You are on page 1of 21

Abu Dzar Al Gifari (wafat 32 H/652 M)

Beliau ini adalah seorang sahabat yang masuk Islam dari sejak dini. Semasa Jahiliah beliau ini telah melarang minum khamar dan beliau tidak pernah ikut menyembah berhala oleh sebab itu beliau terkenal orang takwa. Dia selalu mengajak fakir miskin agar integrasi dengan orang kaya. Beliau ini mengikuti penaklukan Baitulmakdis bersamakhalifah Umar bin Khatab. Rasulullah pernah bersabda tentang beliau semoga Allah memberikan rahmatNya kepada Abu Zar, yang hidup menyendiri, mati menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin. Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros, katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini. Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah . Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti. Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh. Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya. Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya. Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah dengan ajaran Islam. Abu Dzar segera menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Kabah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah , tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya. Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya,

namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan. Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah. Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu. .ooOoo

Artikel Mu'jizat Qur'an & Sunnah KISAH MENINGGALNYA ABU DZAR Sabtu, 18 Juni 05 Ketika Rasulullah telah pergi berlalu dengan para sahabat-sahabatnya dan ternyata ada orangorang yang tidak ikut atau tertinggal. Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, Fulan telah tertinggal". Maka Rasulullah menjawab, "Biarkan dia, maka andai ia masih memiliki kebaikan maka Allah akan menggabungkan dirinya dengan kalian, dan jika ia tidak demikian maka Allah telah menyelamatkan kalian darinya". Salah seorang sahabat ada yang berkata, "Wahai Rasulullah, Abu Dzar telah tertinggal karena untanya lambat." Rasulullah menjawab, "Biarkan dia, maka andai ia masih memiliki kebaikan maka Allah akan menggabungkan dirinya dengan kalian, dan jika ia tidak demikian maka Allah telah menyelamatkan kalian darinya". Dan Abu Dzar pun jadi tambah terlambat di atas untanya, maka ketika untanya tidak mampu berjalan lagi, maka Abu Dzar pun mengambil barang-barang bawaannya dan memanggulnya dan berjalan menyurusi jejak kaki Rasulullah. Dan Rasulullah pun turun dari kendaraanya dan kemudian salah seorang pengintai dari sahabat memandang ke jauh ke belakang, tiba-tiba ia berkata, "Wahai Rasulullah, Itu ada seorang laki-laki menuju kesini dengan berjalan kaki sendirian". Maka Rasulullah bersabda, "Semoga benar dia Abu Dzar". Maka, ketika sekelompok sahabat memperhatikan dengan seksama, maka tiba-tiba mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, demi

Allah, dia adalah Abu Dzar". Maka Rasulullah pun bersabda, "Semoga Allah mengasihi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, dan meninggal sendirian, dan dibangkitkan kelak pun sendirian". Dan sabda Rasulullah ini benar-benar terbukti, sebab Utsman bin Affan ketika itu ada perbedaan pendapat dengan Abu Dzar, dan Abu Dzar pun menjauh dan meninggalkan Utsman bin Affan. Dan tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya, maka beliau pun memberi wasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang memandikan dan mengkafaninya kalau ia meninggal. Kemudian, letakkanlah aku dipinggir jalan, dan katakanlah kepada orang pertama yang melewatiku bahwa ini adalah Abu Dzar, sahabat Rasulullah, tolonglah kami untuk menguburkannya." Maka, tatkala Abu Dzar meninggal, keduanya pun melakukan apa yang diwasiatkannya, lalu meletakkan beliau di pinggir jalan. Maka Abdulah bin Mas'ud dan sekelompok rombongan dari penduduk Iraq pun lewat untuk melakukan umrah. Tiada yang mereka dapati di perjalanan kecuali sebuah jenazah di pinggir jalan yang disampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang sedang berdiri danberkata, "Ini adalah Abu Dzar sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami untuk menguburkannya". Maka, Abdullah bin Mas'ud pun menangis dan berkata, "Sungguh telah benar Rasulullah, beliau bersabda bahwa Abu Dzar, dia berjalan pergi sendirian, dan meninggalpun dalam kesendirian, dan akan dibangkitkan dalam kesendirian pula". Kemudian, ibn Mas'ud pun turun dari kendaraannya, begitu juga para sahabatnya pun menguburkannya. Lalu Ibn Mas'ud pun menceritakan kepada mereka sebuah hadits, sebuah kisah yang di dalamnya Rasulullah bersabda tentang Abu Dzar ketika dalam suatu perjalanan menuju Tabuk. Nama asli Abu Dzar adalah Jundub bin Junadah, meninggal pada tahun 32H. Sumber: Min Mu'jizatin Nabiy shallalahu 'alaihi wa sallam Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad Al-Salman

Hukum Meminta Jabatan - 1 Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-AtsariRasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah : Wahai Abdurrahman bin Samurah janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong {oleh Allah dgn diberi taufik kepada kebenaran}. Namun jika diserahkan kepadamu krn permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu .Hadits ini diriwayatkan AlImam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dgn judul Siapa yg tidak meminta jabatan Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya dan no. 7147 dengan judul Siapa yg minta jabatan akan diserahkan padanya {dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya}.Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yg diberi judul oleh Al- Imam An-Nawawi Bab Larangan meminta jabatan dan berambisi utk

mendapatkannya.Masih berkaitan dgn permasalahan diatas juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: Wahai Rasulullah tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin? Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda: Wahai Abu Dzar engkau seorang yg lemah sementara kepemimpinan itu adl amanah. Dan nanti pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yg mengambil dgn haknya dan menunaikan apa yg seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Wahai Abu Dzar aku memandangmu seorang yg lemah dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai utk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali- kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim. Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin bab Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih utk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas utk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.Kepemimpinan Yang Diimpikan Dan DiperebutkanMenjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yg dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yg menjanjikan lambaian rupiah dan kesenangan dunia lainnya.Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yg diriwayatkan dari Abu Hurairah: Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. Bagaimana tidak dgn menjadi seorang pemimpin memudahkannya utk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran penghormatan dari orang lain kedudukan atau status sosial yg tinggi di mata manusia menyombongkan diri di hadapan mereka memerintah dan menguasai kekayaan kemewahan serta kemegahan.Wajar bila kemudian utk mewujudkan ambisinya ini banyak elit politik atau calon pemimpin dibidang lainnya tidak segan-segan melakukan politik uang dgn membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau sekedar uang tutup mulut utk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye dan sebagainya. Bahkan ada yg ekstrim ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yg dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yg dianggap sebagai duri dalam daging yg dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal afiyah.Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari : Ambisi utk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yg mendorong manusia utk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah dirampasnya harta dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita dan karenanya terjadi kerusakan yg besar di permukaan bumi.Seseorang yg menjadi penguasa dgn tujuan seperti di atas tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah berfirman: Itulah negeri akhirat yg Kami jadikan utk orang-orang yg tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yg baik itu hanya utk orang- orang yg bertakwa. Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: Allah mengkhabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenimatannya yg kekal tidak akan pernah lenyap dan musnah disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yg beriman yg tawadhu tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan di hadapan hamba-hamba Allah yg lain tidak merasa

besar tidak bertindak sewenang-wenang tidak lalim dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin: Seseorang yg meminta jabatan seringnya bertujuan utk meninggikan dirinya di hadapan manusia menguasai mereka memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yg demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh krn itu seseorang dilarang utk meminta jabatan. Sedikit sekali orang yg berambisi menjadi pimpinan kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dgn kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya mengejar jabatan utk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yg digembar- gemborkan sebelumnya tak lain hanyalah ucapan yg manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yg kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yg menipu. Bahkan yg ada mereka berbuat zhalim dan aniaya kepada orangorang yg dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yg diincar tersebut yg dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya mereka lantas mempertontonkan apa yg sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dgn pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh merupakan perbuatan yg memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yg dipimpinnya.Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yg menginginkan jabatan ini sehingga Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lbh dari dua ekor serigala yg kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda: Tidaklah dua ekor serigala yg lapar dilepas di tengah segerombolan kambing lbh merusak dari pada merusaknya seseorang terhadap agamanya krn ambisinya utk mendapatkan harta dan kedudukan yg tinggi. {HR. Tirmidzi no. 2482 dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/178}Sifat Seorang PemimpinDitengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan maka layak sekali apabila hadits yg diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yg menyebutkan kriteria yg harus diperhatikan dan merupakan hal mulia jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah berkata kepada Abu Dzar: Wahai Abu Dzar engkau seorang yg lemah. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yg menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yg melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat maka dikatakan padanya ia seorang yg kuat. Dan sebaliknya bila ia seorang yg lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yg mengucapkan seperti ini bila tujuannya utk memberikan nasehat bukan utk mencela atau mengungkit aib yg bersangkutan.Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar adl beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin krn ia memiliki sifat lemah sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yg kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yg didengar/ditaati tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang maka tidak tersisa baginya kehormatan di sisi mereka dan akan berani kepadanya orang yg paling dungu sekalipun sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi bila seseorang itu kuat dia dapat menunaikan hak Allah tidak melampaui batasan-batasannya dan punya kekuasaan. Maka inilah

sosok pemimpin yg hakiki. {Syarh Riyadhush Shalihin 2/472}Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adl sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun kekuatan dan amanah hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dgn dalil: Sesungguhnya orang yg paling baik yg kamu ambil utk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf Alaihissalam: Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yg berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami. Allah menyebutkan sifat Jibril dgn menyatakan:. . . Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman Allah yg dibawa oleh utusan yg mulia yg mempunyai kekuatan yg mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yg memiliki Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya. Beliau rahimahullah berkata: Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah tidak menjual ayat-ayat Allah dgn harga yg sedikit dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap tiap orang yg memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman: Maka janganlah kalian takut kepada manusia tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dgn harga yg sedikit. Siapa yg tidak berhukum dgn apa yg Allah turunkan maka mereka itu adl orang-orang kafir. {As-Siyasah Asy- Syariyyah hal. 12-13}Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat: Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dgn beberapa kalimat kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yg zhalim. {Al- Baqarah: 124}Beliau berkata: Sekelompok ulama mengambil dalil dgn ayat ini utk menyatakan seorang imam itu harus dari kalangan orang yg adil memiliki kebaikan dan keutamaan juga dengan kekuatan yg dimilikinya utk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut. {Al-Jami li Ahkamil Quran 2/74}Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yg tidak disebutkan di sini krn ingin kami ringkas. Mudah-mudahan pada kesempatan yg lain bisa kami paparkan.Nasehat bagi mereka yg sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinanKepemimpinan adl amanah sehingga orang yg menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya yg namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat sehingga sepantasnya yg mengembannya adl orang yg cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah melarang orang yg tidak cakap utk memangku jabatan krn ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dgn semestinya. Rasulullah juga bersabda: . : : Apabila amanah telah disia-siakan maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yg bertanya: Wahai Rasulullah apa yg dimaksud dgn menyia-nyiakan amanah? Beliau menjawab Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Referensi: Buletin Islam AL ILMU Edisi 5 / II / II / 1425 sumber : file chm Darus Salaf 2

Bekal Menuju Akhirat


05 Nov 2008 BEKAL MENUJU AKHIRAT Sebagai muslim yang taat, kita tidak seharusnya terlena dengan kenikmatan yang ada di dunia ini

karena semua yang ada di dunia bersifat sementara dan fana yang kesemuanya akan kembali kepada Allah swt. Diantara kenikmatan yang ada di dunia ini, telah banyak umat manusia yang terlena dengannya yaitu harta , tahta dan wanita. Harta sepatutnya dan wajib kita miliki untuk kebutuhan hidup, tetapi kita tidak boleh terlena dengannya sehingga harus kita jadikan harta kita sebagai sarana beribadah yang digunakan dengan sebaik-baiknya. Tahta atau jabatan yang kita miliki harus dijalankan dengan rasa tanggungjawab dan menjadikannya jalan dakwah di jalan Allah. Sedangkan wanita bagi laki-laki atau pria bagi wanita boleh kita dapatkan dan kita nikmati, namun dengan cara yang halal melalui jalur pernikahan yang sah terlebih dahulu. Oleh karena itu, kita sebagai muslim harus menjadikan dunia sebagai tempat singgah sebelum berangkat menuju akhirat. Dan untuk menuju akhirat kita harus mempunyai bekal yang cukup untuk bisa mencapai akhirat dengan apa yang kita harapkan dan selalu diridhai oleh Allah swt. Dalam kitab Nashaihul Ibaad karya Imam Nawai Al-Batani, Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abu Dzar Al-ghifari ra : Wahai Abu Dzar perbaikilah perahumu, karena lautan itu sangat dalam. Carilah perbekalan yang lengkap, karena perjalanan itu sangat jauh. Kurangilah beban, karena rintangan itu amatlah sulit untuk diatasi dan ikhlaslah dalam beramal, karena yang menilai baik dan buruk adalah dzat yang maha melihat. Dari nasihat diatas, dapat kita simpulkan terdapat empat nasihat Rasulullah saw, menjadi bekal kita menuju akhirat yang harus kita renungi dan amalkan dengan sebaik-baiknya. 1. Perbaiki Niat Nasihat pertama, yang harus kita amalkan sebagai bekal menuju ke akhirat yaitu perbaikilah perahumu, karena lautan itu sangat dalam. Maksud dari ungkapan tersebut yaitu perbaikilah niat agar engkau memperoleh pahala dan selamat dari siksa atau azab dari Allah swt. Dalam hal ini, Rasulullah secara tidak langsung juga mempersembahkan nasihat tersebut untuk seluruh umat muslim yang harus memperbaiki niatnya dalam ibadah kepada Allah swt dan beramal. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda yang artinya Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niat. Dalam hadits tersebut sudah jelas jika kita sebagai umat muslim dalam beribadah atau beramal dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah untuk mencapai keridhaannya maka ibadah atau amal yang kita perbuat akan baik pula dan akan mendapatkan keridhaan dari-Nya. Seorang mahasiswa atau pelajar yang dalam menuntut ilmu niatnya untuk mendapatkan ilmu dan bukan untuk mendapatkan kehadiran dalam kelas atau absen maka ia akan mendapatkan ilmu tersebut karena niatnya yang tulus untuk menuntut ilmu karena Allah swt. Karena itu perbaikilah niat kita dalam melakukan segala amal shaleh untuk memperoleh pahala dari-Nya serta keridhaan-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya dengan memperbaiki niat, ini merupakan bekal yang cukup untuk menuju akhirat. 2. Bekal Yang Lengkap Perjalanan hidup manusia amat panjang, dari dunia sampai akhirat. Agar perjalanan ini tidak bermasalah, maka bekalnya harus lengkap, yakni banyak mendapatkan pahala dari Allah swt. Dalam peperangan atau perjalanan jauh jika pasukan serta prajurit tidak melakukan persiapan perbekalan yang lengkap niscaya mereka akan kalah dengan musuh yang mempunyai perbekalan yang lengkap. Oleh karena itu, sebagai muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya mari kita cari perbekalan untuk menuju akhirat dengan mencari pahala serta keridhaan Allah swt yang terangkum dalam ketaqwaan kepada-Nya, karena sebaik-baik bekal untuk orang yang beriman yaitu taqwa. Taqwa dalam arti selalu melaksanakan apa yang telah Allah swt perintahkan dan menjauhi segala sesuatu yang dilarang. Selain taqwa sebagai perbekalan untuk menuju akhirat, kita juga harus mempunyai ilmu. Bahkan tidak hanya untuk ke akhirat saja akan tetapi hidup kita di dunia ini juga harus dengan ilmu

sebagaimana dalam hadits : Barangsiapa yang menginginkan dunia harus dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat haruslah dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah dengan ilmu. Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa perbekalan yang paling utama untuk mencapai akhirat yaitu iman, taqwa serta ilmu dan masih banyak juga perbekalan yang harus kita siapkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat dan jika kita sudah mempunyai perbekalan yang cukup dan lengkap niscaya atas izin Allah kita akan sampai pada surga yang kita tuju dengan selamat tanpa azab dan siksaan dari Allah. 3. Kurangi Beban Ketiga, nasihat yang harus kita laksanakan untuk mencapai surga yang kita dambakan adalah kurangilah beban, karena rintangan itu amatlah sulit untuk diatasi. Ungkapan tersebut maksudnya janganlah umat muslim banyak-banyak dalam mengambil sesuatu yang bersifat keduniaan. Janganlah sampai kita dikuasai oleh dunia yang fana ini, akan tetapi muslim yang kuat harus bisa menguasai dunia tanpa terlena dengan hal-hal yang bersifat keduniaan. Sifat zuhud harus kita miliki untuk mengurangi beban yang sulit untuk diatasi. Diserupakannya akhirat dengan lautan yang dalam, perjalanan yang jauh, terdapat rintangan yang sulit untuk diatasi karena banyaknya kesulitan serta rintangan yang mesti kita lewati untuk bisa sampai kepada kebahagiaan akhirat yaitu surga. Dalam era global seperti sekarang ini, kita tidak dilarang untuk menjalin silaturahmi dalam dunia maya atau yang kita sebut dengan internet. Yang sangat populer dalam dunia internet sekarang yaitu Facebook. Sarana facebook jangan kita gunakan sebagai ajang gosip atau mengajarkan ajaran yang sesat dan yang tidak dibenarkan dalam ajaran islam. Karena itu, jika kita gunakan facebook sebagai ajang silaturahmi dan mengajarkan ajaran yang benar dan tidak sesat, itu sah-sah saja selama kita gunakan dengan sebaik-baiknya. Dan untuk pengguna facebook yang lain, jadikanlah ini sebagai ajang dakwah Islam dengan menyebarkan ayat Al Quran dan Hadits ataupun syair-syair yang bersangkutan dengan dakwah Islam dan juga perbanyaklah dalam status yang ada dalam facebook tersebut dengan kata-kata yang bermanfaat seperti yang disebutkan tadi, dengan mencantumkan ayat Al Quran maupun Hadits Nabi dan persedikit kata-kata yang kurang bermanfaat bagi kita pribadi dan orang lain yang membacanya. Dalam kehidupan kita di dunia, ambillah segala sesuatu yang bermanfaat dengan sebaik-baiknya untuk mendapat pahala dan dijauhi dari siksa Allah swt. Oleh sebab itu, untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kurangilah beban yang ada di dunia yang sulit bagi kita untuk diatasai. 4. Ikhlas Dalam Beramal Yang terakhir atau yang keempat nasihat yang harus kita ambil untuk mencapai kebahagiaan akhirat yaitu ikhlaslah dalam beramal, karena yang menilai baik dan buruknya suatu amal adalah Allah swt Dzat yang Maha Melihat. Ikhlas berarti sikap pengesaan Tuhan, baik dari segi keyakinan hati, ucapan dan juga semua pelaksanaan ibadah kepada Allah awt. Orang yang ikhlas disebut sebagai mukhlis. Sangat sedikit orang yang beramal atau bersedekah karena Allah swt yang disertai dengan keikhlasan, akan tetapi sangat banyak khususnya orang yang sudah dikuasai dengan kenikmatan dunia terlebih hartanya sendiri yang beramal atau beribadah tidak disertai dengan ikhlas, mereka semua melakukannya atas dasar terpaksa karena kasihan kepada orang yang dari segi ekonominya lemah. Oleh karena itu, dalam beramal keluarkanlah sebagian rezeki yang kita punyai untuk orang yang kurang mampu dengan penuh keikhlasan karena dengan melakukan hal tersebut kita sudah tercatat sebagai penghuni surga dan mendapatkan apa yang kita harapkan yaitu pahala serta ridha dari Allah swt. Semoga empat nasihat yang telah dijelaskan diatas menjadi acuan untuk kita selalu mendekatkan

diri kepada Allah swt dan bisa bermanfaat untuk kita semua. Amien wallahualam bisshawab. Rizki Yansyah Email : rizki.kibul@ymail.com

Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu anhu Sosok Pejuang Sendirian


Posted on 21 Juli 2010 by virouz007

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabiat kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabiat yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar. Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu. Dan setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : Apa yang telah kamu lakukan ?, tanyanya. Unais menjelaskan : Aku sungguh telah menemui seorang pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek. Abu Dzar bertanya lagi : Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?. Unais menjawab : Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang syair, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang syair,

ternyata amat berbeda omongannya dengan bait-bait syair. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta. Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Kabah dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya ? Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat dari tuannya. Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang dicarinya dan apa yang diinginkannya. Dia hanya menanti dan menanti di Kabah, dalam keadaan semua perbekalannya telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian terus suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang dinantinya ? yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng tersebut dan sikap masyarakatnya yang anti pati terhadapnya. Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah satu pojok Kabah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera saja Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku.

Maka Abu Dzarpun pergi ke rumah Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumah pun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah. Dan setelah dijamu, Abu Dzarpun kembali ke Kabah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah. Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu keperluan yang sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali berjumpa lagi dengan tamunya di Kabah dan segera menanyainya : Apakah hari ini anda akan kembali ke kampung ?. Abu Dzar menjawab dengan tegas : Belum !. Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : Apa sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?. Dan Abu Dzar pun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik mengajukan syarat bernada antangan : Bila engkau berjanji akan merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu. Langsung saja Ali menyatakan janjinya : Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu. Dan Abu Dzar tidak ragu lagi dengan janji pemuda uraisy yang terhormat ini, sehingga dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : Telah sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi. Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan kepadanya : Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku lakukan demikian, maka segera engkau pergi menjauh. Maka Abu Dzarpun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada beliau. Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu

alaihi wa aalihi wasallam engan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami. Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu laihi wa aalihi wa sallam: Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut. Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Kabah banyak berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan menyatakan : Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah. Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka berteriak memerintahkan orang-orang di situ : Bangkitlah kalian, kejar orang murtad itu. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu Dzar : Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan kalian. Demi masyarakat mendapat teriakan demikian, merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ni, tidak menciutkan nyalinya untuk mengulang proklamasi keimanannya di depan Kabah menantang para dedengkot kafir Quraisy. Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang penuh keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah seperti kemarin.

Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa. Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin mendawahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al Waqiah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah.

Hijrah Ke Al Madinah :
Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Badar dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan apa. Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya : (tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Saad 3 / 164) Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula. HR. Ibnu Saad dalam Thabaqatnya. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya : (tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya 1 / 162) Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?, Rasulullahpun menjawab : Ya, di jalan Allah. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan. HR. Abu Nuaim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Asma bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk dengan sempurna. Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia menjawab : Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ? Maka Rasulullah pun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar menjawabnya :Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu. Kemudian Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan :

Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun menyatakan kepadanya : Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu itu. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457. Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersebut, diriwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini : (tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Saad jilid 3 hal. 161). Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. HR. Ibnu Saad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu anhuma.

Abu Dzar berjuang sendirian :


Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebidahan (yakni segala penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam). Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena dia terusmenerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau ceritakan : (artinya) Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai (Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 5 hal. 159. Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : Aku pernah masuk kota Al Madinah di suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah (yani duduk bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan orang-

orang Quraisy. Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup, dan orang inipun berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orangorang yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan batu itu pun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya. Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itu pun segera meninggalkan halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya . Maka akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah Abu Dzar. Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau ucapkan. Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad) sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat gunung Uhud itu ?!. Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya. Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku). Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka. Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang :Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan RasulNya. Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 35. Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan. Hal ini diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut : Ketika Abu Musa Al Asyari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka Abu Musa berusaha merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang hitam kulitnya dan

lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku ! Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku. Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya : Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat jabatan di pemerintahan. Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku. Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ? Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan. Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlombalomba membangun bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ? Abu Hurairah menjawab : Tidak. Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku, engkau saudaraku. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Saad dala Thabaqatnya jilid 3 halaman 163. Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya : (tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Saad jilid 3 hal. 162) Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya untuk mati. HR. Ibnu Saad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal. 162. Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di hari kiamat kelak.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :


Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Muawiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Muminin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera mentaati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Muminin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Muminin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Muminin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : Wahai Amirul Muminin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah.

Maka Amirul Mumininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : Cukuplah bagi Abu Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri. Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Quran. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke Amirul Muminin dan di sana ada Kaab dan Abdullah bin Abbas sedang membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi Auf. Maka Amirul Muminin bertanya kepada Kaab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya. Maka Kaab menjawab : Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa. Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung memukul Kaab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Kaab : Wahai anaknya perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya. Sedangkan Allah telah berfirman : (artinya) Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya. S. Al Hasyr 9, juga Allah berfirman : (artinya) Mereka kaum Muminin itu memberi makan kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. S. Ad Daher (dinamakan juga S. Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Quran yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya. Melihat kejadian itu, Amirul Muminin segera menegur Abu Dzar : Takutlah engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu. Juga Amirul Muminin meminta kepada Kaab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya melukai kepala beliau. Dan Kaabpun akhirnya memaafkannya. Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan dan kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan

semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian, istrinya menangis dihadapannya. Abu Dzar menegurnya : Mengapa engkau menangis ?. Istrinya menjawab : Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu. Maka Abu Dzar menasehati istrinya : Jangan engkau menangis, karena aku telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok orang yang lainnya. Beliau bersabda : Sungguh salah seorang dari kalian akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok kaum Muminin. Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : Ketahuilah olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah, telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini (yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah). Istrinya menyatakan kepadanya : Bagaimana mungkin akan ada orang yang engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!. Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : Lihatlah jalan !. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun berhenti didepannya. Orangorang di rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan kepada mereka : Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya. Maka merekapun menanyainya : Siapakah dia ? Perempuan itu menjawab : Dia adalah Abu Dzar. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka : Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai sekelompok kaum Muminin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar. Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada mereka : Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali

dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan. Semua anggota rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya : Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai ini. Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu. Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai Abu Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan. Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan dunia ini. Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah itu.

Penutup:
Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya. Amirul Muminin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan mengucapkan : Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya. Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia. Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang tidak mesti orang yang sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh. Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Quran dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Quran dan Al Hadits. Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada keridhoanNya. Daftar Pustaka :

1. Al Quran Al Karim. 2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani. 3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria AnNawawi. 4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Saad. 5. Hilyatul Awliya Wa Thabaqatul Ashfiya, Al Hafidl Abu Nuaim Al Asfahani. 6 . Siyar Alamin Nubala, Al Imam Adz Dzahabi. 7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani. 8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda note ini bermanfaat Source : http://majelisalghifary.com/ Shared By Catatan Catatan Islami Pages

You might also like