You are on page 1of 19

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa bahan organik dari organisme (vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau didalamnya. Selain itu di dalam tanah terdapat pula udara dan air yang berasal dari hujan yang ditahan oleh tanah sehingga tidak meresap ke tempat lain. Dalam proses pembentukan tanah, selain campuran bahan mineral dan bahan organik terbentuk pula lapisan-lapisan tanah yang disebut horizon. Dengan demikian tanah dapat didefinisikan sebagai kumpulan benda alam yang tersusun dalam horizonhorizon, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan media tumbuhnya tanaman (Jacob, 2008). Tanah juga menyediakan dukungan fisik yang diperlukan untuk berpegang bagi sistem perakaran dan juga berfungsi sebagai reservoir udara, air, dan nutrisi yang juga penting bagi pertumbuhan tanaman (Fitri, 2011). Selain sebagai media tumbuhnya tanaman, tanah juga merupakan habitat atau tempat hidup banyak organisme tanah. Organisme tersebut hidup di permukaan dan di dalam tanah. Sebagian besar organisme tanah hidup dalam tanah. Menurut Madjid (2007), organisme tanah atau yang biasa disebut dengan biota tanah merupakan semua makhluk hidup baik hewan (fauna) maupun tumbuhan (flora) yang seluruh atau sebagian dari fase hidupnya berada dalam sistem tanah. Biota tanah dibedakan menjadi empat kelompok menurut ukurannya, yaitu mikrofauna, mesofauna, makrofauna, dan akar tanaman. Biota tanah berperan dalam mendekomposisikan bahan organik sehingga bermanfaat bagi kesuburan tanah. Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi fisik dan kimianya, melainkan juga pada ciri alami dan diversitas biota tanah (Fitri, 2011). Karena itu dibutuhkan pengetahuan mengenai biota tanah itu sendiri dan cara analisisnya, yang meliputi kepadatan populasi, frekuensi populasi, distribusi, asosiasi antar fauna tanah, hingga kesamaan antara dua struktur komunitas dalam tanah tersebut.

Dalam mengestimasi kepadatan populasi hewan tanah terlebih dahulu dilakukan pengambilan contoh hewan tanah, karena hewan tanah itu tercampur dengan tanah. Metoda pengambilan contoh hewan tanah sangat banyak macamnya, tetapi tidak satu pun diantaranya dapat digunakan untuk semua kelompok hewan tanah. Masing-masing metoda hanya memberikan hasil yang sahih untuk kelompok hewan tanah tertentu (Suin, 2006). 1.2. Tujuan Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui cara mengambil sampel mikrofauna tanah dan cara analisisnya.

BAB II ISI 2.1. Fauna Tanah Zooedaphon atau fauna tanah merupakan seluruh organisme hewan yang hidup di dalam atau di atas tanah pada waktu tertentu, menggunakannya sebagai habitat mereka, terlepas dari tingkat aktivitas mereka dan luas pengaruh mereka pada tanah, dan terlepas dari apakah fase perkembangan mereka selanjutnya terhubung dengan tanah atau tidak. Hewan tanah harus diperhatikan dari segi populasi semaphorontik, bukan dari spesies. Populasi semaphorontik, yaitu, populasi dari spesimen pada tingkat yang telah ditentukan dalam kehidupan mereka, yang ditemukan oleh Szelnyi (1955) dan Karaman (1964) yang menjadi kesatuan yang penting dari suatu kelompok (Grny dan Leszek, 1993). Fauna tanah memegang peranan yang sangat penting dalam ekosistem tanah. Semua jenis fauna tanah yang ada umumnya sangat mempengaruhi kesuburan tanah bahkan bisa mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Ukuran fauna tanah sangat beragam mulai dari binatang liar atau binatang peliharaan sampai pada fauna yang berukuran satu sel seperti protozoa (Anonim, 2011). Berdasarkan cara mempengaruhi sistem tanah, maka jenis-jenis fauna dibagi menjadi dua kelompok yaitu (Anonim, 2011):
1. Hewan eksopedonik, yaitu mempengaruhi dari luar tanah, biasanya

merupakan binatang-binatang yang berukuran besar dan tidak menghuni tanah. Jenis tersebut antara lain Mamalia, Aves, Reptilia, dan Ampibia.
2. Hewan endopedonik, yaitu mempengaruhi dari dalam tanah, berupa

binatang-binatang kecil (diameter kurang dari 1 cm) yang tinggal di dalam tanah dan mempengaruhi penampilan tanah dari sisi dalam. Jenisjenis tersebut antara lain Arachnidae, Crustacea, Onychpoda, Oligochaeta, Hirudinae, dan Gastropoda. Berdasarkan cara hidupnya fauna tanah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (Anonim, 2011):
1. Jenis epigeic : fauna yang hidup dan makan di permukaan tanah,

berperan dalam penghancuran seresah menjadi ukuran yang lebih kecil

dan dalam pelepasan unsur hara. Akan tetapi organisme ini tidak aktif dalam distribusi bahan organik kedalam profil tanah.
2. Jenis anecic : fauna yang aktif memindahkan seresah dari permukaan

tanah dibawa masuk kedalam profil tanah melalui aktifitas makannya.


3. Jenis endogeic : fauna yang hidup di dalam tanah dan memakan bahan

organik termasuk bagian akar yang telah mati. Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu (Anonim, 2011):

Gambar 2.1 Klasifikasi Hewan Tanah Berdasarkan ukuran tubuh 1. Makrofauna Makrofauna adalah jenis fauna yang memiliki ukuran tubuh lebih dari 2,0 mm. Jenis-jenis hewan yang termasuk makrofauna dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: (1) Vertebrata, berupa hewan pengerat dan pemakan serangga, (2) Arthropoda, yang meliputi jenis serangga tanah, dan (3) Annelida, yaitu jenis cacing tanah. 2. Mesofauna Mesofauna adalah jenis fauna yang memiliki ukuran tubuh 0,1 2,0 mm.

3. Mikrofauna Mikrofauna adalah jenis fauna tanah yang memiliki ukuran tubuh kurang dari 0,1 mm. Ada tiga jenis mikrofauna yaitu Nematoda, Protozoa, dan Rotifera. Menurut Grny dan Leszek (1993), terdapat empat kelompok fauna tanah, yaitu mikrofauna, meso atau meiofauna, makrofauna, dan megafauna. Megafauna termasuk hewan dengan ukuran tubuh diatas 20 mm, umumnya terlihat jelas pada tanah. Dalam prakteknya, kelompok terakhir sering diabaikan, dan semua hewan dengan ukuran diatas 2,0 mm termasuk dalam makrofauna. Protozoa Protozoa merupakan bentuk kehidupan binatang yang paling sederhana. Meskipun hewan ini bersel tunggal, namun ukurannya jauh lebih besar dari pada bakteri dan susunannya jelas bertingkat lebih tinggi. Beberapa diantaranya berupa massa protoplasma yang telanjang amuba, dan yang lainnya memperlihatkan perkembangan yang lebih tinggi yaitu memiliki kulit kersik atau khitin. Protozoa dibedakan menjadi tiga golongan yaitu : (1) amuba, (2) ciliata atau infusoria yang memiliki cilia/rambut, dan (3) flagellata yang memiliki flagel berupa tonjolan protoplasma yang berbentuk cambuk panjang. Flagellata biasanya jumlahnya terbesar dalam tanah lalu berikutnya amuba dan ciliata (Anonim, 2011). Dalam tanah, protozoa ditunjukkan oleh organisme dari tiga kelas, yaitu Mastigophora, Sarcodina termasuk Testacea dan Amoebida, dan Ciliata. Protozoa memainkan peran penting dalam sejumlah proses pada tanah: Protozoa ikut serta dalam dekomposisi bahan organik, pertukaran nitrogen, menghambat atau merangsang populasi bakteri, dan juga membatasi jumlah organisme patogen tanah (Grny dan Leszek, 1993). Protozoa merupakan jenis mikrofauna tanah yang jumlahnya sangat banyak dan bervariasi. Protozoa yang telah diisolasi jumlahnya sudah lebih dari 250 spesies. Akan tetapi umumnya jumlah protozoa berfluktuasi tergantung pada kondisi tanah seperti aerasi dan kandungan makan. Kebanyakan protozoa tinggal di horison permukaan dan menjadikan bahan organik sebagai sumber

makanannya, namun ada petunjuk bahwa beberapa jenis protozoa merupakan pemakan bakteri (Anonim, 2011). Nematoda Nematoda adalah jenis cacing yang umum disebut cacing benang atau cacing belut, terdapat hampir di semua tanah dengan jumlah yang sangat banyak. Nematoda dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan cara makannya, yaitu: (1) hidup di bahan organik yang telah membusuk, (2) hidup sebagai predator nematoda lainnya, cacing tanah kecil dan sejenisnya, dan (3) hidup sebagai parasit, menyerang akar tanaman tingkat tinggi, karena sebagian dalam siklus hidupnya berada pada jaringan tumbuhan. Golongan pertama dan kedua adalah yang paling banyak jenisnya dan jumlahnya pada kebanyakan jenis tanah (Anonim, 2011). Rotifera Rotifera adalah jenis mikrofauna yang biasanya terdapat di tanah lembab, terutama di daerah rawa. Jumlahnya dapat besar sekali, dalam suatu lokasi yang sesuai jumlahnya dapat mencapai 105/m2. Jenis fauna ini biasanya berukuran mikroskopis. Bagian anterior (muka) berupa cakram retraktil (yang dapat mengembang dan mengerut), mengandung lingkaran-lingkaran cilia yang dalam geraknya nampak seperti yang berjalan sesuai dengan namanya. Rambut cambuk ini mengalirkan makanan ke dalam tubuh hewan tersebut. Bagian posterior (belakang) membulat panjang yang menjadi alat penyerang rotifera terhadap sesuatu yang mengganggu. Jenis ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu pemakan bahan organik dan pemakan protozoa dan algae. Manfaat rotifera belum dikenal, namun diduga terlibat dalam siklus penghancuran bahan organik di tanah gambut dan tempat-tempat basah di tanah mineral (Anonim, 2011). 2.2. Pengambilan Sampel Tanah Pengambilan contoh fauna tanah dimulai dengan pengambilan contoh tanah. Pada prinsipnya, pengambilan sampel tanah adalah mengambil tanah dengan suatu alat pada luas area dan kedalaman tertentu. Pengambilan sampel tanah dapat

dilakukan dengan metode kuadrat atau dengan bor tanah. Pengambilan sampel tanah dengan metode kuadrat dilakukan dengan membuat kuadrat di tanah dengan luas tertentu, sesuai dengan jenis hewan tanah yang ingin dikoleksi, kemudian tanah dalam kuadrat tersebut digali dengan sekop dan tanahnya dimasukkan ke dalam bejana atau kantong. Pengambilan sampel tanah dengan bor tanah prinsipnya sama saja, hanya pengambilan sampel tanah dengan bor tanah ukuran luas contoh telah disesuaikan dengan diameter bor yang digunakan (Suin, 2006). Kedalaman contoh yang diambil sangat tergantung pada hewan tanah yang akan diteliti. Pada pengambilan sampel tanah dengan bor tanah untuk mengambil contoh mikroarthropoda tanah untuk studi distribusi vertikal fauna tanah, biasanya tanah diambil sampai kedalaman 5, 10, dan 15 cm. Pengambilan sampel tanah dengan bor tanah dilakukan dengan cara menekan bor tanah tersebut ke tanah sampai kedalaman yang diperlukan. Kemudian tanah itu dikeluarkan dari bor dan dimasukkan ke dalam kantong yang terbuat dari plastik atau kain sesuai dengan tujuan penelitian (Suin, 2006). 2.3. Pengambilan Mikrofauna Tanah Hewan tanah mudah sekaligus sulit untuk diambil. Ekosistem tanah sangat kaya akan kehidupan hewan, bahkan penyortiran tidak sengaja dibawah mikroskop binokuler, akan tampak kumpulan bermacam-macam bentuk. Bagaimanapun, lebih sulit untuk mendapatkan sampel hewan ini yang mewakili ukuran populasi saat ini, untuk melakukan hal yang dibutuhkan tersebut, hewan dipisahkan dari material padat tanah (Wallwork, 1970). Teknik Ekstraksi Prosedur yang digunakan dalam metode yang sederhana dan lebih umum dibagi dalam dua kategori besar, yaitu secara mekanik dan perilaku (Wallwork, 1970). Metode Secara Mekanik Teknik yang termasuk ke dalam kategori ini adalah pasif, dalam beberapa hal teknik ini tidak menggunakan perilaku hewan yang bersangkutan, oleh karena

itu akan mengekstraksi baik tingkat inaktif maupun aktif. Selanjutnya, teknik ini tidak membedakan antara hewan yang mati dan yang hidup pada saat sampling, yang dapat menyebabkan penaksiran yang rendah terhadap ukuran populasi dan angka kematian (Wallwork, 1970). Metode penyaringan biasanya digunakan ketika ukuran hewan yang diteliti sangat berbeda dengan partikel tanah, contohnya, pemisahan cacing tanah dari mineral tanah yang rapuh. Kemampuan menyaring pada metode penyaringan kering ini didasarkan pada ukuran jaring yang digunakan, dan seringkali memungkinkan untuk memisahkan beberapa kelompok ukuran hewan yang berbeda dengan menggunakan sejumlah saringan dengan ukuran jaring berbeda yang dipasang secara seri. Metode penyaringan basah seringkali lebih efisien daripada metode kering, terutama untuk hewan berukuran kecil dan sedang yang tinggal di sampah dibandingkan dengan arthropoda, dan peralatan sederhana yang berguna untuk mengunpulkan enchytraeidea dan moluska kecil (Wallwork, 1970). Mikroarthropoda tidak dapat diekstraksi dengan baik menggunakan metode penyaringan, karena fraksi yang terakumulasi sering mengandung sejumlah besar potongan tumbuhan dan partikel mineral tanah. Pemisahan dengan tiga komponen ini bisa tercapai dengan teknik pengapungan yang pada dasarnya terdiri dari dua cara kerja. Pertama, mineral tanah dipisahkan dari bahan organik (potongan hewan dan tumbuhan) dengan memanfaatkan perbedaan grafitasi yang spesifik dari kedua fraksi. Kedua, mikroarthropoda dipisahkan dari potongan tumbuhan dengan pembasahan yang berbeda, potongan tumbuhan akan basah oleh air, sedangkan kutikula arthropoda yang lunak tidak basah (Wallwork, 1970). Metode pengapungan mungkin merupakan teknik mekanik yang paling banyak digunakan, karena dapat mengekstrak berbagai macam kelompok hewan secara bersamaan. Metode lain yang lebih spesifik yang digunakan mencakup prosedur sentrifugasi untuk protozoa dan mikroarthropoda, sedimentasi, dan teknik elutriasi berdasarkan pada perbedaan tingkat pengendapan hewan dan partikel tanah. Elutriasi merupakan tipe sedimentasi yang telah dimodifikasi, dimana pengendapan terjadi pada arus air yang berlawanan. Metode yang telah ditemukan ini sangat berguna untuk mengoleksi nematoda, namun jauh kurang

efisien untuk mikroarthropoda, yang kebanyakan mengendap pada tingkat yang sama dengan partikel tanah (Wallwork, 1970). Metode Perilaku Metode ini memanfaatkan respon perilaku hewan, dimana hewan akan meninggalkan tanah setelah mendapatkan rangsangan yang tepat, seperti panas, pencahayaan, dan pengeringan. Karena metode ini bergantung pada aktivitas hewan, mereka tidak akan mengekstrak telur atau tahap istirahat pada jumlah yang mewakili. Selanjutnya, karena hewan yang berbeda memberikan reaksi yang berbeda terhadap rangsangan yang sama, efisiensi dengan bermacam kelompok yang diekstrak dari inti tanah tunggal akan berbeda dengan kelompoknya. Ekstraksi tidak akan 100 persen efisien untuk setiap kelompok, akibatnya, penaksiran populasi yang didasarkan pada metode ini akan cenderung terlalu rendah (Wallwork, 1970). Jenis ekstraktor perilaku kering yang paling umum adalah corong BerleseTullgren, yang telah dimodifikasi dengan berbagai cara untuk meningkatkan efisiensinya. Sampel tanah atau sampah ditempatkan pada kawat kasa di mulut corong yang bersisi dalaman dipanasi dari atas oleh bohlam lampu biasa, bohlam infrared, atau gulungan pemanas. Karena permukaan sampel menjadi panas dan kering, hewan akan turun dan akhirnya keluar dari bagian bawah sampel, dan jatuh melalui corong ke dalam botol koleksi kecil yang ditempatkan di bawah alat tersebut. Agar cara kerja tersebut berhasil, metode ini membutuhkan pengaturan gradien temperatur yang tinggi dan kelembaban relatif, dan dipertahankan, antara sampel tanah dan atmosfer dalam corong langsung dibawahnya. Dengan demikian, botol koleksi kecil harus mengandung air atau beberapa larutan pengawet, seperti asam pikrat, yang akan meningkatkan kelembaban relatif pada corong karena penguapannya. Gradien temperatur juga dapat ditingkatkan dengan mengelilingkan bagian bawah corong dengan sistem sirkulasi air dingin. Hal ini juga penting untuk memastikan pemanasan sampel tanah secara bertahap, selain itu kebanyakan hewan, khususnya yang belum dewasa, akan mati sebelum mereka dapat melarikan diri. Sampel tanah harus terusik sesedikit mungkin ketika ditempatkan dalam ekstraktor. Jika sampel berada dalam kondisi tersumbat,

10

sampel harus dipasang terbalik dalam ekstraktor., sehingga hewan dapat keluar dari sampel dengan cepat dan mudah melalui permukaan saluran yang lebar. Salah satu ciri yang mengganggu pada corong kering, yang terjadi terutama ketika menggunakan tanah basah, kondensasi air pada dinding sebelah dalam corong dapat menahan hewan kecil dan mencegah hewan tersebut jatuh ke dalam botol koleksi kecil. Kebanyakan dari kondensasi ini dapat dihindari dengan menggunakan corong panjang dengan sisi miring yang tajam. Dalam hal ini juga jelas bahwa permukaan dalam corong harus sehalus mungkin untuk mencegah kotoran dan organisme berkumpul di tempat tersebut; laba-laba sering menimbulkan masalah tertentu dalam hal ini, sehingga corong harus diperiksa secara teratur karena jaring laba-laba merupakan bentuk penghalang yang efektif antara sampel tanah dengan botol koleksi kecil (Wallwork, 1970).

Gambar 2.2 Corong Berlese- Tullgren Pada teknik ekstraktor basah, dimana corong Baermann merupakan contoh yang sederhana, sampel tanah tetap berada dalam kondisi lembab, atau jenuh dengan air dan dipanaskan dengan hati-hati untuk mengeluarkan hewan dari sampel. Kantong kain tipis mungkin diperlukan untuk diisi sampel, meskipun seringkali cukup dengan menempatkan tanah secara terbuka dalam saringan yang dipasang pada mulut corong penyaring yang digenangi dengan air. Pemanasan dari atas akan menyebabkan enchytraeide dan nematoda meninggalkan sampel, melewati saringan, dan terkumpul di leher corong dari mana mereka dapat

11

ditemukan dengan melepaskan keran. Modifikasi metode ini bermanfaat untuk mengoleksi Enchytraeide, yang dikembangkan oleh Nielsen (1952); sampel tanah ditempatkan diatas lapisan batu kerikil kasar, dalam tabung perforasi, dan ditutupi dengan lapisan pasir atau kerikil halus yang disimpan dalam kumparan tabung kaca melewati sirkulasi air dingin. Tabung ditempatkan dalam tempat air hangat, sehingga sampel tanah secara terus menerus menyebar memenuhi udara; enchytraeide akan keluar ke atas menuju pasir yang lebih dingin sehingga mereka dapat dipisahkan dengan pengapungan (Wallwork, 1970).

Gambar 2.3 Corong Biermann 2.4. Analisis Mikrofauna Tanah Langkah pertama untuk mengetahui distribusi fauna tanah di suatu lokasi adalah mengambil sampelnya. Setelah pengambilan sampel, maka dilanjutkan dengan menghitung dan mengidentifikasinya. Selanjutnya keadaan fauna tanah di lokasi tersebut dapat dilaporkan berupa komposisi dengan membuat daftarnya (Suin, 2006). Daftar komposisi saja tidaklah cukup banyak memberikan gambaran keadaan populasi dan struktur komunitas fauna tanah yang hidup di lokasi tersebut. Untuk dapat lebih banyak memberikan gambaran keadaan penyebaran dan struktur fauna tanah di lokasi tersebut, maka dapat disajikan dalam bentuk

12

kepadatan populasi (dalam jumlah atau berat biomassa), kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, fidelitas, dan distribusi. Selain itu dapat pula dihitung indeks asosiasi antar jenis. Untuk membandingkan struktur suatu komunitas dengan komunitas lainnya dapat dilakukan dengan membandingkan indeks diversitas, ekuibilitas, dan indeks similaritas (Suin, 2006). Kepadatan Populasi dan Kepadatan Relatif Kepadatan populasi satu jenis atau kelompok fauna tanah dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah atau biomassa per unit contoh, atau per satuan luas, atau per satuan volume, atau per satuan penangkapan. Kepadatan populasi sangat penting diukur untuk menghitung produktivitas, tetapi untuk membandingkan suatu komunitas dengan komunitas lainnya parameter ini tidak begitu tepat. Untuk itu, biasanya digunakan kepadatan relatif. Kepadatan relatif tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase. Kepadatan populasi dan kepadatan relatif dapat dituliskan sebagai berikut (Suin, 2006): K jenis A = KR jenis A = Dimana, K Jumlah individu jenis A Jumlah unit contoh/luas/volume K Jenis A Jumlah K semua jenis = Kepadatan Populasi KR = Kepadatan Relatif Frekuensi Kehadiran Frekuensi kehadiran suatu jenis fauna dalam suatu habitat menunjukkan keseringhadiran jenis tersebut di habitat itu. Dari frekuensi kehadiran tersebut dapat tergambar penyebaran jenis tersebut di habitat itu. Bila frekuensi kehadirannya tinggi, berarti jenis tersebut sering ditemukan di habitat itu. Frekuensi kehadiran dihitung dengan rumus sebagai berikut (Suin, 2006): Fr. A = Jumlah unit contoh dimana A ditemukan x 100% Jumlah semua unit contoh Dimana, Fr. A = Frekuensi Jenis A x 100%

13

Fidelitas Fidelitas sering digunakan untuk menggambarkan kehadiran suatu jenis

fauna tanah dan derajat keeratannya dengan lingkungannya. Suatu jenis fauna disebut memiliki fidelitas tinggi bila keeratannya dengan kondisi lingkungan besar sekali dan dapat dinyatakan sebagai jenis indikator (indicator species) (Suin, 2006). Distribusi Distribusi fauna tanah di suatu daerah bergantung pada keadaan faktor fisika-kimia lingkungan dan sifat biologis fauna itu sendiri. Distribusi fauna di alam dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu bentuk teratur (uniform), bentuk random, dan bentuk berkelompok (clump). Distribusi suatu jenis di komunitasnya dapat memberikan gambaran hubungan antar jenis, dan bentuk distribusi suatu fauna di habitatnya sangat menentukan cara pengambilan contoh dan metode analisis datanya. Perubahan bentuk distribusi suatu jenis fauna sering berhubungan dengan adanya perubahan dari ukuran populasinya (Suin, 2006). Beberapa metode cara mengukur bentuk distribusi fauna di suatu daerah (Suin, 2006): a. Indeks Morista I = (N Sig x2 Sig x) : {(Sig x)2 Sig x} Dimana, I = Indeks Morista N = Jumlah Seluruh Contoh x = Jumlah Individu per Contoh Bila, I = 1, menunjukkan distribusi fauna tersebut random. I > 1, berarti distribusi fauna tersebut berkelompok. I < 1, berarti distribusi fauna tersebut beraturan. b. Koefisien Dispersi Kd = X2/(N-1) X2 = s2 (N-1) : X Dimana, Kd = Koefisien Dispersi s2 = Varian

14

N X Bila,

= Jumlah Contoh = Rata-rata

Kd = mendekati 1, berarti distribusinya random. Kd = 0, berarti distribusinya beraturan. Kd > 1, berarti distribusinya berkelompok.

c. Perhitungan Secara Statistik Distribusi juga dapat diketahui dengan memperhatikan varian dari data. Dari semua jumlah contoh yang diambil dari lokasi penelitian, maka dapat dihitung rata-rata, varians, dan standar deviasinya. Dari nilai rata-rata dan varians tersebut dapat diketahui bagaimana keadaan ditribusi fauna tersebut. Bila varians (s2) sama dengan rata-rata berarti distribusi fauna tersebut tersebar secara random; bila varians lebih besar dari rata-rata berarti distribusi fauna tersebut berkelompok; dan bila varians lebih kecil dari rata-rata berarti distribusi fauna tersebut beraturan (uniform). d. Pengukuran Agregasi dalam Populasi dengan Menggunakan k dari Binomial Negatif Mengelompok atau tidaknya distribusi fauna di suatu lokasi juga dapat diekspresikan oleh binomial negatif. Distribusi binomial negatif diukur dengan parameter rata-rata, jumlah dalam tiap pengamatan, dan k yang merupakan parameter dispersi. Umumnya nilai k mendekati 2. Bila nilai k naik, maka distribusinya menyerupai persamaan Poison yang menunjukkan bentuk random. Indeks Asosiasi Antar Dua Jenis Untuk membandingkan distribusi dua jenis hewan pada suatu lokasi penelitian, kita juga dapat melihat keeratan hubungannya. Keeratan hubungan antar dua jenis fauna tanah dapat dihitung dengan dua pendekatan, yaitu dengan menggunakan data frekuensi dan dengan menggunakan data kepadatan.

15

Korelasi Keeratan hubungan antar dua jenis fauna tanah dapat dihitung secara statistic, yaitu dengan cara menghitung koefisiensi korelasi antar dua jenis tersebut. Dengan perhitungan korelasi tersebut dapat dilihat keeratan hubungan antar dua jenis fauna tanah yang penyebarannya bersifat random (acak). Distribusi yang bersifat random sering tidak ada pada fauna tanah, untuk itu perlu data penelitian tersebut ditransformasi terlebih dahulu sebelum dihitung korelasinya. Alternatif lain adalah dengan menggunakan statistic non parametric, seperti metoda Kontingensi Chi-Square. Uji Chi-Square (X2) dapat digunakan untuk membandingkan distribusi pasangan-pasangan jenis pada satu atau lebih seri pengamatan. Indeks Afinitas Fager Dengan indeks ini dapat dihitung afinitas antar dua jenis fauna tanah. Rumus indeks ini adalah sebagai berikut: J = na . nb na + nb Dimana, na = Jumlah Contoh Berisi Jenis A nb = Jumlah Contoh Berisi Jenis B na sama atau lebih kecil dari nb Untuk menguji signifikasi afinitas antar dua jenis fauna tanah dengan perhitungan indeks afinitas tersebut, maka dilanjutkan dengan uji t, dimana nilai t dihitung dengan rumus sebagai berikut: t = (na + nb) (2J 1) 1 V (na + nb 1) 2 na . nb Rumus tersebut dapat digunakan untuk na lebih besar dari 10, dan na/nb tidak lebih dari 2,5.

Perhitungan Asosiasi Berdasarkan Data Kepadatan

16

Perhitungan rumus di atas berdasarkan frekuensi kehadiran. Berdasarkan kepadatan populasi, maka asosiasi antar dua jenis dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dibuat oleh Whittaker dan Fairbanks dan dimodifikasi oleh Southwood. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Indeks asosiasi = 2 Ji A+B Dimana, Ji = Total Jumlah Individu Jenis A dan B pada Contoh dimana keduanya terdapat. A = Total Jumlah Jenis A pada Semua Contoh. B = Total Jumlah Jenis B pada Semua Contoh. Indeks asosiasi ini besarnya berkisar antara 1 sampai 1 (1 = berasosiasi sempurna). Komponen Ekuibilitas dari Diversitas Jenis Pada indeks diversitas dikaji komponen kekayaan atau variasi dari diversitas jenis. Sebenarnya dalam komunitas, menurut Lloyd dan Ghelardi, juga ada komponen ekuibilitas. Ekuibilitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: J = H/Hmax Dimana, Hmax = log2 (S) Kesamaan Antar Dua Struktur Komunitas Indeks Jaccard Dengan indeks ini akan dapat dibandingkan kesamaan contoh yang berpasangan. Dalam bidang ekologi fauna tanah variasi rumus Jaccard yang banyak dipakai adalah yang dikembangkan oleh Sorensen tahun 1948 yang dikenal dengan nama Pembagi Kesamaan Sorensen, atau disebut juga Indeks Kesamaan Sorensen. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Q/S = 2j (a + b) x 100% 0,5

17

Dimana, j = jumlah jenis yang ditemukan pada kedua contoh yang dibandingkan; a adalah jumlah jenis pada contoh A; dan b adalah jumlah jenis pada contoh B. Indeks Jaccard dan Sorensen akan naik harganua bila nilai j tinggi dan nilai a dan b rendah. Indeks Mountford Indeks Mountford = 2j 2 ab (a + b) j Nilai Renkonen Suatu indeks kesamaan yang dapat pula digunakan untuk membandingkan beberapa struktur komunitas ialah yang dikenal dengan nama Nilai Renkonen. Perhitungan nilai kesamaan ini didasarkan pada kepadatan relative dari masing-masing jenis hewan yang terdapat pada habitat yang dibandingkan.

18

BAB III KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
Zooedaphon atau fauna tanah merupakan seluruh organisme hewan yang hidup

di dalam atau di atas tanah pada waktu tertentu, menggunakannya sebagai habitat mereka, terlepas dari tingkat aktivitas mereka dan luas pengaruh mereka pada tanah, dan terlepas dari apakah fase perkembangan mereka selanjutnya terhubung dengan tanah atau tidak. Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna.
Mikrofauna adalah jenis fauna tanah yang memiliki ukuran tubuh kurang dari

0,1 mm. Ada tiga jenis mikrofauna yaitu Nematoda, Protozoa, dan Rotifera. Pengambilan sampel tanah adalah mengambil tanah dengan suatu alat pada luas area dan kedalaman tertentu yang dapat dilakukan dengan metode kuadrat atau dengan bor tanah. Pengambilan sampel mikrofauna dilakukan dengan teknik ekstraksi yang digolongkan menjadi dua metode, yaitu metode mekanik dan metode perilaku. Adapun metode perilaku terbagi dua, yaitu teknik estraksi kering menggunakan corong Berlese-Tullgren dan ekstraksi basah menggunakancorong Baermann. Analisis mikrofauna tanah meliputi kepadatan populasi (dalam jumlah atau berat biomassa), kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, fidelitas, dan distribusi. Selain itu dapat pula dihitung indeks asosiasi antar jenis. Untuk membandingkan struktur suatu komunitas dengan komunitas lainnya dapat dilakukan dengan membandingkan indeks diversitas, ekuibilitas, dan indeks similaritas.

19

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. Biologi Tanah Hutan. http://forestryinformation.wordpress.com/ 2011/06/30/biologi-tanah-hutan/. diakses tanggal 26 Oktober 2011. Fitri. 2011. Biologi Tanah. http://fitri05.wordpress.com/2011/01/24/biologi-tanahi-pendahuluan-a-latar-belakang-tanah-merupakan-medium-alami-tempattanaman-hidup-berkembang-biak-dan-mati-karena-itu-tanah-mampumenyediakan-sumber-bahan-organik-selama-bertahun-ta/.diakses tanggal 26 Oktober 2011. Grny, Mieczyslaw dan Leszek Grm. 1993. Methods in Soil Zoology. Polish Scientific Publishers PWN Ltd. Warszawa. Jacob, Agustinus. 2008. Tanaman dalam Mengevaluasi Status Kesuburan Tanah. http://mursitoledi.multiply.com/journal/item/1/jurnalilmu_kesuburan_tanah. diakses tanggal 26 Oktober 2011. Madjid, Abdul. 2007. Pengertian Organisme Tanah. http://dasar2ilmutanah. blogspot.com/2007/11/organisme-tanah.html. diakses tanggal 26 Oktober 2011. Suin, Nurdin M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta. Wallwork, John. A. 1970. Ecology of Soil Animal. McGraw-Hill Publishing Company Limited. England.

You might also like