraktikkan menlalui tindakan nyata yang diprakarsai pertama-tama oleh
para pimpinan.

Menuju Masyarakat yang Berkualitas


Bila kita berusaha meningkatkan kualitas masyarakat menjadi masyarakat
ilmiah (learning society) maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
seperti dituliskan oleh Nightingale dan O’Neil (1994) y.i.: (1) tingkat
pertama, perkembangan pada aras individu mahasiswa, dosen dan
mentor. Melalui beberapa usaha dan proses pembelajaran di kampus
diharapkan terbentuk jiwa dan kepribadian masyarakat kampus yang
cinta ilmu. Ini dapat terlaksana bila segenap persyaratan fisik dan non-
fisik dapat terpenuhi secara masksimal. Persyaratan non-fisik yang
dimaksud adalah suasana keilmuan yang kondusif yang memberi
kesempatan seluas-luasnya bagi setiap orang untuk mengembangkan
keilmuannya. (2) perkembangan pada aras bagian, unit atau jurusan perlu
dipacu agar tercipta suasana yang menarik dan saling mendukung untuk
mengembangkan citra bagian baik dalam hal penelitian maupun
pengajaran. (3) tingkat ketiga, perkembangan pada aras institusi yaitu
pengembangan dan perbaikan struktur, organisasi, manajemen serta
penyediaan fasilitas yang menunjang bagi bagian, unit atau jurusan serta
individu. Sedangkan perkembangan pada aras nasional (4) yaitu
pengembangan infrastruktur untuk peningkatan kualitas termasuk
kebutuhan akan penyebar-luasan metode, teknik dan strategi pengajaran
yang didapatkan berdasarkan hasil penelitian atau pengalaman di
lapangan.

Karakteristik Pembelajaran yang Bermutu Tinggi


Pendidikan tinggi melalui usaha-usaha pembelajarannya mempunyai
tugas untuk mengembangkan kualitas inividu maupun masyarakat. Taylor
(1994) dalam tulisannya “Characteristics of quality learning” mengemukakan
bahwa pembelajaran yang bermutu tinggi ditandai dengan:

76 Refleksi UKI
Berpikir seperti kanak-kanak

1) Orang mampu mencari ilmu (pengetahuan) secara mandiri.


Mahasiswa bukanlah seperti spons yang menghisap semua informasi
yang diberikan dosen atau instruktur. Ia mampu menganalisis dan
mensintesis informasi yang ia kumpulkan dan cukup kritis untuk
secara terus menerus mempertanyakan kesimpulan yang ditariknya
serta mampu memilih cara (jawaban atau metode) yang menurutnya
paling baik. Jawaban atas informasi atau fenomena yang diberikan
oleh mahasiswa secara mandiri tidak selalu harus merupakan
kontribusi yang orisinal seperti tesis S2 atau S3.
2) Mengerti dan bukan mengingat.
Meskipun dalam proses pembelajaran kita diperhadapkan dengan
data mengenai nama, tempat, rumus, gejala, efek obat, dll., namun
yang terpenting adalah mendapatkan pengertian umum dan khusus
tentang data tadi. Pemahaman terhadap suatu fenomena dan konsep
dan bukan hanya mengingat informasi adalah proses pembelajaran
yang memberikan efek retensi yang lebih besar.
3) Sanggup menghubungkan antara hal yang lama dan baru.
Mahasiswa yang memiliki kualitas yang tinggi apabila sanggup
menganalisis dan mensintesis ide, informasi dan metodologi yang
dipelajari dan ditemukannya.
4) Menciptakan pengetahuan yang baru. Secara mandiri diharapkan
mahasiswa sanggup menemukan pengetahuan yang baru secara
kreatif, meskipun mungkin penemuannya itu sudah diketahui orang,
namun yang terpenting adalah proses penemuan dan pencapaian
pemahaman akan fenomena yang dihadapi atau dipelajarinya.
5) Mampu menyelesaikan masalah.
Bermula dengan kemampuan mengidentifikasikan masalah kemudian
melalui metodologi yang dipilih dan pengalaman yang ada dapat
menjawab atau menyelesaikan persoalan yang timbul.
6) Kemampuan berkomunikasi yang tinggi.
Komunikasi penting untuk menyampaikan informasi yang dimiliki
kepada orang lain, agar tercipta interaksi. Komunikasi ilmu
pengetahuan dapat berlangsung secara (a) tertulis dalam bentuk

Refleksi UKI 77
Berpikir seperti kanak-kanak

misalnya laporan penelitian, artikel di jurnal dan dalam bentuk (b)


verbal misalnya diskusi pada suatu seminar.
7) Keinginan untuk selalu menambah ilmu merupakan hal yang
penting sebagai perwujudan dari belajar sepanjang waktu (lifelong
learning).

Mahasiswa (kedokteran) yang berusaha mengingat semua syaraf yang


terdapat di lengan atas serta membandingkannya dengan buku ajar yang
lain, tidak mempraktikkan belajar berkualitas tinggi. Semua faktor di atas
memberikan peran yang penting dalam mencapai kualitas pembelajaran
yang tinggi.
Agar proses pembelajaran berkualitas tinggi dapat berlangsung dengan
baik, dibutuhkan beberapa prasyarat kondisi yang saling menunjang
yaitu: (1) kesiapan mental dan intelektual para anak ajar, (2) tujuan
pembelajaran yang jelas; semakin jelas tujuan maka (proses) pembelajaran
semakin baik. Mahasiswa dapat secara eksplisit menghubungkan
pengetahuan yang sebelumnya dengan yang baru didapatkannya, (3)
suasana lingkungan fisik yang mendukung, ditandai dengan kenyamanan
tempat belajar, ketersediaan akan sarana penunjang seperti perpustakaan,
ruang diskusi atau seminar, dll.

Survival of the fittest


Institusi pendidikan diharuskan menghargai lingkungan luarnya, sebab
ide dan persoalan-persoalan, sumber daya manusia dan sumber daya
ekonomi berada di dan dari luar. Institusi pendidikan tidak akan
mengabaikan atau mendominasi lingkungan tapi berusaha hidup bersama
dengannya secara interaktif. Perubahan lingkungan yang ajek dan dinamis
ini harus dapat diterjemahkan oleh institusi pendidikan sebagai suatu
daya yang dibutuhkan untuk belajar dan berkembang. Institusi
pendidikan tidak steril terhadap persoalan-persoalan keilmuan dan
kemasyarakatan.

78 Refleksi UKI
Berpikir seperti kanak-kanak

UKI harus selalu tanggap atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya
supaya bisa survive. Kalau tidak akan seperti Dinosaurus yang punah
jutaan tahun yang silam.
Bagaimana bisa survive? Jawabannya sangat sederhana namun sulit untuk
mempraktikkannya karena perlu usaha yang keras, all-out, dari kita semua
yaitu sesuai dengan judul tulisan ini: Berpikir seperti kanak-kanak,
bertindak seperti orang dewasa.
Visi dan pikiran UKI harus lebih terbuka dan jernih, senang dan ingin
belajar tentang hal-hal yang baru (curious) seperti yang dimiliki oleh anak-
anak; namun UKI juga harus gesit, ulet, tahan banting, berani
bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya (menghindari
budaya “kambing hitam”), dapat dipercaya (reliable), committed terhadap
missi yang dijalankannya seperti yang dapat dituntut dari seorang dewasa
yang memiliki integritas.
Bila di dalam dan dari UKI sifat-sifat serta budaya itu ditumbuh-
kembangkan niscaya UKI akan survive bukan karena UKI yang “terkuat”
namun karena UKI bijaksana dan dapat membaca tanda-tanda jaman
sehingga ia cocok (fitted).
Sekali lagi kita ucapkan selamat bertugas (kembali) kepada Rektor dan
Dekan-dekan di lingkungan UKI dan semoga bersama-sama dengan
segenap sivitas akademika yang lain, UKI siap memasuki milenium yang
ketiga.

Bacaan

Die Erde 2000. Wohin sich die Menscheit entwickelt. Spiegel Spezial,
1993, 4. Spiegel Verlag, Rudolf Augstein GmbH & Co. Hamburg.
Welche Uni ist die Beste? Spiegel Spezial, 1990, 1. Spiegel Verlag, Rudolf
Augstein GmbH & Co. Hamburg.
Fullan M. Change Forces. Probing the depths of educational reform.
1993. The Falmer Press. London

Refleksi UKI 79
Berpikir seperti kanak-kanak

Simatupang A. Pola Kepemimpinan yang “Menjadi” bukan “Memiliki”.


Suatu Tanggapan dan Harapan. Buletin UKI, Maret 1997, Tahun
XIII, No.3:13-15.
Nightingale P and O’Neil M (eds.). Achieving Quality Learning in
Higher Education. Kogan Page. London. 1994: 165-178.
Taylor P. Characteristics of Quality Learning in Achieving Quality
Learning in Higher Education. Nightingale P and O’Neil M (eds.).
Kogan Page. London. 1994: 53-75.
Harries D. Education: Learning from the crisis. The Jakarta Post. 7
February 1998.

80 Refleksi UKI
11
UKI, UKI, lama sabakhtani? 1

M
enurut beberapa tafsir, pertanyaan yang diajukan Anak
Manusia ketika ia tergantung di kayu salib itu (aslinya
berbunyi:”Eli, Eli, lama sabakhtani”, lih.: Mat: 27:46), punya
dimensi yang sangat manusiawi, yaitu jeritan dari seseorang
yang ditimpa rasa kesepian yang amat sangat karena hubungan dengan
orang yang dikasihinya tiba-tiba terputus. Ibarat seorang sahabat yang
selama ini diandalkan tiba-tiba menghilang tidak tahu rimbanya, justru
pada saat diperlukan dukungannya.

Lalu apa hubungannya dengan UKI? Apakah UKI begitu penting,


sehingga sang Anak Manusia seakan-akan kembali meneriakkan seruan
itu?
Ya, UKI itu penting, bahkan sangat penting! Anak Manusia itu sendiri
yang menemukan, membimbing, menemani dan mengurus UKI,
layaknya seorang sahabat, layaknya seekor domba yang ditemukan di
padang ditinggalkan oleh induknya yang diterkam serigala.

Ketika UKI dan Anak Manusia mengikat janji dengan darah untuk
menjadi sahabat tentulah mereka punya dasar dan tujuan yaitu
menjadikan anak bangsa insan yang berguna untuk tujuan kemanusiaan.
Suatu janji luhur yang berisi bahwa UKI yang akan mengerjakan ladang si
Pemilik, agar hasil ladang itu bisa dinikmati para pekerja dan orang
kampung sekitar.
Jadi sang Pemilik telah rela memberikan ladangnya kepada UKI untuk
diolah.
Persahabatan itu sekarang usianya sudah hampir mencapai 50 tahun,
suatu usia persahabatan yang cukup panjang, dan pasti mereka tahu betul

1 Dimuat di Buletin UKI Januari 2000, Tahun XVI, No. 1: 19-20.


UKI, UKI, lama sabakhtani?

apa yang sudah mereka alami selama itu. Ada kalanya hasil panen
melimpah-ruah, namun sering pula para pekerja pulang dengan tangan
hampa.

UKI dan Anak Manusia tahu, bahwa ladang tempat janji mereka
disemaikan terdiri atas ribuan penggal tanah dengan bermacam-macam
suku bangsa, budaya, dan agama tinggal di atasnya, dan mereka sadar
bahwa itu tidak mudah. Meskipun demikian, si Pemilik ladang bukanlah
tuan yang kejam yang selalu menuntut hasil tanpa memberikan
kontribusi, yang seringkali terjadi justru sahabatnya, UKI, yang ongkang-
ongkang kaki sambil menikmati kopinya dan berkata: “Ah, hari masih
pagi, mari kita bercakap-cakap dahulu, kita rencanakan pengembangan
ladang ini, begini, sebaiknya kita tanam satu jenis pohon saja, dan tidak
usah diberi pupuk sebab kita yakin ladang ini sudah subur dan akan tetap
subur, lagipula harga pupuk sekarang mahal, ada baiknya kita dirikan
bedeng-bedeng agar kita dapat berteduh, dan begini…..dan begitu…..”.
Akhirnya mentari sudah memasuki ufuk barat, dan para pekerja pun
pulang.

Esoknya, UKI kembali berkumpul di bedeng yang dibangunnya dan


kembali berencana: “Kita kan sudah mulai renta, mana sanggup lagi
mencangkul, menanam dan menyiangi rumput? Ah, seandainya ada yang
lebih muda membantu kita, tapi kita tetap di sini, dan biarlah mereka
bekerja untuk kita, lagipula kita adalah sahabat-sahabat yang asli si
Pemilik ladang, bukan mereka.”
“Bagaimana kalau si Polan kita angkat untuk mengurus ladang
ini?,” kata yang satu.
“Ah, si Dante ‘lah, dia paling cocok, karena dia biasa
menjalankan sistem MBA?”, kata yang lain.
“Apa pula MBA itu?”, sergah yang lain.
“Management By Ancaman”, kata yang mengusulkan.
Untuk menjalankan sistem manajamen itu tidak perlu pendekatan ilmiah
dan rasional apalagi bicara iman, kasih dan pengharapan, pokoknya

82 Refleksi UKI
UKI, UKI, lama sabakhtani?

ancam,” ia meneruskan lebih lanjut. Perdebatan masih berlanjut, namun


akhirnya mereka sepakat bahwa sistem MBA adalah yang terbaik saat ini
untuk memajukan perladangan. Motto mereka: “Ancam dulu, pikir
belakangan”

Proses rekrutmen manajer MBA berlangsung cepat, karena proses itu


pun berlangsung lewat ancaman?!
Sudah dapat dipastikan sejak saat itu ancaman dan fitnah menjadi pola
pikir dan pola tindakan, pokoknya motto: “Ancam dulu, pikir
belakangan” harus dijalankan.

Di ladang orang tak perlu lagi bekerja, yang penting ancam. Bahkan
belakangan ini sudah ada kontes “the best MBA manager of the year”. Tentu
orang yang paling getol melakukan ancaman itu yang paling didengar,
yang paling mumpuni, dan yang paling berpeluang untuk dipilih.
Mentari sudah berkali-kali muncul di timur dan terbenam di barat, Anak
Manusia, sang sahabat UKI, menanti dengan sabar kapan sahabatnya
datang membawa hasil dari ladang perjanjian cinta kasih mereka.

Ditunggunya UKI di pintu kemajuan, namun UKI tidak muncul,


ditunggunya UKI di pintu keberhasilan, juga UKI tidak hadir. Sekali
lagi ditunggunya UKI di pintu sukses, di situ pun UKI tak nampak.
Hatinya mulai cemas, jangan-jangan…. memang tanah itu tidak subur,
jangan-jangan memang isi perjanjian cinta kasih itu terlalu berat untuk
mereka penuhi.

Tak lama kemudian, seseorang menghampirinya: “Tuan, tuan…….,


ladang itu… ladang itu….,” nafasnya tersengal-sengal.
“Kenapa dengan ladang itu?”, Anak Manusia terperanjat.
“Ladang itu kosong…..tak ada seorang pekerja pun di
dalamnya!”, jawabnya.

Refleksi UKI 83
UKI, UKI, lama sabakhtani?

Sang Anak Manusia mengerti sudah apa yang sebenarnya terjadi,


diarahkannya matanya sekali lagi ke ladang itu, tempat ia dahulu memadu
janji dengan sahabatnya, UKI.
Tak kuasa menahan sedih Anak Manusia berseru: “UKI, UKI, lama
sabakhtani!”

84 Refleksi UKI
12
Mempersiapkan Masa Depan UKI yang Lebih Baik:
Rekomendasi Perbaikan terhadap Permasalahan-
permasalahan yang Dihadapi UKI Sekarang 1

KI adalah sebuah organisasi pendidikan tinggi dan pelayanan yang


U didasari oleh prinsip kekristenan yang luhur yang selayaknya
menerapkan unsur-unsur manajemen yang benar, transparan dan
menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.
YUKI sudah berusia 50 tahun tapi kinerjanya secara keseluruhan masih
perlu dipertanyakan, apalagi bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga
sejenis yang usianya jauh lebih muda dari YUKI. Bahkan salah seorang
alumnus UKI yang senior dalam tulisannya pada buku peringatan 50
tahun UKI sangat keras mempelesetkan singkatan UKI menjadi
Universitas Kah Itu? (Luntungan, 2003).
Semenjak YUKI mengambil alih fungsi pengaturan keuangan dan
administratif lainnya, baik di Universitas maupun di unit-unit lainnya,
tampak bahwa kinerja unit-unit tidak semakin membaik, tapi malah
semakin merosot. Campur tangan YUKI, yang mungkin semula
mempunyai maksud memperbaiki, malah semakin memperburuk
keadaan.
Meskipun demikian unit-unit di bawah YUKI selalu berusaha bekerja
sebaik mungkin, beberapa upaya a.l. membuat perencanaan strategis
(Simatupang, 2002), melakukan revisi Statuta UKI yang telah disesuaikan
dengan aturan dan perundang-undangan yang terbaru, memaparkan
kinerja UKI melalui penelitian tentang Kinerja UKI (Sitepu & Polla,
2001), dll., namun tampaknya semua menjadi sia-sia belaka, karena tidak
adanya kepedulian dan rasa tanggung jawab bersama di antara semua

1Materi yang dipersiapkan sebagai bahan pertemuan antara UKI dan Yayasan
UKI.
Mempersiapkan masa depan UKI

komponen YUKI. Lebih dari itu, dalam setiap masalah ini, tampak
bahwa YUKI seakan-akan selalu menjadi pihak yang benar, dan unit-
unitlah yang tidak benar.
Karena itu kita perlu menyikapi hal-hal ini dengan baik dan benar serta
segera mengambil tindakan-tindakan yang tidak lagi parsial tapi
komprehensif yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh segenap
komponen di UKI.

Permasalahan
Di bawah ini tergambar beberapa kecenderungan (trends) yang terjadi di
dalam UKI dan beberapa kecenderungan yang ada di luar yang dapat
dianggap sebagai permasalahan:
A. Di dalam UKI
1. Jumlah mahasiswa. Jumlah mahasiswa UKI secara keseluruhan
menurun, meskipun di fakultas kedokteran tetap kelihatan stabil.
Namun di hampir semua fakultas jumlah penurunan mahasiswa
nampak secara signifikan. Beberapa program studi atau jurusan
bahkan hanya memiliki mahasiswa kurang dari sepuluh,
akibatnya terjadi kelebihan kapasitas (over capacity) terutama
dalam hal ketersediaan tenaga dosen dan karyawan. Belum lagi
bila disorot dari segi kualitas rekrutmen dan rata-rata prestasi
mahasiswa yang pada umumnya juga menurun. Hal ini
menggambarkan kualitas input (rekrutmen) dan kualitas
pembelajaran (proses) yang berakibat pada rendahnya mutu
lulusan (output).
2. Semakin menurunnya sarana dan fasilitas belajar dan bekerja.
Hal ini terkesan dari „kumuh“nya sarana dan gedung-gedung
yang dimiliki UKI, terlebih Kampus Jalan Diponegoro yang
seringkali mendapatkan perbaikan yang tambal sulam. Suasana
kampus tidak lagi nyaman dan asri, padahal dalam setiap iklan
penerimaan mahasiswa baru seakan-akan kampus UKI memiliki
segala fasilitas yang selalu „dijual“. Selain itu perlu juga
dipertanyakan aset-aset UKI yang lain, seperti di Bantar Gebang,

86 Refleksi UKI
Mempersiapkan masa depan UKI

Cidokom, dll. yang mungkin sudah semakin berkurang dan yang


selama ini terabaikan.
3. Ketidaktepatan pembayaran gaji dan honoraria. Semenjak YUKI
mengambil alih sistem pembayaran gaji dan honoraria lainnya,
terjadi keterlambatan-keterlambatan penerimaan gaji dan
honoraria dosen dan karyawan. Selain itu, besarnya gaji dan
honoraria UKI pun sebenarnya sudah harus ditinjau ulang dari
segi kelayakannya bila dibandingkan dengan perubahan-
perubahan indikator ekonomi serta bila dibandingkan dengan
perguruan-perguruan tinggi sejenis (Poerwaningsih & Hutapea,
2001).
4. Jaminan sosial. Dalam rangka bantuan pemeliharaan kesehatan
pegawai, pada tahun 1985, UKI mengambil inisiatif dengan
mengadakan asuransi kesehatan swakelola yang dikenal dengan
Pekeswa. Pekeswa telah banyak membantu meringkankan baiaya
kesehatan pegawai, namun akhir-akhir ini sudah lama dirasakan,
bahwa Pekeswa perlu ditingkatkan, karena semakin
meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan dan
seringkali Pekeswa tidak dapat lagi menjawab kebutuhan
tersebut. Karena itu sejak 2 tahun yang lalu, UKI kembali
mengambil inisiatif dengan mengajak pihak asuransi luar untuk
memberikan alternatif-alternatif yang lebih baik daripada
Pekeswa. Pada akhirnya melalui proses seleksi yang ketat dan
terbuka terpilihlah beberapa perusahaan asuransi yang bersedia
menjadi rekanan. Namun sampai sekarang belum ada jawaban
dari YUKI mengenai hal ini. Demikian pula dengan bentuk-
bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi tenaga kerja, asuransi
pensiun yang pada saat ini perlu dikaji ulang keberadaannya.
5. Sistem manajemen keuangan yang belum kunjung jelas baik di
tingkat unit, fakultas, rektorat maupun Yayasan yang akhirnya
seringkali menghasilkan kebijakan keuangan yang simpang siur
sehingga memudahkan terjadinya “kebocoran-kebocoran”.
Lagipula kebijakan keuangan yang diambil lebih terfokus pada

Refleksi UKI 87
Mempersiapkan masa depan UKI

pengamanan jangka pendek, kurang memikirkan faktor


keberlanjutan (sustainability) keberadaan keuangan UKI yang
sehat. Di samping itu, ditengarai telah terjadi “privatisasi” aset
YUKI, contohnya perparkiran, cleaning service, oleh oknum-
oknum YUKI. Semua ini menumbuhkan iklim saling curiga di
antara sesama komponen UKI. Sungguh aneh bahwa semenjak
tanggung jawab keuangan seluruhnya dipegang oleh YUKI,
tampak bahwa UKI tidak lagi dapat membangun atau merawat
gedung-gedung dan sarana fisik lainnya, selain itu sekolah lanjut
bagi para dosen juga tidak lagi tersedia, sehingga seringkali
dosen-dosen muda yang berpotensi terpaksa terhambat studi
lanjutnya, atau terpaksa menggunakan dana pribadi.
6. Khusus mengenai tanggungjawab pengurus yayasan dalam
menjalankan tugasnya harus berlandaskan (Ais, 2002)
6.1. Fiduciary duty
6.2. Duty of skill and care
6.3. Statutory duty
Butir 1 menjelaskan bahwa pengurus harus melaksanakan tugas
bukan untuk kepentingan pribadi organ yayasan/pengurus
yayasan. (psl. 35 & 39 UU Yayasan No. 16, 2001).
7. Semakin menurunnya jumlah mahasiswa yang masuk ke UKI
membawa dampak semakin menurunnya pendapatan UKI,
karena sampai saat ini, menurut Renstra UKI, ± 98,4% sumber
pendapatan UKI berasal dari mahasiswa. Tentu hal ini tidak
dapat lagi dibiarkan, karena kemampuan untuk menaikkan
pemasukan dari mahasiswa akan terbentur dengan kemampuan
membayar mahasiswa UKI itu sendiri, yang secara umum
berasal dari kelompok menengah ke bawah (lihat laporan
keuangan terlampir).
8. Menurut Zebua (2001), tingkat kepuasan kerja yang dimiliki oleh
pegawai administratif maupun edukatif UKI tidak terlalu banyak
dipengaruhi oleh faktor motivator, namun lebih pada lingkungan
(“higiene”). Ada 6 variabel yang mempengaruhi kepuasan kerja

88 Refleksi UKI
Mempersiapkan masa depan UKI

dosen y.i. pekerjaan itu sendiri, penyeliaan, hubungan dengan


penyelia, hubungan dengan rekan sekerja, pengembangan karier
dan rasa aman. Sedangkan pada tenaga administratif adalah
tanggungjawab, penyeliaan, kondisi kerja, gaji/kompensasi,
hubungan dengan rekan sekerja dan status. Tercipta suatu
persepsi bahwa tidak ada gunanya berprestasi di UKI karena
tidak membawa dampak apa-apa! Ada pula kecenderungan
untuk menghindari (penambahan) tanggung jawab, karena hal ini
kembali akan menjadi penambahan beban bagi yang
bersangkutan dan bukan dianggap sebagai promosi. Pegawai
(administratif) lebih banyak mementingkan peningkatan
pendapatan (dahulu) daripada peningkatan prestasi.
Secara parsial maupun secara keseluruhan masalah-masalah di
atas telah membentuk academic dan corporate culture yang tidak
sehat, jauh dari rasa memiliki, jauh dari rasa ingin lebih
mengembangkan yang pada akhirnya akan membawa
kehancuran!

B. Di luar UKI
1. Tidak dapat dipungkiri UKI tidak lagi menjadi salah satu
perguruan tinggi pilihan bagi calon mahasiswa, karena semakin
banyak bermunculan perguruan tinggi-perguruan tinggi lain di
kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi) yang dari segi kualitas mirip atau bahkan beberapa telah
melampaui UKI. Selain itu perguruan tinggi lain tampaknya
lebih kreatif menawarkan banyak jurusan atau program-program
studi baru yang diminati dan cocok dengan lapangan pekerjaan
saat ini.
2. Adanya peraturan perundangan-undangan baru menuntut
penyesuaian dan perbaikan-perbaikan peraturan yang berlaku di
UKI, a.l. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, PP 60 Tahun 1999,
UU Yayasan No. 16 Tahun 2001, dll. Khusus mengenai UU
Yayasan, pemberlakuan UU tersebut akan dimulai pada tahun

Refleksi UKI 89
Mempersiapkan masa depan UKI

2006, karena itu YUKI harus segera mengambil langkah-langkah


yang strategis dan tepat berkenaan dengan perubahan tersebut
agar bila tiba pemberlakuan UU tersebut, YUKI justru tidak
dirugikan. Selain itu, akan muncul pula UU baru yaitu UU Badan
Hukum Pendidikan/Perguruan Tinggi yang di dalamnya akan
lebih eksplisit mengatur tata cara, tata laksana dan tata organisasi
suatu perguruan tinggi. Menurut RUU BHP terbagi atas BHP-
Milik Negara (BHP-MN) dan BHP-Milik Masyarakat (BHP-
MM). Secara umum kedua bentuk BHP tersebut sama, terlebih
dalam hal keterlibatan masyarakat umum baik dalam hal
kepengurusan maupun pengawasan. Termasuk di dalamnya
tentu tentang tata cara penggunaan dana publik (Doloksaribu).
Sejauh manakah YUKI telah mengantisipasi perubahan-
perubahan ini?

Dari beberapa data kecenderungan-kecenderungan di atas tampak bahwa


UKI sudah harus segera mengambil langkah-langkah konkrit. Kita tidak
bisa lagi melakukan business as usual, namun secara bersama-sama
melakukan perubahan-perubahan yang berarti.

Rekomendasi
1. Perlu segera pembenahan struktur dan fungsi-fungsi di jajaran
YUKI dan UKI melalui pertemuan yang intens dan
berkesinambungan antara UKI dan YUKI. Pertemuan-
pertemuan itu sekaligus membicarakan dan menyamakan
persepsi dan tindakan terhadap situasi dan keberadaan UKI.
2. Semua komponen di UKI harus menggali kembali jati diri,
fungsi dan perannya bagi UKI. Kita harus tahu betul dasar-dasar
dan untuk siapa UKI didirikan. Unsur-unsur U(niversitas),
K(risten) dan I(ndonesia) kiranya terus-menerus digali dan
menjadi landasan dan arah ke mana UKI berkiprah. Perlu
redefinisi, reposisi dan revitalisasi fungsi badan-badan di
YUKI dan UKI, sekaligus mengembalikan badan-badan di

90 Refleksi UKI
Mempersiapkan masa depan UKI

YUKI sesuai dengan kedudukan dan perannya. Hentikan segala


bentuk vested interest yang sangat menggangu dan merusak kinerja
YUKI dan UKI secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan
amanat dan hasil pertemuan Pengurus YUKI pada tanggal 18
Mei 1989 yang ditulis oleh TB Simatupang.
3. Sesuai UU Yayasan 2001 pasal 49 dan 52, yayasan harus
transparan, oleh sebab itu YUKI wajib menyajikan laporan
keuangannya kepada publik secara berkala. Untuk itu setiap unit
di YUKI (UKI, AP, RS FK-UKI, dll.) harus membuat sistem
pelaporan keuangan yang transparan pula (diaudit). Laporan
yang diaudit berperan penting dalam pertanggung-jawaban, baik
ke dalam maupun ke luar. Untuk tujuan ini, sebaiknya dibuat
atau disiapkan laporan internal setiap bulan atau 3 (tiga) bulan
sekali. Sebenarnya ada banyak peluang untuk mendapatkan dana
pengembangan yang tersedia oleh funding agencies dalam dan luar
negeri, namun sebelum UKI dapat menunjukkan sistem
(pelaporan) keuangan yang baik dan transparan, maka sulitlah
pihak-pihak tersebut untuk membantu.
4. Kebijakan keuangan yang telah membawa kesulitan-kesulitan
dalam pelaksanaan kegiatan dan program di lingkungan UKI
perlu ditinjau ulang. Kalau perlu diberlakukan kembali
„otonomi“ UKI setelah melalui kajian secara seksama (Siswanto,
2004). Otonomi dilaksanakan secara bertanggung jawab
berdasarkan azas akuntabilitas. Bila terjadi penyelewengan
otonomi maka akan diberikan sanksi yang jelas.

Bacaan
Ais C. Badan Hukum Yayasan. Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai
Suatu Badan Hukum Sosial. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal.
94-107.
Doloksaribu, SM. Beberapa Catatan atas Perubahan AD/ART Yayasan
Universitas Kristen Indonesia. Makalah lepas.

Refleksi UKI 91
Mempersiapkan masa depan UKI

Lakukan Pembaruan Karena Tuntutan Arus Bawah. Advertorial dari


Rektorat Universitas Trisakti yang disampaikan Rektor
Universitas Trisakti pada Seminar Nasional:”Mencari Format
Baru Organisasi dan Manajemen Perguruan Tinggi Swasta yang
Otonom”. 12 April 2004, Malang.
Laporan Keuangan UKI Tahun Anggaran 2002-2003 dan 2003-2004.
Luntungan L. Pelayanan Universitas Kristen Indonesia (UKI) di tengah-
tengah Bangsa dan Negara Indonesia dalam Sitepu I.V. (Ed.).
Agar Semua Menjadi Baru: Refleksi 50 tahun UKI. UKI Press,
Jakarta, 2003.
Poerwaningsih S & Hutapea A. Analisis Struktur Gaji Karyawan UKI.
Studi perbandingan dengan sebuah PTS di Jakarta Barat dalam
Sitepu IV & Polla G (Ed.). Prosiding Eksposisi Kinerja UKI. LP
UKI. Jakarta. Juni 2001. hal. 97-112.
Simatupang A, Panggabean M, Sitepu IV (Ed.). Rencana Strategis UKI
2003-2007. UKI Press Jakarta. 2002.
Simatupang M. UKI 50 Tahun: Menatap ke Depan dalam Sitepu I.V.
(Ed.). Agar Semua Menjadi Baru: Refleksi 50 tahun UKI. UKI Press,
Jakarta, 2003.
Simatupang TB. Memo Ketua Yayasan UKI. Catatan Berhubung
dengan Pertemuan Pengurus Yayasan UKI. 17 Mei 1989 di
Hotel Sari Pacific.
Siswanto B. Manajemen Perguruan Tinggi Swasta Masa Depan. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional:”Mencari Format Baru
Organisasi dan Manajemen Perguruan Tinggi Swasta yang
Otonom”. 12 April 2004, Malang.
Sitepu IV & Polla G (Ed.). Prosiding Eksposisi Kinerja UKI. LP UKI.
Jakarta. Juni 2001.
Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.
Statuta UKI. Yayasan UKI Jakarta. Mei 2004.
Zebua A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Pegawai
Universitas Kristen Indonesia-Jakarta Berdasarkan Teori
Motivasi Dua Faktor Frederick Herzberg. Tesis untuk

92 Refleksi UKI
Mempersiapkan masa depan UKI

memperoleh gelar Magister Sains dalam Ilmu Administrasi.


Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI, Jakarta. 2001.

Refleksi UKI 93
13
„The New UKI Project“. Akankah Sejarah
Berulang? 1

D
alam pertemuan yang diprakarsai YUKI pada hari Senin, 27
September 2004 dijelaskan oleh Ketua YUKI, Bpk. Drs. Jakob
Tobing, MPA tentang upaya YUKI mendapatkan nilai-nilai
tambah dari asset-aset yang dimiliki YUKI, a.l. dengan menjalin
aliansi strategis dengan beberapa pengusaha yang mau berinvenstasi
untuk pengembangan UKI. Salah satunya adalah rencana pengembangan
kampus UKI Cawang, dengan menjalin kerjasama dengan P.T.G.I.P

P.T. G.I.P. telah berpengalaman mengubah asrama mahasiswa yang


dimiliki IPB menjadi sentra bisnis di Bogor. Dalam rencana program
yang disampaikan mereka, kawasan UKI Cawang dibagi-bagi menjadi
kawasan rumah sakit, kawasan kampus dan kawasan bisnis, dan P.T.
G.I.P. akan berkonsentrasi dalam pengembangan kawasan bisnis, y.i.
dengan pendirian mal, pusat konvensi, hotel dan apartemen.1
Tulisan ini didasari oleh sikap berpengharapan namun kritis seperti yang
tercermin dalam Ams. 15: 22 “Rancangan gagal kalau tidak ada
pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasehat banyak”, I Tes. 5:21
“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”, dan yang paling terkenal
dalam hal perencanaan adalah dari Luk. 14:28-32.

1
Tulisan yang ditulis bersama-sama dengan Ganda Sutapea, SE, MBM
(Pudek I dan dosen FE UKI); Ied Veda Sitepu, SS, MA (Kepala UKI Press
dan dosen FS UKI); dan Mompang Panggabean, SH, MHum. (Kepala BAAK
dan dosen FH UKI).
The New UKI Project

Keinginan (Y)UKI untuk „berbisnis“ dengan pihak manapun mungkin


merupakan salah terobosan dalam menjawab keluh-kesah semua pihak
selama ini tentang keberadaan dan fungsi yayasan (Board of Trustees) yang
selayaknya menjadi salah satu penyandang atau penyedia dana yang
handal. Menurut Renstra UKI, 98,4% dana operasional UKI masih
berasal dari mahasiswa, padahal menurut Renstra itu pula, diharapkan
pada akhir tahun 2007 persentase ini menurun menjadi 75%.3 Artinya,
harus ada upaya-upaya yang nyata dari YUKI maupun stakeholders UKI
lainnya agar ketergantungan pemasukan dana dari mahasiswa semata
harus dikurangi secara signifikan, dan menggali sumber-sumber
pendanaan lainnya. Namun semua ini tetap harus melihat kedudukan dan
keberadaan UKI y.i. sebagai lembaga pendidikan (tinggi) penerus cita-
cita kemerdekaan seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD
1945 serta memanggul visi dan misi umat Kristen Indonesia dalam
rangka turut mencerdaskan bangsa sambil membawa damai sejahtera
karya keselamatan Kristus, sesuai amanat Kongres PGI pertama di tahun
1951.

Karena itu perlu dipikirkan secara matang dan strategis agar peluang
investasi ini tidak sia-sia, namun, dilain pihak agar UKI tidak pula
terjerembab pada “komersialisasi” pendidikan seperti yang sudah mulai
menggejala dimana-mana, apalagi dengan pemanis kata-kata demi
“globalisasi”, “neo-liberalisasi ekonomi, market-driven economics.”

Manajemen & Pengelolaan

Pertama-tama memang harus diakui, bahwa melihat kondisi dan situasi


UKI saat ini, sangat sulit untuk bisa membangun tanpa mengundang
sentuhan pihak luar. Meskipun sebagai perbandingan, ada juga beberapa
perguruan tinggi Kristen, seperti UK Petra di Surabaya dan UK
Maranatha Bandung, yang sedang giat-giatnya membangun hanya dengan
mengandalkan dana sendiri atau memanfaatkan dana hibah (grant) yang

Refleksi UKI 96
The New UKI Project

banyak tersedia melalui jalur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi –


Departemen Pendidikan Nasional. Namun, bila memang YUKI mulai
melihat peluang-peluang bisnis dalam rangka menjalankan dan
mengembangkan roda organisasi dan lembaga-lembaga di bawahnya,
maka sudah selayaknya YUKI tetap mengingat dan setia kepada core-
business-nya yaitu lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan
(tinggi) dan kesehatan (unsur rumah sakit). Karena itu sudah sepatutnya
YUKI membentuk lembaga/badan usaha independen yang bertugas
menjalankan usaha-usaha tersebut. Sebenarnya menurut sejarah, UKI
sudah pernah memiliki visi seperti ini, yaitu dengan mendirikan P.T.
Ukrindo, yang diharapkan saat itu bisa menjadi salah satu revenue center
UKI. Namun, sayang, seperti yang kita ketahui bersama, hal itu tidak
pernah menjadi kenyataan, bersamaan dengan bangkrutnya perusahaan
tersebut yang konon memperoleh modal kerja dari Jerman sebesar 2 juta
Deutsche Mark (komunikasi personal 2 ). Seandainya P.T. Ukrindo
berkembang, maka mungkin saat ini P.T. Ukrindo sudah menjadi
semacam Holding company UKI yang mungkin berkiprah secara nasional
bahkan internasional. Justru dengan melihat pengalaman itu, maka sudah
selayaknya (Y)UKI tidak lagi mengulang peristiwa itu, dengan
memisahkan kegiatan usaha dengan urusan pengelolaan pendidikan
tinggi. Biarlah usaha-usaha itu dikelola oleh para profesional dan agar
badan usaha tersebut dapat menjadi cash-cow YUKI yang handal, bukan
nanti malah menjadi benalu. Sebab kita tidak rela kalau badan usaha yang
bersifat padat modal (dan tentu padat risiko) dikelola oleh orang-orang
(UKI-YUKI) yang tidak profesional.

Pengambilalihan unit Percetakan UKI oleh YUKI yang kemudian malah


tidak terdengar lagi keberadaannya juga perlu dijadikan pelajaran. Unit
yang dahulunya diproyeksikan menjadi salah satu ‘income generating unit,’
minimal dapat membantu pengadaan barang-barang cetakan (sederhana)
2
Disampaikan oleh Bapak P.Y. Francis dalam suatu rapat pimpinan UKI.

Refleksi UKI 97
The New UKI Project

di UKI, seperti pencetakan kartu nama, kop surat, brosur-brosur. Unit


Percetakan UKI inilah yang menjadi cikal-bakal pendirian UKI Press,
yang diharapkan dapat menjadi ‘supporting unit’ yang dapat menunjang
kegiatan belajar mengajar di lingkungan UKI dengan pengadaan bahan-
bahan ajar.

Artinya, bila (Y)UKI mulai mengundang pihak luar sebagai mitra (bisnis),
maka YUKI pun sudah harus siap secara mental dan pola pikir (mind set)
yang berbeda. Faktor SDM dan manajemen harus diperbaiki dan
diberdayakan terlebih dahulu atau bersamaan dengan pemanfaatan
peluang-peluang bisnis yang ada. Faktor-faktor kecepatan (speed), peka
membaca situasi, kreatif, ulet (agility), transparansi, menerapkan good
governance, sudah harus mulai terinternalisasi di segenap stakeholders, kalau
tidak kita akan menjadi tertawaan mitra bisnis atau kita akan menjadi
mitra yang tidak sejajar (unequal partners). Pendek kata, “anggur baru
membutuhkan kirbat yang baru pula.”

Bentuk keikutsertaan lain yang mungkin dapat dimiliki segenap


stakeholders UKI adalah agar mereka dimungkinkan juga menjadi
shareholders, dengan terlebih dahulu menyepakati berapa persen jumlah
saham (share) yang boleh dimiliki UKI. Saham ini ditawarkan kepada
segenap komponen sivitas akademika UKI, dengan mempertimbangkan,
tentunya, syarat-syarat penyertaan modal dari individu atau kelompok
individu. Gerakan seperti ini, pernah dilakukan oleh para mahasiswa
UKI, ketika mereka terpanggil untuk turut membantu pembangunan
kampus UKI Cawang, yang ketika itu mendapatkan hibah sebidang tanah
yang sebenarnya diperuntukkan untuk lembaga-lembaga Kristen saat itu,
y.i. LAI, PGI, dan STT, dengan masing-masing mahasiswa
menyumbangkan sejumlah uang yang mungkin senilai beberapa butir
bata merah (komunikasi personal). 3
3
Hasil wawancara dengan beberapa alumni UKI angkatan 60-70an.

Refleksi UKI 98
The New UKI Project

Refleksi UKI 99
The New UKI Project

Bagi Hasil

Bentuk bagi hasil yang ditawarkan oleh pihak investor perlu dikaji secara
seksama dengan tetap memperhitungkan semua variabel usaha (bunga
bank, biaya operasional, return of investment, dll.) sambil tetap mengingat
azas saling menguntungkan (win-win solution).
Selain itu, perlu dibuat komitmen dan perjanjian bersama bahwa
penerimaan UKI dari bagi hasil dengan investor pertama-tama harus
diperuntukkan:
1. Persembahan yang besar dan bentuknya terbuka untuk selalu
dibicarakan bersama (lih. I Taw 16:29; Maz. 96:8; Ibr. 13:15-16).
2. Dana tabungan untuk dana abadi (endowment fund)
Sisanya baru digunakan untuk pembiayaan kegiatan organisasi UKI,
terutama untuk investasi/pengembangan. Dana untuk membiayai
kegiatan rutin sebenarnya tidak merupakan masalah besar, karena
pemasukan UKI dari mahasiswa, asal dikelola dengan baik, masih dapat
diandalkan.
Salah satu bentuk kerjasama yang ditawarkan adalah Built Operate and
Transfer (BOT) 30 tahun, artinya selama 30 tahun YUKI bersama-sama
dengan para investor akan mengelola kawasan bisnis tersebut, dan
setelah itu segala asset akan diberikan ke YUKI, untuk selanjutnya YUKI
akan mengelolanya secara mandiri (swakelola).

Jadi, pada sisi Universitas pun harus nampak dengan jelas program-
program pengembangan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat yang semakin berkualitas karena semakin mantapnya
pendanaan yang tidak lagi mengandalkan pemasukan dari mahasiswa
semata! UKI dan badan-badan lain mitra YUKI, seperti Rumah Sakit dan
AP-YUKI harus sanggup menangkap tanda-tanda jaman, sembari
berbenah diri menyikapi masa-masa yang tidak akan semakin mudah.
Sebab, kita pun tidak mau menjadi silau akan godaan-godaan “teologia-
sukses” dan membentuk “menara gading” bukan “menara kasih” serta

Refleksi UKI 100


The New UKI Project

melupakan esensi keberadaan perguruan tinggi (Kristen) dalam rangka


turut mewujudkan dan menghadirkan kerajaan Allah di bumi Indonesia.
Namun, di atas segalanya itu, kemitraan yang dijalin ini, diharapkan
sanggup membangun kembali citra dan kinerja UKI agar tetap mampu
mewujudkan visi dan misinya tanpa harus meninggalkan mottonya:
“Melayani bukan Dilayani”, bagi kemuliaan Kristus semata!

Acuan:
1. Renstra UKI. 2003-2007. UKI Press, Jakarta, 2002.
2. Wiryoputro, S. Dasar-dasar Manajemen Kristiani. BPK Gunung
Mulia, Jakarta 2004.
3. Undang-undang Yayasan 10 Tahun 2001
4. Statuta UKI 2004.

Refleksi UKI101
14
What next?
Suatu Usulan Alternatif Pembaharuan

B
agian akhir tulisan ini tidak berpretensi untuk menjawab segala
permasalahan yang dihadapi UKI khususnya dan perguruan tinggi
(kristen) umumnya. Penulis tidak ingin menerapkan konsep “satu”
resep untuk semua jenis penyakit, namun kita harus berani menemukan
dan memandang permasalahan-permasalahan itu secara utuh
(komprehensif), dan kontekstual serta berusaha untuk memperbaikinya
sedikit demi sedikit namun ajeg.
Tulisan ini lahir dari refleksi yang dilakukan setelah penulis mengikuti
suatu konferensi internasional tentang “Managing change in universities” di
Königswinter, Jerman pada tanggal 28 Agustus – 3 September 2000.
Konferensi diikuti oleh lebih kurang 50 pimpinan perguruan tinggi dari
negara-negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Iran, negara-
negara Afrika Timur seperti Uganda, Kenya, Etiopia dan Sudan serta
kelompok negara-negara Amerika Tengah dan wakil dari penyelenggara
yaitu a.l. German Foundation for International Development dan University of
Kassel serta Hochschule Rektoren Konferenz, HRK (Asosiasi Perguruan Tinggi
Jerman) Jerman. Konferensi menyimpulkan bahwa dalam konteks
reformasi pendidikan tinggi dan menghadapi perobahan-perobahan yang
multidimensional perlu dilakukan tindakan-tindakan nyata para
“stakeholders”. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan perguruan tinggi
selalu seimbang yaitu selalu menjadi pelopor dalam cita-cita ilmu untuk
mencari “kebenaran” serta penelitian-penelitian yang bersifat “state of the
art” namun tetap peka dan mampu menjawab masalah-masalah sosial
kemasyarakatan agar tidak menjadi “menara gading”.
What next?

Tantangan

Kata kunci yang mengemuka di konferensi tersebut adalah tantangan


(challenges) yang berasal (terutama) dari luar universitas yang menuntut
“perobahan” (changes) paradigma pendidikan tinggi a.l. masalah:

1.Relevansi:
(a) Otoritas dan peranan perguruan tinggi sebagai penyedia lulusan
yang siap memasuki dunia kerja semakin berkurang. Hal ini
karena ketidak-terkaitan antara kurikulum, pembelajaran dan
dunia lapangan kerja. Kecenderungan ini diperparah dengan
perkembangan ilmu yang pesat sekali sehingga seringkali ilmu
yang dipelajari di bangku kuliah ternyata sudah usang ketika
hendak digunakan di dunia kerja (Teichler, 1999)
(b) Penelitian serta pengembangan yang dilakukan oleh perguruan
tinggi masih banyak yang bersifat “demi ilmu”, sehingga tidak
memiliki nilai jual yang tinggi dan seringkali tidak menjawab
tantangan yang diajukan oleh dunia industri dan pasar, akibatnya
seringkali dunia industri memiliki dan mengembangkan unit
penelitian dan pengembangan yang lebih berdayaguna daripada
perguruan tinggi.

2. Kualitas dan Jaminan Kualitas (Quality assurance)


(c) Faktor kualitas dan jaminan akan kualitas yang dihubungkan
dengan nilai uang yang telah ditanam atau diberikan oleh
mahasiswa maupun pihak-pihak donor terhadap perguruan
tinggi menjadi salah satu hal pokok. Selama ini semua orang
menerima dan percaya saja bahwa segenap proses pendidikan
yang berlangsung di pendidikan tinggi telah berjalan dengan
baik, namun sejak perguruan tinggi diperhadapkan pada
instrumen-instrumen yang mengukur kualitas dan kinerja seperti
layaknya pada suatu perusahaan komersial tampak bahwa
perguruan tinggi seringkali tidak efisien dan tidak bermutu.

102 Refleksi UKI


What next?

Tembok-tembok yang selama ini melindungi otoritas keilmuan


tampak mulai terbuka dan roboh dan digantikan dengan
keterbukaan.
(d) Akuntabilitas (Accountability) berkaitan erat dengan mutu.
Akuntabilitas menyangkut sejauh mana setiap perencanaan dan
pelaksanaan program dapat dipertanggung-jawabkan lewat
mekanisme-mekanisme sistem evaluasi dan monitoring yang
melekat.
(e) Evaluasi dan Akreditasi adalah dua hal yang akan menjadi bagian
yang inheren dalam konteks quality assurance dan akuntabilitas.
Setiap program pendidikan diwajibkan mampu untuk melakukan
evaluasi diri yang akan diperhadapkan dengan evaluasi dari
badan eksternal. Hasil antara kedua evaluasi tersebut
menghasilkan resultante berupa akreditasi yang menjadi salah
satu tolok ukur masyarakat untuk melihat keberhasilan
manajemen suatu perguruan tinggi.
(f) Distribusi dana berdasarkan kinerja (Performance-related distribution
of funds). Jaminan kualitas juga berarti bahwa pengalokasian dana
dan sumber-sumber lainnya dilaksanakan berdasarkan kinerja
yang dicapai oleh unit (bagian/jurusan, laboratorium, fakultas,
Lembaga, dll.). Indeks kualitas yang dijadikan patokan dapat
ditetapkan secara bersama-sama mis. publikasi ilmiah,
(kemampuan) mencari dana dari pihak ketiga (third party funding),
jumlah penelitian, hak paten yang diterima, jumlah kelulusan
mahasiswa, jumlah staf yang mendapatkan penghargaan,dll. Bila
indikator-indikator ini dikombi-nasikan dengan jumlah investasi
yang telah dikeluarkan maka dapat dihitung rasio biaya-kinerja
(cost-performance ratio) secara transparan (Gerlach, 2000; Lewis &
Smith, 1994).

Dalam rangka menjawab soal kualitas maka menurut azas


Manajemen Total Kualitas (Total Quality Management, TQM) perlu
dilakukan tujuh langkah y.i. (1) identifikasi para “stakeholders”

Refleksi UKI 103


What next?

institusi, (2) menciptakan missi yang berdasarkan kualitas yang


kompetitif, (3) menciptakan sistem internal untuk mengukur kualitas
di bidang-bidang tertentu dan spesifik, (4) menentukan siapa yang
bertanggung-jawab untuk memenuhi standard-standard yang telah
dipilih, (5) memotivasi pihak-pihak yang belum setuju dan ikut
mewujudkan kualitas, (6) membentuk kelompok pengawas mutu, (7)
laporkan, kenali dan beri penghargaan terhadap pihak yang telah
menunjukkan kualitas (Matthews, 1993; Lewis & Smith, 1994).

Tantangan yang paling mendesak adalah bagaimana universitas dapat


mengelola perobahan itu dengan baik sehingga perobahan-
perobahan tersebut menguntungkan bagi perkembangan universitas.
Perobahan itu harus bersifat terlanjutkan (sustainable) dan proses itu
bisa membuat universitas menjadi universitas yang “belajar” (learning
university).

Alternatif solusi

Lantas bagaimana mensiasati perobahan-perobahan ini? Tentunya


dengan mengelola perobahan-perobahan itu secara bijaksana sehingga
kita memperoleh keuntungan bukan menghindar serta berusaha
meniadakannya. Perobahan-perobahan yang ada sebenarnya memiliki
“tenaga” yang tak terhingga besarnya sama seperti air, angin, panas bumi
yang bisa dirobah dan dimanfaatkan menjadi sumber energi. Beberapa
syarat untuk mengelola tenaga potensial yang ada adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan tanggung-jawab serta otonomi segenap pelaku


organisasi.
2. Peningkatan hubungan antara manajemen operasional dan
fungsional. Kata kunci untuk ini adalah komunikasi yang
efektif.
3. Profesionalisme disegenap garis dan bidang struktural dari
jenjang yang terendah sampai dengan yang tertinggi.

104 Refleksi UKI


What next?

Setiap organisasi yang akan mengadakan perobahan maka setidak-


tidaknya tiga gelombang atau fase akan dihadapi oleh organisasi y.i. (Jaffe
& Scott, 1999):

Gelombang pertama : Mobilisasi organisasi untuk perobahan


Fase awal yang seringkali terlupakan. Pada
fase ini kebutuhan akan perobahan
diperkenalkan kepada segenap individu
organisasi. Setiap individu di organisasi
mengetahui mengapa diperlukan
perobahan dengan menampilkan informasi
yang lengkap dan komprehensif tentang
hal-hal yang mendukung pernyataan
tersebut.

Gelombang kedua : Perancangan organisasi yang baru


Setiap bagian dan individu organisasi turut
mengambil bagian dalam membentuk
rancangan-rancangan perobahan. Mereka
mencari bentuk atau model-model baru
melalui pertukaran informasi, mereka
“membayangkan” bentuk organisasi yang
baru. Fase ini adalah fase yang menantang
dan menarik.

Gelombang ketiga : Memantapkan dan menjaga proses


transformasi
Segenap rancangan tentang perobahan
diimplementasikan sambil menjaga agar
proses trans-formasi tersebut berjalan
tanpa menimbulkan dampak negatif atau
resistensi yang besar dan hal ini dapat

Refleksi UKI 105


What next?

berjalan dengan mulus bila setiap


komponen organisasi telah terlebih dahulu
siap menghadapi masa-masa sulit dalam
proses transformasi dari nilai-nilai lama ke
nilai-nilai baru sampai akhirnya timbul
suatu budaya baru yang sesuai dengan arah
perobahan yang telah direncanakan.

Perobahan Peran Manajemen Perguruan Tinggi

Tantangan yang timbul adalah (Teichler, 2000):


1. Meningkatnya jumlah “aktor-aktor kunci” (key actors) dalam
dunia pendidikan tinggi. Aktor-aktor kunci ini adalah pihak-
pihak yang dahulu berada di luar perguruan tinggi, namun
sekarang
2. Meningkatnya pengetahuan dan pengaruh para aktor-aktor
kunci.
Faktor 1 dan 2 bisa dilihat dari semakin banyaknya minat
masyarakat untuk turut terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam segenap proses pembelajaran dan penelitian di
perguruan tinggi. Masyarakat umum, industri, politikus dan
pemerintah tidak lagi hanya tinggal diam dan menyerahkan
sepenuhnya urusan pendidikan tinggi kepada universitas atau
perguruan tinggi, namun mereka aktif melakukan himbauan dan
“penekanan” melalui media massa, lobby terhadap arah, orientasi,
visi, missi, kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi.
3. Kompleksitas dunia dan permasalahan pendidikan tinggi. Setelah
mulai terbukanya pintu-pintu birokrasi dan manajemen
perguruan tinggi, tampaklah bahwa kesadaran akan kompleksitas
dunia pendidikan tinggi telah memaksa para pemimpin di
perguruan tinggi untuk merendahkan diri dan “rela” belajar dari
pihak-pihak non universitas dalam hal penanganan masalah yang
kompleks.

106 Refleksi UKI


What next?

4. Meningkat serta menurunnya peran universitas. Terjadi hal yang


kontradiktif, karena disatu pihak dengan majunya Teknologi
Informasi, maka informasi tidak lagi menjadi otoritas universitas
namun telah bergeser pada penyedia-penyedia informasi seperti
website provider, perpustakaan virtual, dll. Namun di lain pihak ada
tuntutan masyarakat bahwa universitas harus tetap menjadi
pelopor dan fasilitator utama dalam konteks menuju masyarakat
berdasarkan pengetahuan (knowledge society), karena perguruan
tinggi dianggap mampu memberikan informasi yang “tanpa
bias” (the guardian of science and truth).

Kepemimpinan

Kepemimpinan yang berkualitas bisa tumbuh dan berkembang dalam


lingkungan yang berkualitas pula. Lingkungan yang berkualitas adalah
lingkungan yang proses komunikasi antar individu dan bagian organisasi
berjalan dengan baik, efektif dan berlangsung dua arah. Hal-hal seperti
saling percaya (mutual trust), kejujuran (honesty), hasrat (passion), penghargaan
(esteem/reward), kesesuaian hak dan tanggung jawab (reciprocity) mutlak
ditumbuhkan dan dikembangkan agar lingkungan menjadi tanah yang
subur untuk lahirnya para pemimpin yang tangguh dengan
kepemimpinan yang visioner (Downs, 1998).

Perobahan Peran Badan-badan Terkait di Perguruan Tinggi

Yayasan

Di masa derasnya arus kebutuhan akan otonomi, maka sudah selayaknya


Yayasan (Board of Trustees) juga sanggup mengadakan perobahan-
perobahan akan hak dan kewajibannya dalam hal pengelolaan
universitas. Yayasan tidak lagi diharapkan untuk terlalu memasuki
wilayah keseharian universitas. Yayasan penting untuk memberikan
warna dan identitas serta legalitas atas universitas yang dinaunginya.

Refleksi UKI 107


What next?

Keanggotaan suatu yayasan pendidikan tinggi harus lebih terbuka namun


selektif. Terbuka dalam pengertian bahwa proses rekrutmen, pemilihan
dan penetapan anggota Yayasan terbuka untuk semua orang, namun
tentu harus mengingat azas dan latar-belakang ideologi atau ajaran yang
menjadi landasan yayasan. Selektif artinya hanya orang-orang yang
mengerti betul visi dan missi serta bersedia untuk memperjuangkan hal
itu yang dapat dipertimbangkan layak duduk sebagai anggota yayasan.

Di dalam kepengurusan yayasan perlu dipertimbang-kan perwakilan dari


gereja, donatur dan sponsor, tokoh-tokoh pendidikan dan para mantan
pengurus universitas agar segenap keinginan berbagai kelompok dapat
tertampung serta terwakilkan.

Salah satu pandangan klasik tentang fungsi Yayasan adalah bahwa


yayasan bertanggung-jawab atas pencarian dana (fundraising), namun telah
kita sadari bahwa karena begitu kompleks dan luasnya organisasi serta
besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi maka pendapat itu
tidak lagi sepenuhnya benar. Pendanaan yang didapat dari Yayasan atau
dari sumbangan pembiayaan perkuliahan (tutition fee) tidak akan pernah
bisa mencukupi untuk menjalankan roda kegiatan universitas, karena itu
Yayasan dan Universitas secara bersama-sama harus secara aktif dan
kreatif mencari sumber-sumber dana lain a.l. melalui kegiatan unit-unit
usaha yang ada di jajarannya (lebih lengkap lihat Williams, 1992).

Senat dan Universitas

Senat sebagai badan normatif tertinggi di fakultas dan universitas


memiliki wewenang dan tanggung-jawab yang besar terhadap proses
pembelajaran serta turut membantu berkembangnya budaya ilmiah serta
budaya kompetisi yang sehat. Namun budaya agar dapat bekerja sama
atau cooperative learning perlu menjadi salah satu tiang pembelajaran baik
secara monodisiplin maupun interdisiplin. Salah satu sebab kegagalan
dari kebanyakan lembaga pendidikan atau pun pemerintah dalam
menghasilkan produk yang maksimal adalah tidak adanya kekuatan

108 Refleksi UKI


What next?

sinergi dari sumber daya manusia yang sebenarnya secara individual


memiliki potensi yang besar.

Yayasan dan Senat dimaksimalkan fungsinya sebagai badan pemberi arah


dan tujuan sedangkan hal-hal yang bersifat keseharian diberikan
wewenang yang penuh kepada badan-badan eksekutif seperti Rektor(at),
Dekan(at), Lembaga dan komisi-komisi yang dibentuk untuk tujuan
tersebut (Gerlach, 2000).

Senat dan Universitas harus rajin mengadakan “uji pasar” atau scanning
melihat gejala atau trends yang terjadi lewat instrumen-instrumen yang
diciptakan untuk hal itu. Pada saat sekarang sulit untuk memiliki pola,
aturan, program atau strategi yang dapat berusia lama dan mampu
menjawab segala tantangan yang ada, karena begitu cepatnya perobahan-
perobahan yang terjadi maka perlu diciptakan budaya di kalangan
stakeholders agar mampu melihat dan menghadapi perobahan sebagai
tantangan bukan ancaman.

Proses Pembelajaran

Kata-kata kunci seperti student-centred learning, cooperative learning, computer


aided learning, dan problem-based learning telah “memaksa” para pengelola
pendidikan tinggi untuk merubah cara pandang lama ke arah yang baru.

Karena proses pembelajaran yang selama ini dikerjakan secara empiris,


“given” serta non-profesional harus dikemas sedemikian rupa sehingga
dengan bantuan teknologi informasi (multimedia, internet), metodologi
pembelajaran yang baru dan inovatif dengan bantuan temuan-temuan
psikologi terapan (mis. Kepintaran emosional, Emotional intelligence; adult
larning, mind-mapping, quantum learning, dll.). Pengembangan kurikulum
yang menjawab tantangan-tantangan di atas merupakan suatu keharusan
dan fleksibilitas menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pembelajaran (Nettleford, 1998; Fremerey dkk. 2000; Wesseler, 2000).

Refleksi UKI 109


What next?

Staf Akademik dan Administratif

Desakan perubahan ilmu dan informasi yang sangat cepat, jumlah


mahasiswa yang semakin bertambah disertai dengan karakteristiknya
yang sangat beragam, kemampuan mengajar disertai dengan metode
pembelajaran yang baru, kemampuan membaca “keinginan pasar” dan
stakeholders adalah sebagian masalah yang harus dihadapi oleh para staf
akademik. Sebab itu peningkatan kemampuan staf akademik dan
administratif harus terus diupayakan melalui program-program
pengayaan dan pertukaran (enrichment, continuing education atau exchange
programs). (Fielden, 1998).

Unit-unit Usaha

Unit usaha yang dimaksud adalah kegiatan unit di UKI yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat menghasilkan pendapatan.
Kegiatan ini dapat juga dibagi atas 2 bagian y.i. unit usaha yang
berhubungan langsung dengan (a) dunia akademik dan (b) non-
akademik.

(a) Unit usaha akademik:

• Rumah sakit, agar lebih ditingkatkan segi


profesionalisme dalam hal pelayanan kesehatan rawat
inap dan rawat jalan. Jangkauan pelayanan harus
diperluas dan segi kualitas selalu diutamakan.
Keterkaitan antara jasa pelayanan serta penelitian juga
harus digali lebih dalam, karena dengan adanya
penelitian-penelitian yang bersifat membantu pihak
pemerintah maupun industri maka dengan sendirinya
dana dari pihak ketiga akan mengalir masuk.

• Jasa penelitian. Penelitian yang dirancang dan


dikerjakan dengan baik dapat mendatangkan tiga hasil

110 Refleksi UKI


What next?

yaitu penambahan wawasan ilmu serta staf terkait,


pemasukan dana pihak ketiga (sponsor) ke institusi dan
bila memungkinkan penelitian tersebut mempunyai nilai
paten maka baik si peneliti maupun institusi bisa
mendapatkan bagi hasil (royalties).

• Jasa konsultasi baik yang dilakukan individu staf


pengajar sesuai bidang keahliannya masing-masing
maupun yang dilakukan secara unit organisasi misalnya
Lembaga Bantuan Hukum, Pusat Pengkajian Epilepsi,
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Lembaga
Penelitian, dll.

• Sejalan dengan usaha konsultasi, program-program


pendidikan tambahan berkala (continuing education) yang
ditawarkan untuk para profesional maupun alumni yang
berkiprah di luar dapat menjadi alternatif yang
bermanfaat. Karena seringkali perusa-haan-perusahaan
mewajibkan karyawan -nya untuk mengikuti kursus
peningkat-an dan sertifikasi, maka UKI dapat menjawab
kebutuhan masyarakat akan hal ini. Kursus ini pun
dapat ditawarkan secara virtual (online). Sehingga tidak
terbatas hanya pada lokasi Jabotabek tapi bahkan bisa
menjangkau seluruh Indonesia.

(b) Unit usaha non-akademik:

• Penerbitan dan percetakan (Publishing house). Unit


Percetakan yang sekarang terbengkalai sudah
selayaknya dikelola kembali secara profesional, karena
unit ini dapat menjadi media penyebaran ilmu dan
informasi yang dilakukan oleh sivitas akademika (ada
suatu adagium: “publish or perish!”, artinya untuk
menunjukkan eksistensi seorang dosen atau sebuah

Refleksi UKI 111


What next?

organisasi maka dia atau organisasi tersebut harus


secara rutin menyiarkan informasi) sekaligus bisa
menjadi sumber pendapatan universitas yang cukup
baik karena kebutuhan akan barang cetakan selalu
dibutuhkan baik untuk keperluan internal maupun
eksternal.

• Penyewaan gedung/ruangan untuk tujuan seminar,


konferensi, pertunjukan, dll. Salah satu kegiatan bisnis
yang mengemuka saat ini adalah kegiatan pengelolaan
pertemuan ilmiah & bisnis yang dikaitkan dengan segi
pariwisata. Banyak sekali perguruan tinggi di luar negeri
melakukan kegiatan ini dikaitkan dengan kegiatan-
kegiatan kalender akademik serta musim (di luar negeri)
mis. Summer course on Drug Policy, Spring Conference on New
Paradigms of Teaching and Learning, dll.

• Biro perjalanan (UKI-Travel)

• Jasa boga. Bila dihitung jumlah orang yang berinteraksi


di kampus UKI sekitar 8000 orang maka sudah
selayaknya dipikirkan untuk mendirikan unit usaha jasa
makanan dan minuman (boga) yang dikelola secara
profesional yang memperhatikan segi-segi kesehatan,
kebersihan, harga yang murah dan pelayanan yang
ramah.

Unit-unit usaha non akademik dapat dikelola di bawah koperasi atau


bentuk badan usaha lainnya yang mengikutsertakan segenap komponen
universitas sebagai pemegang saham.

Namun sangat perlu diperhatikan bahwa sebelum unit-unit usaha


tersebut dijalankan sebaiknya dilakukan penetapan-penetapan peraturan,
prosedur, tata-cara laporan keuangan serta pembagian hasil dan tentu

112 Refleksi UKI


What next?

harus dilandaskan pada azas akuntabilitas dan transparan. Perlu juga


dipikirkan agar disetiap unit usaha yang non akademik ditempatkan
manajer-manajer yang kompeten yang berorientasi pada hasil.

Bacaan

Downs A. (1998) Seven miracles of management. Prentice Hall Press.


Paramus, NJ., USA.

Fielden J (1998) Thematic debate: Higher education staff development: A


continuing mission. Kertas kerja dalam World Conference on Higher
Education, UNESCO, Paris 5-9 October 1998.

Fremerey M, Amini S, Wesseler M. Developing a systems-oriented model of


teaching and learning on a faculty level. Makalah dalam Bonn Conference
on International University of Development 2000, 27 Agustus-3
September 2000, Bonn – Jerman.

Gerlach J (2000) Change management organizing new patterns of higher education.


Makalah dalam Bonn Conference on International University of
Development 2000, 27 Agustus-3 September 2000, Bonn – Jerman.

Heller R. (1998) Managing change. Dorling Kindersley. London, UK.

Jaffe DT dan Scott CD. (1999) Getting your organization to change. Crisp
Publications, Menlo Park, CA, USA.

Lewis RG dan Smith DH. (1994) Total quality in higher education. St. Lucie
Press, Delray Beach, Florida, USA.

Matthews WE (1993). The missing element in higher education. Journal


for quality Participation 16: 102-108.

Refleksi UKI 113


What next?

Nettleford R (1998) Thematic debate: Mobilizing the power of culture. Kertas


kerja dalam World Conference on Higher Education, UNESCO,
Paris 5-9 October 1998.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999


tentang Pendidikan Tinggi.

Teichler, U. (1999) Higher education policy and the world of work:


changing conditions and challenges. Higher Education Policy 12: 285-
312.

Teichler, U. (2000) New Challenges for Universities in the next two decades.
Makalah dalam Bonn Conference on International University of
Development 2000, 27 Agustus-3 September 2000, Bonn – Jerman.

Wesseler, M (2000) From “Controlled intervention” to “Synergetic co-ordination”.


Some lessons from a case study in curriculum development. Makalah dalam
Bonn Conference on International University of Development
2000, 27 Agustus-3 September 2000, Bonn – Jerman.
White, A. (1996) Continuous Quality Improvement. Piatkus, London.

Williams, G (1992) Changing patterns of finance in higher education

In today’s context,
Knowledge is no longer just about
learning new things.
It is the ability to learn, unlearn and
to re-learn

114 Refleksi UKI


Catatan Penutup

Krisis Kepercayaan dan Aktualisasi Kepemimpinan


Universitas

N
egeri kita saat ini sedang dilanda petaka budaya yang hebat.
Semua warga kehilangan orientasi, tak tahu mau ke mana
mencari jalan ke luar yang tepat. Para pemimpin sering merasa
bingung harus berbuat apa, dan warga biasa gelisah mau apa sebenarnya
para pemimpin itu. Krisis total, begitu keadaan ini sering disebut.
Karenanya, rakyat secara keseluruhan meneriakkan perlunya reformasi.
Sebuah reformasi buat segala-galanya. Reformasi total! Reformasi adalah
perobahan, perombakan, pembaharuan.
Apa yang terjadi dalam kehidupan kenegaraan itu, juga terjadi di dunia
pendidikan. Perguruan tinggi terutama, telah dilanda krisis
kepemimpinan. Dosen menjual out-line skripsi, mahasiswa membayar
‘biaya khusus’ untuk setiap kali ia konsultasi, dan hidup kepepet di
kalangan dosen dan karyawan bukan lagi hal yang aneh. Apa yang terjadi
sebetulnya?
Menurut penulis, ada yang keliru dengan sistem kita. Roh Orde Baru
yang totaliter dan tertutup itu rupanya juga menyerbu ke dunia perguruan
tinggi. Pimpinan menjadi segala-galanya. Sementara warga atau pegawai
tak bisa apa-apa. Kalau di lingkungan negara ada gerakan untuk kembali
memberikan kekuasaan kepada kedaulatan warga, maka demikian juga di
dunia pendidikan.
Kita akan melihat ‘kesamaan’ perlunya reformasi itu di lingkungan
universitas. Sebab di universitas juga sedang terjadi krisis – para
pimpinan, rektor dan pemimpin-pemimpin lain – sudah tidak
sepenuhnya dipercaya lagi oleh sivitas akademika. Mereka dianggap tak
mampu membangun universitas menjadi semacam wadah untuk orang
mengembangkan diri. Tidak tampak aktualisasi diri. Mereka tak mampu
mengarahkan ‘gerbongnya’ ke arah yang semestinya, sehingga semua
Catatan penutup

orang yang ada di dalamnya sampai ke tempat tujuan dengan baik. Tidak
ada yang kegerahan atau kehausan ketika perjalanan itu sedang
berlangsung.
Untuk itu perlu dilakukan perubahan agar semuanya pemimpin bisa
mengaktualisasikan dirinya. Di universitas, reformasi kepemimpinan itu
perlu dilaksanakan sejalan dengan reformasi demokrasi, reformasi
peraturan-peraturan, dan reformasi sistem pengawasan oleh warga atau
anggota sivitas akademika melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Ketiga reformasi di atas mengandung arti koreksi total dan
pengembangan sistem serta pelaksanaan masing-masing berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang ada: memperbaharui peraturan universitas,
meninjau keputusan-keputusan yayasan, melihat kembali Rencana Induk
Pengembangan (RIP), menuliskan dengan baik dan cermat Rencana
Anggaran Universitas, dsb.
Dalam reformasi peraturan-peratutan – terutama yang prinsip dan
bersifat mendasar – perlu dijernihkan dan ditertibkan agar ada kejelasan
langkah. Misal soal hubungan kerja dengan Yayasan. Beberapa tahun
terakhir ini muncul permasalahan yang pelik dan menyulut beragam
konflik, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Perlu diatur tata tertib yang jelas dan gamblang (clear and distinct)
berkenaan dengan penggantian jabatan Rektor, Dekan, dll. Juga
mengenai soal mandataris atau pejabat perlu ditegaskan apakah
kedudukan itu memiliki kewenangan-kewenangan ekstra, di samping
kewenangan rektor berdasarkan peraturan tsb. Ini semua perlu
dijernihkan demi ketertiban pelaksanaan peraturan dasar tsb. di masa
depan.

Krisis Kepercayaan
Krisis di berbagai universitas diakumulasi oleh krisis negara atau
pemerintah, dan menjalar menjadi krisis ekonomi dan juga krisis sosial-
emosional. Terjadilah krisis kepercayaan ke segala arah: kepada
yayasan, kepada semua institusi rektorat dan dekanat, dan menjalar
kepada krisis antar-kita sesama warga UKI. Krisis ini harus segera diatasi.

116 Refleksi UKI


Catatan penutup

Ia tidak boleh terlalu lama sebab ia akan menjurus ke arah disintegrasi


total dari kehidupan sivitas akademika. Keadaan seperti itu akan berubah
terbalik menjadi counter-reform. Orang menjadi apatis, mahasiswa tak lagi
datang mendaftar, undangan seminar tak lagi dikirimkan, dan ketika
proyek-proyek disebar, kita hanya jadi penonton. Kedaan seperti ini akan
menyebabkan banyak kerugian: rektorat tak sanggup mengirim dosen
untuk studi lanjut. Tak sanggup mendanai festival band, kompetisi bola
basket, perlombaan baca puisi, dan hal-hal kecil lain yang remeh tapi
penting.
Persoalan kita adalah, mengapa bisa demikian? Bisakah ketiadaan
dana menjadi alasan yang tepat? Ada apa yang salah dengan mereka, para
pemimpin perguruan tinggi termasuk UKI? Tidak bisakah mereka
mencari ke luar jika di dalam sedang sesak keberatan beban? Dan
menyikapi itu semua, kita tiba pada kesimpulan bahwa hanya kita sendiri
yang dapat mengatasi serta menyelesaikannya. Tidak ada orang lain!
Untuk itu diperlukan suatu kepemimpinan yang kuat yang didukung oleh
seluruh warga.

Kepemimpinan yang Sehat


Yang disebut sebagai ‘leadership challenge’ adalah bagaimana para
pemimpin meraih hal-hal yang diimpikan itu, yang sifatnya ‘extraordinary’,
ke dalam organisasi. Kalau saat ini banyak sekali tantangan yang
dihadapi, baik dari luar maupun dari dalam, maka hal itu tidak
sepantasnya untuk dihindari; melainkan sebaliknya kita harus mengubah
kesempatan-kesempatan yang menantang itu menjadi sukses yang
remarkable.
Harus jujur kita akui bahwa berbagai kesempatan yang menantang
tak pernah habis tersedia di lingkungan kerja dan di lingkungan hidup
kita. Kesempatan-kesempatan itu adalah undangan bagi semua orang
untuk tampil memimpin. Selama ini kita tahu bahwa ada banyak sekali
kesempatan untuk merebut market shares yang hilang begitu saja karena
kita tak siap. Kita tak pernah merancang dengan serius pasar kita,
sehingga kita tenggelam dan lenyap dalam pergulatan persaingan.

Refleksi UKI 117


Catatan penutup

Kesempatan semacam itu memang menuntut kita untuk mau


menginvestasikan tenaga dan pikiran demi mencapai produk yang yang
menjanjikan. Kita dituntut untuk menjadi tanggap dan cerdas terhadap
berbagai hal yang sedang berlangsung. Kita diajak untuk ikut sambil
membangun dan membesarkan rumah kita, UKI. UKI harus mampu
menawarkan pelayanan yang tak tertandingi kepada para pelanggan.
Saatnya bagi UKI untuk masuk ke lembaran baru: menjadi dinamis dan
revolusioner sekaligus. Letak UKI yang sangat strategis, menjadi aset
yang luar biasa berharga. Marilah kita sepakat dan serius untuk
mengawali suatu kinerja baru secara menyeluruh bagi kebangkitan
sebuah universitas kristen di Jakarta, kota dengan penduduk 12 juta!
Bertanya soal kebutuhan akan perlunya perubahan kinerja UKI, maka
kita semua setuju. Akan tetapi ketika pertanyaan itu dilanjutkan,
bagaimana dan dengan apa akan dimulai, maka kita yang menjadi ragu
atau bahkan pesimis. Ya, kita harus mencari pemimpin. Pemimpin ini
yang akan membawa seluruh sivitas akademika ke luar dari tantangan ini
semua.
Kita percaya munculnya keraguan pada dasarnya bukan disebabkan
oleh tiadanya keberanian atau tiadanya kompetensi, melainkan
merupakan akibat paham tentang kepemimpinan yang sudah kuno dan
usang, misalnya kita sudah diajar bahwa pengelolaan tradisional membuat
kepemimpinan kita menjadi tidak efektif, dan bahwa setiap paham
populer tentang kepemimpinan hanyalah sebuah mitos. Pemimpin tidak
selalu harus muncul, yang penting adalah kekuatan masing-masing orang.
Benarkah paham ini?
Tantangan kepemimpinan kita yang pertama adalah diri kita sendiri;
dari tradisi dan mitos-mitos yang beredar di lingkungan kita selama ini.
Lingkungan kita memang sering membangun model kepemimpinan yang
anti-teori dan mengoperasikannya dalam hidup sesungguhnya.
Lingkungan juga menciptakan batasan-batasan yang tak perlu bagi
revitalisasi esensial dari hidup bersama kita. Akibatnya, orang muda
menjadi segan tampil bila yang tua masih ada. Orang tua akan
tersinggung bila gagasannya tidak dilaksanakan. Begitu seterusnya.

118 Refleksi UKI


Catatan penutup

Mitos, Tradisi, dan Realitas


Ajaran manajemen tradisional membuat kita percaya bahwa organisasi
yang ideal cenderung bersifat teratur dan stabil. Namun ketika para
pemimpin yang sukses bicara tentang kehidupan pribadi mereka beserta
dengan capaian-capaian mereka yang terbaik, mereka selalu bicara
tentang tantangan dan proses, yakni tentang hal-hal yang berubah, yang
bergejolak dan yang mengguncang hidup mereka. Dalam kesaksian
mereka, pengalaman itu juga masuk ke dalam lingkungan organisasi
mereka.
Pada saat yang sama, mitos kepemimpinan juga menggambarkan para
pemimpin sebagai seorang renegade. Renegade yang menyihir
segerombolan pengikut dengan keberanian bertindaknya. Memang, para
pemimpin itu sangat mempesona pengikut bukan karena kepahlawanan
yang membuat orang lain berdecak-decak, melainkan karena para
pengikut itu juga menaruh hormat yang dalam kepada aspirasi-aspirasi
yang diperlihatkan oleh seorang pemimpin renegade.
Ajaran manajemen tradisional memfokuskan perhatian kita kepada
peristiwa jangka pendek, yakni semacam analisis-analisis Wall Street,
pernyataan kuartalan, dan laporan tahunan. Namun, dalam kasus
kepemimpinan yang telah kita pelajari, semua pemimpin efektif memiliki
orientasi masa depan jangka panjang. Mereka melihat apa yang ada di
balik horison masa kini.
Sebuah ceritera rakyat yang baru, yang mengembangkan
kepemimpinan, menggambarkan para pemimpin sebagai seorang
penglihat yang precient dengan kekuatan macam Merlin. Untuk pastinya,
pemimpin harus memiliki visi, yakni sebuah perasaan mengarahkan,
namun visi itu tak boleh memperlihatkan penglihatan yang bersifat
psikis. Hal itu bisa saja berasal dari pemikiran orisinil, namun bisa juga
merupakan representasi dari inspirasi orang lain. Dan itu bisa saja
bersifat celestial mamupun mendunia.
Manajemen tradisional mengajar kepada kita bahwa seorang
pemimpin haruslah seorang yang kalem, lembut, dan analitis cerdas –

Refleksi UKI 119


Catatan penutup

sanggup memisahkan emosi dari kerja. Akan tetapi, ketika pemimpin


mendiskusikan segala sesuatu yang mereka paling banggakan dalam karir
mereka, mereka menjelaskan perasaaan tentang inspirasi, semangat,
gejolak, kegeraman, intensitas, tantangan, kepedulian, kebaikan hati, dan
bahkan cinta-kasih.
Mitos kepemimpinan menyatakan bahwa pemimpin adalah mereka
yang ‘kharismatik’, dan bahwa mereka itu memiliki kemampuan-
kemampuan khusus (yang tidak dimiliki orang lain). Hal ini akan
mengakibatkan penghargaan kita kepada para pemimpin menjadi rusak,
dan yang paling jelek hal ini dapat mengarah kepada pemujaan seorang
hero atau pengkultusan individu. Yang pasti, pemimpin itu harus enerjik
dan penuh antusias. Akan tetapi, dinamika seorang pemimpin tidak
datang dari kekuatan khusus. Ia lahir dari kuatnya keyakinan terhadap
tujuan serta adanya kemauan untuk mengungkapkan keyakinan tersebut.
Ajaran manajemen tradisional menyebutkan bahwa tugas manajemen
yang paling utama adalah pengawasan. Mengontrol sumber daya,
termasuk waktu, uang, barang-barang, dan manusia atau orang.
Pemimpin tahu bahwa semakin dalam mereka mengontrol orang lain,
nampaknya semakin cetek orang-orang menurutinya. Karena itu memang
pemimpin tidak mengontrol. Mereka hanya memampukan orang lain
untuk bertindak.
Mitos kepemimpinan menyatakan bahwa di puncak, orang akan
sendirian. Ini tidak benar. Pengalaman membuktikan bahwa pemimpin
yang paling efektif, biasanya terlibat dan bersentuhan dengan anak buah
yang dipimpinnya. Para pemimpin itu cenderung sangat memperhatikan
orang lain, dan sering menganggap mereka yang bekerja dengannya
sebagai keluarga.
Tradisi menyatakan bahwa pemimpin mengarahkan dan mengontrol
orang lain dengan cara memberi perintah-perintah serta dengan
menerbitkan berbagai kebijakan dan prosedur. Akan tetapi kita tahu
bahwa perilaku pemimpin adalah jauh lebih penting daripada
perkataannya. Kredibilitas bertindak merupakan satu-satunya penentu
yang paling berarti apakah seorang pemimpin itu akan diikuti untuk

120 Refleksi UKI


Catatan penutup

seterusnya atau ia perlu ditinggalkan. Selain itu, mitos mengkaitkan


kepemimpinan dengan kedudukan tinggi. Diasumsikan bahwa ketika
orang berada di posisi atas, maka secara otomatis ia telah menjadi
pemimpin. Namun ternyata bahwa kepemimpinan bukanlah soal tempat,
melainkan sebuah proses. Ia memerlukan ketrampilan dan kemampuan
yang berguna ketika seseorang itu ada di ruang eksekutif atau di garis
depan.
Dalam realitas, kepemimpinan memang bersifat oxymoronic. Bagi
banyak orang, memimpin memang merupakan a heated affair (soal yang
panas), penuh dengan exhilaration dan menyenangkan. Namun memimpin
juga sangat melelahkan, menjengkelkan, membuat stress, dan
membosankan. Kepemimpinan adalah sebuah semangat yang disiplin.
Tujuan dasar dari tulisan ini – kepemimpinan – adalah untuk
membantu baik para pengelola maupun warga biasa dalam
meningkatkan kemampuan mereka untuk memimpin orang lain agar
memperoleh segala sesuatu yang lain dari yang lain. Tujuan umum para
pemimpin untuk memperluas kemampuan kepemimpinannya adalah a.l:
• meyakini kekuatan dan kelemahan kita sebagai pemimpin
• belajar bagaimana menginspirasi dan memotivasi orang lain agar
terarah kepada tujuan bersama
• memperlengkapi kemampuan dalam membangun sebuah team yang
bersemangat dan kohesif
• menyimpan pengtahuan dan pelajaran ini untuk digunakan secara
lebih ajeg

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menjadi pemimpin yang berhasil,


adalah menjawab tantangan proses, menginspirasi visi bersama,
memampukan orang lain untuk bertindak, merumuskan cara, dan
menguatkan hati.

Komitmen dan prakteknya


Banyak orang berpendapat bahwa orang yang baik mendambakan
kepemimpinan yang baik. Di bawah ini kita akan membicarakan praktek-

Refleksi UKI 121


Catatan penutup

praktek kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh seorang pemimpin


yang ingin berhasil. Setelah kita mendalami dinamika sebuah proses,
maka ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Hal itu antara lain adalah,

Menjawab tantangan sebuah proses. Kepemimpinan adalah suatu


proses yang aktif, bukan pasif. Ketika banyak pemimpin mengira bahwa
keberhasilan mereka adalah sebuah ‘nasib baik’ atau karena ‘menjadi
orang yang tepat di tempat yang tepat pada waktu yang tepat’, tak
satupun dari mereka yang hanya duduk menganggur dan menunggu
nasib baik menghampiri mereka. Meski kompetensi yang jelas dari
seseorang mungkin tepat dengan kebutuhan saat itu, namun mereka yang
memimpin orang lain ke kebesaran pada dasarnya mencari tantangan.
Tantangan itu bisa berupa inovasi sebuah produk baru, suatu re-
organisasi, atau suatu pembalikan, namun secara umum semua kasus itu
pada dasarnya melibatkan sebuah perubahan dari kondisi status-quo.
Demikianlah, para pemimpin itu pada dasarnya terlibat dalam menantang
sebuah proses.
Pemimpin adalah pionir. Merekalah orang-orang yang ingin
melangkah keluar dari ketidak-tahuan dan kebuntuan. Mereka
merupakan orang-orang yang mau mengambil resiko, untuk menemukan
dan mengalami demi memperoleh cara yang baru dan yang lebih baik
untuk menangani sesuatu. Namun pemimpin tak harus menjadi seorang
pencipta atau penemu dari produk-produk baru atau proses-proses kerja
yang baru. Pada kenyataannya, memang begitu. Inovasi produk
cenderung berasal dari pelanggan, vendors, dan pekerja. Inovasi proses
cenderung datang dari orang-orang yang melakukan pekerjaan itu.
Sumbangan utama dari pemimpin adalah dalam hal pengakuan akan
gagasan-gagasan yang baik, mendukung gagasan-gagasan itu, dan
keinginan untuk menantang sistem demi memperoleh produk-produk baru,
proses-proses, dan pelayanan yang diambilnya. Dalam hal ini, mungkin
lebih akurat untuk menyebut mereka sebagai pengambil langkah awal
dari penemuan itu.

122 Refleksi UKI


Catatan penutup

Menggagas dan memperkenalkan sebuah Visi Bersama. Tugas


pemimpin pada hakekatnya adalah ‘menciptakan visi’. Setiap organisasi,
setiap gerakan sosial, dimulai dengan sebuah cita-cita atau impian.
Impian itu atau visi adalah daya yang menabung bagi masa depan.
Pemimpin berupaya untuk menerobos horison waktu,
membayangkan apa yang akan terjadi ketika mereka tiba pada tujuan
akhir itu. Sebagian orang menyebut hal ini sebagai visi; yang lain
menjelaskannya sebagai tujuan, misi, sasaran, bahkan sebagai agenda
pribadi. Apapun itu namanya, ada sebuah kerinduan untuk membuat
sesuatu itu ada atau terjadi, yakni mengubah cara-cara yang ada,
menciptakan sesuatu yang belum pernah diciptakan sebelumnya.
Dalam arti ini terkadang pemimpin tampak hidup di masa lalu.
Mereka melihat sebuah gambar dalam benaknya mengenai bagaimana
akibat yang akan timbul meski mereka belum memulai proyek itu; mirip
seorang arsitek yang membuat blue-print atau seorang insinyur yang
merancang model. Bayangan mereka yang jelas tentang masa depan
menarik mereka ke depan. Namun visi yang hanya dapat dilihat oleh
pemimpin itu tidaklah mencukupi untuk menciptakan sebuah gerakan
yang terorganisir atau tak mencukupi untuk menciptakan sebuah
perubahan berarti dalam sebuah lembaga. Seseorang yang tanpa pengikut
bukanlah pemimpin. Dan orang tak akan menjadi pengikutnya sampai
mereka menerima sebuah visi sebagai milik mereka sendiri. Kita tak bisa
memerintah komitmen, kita hanya bisa menggagasnya.
Pemimpin adalah orang yang menggagas dan memperkenalkan
sebuah visi bersama. Ia berupaya sedemikian rupa sehingga memahami
apa yang menjadi harapan dan impian orang lain, dan memampukan
mereka itu untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang mendebarkan
berkenaan dengan masa depan yang mereka pegang. Pemimpin
menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa mereka bisa membeli
impian itu dengan memperlihatkan bagaimana semua itu akan tercapai
bila ada tujuan bersama.
Ada ungkapan yang mengatakan ‘know your followers and speak their
language’. Demikianlah orang harus percaya bahwa kita tahu kebutuhan

Refleksi UKI 123


Catatan penutup

mereka dan juga memiliki keinginan-keinginan mereka dalam hati. Hanya


melalui suatu kedekatan dan pengertian yang mendalam akan impian-
impian mereka, harapan-harapan mereka, aspirasi mereka, visi mereka,
dan nilai-nilai mereka, maka barulah pemimpin itu mampu mendaftar
dan memperoleh dukungan mereka.
Sebuah pepatah kuno Texas mengatakan ‘anda tak bisa menyalakan
api dengan korek yang basah’. Pemimpin tak bisa memantik api
semangat dalam diri para pengikut bila ia sendiri tidak memperlihatkan
keinginannya berkaitan dengan visi kelompoknya itu. Pemimpin
mengkomunikasikan semangatnya melalui bahasa yang padat dengan cara
yang ekspresif. Orang per orang yang penulis temui menyatakan bahwa
mereka sungguh sangat antusias mengenai aktivitas pribadi mereka yang
terbaik. Di sinilah mereka menangkap kerinduannya sendiri. Namun
sebenarnya hal itu datang dari sang pemimpin yang merasuk kepada anak
buah pengikutnya. Keyakinan sang pemimpin itu sendiri dalam dan
antusiasmenya terhadap sebuah visi merupakan pancaran yang memantik
api inspirasi bagi gagasan tersebut.

Memampukan orang lain bertindak. Pemimpin tak meraih sukses


karena dirinya sendiri. Ia memperoleh dukungan dan bantuan dari semua
yang harus membuat proyek itu jalan. Pemimpin melibatkan orang-orang
lain – dalam bagian-bagian tertentu, dengan cara-cara tertentu – agar
sebuah kegiatan berjalan. Ia harus mendorong kerjasama, membangun
team, and memberdayakan mereka. Ia harus memampukan orang lain
untuk bertindak.
Perasaan sebagai anggota team akan membangun komitmen dan
membuahkan kerja yang produktif. Dampak dari perasaan ini jauh
melampaui pemberian tugas biasa. Di sini anak buah tak pernah merasa
sebagai bawahan. Dan pemimpin akan bekerja dengan relaks.

Merumuskan sebuah cara. Bagaimanakah sebuah perubahan di-


antisipasi dalam sebuah kampus? Sebuah grand dreams tak mungkin
menjadi kenyataan yang berarti bila dijalankan dengan modal semangat

124 Refleksi UKI


Catatan penutup

saja. Pemimpin harus memiliki rencana yang detil. Ia harus mengarahkan


proyek-proyeknya sepanjang waktu, mengukur pelaksanaannya, mencari
dana, dan melakukan koreksi evaluatif terhadap langkah-langkah yang
telah diambil. Untuk itu latihan-latihan adalah perlu. Saat ini kita
memerlukan tugas-tugas kepemimpinan bila seseorang harus
mengarahkan sebuah kursus untuk melakukan kegiatan. Di sinilah
pemimpin perlu merumuskan sebuah cara.. Ketika para peimpinan
memuji bawahannya, maka pada saat itu bawahan akan memuji
atasannya. Test yang mereka gunakan sederhana sifatnya: Adakah para
pimpinan itu melaksanakan apa yang diomongkannya sendiri? Ini artinya
bawahan itu mengikuti cara lewat perencanaan dan bimbingan dengan
contoh.
Untuk memimpin dengan contoh, pemimpin pertama-tama harus
jelas dulu mengenai proyek-proyek yang diperkenalkannya. Mungkin saja
pimpinan bicara indah tentang visi dan nilai-nilai, namun bila perilakunya
tidak konsisten dengan keyakinan-keyakinan yang dinyatakannya, maka
orang-orang akan dengan pasti kehilangan respek terhadapnya.
Pemimpin harus menjadi role model, peran contoh yang menegaskan nilai-
nilai organisasional dan pengelolaan yang dirasa sangat penting.
Menjadi pemeran contoh berarti menaruh perhatian kepada apa yang
kita sendiri yakini sebagai penting. Artinya, kita harus menunjukkan
kepada orang lain lewat perilaku nilai-nilai yang kita yakini tersebut.

Menguatkan hati. Untuk mencapai puncak, orang perlu menempuh


jalan yang panjang dan berliku. Orang bisa saja lalu menjadi lelah,
frustrasi, dan putus-asa. Pemimpin hendaknya menguatkan hati anak
buah pengikutnya untuk terus maju bertahan. Ini perlu supaya bersama-
sama mereka sanggup meneruskan perjalanan yang masih panjang itu.
Tentu saja, tak perlulah kiranya untuk menjadi begitu dramatis dalam
menawarkan penguatan tersebut. Hal-hal yang sederhana dapat saja
menciptakan reaksi-reaksi yang memadai. Misalnya kita bisa melakukan
sesuatu yang ‘surprising’: makan rujak bersama, memberi oleh-oleh kecil
ketika pulang dari perjalanan dinas, atau menyediakan papan flanel

Refleksi UKI 125


Catatan penutup

sebagai tempat menempelkan kartu-kartu ucapan, mengunjungi rumah


anak buah, dsb. Bisa juga pada acara-acara tertentu, dibagi T-Shirt khusus
kepada bawahan untuk dipakai bersama menyambut Natal, misalnya.
Kata-kata dari boss yang menulis kepada bawahan ‘Saya dengar ada
berita bagus untukmu’ sungguh sangat menguatkan bila kata-kata macam
ini tak saja dikirimkan kepada pejabat dan pegawai melainkan juga
kepada satpam dan petugas minuman. Dan masih ada segebok ‘conceivable
award’ lain yang bisa kita berikan, tak perlu harus lewat percakapan-
percakapan pribadi yang sifatnya tertutup, yang hanya akan mengundang
kecurigaan umum, padahal tidak ada apa-apa.
Orang tak mengawali pekerjaannya setiap hari dengan keinginan
untuk kalah dan rugi. Adalah bagian dari tugas sang pemimpin untuk
menunjukkan bahwa anak buahnya bisa menang dan berhasil. Ada
banyak contoh berkenaan dengan penerimaan atau pengakuan individual
ini. Kartu ucapan tadi, T-Shirts, atau satu dos gula-gula sebagai personal
thank-yous adalah bukti yang nampak dari usaha kita untuk menguatkan
hati bawahan agar mereka setia dan teguh sampai menang. Bila orang-
orang itu mencium bau pretensi yang tak enak, maka mereka akan
berbalik dan pergi meninggalkan kita, sang pemimpin. Akan tetapi
perbuatan yang tulus akan kepedulian dan perhatian menarik orang
untuk bertahan maju dan bertumbuh untuk sukses.
Ada satu aspek lagi mengenai penguatan hati ini: yakni penguatan
yang diberikan sang pemimpin kepada dirinya sendiri. Misalnya, bila tak
keberatan, pemimpinlah yang pertama datang ke kantor. Pemimpinlah
yang pertama datang ke ruang rapat. Tapi ini tentu saja tak mesti terus-
terusan dilakukan mengingat sifat pekerjaan pemimpin yang pada saat ini
sungguh menyita enerji.

Soal Kredibilitas
Jujur, kompeten, menatap ke depan, penuh gagasan, adalah kualitas yang
perlu dimiliki oleh seorang pemimpin sebagai dasar untuk membangun
keberhasilan. Dalam gabungan bersama, hal itu akan membuahkan
kredibilitas atau kemampuan. Orang-orang yang bekerja sebagai

126 Refleksi UKI


Catatan penutup

penyampai berita, manager, petugas penjual (salesman), dosen, rektor,


diharapkan memiliki tiga kriteria penting, yakni: dapat dipercaya,
berpengalaman, dan dinamis. Mereka yang beroleh penilaian tinggi di tiga
dimensi ini dianggap sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya.
Tiga sifat di atas secara agak mengagetkan sama maknanya dengan
kejujuran, berkemampuan, dan penuh gagasan. Saat ini kita memerlukan
pemimpin-pemimpin yang kredibel, yang dapat dipercaya. Hal ini
disebabkan karena kita perlu mempercayai para pemimpin kita. Kita
harus yakin bahwa kata-kata mereka dapat dipercaya, bahwa mereka akan
melakukan yang mereka sendiri katakan, bahwa mereka memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin, dan bahwa mereka
secara pribadi sangat senang dan antusias berkenaan dengan pengarahan
yang mereka sendiri pimpin dan kepalai.
Charles O’Reilly peneliti dari University of California, Berkeley,
memeriksa kredibilitas dari kelompok pimpinan puncak atau top
management berbagai perusahaan. Dengan menggunakan kriteria ‘dapat
dipercaya, berpengalaman, dan dinamis’, O’Reilly mengukur seberapa
tingginya kredibilitas pimpinan puncak menurut pendapat para pekerja.
Lalu ia juga meneliti hubungan antara kredibilitas anggota manajemen
atas dengan komitmen para pekerja berkenaan dengan nilai-nilai dasar
bersama – yang disebutnya sebagai ‘moral involvement’. Ia mendapati bahwa
ketika para pekerja nilai manajemen sebagai bisa dipercaya, maka mereka
juga menampakkan tingginya tingkat percaya diri. Dari studi ini O’Reilly
menyimpulkan bahwa ketika manajemen atas dianggap memiliki
kredibilitas tinggi dan punya keyakinan yang kuat, para pekerja
cenderung lebih bangga untuk memberitahu orang lain bahwa mereka
adalah bagian dari organisasi itu, menceritakan hal-hal yang bagus
tentang organisasinya itu kepada teman-temannya, melihat nilai-nilainya
sendiri sebagai sama dengan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi,
memiliki rasa memiliki terhadap organisasi itu.
Namun ketika para pimpinan puncak itu dinilai sebagai memiliki
kredibilitas rendah, maka para pekerja cenderung menganggap bahwa
para pekerja di perusahaan lain bekerja hanya kalau diawasi, motivasi

Refleksi UKI 127


Catatan penutup

utamanya adalah uang, bicara hal-hal yang baik tentang organsasinya itu
ketika bekerja, namun merasa lain bila sendiri, cenderung mencari
pekerjaan lain bila organisasi menghadapi saat-saat yang keras.
Demikianlah studi ini menunjukkan bahwa kesetiaan dan komitmen
para pekerja sangat bergantung pada kredibilitas pimpinan. Namun ada
perbedaan antara penyiar berita dan pemimpin. Memang kita
membutuhkan keduanya itu kredibel agar kita dapat menerima apa yang
mereka katakan, namun terhadap para pemimpin kita membutuhkan
lebih dari sekedar itu. Kita mau agar para pemimpin itu punya
pandangan yang maju - ke depan; bahwa mereka perlu memiliki
rasa/kemampuan untuk mengarahkan, suatu visi untuk masa depan. Kita
menginginkan agar para penyiar berita itu independen ketika melaporkan
apa yang sebenarnya terjadi; kita berharap agar para pemimpin memiliki
titik pandang dan teguh dalam tujuan organisaasi. Kita membutuhkan
wartawan yang sejuk dan obyektif; menginginkan pemimpin yang
mampu mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan yang menantang.
Ketika para pemimpin diharapkan bisa membuat berita, maka para
wartawan itu diharapkan hanya melaporkannya.

Adakah implikasi menjadi pimpinan? Tentu saja. Pertama kita


sebetulnya menaruh pimpinan ke suatu tempat yang sulit/tidak enak.
Kita butuh mereka untuk menjadi kredibel, namun sekaligus kita juga
memberi kontribusi untuk terus-menerus meningkatkan (underpin)
kredibilitas mereka itu dengan cara mengharapkan mereka fokus pada
sebuah arah yang jelas bagi masa depan. Pemimpin hendaknya mau
belajar untuk bagaimana menyeimbangkan keinginannya sendiri untuk
mencapai tujuan-tujuan yang penting dengan kebutuhan-kebutuhan para
pengikutnya agar mereka percaya bahwa pimpinan memiliki kepentingan-
kepentingan terbaik dalam hati.
Kedua, karena kenyataan di atas, maka pimpinan harus selalu bekerja
keras (diligent) dalam mengawal kredibilitas mereka itu. Kemampuan
mereka untuk mengambil posisi yang kuat – untuk menantang status
quo, sambil menunjuk kita arah-arah baru – semuanya bergantung pada

128 Refleksi UKI


Catatan penutup

kredibilitas mereka. Tak seorang pun mau menuruti cara pimpinan bila
mereka meragukan kredibilitas pimpinan tersebut. Kredibilitas adalah
hal yang paling berat untuk dicapai, dan merupakan hal yang paling
rapuh dari kualitas kemanusiaan. Kredibilitas dicapai menit demi menit,
jam demi jam, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tapi kredibilitas
dapat hilang dalam tempo sekejap bila tidak dipelihara. Kita cenderung
ingin mengampuni penyimpangan-penyimpangan kecil, sebuah
tindakan yang tak hati-hati. Tapi akan datang waktunya ketika cukup
adalah cukup. Ketika seorang kehilangan kredibilitas, maka ia akan
menemui kesulitan untuk memperolehnya kembali.

Hakekat Kepemimpinan
Cukup jelas bahwa mayoritas kita setuju dengan tuntutan-tuntutan
kita terhadap para pemimpin. Kita ingin agar mereka kredibel, dan agar
mereka memiliki kepekaan untuk mengarahkan. Bila seseorang harus
memimpin kita, orang itu harus bisa berdiri di depan kita dan penuh
keyakinan mengekspresikan suatu gambaran masa depan yang menarik,
dan kita harus bisa mempercayai bahwa ia memiliki kemampuan untuk
membawa kita ke sana.
Ada begitu banyak hubungan-hubungan yang mengagetkan antara apa
yang pimpinan katakan mereka lakukan saat berada pada tingkat yang
terbaiknya dengan apa yang dikatakan oleh anak buah pengikutnya.
Yang diperlukan oleh UKI saat ini adalah: kejujuran, kompetensi, visi
(kemampuan melihat ke depan), dan inspiring (kreatif, penuh cita-cita
untuk mencari terobosan). Kejujuran membutuhkan integritas. Di sini
seorang pemimpin harus bisa dipercaya. Kompetensi menuntut
kemampuan seseorang untuk mengelola sesuatu secara produktif
sekaligus efisien. Kepemimpinan seorang rektor barangkali harus
inspiring, tegas, dan memfasilitasi bagi langkah-langkah nyata untuk solusi.
Sesuatu yang agak aneh memang, jika membaca tulisan-tulisan yang
ada dalam buku tulisan Dr. Abraham ini. Agak aneh karena tulisan
semacam ini tidak biasa, kalau enggan dikatakan langka. Sebuah tulisan
yang mengungkapkan kegeraman seorang akademisi terhadap

Refleksi UKI 129


Catatan penutup

institusinya, dan negerinya. Tentang kondisi tata negara dan institusi yang
carut marut karena kegagalan para pemimpinnya sendiri. Ia geram
melihat keadaan yang masih belum pas dengan harapan-harapannya.
khususnya tentang UKI yang ia kenal dari kecil. Dengan lugas ia menulis
semua kecacatan tersebut, namun dengan positif juga memberi
pemikiran sebagai sebuah jawaban.
Penulis bangga dengan semangat, pemikiran serta dedikasi Bram
sahabat saya yang lebih muda ini. Keberaniannya mengungkapkan semua
kegeraman tidak disimpan untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk orang
banyak. Agar lebih banyak yang tahu dan mungkin turut gelisah, lalu
turut pula untuk memberikan jalan terbaik bagi bangsa ini, juga bagi
UKI. Penulis sungguh bangga akan dia. Suatu saat nanti, dia harus
menjadi pemimpin di UKI.

Antie Solaiman *

Jakarta, 23 Agustus 2000

* Staf dosen Fisipol UKI, kandidat Doktor dan “aktifis yang tak pernah lelah”
a.l. di Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Pengasuh majalah “Sociae Polites”,
Sekretaris Pokja Mentawai – Lembaga Pelayanan Kepada Masyarakat.

130 Refleksi UKI


Sekilas tentang UKI

K
emerdekaan yang diraih oleh Indonesia tidak lepas dari karya dan
pengorbanan orang-orang Kristen. Salah satu tiang kemajuan
bangsa adalah sumber daya manusia yang terdidik dengan baik.
Para tokoh Kristen pada saat itu terpanggil untuk memberi pelayanan
dengan mendirikan sekolah-sekolah Kristen dari mulai sekolah dasar,
menengah sampai pada pendidikan tinggi.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia yang didirikan pada tanggal 25 Mei


1950 membentuk komisi yang dipimpin oleh Prof. Dr. I.P. Simanjuntak
untuk melakukan studi kelayakan untuk pendirian universitas. Hasil studi
tersebut dituangkan dalam suatu resolusi DGI tanggal 30 Juni 1953
mengenai “Universiteit Kristen”.

Yayasan UKI (YUKI) didirikan oleh Mr. Sutan Gunung Mulia, Yap
Thiam Hien, SH dan Benyamin Philip Thomas Sigar pada tanggal 15 Juli
1953 sebagai amanat dari Sidang Raya Dewan Gereja-gereja di Indonesia
(DGI) di Ambon pada tahun 1952 tentang perlunya partisipasi umat
kristen dalam mengisi kemerdekaan di segi pendidikan khususnya
pendidikan tinggi. Tanggal 15 Oktober 1953 YUKI mendirikan
Universitas Kristen Indonesia dengan motto: “Melayani Bukan
Dilayani”.

Fakultas yang pertama kali didirikan adalah Fakultas Sastra dan Filsafat
dan Sastra dengan sub Fakultas Pedagogik dan sub Fakultas Sastra dan
Fakultas Ekonomi. Pada tahun 1958 didirikanlah Fakultas Hukum
kemudian Fakultas Ekonomi. Karena ada ketentuan pemerintah pada
waktu itu bahwa suatu universitas harus memiliki fakultas eksakta maka
didirikanlah Fakultas Kedokteran pada tanggal 1 Desember 1962 dan
kemudian menyusul Fakultas Teknik pada tahun 1963. Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik merupakan yang termuda diresmikan pada tanggal 9
November 1994.
Sekilas tentang UKI

Gedung kampus UKI yang pertama terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta


bersama-sama dengan Fakultas Psikologi UI dan bersebelahan dengan
PSKD (Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta). Pada tahun 1974
Fakultas Kedokteran dan Teknik menempati kampus baru di Cawang,
Jakarta Timur seluas ± 3 Ha yang sekarang merupakan kampus pusat.
Disamping memiliki tujuh fakultas y.i. Fakultas Keguruan dan
Pendidikan, Sastra, Hukum, Ekonomi, Kedokteran, Teknik dan Ilmu
Sosial dan Politik UKI juga memiliki Rumah Sakit Umum FK-UKI yang
berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan maupun rujukan terutama
untuk kasus gawat darurat; Akademi Perbankan YUKI dan Akademi
Fisioterapi di bawah manajemen fakultas kedokteran.
Selain menyelenggarakan pendidikan strata satu (S1), UKI juga
melaksanakan pendidikan pasca sarjana Magister (S2) bidang Manajemen
Pendidikan dan Hukum.

Di sekitar jatuhnya rezim Soeharto di bulan Mei 1998 sampai dengan


Peristiwa Semanggi berdarah, November 1998, mahasiswa UKI ikut aktif
berdemonstrasi menunjang gerakan reformasi. Salah satu kelompok
perjuangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta yang
menurut media massa paling “progresif” adalah Forkot (Forum Kota),
dan mahasiswa UKI termasuk salah satu komponennya.

Di samping itu, UKI, melalui Kelompok Kerja UKI untuk Gerakan


Reformasi yang merupakan wadah pergerakan para dosen dan karyawan
turut pula berpartisipasi dalam reformasi. Melalui diskusi-diskusi yang
diselenggarakan, yang seringkali diikuti oleh beberapa perguruan tinggi
dan lembaga Kristen lainnya, UKI memberikan beberapa pemikiran.
Pemikiran-pemikiran itu dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku
(1998): “Pernyataan dan Pokok-pokok Pikiran Universitas Kristen
Indonesia dalam Rangka Reformasi Menyeluruh”.

132 Buku Refleksi UKI


Biodata Penulis
Abraham Simatupang dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 18 Juni 1960. Tamat dari Fakultas
Kedokteran UKI tahun 1986 dan sejak 1985
bekerja di UKI sebagai asisten dosen di Bagian
Farmakologi.
Tahun 1991-1993 mengambil program magister
kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta. Penulis mengambil
program Doctor Medizine di Rheinische Friedrich
Wilhelms Universität dengan bantuan beasiswa dari
pemerintah Jerman melalui DAAD (Deutscher Akademischer
Austauschdienst) di kota Bonn dan lulus dengan predikat magna cum laude
pada tahun 1996.

Sejak mahasiswa penulis gemar menulis dan bergelut di pers mahasiswa,


beberapa tulisannya diterbitkan di majalah kampus Panorama, media pers
(Suara Pembaruan) dan majalah PGI. Sedangkan tulisan-tulisan ilmiah di
bidang farmakologi, kolesterol dan pendidikan kedokteran tersebar di
beberapa jurnal kedokteran dan kesehatan baik dalam dan luar negeri.
Aktifitas di organisasi kemahasiswaan a.l. sebagai anggota Badan
Perwakilan Mahasiswa dan Ketua Senat Mahasiswa FK-UKI (1984).

Pelatihan-pelatihan mengenai manajemen dan riset pendidikan tinggi


yang pernah diikuti a.l. University Staff Development Programme, University of
Kassel, Jerman, 1999; Fellowship for Computer-assisted learning at the Faculty of
Medicine, The Free University (Vrije Universiteit), Amsterdam, Belanda, 1998
dan Training on Strategic Programming for Research in University at Santoso
Consulting for Academic Development (SCAD), Yogyakarta, 1996.

Selain aktif di berbagai organisasi profesi di luar UKI, jabatan yang


dipangku sejak 1998 adalah Staf Ahli Rektor Bidang Kerjasama, Ketua

Buku Refleksi UKI 133


Biodata Penulis

Lembaga Penelitian UKI, Presiden Deutsch-Indonesische Gesellschaft fuer


Medizin (DIGM/German-Indonesian Medical Association) disamping sebagai
anggota Senat UKI dari perwakilan dosen Fakultas Kedokteran.
Penulis telah menikah dengan Ied Veda R. Sitepu, MA, staf pengajar
sastra Inggris dan dikaruniai Tuhan anak dua orang puteri.

Penulis bisa dihubungi lewat electronic mail (email):


brami60@yahoo.com atau bram_simatupang@yahoo.com.
Penulis juga memiliki e-learning portal dengan alamat:
http://e-pharmacology.tripod.com/

134 Buku Refleksi UKI

You might also like