You are on page 1of 3

Ke-pemimpin-an dan Sengsara Rakyat

Oleh: Wasid Mansyur Pada awal Nopember 2007, pemirsa Televisi disuguhkan tayangan takshow oleh salah satu televisi Swasta, Liputan 6 SCTV. Takshow kali ini terfokus dalam bincang-bincang tentang kepemimpinan bangsa kedepan di satu sisi serta dikotomi pemimpin tua dan muda di sisi yang berbeda. Tayangan yang dikemas dalam dialog interaktif menjadi menarik, karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh bangsa dari berbagai generasi, meskipun kurang representif dilihat dari golongannya. Mendesain kepemimpinan masa depan sangat penting bagi kemajuan bangsa dan membincangkannya tidak pernah putus-putus dilakukan dalam berbagai forum dari setiap generasi bangsa, apalagi mendekati agenda-agenda lima tahunan pemilihan umum, baik skala lokal, regional maupun nasional. Dari sini, isu-isu sering kali menggelinding turut mewarnai perbincangannya, mulai primordialitas daerah, penguatan ideologi hingga isu-isu agama. Namun, bila diamati perbincangan kepemimpinan yang terjadi masih banyak berkutat dalam kepentingan elit, dengan perebutan kekuasaan sebagai orientasinya. Dan intensitas dalam membahas keterkaitannya dengan kesengsaraan rakyat kurang menjadi agenda penting bagi tokoh-tokoh bangsa, baik kesengsaraan disebabkan faktor alam atau struktur negara yang kurang memihak bagi kepentingan rakyat sebagai wong cilik. Pergantian demi pergantian kepemimpinan bangsa, dalam setiap era, masih banyak menyisakan persoalan bangsa yang tidak kunjung surut, jika tidak selesai. Era reformasi masih teringat, khususnya bagi kalangan mahasiswa, menjadi simbol perlawanan atas keterputusan hormonisasi pemimpin (baca: pemerintah) dengan yang dipimpin (baca: rakyat). Perlawanan dalam era ini merupakan reaksi atas sikap pemerintah yang cenderung otoriter dan lebih banyak menempatkan kekuasaan sebagai media meraup keuntungan sebanyak-banyaknya bagi keluarga, kelompok hingga kloni-kloninya. Pemimpin Sebagai Abdi Tidak bisa membayangkan rumitnya, jika dalam sebuah kelompok kecil tidak ada seorangpun yang jadi pimpinan, apapun namanya, misalnya Suku tertentu memiliki ketua adat. Karenanya, kepemimpinan bangsa, dalam skala yang lebih luas, merupakan mediasi bagi bertemunya insan-insan yang memiliki perbedaan kepentingan. Sebagai mediator, maka pemimpin pada hakekatnya abdi rakyat. Pemimpin pada intinya berusaha menyatur, menfasilitasi dan memberikan ruang bagi terciptanya pemenuhan kebutuhan dari keragaman masyarakat. Dasar pikir "pemimpin sebagai abdi rakyat "memberikan sebuah pemahaman bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyatnya. Semakin sulitnya pengendalian kemiskinan dan penganguran, baik disebabkan oleh beruntunnya bencana alam maupun kepijakan yang kurang aspiratif pada kepentingan rakyat, menjadi PR pemerintah untuk diselesaikan dengan segera, karena pemerintah ada dalam tampuk kekuasaaannya tidak lepas dari peran serta rakyat sebagai yang dipimpin.

Sekedar menjadi catatan, beruntunnya bencana alam yang melululantahkan rumah penduduk telah menyisahkan perbagai persoalan terkait dengan bertambahnya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Tercatat 223 ribu kehilangan pekerjaan disebabkan banjir di Jabotabek, 60 ribu orang menjadi pengangguran disebabkan bencana gempa bumi pada 27 Mei 2007 di Yogkarta dan sekitarnya. Belum lagi bencana lumpur Lapindo di Sidoarja, yang sampai hari ini belum kunjung selesasi, telah menyebabkan kisaran 20 ribu orang kehilangan pekerjaan dan beberapa daerah lain yang masih juga rentan terkena bencana alam. Realitas bangsa yang rentan mengalami bencana memungkinkan jumlah pengangguran dan kemiskinan terus bertambah. Alih-alih mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, memprediksikan situasi bencana dan mengambil solusi alternatif masih kurang optimal. Dan yang pasti kesengsaraan rakyat, disebabkan faktor bencana alam dalam setiap tahunnya akan selalu ada, jika tidak mesti terjadi. Karenanya, sebagai abdi rakyat, maka tugas penting pemimpin bangsa adalah menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, dengan tingkat kesengsaraan rakyat sebagai agenda penting untuk dapat diminimalisir. Perbincangan kepemimpinan bangsa yang terjadi semestinya tidak terjebak perebutan kekuasaan, tapi juga banyak menempatkan mekanisme yang jelas terkait dengan kepemimpinan dan nasib rakyat sebagai yang dipimpin. Jika hal ini kurang diperhatikan, menurut penulis, kita akan berada dalam jurang yang sama. Bergantinya kepemimpinan bangsa, dari generasi maupun, akan tetap memiliki mentalitas yang sama, mentalitas yang dibudakkan dirinya oleh kekuasaan dan uang, bukan menempatkan kekuasaan sebagai media untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa baik di dalam maupun di luar. Dalam kaedah fiqh, yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab kuning, misalnya kitab al Ashbah wan Nathoir, disebutkan bahwa raiyatul al imam manutun bi al maslahah, kepemimpinan imam berkaitan erat -dengan pemenuhankemaslahatan umat. Kaedah ini memberikan peringatan bahwa pemenuhan ksejahteraan rakyat adalah tugas suci yang harus diperhatikan oleh setiap kalangan pemimpin bangsa kedepan dari level manapun. Rakyat tidak ingin keterjebakan pada logika tua dan muda kepemimpinan bangsa, baik umur maupun pemikiran, menegasikan orientasi suci yang berhubungan dengan kebaikan nasib rakyat kecil. Jika tidak berlebihan, rakyat sudah bosan dengan janji-janji semu yang tidak riil. Senada dengan ini, credo tokoh demokrasi Indonesia kabinet Susanto 1950, I. J. Kasimo salus populi suprema lex, kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi, layak untuk direnungkan kembali bagi para pemimpin bangsa kita. Pe-wacana-an tentang kepemimpinan bangsa dalam berbagai forum akan tidak berarti apa-apa, bahkan menguras tenaga dan materi yang sangat besar, jika komitmen individu mewujudkan kesejahteraan masih terkesan bayangan (baca: utopis). Bersikap Arif Saatnya rakyat berharap kepemimpinan bangsa bersikap arif dalam dua realitas, individu dan sosial. Dalam realitas individu kita masih miskin pemimpin

bangsa yang jujur, baik secara teoritis maupun praktek. Kepemimpinan mestinya dihuni orang-orang yang memiliki kejujuran tinggi, dilevel manapun. Kepemimpinan bangsa masih banyak dihuni oleh individu-indvidu yang membudakkan dirinya pada kekuasaan dan uang. Artinya, pemimpin berkuasa lebih menganggap kekuasaan sebagai tujuan, sehingga yang terjadi langkah apapun dilakukan demi memperebutkan dan melanggengkan kekuasaannya. Kasus-kasus bercongolnya orang-orang bermasalah di sekitar kepemimpinan lokal, regional maupun nasional menjadi salah satu sebab negara ini masih terseok-seok, apalagi harus merealisasikan kesejahteraan rakyat sebagai orientasi program kerjanya. Kearifan individu penting dilakukan dalam arti janganlah bernafsu jadi pemimpin, jika dirinya masih terjerak kasus-kasus hukum, misalnya korupsi. Secara sosial, sikap arif pemimpin bangsa harus menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai barometer kepemimpinannya, bukan malah memperkaya diri, kelompok dan kloni-kloninya. Dari sini, pengawalan semua pihak menjadi penting, agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak semakin memperpuruk kondisi rakyat. Belajar dari aksi demo ribuan biksu-biksu yang baru-baru ini gempar di Myanmar, penting untuk direnungkan bagi semua lapisan masyarakat. Kalangan mahasiswa agar tidak hanya terjerat dalam serimonial-serimonial kuliah, tokohtokoh agama hendaklah tidak hanya berkutat persoalan dan perdebatan ritualritual keagamaan serta kalangan cendekiawan tidak terhipnotis dalam kubangan manisnya teks-teks teoritis pengetahuan. Banyak persoalan sosial yang harus dikawal bersama-sama. Karenanya, Aksi-aksi sosial di jalan merupakan tawaran alternatif, jika segala mekanisme negosiasi sudah tidak ditemukan berkaitan dengan kurang arifnya kebijakan-kebijakan pemimpin (baca: pemerintah) terkait dengan penciptaan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, kita butuh pemimpin yang arif secara individu maupun sosial, karena pemimpin sejati haruslah lebih baik menderita daripada berbuat jahat, tegas Socrates (469-399 BC). Di sini dipahami lebih baik memakai mobil bekas, dari pada mobil mewah hasil menguras angggaran hak-hak rakyat. Wallahul al muwaffiq. [ ] @ Penulis : Pengurus PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya Ketua I GP. Ansor Ancab Wonocolo-Surabaya

You might also like