You are on page 1of 10

De-Industrialisasi dan Peningkatan Pengangguran Kasus PT.

Dirgantara Indonesia (DI) merupakan salah satu contoh dari banyak contoh lain tentang ketidakmampuan pemerintahan Megawati menangani berbagai masalah sektor riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tidak aneh telah terjadi peningkatan pengangguran selama dua tahun Pemerintahan Megawati. Sebetulnya tingkat pengangguran terbuka telah berkurang dari 40% pada tahun 1998 (puncak krisis ekonomi) menjadi 36,2% pada tahun 2001. Sejak Pemerintahan Megawati, pengangguran terbuka berbalik meningkat kembali menjadi 40% pada akhir tahun 2003. Peningkatan pengangguran tersebut terjadi karena tidak adanya visi, lemahnya kepemimpinan dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit di sektor riil. Fokus utama pemerintah hanyalah pada stabilitas moneter seperti inflasi dan nilai tukar, tetapi mengabaikan penciptaan lapangan kerja dan penyelesaian berbagai masalah di sektor riil seperti industri, pertanian, dsb. Di sektor riil, fokus utama hanyalah penjualan kekayaan negara dan aset warisan dari pemerintah sebelumnya seperti kasus penjualan Indosat yang sangat merugikan negara. Indosat, semula PMA Amerika yangdibeli oleh pemerintahan Soeharto dan diubah menjadi PMDN pada awal tahun 1980-an. Sejak itu, Indosat telah menyetor belasan triliun kepada negara dalam bentuk pembayaran pajak dan dividen. Tanpa dijualpun sebetulnya Indosat akan mampu menyetor US$ 500 juta kepada negara dalam waktu 3 tahun, sama dengan harga penjualan oleh pemerintah Megawati. Penjualan Indosat tersebut sangat murah dan sangat merugikan negara. Berbagai penjualan aset warisan yang dijual oleh pemerintah Megawati lebih sering didorong oleh motif mobilisasi sumberdaya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga tidak aneh selama dua tahun pemerintahan Megawati, kerugian negara semakin meningkat, dan terjadi proses deindustrialisasi yang mendorong peningkatan pengangguran. Penghianatan Terhadap Cita-cita Pendiri Republik Indonesia PT Dirgantara Indonesia adalah BUMN yang didirikan berdasarkan citacita founding father Republik Indonesia. Dalam pidato pada tahun 1950an, berjudul "MengGarudalah Bangsaku", Soekarno meminta kesungguhan warga negara Indonesia yang cinta dirgantara untuk menguasai dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia. Dengan semangat itu, Wiweko, Nurtanio dll, dengan peralatan seadanya, mendirikan bengkel pesawat terbang dan pesawat terbang kecil.

Kemudian Soekarno mendirikan Industri Pesawat Terbang Berdikari pada tahun 1960-an, yang kemudian dikembangkan oleh Soeharto menjadi industri dirgantara dengan nama PT. Nurtanio yang selanjutnya berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Kini oleh anak biologis Soekarno, Megawati, cita-cita generasi ayah kandungnya tersebut dan hasil jerih payah, keringat, darah dan airmata putra-putra Indonesia yang cinta dirgantara, kini kandas di tengah jalan. Sebanyak 6.600 karyawan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara, para engineer dan teknisi yang mempunyai keahlian dan pengalaman belasan tahun, akan diberhentikan karena kepemimpinan yang tidak memiliki visi dan lemahnya kepemimpinan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh sektor industri. Sangat menyedihkan, mereka merasa lebih bermanfaat untuk mengadukan nasibnya kepada Gorilla dan Monyet di kawasan Rangunan Jakarta. Karena pemerintah Megawati tidak mampu mencari solusi lain kecuali PHK, padahal ada alternatif lain untuk menyelamatkan PT. Dirgantara Indonesia sehingga bisa menjadi kebanggaan untuk generasi mendatang. Penyelamatan PT Dirgantara Indonesia Periode Tahun 2000-2002 Akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998, pemerintah pada saat itu terpaksa menghentikan investasi tambahan yang diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut dari PT. IPTN, terutama dalam kaitannya dengan investasi pengembangan pesawat N250 yang sangat mahal. Harus pula diakui bahwa sebelumnya, biaya pengembangan dan operasi PT. IPTN sangat boros dan jor-joran terutama terlihat dalam bentuk pembelian peralatan yang serba mahal tetapi tidak tepat guna. Selama kepemimpinan Habibie tersebut, banyak inefisiensi terjadi sehingga dapat dikatakan PT. IPTN merupakan suatu industri serba mahal (high-cost aircraft industry), yang tidak sensitif terhadap permintaan pasar. Padahal banyak kasus di negara lain yang Juga memiliki industri penerbangan yang bekerja dengan prinsip efisiensi dan struktur biaya yang kompetitif seperti industri pesawat di China, India, Korea Selatan, Brazil, dll. Selama tahun 1998 sampai akhir 1999, PT. IPTN terus mengalami kesulitan likuiditas dan modal kerja yang berdampak pada operasi perusahaan. Sebagai Menko Perekonomian, pada tahun 2000, kami berupaya keras mencari solusi untuk menyelamatkan PT. IPTN. Salah satu pilihan adalah penutupan perusahan seperti yang dianjurkan oleh IMF. Tetapi menurut hemat kami, kerugian finansial bagi negara jika perusahaan ditutup akan sangat mahal dan investasi sumber daya manusia dalam bentuk belasan ribu pegawai yang terdidik dan memiliki keahlian akan hilang sia-sia. Disamping itu, negara kepulauan yang

sangat luas seperti Republik Indonesia jelas memerlukan industri penerbangan dan maritim asalkan kompetitif dan sesuai dengan permintaan pasar. Dengan pertimbangan seperti itu, kami memutuskan untuk tetap mempertahankan PT. IPTN tetapi dengan melakukan perubahan paradigma dari high-cost aircraft industry (industri penerbangan serbamahal) menjadi competitive-cost aircraft industry (industri penerbangan kompetitif). Pengembangan produk tidak boleh dilakukan atas dasar pengaruh kekuasaan Negara atau (power approach). Strategi "technology push" diubah menjadi "market pull". Produksi harus ditentukan berdasarkan analisa permintaan pasar serta kemampuan daya saing. Bukan ditentukan oleh selera managemen yang "hobby dengan teknologi". Perubahan paradigma tersebut diperlukan agar PT. IPTN dapat bertahan dan berkembang dikemudian hari. Dengan persetujuan Presiden pada waktu itu, kami mengambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mempertahankan visi pendirian industri penerbangan, tetapi mengubah cara kerja dan modus operandi dari industri bersangkutan sesuai dengan paradigma baru yaitu industri penerbangan yang harus kompetitif. Sebagai bagian dari perubahan paradigma tersebut, kami mengubah nama PT. IPTN menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). 2. Menetapkan bahwa periode tahun 2000-2003 sebagai periode konsolidasi dan survival bagi PT. DI. Jika periode ini dilewati dengan selamat, maka setelah tahun 2004 PT. DI baru dapat memasuki peride pengembangan selanjutnya. Selama periode konsolidasi dan survival perlu dilakukan reorientasi bisnis, restrukturisasi SDM, restrukturisasi keuangan dan peningkatan kinerja perusahaan. 3. Dalam rangka reorientasi bisnis perusahaan selama periode konsolidasi, PT DI diminta untuk lebih memfokuskan diri pada produksi spare parts dan komponen untuk raksasa perusahaan dunia seperti Boeing, Airbus, British Aerospace dll, karena Indonesia kompetitif dalam produksi parts dan komponen. Produksi lainnya hanya dibatasi pada produksi helikopter,pesawat CN-235 dan peralatan pendukung persenjataan. 4. Melakukan perombakan direksi dan komisaris dengan kriteria integritas, kepemimpinan, kemampuan teknis, dan dikenal dikalangan industri penerbangan dunia. Kriteria yang terakhir sangat diperlukan karena dalam periode penyelamatan manajemen harus mampu mendapatkan order pekerjaan dari Boeing, Airbus, British Aerospace. Disamping itu, dilakukan pengurangan jumlah

direksi dari 9 menjadi 5 orang, dan menunjuk kepala staf Angkatan Udara sebagai Komisaris Utama (Ex-officio). 5. Meminta PT. DI diaudit dari segi finansial maupun prospek masa depan. Audit finansial dilakukan oleh Ernst & Young, sementara audit prospek masa depan dilakukan oleh Deloitte Touche. Kesimpulan audit Deloitte Touche adalah bahwa PT. DI memiliki infrastruktur, permesinan dan produk yang mampu dijadikan modal untuk membangun masa depan PT. DI yang lebih baik. 6. Melakukan restrukturisasi hutang dan pengurangan beban finansial. Berdasarkan hasil proses due dilligence Ernst & Young dan Deloitte Touche, dan komitmen jajaran Direksi Baru untuk melakukan restrukturisasi perusahaan, rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang kami pimpin memutuskan program restruturisasi hutang, dengan pola "debt to equity swap", hutang PT Dirgantara Indonesia dijadikan Penyertaan Modal Sementara. PT Dirgantara Indonesia berubah status, dari Debitur menjadi "anak perusahaan" BPPN. Untuk meningkatkan efisiensi lalu lintas bahan baku dan komponen, serta untuk mengurangi beban biaya untuk produksi pesawat terbang dan helikopter, Menteri Keuangan memberi status Kawasan Berikat kepada PT. Dirgantara. Hasil Program Penyelamatan PT. DI Periode 2000-2002 Pada Mei 2002, Ernst & Young mengeluarkan laporan audit keuangan PT Dirgantara Indonesia untuk tahun buku 2001 - 2002, dengan status wajar tanpa pengecualian. Berdasarkan audit Ernst & Young tersebut, terbukti kinerja PT. DI menunjukkan hasil yang menggembirakan, antara lain : 1. Penjualan meningkat dari Rp. 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 689 milyar tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi Rp. 1,4 triliun tahun pada 2001. 2. Merubah perusahaan dari keadaan rugi menjadi untung. Tahun 1999 perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 75 milyar, sementara pada tahun 2000 kerugian menurun menjadi Rp. 73 milyar dan pada tahun 2001 kerugian berubah menjadi keuntungan sebesar Rp. 11 milyar. 3. Diversifikasi bisnis menghasilkan segmen pasar baru seperti bisnis jasa rekayasa dan rancang bangun pesawat terbang (Engineering & Technology Services) sebesar 3 %, jasa pembuatan perangkat lunak sistim antariksa dan teknologi informasi sebesar 5 % dan bisnis rekayasa interior pesawat terbang 0,5 %. 4. Penurunan beban biaya produksi seperti diperlihatkan oleh peningkatan efisiensi tenaga kerja. Rasio penjualan per tenaga

kerja meningkat dari 66 juta rupiah pada tahun 2000 menjadi 137 juta rupiah pada 2001. 5. Kepercayaan pelanggan luar negeri mulai kembali meningkat, ditandai dengan keberhasilan memperoleh kontrak penjualan 2 buah pesawat terbang CN235 versi VVIP untuk digunakan oleh Presiden Korea Selatan, 2 buah pesawat terbang CN235 versi VIP yang akan digunakan untuk pejabat tinggi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Udara Malaysia, serta 2 buah pesawat CN 235 untuk Angkatan Udara Pakistan. Disamping itu, PT. DI memperoleh kontrak jangka panjang 10 tahun untuk pembuatan komponen sayap untuk pesawat terbang penumpang terbesar di dunia superjumbo Airbus A380 dari British Aerospace.Selain itu Angkatan Udara Turki juga telah menunjuk konsorsium kerjasama PT DI dan Thales Perancis untuk mengembangkan pesawat CN235 tipe patroli maritim. Demikian juga Pemerintah Iran memberikan kepercayaan kepada tenaga ahli PT Dirgantara Indonesia untuk mengerjakan proyek konversi pesawat terbang Rusia menjadi pesawat kargo untuk operasi pasukan militer. Kinerja PT. DI Periode 1999-2001 (kinerja PT DI. pdf :attach) Berdasarkan audit Ernst & Young (2001) Tampak jelas bahwa upaya penyelamatan PT. DI pada periode 20002002 berhasil mencapai target perbaikan kinerja perusahaan seperti terlihat dalam bentuk peningkatan penjualan, kontrak baru, keuntungan operasi dan pengurangan kerugian netto dari Rp. 73 milyar pada tahun 2000 menjadi keuntungan sebesar Rp. 11 miliar pada tahun 2001. Ternyata jika ada visi yang jelas, dan kepemimpinan yang memahami aspek teknis, PT. DI dapat diselamatkan. Komponen yang paling sulit dalam penyelamatan tersebut adalah perubahan budaya kerja perusahaan. Budaya serba mahal, jor-joran tanpa memperhatikan aspek kompetitif sangat sulit untuk berubah. Upaya manajemen untuk memperbaiki budaya kerja tersebut agar berdasarkan prinsip kompentensi dan beban kerja, bukan senioritas ternyata mendapatkan perlawanan dari sejumlah karyawan senior. Manajemen saat itu tidak melakukan sosialisasi yang memadai untuk mengubah budaya kerja dan efisiensi perusahaan. Sementara itu, sebagian tokoh pekerja, tanpa memahami tujuan konsolidasi dan survival perusahaan, menuntut kenaikan gaji pada saat kondisi perusahaan belum terlalu baik. Era Pemerintahan Megawati: Kondisi PT. DI Tidak Terus Membaik, Justru Semakin Merosot

Perbaikan kinerja PT. DI selama periode konsolidasi dan survival tahun 2000-2002 ternyata tidak berlanjut, tetapi justru sebaliknya, kondisi perusahaan justru semakin merosot. Ini adalah satu contoh bahwa Pemerintahan Megawati, tidak hanya tidak mampu memperbaiki kondisi sektor riil, tetapi justru membuatnya menjadi lebih buruk. Sehingga justru semakin meningkatkan pengangguran secara nasional selama dua tahun terakhir. Berikut contoh kebijakan salah kaprah oleh Pemerintah Megawati: 1. Penggantian manajemen pada tahun 2002 yang lebih banyak berdasarkan pertimbangan nepotisme ketimbang profesionalisme. Manajemen baru yang dilantik oleh Menteri BUMN sdr. Laksamana Sukardi ternyata tidak memiliki kepemimpinan dan ternyata tidak dikenal di kalangan industri penerbangan dunia sehingga tidak aneh tidak mendapatkan order pekerjaan baru sepanjang tahun 2003. 2. Dengan kondisi tanpa order pekerjaan, jelas terjadi kelebihan tenaga kerja sehingga solusi satu-satunya yang dilakukan oleh Direksi yang baru adalah PHK sebanyak 6600 orang. Direksi tidak mampu bekerja dan mendapatkan order pekerjaan, tetapi justru karyawan yang dikorbankan. 3. Dalam kondisi banyak PHK seperti itu, Menteri BUMN justru meningkatkan komisaris dari 5 orang menjadi 7 orang. Suatu tindakan yang bertentangan dengan prinsip efisiensi dan rasa keadilan. Di negara-negara lain yang berhasil, justru dilakukan pengurangan jumlah direksi dan komisaris, serta pengurangan gaji direksi selama perusahaan dalam masa sulit. Misalnya, Lee Iacoca, bos perusahaan mobil besar Amerika Chrysler, bersedia menerima gaji hanya US$ 1 pada saat perusahaan tersebut mengalami kesulitan keuangan. Dan baru kemudian mendapatkan bonus setelah perusahaan kembali mendapatkan keuntungan. Di Jepang sangat biasa bos-bos perusahaan menerima potongan gaji dan fasilitas pada saat perusahaan sulit ketimbang melakukan PHK buruh perusahaan. Prinsip pengorbanan oleh pimpinan tersebut ternyata tidak hanya tidak dilakukan, tetapi Menteri BUMN justru melakukan pemborosan dengan peningkatan jumlah komisaris. 4. Jika PHK dilakukan terhadap 6.600 pegawai PT. DI, ternyata biaya pesangon berdasarkan Undang-undang Tenaga Kerja akan menjadi sangat mahal mencapai sekitar Rp. 600 miliar. Biaya yang sebetulnya bisa digunakan untuk tambahan modal kerja bagi operasi perusahaan. Yang lebih berbahaya lagi, seleksi pegawai yang akan di PHK terutama menggunakan kriteria loyalitas ketimbang keahlian maupun profesionalisme. Dengan profil pegawai yang tersisa di PT. DI seperti itu, sulit diharapkan PT. DI

memiliki kemampuan teknis dan profesionalisme untuk menghasilkan pesawat yang reliable dan aman, suatu kondisi yang sangat berbahaya dalam industri penerbangan. Dari langkah-langkah salah kaprah di atas, sangat jelas bahwa Pemerintahan Megawati tidak memiliki visi, kepemimpinan yang lemah dan sarat dengan mis-manajemen, sehingga kinerja PT. DI yang telah mulai membaik pada periode 2000-2002 justru ternyata kembali rusak dan kondisinya semakin merosot. Adalah tidak benar dan tidak adil jika seluruh kesalahan kemudian dibebankan kepada para karyawan dalam bentuk PHK sebanyak 6.600 orang. Padahal PHK bukan satu-satunya solusi bagi PT. DI. Ada cara lain dan alternatif solusi yang akan mampu menyelamatkan PT. DI sehingga dapat menjadi industri penerbangan yang membanggakan bagi generasi mendatang. Pemerintahan tanpa visi, lemah kepemimpinan dan sangat permisif terhadap korupsi harus segera dihentikan pada PEMILU Oktober 2004 ini. Jika tidak, proses de-industrialisasi akan semakin mengganas, PHK dan pengangguran akan melonjak, dan banyak lagi aset warisan dari pemerintahan sebelumnya akan dijual dengan cara obral dan merugikan negara tetapi menguntungkan elit pemerintahan. PT. DI Dapat dan Harus Diselamatkan: Ada Solusi Lain Selain PHK Pemerintah seharusnya melanjutkan kembali langkah-langkah penyelamatan PT. Dirgantara Indonesia yang telah dilakukan oleh manajemen periode sebelumnya. Bukan justru menghancurkannya. Aset sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih yang memiliki pengalaman belasan tahun seharusnya menjadi modal dasar bagi upaya penyelamatan PT. DI. PHK hanya dilakukan untuk karyawan yang menolak ikut serta dalam proses konsolidasi dan survival perusahaan, bukan berdasarkan loyalitas tetapi justru kompetensi dan profesionalisme. PT. DI dapat dan harus diselamatkan karena sebagai negara kepulauan yang sangat luas, Indonesia memerlukan industri dirgantara yang kompetitif dan tangguh, baik untuk keperluan komersial maupun pertahanan. Otonomi daerah dan pengawasan terhadap laut dan udara Indonesia maupun transportasi jarak pendek memerlukan transportasi udara yang murah dan efektif. Seandainya mayoritas pegawai PT. DI di PHK, maka investasi sumber daya manusia yang sangat mahal tersebut akan terbuang sia-sia dan akan sangat sulit untuk mendapatkannya kembali pada saat Indonesia memerlukan industri penerbangan yang murah dan kompetitif. Kebijakan Pemerintah Megawati dan manajemen PT. DI bahwa solusi satu-satunya adalah melakukan PHK, merupakan kebijakan yang tidak

bertanggung jawab. Dan hanya sekedar mengalihkan tanggung jawab dari Menteri BUMN dan Direksi kepada karyawan. Sangat kontras dengan apa yang pernah dilakukan oleh Menteri BUMN Tanri Abeng, dalam penyelamatan BUMN yang berhasil karena adanya visi dan kepemimpinan dari sdr. Tanri Abeng. Pada waktu itu, misalnya, PT. Garuda Indonesia mengalami kesulitan keuangan akibat krisis dan mismanajemen. Sdr. Tanri Abeng melakukan penggantian manajemen, reiorientasi bisnis, restrukturisasi finansial, dan peningkatan kualitas layanan sehingga PT. Garuda Indonesia kembali sehat dan mampu meningkatkan kinerjanya. Demikian juga pada kasus kebangkrutan Bank Bumidaya, Bank Exim, dan Bank Dagang Negara, Sdr. Tanri Abeng melakukan program penyelamatan dengan apa yang dikenal saat ini sebagai Bank Mandiri. Sdr. Tanri juga berhasil meningkatkan kinerja sejumlah BUMN perkebunan. Seandainya Sdr.Tanri tidak menjalankan tugasnya sebagai Meneg BUMN, maka dapat dibayangkan saat ini, puluhan ribu karyawan Garuda maupun bank-bank BUMN akan mengalami nasib yang sama seperti karyawan PT. DI. Upaya penyelamatan yang sama kami lakukan pada kasus PLN, yang saat itu mengalami kerugian dan kesulitan keuangan 17 kali lebih besar dari PT. DI. Kerugian kumulatif PT DI dari tahun 1986-2000 adalah Rp.1,98 triliun, sementara kerugian PT. PLN mencapai Rp. 26,9 triliun. Kami memerintahkan kepada PLN untuk melakukan revaluasi aset sekaligus memberikan fasilitas deffered tax payment, debt-equity swap dari sebagian hutang dalam upaya memperbaiki posisi keuangan PLN sehingga menjadi lebih sehat dan kembali memiliki akses kepada perbankan dan pasar obligasi. Dengan revaluasi aset tersebut, aset PLN meningkat dari Rp. 52 triliun menjadi Rp. 2002 triliun, dan modalnya meningkat dari -Rp 9,1 triliun menjadi +Rp. 119,4 triliun, dengan struktur aset dan modal kuat tersebut PLN memiliki akses untuk mendapatkan modal kerja dari perbankan maupun dari pasar obligasi. Kami juga melakukan negosiasi dengan pemasok listrik swasta agar supaya tarif penjualan mereka kepada PLN turun dari sekitar US 7 cent per KWH menjadi hanya US 4 cent per KWH. Disamping itu, PLN juga diminta untuk mengurangi kerugian transmisi (transmission loss) yang saat itu sangat tinggi. Dengan berbagai langkah tersebut, PLN dapat diselamatkan sehingga puluhan ribu karyawannya tidak mengalami nasib yang sama dengan karyawan PT. DI. Contoh-contoh di atas menunjukkan, jika Pemerintah cq. Menteri BUMN memiliki visi dan kepemimpinan, banyak masalah sebetulnya dapat diselesaikan yang justru dapat menciptakan lapangan kerja, bukan malah meningkatkan pengangguran dan PHK. Adalah ironis satu-satunya prestasi Pemerintah Megawati dalam sektor riil adalah penjualan dengan obral aset-aset negara yang sangat merugikan kepentingan bangsa

Indonesia, tanpa kemampuan samasekali untuk menyelamatkan dan meningkatkan nilai tambah aset yang ada. Berikut adalah alternatif solusi penyelamatan PT. DI yang hanya dapat dilakukan oleh suatu pemerintahan yang memiliki visi, kepemimpinan dan tidak korup: 1. Meneruskan perubahan paradigma dari high-cost aircraft industry menjadi competitive aircraft industry dan meneruskan reorientasi bisnis ke arah produksi parts dan komponen, dan produksi helikopter dibawah lisensi (NBO, Nbell, NAS-332, Super Puma), dan pesawat kelas CN-235 dan NC-212. Melakukan pergantian Direksi dan manajemen PT. DI yang jelas-jelas tidak mempunyai kemampuan dan jaringan internasional untuk mendapatkan order pekerjaan (terbukti tidak ada order pekerjaan selama tahun 2003), dan hanya mampu menyalahkan karyawan melalui tindakah PHK. Manajemen yang baru harus memenuhi kriteria integritas, kepemimpinan, kemampuan teknis dan memiliki jaringan internasional. Dengan kriteria tersebut manajemen harus mampu mendapatkan order pekerjaan baru dari industri penerbangan dunia. Mengalihkan rencana dan kontrak pembelian helikopter tempur dari Rusia senilai US$ 70 juta dan dari Polandia sebesar US$ 23 juta kepada PT. DI. Pengalihan pekerjaan dan kontrak tersebut cukup untuk memberikan ruang gerak untuk penyelamatan PT. DI. Adalah ironis dan sama sekali tidak bertanggung jawab bagi pemerintahan Megawati untuk membeli helikpoter dari Rusia dan Polandia padahal PT. DI memiliki kemampuan untuk membuat helikopter tempur dibawah lisensi fabrikan terkemuka di dunia seperti NBO, Nbell, NAS332, dan Super Puma. Memerintahkan kepada manajemen baru PT. DI untuk melakukan divestasi aset-aset yang tidak terkait langsung dengan kegiatan produksi (non- core asset) sehingga dapat dijadikan tambahan modal kerja perusahaan. Melanjutkan restrukturisasi finansial dan utang PT. DI sehingga perusahaan kembali menjadi viable sehingga memiliki akses kepada sektor perbankan dan pasar uang untuk mendapatkan modal kerja tambahan. Unit-unit pabrikasi dan permesinan yang berkaitan dengan teknologi persenjataan dapat disinergikan dengan unit sejenis dari PT PINDAD, PT DAHANA dan PT PAL untuk diarahkan sebagai perusahaan mandiri dalam teknologi persenjataan dan teknologi militer. Dengan langkah ini, program efisiensi dan peningkatan daya saing untuk produk komersiel dapat ditingkatkan dengan lebih sistimatis dan terencana.

2.

3.

4.

5.

6.

Kasus PT. Dirgantara Indonesia (DI) merupakan salah satu contoh dari banyak contoh lain tentang ketidakmampuan pemerintahan Megawati menangani berbagai masalah sektor riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tidak aneh telah terjadi peningkatan pengangguran selama dua tahun terakhir Pemerintahan Megawati. Tingkat pengangguran terbuka yang telah berkurang menjadi 36,2% pada tahun 2001, kembali meningkat menjadi 40% selama dua tahun terakhir Pemerintahan Megawati. Peningkatan pengangguran tersebut terjadi karena tidak adanya visi, lemahnya kepemimpinan dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit di sektor riil seperti tampak dalam kasus PT. DI. Kinerja PT. DI yang semula membaik pada periode 2000-2002, kembali menjadi rusak dan merosot akibat salah kaprah kebijakan dan manajemen yang tidak kompeten. Indonesia memerlukan kepemimpinan yang visi, lebih efektif dan tidak korup. tanpa itu, berbagai masalah dalam bidang ekonomi, terutama pengangguran dan tingkat daya beli rakyat, tidak akan terselesaikan. Indonesia deserves better leader !

You might also like