You are on page 1of 8

Abstrak

Dari waktu ke waktu kontrol terhadap badan peradilan semakin menunfukkan indikasi yang
memperihatinkan, utamanya setelah beberapa kewenangan Komisi Yudisial yang bertugas
mengawasi pengadilan dilucuti. Meski demikian partisipasi masyarakat secara aktif diharapkan
bisa menfadi variabel penting dalam mewufudkan mekanisme kontrol yang independen dan
obyektif. Eksaminasi Publik kemudian mengemuka menfadi wacana yang dipandang penting
untuk segera menfadi agenda aksi progresif dalam rangka penegakan hukum yang pro rakyat
dan keadilan
Pendahuluan
Berbicara tentang penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari aparatur penegaknya. Penegakan
hukum yang paling akhir dan menentukan dilakukan oleh aparatur yang ada dalam institusi yang
biasa kita sebut dengan 'Pengadilan. Menurut Satjipto pengadilan yang baik adalah 'Peradilan
yang bersiIat total dimana peradilan ini adalah pengadilan yang ideal dengan orientasi kepada
hukum substantiI yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi, politik dan lain-lain
pertimbangan kemanIaatan.|1| Namun sayangnya peradilan semacam ini hanya bisa ditemui
pada masa lalu, karena seiring dengan kehadiran negara modern, pengadilan muncul sebagai
institusi yang rasional yang mewajibkan para hakim memutus berdasarkan 'fixed rules of
rational formal law, hal ini lah yang kemudian menyebabkan adanya pertentangan antara
keadilan substansial (Substantial fustice) dan keadilan Iormal (formal fustice atau legal
fustice),|2| yang berakibat pada praktek pengadilan yang kemudian mengedepankan keadilan
Iormal. Sehingga seringkali dalam praktek dengan berlindung pada Iormalitas, oknum aparat
pengadilan melakukan KKN yang kemudian berimbas pada putusan-putusan pengadilan yang
seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Putusan-putusan seperti itulah yang kemudian dirasa perlu untuk dipantau atau bahkan diuji/
dieksaminasi. Kata eksaminasi sendiri berasal dari terjemahan bahasa Inggris examination yang
dalam Blacks Law Dictionary sebagai n investigation, search, inspection, interrogation. Atau
yang dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia sebagai ujian atau pemeriksaan. Jadi istilah
eksaminasi tersebut jika dikaitkan dengan produk badan peradilan berarti ujian atau pemeriksaan
terhadap putusan pengadilan/hakim yang memiliki tujuan secara umum untuk mengetahui,
sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan
benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Disamping
untuk tujuan mendorong para hakim agar membuat putusan dengan pertimbangan yang baik dan
proIesional.|3|
Sebenarnya gerakan-gerakan untuk memantau putusan di lingkungan pengadilan di Indonesia
sudah mulai dilakukan sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran/Instruksi Mahkamah
Agung No. 1 tahun 1967 tentang Eksaminasi; laporan bulanan dan daItar banding, dimana.
tujuan yang terkandung dalam Instruksi tersebut tidak saja untuk menilai/menguji apakah
putusan yang dieksaminasi tersebut, telah sesuai acaranya, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
yang benar, tenggang waktu penyelesaian perkara dan putusannya telah sesuai dengan rasa
keadilan, tetapi dengan diajukan berita acara sidang sebagai kelengkapan eksaminasi, juga
sebagai bahan pernilaian apakah hakim telah melaksanakan proses acara persidangan dan
putusan dengan baik, namun sayangnya menurut Susanti Adi Nugroho bahwa meskipun dalam
praktek Edaran/Instruksi tersebut tidak berjalan sesuai dengan bunyi kata-kata yang
diinstruksikan, tetapi sampai pada tahun 80-an berjalan dengan baik, terutama eksaminasi ini
merupakan persyaratan yang harus ada bagi kenaikan golongan masing-masing hakim.|4|
Dari uraian di atas nampak bahwa proses eksaminasi yang ada di lingkungan peradilan ini
merupakan salah satu bentuk pernilaian terhadap putusan-putusan hakim yang siIatnya intern,
dan dilakukan oleh badan peradilan sendiri, tanpa mengikut sertakan publik. Jadi jelas bahwa
tujuan eksaminasi semula hanyalah untuk menilai apakah para hakim telah menerapkan prisip
hukum dan acaranya dengan benar, tidak sebagai pengawasan tentang dugaan-dugaan adanya
KKN, dibalik putusan tersebut.
Seiring kemudian eksaminasi ini berkembang dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk Legal
Annotation atau anotasi hukum atau pemberian catatan hukum atau pernilaian terhadap putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh pihak luar badan peradilan. Pada
dasarnya anotasi ini hampir sama dengan eksaminasi, tetapi dilakukan oleh pihak luar badan
peradilan, yaitu dari perguruan tinggi, terutama Iakultas hukum atau mantan Hakim Agung, atau
praktisi/ pakar-pakar hukum yang bukan pengacara (tidak dianotasi oleh pengacara untuk
menghindari konIlik kepentingan).|5|
Namun demikian selaras dengan bergulirnya amandemen UUD 1945, muncul kemudian UU
Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dimana salah satu wewenangnya, sebagaimana
termaktub dalam pasal 13 (b), adalah menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim, yang diperjelas oleh pasal 20 yaitu:
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruI b Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.|6|
Mengenai mekanisme pengawasan terhadap perilaku hakim, diatur dalam pasal 22 yang
berbunyi:
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
1. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
2. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku
hakim;
3. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
4. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik
perilaku hakim; dan
5. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan
kepada Presiden dan DPR|7|
Jadi jelas disini bahwa pengawasan pengadilan terutama perilaku hakim dilakukan oleh Komisi
Yudisial, namun masyarakat memiliki hak uji terhadap putusan pengadilan melalui proses
eksaminasi publik sebagai bahan pertimbangan bagi Komisi Yudisial untuk kemudian ditindak
lanjuti.
Dengan demikian uji putusan pengadilan oleh masyarakat bisa dikatakan merupakan maniIestasi
dari peran masyarakat untuk mengontrol keputusan hakim. Sejalan dengan hal tersebut, Robert
B. Seidman sebagaimana dikutip Esmi, menyatakan bahwa segala tindakan yang akan diambil
oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang selau
berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain
sebagainya, kekuatan-kekuatan tersebut selalu bekerja dalam setiap upaya untuk memIungsikan
peraturan-peraturan yang berlaku, dan menerapkan sanksi. Adanya pengaruh kekuatan-kekuatan
sosial dalam bekerjanya hukum ini, secara jelas digambarkan oleh Seidman. |8|
Dari paparan di atas jelas bahwa secara kasat bisa dilihat bahwa proses eksaminasi publik
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, karena bisa
dikatakan bahwa upaya eksaminasi oleh masyarakat merupakan langkah progresiI dalam rangka
mengawasi jalannya peradilan. Maka dari itu tulisan ini akan coba lebih melihat secara Iokus
kaitan antara ufi putusan pengadilan yang dilakukan oleh masyarakat (eksaminasi publik)
dengan gerakan hukum progresif yang bersifat responsif dan kritis yang dipelopori oleh Satfipto
Rahardfo
ari pasif ke aktif, tinjauan hukum yang responsif
Satu-satunya asas dalam sistem peradilan kita yang berkaitan dengan masalah social control di
lingkungan peradilan hanyalah asas yang menyatakan bahwa persidangan terbuka untuk umum
(Pasal 17 ayat 1 UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman). Asas ini hanya
memberikan hak kepada masyarakat untuk melihat, mendengar dan mengikuti jalannya peradilan
saja atau dengan kata lain kontrol yang dilakukan oleh masyarakat bersiIat pasiI.
Nonet dan Selznick penggagas hukum responsiI menyatakan bahwa hukum adalah institusi yang
mengandung nilai-nilai dan hukum bekerja untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam
masyarakat, sehingga apabila hukum tidak dapat dilihat menjadi institusi yang demikian maka
hilanglah dasar atau landasan yang hakiki bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.|9| Ditinjau
dari gagasan tersebut, masyarakat yang secara aktiI hendak menjadikan lembaga eksaminasi
sebagai salah satu wadah atau bentuk social control terhadap peradilan, terutama putusan-
putusan hakim adalah maniIestasi dari hukum itu sendiri.
Dalam memberi basis yang lebih kuat terhadap proses eksaminasi ini, maka negara hukum
selayaknya menggunakan paradigma ganda yang tidak hanya 'paradigma peraturan, tetapi juga
'paradigma moral. Dalam agenda alternatiI ini pengawasan pengadilan tidak dilakukan melalui
hukum saja namun pintu masuknya (entry point) melalui perilaku substansial, yang diusahakan
melalui peningkatan kualitas spiritualitas instrumen pengadilan sebelum membangun hukum.
Sehingga kredonya bukan lagi membangun hukum, tetapi membangun spiritualisme bangsa.
Moral yang diunggulkan antara lain kejujuran, pengendalian diri, menjaga harkat sebagai
manusia, rasa malu, mengurangi keakuan (selfishness), dan lebih memberi perhatian terhadap
orang lain. Dengan kata lain menaruh harapan besar terhadap kekuatan-kekuatan (dalam)
masyarakat yang sudah mulai menggeliat dengan mengorganisir berbagai gerakan. Meski
gerakan itu tidak khusus berbicara tentang hukum dan lebih menjamah ranah moral dan
spiritualisme, namun secara diam-diam sumbangan terhadap pemulihan hukum sungguh
besar.|10|
Salah satu nilai moral kemanusiaan yang diharapkan dapat dikembangkan dalam proses
pengawasan adalah kemerdekaan hakiki setiap warga negara untuk mengekspresikan gagasan
dan peran sertanya dalam proses-proses pengawasan. Rakyat dalam perspektiI ini dipandang
sebagai makhluk yang aktiI untuk diberi peluang dalam melakukan pengawasan dan bukan
penikmat hasil yang pasiI dari buah putusan pengadilan.|11|.
Merealisasikan kemerdekaan berperan serta bukanlah hal yang mudah. Kenyataan dalam
kehidupan bernegara, masyarakat belum memperoleh kedaulatan sepenuhnya untuk turut
berperanserta dalam pengambilan keputusan. Arnstein mengklasiIikasikan partisipasi masyarakat
ke dalam delapan jenjang. Dikatakan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengontrol dan
menentukan masa depannya sendiri (kontrol sosial) adalah jenjang tertinggi partisipasi
masyarakat. Sedangkan level kedua adalah pola pengambilan keputusan yang oleh Pemerintah
didelegasikan (delegated power) kepada masyarakat sehingga pembangunan benar-benar berada
dibawah kendali warganegara (degree of citi:en power). Level ketiga terbaik adalah model
Partnership, yaitu masyarakat berhak untuk bernegosiasi dengan pembuat keputusan sehingga
gagasan mereka dapat dijadikan pertimbangan. Keikutsertaan jenis ini dapat eIektiI jika
masyarakat mempunyai para pemimpin yang dapat dipertanggungjawabkan dalam perundingan
eIektiI bersama-sama dengan pemegang kuasa (share holders)(.
ksaminasi yang obyektif dan Independen
Sebagai upaya untuk mengontrol putusan pengadilan, eksaminasi harus independen dan non
partisan, agar hasilnya tidak bias, berat sebelah atau subyektiI. Eksaminasi harus dilakukan
secara obyektiI dan mempunyai kewibawaan, sehingga mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Sebagai lembaga pengujian dan penilaian, hasil eksaminasi terhadap putusan pengadilan harus
lebih berbobot, argumentatiI atau berdasar serta bernilai keadilan. Sebagai wujud social control
yang independen dan non partisan, maka eksaminasi harus bebas dari pengaruh pihak-pihak yang
berkaitan dengan proses peradilan, yakni terdakwa atau terpidana, penggugat, tergugat,
kepolisian, kejaksaan, pembela atau kuasa hukum serta hakim. Meskipun secara Iaktual dapat
saja mereka bersikap obyektiI, akan tetapi secara logika, kemungkinan untuk bersikap subyektiI
dan menilai secara bias lebih besar.
Eksaminasi publik merupakan bagian dari perubahan sosial yang membutuhkan proses yang
tidak dapat seketika karena banyak penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan. Masyarakat
sendiri, oleh Weber dinilai telah memiliki keteraturan-keteraturan (order) dalam aneka bidang.
Institusi-institusi yang ada dalam masyarakat telah tunduk pada keteraturan-keteraturan ekonomi,
politik dan kebudayaan yang oleh Peter. L. Berger diistilahkan sebagai predefined patern of
conduct.( Selama ini, masyarakat mampu menjaga improvisasi untuk mencari
proporsionalitas keberlakuan keteraturan-keteraturan tersebut sebelum munculnya hukum.
Sehingga Fungsi hukum secara sosiologis adalah mengukuhkannya dalam kerangka kepastian
hukum. Dalam konteks perubahan social, Hukum ditempatkan melegitimasi perjalanan
perubahan social yang terjadi sesuai harapan masyarakat akan keadilan dan ketertiban..
Perubahan sosial ditujukan untuk melindungi kepentingan masyarakat melalui jalan Hukum. Dan
sebaliknya Perubahan Sistem Hukum juga dipengaruhi oleh perubahan social yang terjadi.
Sehingga sesungguhnya keduanya berIungsi secara timbal balik dalam menuju perubahan.|14|
Oleh karena itu dalam mewujudkan eksaminasi publik yang obyektiI dan independen,
eksaminasi harus independen dan non partisan, agar hasilnya tidak bias, berat sebelah atau
subyektiI. Untuk menciptakan eksaminasi yang memenuhi kriteria tersebut, maka menurut
Sundari paling tepat apabila eksaminasi dilakukan oleh para akademisi di perguruan tinggi.
Alasannya adalah karena akademisi umumnya non par-tisan sehingga independesinya lebih dapat
diandalkan. Selain itu akademisi adalah kaum intelektual yang lebih sering atau sudah terbiasa
melakukan analisis atau kajian secara lebih kritis dan ilmiah untuk tiap persoalan hukum yang
muncul demi perkembangan ilmu hukum, serta pengamat atas perkembangan dan perubahan
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat yang memerlukan penyelesaian atau
perlindungan dan pengaturan oleh hukum.|15| Namun dapat saja eksaminasi dilakukan oleh
bukan akademisi, misalnya saja oleh mantan hakim atau pengacara senior yang dipandang
berlaku obyektiI dan adil serta kredibilitasnya tidak diragukan masyarakat.
ksaminasi Publik dan Hukum Progresif
Hukum ProgresiI ditujukan untuk mengabdi kepada manusia yang menolak tradisi analytical
furisprudence, rechtdogmatiek, dan berbagai paham aliran legal realism, freirechtslehre,
sociological furisprudence, interre:enfurispruden:, teori hukum alam maupun critical legal
studies, tetapi hukum progresiI merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum
modern|16| yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi hukum
liberal. Hukum ProgresiI menolak pendapat bahwa ketertiban hanya bekerja melalui institusi
kenegaraan. Hukum ProgresiI ditujukan untuk melindungi rakyat menuju pada ideal hukum dan
menolak status quo yang ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani,
melainkan suatu institusi yang bermoral, yang mengantarkan manusia kepada kehidupan yang
adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Konsepsi ini ditawarkan untuk diimplementasikan
dalam tataran akademis maupun agenda aksi. Dan esensi yang hendak diwacanakan oleh Hukum
progressiI adalah Hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan.|17|
Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa eksaminasi pubik merupakan salah satu
lembaga social control untuk menguji putusan-putusan pengadilan agar bersiIat adil, obyektiI,
transparan dan independen, Sedangkan hukum progresiI berasumsi bahwa hukum adalah untuk
manusia dan mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.|18|
Sehingga dapat dikatakan bahwa menurut Hukum ProgresiI, putusan pengadilan itu harus
memiliki tujuan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia yang termaniIestasi dalam putusan yang
adil, obyektiI, transparan dan independen.
Metode eksaminasi publik yang tepat menurut Hukum ProgresiI adalah menggunakan cara kerja
aliran realisme hukum|19| dan menggunakan optik sosiologis, artinya pengujian putusan
pengadilan itu tidak dilakukan semata-mata dengan menggunakan 'peraturan dan logika namun
harus diteliti apakah putusan pengadilan itu benar-benar mengandung nilai-nilai keadilan di
masyarakat sehingga sesuai dengan konsep dasar Hukum ProgresiI yaitu 'hukum untuk
manusia dan 'keadilan di atas peraturan|20|
Hukum, selama ini dikenal sebagai alat pengendalian social (social control) dan menjaga
keteraturan dalam masyarakat. Namun sesungguhnya, hukum dilahirkan secara normologik
karena dalam realitasnya berasal dari proses interaksi-interaksi social. Interaksi dan partisipasi
social dalam kehidupan masyarakat dapat diIungsikan untuk merancang rencana aksi
pengawasan putusan peradilan. Keadaan ini memperlihatkan ketaatan secara sukarela terhadap
norma-norma social secara progresiI. Dalam konteks pengawasan putusan peradilan,
progresivisme hukum berIungsi sebagai pengawal menuju tujuan perubahan tatanan social pada
keadaan yang lebih baik dan sejahtera. Sehingga statusnya, hukum senantiasa Law in Making,
tidak berorientasi untuk dirinya sendiri dan tidak bersiIat Iinal,|21| melainkan berpihak kepada
dan melindungi kepentingan masyarakat, terutama pencari keadilan dalam konteks eksaminasi
publik.
Penutup
Akhir dari tulisan ini akan coba mengingatkan tentang perlunya melakukan pembatasan pada
Hukum ProgresiI, meski memiliki tujuan yang mulia tidak berarti aliran baru ini tidak memiliki
kelemahan dan resiko-resiko sosial. Pengedapanan keadilan di atas peraturan atau biasa disebut
kepastian hukum bukan tidak mungkin akan menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Satjipto sendiri memberi batasan bahwa progresiIitas hukum harus berpegang pada prinsip
'social reasonableness atau berarti pikiran-pikiran yang pro rakyat, pro keadilan dan
sebagainya Khusus untuk Eksaminasi Publik; independensi, obyektivitas dan SDM masyarakat
yang mumpuni sangat berpengaruh dalam proses pengujian putusan hakim sebagai benteng
terakhir penegakan hukum yang 'pro manusia
aftar Pustaka
Adi Nugroho, Susanti. Sefarah dan Pelaksanaan Eksaminasi di Lingkungan Peradilan
(Makalah, disampaikan pada Sosialisasi Eksaminasi Publik, diselenggarakan oleh ICW
bekerjasama dengan Unibraw 2003)
Prasetyo Eko, HAM dan Kefahatan Negara dan Imperialisme Modal, Insist Press, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000..
Rahardjo Satjipto, Sosiologi Hukum. Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2004)
-, Hukum Progresif (Penfelafahan Suatu Gagasan), Newsletter
No.59/Desember/2004
-, Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif, www.huma.or.id, Sumber Berita
Kompas Cyber Media 6 September 2004
-, Melupakan Hukum, Memedulikan Hati Nurani, Kompas, 17 Oktober 2003
http://www.kompas.com/kompas-cetak/03/10/17/opini
-, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, 1979
Sundari E, Menciptakan Lembaga Eksaminasi Sebagai Social Control Terhadap Putusan
Pengadilan, Yang Independen, Obyektif dan Berwibawa (Makalah, disampaikan pada Sosialisasi
Eksaminasi Publik, diselenggarakan oleh ICW bekerjasama dengan Unibraw 2003)
Soeprapto Riyadi, Interaksionisme Simbolik, Pustaka Pelajar Yogyakarta-Avverous Press
Malang, 2001
Warassih Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang,
2005,
-, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewufudkan Tufuan Hukum (Proses
Penegakan Hukum dan Penegakan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, 14 April 2001
Undang-undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman

|1| Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum. Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hal. 134
|2| Ibid, hal 135
|3| Susanti Adi Nugroho, Sefarah dan Pelaksanaan Eksaminasi di Lingkungan Peradilan
(Makalah, disampaikan pada Sosialisasi Eksaminasi Publik, diselenggarakan oleh ICW
bekerjasama dengan Unibraw 2003)
|4| Ibid
|5| Ibid
|6| Lihat Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
|7| Ibid
|8| Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama,
Semarang, 2005, hal. 12
|9| Satjipto, op cit. 94
|10|Satjipto Rahardjo, Melupakan Hukum, Memedulikan Hati Nurani, Kompas, 17 Oktober
2003 http://www.kompas.com/kompas-cetak/03/10/17/opini
|11| Bandingkan dengan Philip G. Algabeth & Dawtew TeIIera, dalam Eko Prasetyo, HAM dan
Kefahatan Negara dan Imperialisme Modal, Insist Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.hal
56.
|12| Arnstein dalam Esmi Warasih, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewufudkan Tufuan
Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Penegakan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 14 April 2001,hal. 29
|13| Peter. L. Berger dalam Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik, Pustaka Pelajar
Yogyakarta-Avverous Press Malang, 2001 hal 52.
|14| Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, 1979, hal 229
|15| E Sundari, Menciptakan Lembaga Eksaminasi Sebagai Social Control Terhadap Putusan
Pengadilan, Yang Independen, Obyektif dan Berwibawa (Makalah, disampaikan pada Sosialisasi
Eksaminasi Publik, diselenggarakan oleh ICW bekerjasama dengan Unibraw 2003)
|16|.Dalam artikel yang lain, berkenaan dengan koreksi ini Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa
Hukum ProgresiI adalah kekuatan hukum yang menolak dan ingin mematahkan kondisi status
quo yang dinilai lebih menerima normativitas terhadap sistem yang ada tanpa ada usaha untuk
melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi untuk menuju usaha perbaikan,
lebih daripada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara 'biasa-biasa saja
(business as usual)., Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif, www.huma.or.id, Sumber Berita
Kompas Cyber Media 6 September 2004
|17| Satjipto Rahardjo, op.cit hal. 1
|18| Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penfelafahan Suatu Gagasan), Newsletter
No.59/Desember/2004
|19| Friedmann sebagaimana dikutip oleh Satjipto menyatakan bahwa aliran realisme
memalingkan mukanya 'from abstraction, verbal solutions, bad apriori reasons, fixed
principles, closed system and pretended absolutes and origin`. Sebaliknya ia menghadapkan
mukanya pada 'completeness, adequacy, facts, actions and powers
|20| Satjipto Rahardjo, , op.cit
|21| Ibid

You might also like