You are on page 1of 17

Tugas Antropologi kesehatan

Kesurupan dalam dunia kesehatan (sebuah kritik tentang culture bound phenomena)

NAMA NIM KELAS

: Josef Kristian Pakku : K11109255 : A

Jurusan promosi kesehatan dan ilmu perilaku FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN 2011

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah-Nya sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Makalah dibuat dalam rangka tugas sekaligus final test untuk mata kuliah Antropologi Kesehatan. Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Sungguh merupakan suatu hal yang membahagiakan penulis dapat

menyelesaikan makalah ini, walaupun demikian penulis tetap menyadari bahwa apa yang tertuang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu sumbangan pemikiran berupa kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengucapkan selamat membaca, semoga dapat berguna bagi semua pihak.

Makassar,

Mei 2011

Penulis

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i DAFTAR ISI.ii BAB I PENDAHULUAN.1 I.1 Pendahuluan....1 BAB II LANDASAN TEORI....3 II.1 Kesurupan..3 II.2 Culture Bound Phenomena....4 II.3 Etik dan Emik5 BAB III PEMBAHASAN.8 III.1 Kesurupan dan budaya dari tinjauan etik dan emik..8 III.2 Kesurupan dan kesehatan mental masyarakat....10 III.3 Kesurupan dalam penelitian kualitatif11 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.13 IV.1 KESIMPULAN.13 IV.2 SARAN.13 DAFTAR PUSTAKA......14

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1 Pendahuluan Fenomena kesurupan massal seolah menjadi peristiwa yang lazim terjadi di masyarakat Indonesia. Dalam satu bulan, peristiwa yang sama terjadi beberapa kali, yaitu di Yogyakarta (6/3), Surabaya (20/3), Banjarmasin (20/3), dan Bogor (21/3). Dan peristiwa ini sudah terjadi sejak dua tahun belakangan ini. Bahkan fenomena-fenomena ini juga terjadi di setiap bangsa dan agama. Fenomena kesurupan ini juga pernah terjadi di Amerika Serikat sesaat setelah film horor The Exorcist diluncurkan tahun 1973. Amerika Utara, setidaknya ditemukan lebih dari 100 kasus kesurupan per tahuh. Penanganannya melibatkan exorcist lintas agama, disesuaikan dengan kepercayaan orang yang kesurupan. Katolik, Vatikan bahkan juga melakukan pendidikan khusus bagi pastor pengusir setan. Mengutip LA Times, dalam 20 tahun terakhir, Italia sudah melantik 300-400 pastor khusus pengusir setan (exorcist priest). Bagi masyarakat Indonesia sendiri, fenomena kesurupan ini dikaitkan dengan gangguan dari roh-roh halus yang mengambil alih tubuh korban selama beberapa waktu dan membuat korban tidak sadar akan apa yang ia perbuat. Pada masyarakat kita, pahan seperti ini merupakan paham tradisional yang turun menurun dan berkembang dalam masyarakat. Kuda lumping makan beling, aksi debus, lalu tari kecak di Bali, dimana dalam aksi tradisional tersebut akan diperlihatkan orang-orang yang mengalami kesurupan. Fenomena itu bagi masyarakat kita dianggap sebagai peristiwa yang lazim, karena apabial peristiwa tersebut tanpa disertai aksi kesurupan, yang pasti kita tidak akan dipertontonkan pertunjukan yang menegangkan. Fenomena kesurupan tidak terlepas dari faktor budaya setempat, dalam hal ini sering disebut dengan culture bound phenomena. Sartono Mukadis mengatakan, kesurupan sangat potensial menimpa orang-orang yang berpikiran labil. Kesurupan mungkin merupakan gejala skizofrenia (dalam Maramis, 2005). Fenomena kesurupan massal yang dialami pada masyarakat kita ini mungkin dapat dijadikan sebagai tanda gejala-gejala penyakit mental.

2 Apabila gejala penyakit mental ini menyerang dan dialami oleh banyak orang, dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan mental yang ada dalam masyarakat dapat dikatakan sangat memprihatinkan, hal ini merupakan potret buram dalam masyarakat kita. Fenomena kesurupan massal yang terjadi dalam masyarakat kita merupakan salah satu fenomena yang unik, dimana fenomena ini menggunakan pendekatan emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sehingga tidak dapat diberlakukan prinsip universalitas, dan generalisasi.

3 BAB II LANDASAN TEORI

II.1 KESURUPAN Kesurupan (diakses dari www.wikipedia.com tanggal 27 November 2008) adalah sebuah fenomena di mana seseorang berada di luar kendali dari pikirannya sendiri. Beberapa kalangan mengganggap kesurupan disebabkan oleh kekuatan gaib yang merasuk ke dalam jiwa seseorang. Maramis (2005) kesurupan dapat terjadi bila roh yang lain memasuki seseorang dan menguasainya. Orang itu menjadi lain dalam hal bicara, perilaku, dan sifatnya; perilakunya menjadi seperti kepribadian yang memasukinya. Terdapat dua macam keadaan yang dinamakan kesurupan oleh masyarakat, yaitu: 1. Orang itu merasa bahwa di dalam dirinya ada kekuatan lain yang berdiri di samping aku-nya dan yang dapat menguasainya. Jadi simultan terdapat dua kekuatan yang bekerja sendiri-sendiri dan orang itu berganti-ganti menjadi yang satu dan yang lain. Kesadarannya tidak menurun. Perasaan ini berlangsung kontinu. Dalam hal ini kita melihat suatu permulaan perpecahan kepribadian yang merupakan gejala khas bagi skizofrenia. 2. Orang itu telah menjadi lain, ia mengidentifikasikan dirinya dengan yang lain, binatang atau benda. Jadi pada suatu waktu tidak terdapat dua atau lebih kekuatan di dalam dirinya (seperti dalam hal yang pertama), tapi terjadi suatu metamorfosis yang lengkap. Ia telah menjadi orang lain, binatang atau barang, dan ia juga bertingkah laku seperti orang, binatang, atau barang itu. Sesudahnya terdapat amenesia total atau sebagian. Keadaan yang kedua ini ialah disasosiasi. Bila disasosiasi ini terjadi karena konflik dan stres psikologik, maka keadaan itu dinamakan rekasi disasosiasi (suatu subjenis dalam nerosa histerik). Bila disasosiasi itu terjadi karena pengaruh kepercayaan dan kebudayaan, mka dinamakan kesurupan. Tidak jarang kedua keadaan ini secara ilmiah sukar dibedakan karena kepercayaan dan kebudayaan juga dapat menimbulkan stres dan konflik.

4 Biasanya kesurupan didahului oleh periode mediasi disertai upacara sesuai dengan kepercayaan dan kebudayaan setempat dan atas kehendak orang itu sendiri. Pada orang lain kesurupan terjadi secara spontan. Fenomena kesurupan massal yang terjadi dalam masyarakat dapat digambarkan seperti fenomena tepuk tangan, dimana apabila ada salah satu yang bertepuk tangan yang lain juga mengikuti perilaku bertepuk tangan. Dalam fenomena ini ada efek sugesti yang terjadi pada orang lain, dimana orang tersebut akan berperilaku yang sama dengan orang yang sebelumnya. II.2 CULTURE BOUND PHENOMENA Culture Bond Phenomena merupakan fenomena atau kondisi (keadaan) yang terikat pada kebudayaan setempat. Pada PPDGJ-1, mencatumkan beberapa fenomena yang terkait dengan budaya, dengan perincian sebagai berikut: 1. Amok 2. Koro 3. Latah. 4. Kesurupan. 5. Kondisi (keadaan) lain. II. 3 BUDAYA Budaya (Barnouw dalam Matsumoto hal.25) adalah sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang sama-sama dimiliki oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui bahasa bahasa atau sarana komunikasi lain. Kebudayaan yaitu asil ngremba kaning akalipun manungsa ing dalem nyekapi kekebetahaning agesang ingkang kapurba dening papan saha wekdal. (Hasil dari manusia dari akalnya untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal kebutuhan fisik maupun psikis ;terjemahan bebas). Perbedaan yang mencolok dari budaya populer dan budaya asli adalah adanya emik dan etik, Bila kebudayaan asli mempunyai unsur emik dan etik sedangkan budaya populer hanyalah kebudayaan sesaat yang tidak mengakar dimasyarakat dan sifatnya untuk menyenankan audensi. Biasanya fenomena kebudayaan populer yang menjadikan ukuranukuran kewajaran menjadi rusak.

5 II.4 ETIK DAN EMIK Menurut Matsumoto Emik adalah temuan-temuan yang tampak berbeda antarbudaya, dengan demikian emik menunjuk pada kebenaran yang bersifat khas budaya. Sedangkan Etik adalah temuan-temuan yang nampaknya konsisten pada berbagai budaya dengan kata lain etik mengacu pada kebenaran atau prinsip universal. Etik adalah aspek kehidupan yang muncul secara konsisten pada semua budaya, sedangkan emic aspek kehidupan yang muncul pada satu budaya tertentu (dalam Dayaksini dan Yuniardi, 2008). Menurut Segall (1990) Etik sebagai titik pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya tersebut, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem yang asing. Sedangkan emik sebagai titik pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (dalam Dayaksini dan Yuniardi, 2008). Kaplan dan Manners (1999:256-258) telah memberikan acuan bahwa pendekatan emik adalah pengkategorian fenomena budaya menurut warga setempat (pemilik budaya) sedangkan etik adalah kategori menurut peneliti dengan mengacu pada konsep-konsep sebelumnya. Peneliti bisa menggunakan salah satu pendekatan dan atau gabungan keduanya. Yang penting, bagi peneliti budaya perlu memperhatikan konsistensi pemanfaatan pendekatan keduanya agar tidak terjadi campur aduk. Istilah etik dan emik dalam pandangan Marvin Harris (1992:34) akan berhubungan pula dengan masalah objektif dan subyektif. Etik bersifat sangat tertutup dalam hat makna, seperti halnya prinsip objektif. Namun, emik tidak bisa disejajarkan dengan subyektif. Masalahnya, deskripsi budaya secara emik dapat bersifat objektif dan juga subyektif. Hal ini tergantung siapa dan bagaimana peneliti mampu atau tidak merangkum semua gejala yang ada. Maka perbedaan subyektif dan obyektif tergantung dalam penggunaannya. Istilah etik biasanya diterapkan dalam ilmu yang membutuhkan pengamatan, tetapi emik dapat diterapkan sehingga menghasilkan deskripsi subyektif/objektif. Etik/emik sebenarnya merupakan landasan penelitian yang berusaha memahami tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut penuh dengan makna, karena di dalamnya terdapat aneka simbol. Karenanya, tinggal dari mana kita akan melihat perilaku budaya tersebut, jika perilaku dilihat dari keadaan sesungguhnya menurut pemilik budaya,

6 itulah pemanfaatan emik, begitu sebaliknya. Pendekatan etik dan emik pada dasarnya merefer pada sudut pandang penelitian budaya itu sendiri. Jika peneliti mendasarkan pada sudut pandang partisipan (informan setempat) berarti menggunakan emik dan bila menggunakan sudut pandang observer (peneliti) berarti menggunakan etik. Pernyataan emik akan lebih akurat apabila mampu mengungkap persamaan dan perbedaan pendapat di lapangan, selanjutnya dikategorikan dan dicari sigifikansi dan makna secara penuh. Berarti emik lebih memandang makna budaya lebih aspiratif. Sebaliknya, pemaparan budaya etik lebih tergantung pada kejelian observer menampilkan suatu komunitas secara ilmiah. Berarti pernyataan etik tidak dapat salah manakala peneliti teliti dalam membangun konsep. Etik akan keliru apabila observer gagal menjawab semua pertanyaan penelitian yang telah dibangun sebelumnya. Jika peneliti budaya memanfaatkan pendekatan etik, pada akhirnya harus melakukan generalisasi. Pada saat itu, penelifi akan melakukan beberapa hat, yaitu: (a) pengelompokan secara sistematis seluruh data, seluruh data kebudayaan ke dalam sistem tunggal; (b) menyediakan kriteria untuk klasifikasi setiap unsur data; (c) mengorganisakan data yang telah diklaiisikasikan ke dalam tipe-tipe tertentu; (d) mempelajari, menemukan, dan menguraikan setia data ke dalam kerangka sistem yang telah dibuat sebelum mempelajari kebudayaan. Sebaliknya, pendekatan emik merupakan esensi yang sahih untuk fenomena kebudayaan pada suatu waktu tertentu. Pendekatan ini relevan sebagai usaha untuk mengungkap pola kebudayaan menurut persepsi pemilik budaya. Pendekatan emik menegaskan bahwa makna budaya dari orang dalam (internal). Berbeda dengan etik, peneliti berdiri di luar (eksternal) fenomena budaya. Emik akan terkait dengan keseluruhan unsur budaya. Jika emik lebih menekankan kenisbian, etik bersikap mutlak. Levi-Strauss (Harris, 1999:32) pendekatan etik dianggap kurang natural dan emik lebih natural dalam merepresentasikan fenomena budaya. Istilah etik juga sejajar dengan pengertian outsider dan emik senada dengan insider fenomena budaya. Dalam istilah Rappaport, etik sejajar dengan deskripsi budaya secara disebut sebagai pendekatan. Positivistik adalah pendekatan didasarkan pada pemikiran filosofi Comte.

7 Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si peneliti. Kontruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Kontruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas penganut ilmiah. Emic berlaku dengan benar istilah "emic" jika dan hanya jika sudah sesuai dengan persepsi dan pemahaman yang dianggap tepat oleh Insider's budaya. Robert Lawless membahas istilah emik dan etik dalam kerangka model folk dan model analisis. Model folk adalah representasi stereotipikal, normatif, dan tidak kritikal dari realitas yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kebudayaan. Dan model analisis adalah representasi profesional, eksplanatoris, dan komprehensif dari realitas yang diakui oleh komunitas ilmiah. Emik dan etik tidak ada kaitannya dengan ontologi. Kejadian, situasi, hubungan dan fakta, tidak pernah terkait dengan emik maupun etik. Kejadian-kejadian dan entitas yang termasuk kedalam dunia empiris semata-mata hanya kejadian dan entitas. Suatu deskripsi, analisis, eksplanasi, atau klaim tertentu terhadap pengetahuan adalah emik atau etik haruslah didasarkan semata-mata pada dasar-dasar epistemologi. Marvin Haris membedakan pernyataan emik dan etik atas dasar epistemologi, yaitu kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat informan native pada ststus penilai tertiggi bagi kecukupan deskripsi dan analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya menghasilkan pernyataan-pernyataan yangt daapat diterima native sebagai nyata, bermakna, atau sesuai. Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori analisis(1979:32). Pembedaan antara data yang diperoleh atas dasar wawancara dan pengamatan saja tidak dengan sendirinya mencukupi untuk membangun status emik atau etik dari deskripsi dan analisis. Melainkan, deskripsi dan analisis tersebut harus diukur dengan dan konsep-konsep yang digunaakan dalam deskripsi dan

8 menggunakan standar-standar lain yakni penilaian dari native untuk emik dan evaluasi dari antropologi untuk etik.

BAB III PEMBAHASAN

III.1 Kesurupan dan budaya dari tinjauan etik dan emik


Fenomena kesurupan yang terjadi dalam masyarakat, merupakan salah satu culture bond fenomena yang ada pada masyarakat. Kesurupan yang terjadi dalam tradisi kuda lumping, dimana seorang penari kuda lumping akan didahului oleh periode mediasi disertai upacara sesuai dengan kepercayaan dan kebudayaan setempat dan atas kehendak orang itu sendiri. Dalam hal ini penari berusaha untuk memanggil kekuatan gaib yang merasuk ke dalam jiwa seseorang. Kekuatan ini akan diidentifikasikan ke dalam dirinya, sehingga orang tersebut akan bertingkah laku seperti obyek yang ia masukkan kedalam dirinya (bertingkah laku seperti binatang, benda atau orang). Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, namun bersifat situasional, dalam arti kondisi kesurupan akan terjadi apabila dalam kondisi-kondisi tertentu. Pada kasus kuda lumping ini seorang penari akan menjadi kesurupan hanya saat ia melakukan pementasan tari kuda lumping. Begitu juga kasus-kasus kesurupan yang masih memiliki kekentalan budaya. Kasus kesurupan yang terjadi dalam tradisi kuda lumping ini mungkin akan menjadi lebih baik apabila didekati dengan pendekatan secara emik. Dalam hal ini kasus kuda lumping ini dianggap sebagai kasus unik yang mungkin hanya terdapat pada budaya tertentu, oleh karena ini kasus kesurupan yang terjadi dalam tradisi kuda lumping ini dimasukkan dalam culture bond phenomena, namun upaya memasukkan kesurupan sebagai culture bond phenomena, tidak tepat dan masih bersifat prematur. Ketidaktepatan disini terjadi dari alasan bahwa kukltur (budaya) membentuk pengalaman dari gangguan psikologis, baik dalam menentukan ekpresi dari symptom/ gejala-gejala ganggguan yang bersifat universal dan dalam menyumbang terhadap munculnya gangguan yang bersifat spesifik budaya (dalam

9 Dayaksini dan Yuniardi, 2008). Pendekatan emik dalam kasus kesurupan yang terjadi pada tradisi kuda lumping membuat peneliti mampu membuat point of view berdasarkan budaya setempat, sehingga keunikan dalam kasus ini tidak dapat digeneralisasikan pada budaya yang lain, yang berarti bahwa ritual kesurupan dalam tradisi kuda lumping adalah suatu perilaku emik yang khas dan benar hanya pada komunitas penari kuda lumping. Pendekatan emik dalam fenomena ini dapat dikatakan sebagai pendekatan yang paling tepat dan bijak, karena pendekatan ini emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji. Namun dalam deskripsi budaya secara emik dapat bersifat objektif dan subyektif, tergantung bagaimana peneliti mampu atau tidak merangkum semua gejala yang ada.yang berarti analisis yang dilakukan peneliti dapat menjadi obyektif atau subyektif, tergantung dari pemahaman peneliti dalam merangkum dan memandang fenomena yang terjadi, sehingga peneliti akan menjadi obyektif, apabila ia dapat mendeskripsikan dan menganalisis fenomena yang terjadi dari berdasarkan pandangan masyarakat yang dikaji. Kesurupan yang terjadi dalam tradisi kuda lumping ini yang menjadi aspek kehidupan yang hanya muncul pada budaya tertentu. Menyikapi kasus kesurupan massal yang marak belakangan ini di masyarakat, mungkin akan memberikan dua sudut pandang (point of view) yang berbeda. Kita dapat melihat kasus kesurupan massal ini dengan menggunakan pendekatan etik maupun pendekatan emik. Pada bangsa kita, dimana tradisi kepercayaan yang begitu kuat mengakar, membuat perilaku kita tidak lepas dari hasil-hasil budaya tersebut. Animisme kepercayaan tentang adanya roh-roh membuat perilaku kesurupan sebagai perwujudan dari refleksi kepercayaan ini. Perilaku kesurupan dalam tradisi kuda lumping mungkin tidak bisa didekati dengan pendekatan etik namun dapat dilakukan dengan pendekatan emik. Fenomena kesurupan massal yang terjadi akhir-akhir ini dimasyarakat, merupakan salah satu culture bond phenomena, yang mana dalam PPDGJ, dimasukkan dalam gangguan mental terkait dengan budaya. Upaya memasukkan kesurupan kedalam PPDGJ merupakan salah satu cara pendekatan etik, karena adanya aspek universalitas dan generalisasi terhadap fenomena yang ada. Pada dunia klinis kesurupan dipandang sebagai mekanisme yang dilakukan seseorang yang sering disebut disasosiasi, dimana merupakan suatu mekanime yang dapat menimbulkan kepribadian

10 ganda. Keadaan disasosiasi karena stres, dinamakan reaksi disasosiasi. Keadaan dengan disasosiasi karena pengaruh kepercayaan dan kebudayaan dinamakan kesurupan. Dalam kesurupan terjadi metamorfose total, penderita sudah menjadi seperti kepribadian yang dianggap memasukinya. Pada beberapa penelitian tentang kesurupan menyebutkan bahwa kesurupan terjadi karena muncul kecemasaan massal. Pada kesurupan massal yang terjadi di lingkungan sekolah ini disebabkan munculnya kecemasan massal ketika menjelang ujian atau ketika sekolah kena gusur. Di Indonesia itu sendiri kesurupan massal masih dipandang sebagai fenomena masuknya roh dan menguasai seseorang. Tradisi dan kekentalan kepercayaan dan kebudayaan masih banyak mempengaruhi cara pandang dari masyarakat tentang fenomena kesurupan, sehingga pendekatan etik dianggap kurang mampu atau gagal menjawab semua pertanyaan penelitian yang telah dibangun sebelumnya. Pernyataan etik tidak dapat salah manakala peneliti teliti dalam membangun konsep. Fenomena kesurupan massal yang juga pernah terjadi Amerika serikat, dipandang sebagai gangguan mental yang terjadi di masyarakat. Budaya Amerika yang sangat mengagungkan rasionalime dan upaya menampilkan suatu komunitas secara ilmiah. Fenomena kesurupan yang terjadi di Amerika serikat, dipandang sebagai fenomena yang tidak terjadi dalam budaya masyarakat Amerika, sehingga pendekatan etik dalam menyikapi fenomena kesurupan massal di Amerika dianggap sebagai pendekatan yang baik dan bijak. III.2.Kesurupan dan Kesehatan Mental Masyarakat. Dalam beberapa penelitian mendeskripsikan beberapa latar belakang terjadinya kasus kesurupan massal dalam masyarakat, salah satu yang menjadi latar belakang terjadinya kesurupan massal, ialah kesurupan massal yang terjadi di lingkungan sekolah yang disebabkan munculnya kecemasan massal ketika menjelang ujian atau ketika sekolah kena gusur. Upaya memunculkan kecemasaan massal dalam kasus kesurupan merupakan salah satu upaya yang dilakukan pendekatan etik. Pada pendekatan kuantitatif, yang menjadi dasar dari pendekatan etik, kasus kesurupan massal ini mungkin akan menjadi tepat apabila kasus ini ditinjau dengan upaya kita dalam mencari data-data (dalam hal ini kecemasaan massal), sebagai penyebab terjadinya

11 kesurupan massal. Namun beberapa kasus kesurupan yang terjadi khususnya dalam masyarakat kita tidak dapat dijawab dengan upaya mengkaitkan kecemasan massal, sehingga upaya untuk menentukan apakah fenomena kesurupan dalam masyarakat sebagai gangguan mental, merupakan salah satu tindakkan gegabah dan tidak bijak dari peneliti. Perlunya menentukan kriteria atau syarat-syarat untuk memasukan fenomena kesurupan ke dalam gangguan mental (PPDGJ). III.3.Kesurupan dalam Penelitian Kualitatif Berdasarkan pemaparan sebelumnya kita dapat mengetahui bahwa fenomena kesurupan merupakan salah satu culture bond phenomena, sehingga pendekatan emik dipandang mampu menggali keunikkan fenomena dari suatu budaya dan mampu melihat dari dalam. Menurut Hendrarso (2007) , menyatakan beberapa karakteristik khusus yang dimiliki oleh penelitian kualitatif (Taylor & Bogdan, 1984; marshall & Rossman, 1989; Silverman, 1993): Bersifat induktif, yaitu mendasarkan pada prosedur logika yang berawal dari proposisi khusus sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) hipotesis yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep-konsep, pengertian dan pemahaman didasarkan pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) hipotesis yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep-konsep, pengertian-pengertian dan pemahaman didasarkan pada pola-pola yang ditemui dalam data. Melihat pada setting dan manusia sebagai suatu kesatuan, yaitu mempelajari manusia dalam konteks dan situasi di mana mereka berada. Oleh karena itu, manusia dan setting tidak disederhanakan ke dalam variabel, tetapi dilihat sebagai suatu kesatuan yang paling berhubungan. Memahami perilaku manusia dari sudut pandang mereka sendiri (sudut pandang yang diteliti). Hal ini dilakukan dengan cara melakukan empati pada orang-orang yang diteliti dalam upaya memahami bagaimana mereka melihat berbagai hal dalam kehidupannya. Lebih mementingkan proses penelitian daripada hasil penelitian. Oleh karena itu, bukan pemahaman mutlak yang dicari, tetapi pemahaman mendalam

12 tentang kehidupan sosial. Menekankan validitas data sehingga ditekankan pada dunia empiris. Penelitian dirancang sedemikian rupa agar data yang diperoleh benar-benar mencerminkan apa yang dilakukan dan dikatakan yang diteliti. Dalam hal ini data bukannya tidak akurat, tetapi prosedurnya yang tidak distandarisasi. Bersifat humanistis, yaitu memahami secara pribadi orang yang diteliti dan ikut mengalami apa yang dialami orang yang diteliti dalam kehidupan sehari-hari. Semua aspek kehidupan sosial dan manusia dianggap berharga dan penting untuk dipahami karena dianggap bersifat spesifik dan unik (diambil dari Suyanto dan Sutinah, 2004). Berdasarkan karakteriskktik penelitian kualitatif yang disampaikan diatas, dapat dikatakan bahwa penelitian kualitatif, menggunakan pendekatan emik, karena dalam penelitian kualitataif ini berusaha untuk menggali fenomena yang unik dan spesifik, serta berusaha untuk merefer sudut pandang penelitian budaya itu sendiri. Jika peneliti mendasarkan pada sudut pandang partisipan (informan setempat) maka dikatakan emik. Fenomena kesurupan yang terjadi dalam masyarakat, terutama di Indonesia, yang sangat kental akan segi budaya dan kepercayaan, dapat digambarkan secara holistik dan lebih bijak, jika menggunakan pendekatan emik. Penelitian kualitatif pada fenomena kesurupan mampu mendeskripsikan fenomena yang ada dari sudut pandang budaya setempat.

13 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

IV. 1 KESIMPULAN
Fenomena kesurupan massal yang dialami pada masyarakat kita ini mungkin dapat dijadikan sebagai tanda gejala-gejala penyakit mental. Apabila gejala penyakit mental ini menyerang dan dialami oleh banyak orang, dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan mental yang ada dalam masyarakat dapat dikatakan sangat memprihatinkan, hal ini merupakan potret buram dalam masyarakat kita. IV.2 SARAN Sebaiknya, untuk menghindari fenomena-fenomena seperti kesurupan massal, dapat dilakukan dengan memperketat penjagaan diri, dalam hal ini memperkokoh iman kepercayaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan semakin mendekatkan diri kepadanya dalam setiap situasi dan kondisi.

14 DAFTAR PUSTAKA Creswell, J.W. 2003. Research Design Qualitative, Quantitative And Mixed Methods Approachs Second Edition. Landon: Sage Publications. Muslih, M, 2004. Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarata: Belukar Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. www.pskmp.site88.net/pdf/mphamka.pdf, diakses tanggal 3 November, 2008 www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id, diakses tanggal 3 November, 2008 www.bkn.go.id/sample/evaluasi, diakses tanggal 31 Agustus 2006. http://fisip.untirta.ac.id/teguh/?p=19 diakes tanggal 27 November 2008 http://ragambudayanusantara.blogspot.com/2008/09/definisi-emik-dan-etik.html diakes tanggal 27 november 2008 http://64.203.71.11/kompas-cetak/0603/24/utama/2536389.htm http://pksbanjarmasin.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemi d=31 http://itha.wordpress.com/2007/08/16/fenomena-kesurupan-sebagai-suatu-bentukhisteria/ Maramis, W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.: Surabaya. Dayaksini, T & Yuniardi, UMM Press: malang S. 2004. Psikologi Lintas Budaya Edisi Revisi.

You might also like