You are on page 1of 31

Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 224

BAB X
SPIN ELEKTRON DAN PRINSIP PAULI
10.1 Spin Elektron
Setiap orang yang mempelajari ilmu kimia, pasti familiar dengan spektrum warna
kuning yang berasal dari nyala unsur natrium. Pengujian secara cermat terhadap spektrum
natrium menunjukkan bahwa garis kuning tertajam yang biasa disebut garis D
sesungguhnya terdiri atas dua garis yang berjarak sangat rapat. Garis D unsur natrium ini

berasal dari transisi konfigurasi tereksitasi 1s2 2s2 2p6 3s2 3p1 ke keadaan dasar (ground
state). Sifat doublet garis kuning serta garis-garis lain dari spektrum natrium ini,
menunjukkan adanya kelipatan dua terhadap ekspektasi banyaknya state dikaitkan
dengan elektron valensi.
Untuk menjelaskan struktur spektra atom natrium ini, Uhlenbeck dan Goudsmit
menyatakan pada tahun 1925, bahwa elektron mempunyai momentum angular intrinksik
selain momentum angular orbital dalam pergerakannya mengelilingi inti atom.
Selanjutnya momentum intrinksik ini disebut momentum angular spin atau
disederhanakan menjadi spin saja, yaitu suatu momentum angular yang muncul dari
gerak rotasi elektron terhadap sumbunya. Perlu diingat bahwa “spin” elektron ini bukan
merupakan efek klasik, dan gambaran mengenai elektron yang berotasi pada sebuah
sumbunya itu, tidak dapat dikonsiderasikan untuk merepresentasikan realitas fisik.
Momentum angular intrinksik ini adalah nyata, tetapi tidak visualisasi model yang dapat
dengan mudah digunakan untuk menjelaskan asal-usulnya secara pantas. Kita tidak dapat
berharap untuk memperoleh pemahaman yang layak terhadap patikel mikroskopik atas
dasar sebuah model yang diambil dari pengalaman di dalam dunia makroskopik. Perlu
pula diketahui bahwa partikel-partikel elementer lain selain elektron, juga mempunyai
momentum angular spin.
Pada tahun 1928, Paul Dirac mengembangkan mekanika kuantum relativistik
untuk gerak sebuah elektron, dan dalam pembahasannya spin elektron muncul secara
natural. Teori Dirac juga mengindikasikan adanya elektron bermuatan positif yang
disebut positron, meskipun Dirac tidak secara penuh merealisasikannya pad tahun 1928.
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 225

Positron baru diketemukan pada tahun 1932. Positron ini merupakan sebuah antipartikel
dari elektron.
Dalam pembahasan secara non relativistik yang akan dipergunakan di sini,
elektron harus dikenal sebagai sebuah hipotesis tambahan. Kita telah mempelajari bahwa
setiap properti fisik berhubungan dengan operator Hermitian linear dalam mekanika
kuantum. Untuk properti momentum angular orbital yang mempunyai analogi dengan
mekanika klasik, kita dapat menyusun operator mekanika kuantumnya, dengan

menggunakan ekspresi klasik dan mengganti px, py dan pz dengan operator yang sesuai.

Namun, momentum angular spin dari sebuah partikel mikroskopik, tidak mempunyai
analogi dengan mekanika klasik, sehingga kita tidak dapat menggunakan metode seperti
itu untuk membangun sebuah operator bagi momentum angular spin. Untuk tujuan ini,
kita akan secara sederhana menggunakan simbol-simbol untuk operator spin, tanpa
memberikan bentuk eksplisit dari simbol-simbol itu.
   
Analog dengan operator momentum angular orbital L2 , L x , L y , L z maka kita

   
menggunakan simbol S 2 , S x , S y , S z untuk operator momentum angular spin dan


dipostulatkan sebagai operator linear dan Hermitian. S 2 adalah operator untuk kuadrat

dari besarnya momentum angular spin total dari sebuah partikel. S z adalah operator

momentum angular spin partikel untuk komponen z. Selanjutnya hubungan antara


momentum angular total dengan komponen-komponennya adalah:
   
S 2 = S x2 + S y2 + S z2 (10-1)

Dipostulatkan bahwa operator momentum angular spin mengikuti relasi kommutasi yang
  
sama sebagaimana operator momentum angular orbital. Analog dengan [ L x , L y ] = i L z ,
     
[ L y , L z ] = i L x , [ L z , L x ] = i L y ( lihat bab 5), kita dapat menyatakan bahwa:
        
[S x , S y ] = i S z , [S y , S z ] = i S x , [S z , S x ] = i S y (10-2)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 226

Selanjutnya sebagaimana untuk operator momentum angular orbital yang sudah dibahas
pada bab 5, kita juga dapat menyatakan bahwa:
   2   
[S 2 , S x ] = [S , S y ] = [S 2 , S z ] = 0 (10-3)

Selanjutnya karena nilai eigen L2 adalah ( + 1) 2 kita juga dapat menyatakan bahwa

nilai eigen untuk S 2 adalah:

s( s + 1) 2 s = 0, ½ , 1 . . . . (10-4)

dan nilai eigen untuk S z adalah:

ms , ms = −s, −s+1, . . . ., s−1, s (10-5)

Bilangan kuantum s disebut spin partikel. Meskipun pada pembahasan bab 5 tidak
terdapat pembatasan bahwa elektron hanya mempunyai sebuah harga s, namun
eksperimen menunjukkan bahwa semua elektron hanya mempunyai satu macam harga s
yaitu ½ . Dengan s = ½ maka diperoleh:

S= s ( s + 1) = ½ 3 (10-6)

Untuk s = ½ , persamaan (10-5) memberikan dua kemungkinan nilai eigen untuk S z ,

yaitu ½ dan −½ . Jika fungsi eigen yang berhubungan dengan masing-masing nilai

eigen untuk S z ini kita sebut α dan β, maka persamaan eigennya dapat ditulis:

Sz α = ½ α (10-7)

S z β = −½ β (10-8)

Selanjutnya dengan menggunakan (10-4) dan s = ½ , dapat diketahui bahwa nilai eigen
 
untuk S 2 = ¾ 2 . Karena operator S 2 adalah kommute terhadap operator S , maka α
z

dan β yang merupakan fungsi eigen terhadap S z merupakan fungsi eigen pula terhadap
 
operator S 2 . Dengan demikian persamaan eigen yang menghubungkan operator S 2

dengan fungsi dan nilai eigennya adalah:


 
S 2 α = ¾ 2α S 2 β = ¾ 2β (10-9)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 227

  
Operator S z tidak kommute terhadap operator S y dan S z , oleh karena itu fungsi α dan

 
β tidak merupakan fungsi eigen untuk S y dan S z . Istilah spin up diberikan untuk ms =

½ sedang spin down untuk ms = − ½ . Perhatikan gambar 10.1. Akan kita tunjukkan

bahwa dua kemungkinan untuk bilangan kuantum ms, membuat garis rangkap dua pada
spektra logam alkali.
Fungsi gelombang yang telah kita pelajari sebelumnya adalah fungsi koordinat

ruang dari sebuah partikel ; ψ = ψ(x, y, z). Sekarang kita boleh bertanya. Apakah variabel

untuk fungsi α dan β ? Kadang-kadang orang menggunakan koordinat spin ω, tanpa

membuat spesifikasi buat koordinat tersebut. Yang lebih sering, orang menggunakan ms

sebagai variabel penentu fungsi α dan β. Jika kita menggunakan ms sebagai variabel, kita

mempunyai.
α = α(ms) β = β(ms) (10-10)

Sebagaimana biasa, kita menginginkan agar fungsi eigen ternormalisasi. Ketiga variabel

x, y dan z pada fungsi gelombang sebuah partikel mempunyai rentang kontinum dari − ∞
sampai ∞ sehingga bentuk normalisasinya adalah::
∞ ∞ ∞
2
∫ ∫ ∫ ψ (x, y, z) dx dy dz = 1
−∞ −∞ −∞
Variabel ms pada fungsi eigen spin elektron hanya mempunyai dua macam nilai diskrit

yaitu + ½ dan − ½ , sehingga normalisasinya adalah:


1/2 2 1/2 2
∑ α (m )
s
=1 ; ∑ β (m )
s
=1 (10-11)
ms = − 1/2 ms = − 1/2

S
½
½ 3
−½
S
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 228

Gambar 10.1: Dua kemungkinan arah vektor spin elektron


terhadap sumbu z. Pada masing-masing kasus, S terletak pada
permukaan kerucut yang sumbunya adalah sumbu z.
Karena fungsi eigen α dan β berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda dari operator

Hermitian S z , maka keduanya pasti ortogonal, jadi:

1/2
∑ α *(ms ) . β (m ) = 0
s (10-12)
ms = − 1/2

Ketika kita menganggap fungsi gelombang sebuah elektron adalah fungsi yang lengkap,
yang terdiri atas variabel ruang maupun spin, maka normalisasinya adalah:
1/2 ∞ ∞ ∞ 2
∑ ∫ ∫ ∫ ψ (x, y, z, m )
s
dx dy dz = 1 (10-13)
ms = − 1/2 − ∞ − ∞ − ∞

Notasi penjumlahan untuk seluruh variabel spin dan integral untuk seluruh variabel ruang
seperti pada (10-13) tersebut selanjutnya disederhanakan menjadi:

2
∫ ψ (x, y, z, m )
s

sedang untuk integral seluruh rentang variabel ruang saja digunakan notasi ∫ dv.

10.2 Spin Pada Atom Hidrogen


Fungsi gelombang yang menyatakan kedudukan sebuah elektron, tidak hanya
bergantung pada koordinat x, y, z tetapi juga bergantung pada spin elektron. Apakah
pengaruh masalah ini terhadap fungsi gelombang dan tingkat energi pada atom hidrogen?
Jika fungsi koordinat dinyatakan dengan ψ(x, y, z) dan fungsi spin misalnya saja

kita nyatakan dengan g(ms), maka fungsi gelombang elektron tunggalnya secara lengkap

dapat ditulis sebagai berikut:


ψ(x, y, z). g(ms)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 229

dengan g(ms) adalah fungsi yang mewakili baik fungsi α maupun β, bergantung nilai ms-

nya. Jika ms = ½ maka g(ms) mewakili α dan jika ms = −½ maka g(ms) mewakili β.

Tetapi agar pembahasannya lebih umum, g(ms) dapat dipandang sebagai kombinasi

linear dari α dab β. [Jadi g(ms) = c1 α + c2 β]. Karena operator Hamilton tidak

berpengaruh terhadap fungsi spin, maka:


 
H [ψ ( x, y, z ) .g (m ) ] = g (m ) H [ψ ( x, y , z ) ] = E[ψ ( x, y, z ) .g (m ) ]
s s s

dan tampak bahwa memperhitungkan efek spin, tidak berpengaruh terhadap energi
elektron. Artinya, efek spin tidak mempengaruhi energi elektron. Dengan demikian spin

yang berbeda hanya membuat kemungkinan state elektron menjadi dua kali lipat; untuk ψ

(x, y, z) misalnya, kita dapat mempunyai dua kemungkinan fungsi state yaitu:

ψ(x, y, z)α dan ψ(x, y, z)β.

10.3 Prinsip Pauli


Kita misalkan ada sebuah sistem yang terdiri atas beberapa partikel identik. Dalam
mekanika klasik, identitas masing-masing partikel tidak menimbulkan konsekuensi
khusus. Sebagai contoh, beberapa bola identik yang menggelinding di meja billiard.
Adalah sangat mungkin sekali, untuk mengikuti gerak masing-masing bola secara
individual, misal saja dengan menggambarkan bekas lintasan gerak bola itu. Kita dengan
mudah dapat mengatakan bahwa bola satu bergerak pada lintasan tertentu, sedang bola
dua bergerak pada lintasan tertentu yang lain, begitu seterusnya. Jadi, meskipun bola-bola
tersebut identik, kita dapat mengenalinya dengan memperhatikan lintasan yang
ditempuhnya. Jadi identitas bola tidak berpengaruh pada gerak bola-bola ini.
Dalam mekanika kuantum, prinsip ketidakpastian menyatakan bahwa kita tidak
dapat mengikuti lintasan eksak yang ditempuh oleh sebuah partikel mikroskopik. Jika
partikel mikroskopik, semuanya mempunyai perbedaan massa, atau muatan atau spin,
maka kita dapat menggunakan perbedaan itu untuk mengenali satu partikel dari partikel
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 230

yang lain. Tetapi, jika semua partikel tersebut identik, dan satu-satunya cara yang kita
miliki hanyalah mengikuti lintasan sebagaimana dalam mekanika klasik, maka
pengenalan dengan cara ini akan kehilangan kemampuan dalam mekanika kuantum,
karena adanya prinsip ketidakpastian. Oleh karena itu, fungsi gelombang masing-masing
dalam suatu sistem yang terdiri atas interaksi beberapa partikel identik, pasti tidak dapat
dikenali, artinya sangat tidak mungkin untuk menentukan fungsi apa untuk partikel yang
mana. Sebagai contoh, menurut perlakuan perturbasi untuk atom helium tereksitasi dalam
bab 9, terlihat bahwa fungsi 1s(1)2s(2), yang menyatakan elektron kesatu pada orbital 1s
dan elektron kedua pada orbital adalah bukan fungsi gelombang order nol yang benar.
Pernyataan yang lebih baik untuk menyatakan fungsi gelombang helium tereksitasi
adalah:

2−½[ 1s(1)2s(2) ± 1s(2)2s(1)]

yang tidak men-spesifikasi elektron yang mana yang berasa pada orbital 1s dan elektron
mana yang berada pada orbital 2s. (Jika dua partikel identik terpisah dengan baik satu
dari yang lain, maka fungsi gelombangnya tidak tumpang tindih, dan keduanya
dipandang sebagai partikel yang dapat dibedakan)
Sekarang akan diturunkan pembatasan terhadap wilayah fungsi gelombang untuk
menentukan índistinguishability (tingkat ketakterbedakan) sebuah partikel dalam
mekanika kuantum. Fungsi gelombang sebuah sistem yang terdiri atas n partikel
bergantung pada variabel ruang dan spin. Untuk partikel 1 variabelnya adalah

x1,y1,z1,ms. Sekarang kita gunakan q1 untuk menyatakan x1,y1,z1,ms. Jadi fungsi

gelombang untuk sistem n partikel adalah:

ψ ( q , q ,.q . . . . .,q .)
1 2 3 n

Sekarang dibuat sebuah operator permutasi P1 2 yang mempertukarkan semua koordinat

dari partikel 1 dan 2:



P1 2 ƒ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ƒ ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) (10-14)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 231


Sebagai contoh, efek P1 2 pada fungsi yang mempunyai elektron 1 pada 1s dengan spin

up, dan elektron 2 pada 3s dengan spin down adalah:



P1 2 [1s(1)α(1)3s(2)β(2)] = [1s(2)α(2)3s(1)β(1)]
 
Bagaimana nilai eigen P1 2 ? Jika P1 2 diaplikasikan dua kali, maka akan menghasilkan

fungsi asalnya:
 
P1 2 P1 2 ƒ ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ƒ ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.)

 
Oleh karena itu P122 = 1 . Selanjutnya kita ambil wi dan ci sebagai fungsi dan nilai eigen

dari operator P1 2 , Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa:

P1 2 wi = ci wi
   
Aplikasi P1 2 pada P1 2 wi = ci wi menghasilkan P122 wi = P1 2 ci wi atau:

 
P122 wi = ci P1 2 wi

  
Jika P122 diganti 1 dan P1 2 wi diganti ci wi maka diperoleh:

wi = c 2 wi
i

sehingga nilai eigen operator P1 2 yaitu ci diperoleh yaitu:

ci = ± 1

Jika wi adalah fungsi eigen dari operator P1 2 yang nilai eigennya +1, maka:

P1 2 w(+ ) ( q , q ,.q . . . . .,q .) = (+1) w(+ ) ( q , q ,.q . . . . .,q .)
1 2 3 n 1 2 3 n

w(+ ) ( q , q ,.q . . . . .,q .) = w(+ ) ( q , q ,.q . . . . .,q .) (10-15)


2 1 3 n 1 2 3 n

Fungsi sebagaimana w+ , yang memiliki sifat (10-15) yang tidak berubah jika partikel 1
dan 2 dipertukarkan disebut simetrik terhadap pertukaran partikel 1 dan 2. Untuk nilai

eigen −1, diperoleh:

w(−) ( q , q ,.q . . . . .,q .) = − w(−) ( q , q ,.q . . . . .,q .) (10-16)


2 1 3 n 1 2 3 n
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 232

Fungsi w(−) pada (10-16) disebut antisimetrik terhadap pertukaran partikel 1 dan 2.

Hendak tidak menjadi rancu antara sifat simetrik dan antisimetrik terhadap
pertukaran partikel dengan sifat genap dan ganjil dalam kaitannya dengan inversi pada

ruangan. Fungsi x1 + x 2 adalah simetrik terhadap pertukaran 1 dan 2 dan merupakan

fungsi ganjil dari x1 dan x2 sedang fungsi x 2 + x 2 adalah simetrik terhadap pertukaran 1
1 2

dan 2 dan merupakan fungsi genap dari x1 dan x2.



Selanjutnya bagaimana definisi dari operator P i j ? Analog dengan (10-14), maka:

P i j ƒ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) = ƒ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) (10-17)
1 i j n 1 j i n
 
Nilai eigen untuk P i j sama dengan nilai eigen untuk P1 2 , yaitu +1 dan −1.

Sekarang kita akan membahas fungsi gelombang sistem yang terdiri atas n
partikel mikroskopik identik. Karena masing-masing partikel tak terbedakan, maka
pemberian label terhadapnya tidak memberikan pengaruh apapun terhadap sistem.
Dengan demikian, dua fungsi gelombang:
ψ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) dan ψ( q , q ,.. . . .q ,.,q .)
1 i j n 1 j i n

harus berhubungan dengan state sistem yang sama. Dua fungsi yang berhubungan dengan
state yang sama dapat dibedakan oleh bilangan konstan sebagai pengali. Jadi:
ψ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) = cψ( q , q ,.. . . .q ,.,q .)
1 i j n 1 j i n

P i j ψ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) = cψ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) (10-18)
1 i j n 1 i j n

Persamaan (10-18) menyatakan bahwa ψ adalah fungsi eigen dari P i j . Kita tahu, bahwa

hanya ada dua kemungkinan nilai eigen dari P i j yaitu +1 dan −1. Jadi disimpulkan

bahwa fungsi gelombang untuk sistem n partikel identik pasti simetrik atau antisimetrik
terhadap pertukaran i dan j atau secara lebih umum dapat dinyatakan bahwa fungsi
gelombang n partikel identik adalah bersifat simetrik terhadap sembarang pertukaran atau
antisimetrik terhadap sembarang pertukaran dua partikel.
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 233

Telah kita ketahui, bahwa ada dua kemungkinan kasus untuk fungsi gelombang
partikel identik, yaitu kasus simetrik dan anti simetrik. Namun fakta-fakta eksperimen
menunjukkan bahwa untuk elektron, hanya kasus antisimetrik yang terjadi. Jadi kita
mempunyai sebuah postulat tambahan dalam mekanika kuantum, yang menyatakan
bahwa fungsi gelombang untuk sistem elektron harus antisimetrik terhadap pertukaran
dua elektron sembarang. Postulat yang penting ini Prinsip Pauli sesuai dengan nama
fisikawan Wolfgang Pauli.
Pauli menunjukkan bahwa teori medan kuantum relativistik meng-indikasikan bahwa
1 3
partikel yang spin-nya tengahan ( s = ,
2 2 dan seterusnya ) mempunyai fungsi gelombang

antisimetrik, sedang partikel dengan spin bilangan bulat ( s = 0, 1, 2 dan seterusnya)


mempunyai fungsi gelombang simetrik, Fakta-fakta eksperimen ternyata menuntun kita
pada kesimpulan yang sama. Partikel yang mempunyai fungsi gelombang antisimetrik
seperti elektron disebut fermion ( sesuai dengan nama Enrico Fermi) sedang partikel yang
mempunyai fungsi gelombang simetrik disebut boson ( sesuai dengan nama S.N. Bose).
Prinsip Pauli mempunyai konsekuensi menarik terhadap sistem fermion identik.
Persyaratan antisimetrik menyatakan bahwa:
ψ ( q , q ,.q . . . . .,q .) = −ψ ( q , q ,.q . . . . .,q .) (10-19)
1 2 3 n 2 1 3 n

Jika elektron 1 dan 2 mempunyai koordinat dan spin yang sama, maka q1 = q2, sehingga:

ψ ( q , q ,.q . . . . .,q .) = −ψ ( q , q ,.q . . . . .,q .)


1 1 3 n 1 1 3 n

2ψ=0

ψ ( q , q ,.q . . . . .,q .) = 0 (10-20)


1 1 3 n

Jadi dua elektron dengan spin yang sama mempunyai probabilitas nol untuk dijumpai
pada titik yang sama dalam ruang tiga dimensi. (Yang dimaksud dengan spin sama adalah

mempunyai nilai ms yang sama). Karena ψ merupakan fungsi kontinum, maka arti dari

(10-20) adalah bahwa probabilitas untuk mendapatkan dua elektron dengan spin sama
berada pada posisi berdekatan adalah sangat kecil. Jadi prinsip Pauli memaksa elektron
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 234

yang spin-nya sama berada pada jarak saling berjauhan satu terhadap yang lain; untuk
mendeskripsi hal ini, orang sering menyebut tolakan Pauli di antara beberapa elektron.
Tolakan ini bukan gaya fisik yang real, tetapi hanya refleksi dari fakta bahwa fungsi
gelombang elektronik harus antisimetrik terhadap pertukaran elektron.

10.4 Atom Helium


Sekarang akan dibahas lagi mengenai atom helium ditinjau dari spin elektron dan
prinsip Pauli. Dalam bab 9 telah kita ketahui bahwa fungsi gelombang helium ground
state order nol pada perlakuan perturbasi adalah 1s(1)1s(2). Untuk melibatkan spin dalam
perhitungan, kita harus fungsi koordinat ruang dengan fungsi eigen spin. Oleh karena itu,

kita harus menentukan fungsi spin untuk dua elektron. Kita akan menggunakan notasi α

(1)α(2) jika elektron 1 spin up, elektron 2 spin up. Jika elektron 1 spin up dan elektron 2

spin down maka notasinya adalah α(1)β(2). Dengan penataan seperti itu kelihatannya
dengan mudah kita akan memperoleh 4 kemungkinan notasi fungsi spin, yaitu:
α(1)α(2) β(1)β(2) α(1)β(2) α(2)β(1)

Tidak ada masalah untuk fungsi pertama dan kedua, tetapi fungsi ketiga dan keempat
melanggar prinsip “tak terbedakan”. Sebagai contoh marilah kita perhatikan fungsi
ketiga. Pada fungsi ketiga itu, elektron 1 spin up sedang elektron kedua spin down.
Lantas, bagaimana cara membedakan elektron 1 dan elektron 2?
Untuk menangani kedua fungsi terakhir ini , marilah kita ingat kembali situasi yang sama
ketika menangani helium tereksitasi pada bab 9. Pada saat itu, dengan bertolak dari:
1s(1)2s(2) dan 2s(1)1s(2)

kita memperoleh dua fungsi order nol yang benar yaitu 2−½[1s(1)2s(2) ± 2s(1)1s(2)].

Analog dengan itu, jika bertolak dari dua fungsi α(1)α(2) dan β(1)β(2) maka fungsi order
nol yang kita peroleh adalah:

2−½[α(1)β(2) ± β(1)α(2)]. (10-21)

Kedua fungsi (10-21) tersebut adalah kombinasi linear ternormalisasi yang berasal dari
α(1)β(2) dan β(2)α(1)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 235


yang merupakan fungsi eigen dari operator P1 2 yang bersifat simetrik atau antisimetrik.

Jika elektron 1 dan 2 dipertukarkan maka 2−½[α(1)β(2) +β(1)α(2)]. akan menjadi:

2−½[α(2)β(1) +β(2)α(1)].

yang persis sama dengan fungsi asalnya. Sementara itu, pertukaran pada fungsi 2−½[α(1)

β(2) −β(1)α(2)] akan menghasilkan:

2−½[α(2)β(1) − β(2)α(1)]

yang −1 kali fungsi asalnya. Untuk menunjukkan bahwa (10-21) ternormalisasi adalah
sebagai berikut:

1 1
∑∑ [α (1) β ( 2) ] ± [ β (1)α ( 2) ] * . [α (1) β ( 2) ] ± [ β (1)α ( 2) ]
m m 2 2
s1 s 2

1
= ∑ ∑ 2 [α (1) β ( 2) ] * ±[ β (1)α ( 2) ] * . [α (1) β ( 2) ] ± [ β (1)α ( 2) ] =
m m
s1 s 2

1
= ∑ ∑ 2 [α (1) * β ( 2) * α (1) β ( 2) ] ± [α (1) * β ( 2) * β (1)α ( 2) ]
m m
s1 s 2

± [ β (1) * α ( 2 ) * α (1) β ( 2) ]. + [ β (1) * α ( 2) * β (1)α ( 2 ) ]

1 1
= ∑ ∑ 2 [α (1) * β ( 2) * α (1) β ( 2) ] ± ∑ ∑ 2 [α (1) * β ( 2) * β (1)α ( 2) ]
m m m m
s1 s 2 s1 s 2

1 1
± ∑ ∑ 2 [ β (1) * α ( 2) * α (1) β ( 2) ] ± ∑ ∑ 2 [ β (1) * α ( 2) * β (1)α ( 2) ]
m m m m
s1 s 2 s1 s 2

1 1
∑ α (1) 2 ∑ [ β ( 2 )α ] 2 ± ∑ α (1) * β (1) ∑ [ β ( 2 ) * α ( 2) ]
= 2 2m
m m m
s1 s2 s1 s2
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 236

1 1
± ∑ β (1) * α (1) ∑ [α ( 2 ) * β ( 2) ] ± ∑ β (1) 2 ∑ [α ( 2 ) ] 2
2m 2m
m m
s1 s2 s1 s2

Dengan menggunakan sifat (10-11) dan (10-12) diperoleh:


1 1
α (1) ∑ [ β ( 2 )α ] 2 ± ∑ α (1) * β (1) ∑ [ β ( 2 ) * α ( 2) ]
2
2m
∑ 2m
m m
s1 s2 s1 s2

1 1
± ∑ β (1) * α (1) ∑ [α ( 2 ) * β ( 2) ] ± ∑ β (1) 2 ∑ [α ( 2 ) ] 2
2m 2m =½+0+0+½=1
m m
s1 s2 s1 s2

Dengan demikian kita telah memperoleh empat buah kemungkinan fungsi spin elektron
helium yaitu:

 α (1)α ( 2) (10.22)

Simetrik  β (1) β ( 2 ) (10.23)
{α (1) β ( 2 ) + β (1)α ( 2 )} 2 (10.24)

Antisimetrik {α (1) β ( 2) + β (1)α ( 2)} 2 (10.25)

Selanjutnya sekarang kita akan menyatakan fungsi gelombang helium grounds state order
nol dengan melibatkan spin. Kita tahu bahwa fungsi spasial (koordinat ruang) 1s(1)2s(2)
adalah fungsi simetrik terhadap pertukaran partikel. Sementara itu, menurut prinsip Pauli,
fungsi gelombang elektron secara keseluruhan harus bersifat antisimetrik terhadap
pertukaran elektron. Oleh karena itu fungsi spasial 1s(1)2s(2) yang simetrik itu harus
dikalikan dengan satu-satunya fungsi spin yang antisimetrik, agar secara keseluruhan
menjadi antisimetrik, sebagaimana disyaratkan oleh prinsip Pauli. Dengan demikian,
fungsi gelombang helium yang melibatkan fungsi spin adalah:

ψ(0) = 1s(1)2s(2). 2−½[α(1)β(2) − β(1)α(2)] (10-26)



Fungsi ψ(0) adalah fungsi eigen dari operator P1 2 dengan nilai eigen −1.

Perlu diingat, bahwa spin tidak berpengaruh terhadap energi, oleh karena itu,
sebagai sebuah pendekatan perhitungan energi, operator Hamilton (Hamiltonian)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 237

merupakan operator energi yang sudah sangat memadai, meskipun Hamiltonian tidak
melibatkan spin.
Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa spin memang benar-benar tidak berpengaruh
terhadap energi. Untuk ini kita gunakan kalkulasi energi atom helium ground state,
dengan metode variasi. Fungsi variasi yang digunakan adalah:

φ = ƒ(r1, r2, r3) . 2−½[α(1)β(2) − β(1)α(2)]

dengan ƒ adalah fungsi spasial ternormalisasi yang bersifat simetrik dari dua elektron
dalam helium. Integral variasionalnya adalah:

φ dτ = ∑ ∑ ∫ ∫ ƒ*(r1, r2, r3) . 2−½[α(1)β(2) − β(1)α(2)]*



∫ φ * H
m m
s1 s 2


x H ƒ(r1, r2, r3) . 2−½[α(1)β(2) − β(1)α(2)] dv1 dv2 .

Karena H hanya bekerja pada fungsi koordinat (spasial) dan tidak pada fungsi spin,
integral variasionalnya menjadi:

ƒ*(r1, r2, r3) H ƒ(r1, r2, r3) ∑ ∑ ½ [α(1)β(2) − β(1)α(2)]2



∫∫ m m
s1 s 2

Karena fungsi spin ternormalisasi (10-25), maka integral variasionalnya tereduksi


menjadi:
 
∫ φ * H φ dτ = ∫∫ ƒ*(r1, r2, r3) H ƒ(r1, r2, r3)

yang merupakan bentuk yang sudah kita kenal sebelum spin dilibatkan.
Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi. Telah kita ketahui bahwa fungsi
spasial untuk helium eksitasi terendah adalah:

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)]

Karena fungsi spasial tersebut sudah antisymetrik, maka harus dikalikan dengan fungsi
spin yang simetrik. Karena ada tiga fungsi spin yang simetrik sudah barang tentu kita
dapat memperoleh tiga fungsi degenarate dari atom helium tereksitasi yang melibatkan
spin, yaitu:
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 238

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)] α(1)α(2) (10-27)

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)] β(1)β(2) (10-28)

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)] .2−½[α(1)β(2) + β(1)α(2)] . (10-29)

Untuk tingkat eksitasi berikutnya, persyaratan antisimetrik untuk fungsi gelombang


secara menyeluruh, akan menggiring kita kepada fungsi gelombang order nol:

2−½[1s (1) 2s (2) + 2s (1)1s(2)] .2−½[α(1)β(2) − β(1)α(2)] . (10-30)

Prosedur yang sama dapat digunakan jika kita ingin membahas helium tereksitasi pada

1s12p1.

10.5 Prinsip Eksklusi Pauli


Sejauh ini, kita belum melihat konsekuensi yang spektakuler dari spin elektron
dan prinsip Pauli. Dalam atom hidrogen dan helium, faktor spin dalam fungsi gelombang
dan persyaratan antisimetrik hanya berpengaruh terhadap degenerasi terhadap level tetapi
tidak berpengaruh terhadap energi. Untuk litium, ceritanya agak sedikit berbeda.
Pendekatan perturbasi natural terhadap atom litium melibatkan gaya repulsi antar
elektron sebagai perturbasi yang terletak di suku akhir dari Hamiltonian. Melalui langkah
yang sama sebagaimana kita lakukan pada helium, fungsi gelombang tak terperturbasi
pada litium adalah perkalian 3 fungsi gelombang mirip hidrogen. Untuk ground state,
ψ(0) = 1s(1)1s(2)1s(3) (10-31)

dan energi order nol tak terperturbasinya adalah.

 1 1 1   Z 2 e' 2  e' 2
E(0) = −  + +   = −27 = − 27 (13,606) eV = − 367,4 eV
 12 12 12   2 a o  2 ao

( 0)  ( 0) 
Koreksi energi order pertamanya adalah E(1) = ψ H 'ψ . Perturbasi H ' terjadi dari

repulsi antar elektron, sehingga:


2 e' 2
2 2 2 e' 2 2 2
E(1) = ∫ 1s(1) 1s (3) 1s(3)
r1.2
dv1 + ∫ 1s(1) 1s (3) 1s(3)
r1.3
dv 2
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 239

2
2 2 2 e'
+ ∫ 1s(1) 1s(3) 1s(3)
r2.3
dv 3

Pemberian label 1, 2 dan 3 pada elektron tidak berpengaruh terhadap nilai integral,
karena ketiga elektron adalah partikel identik, Jadi nilai masing-masing integral tersebut
adalah sama, meskipun terdapat perbedaan label, E(1) boleh ditulis:
2 2
2 2 2 e' 2 2 2 e'
E(1) = ∫ 1s(1) 1s(3) 1s(3) r1.2
dv1 + ∫ 1s(1) 1s (3) 1s(3)
r1.2
dv 2

2
2 2 2 e'
+ ∫ 1s(1) 1s(3) 1s(3)
r1.2
dv 3

atau:
2
2 2 2 e'
E(1) = 3 ∫ ∫ ∫ 1s (1) 1s (3) 1s(3) dv1 dv 2 .dv 3
r1.2

Bentuk di atas dapat ditata ulang menjadi:


2
2 2 e' 2
E(1) = 3 ∫ ∫ 1s(1) 1s (3) dv1 dv 2 .∫ 1s(3) dv 3
r1.2

2
tanpa mengubah nilai. Integral elektron ketiga yaitu ∫ 1s(3) dv 3 nilainya 1 Sehingga:

2
2 2 e'
E(1) = 3 ∫ ∫ 1s(1) 1s (3) dv1 dv 2 .
r1.2

yang dapat dievaluasi sebagaimana perturbasi pada helium (bab 9) dan diperoleh:

 5Z  e' 
2
E(1) = 3    = 3  15  13,606 eV = 1 eV
 4  2a o 
 4

E(0) + E(1) = −214,3 eV

Karena kita dapat menggunakan fungsi gelombang perturbasi order nol sebagai fungsi
variasi (ingat diskusi pada awal sub bab 9.4), dengan demikian menurut prinsip variasi,
E(0) + E(1) harus sama atau lebih besar dari pada energi ground state yang sesungguhnya.
Nilai eksperimental dari litium ground state, diperoleh dengan cara menjumlah energi
ionisasi pertama, kedua dan ketiga, yaitu sebesar (C.E. Moore, 1970):
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 240

−(5,39 + 75,64 + 122,45) eV = −203,5 eV

Tampak bahwa E(0) + E(1) lebih kecil dari pada energi ground state yang sesungguhnya,

sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip variasi. Atas dasar ini, maka konfigurasi 1s3
untuk litium ground state, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung E(0) + E(1)
dianggap tidak benar karena nilai energi yang lebih rendah dari pada nilai energi ground

state yang diperoleh melalui fakta eksperimen kimia. Kalau kita tetap menganggap 1s3
untuk litium ground state tersebut adalah benar, maka kita harus menganggap bahwa

konfigurasi ground state untuk unsur kimia bernomor atom Z adalah 1s Z. Hal ini akan
membuat kerancuan terhadap pemahaman sifat-sifat periodik unsur.
Sudah barang itu, kesalahan tersebut menggugurkan prinsip Pauli mengenai spin.
Fungsi gelombang hipotetis 1s(1)1s(2)1s(3) adalah simetrik terhadap pertukaran dua
elektron sembarang. Jika kita mengikuti prinsip Pauli, kita harus mengalikan fungsi
spasial ini dengan fungsi spin yang antisimetrik. Adalah mudah untuk membentuk fungsi

spin 3 elektron yang simetrik yaitu α(1)α(2)α(3), namun adalah tidak mungkin untuk
susunan 3 elektron yang menghasilkan fungsi antisimetrik. Selanjutnya bagaimana
konfigurasinya agar kita peroleh 3 elektron yang secara keseluruhan menjadi
antisimetrik?
Marilah kita mencoba membangun fungsi antisimetrik yang terdiri atas 3 elektron.
Kita gunakan ƒ, g dan h untuk fungsi koordinat ketiga elektron secara berturut-turut. Kita
bertolak dengan fungsi:
ƒ(1)g(2)h(3) (10-32)
yang tentu saja tidak antisimetrik. Fungsi antisimetrik yang kita inginkan harus

terkonversi menjadi minus fungsi itu sendiri jika oleh salah satu operator permutasi P1 2
 
atau P1 3 atau P 2 3 . Aplikasi masing-masing operator ini terhadap fungsi (10-32)

menghasilkan:
ƒ(2)g(1)h(3)
ƒ(3)g(2)h(1)
(10-33)
ƒ(1)g(3)h(2)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 241

Kita dapat saja mencoba memperoleh fungsi antisimetrik dengan cara membuat
kombinasi linear terhadap ke empat fungsi (10-32) dan (10-33), tetapi upaya ini akan

gagal. Aplikasi P1 2 terhadap dua fungsi terakhir pada (10-33), menghasilkan:

ƒ(3)g(1)h(2) dan ƒ(2)g(3)h(1) (10-34)


yang tidak termasuk dalam (10-32) maupun (10-33). Oleh karena itu, kita harus
memasukkan ke enam fungsi (10-32), (10-33) dan (10-34) ke dalam kombinasi linear
antisimetrik yang kita inginkan. Ke enam fungsi ini adalah enam (3 . 2 . 1) kemungkinan
permutasi dari 3 elektron dalam 3 fungsi yaitu ƒ, g dan h. Jika ƒ(1)g(2)h(3) adalah solusi
dari persamaan Schrodinger dengan nilai eigen E, maka lantaran identitas partikel,
masing-masing fungsi (10-32) sampai (10-34) harus juga merupakan solusi dengan nilai
eigen yang sama yaitu E, dan sembarang kombinasi linear dari fungsi-fungsi ini adalah
merupakan fungsi eigen dengan nilai eigen E.
Kombinasi linear antisimetriknya mempunyai bentuk sabagai berikut:
c1 ƒ(1)g(2)h(3) + c2 ƒ(2)g(1)h(3) + c3 ƒ(3)g(2)h(1) + c4 ƒ(1)g(3)h(2)
+ c5 ƒ(3)g(1)h(2)+ c6 ƒ(2)g(3)h(1) (10-35)

Karena fungsi ƒ(2)g(1)h(3) = P1 2 ƒ(2)g(1)h(3), dalam rangka memperoleh (10-35)

sebagai fungsi eigen dari operator P1 2 dengan nilai eigen −1, kita harus membuat c2 = −

c1. Dengan alas yang sama, karena ƒ(3)g(2)h(1) = P 1 3 ƒ(1)g(2)h(3) dan ƒ(1)g(3)h(2) =

P 2 3 ƒ(1)g(2)h(3), sehingga kita harus membuat c3 = −c1 dan c4 = −c1. Karena

ƒ(3)g(1)h(2) = P1 2 ƒ(3)g(2)h(1), kita harus membuat c5 = −c3 = c1. Selanjutnya kita akan

memperoleh c6 = c1. Dengan demikian kombinasi linear (10-35) dapat ditulis:


c1 [ƒ(1)g(2)h(3) − ƒ(2)g(1)h(3) − ƒ(3)g(2)h(1) − ƒ(1)g(3)h(2)

+ ƒ(3)g(1)h(2)+ ƒ(2)g(3)h(1)] (10-36)


yang dengan mudah dapat dibuktikan bahwa fungsi kombinasi linear (10-36) adalah
antisimetrik terhadap pertukaran 1-2, 1-3 dan 2-3. [ jika semua tanda pada (10-36) positif,
maka kita akan memperoleh fungsi simetrik].
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 242

Marilah kita asumsikan bahwa fungsi ƒ, g dan h adalah ortonormal dan kita pilih
c1 sedemikian rupa sehingga (10-36) ternormalisasi. Untuk memperoleh harga c1, kalikan
(10-36) dengan komplek konjugasinya kemudian dintegralkan.. Kita akan memperoleh
integral 36 suku. Tapi dari karena asumsi ortonormal, maka hanya 6 integral yang
nilainya masing-masing 1 (karena ortonomal) sedang 30 fungsi yang lain bernilai nol
(karena ortogonal). Yang bernilai satu adalah yang berasal dari perkalian fungsi yang
sama. Jadi:

∫ (10 − 36) * (10 − 36)dτ =1

c12 . (1+1+1+1+1+1) = 1
1
c1 =
6
Kita dapat memperoleh (10-36) dengan cara sebagaimana kita lakukan di atas, tetapi ada
cara yang jauh lebih sederhana, yaitu (lihat bab 8) dengan menggunakan determinan
order 3 berikut:

ƒ(1) g(1) h(1)


1 ƒ(2) g(2) h(2)
6 (10 − 37)
ƒ(3) g(3) h(3)

Sifat antisimetrik melekat pada determinan (10-37), sebab pertukaran label elektron,
berarti terjadi pertukaran baris pada determinan. Kita tahu bahwa salah satu sifat

determinan adalah nilainya lipat −1 dari nilai asalnya jika dilakukan pertukaran baris. Ini
merupakan sifat antisimetrik.
Dengan menggunakan determinan (10-37), sangatlah mungkin untuk membuat

fungsi spin antisimetrik untuk 3 elektron. Jika ƒ diganti α, g diganti β dan h diganti α,
maka (10-37) menjadi:
α (1) β (1) α (1)
1
α (2) β (2) α (2) (10-38)
6
α (3) β (3) α (3)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 243

Meskipun (10-38) antisimetrik, namun kita harus menolaknya, karena nilai (10-38)
adalah nol, sehingga determinan tersebut hilang nilainya. Ini berarti kita tidak mungkin
membuat fungsi spin antisimetrik 3 elektron yang tidak nol.
Selanjutnya kita akan menggunakan (10-37), untuk menyusun sebuah fungsi
gelombang order nol untuk litium ground state dengan melibatkan variabel spasial
maupun spin. Sekarang, fungsi ƒ, g dan h tidak hanya fungsi spasial tetapi juga
mengandung variabel spin. Kita misalkan:
ƒ(1) = 1s(1)α(1) (10-39)

Fungsi (10-39) itu disebut orbital-spin yaitu hasil kali antara fungsi orbital sebuah

elektron dengan fungsi spin elektron tersebut. Jika g(1) pada (10-37) diganti 1(s)α(1), hal
ini akan membuat dua kolom identik pada determinan (10-37) dan fungsi gelombang
akan hilang karena nilai determinannya nol. Hal ini kemudian menimbulkan kasus
penting yang disebut prinsip eksklusi Pauli yang menyatakan: Dua buah elektron tidak
boleh menempati orbital-spin yang sama.. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah
dengan menyatakan bahwa tidak ada dua elektron dalam sebuah atom yang mempunyai
nilai sama untuk semua bilangan kuantumnya. Prinsip eksklusi Pauli adalah konsekuensi
dari prinsip Pauli yang lebih umum, yaitu persyaratan antisimetrik dan bersifat kurang
memuaskan dibandingkan dengan statemen antisimetrik, karena prinsip eksklusi Pauli
hanya dilandasi oleh fungsi gelombang order nol aproksimasi, bukan fungsi gelombang

eksak. Karena penggantian g(1) = 1s(1)α(1) melanggar prinsip eksklusi Pauli, maka

dipilih g(1) = 1s(1)β(1). Selanjutnya bagaimana dengan h(1)? Untuk menghindari

kemungkinan pelanggaran terhadap prinsip eksklusi Pauli, maka kita pilih h(1) = 2s(1)α
(1). Pergantian terhadap ƒ, g dan h yang lain pada (10-37) dilakukan identik dengan
pergantian terhadap ƒ(1), g(1) dan h(1), sehingga fungsi gelombang order nol untuk
litium ground state yang dibangun melalui (10-37) adalah:
1s(1)α (1) 1s(1) β (1) 2 s(1)α (1)
1
ψ(0) = 1s(2)α (2) 1s(2) β (2) 2s (2)α (2) (10-40)
6
1s(3)α (3) 1s(3) β (3) 2 s(3)α (3)
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 244

Perlu dicatat secara khusus bahwa masing-masing elemen pada determinan (10-40) bukan
perkalian sederhana antara fungsi spasial dan fungsi spin sebagaimana dalam atom
hidrogen dan helium, namun masing-masing elemen determinan adalah kombinasi linear
antara fungsi spasial dan fungsi spin.
Karena kita telah memilih h(1) = 2s(1)β(1) untuk litium, tentu saja sebagaimana hidrogen
dan helium, litium ground state juga dobel degenerasi, karena adanya dua kemungkinan arah spin elektron
pada orbital 2s. Kedua kemungkinan diagram untuk litium adalah:

1s 2s dan 1s 2s
↑↓ ↑ ↑↓ ↓

Tiap-tiap orbital, misal 1s atau 2p+1 atau 2p0 dan seterusnya, dapat berisi dus elektron

dengan spin berlawanan, sedang tiap orbital-spin, misal 1sα atau 1sβ dan seterusnya
hanya dapat berisi satu elektron.
Meskipun konfigurasi 1s22p1 mempunyai energi tak terpertubasi E(0) yang sama besarnya
dengan konfigurasi 1s22s1, namun jika kita memperhitungkan efek repulsi antar elektron
pada perhitungan E(1) atau koreksi yang lebih tinggi, akan ternyata bahwa konfigurasi
1s22s1 lebih rendah energinya dari pada 1s22p1. Dengan alasan yang sama 1s2 pada helium
lebih rendah energinya dari pada 1s12s1.
Kita akan menutup sub bab ini dengan mendiskusikan masalah prinsip eksklusi
Pauli, yang kita ulangi statemen-nya sebagai berikut: Dalam sistem fermion identik, tidak
ada dua partikel yang dapat menempati state yang sama. Jika kita mempunyai sistem
yang terdiri atas n partikel yang saling berinteraksi (misal sebuah atom), maka ada sebuah
fungsi gelombang (yang melibatkan 4n variabel) untuk sistem yang dimaksud itu.
Lantaran adanya interaksi antar partikel, fungsi gelombang sistem tidak dapat dinyatakan
sebagai hasil kali fungsi gelombang masing-masing partikel; atau secara singkat dapat
dinyatakan bahwa kita hanya dapat membicarakan fungsi sistem secara global dan tidak
dapat membicarakan fungsi partikel secara individual. Namun, jika interaksi antar
partikel tidak terlalu besar, maka sebagai aproksimasi, kita boleh mengabaikan interaksi
itu, dan menyatakan fungsi gelombang order nol dari sistem tersebut sebagai hasil kali
fungsi gelombang partikel-partikel individual. Dalam fungsi gelombang order nol ini,
tidak boleh ada dua fermion yang mempunyai fungsi gelombang (state) yang sama.
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 245

Lain halnya untuk sistem yang terdiri atas beberapa partikel boson. Karena boson
mensyaratkan fungsi gelombang yang simetrik terhadap pertukaran partikel, maka tidak
ada batasan mengenai banyaknya boson yang dapat berada pada sebuah state.

10.6 Determinan Slater


Slater menyatakan (1929) bahwa determinan (10-40) memenuhi persyaratan
antisimetrik untuk atom berelektron banyak. Determinan seperti (10-40) disebut
determinan Slater. Semua elemen dalam kolom-kolom pada determinan Slater melibatkan
orbital-spin yang sama, sedang elemen dalam sebuah baris melibatkan elektron yang
sama. [Karena pertukaran baris dan kolom tidak mengubah nilai determinan, tentu saja
determinan Slater (10-40) dapat ditulis dalam bentuk yang lain].
Sekarang akan kita coba, bagaimana menyatakan fungsi gelombang order nol
helium yang sudah kita kenal sebelumnya, dalam determinan Slater. Untuk konfigurasi

ground state 1s2, kita mempunyai orbital-spin 1sα dan 1sβ, yang menghasilkan
determinan Slater sebagai berikut:

1 1s(1)α (1) 1s(1) β (1) 1


= 1s(1)1s(2) [α(1)β(2) − β(1)α(2)] (10-
2 1s(2)α (2) 1s(2) β (2) 2

41)
yang sesuai dengan (10-26). Untuk konfigurasi tereksitasi 1s12s1, kita mempunyai 4
macam orbital-spin, sehingga dihasilkan 4 macam determinan Slater, yaitu:

1 1s(1)α (1) 2s(1)α (1) 1 1s(1)α (1) 2s(1) β (1)


D1 = D2 =
2 1s(2)α (2) 2s(2)α (2) 2 1s(2)α (2) 2s(2) β (2)

1 1s(1) β (1) 2s(1)α (1) 1 1s(1) β (1) 2s(1) β (1)


D3 = D4 =
2 1s(2) β (2) 2s(2)α (2) 2 1s(2) β (2) 2s(2) β (2)
Perbandingan dengan (10-27) sampai (10-30), menunjukkan bahwa fungsi gelombang
order nol 1s12s1 dihubungkan dengan 4 macam determinan Slater sebagai berikut:

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)] α(1)α(2) = D1 (10-42)

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)] β(1)β(2) = D4 (10-43)


Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 246

2−½[1s (1) 2s (2) − 2s (1)1s(2)] .2−½[α(1)β(2) + β(1)α(2)] = 2−½(D2+D3)

(10-44)

2−½[1s (1) 2s (2) + 2s (1)1s(2)] .2−½[α(1)β(2) − β(1)α(2)] = 2−½(D2−D3)

(10-45)
(Untuk memperoleh fungsi order nol yang merupakan fungsi eigen dari operator
momentum angular dan spin, seringkali kita menggunakan kombinasi linear determinan
Slater dari suatu konfigurasi; lihat bab XI)
Berikutnya akan kita bahas beberapa notasi determinan Slater. Sebagai pengganti

terhadap α dan β untuk fungsi spin, orang sering menggunakan garis bar di atas fungsi

spasial untuk menunjukkan fungsi β sedang fungsi spasial yang tanpa bar berarti fungsi

spasial dengan fungsi spin α. Misal 1s(1)α(1) cukup ditulis 1s(1) sedang 1s(1)β cukup

ditulis 1s(1) . Dengan demikian persamaan (10.40) dapat ditulis:

1s (1) 1s (1) 2 s(1)


1
ψ(0) = 1s(2) 1s(2) 2 s(2) (10-46)
6
1s(3) 1s(3) 2 s(3)

Notasi (10-46) sering dipersingkat lagi, tanpa menuliskan faktor normasilasi, dan hanya
dinyatakan dalam satu baris, yaitu:

ψ(0) = 1s1s 2s (10-47)

Sekarang akan kita balik. Jika determinan Slater ditulis ψ(0) = 1s1s 2s2p , bagaimana

notasi determinan Slaternya secara lengkap. Dari orbital-spin yang tertulis, dapat
dipastikan bahwa sistem (atom) terdiri atas 4 elektron. Elektron 1 berada di 1s dengan

spin α, elektron 2 pada 1s dengan spin β, elektron 3 pada 2s dengan spin α dan elektron 4

pada 2p dengan spin α. Karena sistemnya 4 partikel maka faktor normalisasinya adalah

1 1
= . Dengan demikian determinan Slaternya adalah:
4! 24
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 247

1s(1)α (1) 1s(1) β (1) 2s(1)α (1) 2p(1)α (1)


1 1s(2)α (2) 1s(2) β (2) 2s(2)α (2) 2p(2)α (2)
ψ(0) =
24 1s(3)α (3) 1s(3) β (3) 2s(3)α (3) 2p(3)α (3)
1s(4)α (4) 1s(4) β (1) 2s(4)α (4) 2p(4)α (4)

atau

1s(1) 1s(1) 2s(1) 2p(1)


1 1s(2) 1s(2) 2s(2) 2p(2)
ψ(0) =
24 1s(3) 1s(3) 2s(3) 2p(3)
1s(4) 1s(4) 2s(4) 2p(4)

10.7 Perturbasi terhadap Lithium Ground State


Marilah kita menerapkan perturbasi untuk atom litium ground state. Untuk ini kita
gunakan:

 2 2 2 Z e' 2 Z e ' 2 Z e ' 2


Ho =− ∇12 − ∇ 22 − ∇ 32 − − −
2me 2me 2me r1 r2 r3

 e' 2 e' 2 e' 2


H'= + +
r1 2 r 2 3 r13

Telah kita peroleh sebelumnya bahwa untuk memenuhi prinsip Pauli, konfigurasi litium
ground state harus 1s22s1. Fungsi gelombang order nolnya adalah (10-40):
1s(1)α (1) 1s(1) β (1) 2 s(1)α (1)
1
ψ =
(0) 1s(2)α (2) 1s(2) β (2) 2s (2)α (2)
6
1s(3)α (3) 1s(3) β (3) 2 s(3)α (3)

1
= [1s(1)1s(2)2s(3)α(1)β(2)α(3) − 1s(1)2s(2)1s(3)α(1)α(2)β(3)
6

− 1s(1)1s(2)2s(3)β(1)α(2)α(3) + 1s(1)2s(2)1s(3)β(1)α(2)α(3)

+ 2s(1)1s(2)1s(3)α(1)α(2)β(3) − 2s(1)1s(2)1s(3)α(1)β(2)α(3)

Berapakah E(0) ?. Masing-masing suku pada ψ(0) mengandung perkalian dua buah 1s dari
fungsi mirip hidrogen dan sebuah 2s dari fungsi mirip hidrogen yang dikalikan lagi
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 248


dengan faktor spin. H o adalah jumlah dari 3 buah Hamiltonian mirip hidrogen yang

tidak melibatkan spin. Jadi ψ(0) adalah kombinasi linear suku-suku, yang masing-masing

adalah fungsi eigen dari H o dengan nilai eigen sebesar E1( s0 ) + E1(s0) + E 2( 0s) . Jadi:

 1 1 1  Z 2 e' 2 81
E(0) = −  + + 
 2a = − (13,606 eV) = − 275,5 eV (10-
2 2 2 4
1 1 2  o

48)
(0) H ' ψ (0)
Untuk memperoleh E(1), kita harus mengevaluasi ψ . Untuk ini kita akan

mengadakan pengelompokan suku-suku pada ψ(0) yang faktor spinnya sama.

1
ψ(0) = [ 1s(1)2s(2)1s(3) − 1s(1)1s(2)2s(3) ] β(1)α(2)α(3)
6
1
+ [1s(1)1s(2)2s(3) − 2s(1)1s(2)1s(3) ] α(1)β(2)α(3)
6
1
+ [2s(1)1s(2)1s(3) − 1s(1)2s(2)1s(3) ] α(1)α(2)β(3) (10-49)
6
atau:
ψ(0) = a β(1)α(2)α(3) + b α(1)β(2)α(3) + c α(1)α(2)β(3) = A + B + C (10-50)

Selanjutnya kita evaluasi E(1)


 
E(1) = ∫ ψ (o) * H 'ψ (o) dτ = ∫ ( A + B + C ) * H' (A + B + C) dτ

2  2  2   
E(1) = ∫ A H ' dτ + ∫ B H ' dτ + ∫ C H ' dτ + ∫ A * B H ' d τ + ∫ B * C H ' dτ
   
+ ∫ A * C H ' dτ + ∫ AB * H ' dτ + ∫ BC * H ' dτ + ∫ AC * H ' dτ (10-51)

Karena sifat ortogonalitas, enam suku terakhir pada (10-51) adalah nol. Sebagai contoh,

integral ∫ A * BH dτ melibatkan penjumlahan fungsi spin sebagai berikut:

∑ ∑∑ [ β (1)α (2)α (3)] * [α (1) β (2)α (3)]


m1 m2 m3

=
∑ β (1)α (1)∑ α (2) β (2)∑ α (3)α (3) = 0 . 0 . 1 = 0
m1 m2 m3

Dengan demikian kita peroleh:


Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 249

2  2  2  
E(1) = ∫ A H ' dτ + ∫ B H ' dτ + ∫ C H ' dτ + ∫ A * B H ' dτ
2 
Kini akan kita evaluasi ∫A H ' dτ . Telah kita ketahui bahwa: A = a β(1)α(2)α(3), jadi:

2  2 
∫ A H ' dτ = ∫ a. β (1)α (1)α (3) H ' dτ

2 H ' d d d .
v1 v 2 v3 ∑ ∑∑ [ β (1)α (2)α (3)]
2
= ∫ a
m1 m2 m3

2 H ' d d d .
= ∫ a v1 v 2 v3 ∑ β (1) β (1) ∑ α (2)α (2)∑ α (3)α (3)
m1 m2 m3

Karena sifat ortonormal, maka


∑ β (1) β (1) = 1 , ∑ α (2)α (2) = 1 dan ∑ α (3)α (3) = 1
m1 m2 m3

sehingga diperoleh:
2  2 H ' d
∫A H ' dτ = ∫a v1d v 2 d v3

Analog dengan itu juga kita peroleh:


2  2 H ' d d d 2  
∫ B H ' dτ = ∫ b v1 v 2 v3 dan ∫ C H ' dτ = ∫ c 2 H ' d v1d v 2 d v3 sehingga,
  
E(1) = ∫ a 2 H ' d v1d v 2 d v3 + ∫ b 2 H ' d v1d v 2 d v3 + ∫ c 2 H ' d v1d v 2 d v3 (10-

52)
dan tampak bahwa fungsi spin tidak lagi terlibat. Marilah sekarang kita kembalikan a, b c

dan H ke bentuk asalnya sehingga (10-52) menjadi:

2 H ' d 2 H ' d 2 H ' d


E(1) = ∫∫∫ a v1d v 2 d v3 + ∫∫∫ b v1d v 2 d v3 + ∫∫∫ c v1d v 2 d v3

2
 1  e' e' 
= ∫∫∫  {1s(1)2s(2)1s(3) − 1s(1)1s(2)2s(3)}   +
e'
+  dv1dv 2 dv3
 6  r
 1.2 r 2.3 r1.3 

2
 1  e' e' 
+ ∫∫∫  {1s(1)1s(2)2s(3) - 2s(1)1s(2)1s(3)}   +
e'
+  dv1dv 2 dv3
 6   r1.2 r2.3 r1.3 
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 250

2
 1  e' e' 
+ ∫∫∫  { 2s(1)1s(2)1s(3) - 1s(1)2s(2)1s(3)}   +
e'
+  dv1dv 2 dv3
 6   r1.2 r2.3 r1.3 
Dengan menggunakan sifat ortonormal dari fungsi orbital 1s dan 2s, selanjutnya
akan dapat kita peroleh:
e' 2 e'
E(1) = 2 ∫∫ [1s (1) ] [ 2 s( 2 ) ] ∫∫ [1s(1) ] [1s( 2) ] r1.2 dv1dv 2
2 2 dv1dv 2 + 2
r1.2

e'
+ ∫∫1s(1) 2s( 2)1s( 2) 2s(1) r1.2 dv1dv 2
Dan ternyata bentuk tersebut adalah integral Coulomb dan integral Pertukaran (exchange
integral), jadi:
E(1) = 2J1s2s + J1s1s − K1s2s (10-53)

Telah kita ketahui pada bab 9, bahwa

5 Ze' 2 17 Ze' 2 16 Ze' 2


J1s2s = ; J1s1s = dan K1s2s = sehingga:
8 ao 81 a o 729 a o

5965  e' 2
(1)

 = 83,5 eV
E =
972  2 a o 

Melalui perturbasi order pertama diperoleh energi ground state litium adalah E(0) + E(1)

yaitu sebesar − 192,0 eV. Jika nilai ini dibandingkan dengan nilai energi ground state

yang diperoleh melalui eksperimen yaitu −203,5 eV, masih ada perbedaan 11,5 eV. Agar
perbedaan semakin kecil, kita harus melakukan perhitungan terhadap fungsi gelombang
dan koreksi energi dengan order yang lebih tinggi.

10.8 Metode Variasi untuk Litium Ground State


Fungsi gelombang perturbasi order nol atom litium (10-40) memperhitungkan
muatan inti penuh (Z = 3) baik untuk 1s maupun 2s. Diperkirakan, orbital 2s yang
letaknya terhadap inti atom cukup terhalang oleh orbital 1s, akan menerima muatan inti
kurang dari 3. Dengan alasan ini, maka diperkenalkan dua parameter variasi yang
berbeda yaitu b1 untuk muatan yang diterima 1s dan b2 untuk 2s ke dalam (10-40).
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 251

Telah kita ketahui bahwa fungsi gelombang mirip hidrogen untuk 1s adalah

3/ 2
e − ( Z / a ) r . Jika Z untuk 1s diganti b1 maka fungsi gelombang 1s menjadi:
1 Z
 
π1/ 2  a 
3/ 2
1  b1 
ƒ=   e − ( b1 / ao ) r (10-54)
π 1 / 2  ao 
Sedang fungsi 2s dengan Z diganti b2 adalah:
3/ 2
 b2   b r
 2 − 2 e − ( b2 / ao ) r
1
g=   (10-55)
4(2π )1 / 2  a o   ao 
Dengan demikian kita dapat mencoba menggunakan fungsi variasi:

ƒ(1)α(1) ƒ(1)β(1) g(1)α(1)


φ= ƒ(2)α(2) ƒ(2)β(2) g(3)α(3) (10-56)
ƒ(3)α(3) ƒ(3)β(3) g(3)α(3)

Penggunaan muatan berbeda b1dan b2 untuk 1s dan 2s membuat orbital kehilangan


ortogonalitas, dengan demikian (10-56) tak ternormalisasi. Nilai terbaik dari parameter

∂W ∂W
variasi diperoleh melalui = 0 dan = 0 , dengan W adalah energi variasi yang
∂b1 ∂b2

^
*
sering disebut integral variasional . Telah kita pelajari bahwa W = ∫ φ H φ dτ (lihat
∫ φ *φ dτ

bab 8). Hasilnya adalah b1 = 2,686, b2 = 1,776 dan energi variasi yang dicari adalah W =

−201,2 eV. Harga ini sangat dekat dengan energi litium ground state yang sesungguhnya
yaitu 203,5.
10.9 Momen Magnetik Spin
Ingat bahwa (bab 6) momentum angular orbital L menghasilkan momen magnetik

µL sebesar −(e/2me)L. Atas dasar ini, sangatlah masuk akal jika kita beranggapan bahwa
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 252

momentum angular spin S dapat menghasilkan momen magnetik µs = −(e/2me)S. Tetapi


perlu juga diketahui, bahwa berbeda dengan momentum angular orbital yang merupakan
fenomena klasik, ternyata momentum angular spin merupakan fenomena relativistik, oleh
karena itu kita tidak boleh begitu saja menganalogikan momen magnetik spin secara
langsung dari momen magnetik orbital. Menurut kalkulasi Dirac dalam quantum
relativistik (yang tidak dibahas disini) nilai momen magnetik spin dalam sistem satuan
internasional adalah:

 e 
µs = −ge   S
 2me 
Dirac menyatakan bahwa nilai faktor g untuk elektron adalah 2, jadi:

 e 
µs= −   S (10-57)
 me 

Karena S = s( s + 1) dan harga bilangan kuantum s = ½ , maka besarnya momen

magnetik spin elektron dalam sistem satuan internasional adalah:

 e 
µs= − 3   (10-58)
 2me 
Dalam kajian yang lebih cermat, ternyata bahwa nilai g2 tidak tepat = 2, tetapi sedikit
lebih besar (P. Kush, 1966), yaitu:

α 2
α
ge = 2 ( 1 + +   + . . . . = 2,0023

2π  2π 
sedang α didefinisikan sebagai:

e2
α= = 0,007297 (10-59)
4πε o c

Sifat feromagnetik pada besi adalah akibat dari momen dipol magnetik elektron.
Dua kemungkinan arah spin elektron dan hubungan momen magnetik spin dengan
sumbunya menghasilkan dua tingkat energi berbeda jika medan magnet eksternal
diaplikasikan. Dalam spektroskopi ESR, orang melakukan pengamatan terhadap transisi
kedua tingkat energi ini. Spektroskopi ESR (Electron Spin Resonance) dikenakan pada
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 253

spesies radikal bebas, atau ion logam transisi yang mempunyai satu atau beberapa
elektron tak berpasangan. Karena adanya elektron tak berpasangan, akibatnya radikal
bebas dan ion logam transisi tertentu mempunyai momen magnetik serta spin elektron
total tidak nol. Itulah sebabnya spektroskopi ESR dapat bekerja atas spesies-spesies
tersebut.
Beberapa inti atom, mempunyai spin dan momen magnetik spin yang tidak nol.
Dalam spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance), pengamatan dilakukan atas
dasar transisi tingkat energi inti untuk sampel yang berada dalam medan magnet
eksternal. Proton dengan spin = ½ adalah kajian utama dalam spektroskopi NMR.

Soal Bab X
1) Hitunglah besarnya sudut yang dibentuk oleh vektor spin S dengan sumbu z untuk

elektron dengan fungsi spin α.



2) (a) Tunjukkan bahwa P1 2 kommut dengan Hamiltonian untuk atom litium
Bab X Spin Elektron dan prinsip Pauli/ 254

 
(b) Tunjukkan bahwa P1 2 dan P 2 3 tidak saling kommut.
 
(c) Tunjukkan bahwa P1 2 dan P 2 3 kommut apabila mereka diaplikasikan pada

fungsi antisimetrik

3) Tunjukkan bahwa P1 2 Hermitian

4) Simetrik atau antisimetrik atau buka keduanyakah fungsi berikut:


(a) ƒ(1)g(2)α(1)α(2); (b) ƒ(1)ƒ(2)[α(1)β(2) − β(1)α(2)]

(c) ƒ(1)ƒ(2)ƒ(3)β(1)β(2)β(3) (d) e−a(r1−r2)

(e) [ƒ(1)g(2) − g(1)ƒ(2)][α(1)β(2) − α(2)β(1)] (f) r 12 2 e − a(r1 + r2 )

5) Jelaskan, mengapa fungsi N e − a r1 e − a r2 (r1 − r2) tidak boleh digunakan sebagai

fungsi variasi untuk helium ground state ?


6) Jika elektron mempunyai nilai spin = nol, bagaimana fungsi gelombang order nol
untuk ground state dan first excited state ? (repulsi antar elektron diabaikan)

7. Antisimetrisasi operator A didefinisikan sebagai operator yang meng-antisimetriskan

hasil kali fungsi n buah elektron tunggal yang dikalikan dengan ( n !) −1 / 2 . Untuk n = 2,

kita akan memperoleh:


 1 f (1) g(1)
Af (1) g (2) =
2 f (2) g(2)
 
(a) untuk n = 2, nyatakan A dalam term P12
   
(b) untuk n = 3, nyatakan A dalam term P12 , P13 dan P23 .

8. Turunkan persamaan (10-53) untuk E (1) litium dari persamaan (10-52)

===000===

You might also like