You are on page 1of 7

Prevelansi Jumlah Penderita Rematik Di Indonesia

Tentang Mitos Rematik


Dalam upaya untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan seriusnya penyakit rematik dan pentingnya perawatan yang tepat untuk mengatasinya, PT Pfizer Indonesia adakan program edukasi dan Senam Rematik bersama untuk ratusan penderita rematik di 6 kota di Indonesia. Program yang dimulai 25 Juli 2010, di Bandung ini menandai sepuluh tahun aksi Pfizer dalam mengatasi penyakit rematik dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyakit tersebut. Andriani Ganeswari, Marketing Communications Senior Manager PT Pfizer Indonesia mengatakan Rematik dapat menghambat produktivitas serta menurunkan kualitas hidup seseorang dan yang sangat disayangkan hingga saat ini masih banyak mitos mengenai rematik beredar di masyarakat sehingga sering kali masyarakat tidak menyikapi penyakit ini dengan tepat. Sebagai salah satu perusahaan yang peduli dan terdepan di sektor kesehatan, kata Ganes, Pfizer merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran masyarakat akan penyakit rematik dan meluruskan mitos seputar penyakit tersebut. Bersamaan dengan pencanangan Dekade Tulang dan Sendi (Bone and Joint Decade) oleh WHO pada tahun 2000 yang lalu, Pfizer pun berkomitmen untuk melakukan aksi yang berkesinambungan untuk mengatasi masalah penyakit rematik. Rematik merupakan penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya serta dapat diderita oleh setiap orang, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan. Dalam tingkat yang parah, rematik bahkan dapat menimbulkan kecacatan tetap, ketidakmampuan, dan penurunan kualitas hidup. Saat ini jumlah penderita rematik di dunia sekitar 1%, angka yang terlihat cukup kecil namun terus meningkat, khususnya pada jenis kelamin perempuan. Penelitian dari Mayo Clinic yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan antara 1995 dan 2005, penderita wanita mencapai 54 dari 100 ribu orang dan pria hanya 29 dari 100 ribu orang. Sementara itu di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Zeng QY et al pada tahun 2008 lalu, prevalensi nyeri rematik mencapai 23,6% hingga 31,3%. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia maka jumlah penderita penyakit rematik secara otomatis akan meningkat pula. Namun dengan pengetahuan masyarakat saat ini yang masih kurang mengenai rematik dikhawatirkan akibat dari penyakit, yaitu kecacatan, pun akan meningkat. dr. Riardi Pramudiyo SpPD-KR, Kepala Sub Unit Reumatologi RSUP DR Hasan Sadikin mengatakan karena masyarakat belum paham mengenai penyakit rematik maka mereka

beranggapan bahwa dengan hanya mengkonsumsi obat penyakit rematik maka rasa sakit dan nyeri dapat hilang. Maka dari itu tidak mengherankan apabila mayoritas dari penderita rematik cenderung memilih untuk mengobati dirinya sendiri (self-medication) daripada memeriksakan diri ke dokter. Padahal dengan tindakan self-medication tersebut mereka hanya akan merasakan rasa sakit yang berkurang dalam waktu singkat saja tetapi penyakitnya masih akan tetap berjalan terus. Sebab itu sangat penting bagi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter dalam mengetahui tindakan apa yang tepat dalam menangani penyakit rematiknya serta mendapatkan informasi mengenai keampuhan obat dan efek samping yang mungkin timbul dari obat yang akan mereka konsumsi. "Inilah salah satu kesadaran yang ingin kami tingkatkan pada masyarakat, ujar dr. Riardi. Berdasarkan penelitian, terdapat lebih dari 100 jenis penyakit yang termasuk dalam keluarga rematik. Sampai saat ini, penyakit rematik yang sering dijumpai di masyarakat adalah osteoarthritis yang sering timbul pada kelompok lansia. Dan kelompok lansia ini sangat rentan akan efek samping dari obat yang dikonsumsinya. Menurut American College of Rheumatology, perawatan untuk rematik dapat meliputi terapi farmakologis, terapi non-farmakologis, dan tindakan bedah. Pada tahun 2008 lalu, Pfizer mendukung ide kreatif dua pakar Rehabilitasi Medik dari RSCM FKUI, Prof.DR. dr. Angela B.M Tulaar SpRM dan dr. Siti Annisa Nuhonni SpRM yang menciptakan senam rematik yang berfungsi sebagai modal yang akan melengkapi terapi penyakit rematik. Secara umum, gerakan-gerakan senam rematik dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan gerak, fungsi, kekuatan, dan daya tahan otot, kapasitas aerobik, keseimbangan, biomekanik sendi, dan rasa posisi sendi. Untuk mencapai hasil yang maksimal, senam rematik baiknya dilakukan tiga hingga lima kali dalam seminggu, namun harus dipastikan bahwa dalam melakukan senam rematik ini, penderita harus berada dalam pengawasan dokter agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, jelas dr. Siti Annisa Nuhoni SpRM. Dengan kombinasi pengobatan dan senam rematik yang tepat, diharapkan radang persendian dan rasa sakit akibat penyakit rematik dapat berkurang serta penderita dapat menjalani aktivitasnya sehari-hari yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Lebih dari itu, dengan pengetahuan dan kesadaran yang mendalam mengenai penyakit rematik, diharapkan masyarakat dapat lebih cepat dalam bertindak mengatasi penyakit ini sehingga prevalensi penyakit rematik di Indonesia dapat berkurang.

http://perawatancantikalami.com/artikel/prevalensi-penderita-rematik.html 19 oktober 2011

Senin, 11 Juli 2011 - 19:35 WIB

Mantan Kepala BKKBN ini mengatakan, lansia sekarang berbeda dengan lansia tahun 70-an. Diperkirakan sekarang hanya ada 20 persen lansia yang sakit-sakitan, sedangkan sisanya yaitu 80 persen adalah lansia potensial yang masih bisa diperdayakan. Pada kesempatan sama, Kepala BKKBN Sugiri Syarief mengatakan, tahun 2011 jumlah penduduk dunia telah mencapai angka 7 miliar jiwa dan 1 miliar di antaranya adalah penduduk lanjut usia (lansia). Indonesia sendiri menduduki rangking keempat di dunia dengan jumlah lansia 24 juta jiwa yang belum terlalu mendapat perhatian. Tidak hanya menghadapi angka kelahiran yang semakin meningkat, Indonesia juga menghadapi beban ganda (double burden) dengan kenaikan jumlah penduduk lanjut usia (60 tahun ke atas) karena usia harapan hidup yang makin panjang bisa mencapai 77 tahun. Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk lansia usia 60 tahun ke atas meningkat secara signifikan. Kalau pada tahun 1960-an dan 1970-an penduduk lansia mungkin hanya sekitar 2 persen, saat ini sudah menjadi sekitar 10 persen (dari 238 juta jiwa), ujar Sugiri. Selain memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia juga merupakan negara keempat dengan jumlah lansia terbanyak, setelah China, Amerika dan India, yaitu sekitar 24 juta jiwa.

Sumber : http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/07/11/lansia-indonesia-terbesar-ke-4-didunia

Memperingati Hari Lansia 29 Mei 2011 Menuju Lanjut Usia Aktif Sebagai Aset Bangsa yang Efektif Oleh : Agus Samsudrajat S, SKM http://agus34drajat.files.wordpress.com/2011/06/memperingati-hari-lansia-29-mei-2011.pdf (posted : 14 Juni 2011) http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-ekokurniad-5498-2-babipdf.pdf

Denpasar (denpasarkota.go.id), Lanjut Usia (Lansia) merupakan bagian dari proses kehidupan yang harus dilalui manusia. Namun segala pengalaman, keahlian yang telah diperolehnya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dapat memberikan teladan kepada generasi muda. Untuk itu segala potensi yang dimiliki lansia harus dapat didayagunakan seoptimal mungkin. Demikian disampaikan Walikota Denpasar I.B Rai Dharmawijaya Mantra dalam sambutannya yang dibacakan Kadis Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) Kota Denpasar Made Erwin Suryadarma Sena saat peringatan Hari Lanjut Usia Nasional, Selasa (31/5) di Wantilan DPRD Propinsi Bali. Lebih lanjut Rai Mantra mengatakan sesuai dengan moto Lansia sehat, ceria dan Bahagia memiliki arti yang sangat dalam yaitu walaupun secara alami proses menjadi tua mengakibatkan para Lansia mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Namun dibalik keadaan itu terdapat potensi yang masih mungkin untuk didayagunakan. Berdasarkan data dari badan pusat statistik tahun 2010 jumlah lansia di Kota Denpasar mencapai 9,77 persen dari jumlah penduduk. Dengan data tersebut menurut Rai Mantra Pemerintah Kota Denpasar telah menyusun kebijakan, serta kegiatan pemberdayaan para Lansia agar dapat menjalankan kehidupannya yang lebih bermanfaat dan bertanggung jawab. Jumlah Lansia yang terus meningkat akan menjadi beban pembangunan di masa yang akan datang, untuk itu Pemkot Denpasar juga telah mengeluarkan dana hibah operasional kegiatan Persatuan Werdhatama Republik Indonesia (PWRI) Denpasar dan Persatuan Werdha Sejahtera serta Tim Penggerak PKK Kota Denpasar untuk pelaksanaan posyandu lansia. Disamping itu dikatakan agar kegiatan pembinaan Lansia dapat terlaksanan maka telah dibentuk pula KOMDA Lansia (Komisi Daerah Lanjut Usia) Kota Denpasar pada tanggal 29 Juli 2010 lalu. Sementara I Made Selamet Ketua Cabang PWRI Kota Denpasar mengatakan peringatan Hari Lanjut Usia Nasional yang jatuh pada tanggal 29 Mei yang saat ini merupakan tahun ke XV yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 29 Mei 1996 merupakan bukti bahwa pemerintah tidak melupakan warganya para Lansia yang setiap tahunnya semakin meningkat. Pemerintah menurut Selamet telah memberikan pelayanan kesehatan kepada Lansia apalagi mendekati Sandia kalaning kehidupan sudah tidak memiliki kemampuan kecuali semangat untuk dapat mencapai umur panjang dalam keadaan sehat dan hidup yang sehat. Bagi para Lansia diakui eksistensinya dan keikutsertaanya dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan kehormatan baginya dan sekaligus akan dapat memperpanjang umur, karena akan membangkitkan percaya dan harga diri. Semoga pemerintah dapat memfasilitasi programprogram pembinaan kelompok lansia yang jumlahnya semakin banyak, ujar Selamet, sembari menambhakan sehingga mereka tetap merasa berguna di masyarakat baik lingkungannya maupun dalam lingkungan Desa. Pada peringatan kali ini juga diserahkan hadiah oleh Kadis Nakertransos kota Denpasar Made Erwin Suryadarma Sena didampingi Ketua Darmawanita Persatuan Kota Denpasar Ny. Kerti Rai Iswara bagi para pemenang lomba-lomba yang telah diselenggarakan dalam peringatan Hari Lanjut Usia Nasional. Sumber : http://bali.bkkbn.go.id/berita/1316/

Panti Jompo, Tempat Membuang Mereka yang Renta


Kekerasan terhadap lansia merupakan kejahatan kemanusiaan. Seringkali, menempatkan orang tua atau lansia ke panti jompo tidak saja merupakan sebuah isolasi juga merupakan upaya untuk menghilangkan sejarah terhadap eksistensi lansia di lingkungan tempatan mereka. Catatan kontribusi atau jasa lansia sebagai warga sebuah wilayah perlahan dihapuskan atau bahkan dilenyapkan, hanya karena mereka menetap di Panti Jompo. Penghapusan sejarah diri ini merupakan suatu tindak kejahatan kemanusiaan. Lansia yang telah meninggal kehilangan hak sipilnya, seperti: hak untuk memanfaatkan fasilitas umum, misalnya hak pemakaman atau kremasi; hak untuk mendapatkan pergaulan sosial yang wajar dan hak politik mereka menjadi tercerabuti. Panti Jompo di Bali Panti Sosial Tresna Werdha di Bali, lebih populer disebut sebagai Pantai Jompo merupakan upaya Pemerintah untuk mengayomi para Lansia (orang lanjut usia) yang hidup miskin dan terlantar. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 telah mengamanatkan, memperhatikan Fakir Miskin dan Anak Terlantar. Pendirian Panti Sosial didasarkan atas UndangUndang RI no.4 Tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Kehidupan bagi Orang-Orang Jompo; Keputusan Mentri Sosial RI No.3/1/50/107/1979 tentang Pemberian kehidupan bagi Orang-orang usia Lanjut; Keputusan Mentri Sosial RI no.12/HUP/KEP/UU/1982 tentang Pembentukan Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar. Undang-Undang RI No.6 tahun 1998, tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Pemda Bali memiliki dua panti jompo yakni: Wana Seraya (Denpasar) dan Jana Mara Pati (Lovina-Singaraja), dinaungi sekitar 130 lansia. Fenomena didirikannya Panti Tresna Werdha Wana Seraya di Bali 25 Oktober 1975 oleh pemerintah, sesungguhnya dapat digunakan membaca kembali kekuatan relasi sosial di Bali. Hal ini terkait dengan pola kekeluargaan dan kekerabatan di Bali, khususnya perlakuan terhadap orang tua serta tingkat kesejahteraan dan tindak kekerasan terhadap para lansia. Dewasa ini, ada kecenderungan masyarakat memisahkan orang tua dengan menitipkan orang tua atau anggota keluarga lanjut usia untuk tinggal di panti-panti jompo milik pemerintah atau swasta. Kekerasan Politik Tubuh Politik Tubuh yang lahir dari citraan media menempatkan kaum lansia menjadi kelompok minoritas yang termarjinalkan. Dikotomi terbangun dengan menempatkan lanjut usia sebagai sesuatu yang jahat (nenek sihir), buruk rupa, rapuh dan menjadi beban masyarakat harus disembunyikan atau disingkirkan. Ini merupakan kontra dari citraan akan kemudaan, produktivitas dan vitalitas sebagai cermin dari kemajuan. Komnas Lanjut Usia (2009) menyatakan, persoalan yang mendesak dari penduduk lanjut usia, adalah adanya lanjut usia yang miskin telantar, cacat, dan mengalami tindak kekerasan. Pada 1991, jumlah lansia terlantar diperkirakan 1.811.484 jiwa. Sementara, daya tampung Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) masih relatif kecil. Diperlukan pemetaan lansia miskin, terlantar, cacat, dan yang mengalami kekerasan fisik, psikologi, seksual, dan penelantaran. Kekerasan fisik berupa serangan fisik yang menyebabkan rasa sakit, kecelakaan pada tubuh dan kecacatan. Kekerasan psikologi atau emosi merupakan kekerasan verbal dan non-verbal yang dapat menimbulkan penderitaan, rasa sakit, duka. Kekerasan ini meliputi: kekerasan verbal (verbal assault), penghinaan (insults), ancaman (threat), intimidasi (intimidation), mempermalukan (humiliation) dan pelecehan (harassment). Sebagai tambahan, memperlakukan orang dewasa seperti bayi, mengisolasi mereka dari keluarganya, teman, atau kegiatan regulernya. Penegakan isolasi sosial merupakan contoh dari kekerasan emosional dan psikologikal. Kekerasan finansial atau eksploitasi material merupakan bentuk penyalahgunaan keuangan, barang milik (property) dan asset milik Lansia, seperti: mencairkan kertas berharga (check) milik lansia tanpa pengesahan secara hukum atau tanpa ijin; meniru tanda tangan, penyalahgunaan atau pencurian uang atau hak milik; pemaksaan dan penipuan untuk menandatangi dokumen (kontrak atau surat wasiat); dan penyalahgunaan kekuasaan dari pengacara. Kekerasan seksual merupakan tindakan hubungan seksual tanpa persetujuan lansia seperti: pemerkosaan, sodomi, pemaksaan untuk telanjang, berbagai bentuk photografi ketelanjangan yang eksplisit. Sedangkan, penelantaran adalah bentuk lain dari kekerasan, didefinisikan sebagai penolakan atau kegagalan untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab untuk lansia, berupa pemenuhan kebutuhan hidup seperti: makanan, air, pakaian, pernaungan, kesehatan, pelayanan di rumah (in-home service), kesehatan, pembayaran biaya perawatan, dan persetujuan untuk merawat orang tua. Bessi (2007:60, 135) menyatakan, alasan lanjut usia yang menjadi warga Panti Jompo (Wana Seraya Bali) karena kemiskinan dan terlantar, tidak memiliki keluarga, atau ditelantarkan keluarganya. Dilaporkan juga, kekerasan terhadap lansia juga dilakukan oleh institusi sosial seperti banjar. Tercatat 4 jenasah warga Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya

Denpasar ditolak untuk dimakamkan secara adat dan agama Hindu dengan alasan keluarga tidak mempunyai biaya pemakaman, juga karena masalah adat istiadat yang tidak mengizinkannya untuk memakamkan lansia di daerah asalnya. Harapan Kemanusiaan Distorsi kebijakan dalam bentuk pembatasan usia kerja produktif (pensiun), pembatasan usia untuk pemberian jaminan asuransi kesehatan merupakan manifestasi diskriminasi secara struktural oleh penguasa yang harus diterima masyarakat seperti tanpa syarat. Diskriminasi ini harus dilawan dengan penegakan hak-hak minoritas, termasuk diantaranya hak bagi kaum lansia. Isolasi bukan sebuah jalan keluar. Suryani menyatakan bahwa permasalahan Lansia hendaknya dapat ditangani oleh Lansia sendiri dengan bantuan pemerintah atau badan-badan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Dan, bukan tindakkan yang tepat untuk menggiring Lansia yang potensial untuk tinggal di Panti Werdha dan mengisolasinya dari lingkungan masyarakat biasa (Bessi,2007: 17-18). Penanganan kesejahteraan lansia berbasis banjar di Bali seharusnya dipropagandakan. Sehingga, praksis penghormatan terhadap orang tua, lansia dan leluhur tidak bersifat simulakrum, kepura-puraan. Resolusi konflik dalam internal keluarga apalagi melibatkan kaum lansia diupayakan secara maksimal, melibatkan kepekaan dan kepedulian para pengurus banjar dan tetua adat. Sehingga, para lansia tidak ditelantarkan dan dapat hidup secara wajar dalam hubungan sosial mereka. BKKBN dalam Portal Republik Indonesia (2008) menyatakan, pemerintah menargetkan tahun 2010 sebanyak 2,7 juta lansia terlantar akan mendapatkan Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) sebesar Rp.300 ribu perbulan. Bantuan ini bersifat permanen karena merupakan social security, tidak seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Departemen Sosial melalui Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial (Yahrehsos) menyatakan bahwa masih ada 1.5 juta lansia terlantar yang belum memperoleh JSLU. Syarat bagi lansia terlantar yang menerima JSLU adalah golong fakir miskin, bukan penyandang cacat yang telah mendapatkan bantuan, bukan lansia yang berada di panti atau mereka yang telah menerima program bantuan lain seperti BLT, atau termasuk dalam Asuransi Kesehatan untuk Warga Miskin (Askeskin). Namun kenyataannya lansia yang dimaksud biasanya adalah mereka yang berasal dari masyarakat miskin dan tidak berpengetahuan. Mereka yang malang ini pasti banyak tidak mengetahui program dan cara mengakses JSLU. Masyarakat sipil perlu berpartisipasi memastikan dan memantau bahwa jaminan itu betul-betul bisa dinikmati oleh lansia miskin. Khusus untuk Pemda Bali agar kembali memberlakukan jaminan membebaskan biaya perawatan kesehatan di rumah sakit bagi lansia. Belakangan ini pihak panti terpaksa menalangi biaya rumah sakit dari lansia dengan mengandalkan uang dari sumbangan pengunjung. Pemberlakuan kebijakan pemberian jaminan kesehatan berdasarkan penggunaan KTP daerah asal tentu tidak masuk akal mengingat warga panti jompo tidak semuanya memiliki keluarga, telantar, dan pikun dengan asal usul mereka. Demi kemanusiaan, Pemda Bali sebaiknya memberikan lansia di panti jompo KTP spesial dan jaminan kesehatan perawatan rumah sakit gratis. [b] Daftar Pustaka Arivia, G. 2004. Tubuhku Milikku: Perdebatan Tubuh Perempuan Dalam Pornografi. Journal Perempuan, Halaman: 19-28. Bessi, S. 2007. Pelayanan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar: Perspektif Kajian Budaya. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kadjeng, N. 2006. SarasamusccayaTerjemahan dalam Teks Indonesia. Bali: Milik Pemerintah Provinsi Bali. Liliweri, A. 2009. Prasangka & Konflik. Yogyakarta: LKiS. Penyusun, T. 2006. Panca Yadnya. Bali: Milik Pemerintah Provinsi Bali. Soeka, G. 1989. Tri Rnam. Denpasar Bali: CV Kayu Mas. Subagiasta, I. K. 2006. Tattwa Hindu. Surabaya: Paramita. Suharto, E. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial. Bandung: LSP-STKS. Website:

BKKBN, Online. (2008, Mei 23). Tahun 2010 Sebanyak 2,7 Juta Lansia Terlantar Memperoleh JSLU. Diunduh 10 Oktober, 2009, dari Portal Nasional Republik Indonesia: www.indonesia.go.id Pedoman Pelayanan Konsultasi, M. d. 22 Juli 2009. Diunduh September 2009 Redaksi Media Indonesia, Online. 21 November 2007. Pemerintah akan Membentuk Komnas Perlindungan Lansia. Diunduh September 2009, dari Media Indonesia Online.

Sumber : http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2010/02/07/panti-jompo-tempat-membuangmereka-yang-renta.html

You might also like