You are on page 1of 2

Realitas Perlindungan Buruh Migran Indonesia.

Hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama dua kali, suka atau tidak suka hal ini yang saat ini dapat menggambarkan fenomena yang terjadi pada negara ini. Dimana bukan kali ini saja permasalahan yang menyangkut nyawa warga negara terabaikan begitu saja oleh negara yang seharusnya menjadi pelindungnya. Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) kembali menjadi sorotan terkait dengan kasus hukuman mati yang dijatuhkan kepada salah seorang TKI asal Indonesia di Arab Saudi. Tidak perlu dijelaskan lagi mengenai kronologis kejadian ini disini karena seluruh media baik cetak maupun elektronik tengah menjadikan permasalahan ini sebagai topik utama dalam pemberitaannya. Sangat disesalkan negara yang jelas-jelas menempatkan perlindungan terhadap warga negaranya dalam pembukaan konstitusi dapat kecolongan dengan eksekusi mati terhadap warganya baru diketahui oleh otoritas tertinggi kita yaitu negara setelah media ramai memberitakan hal ini. Ironis adalah kata yang mungkin terlontar, terlebih setelah melihat dan mendengar pidato yang disampaikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang International Labour Organization ( ILO ). Pidato tersebut berisikan ajakan SBY kepada semua negara untuk memperhatikan dan memberikan pelindungan terhadap pelaku pekerja di sektor domistik atau rumah tangga. Pekerja rumah tangga adalah pahlawan yang layak mendapatkan perhatian juga perlindungan, sebuah ajakan yang dimata kami sangat-sangat mulia ( Tribun News : Minggu 19 Juni 2011 ). Tetapi pada kenyataannya pemerintah Indonesia hanya mampu mengucapkan prihatin , turut berbela sungkawa atas kejadian yang menimpa seorang warga negara yang dielu-elukan sebagai pahlawan devisa harus menghadapi hukuman mati di negara lain. Meskipun pidato tersebut mendapatkan apresiasi dari para peserta pertemuan tersebut tetapi saat melihat realitas ini, pidato dan apresiasi yang diberikan tersebut tidak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya . Saling Lempar Tanggungjawab. Reaksi yang kemudian ditunjukan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi permasalahan ini tidak lain dan tidak bukan adalah saling tuding mengenai siapa yang paling bersalah dalam permasalahan ini. Hal ini seakan menjadi reaksi yang lumrah ditunjukan oleh pemerintah Indonesia saat menghadapi berbagai permasalahan, khususnya yang menyangkut keselamatan dan kepentingan warga negaranya. Terutama dalam permasalah perlindungan TKI di luar negeri, KEMLU, KEMTRANS, BNP2TKI dengan jelas saling lempar tanggungjawab terkait dengan permasalahan ini. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan dalam konferensi pers yang dilakukan oleh pemerintah yang diwakili oleh institusi-institusi tersebut. Fenomena saling lempar tanggungjawab ini menunjukan bahwa tidak adanya koordinasi dan pembagian peran yang jelas dalam upaya melindungi warga negaranya. Institusi-institusi tersebut idealnya melakukan kerjasama secara sinergis terkait dengan upaya perlindungan terhadap warganya yang ada di luar negeri. Indonesia merupakan salah satu negara pengirim pekerja informal terbesari, khususnya ke negara-negara Timur Tengah, maka sudah seharusnya pemerintah memikirkan sebuah mekanisme perlindungan untuk menghindari hal-hal demikian. Tetapi pada kenyataannya pemerintah hanya mendasarkan kepada komitmen tidak tertulis dengan pemerintah negara-negara Timur Tengah tersebut. Hal ini jelas tidak cukup untuk membuat sebuah mekanisme perlindungan yang cukup kuat bagi para pekerja Indonesia yang berada disana. Namun, saat ini bukan hal ini yang sibuk dipikirkan oleh institusi-institusi terkait

melainkan bagaimana saling lempar tanggungjawab atas permasalahan ini. Seandainya hal ini terjadi kepada negara-negara Asia Timur, dapat dipastikan headline pemberitaan akan penuh dengan berita mengenai pejabat terkait yang akan mengundurkan diri karena malu akibat tidak dapat menjalankan fungsi pokok untuk melindungi warganya. Kebijakan Tambal Sulam yang Setengah Hati. Meskipun Indonesia dengan bangga menyatakan dirinya sebagai negara yang telah meratifikasi 8 konvensi dasar mengenai perburuhan, salah satunya mengenai buruh migran namun hal ini hanya akan menjadi selembar kertas dengan goresan tinta tanpa makna bagi para buruh di Indonesia yang bekerja di luar negeri. Hal ini tidak berlebihan bila melihat nasib para TKI yang ada diluar negeri. Melihat dari nasib para TKI yang senantiasa mendapatkan perlakuan tidak manusiawi di negara lain baik yang berada di negara tetangga seperti Malaysia hingga yang berada di Timur Tengah. Kejadian yang menimpa TKI kita yang kemudian dihukum mati di Arab Saudi menunjukan bahwa ratifikasi tersebut hanya sekedar upaya seremonial Indonesia tanpa ada tindak lanjut dari pemerintah dengan implementasi kebijakan yang nyata. Karena ratifikasi tersebut berarti komitmen dari pemerintah Indonesia untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dengan tanggungjawab dan nilai moral yang ada didalam konvensi tersebut dengan implementasi nyata dalam hukum positif di negaranya ( undang-undang ). Pemerintah seringkali hanya mengeluarkan kebijakan yang affirmative action atau tambal sulam saat terjadi suatu permasalahan yang dalam hal ini adalah terkait dengan perlindungan negara atas warganya di luar negeri khususnya permasalahan TKI. Padahal permasalahan TKI khususnya yang ada di Arab Saudi bukan kali ini saja terjadi. Pemerintah sudah seharusnya memberikan sebuah kebijakan yang menyeluruh untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negaranya yang ada diluar negeri khsusnya yang terkait dengan pekerja pada sektor informal. Dimana pada sektor ini sangat rawan akan tindakan-tindakan kekerasan maupun diskriminasi dalam hukum yang berlaku dinegara tersebut. Sudah saatnya pemerintah Indonesia meninggalkan gaya lama dalam merancang sebuah kebijakan dimana hanya didasakan kepada kebutuhan saat ini saja tetapi harus mencakup visi kedepan yang bersifat komprehensif dalam perlindungan para pekerja migrannya. Dimana hal ini mencakup kepada respon yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia bila hal ini terjadi kembali. Jangan sampai Indonesia semakin lekat dengan predikat sebagai bangsa kuli yang hanya dapat mengecam, prihatin dan berorasi semata saat melihat para buruh migran/ TKI kita mendapatkan perlakukan tidak manusiawi di negara lain.

You might also like