You are on page 1of 17

PRODUKSI TERNAK TRANSGENIK SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK TERNAK RISTIKA HANDARINI Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Berbagai metode untuk produksi temak transgenik telah ditemukan dan dikemukakan oleh beberapa peneliti antara lain transfer gen dengan mikroinjeksi pada pronukleus, injeksi pada germinal vesikel, injeksi gen kedalam sitoplama, melalui sperma, melalui virus (sebagai mediator), dengan particke gun (particle bombartmen) dan embryonic stem cells: Diantara metode yang telah dikemukakan diatas ternyata berkembang sesuai dengan kemajuan hasil produksi dan beberapa kelemahan yang dijumpai pada masing-masing metode. Sebagai contoh produksi ternak transgenik dengan metode retroviral sebagai mediator gen yang akan diintegrasikan mulai digantikan dengan metode lain yang tidak mengandung resiko atau efek samping dari virus/bakteri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus yang sering dipakai oleh peneliti (Kart, 1989; Bondioli, et. al., 1991; Hill et. al., 1992 ; Gagne and Sirard, 1995; Kubisch, et. al., 1995; Han, et. Al, 1996; Su, et. al., 1998). Produksi ternak transgenik diperlukan dibidang peternakan. Sebagai contoh pada ternak sapi : panjangnya interval generasi, jumlah anak yang dihasilkan dan lamanya proses integrasi gen menjadi tidak efissien bila dilakukan secara konvensional. Oleh karena itu kebemasilan produksi sapi trangenik sangat diharapkan karena memungkinkan untuk terjadinya mutasi gen secara tiba-tiba (pada satu generasi) dan lebih terarah pada gen yang diinginkan. Performans yang diharapkan dari sapi transgenik adalah sapi yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, efisien dalam pemanfaatan pakan , kuantitas dan kualitas produksi yang lebih tinggi serta lebih resisten terhadap penyakit. Permasalahan pada temak transgenik adalah rendahnya keturunan (offspring) dari ternak trangenik yang dihasilkan baik pada hewan penelitian maupun pada ternak mamalia (sekitar 1-4%) yang nantinya, menjadi prioritas peningkatan produksi ternak dibidang peternakan. Rendahnya keturunan pada produksi temak transgenik harus dilihat dari berbagai fase produksi, mengingat panjangnya prosedur yang harus dilalui. Oleh karena iru dalam makalah ini akan dibahas mengenai metode dan pada makalah ini. II. TUJUAN PRODUKSI TERNAK TRANSGENIK 1. Meningkatkan produktivitas ternak Pada beberapa negara komposisi genetik dari ternak domestik dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Pada tahun-tahun terakhir, perkembangan teknologi rekombinan DNA menjadi dasar penting untuk mengisolasi single gen, menganalisa dan memodifikasi struktur nukleotida dan mengcopi gen yang telah diisolasi dan mentransfer hasil copian pada genome. Saat ini medically human proteins diproduksi

2004 Digitized by USU digital library

dalam jumlah besar dalam susu domba transgenik. Di bidang peternakan tranfer gen bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak seperti konversi pakan, rataan pertambahan babet badan, mereduksi kandungan lemak, meningkatkan kualitas daging, susu, wool secara cepat sehingga dapat mengurangi biaya produksi yang harus ditanggung konsumen (Pursel dan Rexroad, 1993). Karakter dari produktivitas ternak dikontrol oleh sejumlah gen yang dapat dipisahkan dari genom. Hasil pemetaan genom dari suatu spesies ternak membantu dalam pemilihan satu atau beberapa gen yang diinginkan dan menguntungkan secara ekonomi. Beberapa gen yang mempunyai patensi untuk pembentukan ternak transgenik a. Growth Hormon (GH) GH banyak dilibatkan dalam pembentukan ternak transgenik. Sejumlah gen GH telah berhasil ditransfer pada temak (Tabel1). Pada babi dan domba ekspresi gen GH yang ditransfer dapat diamati dari peningkatan GH pada plasma darah keturunan yang dihasilkan. Konsentrasi GH bervariasi pada ternak transgenik meskipun mempunyai struktur gen yang sama, tetapi penyisipan gen pada genom bersifat random. Pada umumnya pada babi dan domba, tidak tumbuh lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh satu induk. Beberapa babi menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat, 17% lebih efisien dalam konversi pakan dan hanya mengandung 1/5 lenak karkas (Gambar 1). Reduksi lemak diobservasi dari beberapa bagian jaringan intramuskular dibandingkan dengan saudara satu induk yang bukan transgenik. (Gambar 2). Ternak transgenik tidak menunjukkan adanya pertumbuhan yang lebih besar dari

2004 Digitized by USU digital library

Sumber : Pursel dan rexroad (1993) kontrol tetapi kandungan lemaknya lebih rendah. (Nancarrow et. al 1991) Pada domba transgenik hilangnya lemak tubuh dapat mengakibatkan hiperglisemia dan glkosuria (Rexroad et. al., 1991). Peningkatan GH mengakibatkan sejumlah patologis termasuk degeneratif ginjal. Pada babi peningkatan GH mengakibatkan gastric ulcers dan infertilitas ( Ebert et. al., 1991).

Gambar 1. Perbedaan rataan pertumbuhan, efisien pakan dan ternak karkas pada babi transgenik (pursel,1990).

Gambar 2. Rataan persentase lemak intramuskular (Nancarrow, 1991) b. Growth Hormon Releasing Factor (GRF). Domba dan babi transgenik telah diproduksi dengan menggunakan sekuens promotor MT dan ALB. Hanya 14% domba dan 29% babi yang dapat mengekspresikan gen MT- human growth hormon releasing factor (hGRF) (Pursel et.al. 1990).Konsentrasi GRF pada plasma babi transgenik sekitar 130 - 380 pg/ml (MT-hGRF) dan 400 - 800 pg/ml (ALB-hGRF). Konsentrasi ini lebih tinggi 10 - 500 kali dari temak kontrol seinduk yang bukan transgenik (Tabel 2).

2004 Digitized by USU digital library

Tabel 2. Konsentrasi GRF dan GH pada kontrol dan hGRF pada babi dan domba trangenik Pigs Control MT-hGRF ALB-hGRF GRF < 20 130 - 380 400 - 8000 14 5 GH 11 - 16 8 - 11 Sumber: Pursel dan Rexroad (1993) Hormone Sheep MT-hGRF 502 5-43

Control <30 5

ALB-GRF 264-683 30-50

c. Insulin like Growth Factor I (IGF I) Empat babi dan 7 sapi transgenik diproduksi dengan memasukkan gen IGF I (Hill et al.1992), ternyata hanya hanya satu babi yang dapat mengekspresikan peningkatan level IGF I. d. Stimulation of muscle development Sutrave et.al., (1990) melaporkan bahwa tikus mampu mengekpresikan gen ayam cSK! yang secara phenotip menunjukkan adanya hipertropi pada otot dan mereduksi lemak tubuh. Gen yang ditransfer kedalam tikus mengandung promotor Mouse Sarcoma Virus (MSV) LTR yang difusikan untuk mengaktifkan cSKI cDNA. Produk dari gen yang ditransfer adalah protein yang mengandung 448 asam amino yang berada dalam inti-inti otot. Gen cSKI telah dicobakan dotransfer pada genome babi (Pursel et. al., 1992). Hasilnya menunjukkan perbedaan phenotip diantara temak yang diuji antara lain hipertropi otot pada pundak dan paha. Produksi wool juga menjadi prioritas pada domba. Cystein merupakan asm amino yang mempunyai peran panting dalam produksi wool. Namun penambahan Cystein tidak dapat meningkatkan produksi wool karena degradasi rumen. Dilaporkan Damak (1996) domba transgenik mengekspresikan IGF I dapat meningkatkan beral wool. Gen yang ditransfer mengandung promotor keratin tikus yang terikat pada IGF I cDNA. Su et al., (1998)mengemukakan domba transgenik hasil induksi gen cDNA IGF I yang dikendalikan oleh promotor keratin tikus dapat meningkatkan 17% produksi wool dibanding dengan saudara seinduk yang nontransgenik. 2. Meningkatkan kesehatan ternak Aplikasi dari teknologi transgenik juga digunakan untuk memperbaiki kesehatan ternak. Beberapa pendekatan dilakukan untuk meningkatkan resistensi ternak terhadap suatu penyakit dan pembentukan antibodi. Resistensi penyakit bisa terjadi secara alami maupun induksi antibodi. Tikus mengandung gen allel autosom dominan Mx1 yang tahan terhadap virus influenza. Interferon menstimulasi produksi protein Mx yang menjadi promotor ketahanan terhadap infeksi virus. Pada sapi transgenik Immunoglobin A (lgA) terdeteksi dalam serum sekitar 650 g/ml. Pada domba transgenik IgA dijumpai pada limposit. 3. Bioreaktor untuk produk-produk biomedis Ternak transgenik memegang peran panting dalam menghasilkan produkproduk untuk pengobatan penyakit. Ribuan orang mengambil keuntungan dari produk-produk biomedik yang dihasilkan. Dari ternak transgenik. Contoh : insulin untuk pengobatan penyakit diabetes dan oksitoksin untuk merangsang kelahiran. Beberapa produk biomedik yang dapat diproduksi dari temak transgenik antara lain:

2004 Digitized by USU digital library

a. Human alpha 1 anti tripsin (haAT) Weight et. al., (1991) melaporkan tingginya konsentrasi hAT pada susu domba transgenik. Konsentrasinya berkisar 1.5 - 37.5 g/l. Domba setelah berproduksi tidak menunjukkan symtomp. Aktivitas dari hAT yang telah dipurifikasi dari susu domba menghasilkan transgenik sama dengan hAT pada plasma darah manusia. Bila manusia defisiensi akan hAT maka akan menderita emphysema. hAT dapat diekstraksi dari plasma darah manusia, tetapi karena kebutuhan untuk pasien cukup besar (200 g per tahun) menjadi tidak mencukupi dan mahal. b. Human Lactoferin (hLF) Krimpenfort et. al. (1991) lelah berhasil memproduksi temak transgenic dengan komposis promotor SI casein dan sekuens hLF. Meade et al., (1990) mentransfer SI casein 15 kbp dapat diekspresikan pada jaringan spesifik tikus transgenie. Gen SI casein dapat juga dideteksi pada jaringan plasenta pada sapi perah dan hanya menghasilkan hlF pada saat laktasi. c. Human Protein C Velander eta.al (1992) mengiduksikan cDNA protein C mammae (hPC) kedalam WAP untuk memproduksi babi transgenic. Babi ini menghasilkan susu yang mengandung lebih dari 1 g hPC/liter susu. Aktivitas biologi dari hPC rekombinan ekuivalen dengan protein C dari plasma manusia. Protein C mengandung peran dalam regulasi hemostasis. Bila tubuh defisiensi protein C akan mengalami trombosit (intravaskular blood clots). Protein C berperan dalam mencegah pembekuan darah. Kebutuhan setiap tahun 96 kg dan menjadi proyek di Amerika. d. Tissue Plasminogen Activator (TPA) Promotor WAr tikus digunakan untuk mengespresikan beberapa hTPA cDNA pada kambing transgenik. Ebert et al., (1991) mengemukakan bahwa TPA merupakan agen anti pembekuan darah, digunakan untuk pasien yang mengalami serangan jantung. Konsentrasinya sangat rendah dijumpai pada susu dan ekspresi hTPA tidak berpengaruh pada produksi susu dan kesehatan kambing transgenik. Kambing transgenic telah diproduksi dengan promotor 13 casein yang diikutkan dalam WAP dan menghasilkan konsentrasi hTPA yang lebih tinggi. Kambing mengalami agalactic setelah beranak dan ini merupakan hasil ekspresi yang spesifik. e. Human Haemoglobin Haemoglobin merupakan protein biomedik yang tidak dapat disintesa oleh kelenjar mammae tetapi dapat diproduksi oleh jaringan lain dari temak transgenic dan berada dalam darah (Swanson et al., 1992 telah memproduksi tiga babi transgenic yang mengandung gen dan globin. Hasil menunjukan 15% dari sel darah merah mengandung hHG pada hemoglobin babi. Hemoglobin dapat diekstraksi dari sel-sel darah merah baik dari manusia maupun babi kemudian dipisahkan dengan kromatografi. Hemoglobin murni dapat dimodifikasi secara kimia yaitu dengan cara polimerisasi. Produksi hH dari temak transgenik digunakan ntuk transfusi darah. III. TEKNIK TRANFER GEN Dari bebarapa literatur dikemukakan banyak teknik untuk memasukkan DNA asing kedalam genome. Contoh introduksi DNA secara tradisional : presipitasi kalsium (Graham, 1973), infeksi dengan virus sebagai mediator (Muligan et.al, 1979), elektroporasi (Neumann et. al., 1992) dan lipofection (Fraley et. al., 1980). Keberhasilan pertama kali metode mikroinjeksi pada tikus tahun 1970 (Gardon et.

2004 Digitized by USU digital library

al., 1990). Metode yang dikemukakan Dish Gardon (1994) antara lain: menggunakan sperma sebagai media transfer gen, mikoinjeksi pada pronukleus, dengan menggunakan particle gun (Particle bombardment, media virus, injeksi pada germinal vesicle, injeksi pada sitoplasma oosit (Gambar 3 ).

Gambar 3. Kemungkinan metode transfer gen pada sapi (Gardon,1994) Berbagai metode diatas akan dibahas dibawah ini satu persatu yaitu : 1. Spermatozoa sebagai pembawa gen. Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang untuk mentransfer DNA asing kedalam oosit. Metode sperma sebagai media tranfser gen ditemukan oleh Brackett di Amerika Serikat. Penemuan ini menarik minat peneliti dari Italia (Gandolfi et. al., 1989). Mereka mendemonstrasikan sel sperma tikus yang berasal dari epididimis sebagai vektor untuk membawa gen asing kedalam oosit. Pengikatan gen oleh sperma secara optimal bila sperma dalam keadaan motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi. Brinster et. al., (1989) melaporkan penelitian transfer gen dengan sperma sebagai media menghasilkan seekor tikus transgenik dari 1300 tikus yang dicoba. Di New Zealand, Peternon et. al.,(1990) mengemukakan waktu yang tepat untuk resorpsi DNA setelah dilakukan kapasitasi terhadap sperma. Di Canada Gagne et. al 1991) dengan menggunakan elektroporasi menunjukkan DNA asing dapat stabil didalam sperma dan lebih menguntungkan karena dapat mengurangi trauma akibat mikro injeksi (Gambar 4). Di Australia, Arkinson et. al., (1991) mendemonstrasikan sperma sapi dapat mengikat DNA asing meskipun keberhasilannya cukup rendah.

Gambar 4. Transfeksi spermatozoa vs mikroinjeksi inti (Pinkert,1994)

2004 Digitized by USU digital library

Yang sangat menarik adalah pengikatan antara sperma dan DNA tidak terjadi secara acak. Dalam beberapa spesies molukel DNA melekat pada satu lokasi dibagian belakang akrosom kepala spermatozoa. Sepertinya terdapat suatu reseptor pada bagian belakang akrosom yang berfungsi sebagai media interaksi antara DNA dengan sel sperma. Cairan spermatozoa diduga menghambat permiabilitas membran sel sperma dengan DNA. Berdasarkan pengamatan sperma hasil ejakulasi lebih permiabel dibanding sperma dari epididimis (Pinkert, 1994) . Didukung oleh penelitian pada mamalia menunjukkan bahwa spennatozoa yang diejakulasikan memiliki sifat impermiabel terhadap DNA asing kecuali jika seminal plasma dihilangkan. 2. Mikroinjeksi pada pronukleus Kemampuan genetik ternak secara nyata dapat dimanipulasi melalui pembedahan mikro pada embrio stadium awal (embrio satu sel). Pertama sekali metode mikroinjeksi dilakukan oleh Gurdon (1963) pada telur amphibi dengan menginjeksikan sitoplasma kedalam zygot, namun hasilnya tidak berpengaruh pada perkembangan embrio selanjutnya. Kemudian dicoba lagi dengan cara menginjeksi mRNA pada oosit amphibi, ternyata mampu mengkode peptida. Penelitian-penelitian lain mulai menyusul dengan menggunakan hewan laboratorium terutama embrio mencit dan selanjuynya berkembang pada embrio mamalia (Pinkert, 1994). Pada mamalia dialoprkan aleh Sreenan dan Mc Evoy et. al., (1989) dari 11 resipien dilahirkan dua puluh sapi yang tidak menunjukkan integrasi gen. Injeksi molekul DNA kedalam pronukleus juga sekaligus mempelajari transkripsi dan kontrol translasi selama perkembangan embrio. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada embrio stadium awal mampu mentranskrip gen baru yang diinjeksikan kedalam pronukleus ( Hill, et. al, 1992). Metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus dapat dilihat pada Gambar 5. DNA langsung diinjeksikan pada pronukleus jantan dengan kandungan 200 - 500 copi susunan gen.

Kemudahan mikroinjeksi pada beberapa spesies sangat bervariasi : pada tikus relatif lebih mudah dibanding pada embrio sapi karena oosit mengandung lemak. Pada embrio sapi mikroinjeksi DNA pada inti sulit dilakukan bila tidak dilakukan dibawah mikroskop : Differential Interference contrast mycroscopy (DIG). Zygot harus disentrifugasi pada tube 2 ml mikrosentrifus selama 8 menit dengan kecepatan 15.000 9 (Kay et. al, 1991; Bremel et. al, 1996). Selama sentrifugasi granula lemak akan migrasi pada satu sisi embrio satu sel dan pronukleus menempati pada posisi ditengah embrio. Keberhasilan pemisahan komponen selular ditandai dengan visualisasi pronukleus (Karl, 1989 ; Wall, 1996). Han et. al (1996) melakukan penelitian dengan konsentrasi DNA 4 /g/ml dalam buffer 10 mM trisHCI (pH 8) dan 0,1 mM EDTA. Visualisasi pronukleus dilakukan dengan sentrifugasi dengan

2004 Digitized by USU digital library

kecepatan 15.000 g (Eppendorf microcentrifuge). Materi DNA langsung diinjeksikan pada pronukleus dengan selang waktu 21 -25 jam setelah fertilisasi, hasil penelitian menunujkkan 4.4% (131/2931) embrio yang diinjeksi dapat berkembang menjadi blastosit (Tabel 3). Tabel 3. Perkembangan embrio satu sel sapi setelah injeksi DNA No. of embryos injected 2931 No. of embryos Surviving (%)a 2505 (85.5) No. of embryos Cleaving (%)b 1804 (72.0) No. of embryos To blastocysts (%)C 131 (5.2)

Sumber: Han et. al., (1996) Penelitian lain dilakuakan oleh Jura et. al., (1994), materi DNA yang diinjeksikan bGH-M8 pada 639 zygot. Penampakan pronukleus dilakukan dengan sentrifugasi 14.000 g selama 5 menit. Hasil penelitian menunjukkan persentase embrio yang berkembang menjadi blastosit vs kontrol ( 69,6 vs 34,5). . Krimpenford et. al., 1991 menghasilkan duo sapi transgenik dari 2470 oosit yang dikoleksi. Hanya 1154 yang menunjukan pronukleus dan diinjeksi dengan DNA. 287 embryo hatching (28%) don 129 embrio ditransfer pada 99 resipien, 19 ekor anak sapi lahir dan hanya 2 ekor sapi yang berhasil (1,55% dari embryo yang ditransfer). Pinkert (1994) mengemukakan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi keberhasilan mekroinjeksi DNA pada pronukleus antara lain: 1. Integrasi fragmen DNA linier lebih efisien dibandingkan DNA yang super coil. 2. Buffer untuk mikroinjeksi terutama pH (disarankan 10 mM Tris, pH 7.4 dengan 0.1 0.3 mM EDTA. 3. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus jantan lebih efisien dibandingkan dengan pronukleus betina. 4. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus lebih efisien dibandingkan dengan injeksi pada sitoplasma. 3. Injeksi gen pada germinal vesikel Visualisasi dari pronukleus pada sapi sangat sulit dan pertu pertakuan khusus yaitu sentrifugasi. Pada metode ini penampakan germinal vesikel meski agak sulit menentukan waktunya tapi penelitian di Polandia berhasil dilakukan oleh Jura et. al. (1990) dengan dimana DNA dilarutkan dalam larutan buffer dan diinjeksikan pada mature oesit. Gagne et. al., (1991) melaporkan bahwa injeksi pada germinal vesikel bisa menjadi alternatif bila ditemukan waktu yang tepat untuk injeksi dan ini spesifik untuk setiap spesies. 4. Injeksi gen pada sitoplama Beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan injeksi DNA kedalam sitoplasma. Galli et. al., 1991 melakukan metode ini pada sapi, domba dan babi yaitu injeksi DNA pada stadium berbeda yaitu pada oosit dan zygot, dan hasil yang diperoleh sangat rendah persentsenya. Injeksi gen pada sitoplasma banyak dilakukan pada ikan. 5. Particle gun Metode ini banyak digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada suatu mikropartikel. Metode ini pernah dicobakan pada sapi untuk menguji viabilitas sperma dan pengaruhnya akibat adanya mikropartikel (Hough dan Foote, 1990 dalam Gordon 1994). Transfer gen dengan metode ini mempunyai banyak

2004 Digitized by USU digital library

keuntungan yaitu mudah ditangani dengan satu kali tembakan akan menghasilkan beberapa sasaran , partikel dapat mencapai sasaran yang lebih dalam dan dapat digunakan pada berbagai macam jaringan (Potrykus, 1996). 6. Virus sebagai media Seperti pada mikroinjeksi DNA, integrasi gen pada vieur lebih cepat karena kemampuannnya mentranskripsi gen. Efektivitas penggunaan virus telah dicoba pada embrio tikus pada sapi pertama sekali dilakukan oeh Kim et. al., (1993) dengan Murine Leukemia Virus (MLV). Infeksi tidak hanya pada tryphectoderm tapi sampai ICM. Kubisch et. al., (1995) menginduksikan materi DNA yang mengandung promotor SV40 atao pb ActinLacZ yang dikendalikan oleh bakteri beta galatosidase. Pada sapi perah induksi gen bGH terbukti dapat meningkatkan produksi susu sebanyak 18% (Kar1, 1989). Transkripsi jaringan spesifik mammae dari Mouse Mammary Tumor Virus (MMTV) dapat menghasilkan susunan Long Terminal Repeat (LTR) pada genom. Gen dengan struktur c-myc yang berikatan dengan promotor MMTV dan diinduksikan pada embrio tikus menghasilkan tikus transgenik yang mengalami adenocarcinoma pada mammae. IV. PROSEDUR PRODUKSI SAPI TRANSGENIK Produksi sapi transgenik sangat tergantung pada kualitas embrio satu sel yang akan di injeksi. Bila embrio diperoleh secara in vivo maka prosedur diawali dengan superovulasi ternak donor (untuk mendapatkan banyak embrio),koleksi zigot (embrio satu sel), mikro injeksi DNA pada embrio, kultur embrio sampai fase blastosis , ditransfer pada temak resipien dan diperoleh sapi transgenik (Bondioli et.al., 1991). Pada produksi embrio secara in vitro dimulai dengan koleksi oosit. Oosit diaspirasi dari folikel berdiameter 2 - 5 mm dengan menggunakan jarum berukuran 18 G. Oosit dicuci dengan 3 kali dengan medium aspirasi 10 mM TALP-HEPES dan TCM-199 (dengan garam Eagle's dan L glutamin) ditambah dengan 0.3% BSA dan 2 mM NaHC03, sedangkan untuk IVM digunakan TCM 199 yang telah diimbuhi dengan hormon FSH dan estradiol. Kultur oosit dilakukan selama 22 - 24 jam dalam inkubator suhu 39C dan 5% CO2. Spermatozoa yang akan digunakan untuk fertilisasi dipersiapkan dengan metode swim-up dan konsentrasi akhir spermatozoa 1.6 x 106/ml sperma motil (Rexroad and Harold, 1994). IVF dilakukan dalam medium BSA, setelah 18 jam diharapkan telah terjadi fertilisasi, kemudian divortex selama 2 menit dalam 2 ml medium TALF-HEPES. Pada tahapan selanjutnya mikro injeksi DNA. Han .et. al., (1996) melakukan penelitian dengan fragmen pBLi (5,5 Kb) yang mengandung promotor gen casein, lactoferin dan SV40. Metode yang digunakan mikroinjeksi pada nukleus, diawali dengan penampakan pronukleus yang jelas dan embrio satu sel telah bebas dari kumulus oophorus. Setelah disentrifugasi dalam mikrosentrifuse (15000 G) selama 7 menit, embrio diinjeksi dengan larutan yang mengandung DNA tepat pada pronukleus yaitu sekitar 21-25 jam setelah inseminasi buatan. Pembengkakan pronukleus mengindikasikan keberhasilan injeksi materi DNA, Hasil penelitian Han, et. al, (1996) menunjukkan rataan zigot hasil lVF yang diijeksi dengan DNA 85,5% mengalami pembengkakan pronukleus (setelah satu jam injeksi DNA). Rataan embrio sapi yang berkembang menjadi 2 - 8 sel 72,0% (1804/2505) dan yang mampu membentuk blastosit sekitar 5,2% (131/2505). Tahapan selanjutnya kultur dari embrio hasil injeksi DNA. Ada 2 cara yang bisa dilakukan yaitu melalui induk perantara (intermediated host) maupun in vitro dengan coculture. Pada cara pertama embrio sapi ditransfer kedalam UTJ (utero tuba junction). Embrio diflushing 6 - 9 hari setelah transfer. Bondioli, et. al.(1991)

2004 Digitized by USU digital library

menemukan kembali 56% embrio yang telah ditransfer dan 50% dari yang ditemukan dapat berkembang sampai fase blastosis. Tujuh hari setelah transfer lebih dari separuhnya berkembang menjadi elongated bastocyts, cara kedua yaitu dengan in Vitro coculture, antara lain dengan menggunakan sel - sel granulosa (Goto, et. al 1992) dan sel- sel oviduct (Bondioli, et. al 1991). Pada awalnya para peneliti mengkultur embrio yang telah diinjeksi DNA dengan medium GR1aa (Rosenkrans, 1993), tetapi hasil penelitian menunjuk rendahnya embrio hasil injeksi yang berkembang menjadi blastosit. Pada perkembangan selanjutnya medium kultur embrio mengarah pada co-kultur yang berasal dari ringan fibroblast. Goto, et. al (1992) mengemukakan bahwa dengan menggunakan co-kultur :rataan perkembangan embrio yang telah diinjeksi DNA sampai tahap blastosit meningkat dari 4% (4/98) menjadi 11% (12/108). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah periode kultur dari embrio sapi yang telah diinjeksi DNA" Monson, et. al., (1992) memperoleh rataan kebuntingan tinggi dari embrio sapi yang telah dikultur selama 7 hari. Hal yang sama dilakukan oleh Han, et. (1996) juga memperoleh hasil rataan kebuntingan tertinggi dari embrio sapi yang dikultur selama 7 hari dibandingkan dengan embrio rang dikultur selama 8 hari (Tabel 4). Tahapan terakhir adalah transfer embrio sapi pada ternak resipien. Embrio yang telah berkembang membentuk blastosit baik secara in vivo (melalui induk perantara) maupun yang dikultur secara in vitro ditransfer pada ternak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya i(Eyestone, 1999). Penelitian yang dilakukan Han, et. al., (1996) dengan cara mengklasifikasikan blastosit yang berkembang menjadi 4 grade (hanya kualitas fair - excelent ) dan ditranfer pada ternak resipien. Rataan kebuntingan yang diperoleh dari tranfer blastosis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4. Rataan Kebuntingan dari Blastosis Sapi Hasil lnjeksi DNA yang Dikultur Secara in Vitro No. of embryos No. of embryos Pregnancy rate (%) Day of Culturea transferred /Recipients Day 6 11 1/11 9.0 Day 7 29 10/29 34.5 Day 8 19 7/19 36.8 Sumber: Han, et. al., (1996) Rataan kebuntingan yang diperoleh dari embrio yang telah diinjeksi DNA yang dikultur selama 6 dan 7 hari secara statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata. Data-data yang ditunjukkan tidak menerangkan lebih lanjut jumlah keturunan trangenik yang dihasilkan dari sejumlah embrio hasil injeksi DNA. Tabel 5. Rataan Kebuntingan sapi berdasarkan kualitas Blastosit yang Diinjeksi DNA Embrio Quality No. of embryos No. of embryos Pregnancy rate (%) transferred /Recipients Excellent 25 10/25 40.0 Good 28 7/28 25.0 Fair 6 1/6 16.7 Total 59 Sumber : Han , et,al (1996) 18/59 30.5

Skema produksi sapi transgenik dengan metode mikroinjeksi pronukleus dapat dilihat pada Gambar 6. Setelah zigot diperoleh dari hasil flushing sapi donor, gen aging yang diinginkan diinjeksikan kedalam pronukleus zygot yang telah disentrifugasi. Kultur embrio yang biasa dilakukan dengan menggunakan host 2004 Digitized by USU digital library

10

sebagai perantara kemudian ditransfer pada ternak resipien. Identifikasi gen yang yang diinjeksikan dilakukan pada keturunan ternak transgenik dengan PCR, dilanjutkan dengan analisa DNA yang berintegrasi untuk mengetahui kemampuan transkripsi dari mRNA dan produksi protein. Eyestone (1999) mengemukakan bahwa produksi sapi-sapi transgenik secara invitro dapat mereduksi biaya- sekitar 50 - 60% bila dibandingkan dengan aplikasi pemuliaan secara konvensional. Pada perkembangan selanjutnya telah dikemukakan keberhasilan generasi ternak transgenik melalui transfer somatik inti pada domba (Schieke, et. al., 1997) dan sapi (Cibelli, et. al., 1998). Pendekatan teknologi ini selangkah lebih maju sebagai upaya meningkatkan efisiensi produksi temak transgenik. Pengujian performance dari generasi pertama dan kedua ternak transgenik dengan metode transfer inti somatik telah dilakukan oleh Su, et.al.,(1998). DNA yang diinjeksikan mengandung gen IGF-I cDNA yang terikat pada promotor keratin tikus. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan produksi dan kualitas wool.

Inti somatik yang digunakan berasal dari fibroblast fetus yang di-tranfection secara in vitro. Pada metode ini verifikasi gen yang diinginkan dilakukan sebelum gen ditransfer, dan tahap selanjutnya transfer gen pada oosit tanpa inti (telah dienukleasi). Tahapan ini memberi waktu pada kedua gen dari masing-masing inti somatik fibroblast untuk melakukan fusi. Setelah kedua komponen fusi, fibroblast transgenik dikultur sampai stadium blastosit dan ditransfer pada temak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya (Gambar 7).

2004 Digitized by USU digital library

11

Gambar 7. : Produk Sapi Transgenik dengan Metode Transfer inti Somatik (Niemann and Kues,2000) Pada metode kedua yaitu transfer gen melalui fibroblast fetus. Jika dibandingkan dengan prosedur mikroinjeksi pada pronukleus, maka metode kedua memberikan hasil yang lebih maksimal terhadap ekspresi gen yang diinginkan karena screening gen dilakukan sebelum ditransfer pada oosit yang telah dienukleasi dan memungkinkan dilakukan kloning sehingga dapat meningkatkan jumlah keturunan transgenik. Pada metode injeksi inti permasalahan rendahnya teturunan transgenik (sekitar 4 - 5%) belum dapat diatasi karena indentifikasi dari gen yang terkandung pada keturunan transgenik dilakukan setelah dihasiikan anak dari ternak resipien, sedangkan pada metode transfer gen melalui inti somatik sel- sel fibroblastfetus, verifikasi dari gen yang berintegrasi dilakukan sebelum terjadi fusi

2004 Digitized by USU digital library

12

sehingga sangat memungkinkan hanya gen-gen yang diinginkan yang akan mengalami fusi dan berkembang menjadi blastosit. Karena gen-gen yang diinginkan telah diverifikasi pada tahap awal maka ekspresi gen setelah fusi lebih optimal dan membuka peluang lain yaitu pembuatan kloning sebelum blastosit ditransfer pada ternak resipien sehingga baik secara kualitas dan kuantitatif keturunan ternak transgenik lebih meningkat. V. DETEKSI TERNAK TRANSGENIK Integrasi dan ekspresi gen yang ditranfer dapat dilihat deteksi melalui 3 tahapan : 1. Deteksi konstruksi gem dengan Southern blot Analysis Pada saat ternak lahir, DNA langsung diisolasi dari jaringan atau darah spesimen. Sulit untuk mendeteksi DNA yang mempunyai berat molekul tinggi. Isolasi DNA dilakukan dengan retriksi enzim endonuklease dengan elektroforesis gel agarose untuk memisahkan fragment DNA. DNA ditransfer pada nitroselulosa atau membran nilon. (Gambar 8). Penyaring dihibridisasi dengan probe yang dilabel dengan radioaktif. Pelabelan fragment DNA dilakukan dengan dUTP. Genome DNA dapat dibaca 10 -16 jam setelah ditansfer secara lengkap pada nitroselulosa.

2. Northtem Blot Analysis Metode ini digunakan untuk mengetahui konstruksi RNA yang mempunyai barat molekul lebih basar. Analisa dilakukan dengan cara isolasi RNA dari j_ringan yang mempunyai ekspresi gen yang paling tinggi. Untuk mendapatkan RNA dilakukan dengan denaturasi protein oleh guanidinium isothiocyanat. Elektroforesis RNA dilakukan dengan gel agarose atau ditreatment dengan Dimethylsulfoxide (DMSO) kemudian ditransfer pada nitroselulosa atau saringan nilon ,dan selanjutnya sama dengan pengamatan pada Southern Blot Analysis. Pembanding yang digunakan primer yang mengadung jumlah, struktur dan rataan dari sintesis RNA S1 nuklease. 3. Tranlation Analysis Transkripsi dari integrasi gen dapat diuji dengan analisa translasi, biasanya produk yang dihasilkan RNA adalah protein. Beberapa tes kolorimetri dapat digunakan untuk mengukur kuantitas protein. Analisa dengan metacle elektroforesis gel agarose yang diwarnai dengan Commassie blue. Teknik lain adalah tranfer protein pada nitroselulose atau saringan nilon kemudian dilakukan Western Blot Analysis. Untuk kepentingan klinik sering dilakukan ELlSA untuk mengukurekspresi gen (Brem, 1989). Pada akhirnya seekor ternak dapat dikatakan sebagai ternak transgenik bila memenuhi kriteria :

2004 Digitized by USU digital library

13

1. 2. 3. 4.

Integrasi dari gen yang ditransfer ada pada semua sel-sel somatik. Transmisi dari gen yang ditransfer stabil pada semua keturunan Ekspresi dari gen yang ditransfer DNA> mRNA > protein. Aktivitas biologi dari protein hasil ekspresi gen yang ditransfer.

VI. KESIMPULAN Dari uraian bahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pembentukkan ternak transgenik merupakan salah satu cara mutasi gen secara tiba-tiba pada satu generasi dan terkonsentrasi pada gen yang diinginkan. 2. Tujuan pembentukan temak transgenik bisa dikaukan dengan berbagai metode yaitu meningkatkan produktivitas ternak transgenik, meningkatkan resistensi penyakit pada ternak dan yang paling popular adalah sebagai bioreaktor produk-produk biomedis. 3. Metode tranfer gen yang sering digunakan untuk pembentukan ternak transgenik adalah mikroinjeksi DNA pada pronukleus dan dengan mediator spematozoa. 4. Analisis terhadap integrasi gen yang ditransfer dapat dilakukan analisa Southern Blot (untuk DNA), Northern Blot Analysis (untuk RNA) dan Western Blot Analysis untuk protein yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA Bondioli, KR, M.E. Westhusin dan C.R Looney 1990. Production of identical bovine offspring by nuclear transfer. Theriogenology. 33 : 165 - 174. Bondioli,K.R, Biery, KA., Hill, KG., Jones, KB. and De Mayo, F.G., 1991. Production of Transgenic Cattle by Pronuklear Injection in "Transgenic Animals. pp. 265 -273. Bremel, RD. 1996. Potential Role of Transgenesis in Dairy Production and Related Areas. Theriogenology., 45 : 51 - 56. Bonster, RL. , E. P. Sandgren, RD. Palmiter. 1989. No simple solution for making transgenic mice. Cell. 59 : 239 - 241. Cibelli, J.B.[et.al] 1998. Cloned Calves Product from Nonquisencent Fetal Fibroblast. Science 28. 1256 -1258. Ebert, K, M. [et.al]. 1991. Transgenic production of a variant of human tissue type plasminogen activator in goat milk. Biol. Technology. 9 : 835. Eyestone, W.H., 1999. Production and Breeding of Transgenic Cattle Using in Vitro Embryo Production Technology. Theriogenology, 51 : 509 - 517. Fraley, R, S. Subrami, P. Berg dan D. Papahadjopolous. 1980. Introduction of liposome encapsulated SV40 DNA into cells. J. Biol. Chem. 255: 431 - 435.

2004 Digitized by USU digital library

14

Gagne. M.B., F. Pother dan M.A. Sirard. 1991. Effect of microinjection in in vitro matured bovine oocytes on in vitro development of embryos. Biol of reproduction 44 : 76. Gagne, M. and Sirard M., 1995. Nuclear Injection of Bovine Oocytes after In Vitro Maturation. J. Report. Fertil. 4 1 : 211 - 212. Galli.,C D.J. Powel dan RM. Moor. 1991. Stability of DNA injected in oocyte and embryos of domestic animal. Proc. Abstr. 6: 24. Gordon I. 1994. Laboratory Production of cattle embryos. Cab International Walingford. Goto, K., Iwai, N., Takuma, Y. and Nakanishi, Y., 1992. Co Culture of In Vitro Fertilized Bovine Embryos with Different Cell Monolayers. J. Anim. Sci. 70: 1449 1453. Graham, F.L. dan A. J. van der B.E. 1973. A new technique for the assay of inefectivity of human adenovirus 5 DNA. Virology. 52 : 456 - 467. Gurdon, JP., 1963. Pronuclear Transplantation in Amphibia and the Importance of Stable Nuclear Changes in Promoting Cellular Differentiation. J. Biol. Rep. 233: 177 182. Han, Y.M.[et.al] 1996. Factors affecting in vivo viability of DNA injected Bovine Blastocysts Produced in vitro. Theriogenology. 46 : 764 - 778. HiII, K. G.[et.al]. 1992. Production of transgenic cattle by pronuclear injection. Theriogenology. 37 : 222. Jura, J. [et.al] 1990. In vitro maturation of bovine oocyte following buffer microinjection into germinal vesicle or cytoplasm. Theriogenology. 33 : 93. Jura, J.[et.al] 1994. In vitro and in vivo development of bovine embryos from zygotes 2 - cell embryos microinjected wilt exogenous DNA. Karl, M.E., 1989. Gene transfer Biotechnology. Oxford. pp: 233-249. through embryo microinjection in Animal

Kay, GW. HW. Hawk, RA. Watteman dan RJ. Wall. 1991. Identification of pronuclei in in vitro fertilized cow embryos. Animal biotechnology. 2 : 45 - 59. Krimperforf P.[et.al] 1991 Generation of: transgenic embryo production. Biotecnology. 9: 844 - 847. dairy cattle using in vitro

Kubisch , H.M., MA Larson, H. Funahashi dan RM. Robert, 1995. Pronuclear Visibility, Development and Transgene Expresion in IVM/IVF Porcine Embryos. Theriogenology. 44 : 391-396. Meade H., L. Gates, E. Lacy and N. Lonberg. 1990. Bovine S1 Casein gene sequens direct high level expression of active human urokinase in mouse milk. Bio. Tech. 8 : 443.

2004 Digitized by USU digital library

15

Muligan, RC., B.H. Howard dan P. Berg. 1979. Synthesis of rabit globin in cultured monkey kidney cells following injection with a SV40 globin reconbinant genome. J. Biol. Chem. 277:108-111. Nancarrow, C.D[et.al]1991. Expression and Physiology of performance regulating genes in transgenic sheep. J. Reprod. Fertil. 43 : 277. Niemann, H. and W.A. Kues, 2000. Transgenic Uvestock : Premises and Promises. J. Anim. Reprod. Sci. 60 : 277 -293. Palmiter, RD., G. Norstedt, RE. Hammer and K.L. Brinster, 1983 Methallothionein Human GH fusion Gene Stimulate Growth of Mice. Anim. Sci. 809 -814. Pinkert, CA, 1994. Transgenic Animal Technology. A Laboratory Handbook. Academic Press. San Diego. pp : 339 - 354. Potrykus, I. 1996. Gene transfer to plants: Assesment and Prepectives. Physiol. Plant. 79: 125-134. Pursel, V.G., RE, Hammer, D.J. Bold, RD. Palmiter dan RL Brinster. 1990. Genetic engineering of swine: Integration, expression and germ line transmission of growtg related genes. J. Reprod. Fertil. 41 : 77. Pursel, V.G. dan Rexroad, C.E, 1993. Status of recearch with transgenik farm animal. J. Anim. Sei. 71 : 10 -19. Pursel V.G.[et.al] 1992. Transfer of cSKI gene into swine to enhance muscle development. Theriogenology. 37 : 278. Rexroad, C.E. [et.al] 1991. Transferin and albumin directed expression of growth related peptides in transgenic sheep. J. Anim. Sci. 69: 2995. Rexroad C.E. and Harold W., 1994. Production of Transgenic Ruminants. In Transgenic Animal Technology. Pp : 344 - 345. Rosenkrans, C.F[et.al] 1993. Development of Bovine Embryos In Vitro as Affected by Energy Substrates. Biol. Reprod. 49 : 459 462. Schnieke A.E., A.J. Kind, W.A. Ritchi, 1997. Human Factor Transgenic Sheep Produced by Tranfer of Nuclei from Tranfected Fetal Fibroblast. Anim. Sci. 278 : 2130 - 2132. Sreenan J.M., dan Mc Evoy T.G., 1989 Methodology of gen tmasfer and farm animal and fish Theriogenology. 41 : 7. Su. N.Y.[et.al] 1998. Wool production in transgenic sheep: Result from generation adult and second generation lamb. Anim. Biotech. 9 :135-147. first

Sutrave, P.A., M. Kelly dan S.H. Hughes 1990. SKI can cause selective growth of sceletal muscle in transgenic mice. Gans and Development ,4: 1462. Swanson M.E[et.al]. 1992. Production of functional human hemoglobin in transgenic swine. Bio. Tech. 10 : 557.

2004 Digitized by USU digital library

16

Velander, W[et.al]1992. High level expression in the milk of transgenic swine using the cDNA encoding human protein C. Proc. 89 : 2003. Wall, RJ., 1996. Tmasgenic livestock: Progress and propect for the future. Theriogenology. 45 : 57 - 58. Wright, G[et.al]1991. High level expression of active human alpha 1 antitripsin in the milk of transgenic sheep. Bio. Thecnology. 9 : 830.

2004 Digitized by USU digital library

17

You might also like