You are on page 1of 11

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS II PERCOBAAN IV ANALISIS KUALITATIF BAHAN KIMIA OBAT FUROSEMID DAN HIDROKLOROTIAZID DALAM

OBAT TRADISIONAL DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Penyusun : Rizky Ramdhania / G1F009010 Resti Mahlifati Awaliyah / G1F009012 Pramita Purbandari / G1F009014 Yohan Budhi Alim / G1F009018

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO 2011

Percobaan IV Analisis Kualitatif Bahan Kimia Obat Furosemida dan Hidroklorotiazida Dalam Obat Tradisional Dengan Metode KLT
I. Tujuan Melakukan prinsip analisis dengan metode KLT, menotolkan sampel, mengelusi dan mengidentifikasi bahan kimia obat dalam suatu sampel dengan Kromatografi Lapis Tipis. II. Alat dan Bahan A. Alat Berikut peralatan yang digunakan adalah chamber, lempeng KLT, pipa kapiler, pipet tetes, beaker glass, batang pengaduk, tissue, penggaris, lampu UV, mortir dan stamper dan spatula. B. Bahan Berikut bahan-bahan yang digunakan adalah tablet furosemid, tablet hidroklortiazid, jamu IBOE, jamu X, metanol, etil asetat dan reagen Dragendorf. III. Data Pengamatan dan Perhitungan Jarak yang ditempuh masing-masing komponen : Furosemid Hidroklorotiazid Jamu IBOE Jamu X = 5,5 cm = 6 cm = 6,4 cm = 6,3 cm = 6 cm Rf = 5,5 / 6,5 = 0,85 ( ungu ) Rf = 6 / 6,5 = 0,92 ( ungu ) Rf = 6,4 / 6,5 = 0,98 ( kuning ) Rf = 6,3 / 6,5 = 0,97 ( kuning ) Rf = 6 / 6,5 = 0,92 ( ungu )

Dari data Rf dapat disimpulkan bahwa jamu X kemungkinan mengandung senyawa hidroklorotiazida.

IV. Pembahasan A. Monografi - Furosemid Nama Resmi Berat Molekul Rumus Molekul Pemerian Kelarutan : FUROSEMIDUM : 330,74 : C12H11ClN2O5S : Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning, tidak berbau : Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam methanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform ( Anonim, 1995 ). - Hidroklorotiazida Nama Resmi Berat Molekul Rumus Molekul Pemerian Kelarutan : HYDROCHLOROTHIAZIDUM : 297,73 : C7H8ClN3O4S2 : Serbuk hablur, putih atau praktis putih;praktis tidak berbau. : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam larutan natrium hidroksida, dalam n-butilamina, dan dalam dimetilformamida; agak sukar larut dalam methanol; tidak larut dalam eter, dalam kloroform dan dalam asam mineral encer ( Anonim, 1995 ). - Metanol Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Ia digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api yang tak terlihat ( Patnaik, 2002 ).

Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida; kemudian, gas hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap sintesisnya adalah eksotermik ( Patnaik, 2002 ). - Etil Asetat Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut ( Patnaik, 2002 ). Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam ( Patnaik, 2002 ). B. Kromatografi lapis Tipis Kromatografi lapis tipis atau biasa disingkat KLT merupakan salah satu bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik. Fase geraknya yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara ascending atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara descending. Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 mikrometer. Penjerap yang paling banyak digunakan adalah siliki dan serbuk selulosa. Fase gerak pada KLT yang paling sederhana terdiri dari 2 campuran pelarut organic karena daya elusi dua campuran pelarut tersebut mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal ( Gandjar, 2007 ). Prinsip KLT adalah pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip partisi dan adsorpsi secara selektif karena adanya perbedaan daya serap terhadap adsorben dan kelarutan

komponen kimia terhadap cairan pengelusi (Cahyono, 2010). Berdasarkan jenis kepolaran, Thin Layer Chromatography (TLC) system, atau disebut sebagai kromatografi lapis tipis dibedakan menjadi dua, yaitu normal phase (NP) dan reversed phase (RP). pada NP sistem, dimana digunakan bahan bersifat polar sebagai fase diamnya, maka untuk fase geraknya digunakan solvent yang memiliki kepolaran yang rendah. Pada umumnya digunakan campuran antara kloroform dan metanol dengan berbagai perbandingan dimana komponen kloroform diberikan porsi yang lebih besar sebagai contoh ( CHCl3:MeOH = 65:35,70:30,75:25 ). Sedangkan pada RP sistem solvent yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang tinggi, dalam hal ini campuran antara metanol dan air merupakan perpaduan yang sering digunakan dengan berbagai perbandingan misalnya MeOH:air = 30:40, 50:50, atau 30:20. Angka perbandingan ini disesuaikan dengan karakteristik senyawa yang sedang diuji ( Nugroho, 2011 ). Analisis furosemid dan hidroklorotiazida pada sediaan obat tradisional jamu dilakukan dengan mula-mula melarutkan serbuk jamu X, jamu Iboe, furosemid dan hidroklorotiazida dengan menggunakan methanol. Khusus untuk furosemid dan hidroklorotiazida, karena keduanya berbentuk tablet maka diserbukkan dahulu di dalam mortir masing-masing sebanyak dua tablet. Fase diamnya dibuat dari campuran 2 ml methanol dengan 3 ml etil asetat kemudian kedua pelarut dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan sampai jenuh. Fase geraknya menggunakan silica gel, pada lempeng KLT yaitu silica gel dibuat garis dari batas bawah dan batas atas sebesar 1 cm dengan jarak pengembangan sebesar 6,5 cm. Langkah selanjutnya adalah menotolkan larutan standar furosemid, standar hidroklorotiazida, sampel jamu X dan sampel jamu Iboe pada silica gel dengan jumlah totolan masing-masing senyawa sebanyak 3 kali totolan menggunakan pipa kapiler. Setiap kali totolan dibiarkan kering dahulu, baru kemudian ditotolkan lagi. Penotolan sampel harus tepat, sebab penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda ( Gandjar, 2007 ). Setelah dilakukan penotolan dan eluen telah jenuh, maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel tersebut pada chamber dan ditutup rapat. Cara untuk mengetahui fase gerak telah jenuh biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung atas kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh (Gandjar, 2007). Fase gerak dibiarkan naik sampai garis pada batas atas, pengembangan pada praktikum ini dilakukan secara ascending. Jika fase gerak telah mencapai garis pada batas atas, maka silica gel diambil dan dikeringkan. Setelah itu bercak yang timbul dideteksi pada sinar UV 254 dan 366 nm. Bercak furosemid dan hidroklorotiazid terlihat berwarna ungu,

bercak jamu Iboe terlihat berwarna kuning dan bercak jamu X terlihat berwarna kuning dengan sedikit ungu disekitarnya. Bercak-bercak yang nampak tersebut diukur jaraknya untuk kemudian dihitung harga Rf. Setelah diamati pada sinar UV, silica gel disemprot dengan pereaksi warna dragendorf dan dikeringkan kemudian diamati lagi bercak yang timbul. Lempeng KLT dilihat di bawah UV 245 untuk melihat bercak yang tidak terlihat secara visible. Penggunaan UV 254 dikarenakan lempeng silica gel yang digunakan hanya dapat berflouresensi maksimal pada panjang gelombang 254, maka semua bercak terlihat ketika dilihat pada UV 254. Lempeng KLT disemprot dengan pereaksi Dregendorf agar becak yang dihasilkan terlihat berwarna. Pada sampel terdapat dua bercak, bercak pertama berwarna coklat tua dan bercak yang kedua berwarna coklat muda. Pada furosemid, bercak berwarna coklat muda. Pada jamu murni, bercak berwarna coklat tua. Sedangkan pada sampel HCT tidak terlihat warna apapun. Dari hasil analisis berdasarkan jarak bercak yang diperoleh dari jamu campuran tersebut didapatkan hasil bahwa di dalam jamu campuran mengandung furosemid dan jamu murni. Dan untuk jamu sampel berdasarkan analisis kelompok kami mengandung hidroklorotiazida serta komponen senyawa lain. Analisis tersebut berdasarkan parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Jarak masingmasing bercak komponen sampel diukur dari garis start sampai titik tengah bercak, kemudian dihitung harga Rf masing-masing sampel dengan menggunakan rumus. Nilai Rf yang diperoleh dari keempat bercak adalah untuk furosemid 0,85, jamu IBOE 0,98, HTC 0,92 dan sampel 0,97 dan 0,92. Berdasarkan hasil nilai Rf sampel mengandung hidroklorotiazid dan jamu murni karena harga Rf dari sampel mendekati 0,92 dan 0,98. Pemilihan dari fase bergerak ( pengembang ) tergantung pada faktor-faktor yang sama seperti dalam pemisahan kromatografi kolom serapan. Sebaiknya menggunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin karena mengurangi serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Jika komonen-komponen yang mempunyai sifat polar yang tinggi (terutama air) dalam campuran cukup akan merubah sistem menjadi sistem partisi. Campuran yang baik memberikan fase-fase bergerak yang mempunyai kekuatan bergerak sedang, tetapi sebaiknya dicegah sejauh mungkin mencampur lebih dari dua komponen terutama karena campuran yang lebih kompleks cepat mengalami perubahan fase terhadap perubahan suhu. Kemurnian dari pelarut adalah lebih penting dalam KLT daripada bentuk-bentuk kromatografi lain, karena disini digunakan sejumlah materi

yang sedikit. Sistem yang paling sederhana adalah dengan menggunakan campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat dengan mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut ini adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimalkan fase gerak: 1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. 2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf solut terletak antara 0,2 - 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. 3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga RF secara signifikan. 4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuaran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan elusi solut-solut yang bersifat basa dan asam. Pemisahan pada KLT yang optimal akan diperoleh hanya jika penotolan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Penotolan dapat dilakukan dengan mikropipet atau dengan mikrosyringe, biasanya diperlukan 1-20 ul. Volume lebih besar dari itu dapat ditotolkan bertahan dalam bagianbagian kecil dengan pengeringan di antara penotolan itu. Kelebihan beban menyebabkan bercak asimetri dan perubahan harga Rf, yang dapt dihindari cuplikan kurang dari 10-20 g. Pada lempeng KLT efisien tinggi (KLTET) (biasanya 10x10 cm atau 10x20 cm) hanya diperlukan cuplikan dalam nano sampai pikogram setiap bercak. Diameternya harus tidak lebih 0,2 l. Diperlukan teknik penotolan khusus, yaitu dengan syringe 1 l yang dihubungkan dengan skrup mikrometer atu sebuah kapiler platina iridium dalam aplikator otomatis. Pada lempeng KLT konvensional ( 20x20 cm, 10x20 cm, 5x20cm, tebal 0,2 mm ) cuplikan biasanya ditotolkan sebagai bercak bulat atau garis, 1,5-2,0 cm dari tepi bawah dan dimulai dan diakhiri kira-kira 0,5 cm dari samping kaca dan noda-noda diteteskan masing masing pada jarak 1 cm dari pusat noda. Penempatan noda diatas plat kira-kira 1 cm dari salah satu ujungnya dimana ujung ini nantinya dicelupkan dalam pelarut. Bercak sebaiknya berukuran sama dan mempunyai diameter 3-6 mm. Kedudukan noda tidak dapat diberi tanda

dengan pensil, seperti dikerjakan pada kertas, hingga penunjuk noda dapat digunakan, misalnya penggaris yang diletakkan si samping plat kaca. Garis awal dapat diberi tanda pada ujung dari plat dengan pensil dan garis akhir dapat dibuat di bagian atas dengan menggoreskan pensil dan disebabkan goresan ini aliran pelarut akan ditahan bila permukaan pelarut sampai pada garis. Jangan terlalu lama mencelupkan plat dalam bejana bila permukaan pelarut telah mencapai garis akhir, karena oleh pengaruh difusi dan penguapan dapat menyebabkan pemancaran dari noda-noda yang terpisah. Ujung plat yang dicelupkan dalam fase bergerak jangan dibiarkan hingga rusak. Bila akan dilakukan pemisahan dua jalan, maka lapisan dari dua sisi yang berdekatan tidak perlu dihilangkan. Digunakan metanol dan asetil salisilat karena dalam pemilihan eluen harus disesuaikan dengan senyawa atau bahan obat yang akan dianalisis, sehingga akan memperoleh nilai Rf yang maksimal. Dlam hal ini, furosemid larut dalam metanol, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut dalam eter, dan sangat sukar larut dalam kloroform. Sedangkan . Hidroklorotiazida sukar larut dalam air, mudah larut dalam larutan natrium hidroksida, dalam n-butilamina, dan dalam dimetilformamida. Hidroklorotiazida agak sukar larut dalam kloroform dan dalam sam mineral encer. Oleh karena itu, digunakan methanol dan asetil salisilat. Kromatografi lapis tipis dalam dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat ( Gandjar, 2007 ). Beberapa keuntungan lain kromatografi planar atau KLT adalah : a. Kromatorafi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis b. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet c. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi d. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak ( Gandjar, 2007 ) KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau untuk analisis kualitatif.

Penggunaan umum KLT adalah untuk: menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat ( Gandjar, 2007 ).

V. Kesimpulan 1. Analisis kualitatif bahan kimia obat furosemid dan hidroklorotiazida dalam obat tradisional dapat dilakukan dengan menggunakan KLT menggunakan eluen metanol : etil asetat ( 2:3) 2. 3. Nilai Rf yang diperoleh dari keempat bercak adalah untuk furosemid 0,85, jamu IBOE 0,98, hidroklorotiazida 0,92, jamu X 0,97 dan 0,92 Hasil yang didapat dari analisis tersebut bahwa di dalam jamu X mengandung hidroklorotiazida dan jamu murni

VI. Daftar Pustaka Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Cahyono, Eko. 2010. Identifikasi Kurkumin Pada Temulawak Secara Kromatografi Lapis Tipis http://www.dokterkimia.com/2010/06/identifikasi-kurkumin-padatemulawak.html Gandjar, I.G dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Nugroho, Agung. 2011. Thin Layer Chromatography Kromatografi Lapis Tipis http://agn19.wordpress.com/2011/04/07/thin-layer-chromatographykromatografi-lapis-tipis/ Patnaik. Pradyot. 2002. Handbook of Inorganic Chemicals. McGraw-Hill.

You might also like