You are on page 1of 146

56

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan bukanlah kata yang asing di telinga masyarakat awam
sekalipun. Karena seiring dengan laju perkembangan zaman, masyarakat
Indonesia semakin tersadarkan tentang pentingnya pendidikan. Pendidikan bagi
kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok
manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju,
sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Di dalam GBHN
tahun 1973 disebutkan bahwa Pendidikan hakikatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Ada beberapa pendapat lain mengenai deIinisi
pendidikan.
Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses di
mana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah
laku lainnya di dalam masyarakat dimana ia hidup, proses sosial dimana orang
dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya
yang datang dari sekolah) sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami
perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
1


1
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hlm. 4-5.

56

John Dewey: Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-
kecakapan Iundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia karena pendidikan merupakan proses pengalaman. Setiap manusia
menempuh kehidupan baik Iisik maupun rohani. Karena kehidupan adalah
pertumbuhan, maka pendidikan merupakan proses yang membantu pertumbuhan
batin tanpa dibatasi usia.
Ki Hajar Dewantara: Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh
anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya. Dalam
pendidikan diberikan tuntunan oleh pendidik kepada pertumbuhan anak didik
untuk memajukan kehidupannya. Maksud pendidikan ialah menuntun segala
kekuatan kodrati anak didik menjadi manusia dan anggota masyarakat yang
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2

Dari sini, kita bisa melihat bahwasanya pendidikan dimaksudkan untuk
mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak didik agar bisa bermanIaat
untuk dirinya sendiri, masyarakat dan negara. Pelaksanaan pendidikan pun tidak
serta merta berjalan apa adanya. Karena pendidikan merupakan kebutuhan, maka
perlu ada strategi-strategi khusus, perencanaan yang matang, dan pelaksanaan
yang proIesional. Dalam pendidikan sendiri terdapat tujuh komponen yang
inheren yakni: tujuan, kurikulum, metode, guru, murid, lingkungan, dan evaluasi.

2
Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar dan Teori Pendidikan Dunia, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1987), hlm. 12-15.
56

Secara eksplisit, tertuang dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 BAB II
(tentang dasar, Iungsi dan tujuan) Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan
pendidikan kita adalah yang tersebut di bawah ini:
Pendidikan Nasional berIungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatiI, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis secara bertanggung jawab.
3


Dari perumusan tujuan di atas, semakin menegaskan bahwa pendidikan
merupakan sarana yang mutlak diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dan
kemuliaan hidup.
Dan seiring dengan laju perkembangan zaman, banyak kita lihat berbagai
lembaga pendidikan mulai tumbuh dan berkembang. Baik yang mengusung
semangat nasionalis, agamis maupun yang mengintegralkan keduanya, seperti
munculnya SMP Islam, SMA Katholik dan sebagainya. Salah satu bentuk
lembaga pendidikan Islam yang berkembang pesat di Indonesia adalah pondok
pesantren.
Pesantren, merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai
kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan
di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan
dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik di pesantren disebut

3
Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS).

56

dengan santri dan mereka menetap di suatu tempat yang disebut pondok. Ditinjau
dari segi historisnya, pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan
pribumi tertua di Indonesia. Pondok pesantren sudah dikenal jauh sebelum
Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia terus tumbuh dan
berkembang sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya.
Sebuah lembaga yang bernama pondok pesantren adalah suatu komunitas
tersendiri, di dalamnya hidup bersama-sama sejumlah orang yang dengan
komitmen hati dan keikhlasan mengikat diri dengan kiai, tuan guru, buya,
ajengan, abu atau nama lainnya, untuk hidup bersama dengan standar moral
tertentu, membentuk kultur atau budaya tersendiri.
4

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa dalam pondok pesantren haruslah
ada lima elemen pokok, yakni; kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-
kitab klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki
pesantren dan membedakannya dengan pendidikan pada umumnya.
5
Jumlah
Pondok pesantren yang terdata oleh Education Management Information System
(EMIS) Departemen Agama, tahun 2000/ 2001 sebanyak 11.312 dengan santri
sebanyak 2.737.805.
6

Imam Banawi menyatakan bahwa keberadaan seorang kyai dalam
lingkungan pondok pesantren laksana jantung kehidupan bagi manusia. Intensitas
kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan kyai-lah perintis, pendiri,

4
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 1993, hlm.1-2.
5
Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madfid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional, (Ciputat: Ciputat Press, 2002), hlm. 63.
6
Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 79.
56

pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan pemilik tunggal pondok pesantren.
Oleh sebab ketokohan di atas, banyak pondok pesantren yang kehilangan
kharisma dan aura, bahkan bubar lantaran ditinggal waIat sang kyai.
7

Namun, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah santri dalam sebuah
pesantren, kyai tidak bisa berdiri sendiri untuk mengayomi seluruh santri. Oleh
karena itu, kyai banyak dibantu oleh para guru (ustadz dan ustadzah) dalam
menggerakkan roda pendidikan di tubuh pesantren. Dalam skripsi ini, penekanan
lembaga pendidikan yang dimaksud adalah guru dan murid yang terlibat dalam
pendidikan sekolah, dimana sekolah itu sendiri menjadi otoritas pesantren.
Sehingga semua kebijakan, baik terkait anggaran, mata pelajaran, bahkan seragam
dan lain-lain ditentukan oleh kebijakan pesantren sebagai pengayomnya.
Posisi guru di lingkungan pesantren adalah sebagai sosok yang digugu lan
ditiru. Hal ini selama berabad-abad menjadi satu paradigma yang mengakar di
kalangan santri selaku murid. Pengejawantahan kitab talimul mutaallim yang
sporadis membuat pondok pesantren menanamkan nilai-nilai sakti semisal; murid
harus saman wa toatan (mendengarkan dan taat), sendhiko dhawuh dengan satu
iming-iming klasik, apalagi kalau bukan barokah. Adanya doktrin-doktrin inilah
yang seringkali menjadikan murid mandek, stagnan dan tidak kritis. Mereka
dituntut untuk menerima segala pengetahuan yang dicekokkan pada mereka
sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Sebagai contoh, guru
kurang memberikan stimulus bagi murid di sekolah dalam lingkungan pesantren
untuk bersikap kritis, stimulasi yang diberikan seringkali hanya merupakan

7
Nurcholish Madjid, loc. cit.
56

pemanis bibir agar seolah-olah memberikan ruang kritis bagi murid. Namun jika
seorang murid memiliki pandangan berbeda dengan sang guru, guru akan segera
menilai bahwa si murid-lah yang salah. Dalam hal mengajukan pertanyaan kritis,
guru pun kurang terbuka bahkan enggan memberikan komentar. Contoh lain,
dalam menerapkan hukuman, seperti yang dicontohkan dalam novel ini, bergaya
militer dan semena-mena. Guru seolah berhak menghukum murid dalam bentuk
apapun sedang sang murid dilarang protes lantaran protes itu akan menyebabkan
ketidakbarokahan atau dianggap melawan dan bertentangan dengan nilai-nilai
luhur dalam kitab talimul mutaallim. Padahal, dalam kitab talimul mutaallim
juga dijelaskan bahwa seorang guru harus berbudi luhur, berdada lebar, dan
penyabar.
8
Pemahaman yang tidak komprehensiI terhadap kitab talimul
mutaallim menjadikan sebagian guru yang seharusnya memiliki siIat welas asih,
demokratis dan sebagainya, justru menjadi sosok yang bisa jadi memenggal
progresiIitas, memancung pluralitas, dan membunuh dialektika dan dinamika
keilmuan yang senantiasa berkembang.
Pada akhirnya, realitas semacam itulah yang membuat banyak pihak
melontarkan kritik terhadap pola pendidikan di pesantren. Banyak yang
menyatakan bahwa akar dari berkembangnya pola interaksi semacam itu adalah
dilestarikannya pengajian talimul mutaallim yang diyakini sebagian orang telah
tidak relevan dengan tuntutan pendidikan era global karena hanya memposisikan
murid sebagai objek dan guru dipandang sebagai seseorang yang berdiri di menara
gading dan sangat elitis. Padahal, interaksi guru dan murid merupakan hal yang

8
Aly As`ad, Terfemah Talimul Mutaallim, (Kudus: Menara Kudus, 1978), hlm. 16.
56

vital dalam mendukung keberhasilan pendidikan. Pola interaksi guru-murid yang
baik, akan menciptakan suasana belajar yang edukatiI dan menyenangkan.
Sebaliknya, pola interaksi yang terlampau Iormal menyebabkan kerenggangan
hubungan antara guru-murid yang berdampak pada suasana belajar yang
cenderung menengangkan dan kaku. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalam
interaksi guru dan murid inilah terjadi proses edukasi dan sosialisasi.
Kritik tajam perihal interaksi di tubuh pesantren yang cenderung otoriter,
kurang demokratis dan memposisikan murid sebagai objek didik tak hanya
dilisankan dalam Iorum-Iorum diskusi tapi juga melalui tulisan-tulisan yang
tersebar di berbagai media, dalam bentuk Iiksi maupun non Iiksi. Salah satu dari
banyak tulisan yang mengkritik habis pola interaksi guru-murid adalah novel
Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini yang notabene alumni pondok
pesantren.
Banyak kritik yang kemudian lahir dari tangan-tangan kreatiI yang bisa
mensintesiskan antara realitas yang terjadi di lapangan dengan imajinasi sehingga
membuahkan novel yang menurut kami apik, kritis, sekaligus mampu membuat
kita tersenyum bahkan merasa diolok-olok. Kedekatan dan relevansi novel Love
in Pesantren karya Shachree M. Daroini dengan realitas interaksi guru-murid yang
berkembang di sekolah dalam lingkungan pesantren inilah yang membuat penulis
tertarik untuk mengadakan analisis novel yang tertuang dalam judul: ANALISIS
NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL LOVE IN PESANTREN KARYA
SHACHREE M. DAROINI SEBAGAI REFORMULASI POLA
INTERAKSI GURU DAN MURID DI PESANTREN.
56

Yang paling kami harapkan dari skripsi ini adalah, agar bisa menjadi satu
bahan reIleksi yang mengena tanpa menggurui sehingga pola interaksi guru dan
murid di sekolah yang berada dalam otoritas pesantren pada masa-masa
mendatang menjadi lebih demokratis dan humanis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa saja nilai-nilai edukatiI yang terdapat dalam novel Love in
Pesantren karya Shachree M. Daroini?
2. Apa saja hal-hal yang kurang relevan terkait pola interaksi guru dan murid
di pesantren dalam novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini?
3. Apa saja nilai edukatiI dari novel Love in Pesantren yang bisa
diterapkan sebagai reIormulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian di dalam karya ilmiah merupakan target yang hendak
dicapai melalui serangkaian aktivitas penelitian, karena segala sesuatu yang
diusahakan pasti mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan permasalahannya.
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Untuk mengidentiIikasi apa saja nilai-nilai edukatiI yang terdapat dalam
novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini.
56

2. Untuk mengidentiIikasi hal-hal yang kurang relevan terkait pola interaksi
guru dan murid di pesantren dalam novel Love in Pesantren karya
Shachree M. Daroini.
3. Untuk mengidentiIikasi nilai edukatiI dari novel Love in Pesantren yang
bisa diterapkan sebagai reIormulasi pola interaksi guru dan murid di
pesantren.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membawa manIaat:
1. Bagi Masyarakat: Sebagai bahan reIleksi untuk analisis serupa.
2. Bagi Pengelola Pondok Pesantren: Sebagai masukan dalam pelaksanaan
pendidikan pesantren di masa mendatang.
3. Bagi Peneliti: Memperdalam dan memperluas wawasan dalam bidang
pendidikan dan penelitian sehingga peneliti bisa memberikan kontribusi bagi
pengembangan pendidikan di lingkungan pesantren. Serta sebagai bentuk
pengembangan tehnik-tehnik yang baik dalam membuat karya tulis ilmiah.
E. Penjelasan Istilah
Agar pembahasan lebih Iokus, maka perlu dicantumkan penjelasan istilah
dari skripsi berjudul: Analisis Nilai EdukatiI dalam Novel Love in Pesantren
Karya Shachree M. Daroini Sebagai ReIormulasi Pola Interaksi Guru dan Murid
di Pesantren, yakni:
56

Analisis : Kegiatan mengenali, mengidentiIikasi, memberikan tanda-
penanda dan sebagainya berdasarkan pemikiran yang mendalam pada sebuah teks
atau keadaan.
Nilai : Harga yang diberikan terhadap sesuatu berdasarkan
keyakinan ataupun norma dan standarisasi yang berlaku dalam sebuah komunitas.
Bisa berupa keharusan, larangan atau anjuran.
EdukatiI : PositiI dalam bidang keagamaan, sosial, etika dan estetika.
Nilai edukatiI : Karena terkait dengan pendidikan, maka yang dimaksud
nilai edukatiI adalah nilai positiI terkait dengan proses pendidikan.
Novel : Cerita panjang.
ReIormulasi : Pembentukan Iormula baru. Formula baru bukan berarti
sebelumnya tidak ada sama sekali, tapi diberikan penegasan dan penambahan dan
Iormula yang dulu ada.
Pola : Corak
Interaksi : Yang dimaksud interaksi di sini adalah interaksi
pembelajaran, yakni hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dalam
proses pembelajaran.
Guru dan Murid di Pesantren: Skripsi ini mengetengahkan pesantren yang
memiliki madrasah sendiri. Dimana segala otoritas madrasah terletak di tangan
pengasuh pesantren. Sehingga yang dimaksud kata `Pesantren` di sini adalah
madrasah yang berada dalam otoritas pesantren. Oleh karenanya bukan memakai
istilah ustadz- santri, melainkan guru-murid
56

F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
A. Bagian Depan atau Awal
Pada bagian ini memuat: sampul atau cover depan, halaman judul,
halaman pengesahan.
B. Bagian Isi
Pada bagian ini terdiri dari enam bab yang meliputi:
BAB I : Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manIaat penelitian, penjelasan istilah,
dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Kajian Pustaka, meliputi: pendidikan pesantren, nilai
edukasi, sekelumit tentang novel, pola interaksi antara guru dan murid, dan
yang terakhir yakni nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai
reIormulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren.
BAB III : Metode Penelitian. Pada bab ini berisi rancangan
penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen
penelitian, analisis data, dan teknik pemeriksaan keabsahan data.
BAB IV : Paparan Data. Berisi data-data yang terkait dengan judul
skripsi yakni Analisis Nilai EdukatiI dalam novel Love in Pesantren Karya
Shachree M. Daroini sebagai ReIormulasi Pola Interaksi Guru dan Murid
di Pesantren.
56

BAB V : Pembahasan. Berisi laporan penelitian yang terkait
dengan judul skripsi yakni Analisis Nilai EdukatiI dalam novel Love in
Pesantren Karya Shachree M. Daroini sebagai ReIormulasi Pola Interaksi
Guru dan Murid di Pesantren
BAB VI : Dalam bab kelima ini adalah bab penutup dari seluruh
rangkaian pembahasan yaitu yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
C. Bagian akhir: yaitu berisi tentang daIatar pustaka dan lampiran-lampiran.
56

BAB II
KA1IAN PUSTAKA

A. Pendidikan Pesantren
1. Definisi Pesantren
Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka pikir Hussein Nasr, adalah
dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas
tradisi Islam yang dikembangkan ulama (kyai) dari masa ke masa, tidak terbatas
pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Sejak zaman penjajahan, Pondok Pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Eksistensinya telah lama mendapat pengakuan dari masyarakat dan terlibat dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril namun juga
memberikan sumbangsih yang signiIikan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai
kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan
di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan
dan pendidikan lain yang sejenis. Peserta didik di pesantren disebut santri yang
umumnya menetap di pesantren. Tempat dimana santri menetap di lingkungan
pesantren disebut dengan istilah Pondok. Dan dari sinilah timbul istilah Pondok
Pesantren.
9


9
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: 2003), hlm. 1.
56

Pesantren adalah komunitas tersendiri yang di dalamnya hidup bersama-
sama sejumlah orang yang dengan komitmen hati dan keikhlasan atau kerelaan
mengikat diri dengan kyai, tuan guru, buya, ajengan, abu atau nama lainnya untuk
hidup bersama dengan standar moral tertentu, membentuk kultur atau budaya
tersendiri. Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren terus melakukan akomodasi
dan konsesi tertentu untuk menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat guna
menghadapi perubahan-perubahan yang kian cepat berdampak luas. Namun,
semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan
esensi dan hal-hal dasariah lainnya dalam eksistensi pesantren.
Pesantren telah teruji dan mampu bertahan bukan hanya karena
kemampuannya melakukan adfustment dan readfustment, tetapi juga karakter
eksistensialnya, yang dalam bahasa Nur Cholis Madjid disebut sebagai lembaga
yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tatapi juga mengandung
makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga indigenous, pesantren
muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya.
Dengan kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan erat dan tak terpisahkan
dengan lingkungannya.
10

2. Unsur-Unsur Pesantren
Pondok pesantren adalah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam
pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata
nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian wewenang dan
semua aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak

10
RoIiq A, dkk, Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. xix.
56

tidak ada deIinisi yang dapat secara tepat mewakili seluruh pondok pesantren
yang ada. Masing-masing pondok memiliki keistimewaan sendiri yang bisa jadi
tidak dimiliki pesantren yang lain.
Sebuah lembaga pendidikan dapat disebut sebagai pondok pesantren
apabila di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu:
a. Kyai;
b. Santri;
c. Pengajian;
d. Asrama; dan
e. Masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan
kemasyarakatannya.
Kyai, merupakan unsur yang paling esensial dari pesantren. Ia seringkali
merupakan pendirinya. Sehubungan dengan itu, sudah sewajarnya jika
pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi
kyainya. Kebanyakan kyai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan
sebagai kerajaan kecil dimana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan
kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren.
Tidak seorangpun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kyai
(dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya.
Para santri selalu mengharap dan berIikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan
orang yang percaya penuh pada dirinya sendiri (self confident), baik dalam soal-
soal pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen
pesantren. Kyai dengan kelebihannya, terutama pengetahuannya tentang Islam,
56

seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam, dan karenanya mereka dianggap memiliki kedudukan
yang terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal
mereka menunjukkan kekhususannya dengan bentuk-bentuk pakaian yang
merupakan simbol kealiman yang berupa kopyah dan surban.
11

Santri. Dalam tradisi pesantren dikenal adanya dua kelompok santri.
Mereka adalah 'santri mukim dan 'santri kalong. Santri mukim adalah para
santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren pada pondok
yang disediakan oleh pesantren yang bersangkutan. Sedangkan, santri kalong
adalah murid-murid atau para santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk pelajarannya di
pesantren mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri.
Ada berbagai alasan mengapa santri menetap di suatu pesantren. DhoIier
mengemukakan ada tiga alasan, yaitu: (1) ia ingin mempelajari kitab-kitab lain
yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang
memimpin pesantren; (2) ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren
baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren terkenal; dan (3) ia ingin memusatkan studinya di pesantren
tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya.
12

Pengajian. Pengajian adalah sebuah aktiIitas belajar mengajar ilmu-ilmu
keagamaan dengan berbagai metodenya. Bahan ajar yang digunakan dalam
pengajian bersumber dari kitab-kitab kuning.

11
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 53-54.
12
Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 1.
56

Metode pembelajaran di pondok pesantren ada yang bersiIat tradisional,
yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan yang telah
lama dilaksanakan di pesantren sebagai metode pembelajaran asli (orisinil)
pondok. Di samping itu ada pula metode pembelajaran modern (tafdid). Metode
pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaruan kalangan
pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada
masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem
modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah. Pondok pesantren sebenarnya telah
pula menyerap sistem klasikal, tetapi tidak dalam batas-batas Iisik yang tegas
sebagaimana sistem klasikal pada persekolahan modern. Ada beberapa metode
pembelajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren. Yakni,
metode sorogan, wetonan, musyawarah (bahtsul masa`il), pengajian pasaran,
haIalan (muhaIadhoh), dan demonstrasi (praktek ibadah).
13

Asrama. Salah satu ciri dari sebuah pesantren adalah adanya pondok yang
merupakan asrama bagi para santrinya. DhoIier mengemukakan adanya tiga
alasan utama berkenaan dengan kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi
para santrinya. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman
pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk menggali
ilmu dari kyai tersebut, secara teratur dalam waktu yang lama, para santri tersebut
harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai.
Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia
perumahan atau akomodasi yang cukup untuk dapat menampung semua santri;

13
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 37-47.
56

dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi mereka. Ketiga,
adanya sikap timbal balik antara kyai dan santri dimana para santri menganggap
kyainya sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap santri sebagai
titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik ini
menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus.
Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kyai untuk
menyediakan tempat tinggal bagi para santrinya. Di samping itu, dari pihak para
santri tumbuh perasaan pengabdian pada kyainya, sehingga para kyai memperoleh
imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan
keluarga kyainya.
14

Masjid. Masjid menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah pondok
pesantren karena selain digunakan untuk sholat berjama`ah, masjid digunakan
untuk I`tikaI, mengadakan pengajian, media dalam membentuk halaqoh-halaqoh,
juga tempat bertemunya kyai dengan santri selain di dalam asrama pesantren. Di
masjid pula, kyai dan santri dapat berkumpul, berdiskusi dan mempererat
ukhuwwah dengan penduduk kampung, karena terkadang para santri lebih
disibukkan oleh pengajian demi pengajian serta aktiIitas mereka di sekolah Iormal
yang berdiri di lingkungan pesantren atau sekolah Iormal yang merupakan bagian
dari wewenang pesantren secara penuh.
Demikian ulasan mengenai unsur-unsur yang terdapat di pondok
pesantren.
3. Sistem Pendidikan di Pesantren

14
DhoIier dalam Sindu Galba, op.cit., hlm. 23.

56

Sebagaimana sebuah sistem pendidikan nasional, maka sistem pendidikan
pesantren juga mencakup tujuh komponen, yakni tujuan, guru, murid, kurikulum,
metode, evaluasi, dan lingkungan. Hanya saja, pengejawantahan komponen
pendidikan di pesantren tidak seIormal di pendidikan di bawah naungan
pemerintah, karena pesantren merupakan lembaga otonom yang memiliki
kewenangan penuh dalam mengatur kebijakan tanpa intervensi dari pihak luar.
Mengenai sistem yang seperti apakah yang diterapkan, amat tergantung
pada kebijakan kyai selaku pemegang otoritas tertinggi di pesantren. Bila si kyai
punya paradigma dan gaya hidup suIi maka lazimnya pesantren akan dibentuk
dengan pola suIisme yang menuntut santri untuk bersikap 6onaah dan
sebagainya, begitupun dengan kitab-kitab yang dikaji tentu tak jauh dari persoalan
suIisme. Sedangkan apabila kyainya lebih modern, maka pondok pun biasanya
diIormat dalam bingkai modernitas tapi tetap berpijak pada nilai-nilai keislaman.
Komponen-komponen dalam pesantren dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tujuan. Pada dasarnya tujuan dari pendidikan di pesantren adalah
meningkatkan kadar ketaqwaan anak didiknya. Yang dimaksud ketaqwaan di sini
melingkupi dimensi vertikal (ibadah mahdhoh) dan dimensi horizontal (ghoiru
mahdhoh). Kita juga mengenal Tri Darma Pondok Pesantren yang menjadi tujuan
pesantren secara lebih rinci, yakni, (1) Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
terhadap Allah SWT, (2) Mengembangkan keilmuan yang bermanIaat, (3)
Memupuk jiwa anak didiknya untuk melakukan pengabdian pada agama,
masyarakat dan Negara.
56

b. Guru. Di pesantren, istilah guru lebih dikenal dengan redaksi ustadz
dan ustadzah`. Namun, memasuki wilayah lembaga Iormal yang berada di
lingkungan pesantren, penggunaan kata guru` lebih sering digunakan daripada
ustadz-ustadzah`. Dalam sebuah pesantren yang telah memiliki ribuan santri
biasanya kyai mendatangkan guru di luar anggota keluarganya untuk memenuhi
kewajibannya sebagai tarnsIormator ilmu keagamaan. Guru yang didatangkan
biasanya santri senior atau alumni pondok tersebut. Seorang guru di dalam
pesantren tidak harus menyandang gelar kesarjanaan, keahlian dalam ilmu-ilmu
keagamaan secara praksis-lah yang lebih dipertimbangkan. Namun, setelah
memasuki lembaga Iormal (sekolah Iormal) maka jenjang pendidikan mulai
diperhitungkan.
c. Murid. Santri di sebuah pesantren biasanya ada yang sekolah dan ada
yang cuma mengikuti pengajian dan diniyah di pesantren. Para santri yang
bersekolah di lembaga Iormal terikat dengan peraturan baru yang siIatnya lebih
ketat namun tetap berpijak dari tata aturan pesantren selaku induknya. Di sekolah,
para santri tersebut lebih dikenal sebagai murid` karena biasanya di sekolah
tersebut tidak hanya diminati oleh para santri tapi juga anak-anak lain yang tidak
punya ikatan dengan pesantren. Penggunaan istilah ini bertujuan untuk
menyetarakan posisi antara mereka yang nyantri dan mereka yang kampung
(istilah yang biasa digunakan untuk mereka yang non santri)
d. Kurikulum. Pada pondok pesantren salaI tidak dikenal kurikulum
dalam pengertian seperti kurikulum dalam lembaga pendidikan Iormal. Kurikulum
di pesantren salaI disebut manhaf, yang dapat diartikan sebagai arah pembelajaran
56

tertentu. Manhaf ini tidak terdapat dalam bentuk jabaran silabus, tetapi berupa
funun kitab-kitab yang diajarkan pada santri.
Dalam pembelajaran yang diberikan pada santrinya, pondok pesantren
menggunakan manhaj dalam bentuk jenis-jenis kitab tertentu dalam cabang ilmu
tertentu. Kitab-kitab ini harus dipelajari sampai tuntas, sebelum dapat naik jenjang
ke kitab lain yang lebih tinggi tingkat kesukarannya. Dengan demikian, tamatnya
program pembelajaran tidak diukur dengan satuan waktu dan penguasaan silabi
atau topik bahasan tertentu, tetapi pada tamat atau tuntasnya santri mempelajari
kitab yang telah ditetapkan. Kompetensi standar bagi tamatan pondok pesantren
adalah kemampuan menguasai (memahami, menghayati, mengamalkan, dan
mengajarkan) isi kitab tertentu yang telah ditetapkan itu.
Namun, dalam madrasah atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok
pesantren menggunakan kurikulum yang sama di madrasah atau sekolah lain yang
telah dibakukan oleh Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional.
e. Metode. Ada beberapa metode pembelajaran yang menjadi ciri utama
pembelajaran di pondok pesantren. Yakni, metode sorogan, wetonan,
musyawarah (bahtsul masail), pengajian pasaran, haIalan (muhafad:oh), dan
demonstrasi (praktek ibadah). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Metode sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang berarti menyodorkan,
sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau badalnya. Sistem
sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan
dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya.
56

Sistem sorogan ini terbukti sangat eIektiI sebagai taraI pertama bagi seorang
murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang
guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang
santri dalam menguasai materi pembelajaran. Sorogan merupakan kegiatan
pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan perorangan, di bawah bimbingan seorang kyai atau ustadz.
2) Metode wetonan atau bandongan
Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang
berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu
sebelum dan atau sesudah melakukan sholat Iardhu. Metode ini merupakan
metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekililing
kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-
masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat dikenal
dengan sitilah bandongan. Metode ini dilakukan oleh seorang kyai terhadap
sekelompok santri untuk mendengarkan atau menyimak apa yang dibacakan kyai
dari sebuah kitab. Kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali
mengulas teks-teks kitab berbahasa arab tanpa harokat atau gundul. Santri dengan
memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhobitan harokat kata,
langsung di bawah kata yang dimaksud agar dapat memahami teks.
3) Metode musyawaroh
Metode musyawaroh atau dikenal sebagai bahtsul masail merupakan
metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar.
Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk hala6oh yang dipimpin
56

langsung oleh kyai atau ustadz, atau mngkin juga santri senior, untuk membahas
atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam
pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan atau
pendapatnya. Dengan demikian metode ini lebih menitikberatkan pada
kemampuan seseorang dalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan
dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu. Musyawarah
dilakukan juga untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang
dianggap rumit untuk memahaminya. Musyawarah dalam bentuk kedua ini bisa
digunakan oleh santri tingkat menengah atau tinggi untuk membedah topik atau
materi tertentu.
4) Metode pengajian pasaran
Metode ini merupakan kegiatan belajar para santri melalui pengkajian
materi (kitab) tertentu pada seorang kyai atau ustadz yang dilakukan oleh
sekolompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton/ kilatan) selama
tenggang waktu tertentu. pada umumnya dilakukan pada bulan Romadhon selama
setengah bulan, dua puluh hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada
besarnya kitab yang dikaji. Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan,
tetapi pada metode ini target utamanya adalah 'selesainya kitab yang dipelajari.
Pengajian pasaran ini dahulu banyak dilakukan pesantren tua di Jawa dan
dilakukan oleh kyai-kyai senior di bidangnya. Jadi titik beratnya pada pembacaan
bukan pada pemahaman.
5) Metode Hapalan (Muhafad:oh)
56

Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu
teks tertentu dibawah bimbingan atau pengawasan kyai atau ustadz. Para santri
diberi tugas untuk menghapal bacaan-bacaan dalam waktu tertentu. Hapalan yang
dimiliki santri ini kemudian dihapalkan dihadapan kyai atau ustadz secara
periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk kyai atau ustadz yang
bersangkutan.
Materi dengan metode hapalan umumnya berkenaan dengan Al Qur`an,
nad:om-nad:om untuk nahwu, shoroI, tajwid ataupun untuk teks-teks nahwu
shoroI dan Iiqih. Titik tekan metode ini santri mampu mengucapkan atau
melaIalkan kalimat-kalimat tertentu tanpa teks. Pengucapan tersebut dapat
dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Metode ini juga dapat digunakan
dengan metode sorogan atau bandongan.
6) Metode Demonstrasi atau Praktek Ibadah
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan
memperagakan (mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan
ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan atau kelompok yang dilakukan
dibawah petunjuk kyai atau ustadz, dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Para santri mendapatkan penjelasan tentang tata cara (kaifiat)
pelaksanaan ibadah yang akan dipraktekkan sampai mereka betul-
betul memahaminya.
2. Para santri berdasarkan bimbingan kyai atau ustadz, mempersiapkan
segala peralatan atau perlengkapan yang dibutuhkan untuk praktek.
56

3. Setelah menentukan waktu dan tempat para santri berkumpul untuk
menerima penjelasan singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang
akan dilakukan serta pembagian tugas kepada para santri berkenaan
dengan kegiatan yang akan dilakukan.
4. Para santri secara bergiliran melaksanakan praktek ibadah tertentu
dengan dibimbing dan diarahkan oleh kyai atau ustadz sampai benar-
benar sesuai kaifiat (tata cara pelaksanaan ibadah sesungguhnya)
15

f. Evaluasi. Bentuk evaluasi di pesantren tidak hanya berdasarkan aspek
kognitiI yang berupa penguasaan materi dan kitab-kitab pengajian saja tapi lebih
ditekankan pada aspek perbaikan moral, baik yang berhubungan dengan pribadi,
sosial dan alam semesta. Evaluasi terhadap perilaku dapat diamati langsung oleh
kyai, ustadz atau diwakili oleh pengurus pondok.
Jika sebuah pesantren telah mendirikan lembaga Iormal, maka evaluasi
dalam proses pendidikannya sama dengan lembaga Iormal yang lain, yakni
dengan ulangan-ulangan, tugas-tugas maupun ujian akhir. Bila pesantren memakai
sitem madrasah diniyah maka diadakan evaluasi yang biasa disebut imtihan.
g. Lingkungan. Sebuah sistem pendidikan yang baik mensyaratkan
lingkungan yang menunjang. Lingkungan yang kondusiI untuk sebuah proses
pembelajaran adalah lingkungan yang senantiasa mendukung penuh proses
pembelajaran, mengadakan kontrol terhadap pendidikan yang ada dan
memberikan masukan konstruktiI demi kemajuan pesantren dan pendidikannya.
Jika lingkungan tidak mendukung, maka pendidikan pesantren jelas akan

15
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 28-47.

56

mengalami hambatan signiIikan. Misalnya, jika pesantren sudah mati-matian
menggembleng santri dan muridnya untuk berbuat kebajikan namun di
masyarakat ternyata perjudian dan minum-minuman keras masih langgeng maka
hasil yang didapat pun tidak akan maksimal. Namun, bagaimanapun pesantren
adalah lembaga yang berakar dari masyarakat, oleh karenanya pesantren
seyogyanya bisa memberikan pengaruh positiI kepada masyarakat dan bukan
justru terpengaruh dengan lingkungan yang buruk.
4. Bentuk-Bentuk Pesantren
Sejak awal pertumbuhannya, dengan bentuknya yang khas dan bervariasi,
pondok pesantren terus berkembang. namun perkembangan yang signiIikan
muncul setelah terjadi persinggungan dengan sistem persekolahan atau juga
dikenal dengan sistem madrasi, yaitu sistem pendidikan dengan pendekatan
klasikal sebagai lawan dari sistem individual yang berkembang di pondok
pesantren sebelumnya.
Persentuhan pondok pesantren dengan madrasah mulai terjadi pada akhir
abad XIX dan semakin nyata pada awal abad XX. Berkembangnya model
pendidikan Islam dari sistem pondok pesantren ke sistem madrasi ini terjadi
karena pengaruh sistem madrasi yang sudah berkembang lebih dahulu di Timur
Tengah. Pada akhir abad XIX dan awal abad XX banyak umat Islam Indonesia
yang belajar menimba ilmu-ilmu agama ke sumber aslinya, di Timur Tengah.
Sebagian mereka bermukim di sana dan sebagian kembali ke tanah air.
Mereka yang kembali ke tanah air itu pulang membawa pikiran-pikiran
baru dalam sistem pendidikan Islam yang intinya: 1.Mengembangkan sistem
56

pengajaran dari pendekatan individual yang dipergunakan di pondok pesantren
selama ini menjadi sistem klasikal, yang dikenal dengan sistem madrasi;
2.Memberikan pengetahuan umum dalam pendidikan Islam
Persentuhan sistem pondok pesantren dengan sistem madrasah ini
membuat semakin tingginya variasi bentuk pondok pesantren. Namun secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk, sebagaimana dituangkan
dalam Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1979 tentang Bantuan Kepada
Pondok Pesantren, yang mengkategorikan Pondok Pesantren menjadi:
a. Pondok Pesantren tipe A; yaitu pondok yang sepenuhnya dilaksanakan
secara tradisional;
b. Pondok Pesantren tipe B; yaitu pondok yang menyelenggarakan
pengajaran secara klasikal (madrasi);
c. Pondok Pesantren tipe C; yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan
asrama sedangkan santrinya belajar di luar;
d. pondok pesantren tipe D; yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan
sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah
Dari keempat bentuk-bentuk pondok pesantren di atas, penulis
mengarahkan pada pembahasan pondok pesantren tipe D. Hal ini dikarenakan
semakin meluasnya pondok pesantren tipe D ini, sehingga memerlukan kajian
yang mendalam untuk memperoleh Iormulasi baru yang lebih baik dalam dunia
pendidikan Islam.
16



16
Ibid., hlm. 14-15.
56

B. Novel
1. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari kata latin 'novellus yang diturunkan pula dari
kata 'novies yang berarti 'baru. Dikatakan baru karena jika dibandingkan
dengan jenis sastra-sastra lainnya seperti puisi, drama dan lainnya, maka jenis
novel ini muncul kemudian. Dalam The American College Dictionary dapat kita
jumpai keterangan bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang IiktiI dalam
panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta dengan adegan
kehidupan nyata yang representatiI dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak
kacau atau kusut. Dan dikatakan juga dalam The Advanced Leaners Dictionary
of Current English bahwa novel adalah suatu cerita dengan alur, cukup panjang
mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang
bersiIat imajinatiI.
17
Menurut Milan Kundera, novel adalah sebuah cerita panjang.
Ada cerpen ada novella yang lebih panjang dari cerpen, tapi lebih pendek dari
novel, dan kemudian ada novel yang batas panjangnya bebas, asal panjang.
Dari beberapa deIinisi novel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
deIinisi novel adalah keutuhan dan keseluruhan sebuah cerita itu sendiri sehingga
berapapun banyaknya sebuah seri novel, ia adalah sebuah novel.
. Karakteristik Novel
Menurut Watson, karakteristik novel Indonesia adalah adalah novel-novel
yang dimulai tahun 1920, yaitu novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Menurutnya novel Indonesia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses

17
Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.164.
56

panjang yang terjadi sebelumnya, yaitu sejak perkembangan komunikasi di Jawa
dan Sumatera di pertengahan abad XIX.
18

Karakteristik novel Indonesia ada sedikit perbedaan antara roman, novel
dan cerpen. Ada juga yang disebut novellet. Dalam roman biasanya kisah berawal
dari tokoh lahir sampai dewasa kemudian meninggal, roman biasanya mengikuti
aliran romantik. Sedangkan novel berdasarkan realisme, dan di dalam novel
penggambaran tokoh biasanya merupakan sebagian dari hidupnya yang dapat
berubah dari keadaan sebelumnya.
19
Berbeda dengan cerita pendek yang tidak
berkepentingan pada kesempurnaan cerita atau keutuhan sebuah cerita, tetapi
lebih berkepentingan pada impresi atau kesan.
Karakteristik novel Indonesia meliputi empat periode (1) Angkatan Balai
Pustaka, (2) Angkatan Pujangga Baru, (3) Angkatan 45, dan (4) Angkatan
Sesudah 45.
1. Angkatan Balai Pustaka, pujangga yang termasuk angkatan Balai Pustaka
beserta karangannya: Marah Rusli dengan salah satu karyanya yang berjudul
Siti Nurbaya, keinginan Marah Rusli terhadap novel ini adalah ia ingin
merombak adat yang berlaku pada masa itu dan dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
20

2. Angkatan Pujangga Baru, tokoh pujangga baru dan karyanya: Sutan Takdir
Alisjahbana dengan salah satu karyanya yang berjudul Layar Terkembang,

18
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 87.
19
Yandianto, Apresiasi Karya Sastra dan Pufangga Indonesia, (Bandung: M2S, 2004), hlm. 160.
20
Ibid., hlm. 17.
56

keinginan Sutan Takdir Alisjahbana terhadap novel ini adalah mendambakan
pembaharuan pada corak kebudayaan bangsanya.
3. Angkatan 45, sastrawan dalam angkatan 45 dan karyanya yakni: Idrus
dengan salah satu karyanya yang berjudul Aki, keinginan Idrus terhadap
novelnya adalah ia berusaha menampilkan topik lain yang lebih luas dan
mendasar daripada hanya soal cinta, usaha yang disertai keyakinan penuh
akan menghasilkan apa yang dicita-citakan.
4. Angkatan Sesudah 45, setelah memulai proses yang cukup rumit akhirnya
didapatkan satu nama sastrawan yang termasuk kelompok Angkatan
Sesudah 45 atau Angkatan 66 ini yakni Montingo Busye dengan salah satu
karyanya yang berjudul Hari Ini Tak Ada Cinta, keinginan pengarang
terhadap novel ini adalah hendaknya kita bertanggung jawab akan
merugikan orang lain.
3. Peran novel
Setidak-tidaknya sudah seribu tahun sastra menduduki Iungsinya yang
penting dalam masyarakat Indonesia. Sastra dibaca oleh para raja dan bangsawan,
serta kaum terpelajar pada zamannya. Sejak dahulu sastra menduduki Iungsi
intelektual dalam kehidupan masyarakat. Pentingnya kedudukan sastra dalam
masyarakat Indonesia Lama, disebabkan oleh Iokus budaya mereka pada unsur
agama dan seni. Sastra Jawa Kuno malah menduduki Iungsi religio-magis, pada
zaman islam, sastra digunakan para raja untuk memberikan ajaran rohani kepada
rakyatnya.
21
Jadi, pada zaman dahulu sastra mempunyai Iungsi yang sangat

21
Jakob Sumardjo, Sastra dan Masa (Bandung: ITB, 1995), hlm. 6
56

penting dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, Iungsi ini mulai tergeser
dengan masuknya kebudayaan barat ke Indonesia.
22

Beberapa Iungsi sastra di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa peran
novel dalam masyarakat juga sangat penting, karena novel bukan saja
menampilkan sebuah wacana kepada masyarakat, akan tetapi novel juga sangat
berperan terhadap perkembangan masyarakat, terlihat pada pesan dari seorang
penulis atau sastrawan dapat dikatakan sebagai pejuang moral karena mereka
berupaya agar si pembaca dapat mengetahui dan memahami apa yang ada dalam
alur cerita novel tersebut sehingga dapat menggugah perasaan si pembaca.
C. Nilai Edukatif
1. Definisi Nilai
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh A Club of Rome, nilai diuraikan
dalam dua gagasan yang saling berseberangan. Di satu sisi, nilai dibicarakan
sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan dan
harga, dengan penghargaan yang demikian tinggi pada hal yang bersiIat material.
Sementara di lain hal, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna
abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang tak terukur dan abstrak itu antara
lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan. Dikemukakan
pula, sistem nilai merupakan sekelompok nilai yang saling berkaitan satu dengan
lainnya dalam sebuah sistem yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan. Nilai-
nilai itu bersumber dari agama maupun dari tradisi humanistik. Karena itu perlu
dibedakan secara tegas antara nilai sebagai kata benda abstrak dengan cara

22
Ibid..
56

perolehan nilai sebagai kata kerja. Dalam beberapa hal sebenarnya telah ada
kesepakatan umum secara etis mengenai pengertian nilai, walaupun terdapat
perbedaan dalam memandang etika perilaku.
Perbedaan sudut pandang dalam memahami nilai berimplikasi pada
perumusan deIinisi nilai. Berikut ini dikemukakan empat deIinisi nilai yang
masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.
Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya. DeIinisi ini dikemukakan oleh Gordon Allport sebagai seorang ahli
psikologi kepribadian. Bagi Allport nilai terjadi pada wilayah psikologis yang
disebut keyakinan. Seperti para ahli psikologi lainnya, keyakinan ditempatkan
pada wilayah psikologis yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat,
motiI, sikap, keinginan dan kebutuhan. Karena itu keputusan benar-salah, baik-
buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan proses
psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan
yang sesuai dengan nilai pilihannya.
Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. DeIinisi ini
memiliki tekanan utama pada norma sebagai Iaktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku manusia. DeIinisi ini lebih mencerminkan pandangan sosiolog. Seperti
sosiolog pada umumnya, Kupperman memandang norma sebagai salah satu
bagian terpenting dari kehidupan sosial, sebab dengan penegakan norma
seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat
yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam
56

proses pertimbangan nilai ('alue Judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatiI
yang berlaku di masyarakat.
DeIinisi yang berlaku umum -dalam arti tidak memiliki tekanan pada
sudut pandang tertentu- adalah diIinisi yang dikemukakan oleh Hans Jonas. Ia
menyatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah kata 'ya ('alue is address of a
yes), atau kalau diterjemahkan secara kontekstual, nilai adalah sesuatu yang
ditunjukkan dengan kata 'ya. DeIinisi ini merupakan deIinisi yang mempunyai
kerangka umum dan luas daripada deIinisi sebelumnya. Kata 'ya dapat
mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis maupun nilai patokan
normatiI secara sosiologis. Demikian pula, penggunaan kata 'alamat dalam
deIinisi itu dapat mewakili arah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan individu
maupun norma sosial.
Selain tiga dimensi tadi, ada deIinisi nilai yang lebih panjang dan lebih
lengkap yang dirumuskan oleh Kluckhohn. Ia mendeIinisikan nilai sebagai
konsepsi (tersurat atau tersirat, yang siIatnya membedakan ciri-ciri individu atau
kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara,
tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, deIinisi itu memiliki
banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian yang
lebih spesiIik andaikata dikaji secara lebih mendalam. Namun Brameld dalam
bukunya tentang landasan-landasan budaya pendidikan hanya mengungkapkan
enam implikasi penting, yaitu: (1) Nilai merupakan konstruk yang melibatkan
proses kognitiI (logic dan rasional) dan proses atektik (ketertarikan atau
penolakan menurut kata hati); (2) Nilai selalu berIungsi secara potensial, tetapi
56

selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi; (3) Apabila hal itu berkenaan dengan
budaya, nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok;
(4) Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa
nilai pada dasarnya disamakan (e6uated) dari pada diinginkan, ia dideIinisikan
berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai
keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial; (5) Pilihan
diantara nilai-nilai alternatiI dibuat dengan konteks ketersediaan tujuan antara
(means) dan tujuan akhir (ends); dan (6) Nilai itu ada, ia merupakan Iakta alam,
manusia, budaya dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang disadari.
23

. Nilai Edukatif
Hubungan antara nilai dan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam
setiap tindakan pendidikan, baik dalam memilih maupun dalam memutuskan
setiap hal untuk kebutuhan belajar. Melalui persepsi nilai, guru dapat
mengevaluasi siswa. Demikian pula sebaliknya, siswa dapat mengukur kadar nilai
yang disajikan guru dalam proses pembelajaran. Masyarakat juga dapat merujuk
sejumlah nilai (benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah) ketika mereka
mempertimbangkan kelayakan pendidikan yang dialami anaknya. Singkat kata,
dalam segala bentuk persepsi, sikap, keyakinan, dan tindakan manusia dalam
pendidikan, nilai selalu disertakan. Bahkan melalui nilai itulah manusia dapat
bersikap kritis terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan pendidikan. Ketika
seorang ibu rumah tangga mengkritik biaya pendidikan yang terlampau mahal
padahal dalam penyelenggaraannya kurang optimal, maka hal itu terkait dengan

23
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: AlIabeta, 2004), hlm. 8-11.

56

nilai. Untuk itu, selain diposisikan sebagai muatan pendidikan, nilai dapat juga
dijadikan sebagai media kritik bagi setiap orang yang berkepentingan dengan
pendidikan (stake holders) dalam mengevaluasi proses dan hasil pendidikan.
Pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia terikat dua misi
penting, yaitu hominisasi dan humanisasi. Sebagai proses hominisi, pendidikan
berkepentingan untuk memposisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki
keserasian dengan habitat ekologinya. Manusia diarahkan untuk mampu
memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis seperti makan, minum, pekerjaan,
sandang, tempat tinggal, berkeluarga dan sebagainya dengan cara-cara yang baik
dan benar. Dalam proses homonisasi seperti itu, pendidikan dituntut untuk mampu
mengarahkan manusia pada cara-cara pemilihan dan pemilahan nilai sesuai
dengan kodrat biologis manusia. Demikian pula, pendidikan sebagai proses
humanisasi mengarahkan manusia untuk hidup sesuai kaidah moral, karena
manusia pada hakikatnya adalah yang bermoral. Moral manusia berkaitan dengan
Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Seyogyanya pendidikan mampu
menyeimbangkan keutuhan moral dan intelektual.
Dengan demikian, nilai dan pendidikan merupakan dua hal yang satu sama
lain tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika pendidikan cenderung diperlakukan
sebagai wahana transIer pengetahuan pun terjadi perambatan nilai yang
setidaknya bermuara pada nilai-nilai kebenaran intelektual.
Secara umum, hubungan antara nilai dan pendidikan dapat dilihat dari
tujuan pendidikan itu sendiri. Seperti yang terdapat dalam tujuan pendidikan
nasional, pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
56

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatiI, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggungjawab mengandung sejumlah nilai penting bagi pembangunan
karakter bangsa. Dari tujuan pendidikan nasional itu tampak bahwa sebagian besar
nilai yang hendak dikembangkan lebih didominasi oleh nilai-nilai moral daripada
oleh nilai kebenaran ilmiah dan nilai keindahan.
Berdasarkan paparan di atas, maka yang dimaksud nilai edukatiI adalah
nilai positiI dalam proses pendidikan. Yang dimaksud nilai positiI adalah
keseluruhan nilai yang bermuatan mendidik, mengajarkan kepada hal-hal yang
dianggap menjadi pakem di sebuah komunitas masyarakat. Nilai tersebut bisa
berupa kewajiban melakukan sesuatu, anjuran atau larangan yang terkandung
dalam bidang keagamaan, sosial, etika maupun estetika.
24

Dalam mengaplikasikan nilai edukatiI di sekolah, kita dapat mengacunya
dari dua dimensi yang membentuk terwujudnya nilai. Yakni:
I. Dimensi transendental: yakni nilai edukatiI yang mengacu dari nilai-
nilai uluhiyah. Nilai edukatiI dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya
adalah dengan senantiasa beriman, bertaqwa, melaksanakan perintah Nya dan
menjauhi larangan Nya.
Contoh nilai edukatiI dalam ranah ini adalah kewajiban manusia untuk
senantiasa bertaqwa pada Allah dan bersyukur yang termuat dalam Surat Lukman
ayat 12-13:

24
Ibid., hlm. 103-104.

56

llllllll llllllllll lllllllll
llllllllllll llll llllllll ll
l lllll llllllll lllllllll
llllllll lllllllllll l lllll
llllll llllll llll llllll
lllllll llll llllll lllll
lllllllll lllllllll llllll
lllllllll lllllllll ll
llllllll llllll l llll
llllllllll llllllll lllllll
llll
Artinya:
12. Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
25

II. Dimensi sosial: yakni nilai edukatif yang terlahir dari
nilai-nilai yang dipatuhi dalam masyarakat. Nilai edukatif dalam
dimensi ini terkait dengan interaksi sesama manusia mencakup
berbagai norma baik kesusilaan, kesopanan dan segala macam
produk hukum yang ditetapkan manusia.

25
Al Quran Al karim. (Beirut: 2000)
56

Dalam al Quran, banyak dijelaskan contoh-contoh nilai
edukatif dalam ranah ini, seperti:
a. Berlaku adil dan tidak mengumbar kebencian:
Dalam Al-Maaidah ayat 8 diterangkan:
lllllllllll lllllllll
llllllllll llllllll
llllllllll ll llllllllll
llllllllllll l llll
llllllllllllll lllllllll
llllll llllll llll lllllllllll
l lllllllllll llll llllllll
lllllllllll l lllllllllll llll
l llll llll lllllll lllll
lllllllllll lll
Artinya:
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
26

b. Berbakti pada orang tua:
Dalam Al Isro ayat 23 disebutkan:

26
Ibid..

56

l llllllll llllll llll
llllllllllll llll lllllll
lllllllllllllllllll
llllllllll l lllll llllllllll
lllllll llllllllll
llllllllllll llll lllllllll
llll lllll llllllll lllll llll
lllllllllllll lllll lllllll
llllll llllllll llll
llllllllll lllllll lllllll
llllllll llll lllllllllll
lllll lllll lllllllllllll
lllll llllllllll llllllll llll

Artinya:
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
27

c. Larangan untuk sombong:

27
Ibid..
56

Allah SWT berIirman dalam Al Isro` 37:
llll llllll lll llllllll
lllllll l llllll lll llllllll
llllllll lllll llllllll
lllllllllll lllll llll
Artinya:
37. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi
gunung.
28

d. Larangan mencela, merendahkan, memanggil dengan
panggilan yang buruk, dan berprasangka:
Allah SWT berfirman dalam Al Hujurat ayat 11-12:
lllllllllll lllllllll
llllllllll ll llllllll llllll
llll llllll llllll lll
llllllllll lllllll lllllllll
llll llllllll llll lllllllll
llllll lll llllll lllllll
lllllllll l llll llllllllllll
lllllllllll llll llllllllllll
lllllllllllll l llllll
llllllll lllllllllll llllll
llllllllll l lllll llll llllll
llllllllllllll llll

28
Ibid..
56

lllllllllllll llll
lllllllllll lllllllll
llllllllll lllllllllllll
llllllll lllll llllllll llll
llllll llllllll llllll l llll
lllllllllll llll lllllll
lllllllll lllllll l llllllll
llllllllll lll llllllll llllll
lllllll lllllll
lllllllllllllll l lllllllllll
llll l llll llll lllllll
lllllll llll
Artinya:
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang
tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
56

sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
29


D. Pola Interaksi Pembelajaran Antara Guru dan Murid
1. Definisi Pola Interaksi Pembelajaran
Dalam proses belajar mengajar di dalam kelas, interaksi yang sering terjadi
adalah antara guru selaku Iasilitator dan murid sebagai subyek pendidikan. Yang
dimaksud dengan interaksi adalah hubungan antara dua atau lebih hal, tidak hanya
sebatas antar individu, tapi juga individu dengan alam serta individu dengan Sang
Pencipta. Hubungan tersebut tidak hanya bersiIat Iisik tapi juga non Iisik.
Interaksi dalam bahasa yang lebih sederhana adalah pengaruh timbal balik atau
saling mempengaruhi satu sama lain.
30

Jadi, yang kemudian dimaksud dengan interaksi pembelajaran adalah
hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi yang terjadi dalam sebuah
proses pembelajaran. Sedangkan pola interaksi pembelajaran adalah corak atau
bentuk interaksi yang terbangun dalam proses pembelajaran.
Pola interaksi yang terjadi di dalam proses pembelajaran amat
mempengaruhi hasil dari pembelajaran tersebut. Jika dikerucutkan pada proses
interaksi guru dan murid yang terjadi di kelas maupun di luar kelas, maka guru
sebagai sosok yang sering berinteraksi dengan murid dibandingkan kepala sekolah

29
Ibid..
30
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barri, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
hlm. 265.
56

atau pegawai, jelas memiliki peran dominan dalam membangun pola hubungan
tersebut. Pola interaksi guru-murid yang baik, akan menciptakan suasana belajar
yang edukatiI dan menyenangkan. Sebaliknya, pola interaksi yang terlampau
Iormal menyebabkan kerenggangan hubungan antara guru-murid yang berdampak
pada suasana belajar yang cenderung menegangkan dan kaku. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa dalam interaksi guru dan murid inilah terjadi proses edukasi dan
sosialisasi.
31



. 1enis-1enis Pola Interaksi Pembelajaran antara Guru dan Murid
Berdasarkan kedudukannya sebagai pendidik dan pengajar, guru
diharuskan menunjukkan perilaku yang baik di segala lini kehidupan. Apa yang
dituntut dari guru dalam aspek etis, estetis, intelektual dan sosial tentu lebih tinggi
dari pada manusia dewasa lainnya. Guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru dan
selaku pembina dan pendamping generasi muda, berkewajiban untuk memberikan
contoh dan tauladan yang baik di dalam maupun di luar kelas.
Demi menjalankan peran itulah, guru dapat secara kreatiI membentuk
sebuah pola interaksi terhadap anak didiknya. Pola interaksi inilah yang kemudian
membentuk dan mempengaruhi murid secara signiIikan baik secara psikologis
maupun dalam intelektualitas mereka. Ada dua pola interaksi yang lazim terjadi
dalam sebuah proses pembelajaran.
1. Pola Interaksi Otoriter

31
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.115.
56

Pola interaksi ini biasanya diterapkan oleh guru yang punya tipe otoriter.
Guru yang otoriter tidak mengizinkan murid melewati batas atau jarak sosial
tertentu. Guru itu tidak ingin murid jadi akrab dengannya. Juga dalam situasi
rekreasi ia mempertahankan jarak itu. Guru tetap merasa berkuasa dan berhak
untuk memberikan perintah. Ia berharap agar perintah itu juga ditaati. Akibat dari
pola interaksi yang otoriter ini, guru dianggap tidak ramah dan tidak akan diajak
oleh murid-murid dalam kegiatan santai yang gembira. Murid tidak akan mudah
membicaran persoalan pribadi padanya, jadi antara guru dan murid tidak terdapat
hubungan yang akrab dan hangat. Guru seperti ini disegani, ditakuti, mungkin
juga kurang disukai, atau justru dikagumi bila ia juga memiliki siIat-siIat yang
baik.
2. Pola Interaksi Demokratis
Berbeda dengan pola interaksi otoriter yang memperlakukan murid dengan
ketat dan cenderung menjaga jarak, pola demokratis cenderung memberikan
kesempatan kepada murid untuk berkreasi dan beraktualisasi. Nampaknya pola ini
tidak terlepas dari tipe demokratis yang dimiliki oleh seorang guru. Dalam pola ini
guru akan banyak memberikan kesempatan dan ruang bagi tumbuh dan
berkembangnya kreatiIitas dan gagasan murid meskipun harus berbeda dengan
konsep yang dipegangi olehnya. Guru seperti ini akan mendapat sambutan yang
hangat di tengah-tengah murid, karena memandang guru tersebut dapat
memahami dan menerima ide murid.
Adapun klasiIikasi lain tentang pola interaksi guru dan murid antara lain:
1. DominatiI.
56

Guru dengan pola dominatiI selalu berupaya untuk mendominasi murid,
menentukan dan mengatur kelakuan murid serta menginginkan konIirmasi dalam
kelakuan mereka. Guru ini sering mencampuri apa yang dilakukan murid,
memberikan hukuman yang sewenang-wenang, tidak memberikan kesempatan
pada murid untuk memberikan alasan dan memandang siswa sebagai obyek
pembelajaran. Hal tersebut dapat menimbulkan konIlik antara guru dengan murid.
2. IntegratiI.
Guru dengan pola integratiI membolehkan murid untuk menentukan
sendiri apakah ia suka atau tidak melakukan apa yang disarankan oleh guru.
Murid-murid diajak berunding dan merencanakan bersama apa yang dikerjakan
atau dipelajari untuk mencapai tujuan yang ditentukan bersama. guru tidak akan
banyak mencampuri dan mengatur pekerjaan anak, akan tetapi memberikan
keleluasaan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing, namun tetap
memberikan pengarahan. Apabila murid melakukan sebuah kesalahan ia menegur
dengan cara yang tidak menyinggung dan memberikan kesempatan pada murid
untuk memberikan alasan serta tidak menjatuhkan hukuman yang sewenang-
wenang, sebab tiap anak dihargai menurut pribadinya masing-masing.
Sebenarnya klasiIikasi guru dalam tipe dominatiI dan integratiI hampir
sama dengan tipe otoriter dan demokratis. Namun tipe guru yang sepenuhnya
otoriter-dominatiI maupun yang sepenuhnya demokratis-integratiI tentu tidak ada.
Tipe guru akan mempunyai kedua sikap itu dalam taraI tertentu. Akan tetapi
kedua tipe itu dapat dijadikan pegangan untuk menganalisis pola interaksi
pembelajaran antara guru dan murid. Peranan yang dijalankan oleh guru dalam
56

hubungannya dengan murid akan mendapati salah satu tipe itu dalam taraI yang
berbeda-beda. Respon murid terhadap peranan guru itu merupakan Iaktor utama
yang menentukan eIektiIitas guru. Pola interaksi tertentu, misalnya otoriter bagi
sejumlah murid dipandang lebih eIektiI namun bagi murid yang lain kadang
dipandang sama sekali tidak eIektiI.
Hubungan guru-murid dikatakan baik apabila hubungan itu memiliki siIat-
siIat:
(1) keterbukaan, sehingga baik guru maupun murid saling bersikap jujur dan
membuka diri satu sama lain;
(2) tanggap, bilamana seorang tahu bahwa dia dinilai orang lain;
(3) saling ketergantungan antara satu sama lain;
(4) kebebasan, yang memperbolehkan setiap orang tumbuh dan mengembangkan
keunikannya, kreativitas dan kepribadiannya;
(5) saling memenuhi kebutuhan, sehingga tidak ada kebutuhan satu orang pun
yang tidak terpenuhi.
32

3. Pola Interaksi Pembelajaran antara Guru dan Murid di Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam walaupun tidak
satu-satunya. Pembangunan manusia di pesantren dilakukan dengan pendekatan
human ecology sehingga pesantren menjadi uni sosio-kultural yang tepat. Selain
itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tentu lebih dekat dengan nilai
Islam sebagai sumber konsepsi dan motivasi. Pun, merupakan lembaga yang
mempunyai revolving rate artinya, lulusan pesantren memiliki dorongan untuk

32
Thomas Gordon, Guru yang Efektif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 28-29.
56

mendirikan pesantren di daerahnya sendiri. Pesantren termasuk lembaga yang
memiliki sustainable tinggi, ia terus berkelanjutan dari generasi ke generasi.
Dengan kata lain pesantren adalah sebuah jaringan besar (the big net work).
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan keagamaan secara otomatis memiliki
Iungsi dasar yakni menyelenggarakan kegiatan pendidikan yakni belajar
mengajar. Apalagi jika pesantren tersebut memiliki sekolah tersendiri seperti yang
penulis Iokuskan dalam skripsi ini.
Dalam interaksi guru dan murid di lingkungan pesantren, sedikit banyak
sama dengan sekolah umum. Namun yang membedakannya adalah adanya nilai-
nilai kultural-moral yang sangat terkait dengan ajaran talimul mutaallim karya
Syaikh Azzarnuji. Di lingkungan pesantren, pengharapan barokah jauh lebih
dipentingkan ketimbang daya kritis dan ghiroh belajar secara hakiki. Seorang
murid akan tetap masuk kelas meski di dalam kelas hanya sekedar pindah tidur
demi mendapatkan secercah barokah.
Selanjutnya akhlaq guru yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
menghadapi siswa telah dibahas oleh para ahli pendidikan. Ibnu Jama`ah
misalnya, menyebutkan bahwa seorang guru dalam berinteraksi dengan muridnya
hendaknya:
1. Bertujuan mengharapkan keridloan Allah, menyebarkan ilmu, dan
menghidupkan syari'at Islam
2. Memiliki niat yang baik
3. Menyukai ilmu dan mengamalkannya
56

4. Menghormati kepribadian para murid pada saat murid tersebut salah atau lupa
karena kadang guru sendiri pernah lupa
5. Memberikan peluang terhadap murid yang menunjukkan kecerdasan dan
keunggulan
6. Memberikan pemahaman menurut kadar kesanggupan murid-muridnya
7. Mendahulukan pemberian pujian daripada hukuman
8. Menghormati murid
9. Memberikan motiIasi kepada murid agar giat belajar
10. Tidak mengajarkan mata pelajaran yang tidak diminati murid
11. Memperlakukan murid secara adil dan tidak pilih kasih
12. Memberikan bantuan kepada murid sesuai dengan tingkat kesanggupan
13. Bersikap tawadhu kepada murid antara lain dengan menyebut namanya yang
baik dan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
33

Selanjutnya Ibnu Kholdun berpendapat bahwa seorang guru harus
mengajar secara bertahap, mengulang-ulang sesuai dengan pokok bahasan, dan
kesanggupan murid, tidak memaksakan atau membunuh daya nalar murid, tidak
berpindah dari satu topik ke topik lain sebelum topik yang pertama dikuasai, tidak
memandang kelupaan sebagai suatu aib, tetapi mengatasinya dengan jalan
mengulang-ulang dan tidak bersikap keras terhadap murid. Seorang guru harus
membiasakan diskusi dan bertukar pikiran dengan murid, memilih bidang kajian
yang disukai murid, mendekatkan murid pada pencapaian tujuan, memperlihatkan

33
Abudinnata, Perpektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, (Jakarta: Raja GraIindo
Perkasa, 2001), hlm. 93.
56

tingkat kesanggupan murid dan menolongnya agar murid tersebut mampu
memahami murid.
34

Al Ghozali menyatakan bahwa, etika yang wajib dilakukan oleh seorang
guru adalah:
Pertama, bersikap lembut dan kasih sayang kepada para murid, seorang
guru tidak meminta imbalan atas tugas mengajar, tidak menyembunyikan ilmu
yang dimilikinya sedikitpun, menjauhi akhlak yang buruk, tidak mewajibkan
kepada murid mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya, memperlakukan
murid sesuai kesanggupan, kerjasama dengan murid dalam membahas dan
menjelaskan, seorang guru harus mengamalkan ilmunya.
Jadi berdasarkan uraian di atas sosok guru yang ideal adalah, guru yang
memiliki motiIasi belajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmu,
bertindak sebagai orang tua dan pemenuhan kasih sayang kepada anaknya, dapat
mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi
yang dimiliki para murid, bersikap terbuka dan demokratis, menghargai pendapat
murid dan dapat bekerjasama dalam memecahkan masalah.
Imam Al Ghozali dalam etika murid terhadap guru adalah: 1. seorang
murid harus membersihkan jiwa dari akhlaq tercela. 2. seorang murid tidak
banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi; harus bersunguh-sungguh dan
bekerja keras bahkan harus jauh dari keluarga dan kampung halaman. 3. murid
jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimiliki dan jangan memulai
pertanyaan terhadap masalah yang belum dijelaskan. 4. murid permulaan

34
Ibid., hlm. 96.
56

janganlah melibatkan atau mendalami perbedaan pendapat para ulama karena bisa
menimbulkan keragu-raguan. 5. belajar jangan berpindah dari satu ilmu sebelum
memahami muridan sebelumnya. 6. murid jangan menenggelamkan diri pada satu
ilmu saja melainkan pada ilmu pendukungnya juga. 7. seorang murid jangan
melibatkan diri terhadap pokok bahasan tertentu sebelum melengkapi pokok
bahasan lainnya yang menjadi pendukung ilmu tersebut. 8. murid hendaknya
mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu. 9. murid
dalam mencari ilmunya dilakukan dalam upaya menghias batin dan
mempercantiknya dengan berbagai keutamaan. 10. seorang murid harus
mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya.
35

Namun, yang banyak diaplikasikan di Pesantren adalah ajaran talimul
mutaallim yang banyak mengulas mengenai kewajiban untuk ta`at (saman wa
thoatan) terhadap apa yang diperintahkan guru, memasrahkan spesiIikasi
keilmuan berdasarkan kehendak guru, tidak boleh berbeda pendapat dengan guru
dan sebagainya.
4. Nilai-Nilai Edukatif yang Dapat Dikembangkan Sebagai Reformulasi Pola
Interaksi Pembelajaran antara Guru dan Murid di Pesantren
Banyak kalangan menyatakan bahwa ada beberapa hal terkait pola
interaksi guru dan murid di lingkungan pesantren yang kurang tepat apabila
ditumbuhsuburkan di era inIormasi ini. Misalnya sikap tawadhu yang berlebihan
dan pengharapan barokah yang tidak disertai dengan usaha maksimal sangat tidak
tepat mengingat budaya kritis dan belajar secara sungguh-sungguh mutlak adanya.

35
Ibid., hlm. 106.
56

Dari beragam nilai yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, maka
yang dapat ditarik sebagai sebuah pijakan untuk melakukan pembaruan dalam
menyikapi pola interaksi guru dan murid di lingkungan pesantren adalah sebagai
berikut:
1. Ghiroh yang kuat untuk meningkatkan kadar ketaqwaan dan ketaatan
kepada Allah SWT; dengan ketaqwaan yang tinggi maka baik guru
maupun murid memiliki kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan
dan tidak selayaknya dilakukan sesuai dengan semangat Ilahiyyah.
2. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa spiritual;
bagaimanapun lingkungan sangat mendukung harmonis tidaknya
hubungan guru dan murid. Dan interaksi yang berlandaskan semangat
spiritual akan melahirkan interaksi positiI dan harmonis.
3. Saling menghormati antara guru dan murid. Murid percaya bahwa dirinya
tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa guru, dan guru dalam
melaksanakan tugasnya dirasakan sebagai mengemban amanat Tuhan.
4. Penghargaan terhadap perbedaan, bahwa baik guru maupun murid harus
memahami bahwa setiap manusia itu berbeda, baik karakter,
kecenderungan, dan sebagainya.
5. Pandangan bahwa tugas melakukan pendidikan sebagai ibadah. Oleh
karena itu di dalam menjalankan proses kegiatan belajar mengajar
seyogyanya dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridlo Allah
6. Lembaga pendidikan pesantren dipandang sebagai tempat mencari ilmu
dan mengabdi, bukan sebagai tempat mencari kelas dan ijazah.
56

7. Nilai pendidikan dengan sistem asrama; bahwa dalam hal hak, sebaiknya
mendahulukan hak orang lain dari pada haknya sendiri, tetapi dalam hal
kewajiban orang sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum
orang lain. Dalam asrama juga ditanamkan nilai keteladanan dan berlomba
dalam kebajikan dalam hal mengamalkan ajaran Islam dalam hidup
keseharian di pesantren.
8. Bersikap optimis dalam menjalani kehidupan, ia tidak akan putus asa jika
menerima musibah, dan sebaliknya ia juga tidak lupa daratan jika
memperolah keuntungan, karena setiap peristiwa dipandang belum Iinal
dan semua peristiwa pada akhirnya akan kembali ke kebenaran Tuhan.
9. Prinsip keadilan; seorang guru harus menempatkan diri sebagai pengajar
yang adil dan tidak sewenang-wenang serta tidak pilih kasih.
10. Pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut Iitrahnya
masing-masing. Dan tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan
daya-daya positiI (Ilahiyyah) dan mencegah timbulnya daya-daya negatiI
(syaithoniyyah) sehingga perlu berIikir kritis mengenai kehidupan; agar
memandang dunia secara lebih luas dan terbuka serta tidak terkungkung
dalam satu paradigma.
11. Saling terbuka; karena manusia tidak bisa saling mendengar kata dan
maksud hati, maka guru dan murid dalam rangka meningkatkan
keharmonisan dalam interaksi guru dan murid, haruslah saling terbuka.
Hal ini dilakukan dengan memperbanyak diskusi atau sharing dari hati ke
hati agar tidak terjadi salah paham dan sebagainya.
56

12. Saling memaaIkan; setiap orang pernah melakukan kesalahan, oleh karena
itulah baik guru dan murid harus memahami diri maupun orang lain tentu
tak pernah luput dari salah. Sehingga setiap kesalahan dan
ketidaknyamanan haruslah diselesaikan dengan terbuka agar tercipta
ketulusan saling memaaIkan.
13. Tidak merasa dirinya yang paling benar; kadang ego manusia
menghendaki dirinya selalu benar dan diakui kebenarannya oleh orang
lain. Padahal, tak jarang manusia yang paling pintar dan alim sekalipun
melakukan kesalahan yang Iatal. Oleh karena itulah, perlunya kesadaran
diri dari masing-masing guru dan murid untuk memahami kelemahan diri.
14. Mampu menerima kritik; setelah menyadari kelemahan dan keterbatasan
diri, maka sudah selayaknya mau menerima kritik yang datang dari
siapapun. Jangan lantaran yang mengkritik adalah murid atau anak muda
lantas tidak terima, tapi perlu ada Iilterisasi kritik dan pemikiran atau
perenungan yang mendalam.
Beberapa pemikiran para tokoh di atas, selanjutnya akan menjadi rujukan
dalam proses analisis terhadap novel Love in Pesantren karya Sachree M. Daroini
dalam rangka menemukan Iormula yang lebih baik perihal interaksi guru dan
murid di lingkungan pesantren.
36



36
Makalah Mastuhu, (1994 ), hlm. 66-67.
56

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptiI kualitatiI sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptiI yang berupa kata-kata
tertulis dan bukan angka. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut.
Kutipan-kutipan data yang disajikan dalam penelitian ini ditegaskan dalam bentuk
lampiran tabel pemaparan data yang diperoleh dari pemahaman makna yang
terdapat pada setiap kata, kalimat, paragraI, teks dan juga unsur pengembangan
karya sastra seperti alur, tokoh, setting dan tema. Dari pemahaman makna secara
keseluruhan, dilakukan penaIsiran dan pengkategorian data yang terkandung
dalam novel Love in Pesantren. Dan selanjutnya data-data tersebut dianalisis
berdasarkan pengkategoriannya.
Karakteristik penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatiI
memiliki beberapa ciri, yaitu: latar ilmiah, manusia sebagai alat instrumen,
metode kualitatiI, analisis data secara induktiI, grounded theory dan deskriptiI.
37

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua ciri, yaitu: manusia sebagai alat
atau instrumen, maksudnya peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama dan ciri kedua, deskriptiI, yakni data yang
dikumpulkan berupa kata-kata. Berdasarkan kedua ciri tersebut analisis nilai
edukatiI dalam novel Love in Pesantren sebagai reIormulasi pola interaksi

37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kuaitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002)
hlm. 4.
56

hubungan guru dan murid perlu dilakukan pembacaan dan telaah secara
mendalam tentang makna kata-kata yang terdapat dalam dialog dan narasi cerita.
Peneliti terlibat secara penuh dan aktiI dalam mengapresiasi isi novel dan
menemukan data-data utama yang menunjukkan pada permasalahan sesuai
dengan rumusan masalah.
B. Data dan Sumber Data
Hubberman menegaskan data kualitatiI merupakan sumber dari deskripsi
yang luas dan berlandasan kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses
yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan demikian, data verbal dapat
diIahami baik melalui alur peristiwa secara kronologis, narasi, maupun dialog
yang dituangkan Shachree M. Daroini dalam novelnya Love In Pesantren harus
disikapi sebagai kesatuan tutur yang lebih lengkap berupa kata, kalimat, serta
paragraI sehingga membentuk suatu wacana yang utuh.
38

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah naskah novel karya
Shachree M. Daroini yang berjudul Love In Pesantren. Karya ini memiliki latar
belakang religius yang kuat dan berbasis pesantren yang diterbitkan pada tahun
2006. Perolehan data tersebut dilakukan peneliti dengan cara mengidentiIikasi
data sesuai dengan arah permasalahan yang terurai dalam bab IV yakni pemaparan
data.

C. Teknik Pengumpulan Data

38
Michael Hubberman, A. Miles, Mattew B, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1992), hlm.1.
56

Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
adalah sebagai berikut: (1) tes, (2) angket, (3) wawancara, (4) observasi, dan (5)
telaah dokumen. Dari kelima teknik pengumpulan data tersebut, peneliti
menggunakan teknik telaah dokumen atau biasa disebut dengan studi
dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-
barang tertulis. Dalam melaksanakan studi dokumentasi ini peneliti memilih novel
Love in Pesantren sebagai bahan dalam pengumpulan data tersebut.
Langkah-langkah yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data
penelitian adalah sebagai berikut:
1. peneliti membaca secara komprehensiI dan kritis yang dilanjutkan dengan
mengamati nilai-nilai edukatiI serta proyeksi interaksi guru dan murid di
lingkungan pesantren yang terdapat dalam novel Love in Pesantren. Dan
dari kegiatan ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai
dengan rumusan masalah.
2. peneliti mencatat paparan bahasa yang terdapat dalam dialog-dialog tokoh,
prilaku tokoh, tuturan ekspresiI maupun deskriptiI dari peristiwa yang
tersaji dalam novel.
3. peneliti mengidentiIikasi, mengklasiIikasi dan menganalisis novel sesuai
dengan rumusan masalah.
Dari langkah-langkah di atas diperoleh data verbal sebagai berikut: (1)
data berupa paparan bahasa yang mengemban nilai-nilai edukatiI, (2) data berupa
paparan bahasa yang mengemban nilai-nilai edukatiI yang mendeskripsikan pola
interaksi guru dan murid di lingkungan pesantren, (3) bahan untuk mengadakan
56

reIormulasi pola interaksi guru dan murid di lingkungan pesantren berdasarkan
novel Love in Pesantren.
D. Instrumen Penelitian
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatiI adalah sebagai instrumen.
Artinya dalam penelitian ini, peneliti sendiri yang melakukan penaIsiran makna
dan menemukan nilai-nilai tersebut. Peneliti juga merupakan perencana,
pelaksana pengumpulan data, analisis, penaIsir data, dan pada akhirnya menjadi
pelapor hasil penelitian.
39

Kegiatan yang dilakukan peneliti sehubungan dengan pengambilan data
yaitu, kegiatan membaca teks novel Love in Pesantren dan peneliti bertindak
sebagai pembaca yang aktiI membaca, mengenali, mengidentiIikasi satuan-satuan
tutur yang merupakan penanda dalam satuan-satuan peristiwa yang di dalamnya
terdapat gagasan-gagasan dan pokok pikiran hingga menjadi sebuah keutuhan
makna.
E. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
mengidentiIikasi nilai-nilai edukatiI dalam novel Love in Pesantren, (2)
mengidentiIikasi hal-hal yang kurang relevan dalam interaksi guru dan murid di
pesantren dalam novel Love in Pesantren, (3) mengidentiIikasi nilai-nilai edukatiI
dalam novel Love in Pesantren yang dapat dikembangkan dalam reIormulasi pola
interaksi guru dan murid di lingkungan pesantren.

39
Lexy J. Moleong, op. cit.. hlm. 121.
56

Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah Content
Analysis (kajian isi). Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat
inIerensi-inIerensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan
memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi
komunikasi.
40
Menurut Weber, Content Analisis adalah metodologi penelitian
yang memanIaatkan seperangkat prosedur untuk menarik suatu kesimpulan yang
sahih dari pernyatan atau dokumen. Demikian juga dengan Holsi, yang
mengartikan content analisis sebagai teknik apapun yang digunakan untuk
menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan
secara obyektiI dan sistematis.
41

Menurut Noeng Muhadjir, secara teknis content analisis mencakup upaya:
a. klasiIikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi;
b. menggunakan kriteria sebagai dasar klasiIikasi;
c. menggunakan teknik analisis tertentu sebagai membuat prediksi.
Kemudian para ahli mengemukakan beberapa syarat content analisis, yaitu:
objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi.
42

Menurut Patton, dalam metodologi penelitian kualitatiI, istilah analisis
menyangkut kegiatan (1) pengurutan data sesuai dengan tahap permasalahan yang
akan dijawab, (2) pengorganisasian data dalam Iormalitas tertentu sesuai dengan

40
Burhan Bungin, Content Analysis dan Focus Group Discussion dalam Penelitian Sosial (
Jakarta:Raja GraIindo Persada, 2003), hlm. 172.
41
Lexy J. Moleong, op. cit., hlm. 163.
42
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1999), hlm. 14-15.
56

urutan pilihan dan pengkategorian yang akan dihasilkan, (3) penaIsiran makna
sesuai dengan masalah yang harus dijawab.
43

Sesuai dengan masalah yang digarap dalam penelitian ini, maka kegiatan
yang dilakukan adalah pemberian makna pada paparan bahasa berupa (1)
paragraI-paragraI yang mengemban gagasan tentang nilai-nilai edukatiI, (2)
paragraI-paragraI yang mengandung gagasan tentang pola interaksi guru dan
murid di lingkungan pesantren. Pemahaman dan analisis tersebut dilakukan
melalui kegiatan membaca, menganalisis dan merekonstruksi. Dalam melakukan
pemaknaan data peneliti harus memiliki dasar pengetahuan dan pengalaman
tentang bentuk penanaman nilai-nilai pendidikan baik di sekolah maupun di luar
sekolah. Kegiatan tersebut antara lain: (1) saling tolong menolong, (2) saling
menghargai, (3) saling mengingatkan. Selain itu penulis juga harus memahami
realitas pola interaksi guru dan murid di pesantren sebagai bahan untuk reIleksi
dan untuk menganalisis keabsahan dan kedekatan cerita dengan realitas di
pesantren.
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Sebagai upaya untuk memeriksa keabsahan data peneliti menggunakan
beberapa teknik antara lain:
1. Teknik ketekunan pengamat, yakni peneliti secara tekun memusatkan
diri pada latar penelitian untuk menemukan ciri-ciri dan unsur yang
relevan dengan persoalan yang diteliti. Peneliti mengamati secara

43
Ibid., hlm. 103.
56

mendalam pada novel agar data yang ditemukan dapat dikelompokkan
sesuai dengan kategori yang telah dibuat dengan tepat.
2. Teknik berdiskusi dengan teman yang mengambil jurusan bahasa dan
sastra.
3. Berdiskusi dengan pakar sastra, budaya dan agama untuk memeriksa
hal ihwal penelitian ini.
Selain itu dalam pengumpulan data peneliti dipandu rambu-rambu yang
berisi ketentuan studi dokumentasi tentang nilai edukasi dan pola interaksi guru
dan murid di lingkungan pesantren. Perolehan tersebut dilakukan peneliti dengan
identiIikasi data sesuai dengan arah permasalahan dalam penelitian. Adapun
rambu-rambu tersebut antara lain:
1. Dengan bekal pengetahuan, wawasan, kemampuan dan kepekaan yang
dimiliki, peneliti membaca sumber data secara kritis cermat dan teliti.
Peneliti membaca berulang-ulang untuk menghayati dan memahami secara
kritis dan utuh terhadap sumber data
2. Dengan berbekal pengetahuan, wawasan, kemampuan dan kepekaan
peneliti melakukan pembacaan sumber data secara berulang-ulang dan
terus menerus secara berkesinambungan. Langkah ini diikuti kegiatan
penandaan, pencatatan, dan pemberian kode (coding).
3. Peneliti membaca dan menandai bagian dokumen, catatan, dan transkripsi
data yang akan dianalisis lebih lanjut. Langkah ini dipandu dengan
rumusan masalah dan tujuan penelitian.
56

BAB IV
PAPARAN DATA
A. Deskripsi Novel
1. Profil Pengarang
Shachree M. Daroini dilahirkan di Madiun, 16 Juli 1980. Setelah lulus SD
tahun 1993, ia melanjutkan sekolah di MTs Al Islam Joresan Ponorogo sekaligus
menjadi santri di Pondok Pesantren Darunnajah. Usai menamatkan MTs di tahun
1996, ia melanjutkan jenjang Aliyah di Pesantren yang sama dan lulus tahun
1999. Saat menuliskan novel ini, Shachree masih tercatat sebagai mahasiswa UIN
Yogyakarta jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. AktiIis Sanggar Teater
ESKA dan Sindikat Penyair Pinggiran (SPP) dan di 'Tahlilan Puisi komunitas
sastra Teater ESKA ini pernah menjadi aktor dalam pementasan 'Ziarah Abadi,
'Sampak Patrol, 'Sayap Jibril, 'Penggali Kapur, 'Suara-Suara Bawah Tanah,
dan 'Togh Out. Shachree juga menyutradarai 'Ren-sen Cen Yu-ren` dan
visualisasi cerpen 'Tangan-Tangan Penggali Parit di PUSKAT. Ia juga menulis
naskah teater 'Ren-sen Cen Yu-ren` dan 'Kamar Mayat yang pernah
dipentaskan di Societed Militer dan Purna Budaya, serta beberapa naskah remaja.
Puisi-puisinya masuk dalam antologi bersama 'Ketika Pinggiran Menggugat
yang terbit tahun 2003. Shachree pun aktiI membacakan puisinya di beberapa
tempat dan kesempatan.
Novel-novelnya yang sudah terbit antara lain adalah 'Para Gus penerbit
Alenia, 2004, 'Jadzab, cinta di balik pesantren Gembala Media, 2004, 'Bola-
Bola Santri Matapena, 2005, 'Love in Pesantren Matapena, 2006, 'Santri
56

Tomboy Matapena, 2006. Sekarang, penulis tinggal di Yogyakarta bersama istri
tercintanya Dyah Dwi Astuti dan si buah hati, Aqeela Jangkar Kemilauva.
Penulis, merupakan pendukung Paulo Fraire terkait masalah pendidikan.
Kesepemahamannya dengan pemikiran Paulo Fraire yang menekankan pentingnya
kebebasan berekspresi, penolakan terhadap penyeragaman pemikiran para peserta
didik dan terkadang pendidikan menjadi satu alat bagi penguasa untuk
melanggengkan kekuasaannya dan menjadi kaki tangan kebijakan yang tak
berpihak pada kependidikan secara murni membuatnya tertarik untuk menengok
kembali sejarah masa silamnya dan pada akhirnya membuahkan kritik yang
disajikan dalam bentuk Iiksi.
. Sinopsis
Di sebuah kampung, bernama Baitul Makmur berdirilah sebuah pesantren
bersahaja bernama pesantren Abu Darda`. Pesantren yang dipimpin oleh Kyai
Mail ini tidak hanya membekali ilmu agama dan tata krama kepada para santrinya
tapi juga diwajibkan sekolah di madrasah Abu Darda` yang masih satu yayasan
dengan pesantren tersebut.
Di antara sekian banyak santri tersebutlah geng Komar yang
beranggotakan Komar, Purwoko si uthun, Jaim yang gaul dan Rosi. Keempatnya
duduk di kelas tiga Aliyah dan bertempat di kamar F kompleks al-Kautsar. Di
suatu pagi, Purwoko, Jaim dan Rosi memperdebatkan soal kecantikan Siti, putri
Pak Rahmad si kepala sekolah dengan Komar. Dan untuk membuktikannya
mereka bolos jam pertama dan nongkrong di warung Mak Tarwiyah. Naas bagi
mereka, belum berjumpa dengan Siti malah berjumpa dengan bapaknya. Pak
56

Rahmad memergoki mereka dan menggiring ke depan kantor guru untuk dihukum
mengangkat satu kaki dan tangan layaknya hukuman militer. Usai memberikan
instruksi Pak Rahmad pun sibuk dengan urusan kepala sekolahnya. Keempatnya
dibiarkan terpanggang matahari hingga Purwoko pun jatuh pingsan. Komar yang
cenderung Irontal jelas berang dan kebenciannya kepada Pak Rahmad yang tak
demokratis dan militeris semakin menumpuk.
Di lain kesempatan, Komar yang berproIesi sebagai pembina pramuka
membantu pembina pramuka lain yang kewalahan menghadapi seorang anggota
yang masih kelas satu bernama Siti. Setelah Komar menatap mata Siti ia justru
jatuh cinta pada pandangan pertama. Usai pertemuan itu baik Komar maupun Siti
sama-sama jatuh hati. Usut punya usut ternyata Siti yang disukainya adalah Siti
putrinya Pak Rahmad. Dan begitu berita tentang kedekatan antara Siti dengan
Komar sampai di telinga Pak Rahmad, ia pun naik pitam dan menskors Komar
yang tetap kukuh mencintai Siti. Malang, saat Komar menjalani skorsing, Siti
dikurung oleh Pak Rahmad lantaran menemukan Ioto-Ioto Komar di kamar Siti.
Pak Rahmad yang lebih sibuk mendekam diri di kamar memutar tasbih
dan misik memang tidak pernah memberikan kasih sayang yang cukup kepada
keluarganya. Ia dikenal sebagai seorang dukun dan memiliki benda-benda
keramat seperti keris. Di waktu yang sama Purwoko dan kawan-kawan
menggalang kekuatan untuk menurunkan Pak Rahmad dari jabatan kepala sekolah
lantaran penggelapan uang subsidi melalui demonstrasi. Hasilnya, Pak Rahmad
turun jabatan dan meski masih diminta mengajar ia memilih untuk mendekam di
rumah siang dan malam dan memutus akses sosial. Kenyataan ini membuat
56

perekonomian keluarganya lumpuh dan Bu Saudah istrinya terpaksa menggarap
sepetak sawah mereka. Keadaan Siti pun tragis. Dalam kamar ia hanya
menggumamkan nama Komar dan tubuhnya tinggal tulang belulang. Kepedihan
itupun ditambah dengan waIatnya Kyai Mail.
Melihat keadaan yang sedemikian rumit, Purwoko dan kawan-kawan
berinisiatiI mencari Komar. Melalui petunjuk Gus Rahman, mereka mengunjungi
keluarga Komar yang ternyata keturunan kyai-kyai besar. Melalui pencarian
panjang sampailah mereka ke ndalem Kyai Soleman paman Komar. Beliau
memberitahu bahwa Komar berada di makam Raden Santri. Setelah disusul ke
sana mereka pun menceritakan kejadian-kejadian tragis di Pesantren Abu Darda`
selama beberapa waktu saat Komar menjalani skorsing. Usai mendengar berita itu
Komar dan kawan-kawan segera kembali ke pesantren. Dengan dukungan Gus
Rahman, Komar bertamu ke rumah Pak Rahmad untuk menjelaskan duduk
perkaranya, sayangnya sesampainya Komar di sana, Pak Rahmad justru kalap. Ia
berIikir bahwa Komarlah penyebab lengsernya ia dari jabatan kepala sekolah dan
menghancurkan Siti. Sumpah serapah pun keluar dari mulut Pak Rahmad hingga
tanpa bisa dielakkan pergumulan Iisik pun terjadi, bahkan Pak Rahmad berusaha
menancapkan kerisnya ke tubuh Komar. Sementara itu Bu Saudah berusaha untuk
memapah Siti keluar dari kamar. Tanpa dinyana, Pak Rahmad justru tertawa-tawa
seperti orang gila. Untungnya pertengkaran itu bisa dilerai dengan kedatangan
Gus Rahman serta Purwoko dan kawan-kawan.
Beberapa hari kemudian Siti mulai pulih sementara Pak Rahmad
mengalami lumpuh total dan stroke dan schizoIrenia. Meskipun begitu, Bu
56

Saudah tanpa dendam dan kebencian menyatakan bahwa ia akan tetap setia
menunggu dan merawat Pak Rahmad sampai akhir hayat.
B. Nilai Edukatif dalam Novel
Berdasarkan pengertian nilai edukatiI pada bab sebelumnya, yakni
keseluruhan nilai yang bermuatan mendidik, mengajarkan kepada hal-hal yang
dianggap menjadi pakem di sebuah komunitas masyarakat. Nilai tersebut bisa
berupa kewajiban melakukan sesuatu, anjuran atau larangan. Maka nilai-nilai
edukatiI yang terdapat dalam novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini
terbagi menjadi beberapa nilai yang cakupannya lebih minimum. Dan dalam
kaitannya dengan penggalian nilai edukatiI, terkadang tidak dimaknai dari
paparan eksplisit, namun juga mafhum mukholafah-nya (makna sebaliknya dari
sebuah kalimat atau paparan). Nilai edukatiI dalam novel ini mendasarkan diri
pada dua dimensi, yakni
1. Dimensi transendental, yang terwujudkan dalam bentuk:
a. Upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Keimanan dan ketaqwaan merupakan modal dasar dan paling besar yang
harus dimiliki semua manusia. Kadar keimanan dan ketaqwaan bisa berkurang
dan bertambah (ya:id wa yankush) oleh karena itulah harus ada upaya-upaya
untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Sebagaimana yang
tertuang dalam narasi ini:
(Anak-anak itu tidak hanya dibekali ilmu agama dan tata krama, tapi fuga
diafarkan ilmu-ilmu dunia untuk meniti masa depan mereka. 1. 2)
Dan dikuatkan dalam 1: 3
56

(Setiap pagi, mereka berangkat sekolah. Sore harinya pulang ke asrama
pondok untuk mengikuti serangkaian kegiatan, seperti shalat berfamaah dan
mengafi.)
Dari sini dapat dilihat bahwa upaya meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan merupakan bagian dari nilai edukatiI.
b. Semangat melakukan ritual keagamaan
Dalam rangka merealisasikan upaya peningkatan keimanan dan
ketaqwaan, setiap orang harus memiliki semangat dalam melakukan ritual
keagamaan sebagaimana dicontohkan dalam narasi sebagai berikut:
(Seiring para santri keluar dari ruang kelas, sebuah corong speaker
bergetar lantang menyuarakan panggilan suci untuk segera menunaikan
sembahyang :uhur. Santri pun berduyun-duyun menufu tempat wudhu. Berderet
antri di beberapa kran untuk mengambil air wudhu.2. 1)
Semangat melakukan ritual keagamaan akan memupuk keimanan dan
ketaqwaan sehingga kita menjadi insan sholeh, sholihah. Semangat tersebut tidak
hanya di kala muda, sehat, luang, namun dalam semua keadaan seperti
dicontohkan kyai Mail dalam narasi sebagai berikut:
(Matahari yang sangat panas memaksa Kiai Mail menutupkan
surban.Bahkan, :uhur yang panas itu pun tak membuatnya u:ur memimpin
famaah menfadi imam..5. 1)
2. Dimensi sosial, yang dimaniIestasikan dalam sikap:
a. Tolong menolong
56

Tolong menolong merupakan nilai edukatiI yang patut dikembangkan
mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan
interaksi dan bantuan orang lain. Bila tak saling tolong menolong, maka roda
kehidupan manusia akan terhenti seketika. Sikap suka menolong akan
membuahkan siIat terpuji lain, misalnya mampu menghargai dan menghormati
orang lain, santun dan sebagainya.
Novel Love in Pesantren juga memuat nilai tolong menolong yakni:
(Seorang santri mendekat ke arah kiai. Sambil menunduk, ia membetulkan
letak sandal bakiyak kiai yang belum pas. 5. 2)
Dan diperkuat dengan narasi:
('Huu, kita semua fuga seluruh rakyat Indonesia, khususnya umat Islam,
sudah sama tahu kok kalau kamu nggak bakalan punya duit. Udah, biar aku afa
yang bayar'`42. 1)
b. Menyadari keterbatasan diri
Yang dimaksud dengan menyadari keterbatasan diri adalah mengakui
kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Dengan menyadari keterbatasan diri,
manusia tidak merasa sombong. Namun juga bukan berarti membuatnya merasa
kecil hati. Namun berusaha untuk mencari cara mengurangi kelemahan tersebut,
sebagaimana dicontohkan:
(Kiai Mail menoleh ke belakang, ke tempat santri muda itu berada,
tersenyum sambil menggelengkan kepala, mengekspresikan kekalahan oleh umur
yang terus menggerogotinya. 6. 1)
Juga narasi di bawah ini:
56

('Tapi, aku nggak bisa, Is'` Komar kebingungan. Bukannya ia tidak bisa
menangani pembangkangan-pembangkangan yang dilakukan anak buahnya, tapi
di tengah para gadis itulah yang membuatya kaku. 80. 1)
c. Amar ma`ruI nahi munkar
Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dan kadang ia tidak atau
belum menyadari kesalahannya. Karena itu, ia butuh saran dan kritik dari orang
lain. Dan banyak orang belum mengetahui mana yang salah dan mana yang benar,
mana yang patut dan tidak untuk dilakukan, karena itu ia butuh bimbingan,
anjuran, mauidhoh hasanah terlebih uswatun hasanah. Kedua jenis kegiatan
dalam rangka menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran inilah
yang dikenal dengan istilah amar maruf nahi munkar.
Dua narasi di bawah ini akan memberikan gambaran yang lebih gamblang.
('Nah, makanya kamu harus menggunakan masa mudamu sebaik-
baiknya. Karena, kalau tua nanti kamu hanya bisa mengingat Allah, tak ada yang
lain. Kalau tidak, sia-sialah kamu,` Kiai Mail menasihati. 9. 1)
(Keamanan pondok itu memasuki kamar demi kamar, menyalakan lampu
sambil terus berkoar. Lalu terdengar gedebag-gedebug suara gebukan safadah
pada punggung, kaki, atau lantai kamar membikin suara gaduh yang bisa
membuat mereka terbangun. 20. 2)
d. Sigap menghadapi masalah
Sigap menghadapi masalah menunjukkan tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap realitas dan mampu menyikapinya dengan cara yang tepat. Sikap ini
merupakan bentuk nilai edukatiI yang biasa dimiliki masyarakat paguyuban yang
56

cenderung lebih peduli terhadap lingkungan dibandingkan masyarakat
patembayan yang individualis.
Dua narasi di bawah ini merupakan implementasi nilai tersebut:
(Mata seorang Keamanan berkeliling memandangi isi kamar F.ia hanya
menggelengkan kepala ketika melihat sosok Purwo yang masih pulas di
tempatnya.Tanpa babibu lagi, air itu pun ia tumpahkan ke tubuh Purwo. 30. 2).
(Wafah Komar semakin gelisah, bahkan tampak marah, apalagi melihat
kondisi Purwo. Langsung safa ia berlari menufu kantor sekolahan yang terletak
hanya beberapa meter safa di depannya.. 58. 3-59. 1)
Dua narasi di atas hanya serpihan kecil dari implementasi sikap yang
memiliki muatan edukatiI ini.
e. Mampu menerima perubahan
Tidak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri, begitulah kata
orang bijak. Karenanya, membuka diri untuk perubahan menuju arah yang lebih
baik perlu dilakukan. Sebagaimana gagasan untuk senantiasa mengembangkan
pendidikan merupakan nilai edukatiI yang harus dikembangkan demi kemajuan
pendidikan pada umumnya, pendidikan Islam pada khususnya. Sebagaimana
narasi di bawah ini:
(Tapi semenfak Kiai Mail.memasrahkan tetek bengek pesantren kepada
putera-puteri dan menantunya, bersemilah perubahan-perubahan itu. Berdirilah
Madrasah Tsanawiyah yang setingkat SMP, fuga Madrasah Aliyah yang setingkat
SMU.18. 2)
Dan ditegaskan dalam narasi:
56

('.kita harus berani bertarung dengan kebudayaan Barat yang telah kuat
menyerang kehidupan bangsa kita. Generasi Islam harus mampu menguasai
kemajuan agar siap menghadapi zaman yang modern ini. Tinggalkan kemalasan,
bersungguh-sungguhlah.116. 1)
Jadi, mau menerima dan melakukan perubahan adalah sikap yang patut
dikembangkan.
I. Kemandirian
Sikap mandiri merupakan sikap positiI yang harus dimiliki semua orang
yang menginginkan kemajuan dan kedigdayaan. Namun, hal ini memang sangat
sulit terealisasi apalagi untuk bangsa Indonesia yang cenderung pemalas, suka hal
yang instan, namun sangat haus kekuasaan. Contoh riilnya adalah kebijakan
pemerintah untuk hutang kepada IMF, mengandalkan tenaga asing dalam banyak
perusahaan bahkan dalam persepakbolaan. Sikap tak mandiri membuat orang
tidak produktiI, tidak dapat diandalkan, selalu menggantungkan keberhasilan pada
orang lain. Sikap mandiri bukan berarti independen dan asosial, melainkan
mampu bertanggungjawab secara penuh terhadap hidupnya tanpa melulu
mengandalkan orang lain.
Narasi di bawah ini menunjukkan nilai edukatiI ini:
(Yang membuat Komar takfub lagi adalah kegigihan Kiai Mail untuk tidak
minta tolong kepadanya.. 17. 4)
(Sebenarnya, banyak santri yang ingin menuntun, tapi sang kiai tak mau.
Ia lebih memilih tongkat untuk menolongnya berfalan.. 5. 1)
g. Prinsip keadilan
56

Dalam 'Love in Pesantren kaya akan prinsip keadilan. Terutama terkait
dengan keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman. Namun, keadilan yang
sesungguhnya tidak hanya dalam hal menjatuhkan hukuman, tapi juga dalam
memberikan tanggungjawab dan hak.
Demikian diceritakan Shachree:
('Pak, kalau mau menghukum ya hukumlah, tapi fangan perlakukan kami
seperti hewan. Dihukum lalu ditinggal, apa untungnya bagi kami dengan
hukuman ini. Jera?' Jangan harap kami akan fera, Pak' Bahkan kami akan
dendam'` 61. 4)
Narasi di bawah ini merupakan contoh keinginan seseorang agar
mendapatkan keadilan.
(Tapi, ia hanya bisa mengangguk dengan hukuman yang diterimanya,
tanpa banyak tuntutan, meskipun ia merasa sepihak. Atau, seorang murid kadang
telah kalah dengan sistem apalagi sekolah macam MA. Abu Darda yang
menekankan aspek pembentukan moral pada muridnya. Tanpa menekankan aspek
keseimbangan dan pemerataan keadilan baik bagi murid, guru, karyawan, kepala
sekolah, maupun lainnya. 72. 1)
h. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
Lingkungan merupakan Iaktor yang mempengaruhi tumbuhkembang
seseorang. Karenanya, perlu diciptakan lingkungan yang sarat nuansa religius
sebagaimana yang tertuang dalam narasi:
56

(Jam empat lima belas pagi, suara speaker pengafian di masfid mengalun
bagai iringan tentara yang berbaris meneriakkan bentakan keras ke telinga
anggotanya yang masih tertidur. 19. 1)
(Meskipun untuk furusan IPS dan IPA antara putera dan puteri nggak
dipisah ruang, mereka nggak boleh nyampur. Tempat duduk murid puteri berada
di belakang putera. Tufuannya untuk menghindari pola hubungan yang kadang
terlalu berani. 57. 1)
i. Menghargai perbedaan
Setiap manusia dilahirkan berbeda, bahkan yang kembar sekalipun.
Keragaman itu bukan hanya dari segi Iisik, tapi juga karakter, siIat, ras, agama,
pandangan hidup, cara berIikir, usia dan lain sebagainya.
(Komar hanya diam, matanya tafam menatap mata tua itu, yang fuga
sangat kuat menghufam dirinya tatkala saling menatap. Keduanya, dengan
tatapan masa dan usia yang berbeda. Pak Asnil dengan keegoisannya sebagai
seorang yang tua dan dituakan, sedang Komar dengan keangkuhan anak muda
yang tak mau diatur-atur dan direndahkan rasa kemanusiaannya. 66. 1)
Sikap tidak menghargai perbedaan akan melahirkan sikap otoriter, merasa
paling mulia, paling benar, menginginkan setiap orang berIikir sama dengan
dirinya dan lain sebagainya. Sikap seperti ini sama sekali jauh dari unsur edukatiI
sebagaimana digambarkan:
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan bermanfaat.
56

Padahal, hal itu fustru menfadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menfadi moral yang membelenggu. 72. 2)
j. Menghargai dan menghormati sesama manusia
Tak ada seorang pun yang tak ingin dihormati dan dihargai. Penghormatan
dan penghargaan itupun bukan hanya milik para orang tua, konglomerat atau
pejabat, melainkan milik semua orang. Karenanya, apabila seseorang merasa
direndahkan, dilecehkan, tentu ia akan merasa tersinggung. Oleh karenanya, novel
ini pun tak luput dari nilai edukatiI ini.
Demikian narasi terkait dengan nilai di atas.
(Dalam Ta`limul Muta`allim kita harus menghormati keluarga kiai, tidak
boleh menyakiti, apalagi menggoda 14. 7)
Dan dikuatkan oleh narasi berikut ini:
('Gimana mau barokah Pak, wong mudarrisnya safa kasar dan tidak
memanusiakan manusia. Guru macam apa itu, men.` 68. 1)
k. BerIikir kritis mengenai kehidupan
Dalam banyak ayat disebutkan 'apakah kamu tidak berIikir?.
Artinya, berIikir kritis merupakan sebuah keharusan. Karena dengan
berIikir kritis, seseorang akan menemukan kebenaran dengan cara yang logis.
Tanpa berIikir kritis dan mendalam, tak mungkin lahir rumus-rumus Iisika, kimia.
Tak mungkin lahir ilmu-ilmu pengobatan, ilmu Iiqh, taIsir dan sebagainya.
Novel Love in Pesantren juga memuat nilai ini.
(Anak-anak itu bukan lagi para pendengar dan penyimak yang pasif.
Mereka adalah para pemikir dan pembaca yang selalu punya kegelisahan dalam
56

fiwanya. Ada kebenaran yang ingin mereka usung. Kebenaran yang harus melalui
sebuah kritik. 217. 1)
('Justru itu Ros, kalau ini tempat suci seharusnya dari tempat inilah
kesucian dan kefufuran itu lahir. Dari tempat seperti pesantrenlah orang-orang
yang fufur lahir, bukan fustru memelihara bangkai. Jadi, kita harus membuang
bangkai-bangkai itu. 212. 2)
Dari sini, kita bisa melihat pentingnya berIikir kritis terhadap kehidupan.

l. Mau memaaIkan
'Setiap manusia pasti pernah sakit hati, hanya yang berjiwa ksatria yang
mampu memaaIkan, demikian petikan syair dalam Iilm Petualangan Sherina.
Demikianlah manusia diciptakan. Memiliki keterbatasan dan tak luput dari salah
maupun dosa. Oleh karena itulah, sepatutnya nilai ini bisa dimiliki oleh siapapun
agar dunia menjadi lebih tenang, tak ada permusuhan maupun peperangan.
Sikap tak mau memaaIkan kesalahan yang sebenarnya tidak prinsipil,
sedang yang melakukan kesalahan telah diganjar oleh hukuman, hanya akan
menyisakan sakit hati, bahkan dendam, sebagaimana narasi di bawah ini:
('Kalau kalian tidak kuat dengan hukuman ya fangan berbuat salah. Itu
salah kalian sendiri, ya tanggunglah resikonya'` Pak Sadeli meninggikan
suaranya bahkan dengan mimik muka kebencian. Tentu safa membuat Komar
semakin terpancing emosinya, dan pertahanan itu pun febol menfadi deru emosi
yang memuncak. 61. 1)
('Apa yang akan Ibu lakukan dengan Abah?` Tanya Siti kepada ibunya.
56

'Ibu akan menunggui Abahmu selamanya, Anakku,` fawab Bu Saudah
dengan tersenyum. Senyum yang paling suci. Tak ada dendam atau kebencian.
272. 2-3)
Narasi kedua menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa sikap mampu
memaaIkan akan menumbuhkan ketenangan jiwa.
m. Mampu menerima kritik
Karena manusia merupakan makhluk yang tak luput dari salah dan dosa
serta terkadang tak mampu menilai diri dan tindakannya secara lebih objektiI,
maka ia membutuhkan kritik dan saran dari orang lain. Kritik dan saran yang
konstruktiI dan realistis harus bisa diterima meski datangnya dari orang yang lebih
muda atau lebih rendah status sosial-ekonominya.
Novel ini mencoba menghadirkan contoh perlawanan akibat menjamurnya
guru yang anti kritik, menganggap diri paling benar lalu bersembunyi di balik
ajaran ketakdziman.
(Ustad: adalah sumber kebenaran yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan,
tak farang orang masih menganggap kalau kesalahan yang terfadi atas ustad:,
kiai, atau manusia suci lainnya adalah kebenaran yang tersembunyi. Kemutlakan
yang seharusnya cuma milik Tuhan. 200. 1)
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan bermanfaat.
Padahal, hal itu fustru menfadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menfadi moral yang membelenggu. 72. 2)
n. Bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain.
56

Sikap lembut apada orang lain akan membuat orang lain merasa nyaman.
Karenanya, ini termasuk nilai yang mendidik dan sepatutnya dimiliki semua
orang. Keramahan dan welas asih akan mendekatkan hati dan tali silaturrahmi.
Tanpanya, antara satu orang dan orang lainnya akan sangat berjarak, saling rikuh
dan asing. Dan bila sikap lembut benar-benar tak dimiliki seseorang, dia akan
menjadi orang yang keras hati dan dibenci.
Kyai Mail dalam kisah ini, adalah sosok paling disegani, tapi beliau
memiliki kelembutan hati pada santri yang masih muda.
('Sebenarnya aku ini masih muda, seleraku itu selera muda tapi tubuh ini
yang tidak bisa diafak kompromi.` Anak muda bernama Komaruddin itu agak
kaget fuga mendengar kelakar sang kiai. 8. 2-3)
Demikianlah seharusnya sikap itu diaplikasikan dan bukan sebaliknya,
seperti dalam narasi di bawah ini:
(Sebenarnya fauh di lubuk hati, Komar merasa menyesal atas semua yang
telah dilakukannya di sekolah. Namun, sikap Pak Rahmad kepadanya fustru
membuatnya marah dan dendam. Sefak kelas satu ia menyimpan dendam itu.
Andai hatinya yang membatu itu tidak malah dibenturkan dengan gunung dan
bafa. Tapi, akan luluh dan tunduk fika dihadapi dengan sikap yang lembut, penuh
kasih sayang, serta bimbingan. Tentu ceritanya akan lain. 167. 1)
o. Bersikap optimis, tidak putus asa.
'Janganlah kalian berputus asa! Demikian nasehat Allah dalam Al
Qur`an. Orang yang cepat berputus asa cenderung kurang berjuang, pesimis,
skeptis dan memandang kehidupan adalah sebagai ladang kesusahan. Sebaliknya,
56

sikap optimis akan membangkitkan gairah hidup, semangat juang, keceriaan juga
keteguhan hati. Demikian dipaparkan dalam narasi:
('Iya, Pak,` Jawabnya lirih sambil membuang muka ke samping.
Menyembunyikan rasa malu yang menyelimuti dirinya yang kalah dan
merebahkan diri pada moral yang diafarkan sekolah dan pesantren. Meski ia
yakin pertempuran belum usai, ya perang kebebasan belum berakhir' 70. 3)
(Hari ini seolah ia kalah. Kebenciannya pada Pak Rahmad kini harus
dibalas dengan bayangan kesakitan di hatinya. Haruskah ia membatalkan cinta
dan putus dengan Siti. Ah bendera telah berkibar, segenap anak panah telah
meluncur, tak mungkin menarik kembali pasukan. 167. 2)
C. Hal-Hal yang Kurang Relevan dalam Pola Interaksi Guru dan Murid di
Pesantren dalam Novel Love in Pesantren Karya Shachree M. Daroini
Berdasarkan pembacaan, reIleksi dan analisis terhadap Novel Love in
Pesantren terdapat beberapa hal yang kurang relevan untuk tetap diterapkan dalam
pesantren Abu Darda` tempat Geng Komar bersekolah yang terkait dengan
interaksi guru dan murid. Hal ini ditandai dengan konIrontasi yang kemudian
terjadi akibat ketidakharmonisan hubungan guru-murid tersebut.
Demikian paparan data:
1. Mereka berdiri menghadap jalan di depan kantor, jalan satu-satunya yang
menghubungkan lapangan dan sekolahan. Tentu saja kalau ada yang lewat,
dengan mudah bisa menebak kalau mereka lagi dihukum. Apalagi, hukuman
yang mereka terima saat itu adalah mengangkat tangan sambil menekuk kaki
56

sebelah. Yah, ala militerlah. Begitulah kalau Pak Rahmad menghukum.
Hukuman kuno, selalu saja hukuman Iisik. (52: 1)
2. Komar dan teman-temannya masih berdiri. Peluh mulai menetes membasahi
baju mereka, bahkan wajah purwo sudah mulai pucat. Hanya Komar yang
masih kelihatan segar. Mungkin karena ia sekali-kali duduk. Bukannya ia
tidak tahan dengan hukuman itu, tapi ia merasa direndahkan dengan hukuman
itu. Bahkan, Komar kini semakin marah ketika melihat ketiga temannya itu
tampak kecapekan dan tubuhnya mulai lemah, terutama Purwo.Komar jadi
gelisah. Berkali-kali matanya melongok ke arah pintu kantor. Namun, Pak
Rahmad tak juga keluar. (58: 1-2)
3. 'Heh, kamu kan sedang dihukum, kenapa masuk ke kantor!? tanyanya lagi
dengan nada tinggi.
'Saya hanya pengen ketemu Pak Rahmad, Pak! Komar menjawab,
berusaha merendahkan nada bicaranya.
'Sudah, sudah! Pak Rahmad sedang sibuk. Ada yang bisa saya urus! (59 : 5)
4. 'Kurang ajar! Dan, plakkk! Satu tamparan bersarang di muka Komar, kontan
saja membuat mata anak muda itu memerah, selain menahan sakit juga
menahan amarahnya yang sudah memuncak. (61: 5)
5. 'Tapi, waktu itu kan saya hanya menggambar daun singkong, Pak! Masak
nggambar daun singkong dikira daun ganja, lagi pula.
'Cukup! Kamu sudah melakukan kesalahan waktu itu!
56

Hati Komar berdetak lagi agak keras, darahnya mulai naik. Ia berusaha
menurunkannya namun sikap Pak Asnil telah memancing emosi mudanya
yang keras. (65: 2-4)
6. 'Kamu seharusnya berusaha menerapkan ilmumu dalam kehidupanmu.
Cobalah kamu baca kembali Talimul Mutaallim karya Syaikh az-Zarnuji.
Apa pantas seorang murid. (68: 2)
'Kalau kamu menjadi orang yang pendiam, suka mendengarkan, dan taat pada
guru, yakinlah pasti kamu akan mendapatkan ilmu yang barokah, ilmu yang
akan membuat kamu menjadi orang yang mengerti akan kehidupan. (69: 1)
7. Tapi, ia hanya bisa mengangguk dengan hukuman yang diterimanya, tanpa
banyak tuntutan, meskipun ia merasa sepihak. Atau, seorang murid kadang
telah kalah dengan sistem apalagi sekolah macam Madrasah Aliyah Abu
Darda` yang menekankan aspek pembentukan moral pada muridnya. Tanpa
menekankan aspek keseimbangan dan pemerataan keadilan baik bagi murid,
guru, karyawan, kepala sekolah, maupun yang lainnya. (72: 1)
8. Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan manIaat.
Padahal, hal itu justru menjadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menjadi moral yang membelenggu. (72: 2)
9. 'Anak muda, apa kamu tidak diajarkan Talimul Mutaallim?
'Iya, Pak. Saya diajarkan.
'Nah mana sopan santunmu kepada guru?
56

Mendengar ajaran kitab dijadikan landasan untuk memojokkan, kontan Komar
merasa semakin dihina atas kebodohannya. Ia pun tersontak, Pak, dalam
kitab Talimul Mutaallim yang dimaksud guru adalah yang selalu
menebarkan kasih sayang, peduli sesama manusia, mengerti perasaan sang
murid, baik dalam maupun luar jiwa dan raganya. Makanya ia tidak dijadikan
pembimbing sebatas mengajarkan ilmu, tapi juga pembimbing jalan batiniah.
Nah, bagaimana saya bisa menghormat kalau seorang guru ternyata adalah
pembenci, pendendam, dan sang otoriter yang tidak menghargai cinta kasih?
'Kurang ajar! Lanatullah! Berani sekali kamu menghina gurumu! Pak
Rahmad bangkit dari duduknya. 'Hei Anak Muda, mulai hari ini kamu
diskors... (197: 5-6, 198: 1-3)
10. Dan, ustadz adalah sumber kebenaran yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan,
tak jarang orang masih menganggap kalau kesalahan yang terjadi atas ustadz,
kiai, atau manusia suci lainnya adalah kebenaran yang tersembunyi.
Kemutlakan yang seharusnya cuma milik Tuhan. Memang, itu ada benarnya
dalam konteks ketasawuIan. Namun, apakah kemutlakan itu berlaku bagi
ustadz yang menyalahgunakan otoritas kesakralannya untuk bersembunyi dan
mengadili yang dianggap salah. (200: 1)
Dari beberapa bentuk interaksi yang menurut penulis kurang relevan
inilah, diharapkan ada Iormula baru berdasarkan analisis novel ini demi perbaikan
harmonisasi interaksi guru dan murid dalam realitas pesantren.

56

D. Reformulasi Pola Interaksi Guru dan Murid di Pesantren dalam Novel
Love in Pesantren Karya Shachree M. Daroini
Dalam rangka memperbaiki pola interaksi guru dan murid, Shachree
melontarkan kritik yang sekaligus sebagai bentuk tawaran atas interaksi yang
terlanjur kaku di MA Abu Darda`. Sehingga, berdasarkan permasalahan yang
muncul dalam interaksi guru dan murid, maka dari nilai-nilai edukatiI yang
dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, yang bisa diterapkan sebagai reIormulasi
pola interaksi guru dan murid di pesantren adalah sebagai berikut:
a. Upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
b. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
c. Menghargai dan menghormati sesama manusia
d. Bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain
e. Menghargai perbedaan
I. Prinsip keadilan
g. BerIikir kritis mengenai kehidupan
h. Mampu menerima perubahan
i. Mampu menerima kritik
j. Mau memaaIkan
Adapun narasi, halaman beserta paragraI dari nilai-nilai di atas, telah
dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, mengenai nilai-nilai edukatiI dalam novel
Love in Pesantren. Selanjutnya, analisis terhadap keseluruhan sub bab ini akan
dibahas di bab V.
56

BAB V
PEMBAHASAN
A. Relevansi Novel
Ketika seorang pengarang mencipta, mengumpulkan, dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya, membagi peran antara mereka, maka
secara sadar atau tidak sadar, ciptaannya juga akan dipengaruhi oleh pandangan
hidup pengarangnya sendiri baik dari segi IalsaIah hidup, keyakinan agama, atau
ideologi politik. Semuanya akan memberi warna, tekanan, dan arah pada ciptaan
seorang pengarang. Namun, seorang pengarang terlebih dahulu merupakan
seorang anak manusia dan anggota masyarakat. Dia juga terpengaruh, terbentuk
oleh masyarakat. Pengarang hidup di tengah kehidupan manusia, dia mengenal
pertentangan atau perbenturan antara yang baik dan yang jahat, yang tragik,
heroik maupun komis.
44

Shachree M. Daroini, selaku pengarang novel Love in Pesantren pun tak
lepas dari basisnya selaku santri di pesantren terkenal Al Islam yang terletak di
Ponorogo, tak jauh dari Pesantren Modern Gontor. Dalam perjalanan
kependidikannya, Shachree ditempa selama enam tahun di pesantren sekaligus
menjadi murid di MTs dan MA Al Islam. Saat ia mulai memasuki bangku kuliah
dan bergesekan dengan metode-metode baru dalam pembelajaran serta realitas
mengenai pola interaksi dosen dengan mahasiswa yang cenderung lebih terbuka,
membuatnya tertarik untuk menengok kembali sejarah masa lalunya dan
mengintrepretasikan segenap pengalaman sekolah plus mondok dulu sebagai

44
Mochtar Lubis, Sastra dan Tekniknya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 6
56

bahan kajian. Kesepemahamannya dengan pemikiran Paulo Fraire yang
menekankan pentingnya kebebasan berekspresi, penolakan terhadap
penyeragaman pemikiran para peserta didik dan terkadang pendidikan menjadi
satu alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dan menjadi kaki
tangan kebijakan yang tak berpihak pada pendidikan secara murni inilah yang
kemudian membentuk pola pikir, menggoreskan pengalaman sekaligus
mengilhaminya untuk menuangkan pemberontakannya dalam bentuk tulisan.
Kedekatan tulisan Shachree dengan realitas di pesantren inilah yang mendorong
penulis untuk mengkaji novel Love in Pesantren dan menjadikannya inspirasi
dalam mereIormulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren.
Dalam novel Love in Pesantren ini, banyak ditemukan nilai-nilai edukatiI
yang bisa digunakan sebagai reIleksi dalam realitas kehidupan. Karena
bagaimanapun, sastra, termasuk novel bukan sekedar khayalan tanpa mendasarkan
diri dari realitas yang terjadi dalam kehidupan. Sebab, antara manusia dengan
manusia lain dalam sebuah komunitas masyarakat pasti ada proses saling
mempengaruhi. Jika kita menerima sastra sebagai suatu ekspresi seni pengarang
yang peka terhadap apa yang hidup dalam masyarakatnya dan memiliki daya
observasi yang tajam lalu menuangkan hasil pengamatan dan analisanya melalui
karya sastra, maka bisa dikatakan bahwa sastra memiliki peran signiIikan dalam
mengawal perubahan masyarakat dari sekian ribu denyutan yang memicu
perubahan tersebut. Kalaulah sebagian orang menyatakan bahwa novel tidak
memberikan pengaruh dan tidak mendasar pada realitas, pastilah karya-karya
Pramudya Ananta Toer dulu tidak dibredel, atau Poema del Cid, sebuah karya
56

sastra yang memberi inspirasi rakyat Castilia merebut tanah air mereka dari
kekuasaan Arab tidak dikenang.
Begitupun dengan novel Love in Pesantren ini, meski kredibilitasnya jauh
di bawah Pram, penulis memandang bahwa nilai yang terkandung di dalamnya
cukup representatiI dan ringan dibaca siapa saja.
B. Analisis Nilai Edukatif yang Terdapat dalam Novel Love in Pesantren
Karya Shachree M. Daroini
Demikian analisis nilai-nilai edukatiI yang terdapat dalam novel Love in
Pesantren karya Shachree M. Daroini
Nilai edukatiI yang diartikan sebagai nilai positiI dalam interkasi
pembelajaran akan senantiasa mengusung nilai-nilai religius, moral, etika dan
estetika, oleh karenanya tentu berhubungan dengan penanaman nilai yang
didasarkan pada aturan yang menyangkut dimensi transendental (vertikal) dan
dimensi sosial (horisontal). Sehingga dapat kita kategorikan dan analisis sebagai
berikut:
1. Dimensi Transendental:
a. Upaya meningkatkan keimanan dan keta6waan.
Keimanan dan ketaqwaan merupakan modal dasar dan paling besar yang
harus dimiliki semua manusia. Kadar keimanan dan ketaqwaan bisa berkurang
dan bertambah (ya:id wa yankush) oleh karena itulah harus ada upaya-upaya
untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Sebagaimana yang
tertuang dalam narasi ini:
56

(Anak-anak itu tidak hanya dibekali ilmu agama dan tata krama, tapi fuga
diafarkan ilmu-ilmu dunia untuk meniti masa depan mereka. Halaman 1.
paragraf 2, untuk selanfutnya hanya ditulis 1. 2)`
Dan dikuatkan dalam 1: 3
(Setiap pagi, mereka berangkat sekolah. Sore harinya pulang ke asrama
pondok untuk mengikuti serangkaian kegiatan, seperti shalat berfamaah dan
mengafi.)
Analisis: Dalam narasi (1) digambarkan bahwa pembekalan ilmu baik ilmu
agama maupun ilmu umum haruslah berjalan seimbang. Keduanya diperlukan
sebagai wahana meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Ketaatan yang
didasarkan pada pengetahuan dan rasio tidak akan mudah goyah. Apalagi jika
penanaman keimanan tersebut dilakukan sedini mungkin.
Dalam surat Ibrahim ayat 3 dijelaskan:
lllllllll lllllllllllll
llllllllllll llllllllll lllll
llllllllll lllllllllll lll
lllllll llll llllllllllllll
lllllll l llllllllllll lll
lllllll lllllll lll
Artinya. 3.(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai
kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-
halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan
Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang
jauh.
56

Narasi (2) menunjukkan bahwa rangka peningkatan keimanan dan
ketaqwaan diperlukan lingkungan yang mendukung. Yang dimaksud lingkungan
adalah sistem pengajaran, pola interaksi, peraturan, pengawasan, maupun
bimbingan. Hal ini merupakan upaya riil meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT.
Dalam Surat Al-Ahzab ayat 70 dijelaskan:
lllllllllll lllllllll
llllllllll lllllllll llll
llllllllll llllll llllllll
llll

Artinya. . Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.
b. Semangat melakukan ritual keagamaan
Dalam rangka merealisasaikan upaya peningkatan keimanan dan
ketaqwaan, setiap orang harus memiliki semangat dalam melakukan ritual
keagamaan sebagaimana dicontohkan dalam narasi sebagai berikut:
(Seiring para santri keluar dari ruang kelas, sebuah corong speaker
bergetar lantang menyuarakan panggilan suci untuk segera menunaikan
sembahyang :uhur. Santri pun berduyun-duyun menufu tempat wudhu. Berderet
antri di beberapa kran untuk mengambil air wudhu.2. 1)
Semangat melakukan ritual keagamaan akan memupuk keimanan dan
ketaqwaan sehingga kita menjadi insan sholeh, sholihah. Semangat tersebut tidak
hanya di kala muda, sehat, luang, namun dalam semua keadaan seperti
dicontohkan kyai Mail dalam narasi sebagai berikut:
56

(Matahari yang sangat panas memaksa Kiai Mail menutupkan
surban.Bahkan, :uhur yang panas itu pun tak membuatnya u:ur memimpin
famaah menfadi imam..5. 1)
Analisis: dalam narasi (1) dipaparkan bahwa sekalipun penat usai
mengikuti mata pelajaran, para murid tetap bersemangat melakukan sholat dzuhur
berjama`ah. Semangat dalam melakukan ritual keagamaan merupakan sebuah
nilai edukatiI yang layak dimiliki semua orang, apalagi di tengah kehidupan yang
serba praktis-hedonis. Semangat beragama akan memunculkan keseimbangan
dunia-akhirat hingga manusia mampu merasakan kebahagiaan yang hakiki.
Surat Az ZukhruI 35 menjelaskan:
lllllllllll l lllll llll
lllllll lllll lllllll
llllllllllll llllllllll l
llllllllllll lllll lllllll
lllllllllllll llll
Artinya: 35. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan
(dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah
kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi
Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Narasi (2) pun demikian. Kesepuhan dan kelemahan tubuh Kyai Mail tak
mengendurkan semangat beliau untuk istiqomah memimpin jama`ah. Semangat
ini mutlak dimiliki agar dalam melaksanakan ritual keagamaan terasa
menyenangkan dan ringan. Agama dengan segala tanggungjawabnya (taklif) tidak
ditempatkan sebagai beban melainkan sebagai sebuah penghormatan (tarhim)
terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk paling mulia.
56

Dalam Al Hajj 78 dijelaskan:
llllllllllll lll llll llll
llllllllll l llll
lllllllllllll lllll llllll
llllllllll lll lllllllll llll
llllll l lllllll lllllllll
llllllllllll l llll lllllllll
lllllllllllllll lll llllll
lllll llllll lllllllll
llllllllll llllllll
llllllllll llllllllllll
llllllllll lllll llllllll l
llllllllllll lllllllllll
llllllllll lllllllllll
lllllllllllllll llllll llll
lllllllllll l llllllll
llllllllllll llllllll
llllllllll llll

Artinya: . Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)
telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu,
dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
56

pelindungmu, Maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong.
2. Dimensi sosial, yang termaniIestasikan dalam:
a. Tolong menolong
Tolong menolong merupakan nilai edukatiI yang patut dikembangkan
mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan
berinteraksi dan bantuan orang lain. Bila tak saling tolong menolong, maka roda
kehidupan manusia akan terhenti seketika. Sikap suka menolong akan
membuahkan siIat terpuji lain, misalnya mampu menghargai dan menghormati
orang lain, santun dan sebagainya.
Novel Love in Pesantren juga memuat nilai tolong menolong yakni:
(Seorang santri mendekat ke arah kiai. Sambil menunduk, ia membetulkan
letak sandal bakiyak kiai yang belum pas. 5. 2)
Dan diperkuat dengan narasi:
('Huu, kita semua fuga seluruh rakyat Indonesia, khususnya umat Islam,
sudah sama tahu kok kalau kamu nggak bakalan punya duit. Udah, biar aku afa
yang bayar'` 41: 9)
Analisis: Narasi (1) menunjukkan bahwa tanggap pada persoalan dan
kesulitan orang lain akan membuahkan sikap suka menolong orang lain. Komar
(santri yang dimaksud di atas), walaupun terkenal badung, ia punya sense of
social yang tinggi, apalagi terhadap Kyai Mail yang amat dihormatinya. Sikap ini
sarat dengan nilai edukatiI, nilai yang mendidik seorang anak menuju akhla6ul
karimah.
56

Al Maaidah ayat 2 menyatakan:
lllllllllll lllllllll
llllllllll ll lllllllll
llllllllll llll llll lllllllll
lllllllllll llll llllllllll
llll llllllllllllll llll
llllllllll llllllllll
lllllllllll lllllllllll
llllll llll lllllllll
llllllllllll l lllllll
llllllllll llllllllllllll l
llll llllllllllllll lllllllll
llllll lll lllllllll llll
llllllllllll lllllllllll lll
lllllllllll l llllllllllllll
lllll lllllllll lllllllllllll
l llll llllllllllll lllll
llllllll lllllllllllllll l
lllllllllll llll l llll llll
lllllll lllllllllll lll

Artinya: 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keridhoan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram,
56

mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

b. Menyadari keterbatasan diri
Yang dimaksud dengan menyadari keterbatasan diri adalah mengakui
kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Dengan menyadari keterbatasan diri,
manusia tidak merasa sombong. Namun juga bukan berarti membuatnya merasa
kecil hati. Namun berusaha untuk mencari cara mengurangi kelemahan tersebut,
sebagaimana dicontohkan:
(Kiai Mail menoleh ke belakang, ke tempat santri muda itu berada,
tersenyum sambil menggelengkan kepala, mengekspresikan kekalahan oleh umur
yang terus menggerogotinya. 6. 1)
Juga narasi di bawah ini:
('Tapi, aku nggak bisa, Is'` Komar kebingungan. Bukannya ia tidak bisa
menangani pembangkangan-pembangkangan yang dilakukan anak buahnya, tapi
di tengah para gadis itulah yang membuatya kaku. 80. 1)
Analisis: Narasi (1) sikap menyadari keterbatasan diri akan membuat
manusia senantiasa mawas diri, tidak merasa paling unggul dibandingkan manusia
yang lain, menghargai orang lain dan mau mengakui kesalahan. Namun, sikap ini
bukan berarti membuat manusia menjadi mudah menyerah dengan keadaan.
56

Namun justru, mampu mengukur kekuatan, mengidentiIikasi kelemahan untuk
menemukan solusi atas keterbatasan.
Narasi (2) senada dengan narasi pertama, bahwa dengan menyadari
keterbatasan diri, seseorang dapat menyusun strategi untuk mengatasi
keterbatasan. Surat Luqman ayat 18-19 menjelaskan:
llll lllllllll llllll llllllll
llll llllll lll llllllll
lllllll l llll llll ll llllll
llll lllllllll lllllll llll
llllllllll lll llllllll
llllllllll lll llllllll l llll
lllllll lllllllllll llllllll
lllllllllll llll

Artinya: 1. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu
dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. 19. Dan
sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.

c. Amar maruf nahi munkar
Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dan kadang ia tidak atau
belum menyadari kesalahannya. Karena itu, ia butuh saran dan kritik dari orang
lain. Dan banyak orang belum mengetahui mana yang salah dan mana yang benar,
56

mana yang patut dan tidak untuk dilakukan, karena itu ia butuh bimbingan,
anjuran, mauidhoh hasanah terlebih uswatun hasanah. Kedua jenis kegiatan
dalam rangka menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran inilah
yang dikenal dengan istilah amar maruf nahi munkar.
Dua narasi di bawah ini akan memberikan gambaran yang lebih gamblang.
('Nah, makanya kamu harus menggunakan masa mudamu sebaik-
baiknya. Karena, kalau tua nanti kamu hanya bisa mengingat Allah, tak ada yang
lain. Kalau tidak, sia-sialah kamu,` Kiai Mail menasihati. 9. 1)
(Keamanan pondok itu memasuki kamar demi kamar, menyalakan lampu
sambil terus berkoar. Lalu terdengar gedebag-gedebug suara gebukan safadah
pada punggung, kaki, atau lantai kamar membikin suara gaduh yang bisa
membuat mereka terbangun. 20. 2)
Analisis: Yang dimaksud amar maruf nahi munkar yakni menyuruh pada
kebaikan dan mencegah dari keburukan. Kedua narasi di atas menunjukkan bahwa
dalam rangka amar maruf nahi munkar diperlukan metode yang tepat. Dalam
narasi (1) menggunakan mauidhoh hasanah, sedang dalam narasi (2)
menggunakan tindakan langsung.
Allah SWT berIirman dalam surat Al` A`roI 157:
lllllllll lllllllllll
llllllllll lllllllll
lllllllll lllllll
llllllllllll llllllllll
lllllllll lll llllllllllll
llllllllllll lllllllllll
lllllllllllllll
lllllllllllll llll
56

lllllllllll llllllll llllll
lllllllllllll lllllllllll
llllllllll llllllllllllll
llllllll llllllll llllllllll
lllllllllllll lllllll lllllll
llllllllll l lllllllllll
llllllllll lllll lllllllllll
lllllllllll lllllllllllll
llllllll llllllll lllllll
llllllll l llllllllllll llll
lllllllllllllll lllll
Artinya: 15. (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul,
nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam
Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al
Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Juga dalam Surat Lukman ayat 17:
lllllllll llllll lllllllllll
llllllll lllllllllllllll
llllllll llll lllllllllll
llllllllll llllll llll
lllllllll l llll lllllll llll
llllll lllllllll llll
56


Artinya: 1. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-
hal yang diwajibkan (oleh Allah).

d. Peka dan sigap menghadapi masalah
Sigap menghadapi masalah menunjukkan tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap realitas dan mampu menyikapinya dengan cara yang tepat. Sikap ini
merupakan bentuk nilai edukatiI yang biasa dimiliki masyarakat paguyuban yang
cenderung lebih peduli terhadap lingkungan dibandingkan masyrakat patembayan
yang individualis.
Dua narasi di bawah ini merupakan implementasi nilai tersebut:
(Mata seorang Keamanan berkeliling memandangi isi kamar F.ia hanya
menggelengkan kepala ketika melihat sosok Purwo yang masih pulas di
tempatnya.Tanpa babibu lagi, air itu pun ia tumpahkan ke tubuh Purwo. 30. 2).
(Wafah Komar semakin gelisah, bahkan tampak marah, apalagi melihat
kondisi Purwo. Langsung safa ia berlari menufu kantor sekolahan yang terletak
hanya beberapa meter safa di depannya.. 58. 3-59. 1)
Analisis: Bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi ini benar-
benar membutuhkan masyarakat yang peka terhadap permasalahan bangsa yang
harus ditindaklanjuti dengan kesigapan dalam mengambil langkah-langkah
56

strategis guna mengatasi problematika kebangsaan. Narasi di atas hanya contoh
yang sangat sederhana dalam mengaplikasikan nilai edukatiI ini. Namun, dalam
menindaklanjuti sebuah permasalahan haruslah mendasarkan diri pada syariat
Allah. Sebagaimana tertuang dalam surat Al Isro ayat 15:
llll llllllllll lllllllll
lllllllll lllllllllll l lllll
llll lllllllll llllll
lllllllll l llll llllll
lllllllll llllll llllllll l
lllll lllll llllllllllll
llllll llllllll lllllll llll

Artinya: 15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan
kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang
rasul.

e. Mampu menerima perubahan
Tidak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri, begitulah kata
orang bijak. Karenanya, membuka diri untuk perubahan menuju arah yang lebih
baik perlu dilakukan. Sebagaimana gagasan untuk senantiasa mengembangkan
pendidikan merupakan nilai edukatiI yang harus dikembangkan demi kemajuan
56

pendidikan pada umumnya, pendidikan Islam pada khususnya. Sebagaimana
narasi di bawah ini:
(Tapi semenfak Kiai Mail.memasrahkan tetek bengek pesantren kepada
putera-puteri dan menantunya, bersemilah perubahan-perubahan itu. Berdirilah
Madrasah Tsanawiyah yang setingkat SMP, fuga Madrasah Aliyah yang setingkat
SMU.18. 2)
Dan ditegaskan dalam narasi:
('.kita harus berani bertarung dengan kebudayaan Barat yang telah
kuat menyerang kehidupan bangsa kita. Generasi Islam harus mampu menguasai
kemafuan agar siap menghadapi :aman yang modern ini. Tinggalkan kemalasan,
bersungguh-sungguhlah.`116. 1)
Jadi, mau manerima dan melakukan perubahan adalah sikap yang patut
dikembangkan.
Analisis: Dalam narasi (1) menunjukkan adanya pengembangan bentuk
pesantren dari yang semula hanya berupa pondok, kini sekaligus menjadi lembaga
pendidikan Iormal. Bentuk pesantren seperti inilah yang banyak berkembang
seiring dengan tuntutan zaman. Perubahan konstruktiI amat diperlukan agar
pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang mampu menjawab tuntutan
zaman dengan tetap berpegang teguh pada nilai keislaman serta mampu
menghasilkan out put yang berkualitas.
Narasi (2) menegaskan pentingnya sikap mampu menerima perubahan.
Sikap ini harus didahului dengan sikap terbuka dan realistis terhadap situasi dan
56

kondisi yang melingkupi kedirian. Orang bijak mengatakan bahwa: Tidak ada
yang berubah kecuali perubahan itu sendiri. Kaidah ushul Iiqh menyatakan:
`' _'-' -~ _= ='=~' _`-`' ~-~=' ~=
f. Kemandirian
Sikap mandiri merupakan sikap positiI yang harus dimiliki semua orang
yang menginginkan kemajuan dan kedigdayaan. Namun, hal ini memang sangat
sulit terealisasi apalgi untuk bangsa Indonesia yang cenderung pemalas, suka hal
yang instan, namun sangat haus kekuasaan. Contoh riilnya adalah kebijakan
pemerintah untuk hutang kepada IMF, mengandalkan tenaga asing dalam banyak
perusahaan bahkan dalam persepakbolaan. Sikap tak mandiri membuat orang
tidak produktiI, tidak dapat diandalkan, selalu menggantungkan keberhasilan pada
orang lain. Sikap mandiri bukan berarti independent dan asosial, melainkan
mampu bertanggungjawab secara penuh terhadap hidupnya tanpa melulu
mengandalkan orang lain.
Narasi di bawah ini menunjukkan nilai edukatiI ini:
(Yang membuat Komar takfub lagi adalah kegigihan Kiai Mail untuk tidak
minta tolong kepadanya.. 17. 4)
(Sebenarnya, banyak santri yang ingin menuntun, tapi sang kiai tak mau.
Ia lebih memilih tongkat untuk menolongnya berfalan.. 5. 1)
Analisis: Sikap mandiri yang merupakan bagian dari nilai edukatiI dalam
novel ini sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap
mandiri akan menumbuhkan semangat juang yang tinggi, pantang menyerah, tidak
mudah meminta bantuan, tidak terjebak dalam budaya instan dan banyak sikap
56

positiI lainnya. Mandiri tidak berarti memutuskan sosialisasi dengan orang lain.
Namun merupakan sikap bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dibebankan
padanya tanpa menggantungkan orang lain.
Surat Ali Imron ayat 139 menegaskan hal ini:
llll lllllllll llll
lllllllllll lllllllll
llllllllllll lll llllll
lllllllllll lllll
Artinya: 139. Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-
orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang
yang beriman.

g. Prinsip keadilan
Dalam Love in Pesantren kaya akan prinsip keadilan. Terutama terkait
dengan keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman. Namun, keadilan yang
sesungguhnya tidak hanya dalam hal menjatuhkan hukuman, tapi juga dalam
memberikan tanggungjawab dan hak.
Demikian diceritakan Shachree:
('Pak, kalau mau menghukum ya hukumlah, tapi fangan perlakukan kami
seperti hewan. Dihukum lalu ditinggal, apa untungnya bagi kami dengan
56

hukuman ini. Jera?' Jangan harap kami akan fera, Pak' Bahkan kami akan
dendam'` 61. 4)
Narasi di bawah ini merupakan contoh keinginan seseorang agar
mendapatkan keadilan.
(Tapi, ia hanya bisa mengangguk dengan hukuman yang diterimanya,
tanpa banyak tuntutan, meskipun ia merasa sepihak. Atau, seorang murid kadang
telah kalah dengan sistem apalagi sekolah macam MA. Abu Darda yang
menekankan aspek pembentukan moral pada muridnya. Tanpa menekankan aspek
keseimbangan dan pemerataan keadilan baik bagi murid, guru, karyawan, kepala
sekolah, maupun lainnya. 72. 1)
Analisis: Narasi di atas menunjukkan bahwa sikap tidak adil dan semena-
mena dapat menimbulkan dendam. Oleh karena itulah, sikap adil mutlak adanya.
Dalam memberikan hukuman pun harus disesuaikan dengan pelanggaran dan
dilakukan dengan cara-cara yang memicu terhukum untuk menyadari kesalahan
dan tidak mengulanginya. Saat menjatuhkan hukuman, haruslah dengan
pertimbangan akal sehat, kemurnian jiwa dan berdasarkan syariat Nya.
Allah SWT menegaskan dalam Al Maaidah ayat 8:

lllllllllll lllllllll
llllllllll llllllll
llllllllll ll llllllllll
llllllllllll l llll
llllllllllllll lllllllll
llllll llllll llll lllllllllll
l lllllllllll llll llllllll
lllllllllll l lllllllllll llll
56

l llll llll lllllll lllll
lllllllllll lll
Artinya: . Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam An-nisa 105 ditandaskan:
llllll lllllllllll llllllll
lllllllllll lllllllllll
llllllllll llllll llllllll
llllll lllllll llll l llll
lllll llllllllllllllll
llllllll lllll
Artinya: 15. Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.

h. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
56

Lingkungan merupakan Iaktor yang mempengaruhi tumbuhkembang
seseorang. Karenanya, perlu diciptakan lingkungan yang sarat nuansa religius
sebagaimana yang tertuang dalam narasi:
(Jam empat lima belas pagi, suara speaker pengafian di masfid mengalun
bagai iringan tentara yang berbaris meneriakkan bentakan keras ke telinga
anggotanya yang masih tertidur. 19. 1)
(Meskipun untuk furusan IPS dan IPA antara putera dan puteri nggak
dipisah ruang, mereka nggak boleh nyampur. Tempat duduk murid puteri berada
di belakang putera. Tufuannya untuk menghindari pola hubungan yang kadang
terlalu berani. 57. 1)
Analisis: Dalam pepatah lama Arab dikatakan: 'Manusia adalah anak
lingkungannya. Penganut teori perkembangan Empirisme meyakini bahwa Iaktor
yang paling mempengaruhi perkembangan anak manusia adalah lingkungan. Oleh
karena itulah, dalam proses pendidikan, lingkungan memegang peranan penting
dalam membentuk pribadi anak manusia dan mengawal mereka kepada jalan
hidup mereka hingga akhir hayat. Meski dengan prosentase yang beragam, namun
setiap orang pasti meyakini bahwa lingkungan dapat mempengaruhi laju kembang
seseorang. Apabila seorang anak ditempa di lingkungan baik, maka baiklah ia.
Bila ia berada di lingkungan yang menyebarkan virus keburukan maka
terkontaminasilah ia. Oleh karena itulah, lingkungan yang kondusiI perlu
diciptakan.
Nabi Muhammad bersabda:
56

= ~- ~~ . ' -'~ =~- ' -'~ +- - =-' _
-' ---
Artinya: semua bayi itu dilahirkan dalam keadaan kesucian Islam, hanya
kedua orang tuanyalah yang membuatnya jadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
45


i. Menghargai dan memahami perbedaan
Setiap manusia dilahirkan berbeda, bahkan yang kembar sekalipun.
Keragaman itu bukan hanya dari segi Iisik, tapi juga karakter, siIat, ras, agama,
pandangan hidup, cara berIikir, usia dan lain sebagainya.
(Komar hanya diam, matanya tafam menatap mata tua itu, yang fuga
sangat kuat menghufam dirinya tatkala saling menatap. Keduanya, dengan
tatapan masa dan usia yang berbeda. Pak Asnil dengan keegoisannya sebagai
seorang yang tua dan dituakan, sedang Komar dengan keangkuhan anak muda
yang tak mau diatur-atur dan direndahkan rasa kemanusiaannya. 66. 1)
Sikap tidak menghargai perbedaan akan melahirkan sikap otoriter, merasa
paling mulya, paling benar, menginginkan setiap orang berIikir sama dengan
dirinya dan lain sebagainya. Sikap seperti ini sama sekali jauh dari unsur edukatiI
sebagaimana digambarkan:
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan bermanfaat.
Padahal, hal itu fustru menfadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menfadi moral yang membelenggu. 72. 2)

45
Aliy As`ad, op. cit., hlm. 21.
56

Analisis: Penghargaan terhadap perbedaan menjadi sebuah sikap yang
mutlak dan bersiIat krusial untuk dimiliki tiap manusia. Karena, setiap manusia
dilahirkan dengan keragaman karakter, budaya, tata nilai, Iisik, usia, sudut
pandang dan sebagainya. Dan itulah yang harus diIahami oleh tiap manusia saat
berinteraksi dengan orang lain. Tanpa penghargaan dan usaha untuk memahami
orang lain, maka interaksi yang terjadi tidak akan harmonis seperti kedua contoh
narasi di atas. Kedua contoh tersebut lebih menekankan pada perbedaan sudut
pandang yang diilhami dari basis pengetahuan yang berbeda pula. Padahal, Allah
SWT telah berIirman dalam surat Al-Hujuraat ayat 13:
lllllllllll llllllll lllll
llllllllllll llll llllll
lllllllll lllllllllllllll
llllllll llllllllllll
lllllllllllllll l llll
llllllllllll lllll llll
lllllllllll l llll llll
lllllll lllllll llll

Artinya: 13. Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
56

Oleh karena keragaman itulah, selayaknya manusia
memiliki kemampuan untuk memahami perbedaan. Banyak
kejadian yang mengerikan yang terjadi di bumi pertiwi akibat
ketidakpahaman ini, semisal konflik Sambas, GAM, Sampit,
pembantaian dukun di Banyuwangi dan sebagainya.

f. Menghargai dan menghormati sesama manusia
Tak ada seorang pun yang tak ingin dihormati dan dihargai. Penghormatan
dan penghargaan itupun bukan hanya milik para orang tua, konglomerat atau
pejabat, melainkan milik semua orang. Karenanya, apabila seesorang merasa
direndahkan, dilecehkan, tentu ia akan merasa tersinggung. Oleh karenanya, novel
ini pun tak luput dari nilai edukatiI ini.
Demikian narasi terkait dengan nilai di atas.
(Dalam Ta`limul Muta`allim kita harus menghormati keluarga kiai, tidak
boleh menyakiti, apalagi menggoda 14. 7)
Dan dikuatkan oleh narasi berikut ini:
('Gimana mau barokah Pak, wong mudarrisnya safa kasar dan tidak
memanusiakan manusia. Guru macam apa itu, men.` 68. 1)
Analisis: Menghargai dan menghormati orang lain adalah prinsip dasar
dalam berinteraksi. Tanpanya, interaksi takkan pernah terwujud. Setiap orang
hanya akan memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak peduli pada eksistensi
orang lain. Penghargaan dan penghormatan ini berlaku pada setiap manusia,
bukan saja pada mereka yang pejabat dan konglomerat, namun juga pada
56

masyarakat biasa atau miskin papa. Kepada mereka generasi tua, juga kaum
intelektual muda.
Dalam Surat Al Isro` 37 diterangkan:
llll llllll lll llllllll
lllllll l llllll lll llllllll
llllllll lllll llllllll
lllllllllll lllll llll
Artinya: 3. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung.

k. Berfikir kritis mengenai kehidupan
Dalam banyak ayat disebutkan 'apakah kamu tidak berIikir?.
Artinya, berIikir kritis merupakan sebuah keharusan. Karena dengan
berIikir kritis, seseorang akan menemukan kebenaran dengan cara yang logis.
Tanpa berIikir kritis dan mendalam, tak mungkin lahir rumus-rumus Iisika, kimia.
Tak mungkin lahir ilmu-ilmu pengobatan, ilmu Iiqh, taIsir dan sebagainya.
Novel Love in Pesantren juga memuat nilai ini.
(Anak-anak itu bukan lagi para pendengar dan penyimak yang pasif.
Mereka adalah para pemikir dan pembaca yang selalu punya kegelisahan dalam
56

fiwanya. Ada kebenaran yang ingin mereka usung. Kebenaran yang harus melalui
sebuah kritik. 217. 1)
('Justru itu Ros, kalau ini tempat suci seharusnya dari tempat inilah
kesucian dan kefufuran itu lahir. Dari tempat seperti pesantrenlah orang-orang
yang fufur lahir, bukan fustru memelihara bangkai. Jadi, kita harus membuang
bangkai-bangkai itu. 212. 2)
Dari sini, kita bisa melihat pentingnya berIikir kritis terhadap kehidupan.
Analisis: Kritis merupakan ciri khas intelek. Bersikap kritis terhadap
kehidupan adalah sikap positiI yang harus dikembangkan. Dalam Islam, taklid
buta justru merupakan perbuatan yang dilarang. Sehingga berIikir kritis mutlak
diperlukan agar manusia mampu menggali ilmu Allah secara komprehensiI dan
mendalam. Tanpa bersikap kritis terhadap Ienomena, manusia akan stagnan dan
tidak mengalami perbaikan keadaan.
Al Qur`an sebagai pedoman hidup banyak memberikan arahan agar
manusia senantiasa berIikir kritis, misalnya saja dalam surat Ali Imron 190-191:
lll lll llllll lllllllllllll
llllllllll lllllllllllll
llllllll llllllllllll lllllll
llllllll lllllllllll lllll
lllllllll lllllllllll llll
llllllll llllllllll llllllll
lllllllllll lllllllllllllll
lll llllll lllllllllllll
llllllllll lllllll lll
llllllll llllll lllllll
lllllllllll lllllll lllllll
llllllll lllll

56

Artinya: 19. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal. 191. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.

l. Mau memaafkan
Setiap manusia pasti pernah sakit hati, hanya yang berjiwa ksatria yang
mampu memaaIkan, demikian petikan syair dalam Iilm Petualangan Sherina.
Demikianlah manusia diciptakan. Memiliki keterbatasan dan tak luput dari salah
maupun dosa. Oleh akrena itulah, sepatutnya nilai ini bisa dimiliki oleh siapapun
agar dunia menjadi lebih tenang, tak ada permusuhan maupun peperangan.
Sikap tak mau memaaIkan kesalahan yang sebenarnya tidak prinsipil,
sedang yang melakukan kesalahan telah diganjar oleh hukuman, hanya akan
menyisakan sakit hati, bahkan dendam, sebagaimana narasi di bawah ini:
('Kalau kalian tidak kuat dengan hukuman ya fangan berbuat salah. Itu
salah kalian sendiri, ya tanggunglah resikonya'` Pak Sadeli meninggikan
suaranya bahkan dengan mimik muka kebencian. Tentu safa membuat Komar
semakin terpancing emosinya, dan pertahanan itu pun febol menfadi deru emosi
yang memuncak. 61. 1)
56

('Apa yang akan Ibu lakukan dengan Abah?` Tanya Siti kepada ibunya.
'Ibu akan menunggui Abahmu selamanya, Anakku,` fawab Bu Saudah
dengan tersenyum. Senyum yang paling suci. Tak ada dendam atau kebencian.
272. 2-3)

Narasi kedua menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa sikap mampu
memaaIkan akan menumbuhkan ketenangan jiwa.
Analisis: Sikap tidak mau memaaIkan bisa menimbulkan kebencian pada
orang lain. Hal ini yang tergambar dalam narasi (1). Oleh karena itulah, apabila
kesalahan yang dilakukan bukan pada hal-hal prinsip akan lebih baik jika
seseorang mau membuka hatinya untuk memaaIkan orang lain. Sedang dalam
narasi (2) menunjukkan tentang keluasan hati seorang istri untuk memaaIkan
kesalahan suaminya.
Mau memaaIkan adalah sikap yang terpuji. Pemberian maaI yang tepat
sasaran, akan membuahkan ketetapan hati agar tidak melakukan kesalahan yang
sama pada diri orang yang meminta maaI. Allah SWT berIirman dalam Surat Ali
Imron ayat 134:
lllllllll llllllllll lll
lllllllllll lllllllllllll
llllllllllllllll llllllllll
llllllllllllll llll llllllll l
llllll llllll lllllllllllllll
lllll
Artinya: 134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
56

orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

m. Mampu menerima kritik
Karena manusia merupakan makhluk yang tak luput dari salah dan dosa
serta terkadang tak mampu menilai diri dan tindakannya secara lebih objektiI,
maka ia membutuhkan kritik dan saran dari orang lain. Kritik dan saran yang
konstruktiI dan realistis harus bisa diterima meski datangnya dari orang yang lebih
muda atau lebih rendah status sosial-ekonominya.
Novel ini mencoba menghadirkan contoh perlawanan akibat menjamurnya
guru yang anti kritik, menganggap diri paling benar lalu bersembunyi di balik
ajaran ketakdziman.
(Ustad: adalah sumber kebenaran yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan,
tak farang orang masih menganggap kalau kesalahan yang terfadi atas ustad:,
kiai, atau manusia suci lainnya adalah kebenaran yang tersembunyi. Kemutlakan
yang seharusnya cuma milik Tuhan. 200. 1)
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan bermanfaat.
Padahal, hal itu fustru menfadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menfadi moral yang membelenggu. 72. 2)
Analisis: Selain harus kritis terhadap Ienomena, manusia juga dituntut bisa
menerima kritik dan masukan dari orang lain karena tak ada manusia yang
sempurna. Sebuah Qoul mengatakan bahwa:
56

'Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.`
Apabila mau berIikir lebih ariI, kritik yang datang dari orang lain
merupakan nikmat karena kesalahan atau kekurangan yang kita miliki bisa segera
diperbaiki. Tanpa kritik dari orang lain, akan sangat sulit menilai diri sendiri dan
kadang kurang obyektiI karena hanya Allah yang Maha Mengetahui Sesuatu.
Sebagaimana Iirman Nya dalam Surat Ar Ro`du Ayat 9:
llllll llllllllll
llllllllllllll lllllllllll
lllllllllllll lll
Artinya: 9. Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang
nampak; yang Maha besar lagi Maha Tinggi.

n. Bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain
Sikap lembut apada orang lain akan membuat orang lain merasa nyaman.
Karenanya, ini termasuk nilai yang mendidik dan sepatutnya dimiliki semua
orang. Keramahan dan welas asih akan mendekatkan hati dan tali silaturrahmi.
Tanpanya, antara satu orang dan orang lainnya akan sangat berjarak, saling rikuh
dan asing. Dan bila sikap lembut benar-benar tak dimiliki seseorang, dia akan
emnjadi orang yang keras hati dan dibenci.
Kyai Mail dalam kisah ini, adalah sosok paling disegani, tapi beliau
memiliki kelembutan hati pada santri yang masih muda.
56

('Sebenarnya aku ini masih muda, seleraku itu selera muda tapi tubuh ini
yang tidak bisa diafak kompromi.` Anak muda bernama Komaruddin itu agak
kaget fuga mendengar kelakar sang kiai. 8. 2-3)
Demikianlah seharusnya sikap itu diaplikasikan dan bukan sebaliknya,
seperti dalam narasi di bawah ini:
(Sebenarnya fauh di lubuk hati, Komar merasa menyesal atas semua yang
telah dilakukannya di sekolah. Namun, sikap Pak Rahmad kepadanya fustru
membuatnya marah dan dendam. Sefak kelas satu ia menyimpan dendam itu.
Andai hatinya yang membatu itu tidak malah dibenturkan dengan gunung dan
bafa. Tapi, akan luluh dan tunduk fika dihadapi dengan sikap yang lembut, penuh
kasih sayang, serta bimbingan. Tentu ceritanya akan lain. 167. 1)
Analisis: Narasi (1) menunjukkan contoh sikap lembut, welas asih dan
ramah pada orang lain. Sikap ini dapat menimbulkan kasih sayang pada orang lain
dan mendekatkan hati kedua belah pihak. Sebaliknya, sikap arogan, tak berkasih
sayang, hanya akan menimbulkan perasaan benci dan dendam sebagaimana narasi
(2). Karena itulah, setiap manusia haruslah memiliki kelembutan hati untuk
bersikap ramah dan sayang terhadap manusia lain.
Dalam An-Nahl 90 dijelaskan:
llll llll llllllll
llllllllllll lllllllllllll
lllllllllll lll llllllllllll
llllllllll llll
llllllllllllll lllllllllllll
llllllllllll l llllllllll
llllllllll lllllllllll llll
56

Artinya. 9. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.

o. Bersikap optimis, tidak putus asa.
'Janganlah kalian berputus asa! Demikian nasehat Allah dalam Al
Qur`an. Orang yang cepat berputus asa cenderung kurang berjuang, pesimis,
skeptis dan memandang kehidupan adalah sebagai ladang kesusahan. Sebaliknya,
sikap optimis akan membangkitkan gairah hidup, semangat juang, keceriaan juga
keteguhan hati. Demikian dipaparkan dalam narasi:
('Iya, Pak,` Jawabnya lirih sambil membuang muka ke samping.
Menyembunyikan rasa malu yang menyelimuti dirinya yang kalah dan
merebahkan diri pada moral yang diafarkan sekolah dan pesantren. Meski ia
yakin pertempuran belum usai, ya perang kebebasan belum berakhir' 70. 3)
(Hari ini seolah ia kalah. Kebenciannya pada Pak Rahmad kini harus
dibalas dengan bayangan kesakitan di hatinya. Haruskah ia membatalkan cinta
dan putus dengan Siti. Ah bendera telah berkibar, segenap anak panah telah
meluncur, tak mungkin menarik kembali pasukan. 167. 2)
Analisis: Bersikap optimis dan tidak putus asa dalam memperjuangkan
cita-cita, gagasan dan keinginan, selama itu berada dalam Irame kebaikan,
merupakan salah satu nilai edukatiI yang layak dimiliki semua orang. Apabila
56

nilai ini telah mendarahdaging, maka manusia akan menjalani hidup dengan lebih
bahagia, tenang dan mudah menggapai tujuan. Optimis dan tidak putus asa
merupakan kunci keberhasilan, begitu kata banyak orang. Pepatah mengatakan
bahwa 'Hidup adalah perjuangan. Namun hakikatnya adalah pengabdian. Jadi,
tiap orang harus berjuang dan berproses demi sebuah tujuan yang bersumber pada
taabuud ila allah. Segala kepahitan dan cobaan akan dipandang sebagai bentuk
kasih sayang Allah untuk mengangkat derajat kita. Orang yang optimis tidak akan
mudah putus asa, sehingga mereka senantiasa tersenyum pada dunia dan yakin
bahwa mereka pasti bisa menaklukkannya.
Allah SWT berIirman dalam Surat Huud ayat 9-11:
llllllll lllllllll llllllllll
lllll llllllll llll
llllllllllll llllll lllllll
lllllllll lllllll lll llllllll
lllllllllll llllllllll llllll
llllllll llllllll lllllllllll
llllll lllllllllllll lllllll l
lllllll llllllll lllllll llll
llll lllllllll lllllllll
lllllllllll lllllllllllll
llllllllllll lllll llllllllll
llllllll lllllll llll
Artinya: 9. Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu
rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut
daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima
kasih. 1. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan
sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata:
"Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku". Sesungguhnya
56

dia sangat gembira lagi bangga. 11. Kecuali orang-orang yang
sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh;
mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.
C. Analisis Hal-Hal yang Kurang Relevan dalam Pola Interaksi Guru dan
Murid di Pesantren dalam Novel Love in Pesantren Karya Shachree M.
Daroini.

Dari beberapa hal yang dirasa kurang relevan, penulis mencoba untuk
mengadakan reduksi sekaligus klasiIikasi untuk memudahkan pencarian Iormulasi
terbaik guna menyelesaikan problem kesenjangan pemahaman antara guru dan
murid yang berakibat pada ketidakharmonisan pola interaksi guru dan murid
berdasarkan novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini.
Ketidakharmonisan ini pun membawa dampak yang signiIikan pada proses serta
hasil pendidikan.
1. Pemberian hukuman Iisik di luar kadar kemampuan
(Komar dan teman-temannya masih berdiri. Peluh mulai menetes
membasahi baju mereka, bahkan wajah purwo sudah mulai pucat. Hanya Komar
yang masih kelihatan segar. Mungkin karena ia sekali-kali duduk. Bukannya ia
tidak tahan dengan hukuman itu, tapi ia merasa direndahkan dengan hukuman itu.
Bahkan, Komar kini semakin marah ketika melihat ketiga temannya itu tampak
kecapekan dan tubuhnya mulai lemah, terutama Purwo.Komar jadi gelisah.
Berkali-kali matanya melongok ke arah pintu kantor. Namun, Pak Rahmad tak
juga keluar. 58: 1-2)
56

Pemberian hukuman yang tidak sesuai kemampuan menyebabkan
kemarahan murid dan tertanamnya siIat keras hati. Padahal, andaikan hukuman itu
dimaksudkan untuk memberikan pelajaran seharusnya dilakukan dengan prosedur
dan metode yang sekiranya mampu menimbulkan kesadaran siswa bukannya
memicu masalah baru. Dampak jangka panjangnya, seorang murid akan
cenderung melakukan perbuatan yang sama di masa mendatang.
2. Sikap tak berkasih sayang
('Kurang ajar! Dan, plakkk! Satu tamparan bersarang di muka Komar,
kontan saja membuat mata anak muda itu memerah, selain menahan sakit juga
menahan amarahnya yang sudah memuncak. 61: 5)
Juga narasi,
(Mereka berdiri menghadap jalan di depan kantor, jalan satu-satunya yang
menghubungkan lapangan dan sekolahan. Tentu saja kalau ada yang lewat,
dengan mudah bisa menebak kalau mereka lagi dihukum. Apalagi, hukuman yang
mereka terima saat itu adalah mengangkat tangan sambil menekuk kaki sebelah.
Yah, ala militerlah. Begitulah kalau Pak Rahmad menghukum. Hukuman kuno,
selalu saja hukuman Iisik. 52: 1)
Guru yang kasar akan melahirkan generasi yang kasar pula. Padahal, guru
adalah pembimbing dan orang yang dijadikan tauladan. Sikap arogan dan tak
berkasih sayang menimbulkan kebencian yang makin merenggangkan hubungan
guru dan murid. Bila hubungan guru-murid tak harmonis akan menghambat
proses pendidikan dan mempersulit pencapaian tujuan pendidikan. Selain itu,
ajaran Islam hadir di dunia ini sebagai rohmatan lil alamiin.
56

3. Tidak menghargai murid
('Heh, kamu kan sedang dihukum, kenapa masuk ke kantor!? tanyanya
lagi dengan nada tinggi.
'Saya hanya pengen ketemu Pak Rahmad, Pak! Komar menjawab,
berusaha merendahkan nada bicaranya.
'Sudah, sudah! Pak Rahmad sedang sibuk. Ada yang bisa saya urus! 59:
5)
Sikap orang lain sering kali merupakan pencerminan dari sikap kita pada
mereka. Murid juga manusia yang layak memperoleh penghargaan dan
penghormatan. Apalagi bila yang dihadapi murid SMU yang sedang mengalami
pubertas dan Irontal. Jika murid dididik tanpa penghargaan, maka ia akan menjadi
manusia dewasa yang juga tak bisa menghargai orang lain akibat didikan yang
demikian.
4. Tidak memberikan kesempatan kepada murid untuk membela diri
('Tapi, waktu itu kan saya hanya menggambar daun singkong, Pak! Masak
nggambar daun singkong dikira daun ganja, lagi pula.
'Cukup! Kamu sudah melakukan kesalahan waktu itu!
Hati Komar berdetak lagi agak keras, darahnya mulai naik. Ia berusaha
menurunkannya namun sikap Pak Asnil telah memancing emosi mudanya yang
keras. 65: 2-4)
Dan narasi,
(Tapi, ia hanya bisa mengangguk dengan hukuman yang diterimanya,
tanpa banyak tuntutan, meskipun ia merasa sepihak. Atau, seorang murid kadang
56

telah kalah dengan sistem apalagi sekolah macam Madrasah Aliyah Abu Darda`
yang menekankan aspek pembentukan moral pada muridnya. Tanpa menekankan
aspek keseimbangan dan pemerataan keadilan baik bagi murid, guru, karyawan,
kepala sekolah, maupun yang lainnya. 72: 1)
Setiap manusia berhak untuk mengutarakan pendapat baik secara lisan
maupun tulisan, setiap manusia berhak melakukan pembelaan, begitulah pesan
UUD 1945. Karena memang, tanpa sikap ini, guru menjadi sosok yang otoriter
dan senantiasa merasa dialah yang paling benar. Akibatnya, murid hanya menjadi
manusia yang tidak bisa membela dirinya sendiri, pasiI dan pasrah. Padahal, umat
Islam membutuhkan manusia-manusia tangguh yang mampu berbicara lantang
memusnahkan ketidakadilan dan kedholiman.
5. Memenggal nalar kritis atas dasar keta`dziman
('Kamu seharusnya berusaha menerapkan ilmumu dalam kehidupanmu.
Cobalah kamu baca kembali Talimul Mutaallim karya Syaikh az-Zarnuji. Apa
pantas seorang murid. 68: 2)
('Kalau kamu menjadi orang yang pendiam, suka mendengarkan, dan taat
pada guru, yakinlah pasti kamu akan mendapatkan ilmu yang barokah, ilmu yang
akan membuat kamu menjadi orang yang mengerti akan kehidupan. 69: 1)
Juga narasi,
(Dan, ustadz adalah sumber kebenaran yang tak bisa diganggu gugat.
Bahkan, tak jarang orang masih menganggap kalau kesalahan yang terjadi atas
ustadz, kiai, atau manusia suci lainnya adalah kebenaran yang tersembunyi.
Kemutlakan yang seharusnya cuma milik Tuhan. Memang, itu ada benarnya
56

dalam konteks ketasawuIan. Namun, apakah kemutlakan itu berlaku bagi ustadz
yang menyalahgunakan otoritas kesakralannya untuk bersembunyi dan mengadili
yang dianggap salah. 200: 1)
Nalar kritis merupakan modal yang amat dibutuhkan untuk berkembang.
Tanpa nalar kritis tak mungkin lahir hukum-hukum Iiqh, taIsir Al Qur`an, sains
dan sebagainya. Oleh karena itulah, pemenggalan nalar kritis atas dasar
keta`dziman merupakan hal yang kurang relevan karena membuat murid menjadi
orang yang taklid. Padahal, taklid buta merupakn sesuatu yang salah dalam Islam.
Memenggal rasa ingin tahu, tidak membuka ruang sharing dan diskusi lalu
mengatasnamakan keta`dziman dan barokah sebagai justiIikasi, hanya akan
melahirkan generasi yang tak berkualitas dan eksklusiI terhadap satu pandangan
sempit serta menjadi sosok yang kurang toleran terhadap perbedaan.
6. Sikap otoriter
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan manIaat.
Padahal, hal itu justru menjadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat kebebasan
yang ditekuk menjadi moral yang membelenggu. 72: 2)
Juga narasi:
('Anak muda, apa kamu tidak diajarkan Talimul Mutaallim?
'Iya, Pak. Saya diajarkan.
'Nah mana sopan santunmu kepada guru?
Mendengar ajaran kitab dijadikan landasan untuk memojokkan, kontan
Komar merasa semakin dihina atas kebodohannya. Ia pun tersontak, Pak, dalam
56

kitab Talimul Mutaallim yang dimaksud guru adalah yang selalu menebarkan
kasih sayang, peduli sesama manusia, mengerti perasaan sang murid, baik dalam
maupun luar jiwa dan raganya. Makanya ia tidak dijadikan pembimbing sebatas
mengajarkan ilmu, tapi juga pembimbing jalan batiniah. Nah, bagaimana saya bisa
menghormat kalau seorang guru ternyata adalah pembenci, pendendam, dan sang
otoriter yang tidak menghargai cinta kasih?
'Kurang ajar! Lanatullah! Berani sekali kamu menghina gurumu! Pak
Rahmad bangkit dari duduknya. 'Hei Anak Muda, mulai hari ini kamu diskors...
(197: 5-6, 198: 1-3)
Sikap otoriter akan melahirkan generasi otoritarian. Bahwa apapun yang
dilakukan, diajarkan, ditampakkan, diucapkan guru merupakan sesuatu yang akan
ditiru oleh muridnya, merupakan dasar dalam analisa ini.
Sikap otoriter bagi murid yang pasiI akan menjadikannya tidak percaya
diri, tak punya jiwa dan cita-cita besar. Sedang bagi murid seperti Komar, hanya
akan menimbulkan konIrontasi, sikap tak hormat dan kecenderungan untuk
mengulang kesalahan dan melanggar aturan.
D. Analisis Nilai-Nilai Edukatif yang Bisa Digunakan Sebagai Reformulasi
Pola Interaksi Guru dan Murid di Pesantren
Berdasarkan uraian dan analisis mengenai nilai edukatiI yang ada dalam
novel, kemudian menganalisis hal-hal yang kurang relevan dalam menerapkan
interaksi guru dan murid, maka tibalah saatnya untuk memberikan sebuah tawaran
konsepsi mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan dampak negatiI akibat
interaksi yang tidak harmonis tersebut.
56

ReIormulasi yang penulis tawarkan bisa jadi telah ada dan diaplikasikan
dalam realitas pesantren dengan tingkat pengaplikasian yang beragam. Namun
peneguhan dan pengukuhan nilai-nilai yang akan penulis paparkan dirasa perlu
akibat masih berkembangnya nilai-nilai yang kurang relevan tersebut di tubuh
pesantren.
Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam interaksi guru dan murid,
maka dari nilai-nilai edukatiI yang dipaparkan dalan sub bab sebelumnya, yang
menurut penulis bisa diterapkan sebagai reIormulasi pola interaksi guru dan murid
di pesantren adalah sebagai berikut:
A. Upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
B. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
C. Menghargai dan menghormati sesama manusia
D. Bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain
E. Menghargai perbedaan
F. Prinsip keadilan
G. BerIikir kritis mengenai kehidupan
H. Mampu menerima perubahan
I. Mampu menerima kritik
J. Mau memaaIkan
Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai hubungan nilai di atas dengan
reIormulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren, terlebih dahulu kita
menengok kitab yang selama ini dijadikan acuan para stake holder pesantren
56

dalam membangun pola interaksi sekaligus menjadikannya sebuah ajaran yang
disakralkan, yakni kitab talimul mutaallim.
1. Mengagungkan guru
~' -= ' -= ~ : += -' = .' - ~= '-'
'-='' -'~ ' _' -'~ ' '~=' '= -~= ~
~'-'~ .
Artinya. Termasuk arti mengagungkan ilmu, yaitu menghormati pada
sang guru. Ali RA berucap. 'Sayalah menfadi hamba sahaya orang yang telah
mengafarku satu huruf. Terserah padanya, saya mau difual, dimerdekakan,
ataupun tetap difadikan hambanya.`
46

2. Cara mengagungkan guru
~'~' _~~- ` ' ~' - ~ , -'~ =-` ,
-~`' -~-= `'~-` , -~-= `'`- ` , -~ .~-`
= `~ ~- , ' ='- , _=- _= -- . -'' ~-` ,
==~ -=- -'- =- -' .-'=' , -= _ -~' .`~-
_' -' --~ , '=' --~ _ =~ ='= ` .

Artinya. Termasuk arti menghormati guru, yaitu fangan berfalan di
depannya, duduk di tempatnya, memulai mengafak bicara kecuali atas perkenan
dirinya, berbicara macam-macam di depannya dan menanyakan hal-hal yang

46
Ibid., hlm. 22
56

membosankannya. Tapi hendaklah menghemat waktu, fangan sampai mengetuk
pintunya, cukuplah dengan sabar menanti di luar hingga ia sendiri yang keluar
dari rumah. Pada pokoknya, adalah melakukan hal-hal yang membuatnya rela,
menfauhkan amarahnya dan menfunfung tinggi perintahnya yang tidak
bertentangan dengan agama, sebab orang tidak boleh taat kepada sesama
makhluk dalam melakukan tindakan durhaka kepada Allah Maha Pencipta.

- ~ -~`' - -- ~ , _-~ '-~'~' '
' ~ '~=' ' _=- -'~+' ='- -~' '- `~`'
.`= _ -- ' ~' =~ =- ' ,'= ~-'
'-'-=' ~' , .-- -= -~ : _~ - ,~'~' ' '
'--' ~' _ , ,~'~` '~-= ' - '~' .

Artinya. Termasuk arti menghormati guru pula, yaitu menghormati putra
dan semua orang yang bersangkut paut dengannya. Di sini guru kita syaikhul
islam Burhanuddin shohibul hidayah pernah bercerita bahwa ada seorang imam
besar di Bukhoro, pada suatu ketika sedang asyiknya ditengah maflis belafar ia
sering-sering berdiri lalu duduk kembali. Setelah ditanyai kenapa demikian, lalu
menfawabnya. ada salah seorang putra guruku yang sedang bermain-main di
56

halaman rumah dengan temannya. Bila saya melihatnya maka saya pun berdiri
demi menghormati guruku.
47

Dikatakan pula bahwa:
`- `' _--- ` ' =- -~'~ -~ ,~ ~ .
'~-` -=' ~' ' # '~- '~- '~' '=--- `
'+-= -= ' =-'~ -' # ' '~~ -= ' =+= _-
Artinya. Barang siapa melukai hati gurunya berkah ilmunya tertutup dan
hanya sedikit kemanfaatannya.
Sungguh dokter dan guru takkan memberi nasihat bila tak dihormat
Terimalah penyakitmu bila kau acuh doktermu, dan terimalah bodohmu
bila kau tentang sang guru.

_= : ~- _~-`' _' -' - ~-~' - --=' '
-- --=' ' = .~- -- '~- - -~`' '
= _= -'~' , .'- =~ _ _~-`' --=' ' " : '~-'
-- -~ '~'~ ~ ~ =-' ` ,~= -'~'
== ,=`' .~- -~- "


47
Ibid., hlm. 23-24
56

Artinya. Suatu hikayat, Kholifah Harun Ar Rasyid mengirim putranya
kepada Al Asma agar diafar ilmu dan adab. Pada suatu hari, kholifah melihat Al
AsmaI berwudlu dan membasuh sendiri kakinya, sedang putra kholifah cukup
menuang air pada kaki tersebut. Maka khlifah pun menegur dan berufar.
'Putraku saya kirim kemari agar engkau mengafar dan mendidiknya, tapi
mengapa tidak kau perintahkan agar satu tangannya menuang air dan tangan
satunya lagi membasuh kakimu?`.

3. Sikap selalu hormat dan khidmat
~=' -=' ~=' ' _~~- ' ' '= _--
.- ~ -' ~=' -~~ _~~ ' ": ~ ~-= - ~
' .-' - ~ .' _ ~-= ~ -' "

Artinya. Hendaknya penuntut ilmu memperhatikan segala ilmu dan
hikmah atas dasar rasa mengagungkan dan menghormati, sekalipun masalah
yang itu-itu safa telah ia dengar seribu kali. Dikatakan. 'Barang siapa yang cara
mengagungkannya setelah lebih dari seribu kali tidak sebagaimana pada yang
pertama, ia tidak termasuk ahli ilmu`.
4. Jangan memilih ilmu sendiri
~-- = _- '=- ` ' ' '= _-- , -~' -- .
~'~`',' , '~ -= =~ _ -'=' .-= ~ ~'~`' '
56

.=`' '~`' _-~' '-= -- '~ ~=' . _--
~= -~' =' '- `~' _-~ ~'~`' _' -'
.-- ": _ -~' --- .`' ~' _ ' = '
-~'~ -~--~ _' -- '-' -~'~' _' ' , `'
--' ' ~ -~--~ .-=-` +~--' '=- .

Artinya. Hendaknya sang murid fangan menentukan pilihan sendiri
terhadap ilmu yang akan dipelafari. Hal ini dipersilahkan sang guru untuk
menentukannya, karena dialah yang sudah berkali-kali melakukan percobaan,
serta dia pula yang mengetahui ilmu apa yang sebaiknya diafarkan kepada
seseorang dan sesuai tabiatnya. Syaikhul imam ustad: Burhanul Ha6 Waddin
berkata. 'Para siswa dimasa dahulu suka rela menyerahkan sepenuhnya urusan-
urusan belafar kepada gurunya dan mereka memperoleh kesuksesan yang diidam-
idamkan, tetapi dimasa sekarang murid menentukan pilihannya sendiri akhirnya
cita-citanyapun gagal dan tidak bisa mendapatkan ilmu dan fi6ih.`
Jadi, apabila memahami kitab talimul mutaallim sepotong-potong, maka
sangat bisa dimaklumi apabila di tubuh pesantren, posisi guru begitu diagungkan
hingga terkadang seorang murid -meminjam istilah yang diutarakan Komar, tokoh
utama novel ini- hanya menjadi pesakitan belaka. Murid diposisikan sebagai objek
pendidikan dan kurang diberikan ruang kebebasan berekspresi. Seorang murid
diberikan doktrin perihal barokah, saman wa thoatan, sehingga sikap kritis
56

menjadi terpenggal. Padahal, dalam talimul mutaallim dijelaskan bahwa seorang
guru harus memiliki siIat kasih sayang, mau memberi nasehat, jangan berbuat
dengki dan tidak usah melibatkan diri dalam arena pertikaian.
48
Akhirnya,
pencekokan pemahaman barokah menyebabkan ghiroh belajar beralih menjadi
ajang perebutan barokah dengan tidur di kelas namun berebut mencium punggung
tangan sang guru pun kerap terjadi.
Oleh karena itulah, dalam pandangan penulis, perlu ada Iormulasi baru
dalam memahami serta mengimplementasikan interaksi guru murid di pesantren
dalam tataran realitas. Sebab dikehendaki ataupun tidak, di era penuh tantangan
dan persaingan serta pesatnya teknologi inIormasi, yang semakin menghilangkan
batas-batas dan sekat individu, maka relasi antara guru-murid pun perlu dilakukan
dengan jalan yang lebih eIektiI dan eIisien. Tentu tanpa meninggalkan etika yang
ada.
Adapun analisis nilai edukatiI dalam novel Love in Pesantren karya
Shachree M. Daroini yang bisa digunakan sebagai reIormulasi pola interakasi
guru dan murid di pesantren adalah:
a. Upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
Narasi:
(Anak-anak itu tidak hanya dibekali ilmu agama dan tata krama, tapi fuga
diafarkan ilmu-ilmu dunia untuk meniti masa depan mereka. 1. 2)
Dikuatkan dalam:

48
Ibid., hlm. 66-67.
56

(Setiap pagi, mereka berangkat sekolah. Sore harinya pulang ke asrama
pondok untuk mengikuti serangkaian kegiatan, seperti shalat berfamaah dan
mengafi. 1. 3)
Analisis:
Peningkatan keimanan dan ketaqwaan merupakan landasan utama
seseorang dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hal berinteraksi dengan
orang lain. Basis iman dan taqwa akan mendorong munculnya sikap dan siIat
positiI sehingga dalam interaksi sesama manusia pun terjalin positiI.
Kita ambil contoh penggalan narasi Novel di bawah ini:
Komarpun langsung berdiri. Mukanya merah merah bercampur pucat.
Matanya melotot menyaksikan perubahan yang terfadi pada mantan kepala
madrasahnya itu. Ia nggak habis pikir, kesalahan apa yang dilakukannya
sehingga orang sealim dan sesantri Pak Rahmad bisa fadi beringas kayak gitu.
Matanya merah memandang Komar. Nafasnya tersengal-sengal. Kalau dulu
dalam emosi panfangnya Pak Rahmad selalu menyebut istighfar atau nama Allah,
namun kali ini kata-kata bafingan, kurang afar, tengik, yang keluar dari
mulutnya.
Kutipan di atas mengisahkan sosok Pak Rahmad yang telah jauh dari
semangat spiritual yang dulu melekat pada dirinya. Basis iman yang digadaikan
dengan penghambaan pada makhluk halus, seperti tertuang dalam narasi ini:
Keris itulah yang selama ini menfadi wirid dan persemediannya. Ketika
:ikir terlepas dari asama Allah, maka lubang kemusyrikan akan mudah masuk
56

menfadi titik hitam sifat manusia. Kalau sudah seperti itu, iblislah rafa ruhnya,
setanlah yang menfadi penguasa fiwanya.(267.1)
akan mempengaruhi timbulnya siIat dan sikap yang ditunjukkan. Oleh karena
itulah, upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan mutlak adanya dalam
meningkatkan harmonisasi guru dan murid di pesantren.

b. menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
Narasi:
(Jam empat lima belas pagi, suara speaker pengafian di masfid mengalun
bagai iringan tentara yang berbaris meneriakkan bentakan keras ke telinga
anggotanya yang masih tertidur. 19. 1)
(Meskipun untuk furusan IPS dan IPA antara putera dan puteri nggak
dipisah ruang, mereka nggak boleh nyampur. Tempat duduk murid puteri berada
di belakang putera. Tufuannya untuk menghindari pola hubungan yang kadang
terlalu berani. 57. 1)
Analisis:
Dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, selain kesadaran
personal, juga diperlukan lingkungan yang kondusiI, yakni lingkungan yang sarat
nuansa religius. Banyak kita lihat, terutama dari televisi, para murid yang tidak
menghormati guru, atau melalui media massa mengenai guru yang mencabuli
muridnya, semua itu merupakan akibat dari keringnya nuansa spiritualitas di
lingkungan sekolah.
56

Pesantren, sebagai lembaga keislaman sudah seharusnya senantiasa
memperbaiki kualitas diri dalam menciptakan nuansa religius ini. Begitupun
dengan sekolah yang berada dalam otoritas pesantren. Tanpanya, interaksi guru
dan murid akan kaku dan tidak beretika.

c. menghargai dan menghormati sesama manusia
Narasi:
(Dalam Ta`limul Muta`allim kita harus menghormati keluarga kiai, tidak
boleh menyakiti, apalagi menggoda 14. 7)
Dan dikuatkan oleh narasi berikut ini:
('Gimana mau barokah Pak, wong mudarrisnya safa kasar dan tidak
memanusiakan manusia. Guru macam apa itu, men.` 68. 1)
Analisis:
Makna yang dapat kita tangkap dalam narasi di atas adalah kewajiban
menghormati dan menghargai orang lain. Tidak hanya kepada kyai saja,
melainkan pada semua manusia, tidak pandang muda-tua, konglomerat-melarat,
kyai atau santri, semua wajib saling menghormati. Dalam interaksi guru dan
murid pun demikian, perlu saling menghormati dan menghargai. Seorang guru
memang harus dituakan, dihormati sekaligus punya kewajiban mengayomi dan
mendidik, sedangkan yang muda harus diperhatikan, dihargai pendapatnya juga
memiliki kewajiban untuk menyadari kekurangan, kelemahan, serta miskinnya
pengalaman hingga perlu senantiasa belajar dan tad:im terhadap gurunya. Segala
kewajiban dan hak keduanya harus disuguhkan dalam porsi yang tepat.
56


d. bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain
('Sebenarnya aku ini masih muda, seleraku itu selera muda tapi tubuh ini
yang tidak bisa diafak kompromi.` Anak muda bernama Komaruddin itu agak
kaget fuga mendengar kelakar sang kiai. 8. 2-3)
(Sebenarnya fauh di lubuk hati, Komar merasa menyesal atas semua yang
telah dilakukannya di sekolah. Namun, sikap Pak Rahmad kepadanya fustru
membuatnya marah dan dendam. Sefak kelas satu ia menyimpan dendam itu.
Andai hatinya yang membatu itu tidak malah dibenturkan dengan gunung dan
bafa. Tapi, akan luluh dan tunduk fika dihadapi dengan sikap yang lembut, penuh
kasih sayang, serta bimbingan. Tentu ceritanya akan lain. 167. 1)
Analisis:
Bersikap lembut, welas asih dan ramah diantara guru dan murid termasuk
hal yang mampu memperbaiki keharmonisan pola interaksi guru dan murid di
pesantren. Guru, sebagai sosok yang digugu lan ditiru sepatutnya memberikan
tauladan dengan bersikap lembut, welas asih dan ramah pada muridnya. Seorang
murid, selaku manusia yang belum dewasa tentu akan lebih menyukai guru yang
memiliki karakter demikian. Jika itu tidak ada, maka yang akan terjadi tentu tak
jauh dari narasi (2), yakni tertanamnya antipati terhadap guru yang tak
demokratis, serta tak adanya kesadaran bagi murid nakal untuk memperbaiki
kesalahan lantaran terlalu senjangnya hubungan guru dan murid. Kesenjangan ini
ditandai dengan sikap tak ramah, sok berkuasa dan sebagainya.

56

e. Menghargai perbedaan
Mafhum mukholafah dalam narasi:
(Komar hanya diam, matanya tafam menatap mata tua itu, yang fuga
sangat kuat menghufam dirinya tatkala saling menatap. Keduanya, dengan
tatapan masa dan usia yang berbeda. Pak Asnil dengan keegoisannya sebagai
seorang yang tua dan dituakan, sedang Komar dengan keangkuhan anak muda
yang tak mau diatur-atur dan direndahkan rasa kemanusiaannya. 66. 1)
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan bermanfaat.
Padahal, hal itu fustru menfadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menfadi moral yang membelenggu. 72. 2)
Analisis:
Peran sekolah melalui guru dalam menanamkan sikap saling menghargai
setiap perbedaan sangat penting artinya. Hal ini dikarenakan keberadaan sekolah
sebagai wahana pendidikan memiliki tugas dan kewajiban dalam membentuk
sikap saling menghargai perbedaan antar sesama. Perbedaan adalah karunia Tuhan
yang sangat besar, karena dengan adanya perbedaan kita memiliki peran dan
Iungsi masing-masing yang bisa saling melengkapi. Sikap menghargai perbedaan
akan membuat kita lebih rileks dan bermanIaat, karena dengan sikap itu berarti
kita memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk menjalankan Iungsi serta
mengembangkan potensi.
Narasi (1) menunjukkan contoh perbedaan dari segi usia yang berimplikasi
pada perbedaan karakter dan sudut pandang. Apabila keduanya mampu
56

memandang bahwa perbedaan adalah karunia maka yang tua akan menyayangi
yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Jika hal itu dapat diwujudkan,
maka kejadian sebagaimana narasi (1) diatas tentu tidak akan terjadi. Begitupun
dengan yang coba ditegaskan dalam narasi (2). Bahwa barokah, seringkali
menjadi sebuah justiIikasi untuk melegalkan sikap otoriter para guru. Para guru
seolah bersembunyi dalam kalimat awas, nanti gak manIaat ilmunya.` untuk
mereduksi nalar kritis yang dimiliki para murid.
f. Prinsip keadilan
Terdapat dalam narasi:
('Pak, kalau mau menghukum ya hukumlah, tapi fangan perlakukan kami
seperti hewan. Dihukum lalu ditinggal, apa untungnya bagi kami dengan
hukuman ini. Jera?' Jangan harap kami akan fera, Pak' Bahkan kami akan
dendam'` 61. 4)
Narasi di bawah ini merupakan contoh keinginan seseorang agar
mendapatkan keadilan.
(Tapi, ia hanya bisa mengangguk dengan hukuman yang diterimanya,
tanpa banyak tuntutan, meskipun ia merasa sepihak. Atau, seorang murid kadang
telah kalah dengan sistem apalagi sekolah macam MA. Abu Darda yang
menekankan aspek pembentukan moral pada muridnya. Tanpa menekankan aspek
keseimbangan dan pemerataan keadilan baik bagi murid, guru, karyawan, kepala
sekolah, maupun lainnya. 72. 1)
Analisis:
56

Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk
yang lain. Tercipta sebagai makhluk yang paling mulia, bukan berarti tidak
seimbang dengan kewajiban yang diemban sebagai manusia. Setiap kita yang
beragama Islam, berakal dan telah aqil baligh dibebani oleh adanya taklif atau
pembebanan hukum atas diri kita. Hal ini berarti sepadan antara keberadaan kita
sebagai makhluk yang mulia dengan beban dan tanggung jawab yang harus
diemban. Artinya, segala sesuatu akan sepadan antara hak dan tanggung jawab
yang diembannya. Membentuk dan menanamkan prinsip keadilan adalah
tanggung jawab kita semua terlebih bagi para guru terhadap muridnya, karena
keberadaan keduanya adalah dalam rangka mendidik.
Konteks dalam narasi (1) adalah tatkala geng Komar mendapat hukuman
mengangkat kaki dan tangan di bawah terik matahari. Namun, setelah dihukum
mereka ditinggal begitu saja. Dan saat Komar memberitahukan keadaan temannya
yang hampir pingsan, dengan arogan Pak Sadeli menghardik Komar sedangkan
narasi (2) lebih kepada perenungan mengenai bentuk keadilan yang seolah digerus
atas nama pembentukan moral. Murid kurang diberikan keleluasaan untuk
berbicara, berekspresi, berpendapat, ditambah dengan sikap keras dan tak welas
asih membuat darah muda para murid yang tergolong nakal menjadi menggelegak
marah. Padahal, setiap orang berhak untuk didengar pendapatnya, dihargai
eksistensinya, itulah asas dari keadilan. Ketidakadilan atas nama apapun harus
dienyahkan. Meskipun ketidakadilan tersebut diterima dengan suka rela, karena
hal yang demikian akan berpotensi diaktualisasikan seorang murid pada orang
56

lain. Sehingga, jalinan ketidakadilan menjadi mata rantai yang tak ubahnya
lingkaran setan.

g. berfikir kritis mengenai kehidupan
Narasi:
(Anak-anak itu bukan lagi para pendengar dan penyimak yang pasif.
Mereka adalah para pemikir dan pembaca yang selalu punya kegelisahan dalam
fiwanya. Ada kebenaran yang ingin mereka usung. Kebenaran yang harus melalui
sebuah kritik. 217. 1)
('Justru itu Ros, kalau ini tempat suci seharusnya dari tempat inilah
kesucian dan kefufuran itu lahir. Dari tempat seperti pesantrenlah orang-orang
yang fufur lahir, bukan fustru memelihara bangkai. Jadi, kita harus membuang
bangkai-bangkai itu. 212. 2)
Analisis:
I6ro (Bacalah! bacalah dengan kritis') itulah ayat yang pertama kali
diturunkan Allah sebagaimana tersurat dalam surat Al Alaq. Perintah i6ra
menandakan Allah menghendaki agar hambanya selalu bersikap kritis atas segala
realitas yang ada disekitar kita. Oleh karenanya tidak seorangpun yang
diperkenankan menanamkan prinsip pasrah, pasiI dan tidak kritis melihat segala
sesuatu, apalagi di dunia pendidikan. Seringkali kebenaran terpendam dan
terbungkus oleh kebohongan akibat sikap kritis yang terpenggal. Menyimak
kandungan dari surat Al Alaq, maka kejadian sebagaimana dilukiskan dalam
56

narasi (1) dan (2) tersebut semestinya tidak perlu terjadi. Sebaliknya sekolah dan
guru harus menamkan sikap dan pandangan yang kritis kepada murid.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang senantiasa disakralkan,
haruslah benar-benar menjaga sakralitasnya dengan balutan nilai uluhiyyah dan
bukan sekedar pencitraan yang dipaksakan. Dalam kaitannya dengan interaksi
guru dan murid, berIikir kritis terhadap kehidupan membuat guru dan murid akan
mampu mengoreksi diri sekaligus memberi masukan pada orang lain demi
peningkatan keharmonisan diantara keduanya. Guru dan murid menjadi partner
yang tangguh, bukan seperti atasan dan bawahan di sebuah perusahaan.

h. Mampu menerima perubahan
Narasi:
(Tapi semenfak Kiai Mail.memasrahkan tetek bengek pesantren kepada
putera-puteri dan menantunya, bersemilah perubahan-perubahan itu. Berdirilah
Madrasah Tsanawiyah yang setingkat SMP, fuga Madrasah Aliyah yang setingkat
SMU.18. 2)
Dan ditegaskan dalam narasi.
('.kita harus berani bertarung dengan kebudayaan Barat yang telah
kuat menyerang kehidupan bangsa kita. Generasi Islam harus mampu menguasai
kemafuan agar siap menghadapi :aman yang modern ini. Tinggalkan kemalasan,
bersungguh-sungguhlah.`116. 1)
Analisis:
56

Rosululullah telah bersabda bahwa: tergolong orang yang merugi apabila
hari ini sama dengan hari kemarin, apalagi jika hari esok sama dengan hari ini
maka termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka. Sabda Rosulullah
tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan dinamika mutlak adanya. Tentu
perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang menuju kebaikan dan dalam
rangka perbaikan. Pengembangan dan inovasi dalam hidup sangat diperlukan bagi
kita semua, apalagi hidup dalam dunia teknologi inIormasi yang membawa
perubahan pesat pada setiap saat. Namun demikian perubahan budaya, sistem atau
yang lainnya sebagaimana dimaksud harus tetap mempertahankan budaya lama
yang dianggap masih relevan. Hal ini sesuai dengan kaidah 'al muhafadhotu ala
al 6odim al sholih wa al akhdu bil fadid al ashlah, artinya: mempertahankan
budaya lama yang masih relevan dan mengambil budaya baru yang lebih baik.
Dengan demikian jika dipandang perubahan adalah sebuah keniscayaan,
maka sudah seharusnya diterima, apalagi Islam selalu dihadapkan pada kemajuan
Barat (non Islam). Hal inilah cerminan positiI untuk melakukan perubahan
sebagaimana yang berusaha ditampakkan dalam dialog pada narasi (1) dan (2) di
atas. Cerminan demikian sudah selayaknya ditanamkan oleh guru terhadap para
muridnya dalam setiap interaksinya, sehingga baik guru maupun murid tidak akan
melanggengkan tradisi yang kurang relevan dan anti terhadap perubahan. Bila
sikap penghargaan terhadap perubahan telah dimiliki guru dan murid, maka dalam
interaksinya mereka akan menjadi orang yang lebih siap, lebih terbuka, dan yang
paling penting mereka bisa lebih ariI dalam memahami satu sama lain.

56

i. Mampu menerima kritik
Narasi:
(Ustad: adalah sumber kebenaran yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan,
tak farang orang masih menganggap kalau kesalahan yang terfadi atas ustad:,
kiai, atau manusia suci lainnya adalah kebenaran yang tersembunyi. Kemutlakan
yang seharusnya cuma milik Tuhan. 200. 1)
(Dan, begitulah kebanyakan pendidikan Islam. Para guru selalu
mengatasnamakan sikap otoriternya dengan ilmu yang barokah dan bermanfaat.
Padahal, hal itu fustru menfadikan murid sebagai manusia kerdil, akibat
kebebasan yang ditekuk menfadi moral yang membelenggu. 72. 2)
Analisis:
Islam memerintahkan umatnya untuk selalu saling menasihati antara
sesamanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat al ashr.
llll lllllllll llllllllll
lllllllllll lllllllllllll
lllllllllllll lllllllllll
lllllllllllll lllllllllll
lll
Artinya: 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.
Pada dasarnya, setiap kritik adalah upaya melengkapi kekurangan kita.
Tak seorangpun yang tidak pernah bersalah dan lupa, karena memang kodrati
manusia adalah tempatnya salah dan lupa 'al-insanu mahallul khoto wannisyan.
56

Oleh karena pada setiap kita mengkin lupa dan bersalah, sehingga sepandai dan
sehebat orang tentu masih jauh dari kesempurnaan.
Ketidaksempurnaan manusia inilah yang memberikan celah untuk dengan
lapang dapat menerima setiap kritik, termasuk ustadz atau kyai sekalipun harus
tetap membuka diri untuk menerima kritik. Dengan demikian sikap guru yang
otoriter dan tidak mau menerima masukan ataupun kritik dalam relasi dan
interaksi antara guru dan murid semestinya tidak terjadi. Sikap anti kritik
merupakan bentuk pengingkaran terhadap ketidaksempurnaan makhluk dan
merupakan kesombongan di hadapan kesempurnaan Sang Kholik yang Maha
Sempurna. Penghormatan dan ketaatan terhadap sosok pun harus ditempatkan
dalam porsi yang tepat hingga pengkultusan yang bisa mengarah pada syirik khofy
dan kemandekan berIikir dapat dienyahkan. Kedua narasi di atas merupakan
bentuk perlawanan terhadap sikap anti kritik sebagian orang.

f. mau memaafkan
Narasi:
('Kalau kalian tidak kuat dengan hukuman ya fangan berbuat salah. Itu
salah kalian sendiri, ya tanggunglah resikonya'` Pak Sadeli meninggikan
suaranya bahkan dengan mimik muka kebencian. Tentu safa membuat Komar
semakin terpancing emosinya, dan pertahanan itu pun febol menfadi deru emosi
yang memuncak. 61. 1)
('Apa yang akan Ibu lakukan dengan Abah?` Tanya Siti kepada ibunya.
56

'Ibu akan menunggui Abahmu selamanya, Anakku,` fawab Bu Saudah
dengan tersenyum. Senyum yang paling suci. Tak ada dendam atau kebencian.
272. 2-3)
Analisis:
Sikap paling mulia di dunia ini adalah sikap mau memaaIkan. Secara
psikologis memaaIkan adalah suatu perbuatan yang sangat berat. Oleh karena
itulah jiwa pemaaI perlu untuk ditanamkan dalam diri kita semua. Terlebih lagi
pada para murid yang sedang menuntut ilmu, jiwa pemaaI akan menjadikan hidup
mereka lebih berarti bagi orang lain. Karena setiap orang tak pernah luput dari
salah dan lupa, maka setelah seseorang mengakui kesalahannya dengan tulus atau
sudah mendapatkan ganjaran atas kesalahannya, hendaknya ada keleluasaan hati
untuk memaaIkan.
Interaksi yang penuh rasa saling pengertian, terbuka, percaya dan mau
memaaIkan merupakan dasar-dasar dari keharmonisan interaksi guru dan murid
dimanapun lembaganya, termasuk pesantren. Jika guru bersalah, maka murid
bersedia memaaIkan dan memberi masukan dengan cara yang sopan, dan jika
murid yang salah, guru berusaha memaklumi, membimbing dan mengarahkan.
Inilah makna keharmonisan sesungguhnya.
Nilai-nilai di atas, apabila bisa benar-benar internali:ed pada guru dan
murid di lembaga Iormal di lingkungan pesantren, maka yang terjadi adalah:
1. Meningkatnya keimanan dan ketaqwaan yang menjadi motivator lahirnya
sikap postiI lainnya.
2. Nalar kritis akan terasah dengan baik dan maksimal
56

3. Aspirasi yang muncul meski mengharuskan sebuah perubahan signiIikan
bukan lagi menjadi Iobia
4. Murid memperoleh hak bersuara dan berpendapat
5. Guru tidak memposisikan diri sebagai manusia yang senantiasa benar dan
tak tersentuh kritik atau kesalahan
6. Murid menjadi lebih bertanggungjawab atas pilihan hidupnya sebagai
imbal balik dari kepercayaan yang diberikan para guru
7. Guru menjadi lebih bertanggungjawab dan berhati-hati dalam memberikan
tauladan kepada murid-muridnya.
8. Pada akhirnya, semua elemen di sekolah dan pesantren akan menjadi
manusia yang lebih toleran, terbuka, tidak eksklusiI dan mau belajar demi
perbaikan di masa depan.
Namun, reIormulasi ini haruslah diawali dengan pemahaman yang benar,
objektiI dan proporsional terhadap kitab talimul mutallim yang menjadi pegangan
kaum pesantren. Jangan sampai segala kemandekan akibat pemahaman sempit
terhadap kitab itu dijadikan justiIikasi terhadap pola interaksi yang terlanjur kaku,
dikotomis dan sarat pengkelasan. Selanjutnya, perlu ada upaya konkrit dan
komprehensiI yang melibatkan semua elemen madrasah dan pesantren.


56

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan, yakni:
1. Nilai-nilai edukatiI yang terdapat dalam novel Love in Pesantren karya
Shachree M. Daroini adalah sebagai berikut:
a. Terkait dengan dimensi transendental (vertikal)
1. Upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
2. Semangat melakukan ritual keagamaan
b. Terkait dengan dimensi sosial (horisontal)
1. Tolong menolong
2. Menyadari keterbatasan diri
3. Amar ma`ruI nahi munkar
4. Sigap menghadapi masalah
5. Mampu menerima perubahan
6. Kemandirian
7. Prinsip keadilan
8. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
9. Menghargai perbedaan
10. Menghargai dan menghormati sesama manusia
11. BerIikir kritis mengenai kehidupan
12. Mau memaaIkan
56

13. Mampu menerima kritik
14. Bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain
15. Bersikap optimis, tidak putus asa

2. Hal-hal yang kurang relevan terkait pola interaksi guru dan murid di pesantren
dalam novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini adalah:
a. Pemberian hukuman Iisik di luar kadar kemampuan
b. Sikap tak berkasih sayang
c. Tidak menghargai murid
d. Tidak memberikan kesempatan kepada murid untuk membela diri
e. Memenggal nalar kritis atas dasar keta`dziman
I. Sikap otoriter

3. Sedangkan dari nilai-nilai edukatiI di atas, yang bisa diterapkan sebagai
reIormulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren adalah sebagai berikut.
a. Upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
b. Menciptakan kondisi lingkungan yang sarat nuansa religius
c. Menghargai dan menghormati sesama manusia
d. Bersikap lembut, welas asih dan ramah pada orang lain
e. Menghargai perbedaan
I. Prinsip keadilan
g. BerIikir kritis mengenai kehidupan
h. Mampu menerima perubahan
56

i. Mampu menerima kritik
j. Mau memaaIkan
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai-nilai edukatiI yang terdapat
dalam novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini, terutama yang
terkait dengan pola interaksi guru dan murid di pesantren, pada bagian ini penulis
ingin ikut serta memberikan kontribusi berupa saran sebagai berikut:
1. Terkait dengan eksistensi novel, sudah sepatutnya novel maupun karya sastra
lainnya, mempertimbangkan sisi edukatiI yang bisa disumbangkan kepada
masyarakat luas dan bukan hanya mempertimbangkan selera pasar, trend,
ataupun profit oriented. Karena, akhir-akhir ini banyak bermunculan karya
sastra yang jauh dari unsur mendidik, mengeksplorasi seks tanpa tedeng aling-
aling misalnya. Sebab bagaimanapun, karya sastra terutama novel adalah yang
paling banyak diminati masyarakat di segala lapisan.
2. Hendaknya, kritik yang datang dari manapun, asalkan itu rasional dan bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya, haruslah diterima dengan lapang dada.
Termasuk kritik yang coba digulirkan Shachree M. Daroini mengenai pola
interaksi guru dan murid dalam sebuah sekolah yang bernaung dalam otoritas
pesantren.
3. Pesantren, sebagai lembaga yang sakral dan disakralkan, hendaknya
senantiasa mengembangkan keilmuan dan tidak bersikap eksklusiI dalam
bersudut pandang. Tidak mengekalkan pengkelasan serta Ieodalisme yang
berakibat pada pengkultusan yang berlebihan. Oleh karenanya, pesantren
56

sepatutnya senantiasa membuka diri untuk mau memahami perbedaan sudut
pandang agar tidak terburu-buru memandang segala sesuatunya secara hitam-
putih.
4. Nilai-nilai di atas, apabila bisa benar-benar internali:ed pada guru dan murid
di lembaga Iormal di lingkungan pesantren, maka yang terjadi adalah:
a. Meningkatnya keimanan dan ketaqwaan yang menjadi motivator lahirnya
sikap postiI lainnya.
b. Nalar kritis akan terasah dengan baik dan maksimal
c. Aspirasi yang muncul meski mengharuskan sebuah perubahan signiIikan
bukan lagi menjadi Iobia
d. Murid memperoleh hak bersuara dan berpendapat
e. Guru tidak memposisikan diri sebagai manusia yang senantiasa benar dan
tak tersentuh kritik atau kesalahan
I. Murid menjadi lebih bertanggungjawab atas pilihan hidupnya sebagai
imbal balik dari kepercayaan yang diberikan para guru
g. Guru menjadi lebih bertanggungjawab dan berhati-hati dalam memberikan
tauladan kepada murid-muridnya.
h. Pada akhirnya, semua elemen di sekolah dan pesantren akan menjadi
manusia yang lebih toleran, terbuka, tidak eksklusiI dan mau belajar demi
perbaikan di masa mendatang.
Namun, reIormulasi ini haruslah diawali dengan pemahaman yang benar,
objektiI dan proporsional terhadap kitab talimul mutallim yang menjadi
56

pegangan kaum pesantren. Selanjutnya, perlu ada upaya konkrit dan
komprehensiI yang melibatkan semua elemen madrasah dan pesantren.
5. Baik guru maupun murid di lingkungan pesantren, hendaknya sesegera
mungkin menyadari, bahwa dunia telah mengalami kemajuan pesat.
Kehidupan global menanti intelektual muslim yang menguasai teknologi dan
inIormasi. Bukan sekedar orang-orang puritan yang gagap teknologi,
membenci globalisasi dan mengurung diri tanpa mampu berbuat apa-apa
untuk menjadi pioneer di era global. Jika umat muslim tetap terkungkung
dalam doktrin yang mengkerdilkan, membatasi nalar kritis dan kreatiIitas,
mencampakkan kemajuan atas dalih moralitas dan sekulerisme, maka umat
Islam takkan pernah lepas dari imperialisme Barat.

You might also like